WARIS KHUNSA MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH Skripsi Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: ALI AL ANSHORI NIM: 1110043100047
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M
i
ABSTRAK Ali Al-Anshori, NIM: 1110043100047, Waris Khunsa Menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai permasalahan pembagian warisan khunsa berdasarkan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Allah SWT menciptakan manusia hanya dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan, masing-masing jenisnya memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang berbeda. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat seseorang yang tidak mempunyai status yang jelas, bukan laki-laki dan bukan perempuan. Orang dengan ketidak jelasan status jenis kelaminnya ini disebut dengan khunsa. Salah satu dari permasalahan khunsa adalah dalam hal menentukan hak waris atau kewarisannya. Dalam al-Qur’an telah jelas dikemukakan secara detail mengenai hukum kewarisan untuk laki-laki dan perempuan. Tapi belum ditemukan dalam al-Qur’an mengenai hukum waris bagi khunsa. Maka dalam skripsi ini akan dijelaskan bagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam menetapkan kewarisan khunsa baik musykil maupun ghairu musykil. Sifat penelitian adalah deskriptif dan jenis penelitian yang digunakan adalah normatif. Bahan hukum dan data diperoleh dari norma-norma hukum Islam tentang kewarisan dan khunsa yang diperoleh dari nash al-Qur’an dan hadis, serta pendapat para fuqaha dan para ahli yang diperoleh dari berbagai literatur tentang kewarisan dan khunsa. Data dicari melalui studi kepustakaan (library research), sumber data primer dan sumber data sekunder. Hasil dari penulisan ini adalah, pada dasarnya dalam menentukan status hukum bagi khunsa, dapat dilihat dari tanda-tanda kedewasaannya dan darimana ia mengeluarkan air kencing seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas. Bila seseorang khunsa telah jelas status hukumnya berarti ia hukumnya laki-laki atau perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau perempuan baginya dalam segala hal, seperti perkawinannya, kewarisannya dan hukum syariat lainnya. Para ahli waris sepakat dalam menghitung kadar bagian khunsa musykil dengan memperkirakan dan menghitungnya sebagai laki-laki dan perempuan, namun mereka berbeda pendapat dalam memberikan bagian harta pusaka kepada khunsa setelah diketahui dua macam cara penerimaan berdasarkan perkiraan laki-laki dan perempuan serta bagian ahli waris lainnya. Imam Syafi’i berpendapat masing-masing dari ahli waris dan khunsa diberikan bagian yang terkecil, karena ia adalah orang yang diyakini bernasab kepada setiap orang dari mereka. Sisanya disimpan sampai jelas keadaannya. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat khunsa berhak mendapatkan bagian yang terkecil di antara dua bagian, yaitu apabila
v
ia ditetapkan sebagai laki-laki dan perempuan, mana di antara 2 bagian itu yang lebih sedikit diberikan kepadanya, dan ahli waris tidak terpengaruh dengan keberadaannya.
v
ِِبسۡمِ ٱلّلَهِٱلّرَحۡمَٰنِ ٱلّرَحِيم KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan petunjuknya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini dengan semaksimal mungkin. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul WARIS KHUNSA MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH. Semoga skiripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pihak yang membaca pada umumnya, serta untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penulisan skiripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan. Namun berkat kesungguhan hati, niat yang kuat dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas segala jasa dan bantuan kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kemudian kepada para wakil Dekan diantaranya: Dr. Euis Amalia M.ag dan Dr. Asmawi M.ag. 2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA
Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab
Hukum dan Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc., MA
Sekretaris Jurusan
Perbandingan Mazhab Hukum 3. Ibu Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag dan Bapak H. A. Bisyri Abd. Somad, M.Ag, selaku pembimbing skiripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, saran serta petunjuk dalam menyelesaikan skiripsi ini. 4. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah, semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah SWT. 5. Seluruh staf karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kerjasamanya dalam pelayanan yang terbaik dalam pengumpulan materi skiripsi dan kelancaran administrasi. 6. Kepada Mamah ku yang tercinta almarhumah Sri Yatmiati binti Diro Sukarto semoga Allah ampuni segala dosa-dosanya dan menempatkan beliau di surga Allah SWT. Tanpa peran Mama, aku tak akan bisa menjadi seperti ini. Bapak ku yang ku hormati Supardi bin Kartodiyono yang selalu memberikan support moril dan materil kepadaku, dan segenap kepada seluruh keluarga besar mbah Kartodiyono dan Mbah Diro Sukarto khususnya Pakde Roso,
Bude Mujiah, Pakde Yayan, Bude Yatik, Pakde Yaya Bude Narseh, Pakde Yan (Kasianto) dan Bude Sri, lek Sugiyono, Mba Meilan, bang Adit, Mba Eli, Om Udin, Mas Bambang, Mba Venda, fatimah, Ummi Muwahidah, anak-anak Zahro dan semua kerabat dekat yang tidak bisa aku sebutkan namanya, yang telah mendoakan, memberikan bantuan dana, moril maupun materil serta memberi motivasi sebagai inspirasi bagi penulis. 7. Keluarga besar Pondok Pesantren Daarul Mughni Al-Maaliki, khususnya Sayyid al-Habib Muhammad al-Maaliki, Sayyid al-Habib Abbas al-maaliki, Syekh Kh. Sa’adih al-Batawi, Kh. Musthofa Mughni, Ustadz Ahmad Fauzi, ustadz Ahmad Syamsuri, ustadz Hanbali dan seluruh guru-guruku yang telah mengajariku ilmu yang sangat bermanfaat. Begitupula kepada guru mulia alHabib Umar bin Muhammad bin Salim bin hafidz, Al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, al-Habib Mundzir al-Musawa, al-Habib Jindan bin Novel bin Jindan, al-Habib Ahmad bin Novel bin Jindan, Al-Habib Hasan bin Ja’far Al-Segaf, dan keluarga bin Ja’far al-Segaf, abah Fahmi Ahmadi, dan semua guru-guruku yang tidak dapat aku sebutkan namanya, merekalah orang-orang yang sangat aku hormati dan aku muliakan dan sangat aku harapkan doanya keridoannya,
keberkahannya,
mudah-mudahan
Allah
SWT
selalu
memberikan kepada mereka kemudahan, kesehatan, panjang umur dalam taat kepada Allah SWT. 8. Teman-teman seperjuangan PMH (Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan 2010, teman-teman di Pondok, kakak kelas saya, ade kelas saya dan teman-
teman yang saya kenal maupun yang tidak saya kenal yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Berkat doa dan bantuan kalian saya ucapkan terima kasih. Semoga amal baik dan jasa yang telah diberikan para pihak kepada penulis diterima oleh Allah SWT dan diberikan pahala yang berlipat ganda. Penulis sadar, skripsi ini masih penuh dengan kekurangan dan kesalahan, dengan segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam karya ilmiah ini, besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah Senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Aamiin
Jakarta,10 April 2015
Ali Al Anshori
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………………..…...i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……………..……………………….ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN……………….……………………………….iii LEMBAR PERNYATAAN…..……………………………………………………..iv ABSTRAK………………..…………………………………………………………..v KATA PENGANTAR………………………………………………………………vi DAFTAR ISI……………………………………………………………………........x BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….....1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………………….....5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………..5 D. Metode Penelitian………………………………………………………...6 E. Review Studi Terdahulu……………………………………………….....8 F. Sistematika Penulisan…………………………………………………...10
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KHUNSA DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Tinjauan Fikih……………………………………..……………………12 1. Pengertian Khunsa menurut Fikih…………………………………...12 2. Macam-macam Khunsa……………………………………………...16 3. Cara Menentukan Status Khunsa…………………………………….17 4. Khunsa Dalam Sejarah………………………………………………19 B. Tinjauan Medis……………………………………………………….....21 1. Hermafrodit…………………………………………………………..21 2. Macam-macam Hermafrodit………………………………………....22 3. Cara Menentukan Status Kelamin Menurut Medis………………….24 4. Hermafrodit Dalam Sejarah………………………………………….26 C. Hukum Kewarisan Islam………………………………………………..28 1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam………………………………...28 2. Rukun dan Syarat-syarat Kewarisan…………………………………30 3. Sebab-sebab Mendapat Kewarisan…………………………………..31 4. Penghalang Mendapat Kewarisan……………………………………32 5. Jalur-jalur Keturunan Khunsa………………………………………..33 BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG WARIS KHUNSA A. Biografi dan Metode Istinbat Hukum Imam Syafi’i……………………34 1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan……………………..34 2. Karya-karya Imam Syafi’i…………………………………………...39
3. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi’i……………………………….40 4. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Status Jenis Kelamin Khunsa……...44 5. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Bagian Yang Diperoleh Khunsa Sebagai Ahli Waris………………………………………………………45 B. Biografi dan Metode Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah……………..48 1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan……………………..48 2. Karya-karya Imam Abu Hanifah…………………………………….50 3. Metode Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah………………………...52 4. Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Status Jenis Kelamin Khunsa.53 5.
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Bagian Yang Diperoleh Khunsa Sebagai Ahli Waris…………………………………...……55
BAB IV : ANALISIS KOMPARATIF WARIS KHUNSA MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH A. Persamaan Pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah Tentang Waris Khunsa Musykil dan Ghairu Musykil………………………..……58 B. Perbedaan Pemikiran Imam Syafi’i dan Abu Hanifah Tentang Waris Khunsa Musykil dan Ghairu Musykil……………………………………60 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………………69 B. Saran-saran…………………………………………………………........71
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup.1 Hukum kewarisan ini merupakan hal yang penting, karena menyangkut segala harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia. Allah SWT telah menetapkan aturan kewarisan secara tegas dan jelas dalam al-Qur’an. Penetapan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak milik seseorang dengan cara yang seadil-adilnya. Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam as dan Hawa sebagai cikal bakal manusia. Dari keduanya berkembang biak manusia yang banyak lelaki dan perempuan. Masing-masing memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang berbeda-beda di antaranya adalah penampilan, tingkah laku, gaya bicara, bahasa tubuh dan alat kelamin. Kedua alat kelamin itu mempunyai urgensi yang tidak diragukan lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-laki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat digunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga.2 Tetapi dalam kenyataannya, terdapat seseorang yang tidak memiliki status yang jelas, bukan laki-laki dan bukan perempuan.3 Mereka adalah makhluk Allah yang disebut khunsa. Khunsa adalah orang yang diragukan dan tidak diketahui 1
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2005) h. 5-6. Muchit A. Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan keagamaan, 2012), h. 374. 3 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Alma’arif 1971) h. 482. 2
1
2
apakah dia laki-laki atau perempuan, adakalanya dia mempunyai dzakar dan farji atau dia tidak mempunyai dzakar dan farji sama sekali. Adakalanya pula manusia yang dalam bentuk tubuhnya ada keganjilan, tidak dapat diketahui apakah dia laki-laki ataukah perempuan, karena tidak ada tanda-tanda yang merujuk kepada kelakiannya atau kepada keperempuannya, atau samar tanda-tanda itu.4 Ulama Fiqh klasik telah mengidentifikasi jenis kelamin manusia dengan ciri-ciri tertentu, pijakan mereka adalah hal-hal yang lahiriyah semata. Laki-laki ditandai dengan ciri-ciri spesifik seperti adanya zakar, keluar mani, bila dewasa akan tumbuh jenggot, kumis serta adanya kecenderungan hubungan seksual dengan lawan jenisnya. Sedangkan perempuan ditandai dengan ciri-ciri spesifik pula seperti mengembangnya buah dada, keluar asi dari payudaranya, datang bulan, mempunyai vagina dan hamil.5 Al-Quran menetapkan hak kewarisan seseorang berdasarkan jenis kelamin yang dimilikinya, apakah laki-laki atau perempuan. Allah telah menjelaskan pula pusaka orang laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya di dalam al-Qur’an. Tetapi ayat tersebut tidak menjelaskan bagian seorang khunsa.6 Khunsa menurut Ulama Fiqih di bagi menjadi dua golongan yakni khunsa musykil dan khunsa ghairu musykil. Khunsa musykil ialah khunsa yang sulit ditentukan disebabkan tidak memiliki alat kelamin atau dua alat kelaminnya berfungsi secara bersamaan. Khunsa ghairu musykil ialah khunsa yang dapat di ketahui kedudukannya dilihat
4
Muhammad Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 135-136. 5 Muchit A. Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, h.385. 6 Fathur Rahman, Ilmu Waris, ( cet. 10 ; Bandung : Al-Ma’arif, 1975) h. 484.
3
dari alat kelamin mana yang mengeluarkan urine. kedudukan khunsa musykil ditunggu saat baligh (dewasa).7 Pembahasan tentang jenis kelamin manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam ilmu kedokteran dewasa ini memang sudah sedemikian jauhnya dari apa yang telah diperoleh ulama klasik. Oleh karena itu dalam menentukan status kelamin manusia perlu kiranya memperhitungkan kehandalan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran dapat membantu memberikan kepastian apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan.8 Perkembangan ilmu kedokteran dapat dihandalkan dalam mendeteksi organ kelamin manusia. Bahkan para dokter dapat membantu untuk memperbaiki ataupun mengganti kelamin manusia lewat tindakan operasi kedokteran, apakah itu orang yang normal kelaminnya atau tidak. Orang yang normal kelaminnya yaitu laki-laki ataupun perempuan di mana antara organ kelamin dalam dan luar tidak berlawanan. Orang yang tidak normal kelaminnya yaitu mereka yang mengalami kelamin ganda berupa pria atau wanita. Atau dapat juga disebabkan karena organ kelamin luarnya hanya satu tetapi bentuknya kurang sempurna dan adakalanya berlawanan dengan kelamin dalam. Dapat diketahuinya organ kelamin dalam bagi seseorang individu adalah akibat kemajuan ilmu kedokteran. Menurut hukum Islam seseorang yang normal kelaminnya dilarang melakukan pergantian kelamin. Akan tetapi sebaliknya Islam memberikan kemudahan dan mentolerir
7
Facthur Rahman, Ilmu Waris, h. 482. Lusita, Jenike. “kedudukan Orang yang Mempunyai Kelamin Ganda (Khunsa) dalam Hukum Kewarisan Islam”. Skripsi S1 Fakultas Hukum Andalas Padang, 2011: h. 5. 8
4
orang yang tidak normal kelaminnya agar diperbaiki atau disempurnakan atas kemaslahatan.9 Operasi perbaikan kelamin yang dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai kelainan pada alat kelaminnya, atau mempunyai alat kelamin ganda atau dapat disebut khunsa ini nantinya akan bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi alat kelamin yang lebih dominan dari orang yang berkelamin ganda itu sendiri. Pengoperasian kelamin yang dilakukan oleh dokter atas permintaan yang bersangkutan akan berpengaruh terhadap status orang tersebut dan pada gilirannya nanti akan berpengaruh pula terhadap pembagian harta warisan bagi orang-orang yang mempunyai kelainan atau berkelamin ganda atau khunsa tersebut.10 Oleh karena itu Ulama menghendaki kejelasan dari kelamin seseorang yang menjadi objek hukum. Meskipun khunsa mempunyai dua alat kelamin namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu yaitu laki-laki atau perempuan. Dan untuk itu harus dipastikan kedudukan jenis kelamin seseorang yang khunsa itu.11 Untuk mengetahui berapa besar bagian dari seseorang khunsa tersebut adalah dengan menemukan kejelasan jenis kelamin orang yang bersangkutan (jenis kelamin yang dominan).12 Akan tetapi jika orang tersebut termasuk dalam khunsa musykil (tidak diketahui kelamin mana yang dominan), maka ulama berbeda pendapat dalam kewarisannya.
9
Muchit A. Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia,
h.385. 10
Ibid., 387. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 139. 12 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap & Praktis (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 68. 11
5
Berdasarkan pemikiran diatas, maka penulis merasa tertarik mengadakan pembahasan lebih lanjut mengenai permasalahan diatas, untuk selanjutnya dituangkan dalam karya tulis dalam bentuk skripsi. Penelitian ini diberi judul dengan “WARIS KHUNSA MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari pembahasan di atas agar pembahasan lebih terfokus kepada satu titik, maka penulis akan membatasi penulisan skripsi ini hanya dalam masalah waris khunsa menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Untuk mempertegas arah pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis akan merinci rumusan permasalahannya dalam bentuk pertanyaan. Adapun rumusan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan Imam Syafi’i tentang waris khunsa musykil dan ghairu musykil? 2. Bagaimana pandangan Imam Abu Hanifah tentang waris khunsa musykil dan ghairu musykil? 3. Bagaimana persamaan dan perbedaan pandangan dan istinbat hukum Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah tentang waris khunsa musykil dan ghairu musykil? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah:
6
a. Untuk menjelaskan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam menentukan status jenis kelamin khunsa. b. Untuk menjelaskan istinbath hukum yang digunakan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah dalam menentukan status khunsa sebagai ahli waris. c. Untuk menjelaskan bagian warisan yang diterima khunsa dan bagaimana istinbat hukum yang digunakan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah untuk menetukan bagian khunsa ghairu musykil dan khunsa musykil sebagai ahli waris 2. Manfaat Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis sebagai upaya penambahan pengetahuan di bidang hukum Islam, khususnya mengenai warisan khunsa. 2. Secara praktis agar masyarakat luas mengetahui tentang warisan khunsa. Sehinggga masyarakat dapat menerima mereka, dan mereka dapat bangkit dari mimpi-mimpi buruk yang menghantui mereka. 3. Melatih penulis untuk untuk dapat membuat karya ilmiah. D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan ini menggunakan pendekatan normatif, yaitu menganalisa data dengan menggunakan pendekatan dalil atau kaidah yang menjadi pedoman perilaku manusia di dalam hukum Islam dan hukum positif 2. Jenis dan sifat data yang dikumpulkan
7
Adapun jenis dan sifat data yang dikumpulkan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah data kualitatif, yaitu menggali secara mendalam permasalahan yang akan dianalisis. Adapun jenis penelitian adalah penelitian kepustakaan (library Research).13 yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan semacam material yang terdapat di ruang perpustakaan, misalnya buku-buku, naskah-naskah, catatan dan katalog. Pada hakikatnya data yang diperoleh dengan jalan penelitian kepustakaan dijadikan fondasi dan alat utama bagi praktek penelitian di tengah lapangan.14 3. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:15 a. Sumber Data Primer, diperoleh dari buku-buku fiqih serta buku yang berkaitan dengan skripsi ini. b. Sumber Data Sekunder, diperoleh dari al-Qur’an, al-Hadist, buku-buku fiqih dan data-data tertulis lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. c. Bahan hukum tersier: sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari bahan sekunder dan bahan primer yang meliputi: kamus, ensiklopedi dan sumber-sumber sejenis yang diakses dari internet.
13
Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 1. 14
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 33. 15 Soerjono Soekanto & Sri Mahmudji, Penelitian Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 13.
8
E. Teknik Analisis Data Dalam menganalisa data-data yang didapat dari literatur yang ada, penulis menggunakan pengelolaan dengan tahapan sebagai berikut: a. Editing: pemeriksaan kembali data-data yang didapat dengan cermat dan teliti, terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian, keselarasan, relevansi dan keseragaman satu dengan yang lainnya. b. Organizing: pengorganisasian data dengan cara menyusun dan mensistimasikan serta mengklasifikasikan data yang didapat. c. Analyzing:
mengadakan
analisis
lanjutan
terhadap
hasil
pengorganisasian data yang menggunakan kaedah-kaedah dan teori dan dalil berkenaan dengan status kewarisan khunsa. F. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini adalah berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” G. Review Studi Terdahulu Ada beberapa judul penelitian yang memiliki tema yang tidak jauh berbeda diantaranya adalah yang ditulis oleh Chaula Luthfia yang berjudul “Studi Analisis pemikiran Abu Hanifah Tentang Status Khunsa Musykil Sebagai Ahli Waris” pada tahun 2013. Dalam skripsinya Chaula menjelaskan bagaimana Imam Abu Hanifah dalam menentukan status khunsa sebagai laki-laki atau
9
perempuan. Dalam skripsi ini chaula lebih menitik beratkan pembahasannya kepada status khunsa musykil sebagai ahli waris, berdasarkan pemikiran Imam Abu Hanifah. Adapun permasalahan yang dibahas oleh penulis adalah bagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Abu Hanifah dalam status kewarisan khunsa musykil dan ghairu musykil. Hal serupa juga dibahas oleh Siti Maemah dengan judul “Operasi Penyempurnaan dan Penggantian Alat Kelamin dalam Tinjauan Hukum Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Status Perkawinan dan Kewarisan”. Maemah dalam skripsinya menjelaskan bahwa penyempurnaan atau penyesuaian alat kelamin adalah mubah (boleh), karena operasi ini mempertegas dan memperjelas alat kelamin yang sudah ada tetapi kurang sempurna dan menyesuaikan organ kelamin dalam dengan organ kelamin luar. sedangkan pengubahan / penggantian alat kelamin adalah haram, karena operasi ini mengakibatkan organ kelamin luar tidak sesuai dengan organ kelamin dalam. Dan hal ini termasuk mengubah ciptaan Allah SWT. Kemudian di dalam skripsinya dijelaskan bagaimana pengaruh operasi dan penyempurnaan alat kelamin terhadap perkawinan dan kewarisannya menurut hukum Islam. Dalam hukum perkawinan, status perkawinan setelah melakukan operasi penyempurnaan
kelamin
bagi khunsa wadih (ghairu musykil) maka
statusnya seperti semula sebelum operasi, bahkan akan memperjelas dan mempertegas jati dirinya. Adapun pernikahan yang dilakukan setelah penggantian alat kelamin maka pernikahannya tidak sah bahkan haram, karena operasi penggantian kelamin dari laki-laki ke perempuan atau sebaliknya tidak dapat
10
merubah jenis kelaminnya. Ia tetap berstatus dengan jenis kelamin yang asli dan normal pada waktu lahirnya. Adapun penjelasannya dalam status kewarisan adalah, Apabila pelaku operasi penyempurnaan kelamin ini dilakukan oleh khunsa wadih (ghairu musykil) maka status kewarisannya adalah sesuai dengan kejelasan status sebelumnya, bahkan lebih menguatkan statusnya sebagai ahli waris. Sedangkan status hukum kewarisan bagi waria (banci) maka tidak merubah kedukannya sebagai ahli waris, ia tetap berkedudukan sebagai ahli waris seperti jenis kelaminnya yang asli sebelum operasi. Berdasarkan review studi di atas tidak didapatkan tema yang sama seperti yang penulis angkat. Dalam penelitian ini penulis mengangkat tema “Waris Khunsa Menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah”. Penulis lebih mendiskripsikan tentang kajian komparatif tentang waris khunsa menurut pandangan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. H. Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi ini melalui tiga tahap, yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan didalam bab terdapat sub-sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KHUNSA DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM Bab ini meliputi pengertian khunsa menurut fikih dan medis, macammacam khunsa, khunsa dalam lintas sejarah. Dan bagaimana tinjauan fikih dan medis dalam menetapkan status kelamin khunsa. Selanjutnya, akan dibahas hukum kewarisan Islam. BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG WARIS KHUNSA Bab ini tentang biografi umum Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah. Meliputi riwayat hidup, karya-karya, dan metode istinbat hukum. Dalam bab ini juga akan dibahas pandangan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah terhadap status kelamin jenis kelamin khunsa dan bagian yang diperoleh khunsa sebagai ahli waris. BAB IV : ANALISIS KOMPARATIF WARIS KHUNSA MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH Bab ini adalah analisis penulis terhadap sebab-sebab terjadinya perbedaan di antara kedua pendapat ulama mazhab diatas, persamaan pendapat diantara keduanya, serta istinbat hukum yang mereka gunakan. BAB V : PENUTUP Terdiri dari kesimpulan dan saran-saran sebagai akhir dari pengkajian penelitian ini.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KHUNSA DAN HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM A. Tinjauan Khunsa Menurut Fikih 1. Pengertian khunsa Allah SWT telah menciptakan manusia sepasang, laki-laki dan perempuan. Adapun salah satu hikmah penciptaan itu adalah agar manusia dapat melahirkan keturunannya. Allah swt berfirman dalam QS. al-Syura (49-50): 42
ُشآء َ َة نًٍَِ ي ُ َٓشآءُۚ يَ َٓةُ ِنًٍَ يَشَآ ُء إَِٰثٗا َٔ َي َ َق يَا ي ُ ُض َيخۡه ِۚ ۡخ َٔٱنۡ َأز ِ ًََّٰٰٕس َ ك ٱن ُ ۡنِهَ ِّ يُه ٗعهِيى َ عقِيًًاۚ إِ َُّۥ َ ُخ ُٓىۡ ُذكۡسَاٌٗا َٔإَِٰثٗاۖ َٔيَدۡ َعمُ يٍَ يَشَآء ُ ِٔ أَٔۡ ُي َص٩٤ ٱن ُركُٕ َز )٩4 :٠ٓ/ ٖ (انشٕز٠ٓ ٗقَدِيس Artinya : “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”. Selain itu, dalam ayat lain juga dinyatakan bahwa Allah telah menjadikan anak Adam dengan dua jenis yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Setiap anak Adam dari kedua jenis ini mempunyai kelamin masing-masing dan tanda-tanda khusus. Apabila seorang anak Adam dilahirkan dengan ciri-ciri laki-laki dan
12
13
perempuan atau tidak memiliki tanda-tanda khusus sebagaimana laki-laki atau perempuan, dia dinamakan khunsa.1 a. Arti Khunsa Menurut Bahasa (Etimologi) Khunsa berasal dari bahasa Arab خََُثًا- ُ يَخْ َُث- َ خَ ُِثartinya bertingkah laku seperti perempuan.2 Ibnu manzhur dalam kamus Lisan al-Arab mengatakan: “khunsa adalah orang yang memiliki sekaligus apa yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan”. Juga ibnu manzhur mengatakan: “khunsa adalah orang yang tidak murni (sempurna) sebagai laki-laki atau perempuan”.3 Sehubungan dengan ini pula, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan sebagai berikut: 1. Banci adalah manusia yang bersifat laki-laki dan perempuan (tidak lakilaki dan tidak perempuan) 2. Banci adalah laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan atau sebaliknya, wadam, waria.4 b. Arti Khunsa Menurut Istilah (Terminologi) Adapun menurut istilah (terminologi) Sayid Sabiq dalam kitab Fiqh AlSunnah mengatakan: 1
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys AlDizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h.391. 2 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h.862. 3 Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, (Al-Qahirah: Dar Al-Ma’arif, t. th), h. 1272. 4 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 74.
14
Artinya: “khunsa adalah orang yang tidak tidak jelas keadaan dirinya dan tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, karena dia memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus, atau karena dia sama sekali tidak memiliki kelamin baik laki-laki maupun perempuan”.5 Wahbah Zuhaili mendefinisikan khunsa sebagai berikut:
Artinya: “orang yang berkumpul dalam dirinya dua alat reproduksi (alat kelamin), alat kelamin laki-laki dan perempuan. Atau, orang yang tidak mempunyai alat itu sama sekali.”6 Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, khunsa adalah seorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan karena memiliki alat kelamin secara bersamaan ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki-laki atau perempuan.7 Berdasarkan pengertian khunsa menurut bahasa dan istilah, dapat diambil kesimpulan bahwa khunsa adalah manusia yang tidak sempurna kejadiannya baik secara fisik maupun psikis. Sehubungan dengan kejadian manusia, Allah SWT berfirman dalam surat QS. al-Hajj (22): 4
ث فَ ِإََا خَهَقۡ َُٰكُى يٍِ ذُسَابٗ ثُىَ يٍِ َُطۡفَحٗ ُث َى ِ ٍۡ ٱنۡ َثع َ َِٰٓي َأيَُٓا ٱنَُاضُ إٌِ كُُرُىۡ فِي َزيۡةٗ ي غيۡ ِس يُخََهقَحٗ نِ ُثَِيٍَ َنكُىۡۚ ََُٔ ِق ُس فِي ٱنۡأَزۡحَا ِو يَا َ َٔ ٗخَهقَح َ يٍِۡ عََهقَحٗ ُثىَ يٍِ يُضۡغَحٗ ُي ّٰٗس ّىٖٗ ثُ َى َُخۡ ِسخُكُىۡ طِفۡمٗا ثُ َى نِ َرثۡهُغُٕٓاْ أَشُ َد ُكىۡۖ َٔيُِكُى يٍَ يُ َرَٕ َف َ َُشَآ ُء إَِنٰٗٓ أَخَمٗ ي ض َ ۡشيۡٔٗاۚ َٔذَسَٖ ٱنۡ َأز َ ٗعهۡى ِ ِل ٱنۡعًُُ ِس نِ َكيۡهَا َيعَۡهىَ ِيٍۢ َتعۡد ِ َٔيُِكُى يٍَ ُيسَ ُّد ِإَنٰٗٓ أَزۡ َذ 5
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Juz 5, penerjemah Abdurrahim, dkk (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 640. 6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, penerjemah, Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 20011), h. 485. 7 Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 934.
15
(انحح٠ ٗج َتِٓيح ِۢ ۡٔعهَيَۡٓا ٱنۡ ًَآءَ ٱْۡرَصَخۡ َٔ َزتَدۡ َٔأََۢثَرَدۡ يٍِ كُمِ َش َ َْايِدَجٗ فَإِذَٓا أََصَنَُۡا )٠ :44/ Artinya: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia yang tidak ada kelainan dari kejadiannya sama dengan laki-laki normal atau perempuan normal maka orang tersebut adalah (ٗ)يُخَهَقَح. Akan tetapi, jika ada kelainan dan tidak sama dengan lakiَ َٔ laki atau perempuan yang normal maka ia adalah manusia yang tidak sempurna ( ِغيۡس ٗ )يُخَهَقَحyang disebut khunsa.8 Ali Akbar dalam kitabnya penggantian kelamin, menjelaskan tentang penyebab adanya kelainan kelamin itu karena tidak seimbangnya hormon-hormon yang terdapat dalam tubuh manusia. Walaupun kelenjar laki-laki menghasilkan hormon laki-laki, tetapi juga dalam tubuhnya terdapat hormon-hormon perempuan. Begitu pula pada perempuan, namun di dalam tubuhnya terdapat hormon laki-laki.9 2. Macam-macam Khunsa
8
Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), h. 199. 9 Ibid., h. 200.
16
Menurut Fuqoha khunsa terbagi menjadi dua macam: a. Khunsa Ghairu Musykil (Khunsa yang Tidak Sulit/ Jelas) Yaitu khunsa yang telah dapat dihukumi laki-laki atau perempuan dengan memperhatikan tanda-tandanya. Tanda-tandanya adalah dengan memperhatikan kepada alat kelamin itu sendiri maupun kepada sifat-sifatnya, apakah mirip kepada perempuan atau laki-laki. Amir Syarifuddin mengatakan bahwa khunsa ghairu musykil adalah khunsa yang melalui alat kelamin yang ada dapat dipastikan jenis kelaminnya. Bila melalui tanda yang ada dipastikan ia adalah laki-laki, maka alat kelamin yang satu lagi disebut alat kelamin tambahan, begitu pula sebaliknya.10 b. Khunsa Musykil (Banci yang Sulit Ditentukan) Khunsa Musykil yaitu manusia yang dalam bentuk tubuhnya ada keganjilan, tidak dapat diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, karena tidak ada tandatanda yang menunjukkan kelelakiannya atau samar-samar tanda-tanda itu dan tidak dapat ditarjihkan.11 Menurut Wahbah Zuhaili, khunsa musykil adalah orang yang keadaannya sulit ditentukan, tidak diketahui kelelakiannya atau keperempuanannya. Seperti dia kencing dari alat laki-laki dan perempuan atau tampak jenggot dan payudara dalam waktu yang sama. Biasanya dengan kemajuan kedokteran modern kemusykilan itu diakhiri dengan operasi yang menyebabkan kejelasan keadaannya.12
10
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 140. Hasybi Al-Shidiqy, Fiqh al-Mawarits (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 280. 12 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, h. 485. 11
17
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, khunsa musykil dapat diketahui kriterianya, yaitu dapat diperiksa dengan ilmu dan peralatan kedokteran, apakah mereka memiliki sperma atau ovum. Jika mereka sudah jelas dan pasti termasuk golongan mana maka hak dan kewajiban mereka sama dengan muslim atau muslimah.13 3. Cara Menentukan Status Khunsa Dalam menetapkan seorang khunsa itu sebagai laki-laki atau perempuan, ulama klasik menempuh dengan dua acara. Yaitu: a. Meneliti Tempat Keluarnya Air Seni Cara ini merupakan cara yang disepakati para ulama dalam menetapkan tanda untuk membedakan jenis kelamin khunsa tersebut.14 Apabila khunsa kencing melalui zakar maka ia dianggap sebagai laki-laki. Dan apabila khunsa ini kencing melalui vagina maka ia dianggap sebagai perempuan.15 Dalil yang digunakan untuk menetapkan laki-laki atau perempuannya seorang khunsa menurut cara pertama ini adalah sabda Rasulullah SAW yang driwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasul pernah ditanya tentang kewarisan seorang anak khunsa. ketika itu beliau sedang menimang anak khunsa Anshar. Sabdanya: ) (زٔاِ اتٍ عثاض.ُُيَٕزُِثْٕا يٍِْ حَ ْيثُ يَ ُثْٕل 13
Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, h. 200. Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975), h. 483 15 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 140 14
18
Artinya: “berilah warisan anak khunsa ini (seperti bagian anak laki-laki atau perempuan) berdasarkan awal pertama keluar kencingnya”. (HR. Ibnu Abbas).16 Selanjutnya, apabila khunsa kencing melalui kedua alat kelamin tersebut, maka harus diteliti dari alat kelamin mana yang lebih dulu keluar air seninya. Jika dia kencing dengan alat kelamin laki-laki, maka dia laki-laki. Jika dia kencing dengan alat kelamin perempuan, maka dia perempuan.17 Jika masih belum diketahui statusnya dengan cara tersebut, maka ia khunsa musykil. b. Meneliti Tanda-tanda Kedewasaannya Jika penelitian alat kelamin yang dipergunakan membuang air kecil tidak berhasil, maka dapat ditempuh jalan yang lain, yaitu meneliti ciri-ciri kedewasaan bagi si khunsa. Ciri-ciri yang spesifik bagi laki-laki antara lain: tumbuh janggut dan kumis, suaranya berubah menjadi besar, keluarnya sperma lewat zakar, timbul jakun di lehernya, dan adanya kecenderungan mendekati wanita. Sedangkan ciri-ciri yang spesifik bagi perempuan antara lain ialah: membesarnya buah dada, mensturasi dan adanya kecenderungan mendekati laki-laki. Dengan diketahui ciri-ciri spesifik tersebut, mudahlah kiranya seorang khunsa itu dipastikan jenisnya, sehinga karenanya tidak menimbulkan kesulitan untuk menentukan pusakanya.18 Khunsa yang dapat ditentukan statusnya berdasarkan tanda-tanda atau caracara tersebut di atas dinamakan khunsa ghairu musykil. Sedangkan khunsa yang sulit
16
Ahmad bin Husein bin Ali bin Musa bin Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi alKubro, juz 6, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Daar al-Baz, 1994), h. 261. 17 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 641. 18 Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 484.
19
ditetapkan jenisnya baik dengan cara meneliti alat kelamin yang dipergunakan kencing, ciri-ciri khusus, keterangan dokter, maupun pengakuan sendiri, dinamakan khunsa musykil. Kesulitan dalam menentukan jenisnya berakibat pada kesulitan dalam menetapkan pembagian warisannya.19 4. Khunsa Dalam Sejarah Ada suatu riwayat bahwa Amir bin al-Dzarb adalah seorang ahli hikmah bangsa Arab pada masa jahiliyah. Lalu orang-orang dari kaumnya datang kepadanya. Mereka bertanya tentang kejadian seorang perempuan yang melahirkan anak laki-laki yang mempunyai dua alat kelamin. Ia bingung dan berkata: “Ia adalah seorang lakilaki dan perempuan”. Spontan orang-orang tidak menerima pendapatnya. Lalu ia masuk ke rumahnya untuk beristirahat, tetapi ia gelisah di atas tempat tidurnya, tidak bisa tidur. Ia mempunyai pelayan perempuan yang terkenal dengan kecerdasan dan pendapatnya yang bagus. Pelayan itu menghampirinya dan bertanya apa sebabnya ia tidak bisa tidur dan gelisah. Kemudian Amir menceritakan masalahnya kepada pelayannya. Lalu pelayan itu berkata: “tinggalkanlah keadaan ini, dan tetapkanlah berdasarkan tempat keluarnya air seni”. Lantas Amir menganggap baik pendapat itu, segeralah ia keluar menuju kaumnya, lalu mengatakan: “Perhatikan, apabila anak ini kencing dengan melalui zakarnya maka ia adalah anak laki-laki. Apabila ia kencing
19
377.
Muchit A. Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, h.
20
melalui vaginanya maka ia perempuan”. Maka kaumnya menganggap baik pendapat itu. Dan pendapat ini menjadi ketetapan hukum pada masa jahiliyah.20 Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali al-Baihaqi dalam kitabnya Sunan alKubro menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad SAW sudah ada khunsa yang dikenal namanya antara lain Hita, Matik, dan Hinaba. khunsa di zaman Nabi SAW ada yang memang asli dan ada yang buat-buatan. khunsa asli pada umumnya tingkah lakunya tidak kelihatan membahayakan kepada kaum wanita, dan oleh sebab itu istri-istri Nabi menganggap mereka sebagai ghairu ulil irbah (tidak punya syahwat). Namun meski begitu Nabi melarang mereka bebas masuk dan bergaul dengan kaum wanita dan antara mereka harus ada hijab/ tabir. Bagi mereka yang tidak mematuhi, oleh Nabi dilarang masuk dan tidak boleh kembali kecuali sekali dalam seminggu yaitu setiap hari sabtu untuk menerima jatah makan, selebihnya mereka hidup di Badiyah (perkampungan terpencil).21 Di dalam kitab Sunan alKubro juga dijelaskan bahwa khunsa pun ada pada zaman khulafa al-rasyidin.22 B. Tinjauan Khunsa menurut Medis 1. Hermafrodit Dalam dunia medis khunsa dikenal dengan hermafrodit. Hermafrodit menurut biologi adalah individu yang memiliki dua alat atau organ kelamin, yaitu jantan dan 20
Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, Penerjemah Sarmin Syukur, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 234. 21 Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali al-Baihaqi, Sunan Al-Kubro, Juz 8, (Beirut: Dar Shadir, t.th), h. 224. 22 Ibid., h. 261.
21
betina.23 Hermafrodit dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bio makhluk (manusia, hewan, tumbuhan) yang berkelamin dua jenis, jantan dan betina sekaligus.24 Hermafrodit terjadi karena penderita memiliki dua jenis kromosom, XX dan XY. Seorang laki-laki mempunyai dua jenis kromosom pada sel sperma yaitu kromosom X dan kromosom Y (selanjutnya terkenal dengan nama kromosom XY), sedangkan seorang perempuan mempunyai kromosom XX (keduanya kromosom X).25 Jadi, hermafrodit adalah suatu kelainan jenis kelamin yang dialami oleh manusia yang terjadi karena adanya jaringan kelamin pria dan wanita serta memiliki dua jenis kromosom sekaligus, XX dan XY. Dalam keadaan seperti ini, akan menyebabkan ambiguitas genital atau keragu-raguan jenis kelamin pada suatu individu. Seorang pria/laki-laki mempunyai dua jenis kromosom pada sel sperma yaitu kromosom X dan kromosom Y (selanjutnya terkenal dengan nama kromosom XY), sedangkan seorang wanita mempunyai kromosom XX (keduanya kromosom X). 2. Macam-macam Hermafrodit
23
Wildan Yatim, Kamus Biologi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 445. Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 397. 25 http://muhmiftah92.blogspot.com/2013/03/hermafroditisme.html, Artikel diakses pada 23 Februari 2015. 24
22
Menurut kalangan medis khunsa (waria) pun terbagi menjadi dua, yaitu waria jasmaniyah dan waria kejiwaan. a. Waria (banci) Jasmaniyah Hermafrodit ditinjau dari segi bentuknya dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Hermaphrodite Complexus, yaitu seorang manusia yang mempunyai kedua alat kelamin dan kelanjar laki-laki maupun perempuan. Waria semacam ini di kalangan fuqoha dikenal sebagai khunsa musykil. 2. Pseudo Hermaphrodite, yaitu manusia yang mempunyai alat kelamin tidak berkembang dengan baik. Seperti penis kecil bagi laki-laki atau klirotisnya membesar bagi wanita. Banci semacam ini dilihat dari sudut alat kelamin yang kelihatan.26 Pseudo Hermaphrodite terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Pseudo Hermaprodite laki-laki, yaitu individu yang secara genetik adalah pria dan memiliki gonad pria (testis), tetapi memiliki ciri morfologis wanita yang khas secara signifikan.
26
Siti Maemah, “Operasi Penyempurnaan dan Penggantian Alat Kelamin Dalam Tinjauan Hukum Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Status Perkawinan dan Kewarisannya”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 23.
23
2. Pseudo Hermaprodite perempuan, yaitu individu yang secara genetik wanita dan memiliki gonad wanita (ovarium), tetapi memiliki ciri kelamin sekunder pria yang signifikan.27 b. Waria (banci) Kejiwaan Waria kejiwaan adalah kelompok banci karena awak tubuhnya, bentuk tubuhnya beserta kelenjar kelaminnya berlawanan dengan jiwanya. Waria (banci) kejiwaan terbagi atas tiga kelompok, yaitu: 1. Homoseksual : adalah hubungan seksual antara orang yang sejenis kelaminnya, baik sesama pria maupun wanita. Namun istilah homoseks ini digunakan untuk pria. Homoseks merupakan penyimpangan dari fitrah manusia karena secara fitrah manusia cenderung untuk melakukan hubungan biologis secara heteroseks, yaitu hubungan seks antara wanita dan pria. Homoseksual merupakan salah satu bentuk kelainan seksual atau tidak normal28 2. Tranvestite : adalah laki-laki dengan alat kelamin sempurna, namun ia mempunyai kesenangan memakai pakaian perempuan. Dengan memakai
27
Newman Dorland, Kamus Kedokteran Dorland, Penerjemah Alifa Dimanti, dkk (Jakarta: EGC Medical Publisher, 2012), h. 1795. 28 Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 57.
24
pakaian perempuan itu dapat membangkitkan nafsu seksnya, demikian juga sebaliknya.29 3. Transeksual : adalah orang yang identitas gendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya secara biologis. Mereka merasa terperangkap di tubuh yang salah, misalnya, seseorang yang terlahir sebagai laki-laki, tetapi merasa bahwa dirinya adalah Perempuan dan ingin diidentifikasi sebagai Perempuan, demikian juga sebaliknya.30 3. Cara Menentukan Status kelamin menurut medis Medis mengatakan bahwa penentu jenis kelamin bukan hanya melihat dari bentuk kelamin, tetapi ditentukan berdasarkan susunan kromosom dan gonad. Jika gonad adalah testis dan ada kromosom Y dalam sel, status orang tersebut harus dinyatakan pria. Jika tidak ada testis dan kromosom Y, status orang tersebut dinyatakan sebagai wanita. Bagian terkecil manusia adalah sel. Di dalam sel terdapat inti sel yang mengandung kromosom berjumlah 46. Laki-laki dan wanita normal mempunyai jumlah kromosom yang sama, hanya penulisan simbolnya tidak sama yaitu 46 XY untuk laki-laki, dan 46 XX untuk wanita. Simbol ini artinya laki-laki dan perempuan mempunyai jumlah kromosom 46 dengan 44 kromosom bukan penanda kelamin
29
Siti Maemah, “Operasi Penyempurnaan dan Penggantian Alat Kelamin Dalam Tinjauan Hukum Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Status Perkawinan dan Kewarisannya”, h. 24. 30 http://12121rrs.blogspot.com/2013/06/perbedaan-transgender-dan-transseksual.html, artikel diakses pada 24 Februari 2015
25
(autosom) dan 2 kromosom seks (kromosom kelamin) yaitu satu kromosom X dan Y pada laki-laki dan kromosom X pada wanita.31 Kedua kromosom kelamin mempunyai dua lengan yang ukuran panjangnya sama, lengan yang satu lagi pada kromosom Y jauh lebih pendek, dan kandungan gennya pun berbeda. Menurut penelitian pada bagian ujung lengan pendek kromosom Y itulah terkandung gen penumbuhan buah pelir yang disebut testis determining factor/ TDF. Jika dalam sel-sel calon gonad janin ada kromosom Y, calon gonad ini tumbuh menjadi buah pelir (testis). Testis janin ini akan memproduksi dua macam hormon, yaitu androgen (lesiosieron), yang mendorong pertumbuhan bakal saluran kelamin menjadi saluran buah pelir, kelenjar mani, dan kelamin pria, dan sejenis hormon dan senyawa glikoprotein yang berperan sebagai penekan pertumbuhan jaringan calon saluran menjadi saluran telur, rahim dan kelamin luar wanita. Jika kromosom Y tidak ada, calon gonad tumbuh menjadi indung telur (ovarium), disusul dengan tumbuh saluran kelamin dari calon saluran serta kelamin luar. Jelaslah kehadiran kromosom Y dan satu testis merupakan petunjuk utama menetapkan status kelamin seseorang.32 4. Hermaphrodite Dalam Sejarah
31
Ahmad Muhlasul, “Khunsa Dalam Tinjauan Fikih dan Medis”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan KaliJaga Yogyagarta, 2009.), h. 10. 32 Siti Maemah, “Operasi Penyempurnaan dan Penggantian Alat Kelamin Dalam Tinjauan Hukum Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Status Perkawinan dan Kewarisannya”, h. 27.
26
Berikut adalah beberapa sejarah yang berkaitan dengan hermaprodite, pada tahun 1968 telah lahir seorang bayi perempuan yang diberi nama Caroline Kinsey. Ia dilahirkan di Bull Hill Hospital, Darwen, Lancashire. Caroline merupakan anak dari pasangan Monica dan Rudolph Baker. Tetapi saat melahirkan orang tuanya sangat terkejut, ketika perawat mengatakan bahwa bayi perempuannya juga memiliki organ laki-laki. Ia terlahir sebagai hermaprodit dengan memiliki dua organ kelamin. Maka ketika itu orang tua dan dokternya sepakat untuk mengoperasi vaginanya dan membuatnya menjadi seorang laki-laki saja. Dengan dalih mengoperasi vagina lebih mudah ketimbang mengoperasi zakar. Operasi berhasil dan bayi tersebut diubah nama menjadi Carl John Baker. Dokter yang mengoperasi vaginanya menyarankan kepada orang tua Caroline agar tidak memberitahu rahasia tersebut. Keluarga pun memperlakukan caroline sebagai laki-laki sejak saat itu.33 Caroline Kinsey tak mengetahui bahwa dirinya mengalami Disorder of Sex Development (kekacauan pada alat kelamin) saat lahir, karena orang tuanya tak pernah jujur. Tapi dalam perkembangannya, Caroline merasakan ada yang berbeda dengan tubuhnya. Meski memiliki organ kelamin laki-laki, ia merasa tak sama dengan teman laki-laki sebayanya. Hingga saat berusia 19 tahun ia baru tahu kebenarannya, bahwa ia terlahir dengan dua organ kelamin. Karena rahasia itu, ia pun harus hidup sebagai pria hingga lebih dari 40 tahun. Bahkan ia sempat menikah dengan seorang wanita tapi pernikahannya harus gagal di 33
http://health.detik.com/read/2012/02/28/093942/1853161/1202/2/perempuan-hermafrodithidup-sebagai-laki-laki-selama-41-tahun, Artikel diakses pada 23 Februari 2015
27
tengah jalan. Setelah mengalami kegagalan pernikahan dan depresi, Caroline akhirnya memutuskan untuk mengenakan pakaian layaknya seorang perempuan. Tidak cukup itu, ia pun ingin menjalani operasi kelamin untuk bisa menjadi perempuan tulen.34 Kondisi hermafrodit atau interseks memiliki beberapa abnormalitas sehingga menyebabkan sexual ambiguity (ambigu seksual). Kondisi ini juga disebut dengan XX male syndrome. Orang dengan kondisi ini bisa merupakan laki-laki, tetapi faktanya juga memiliki genetik perempuan, atau sebaliknya. Terkadang, beberapa orang interseks juga memproduksi sperma dan sel telur. Banyak orang tua yang memutuskan untuk memilih salah satu jenis kelamin setelah sang anak lahir, beberapa sukses hingga dewasa namun tak jarang ada yang gagal, salah satunya adalah Caroline. Di Indonesia pun terdapat orang yang mengalami kelamin ganda, salah satunya yang terjadi di Purwekerto Jawa Tengah. Pengadilan Negeri Purwekerto, Kabupaten Banyumas pada hari Selasa (13/1) menggelar sidang permohonan perubahan jenis kelamin seorang anak bernama Solihatunnisa dari perempuan menjadi laki-laki, dan permohonan penggantian nama Solihatunnisa menjadi Mohammad Solehan. Permohonan pergantian kelamin tersebut diajukan oleh
34
Ibid.
28
orangtua Solihatunnisa, Sunarto dan Santiasih warga kelurahan Karangklesem, Kecamatan Purwokerto Selatan.35 Sidang yang dipimpin oleh Hakim Dwi Winarko dengan agenda pemeriksaan permohonan dan mendengarkan keterangan saksi. Dalam sidang tersebut, kuasa hukum pemohon, Joko Sutanto menghadirkan tiga saksi dari enam saksi yang direncanakan, yakni Bidan Nunung, Ketua RT Iswan Sukardi, dan kepala Kelurahan Karangklesem, Prabowo Santoso. Tiga saksi tersebut menyaksikan perkembangan Solihatunnisa sejak lahir hingga saat ini, pada waktu itu. Bidan Nunung yang membantu persalinan Siti Santiasih, mengatakan, “saat Solihatunnisa lahir diketahui berjenis kelamin perempuan”. “Namun 10 hari kemudian, dukun bayi yang membantu persalinan melihat kemunculan alat kelamin laki-laki pada bayi tersebut”, katanya. Ketua RT Iswan Sukardi mengatakan. “saya mengenal Solihatunnisa ini sebagai anak laki-laki”. Hal yang sama juga disampaikan kepala Kelurahan Karangklesem, Prabowo Santosa.36 Aan (panggilan Solihatunnisa) yang lahir pada 19 September 2002, diketahui berkelamin perempuan, namun dalam perkembangannya Aan memiliki dua alat kelamin sehingga dilakukan pemeriksaan secara medis di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta. Menurut Budi Setiawan saksi ahli dari kedokteran mengatakan, kasus yang menimpa Aan merupakan kasus dengan perbandingan 1 : 1.000, yang
35
http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/08/12/24/22219-ganti-kelamindisidangkan-pn-purwokerto, artikel diakses pada 7 April 2015. 36 Ibid.,
29
disebabkan embrio bayi yang tidak terbentuk sempurna saat dalam kandungan. “Apalagi dia terlahir prematur”, katanya. Selain itu kromosom Aan adalah “XY” dan ia tidak memiliki rahim. Suwarti, saksi ahli dari psikologi mengatakan, berdasarkan observasi, Aan memiliki perilaku yang mengarah kepada sifat laki-laki dengan kegemaran bermain sepak bola dan suka ikut memancing dengan ayahnya. Menurut psikolog, jenis kelamin Aan harus segera diputuskan agar tidak mengganggu kejiwaannya. Sementara saksi ahli dari MUI Kabupaten Banyumas, Attabiq Yusuf mengatakan, agama tidak mengenal konsepsi “banci” sehingga jenis kelamin Aan yang secara fisik laki-laki harus dipertegas agar hak dan kewajibannya jelas.37 Setelah mempelajari fakta-fakta yang disajikan kuasa hukum pemohon dan mendengarkan keterangan saksi, hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Dwi Winarko mengabulkan permohonan dari orangtua Aan. Hakim Pengadilan Negeri memutuskan jenis kelamin anaknya adalah laki-laki. Hakim juga memutuskan nama anak tersebut berubah menjadi Mohammad Solehan. Pemerintah Kabupaten Banyumas pun turut memberi bantuan kepada orangtua Aan yang tergolong tidak mampu untuk melakukan operasi bagi Aan untuk pertama kalinya pada tahun 2004, yakni khitan yang sebelumnya selama dua tahun telah dilakukan penyuntikan hormon penumbuh alat vital laki-laki sekali dalam seminggu. Operasi kedua yang dijalani Aan dilaksanakan Maret 2008 yang ditujukan untuk menutup vagina.38
37
http://www.antarantb.com/print/524/namaku-mohammad-solehan-bukan-solihatunnisa, artikel diakses pada 7 April 2015. 38 Ibid.,
30
Dari paparan ini dapat diketahui bahwa alat kelamin ganda tidak hanya bawaan dari lahir, akan tetapi alat kelamin ganda juga dapat muncul pada seseorang yang awalnya hanya memiliki satu kelamin, lalu tumbuh alat kelamin kedua ketika ia dewasa. Demikianlah beberapa sejarah dalam dunia Islam dan medis yang menyimpulkan bahwa khunsa sudah ada sejak zaman jahiliyah, zaman Nabi, zaman Khulafa al-Rasyidin, dan tidak dipungkiri pada zaman ini pun khunsa akan tetap ada. Maka dibutuhkan penjelasan hukum untuk mereka di hadapan syari’at. Khususnya dalam masalah waris yang akan dibahas oleh penulis. C. Hukum Kewarisan Islam 1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam Dalam berbagai litelatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawarits, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. a. Fiqh Mawarits Fiqh mawarits adalah kata yang berasal dari fiqh dan mawarits. Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguh-sungguh. Menurut istilah, fiqh ialah suatu ilmu yang menerangkan segala hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah dipetik dari dalil-dalilnya yang jelas (tafshili). Maka dia
31
melengkapi hukum-hukum yang dipahami para mujtahid dengan jalan ijtihad dan hukum yang tidak diperlukan ijtihad, seperti hukum yang dinashkan dalam al-Qur’an, al-Sunnah, dan masalah ijma‟.39 b. Ilmu Faraidh Fiqh mawaris kadang-kadang disebut juga dengan istilah faraidh bentuk jamak dari kata faridhah, artinya kewajiban atau bagian tertentu. Ulama faradhiyyun (ahli waris) mengartikan lafal faraidh semakna dengan mafrudhah, yakni bagian yang telah ditentukan atau bagian yang pasti. Sedangkan ilmu faraidh menurut istilah adalah, ilmu yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.40 Di dalam ketentuan warisan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an lebih banyak yang ditentukan dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraidh.41 c. Hukum Kewarisan Dalam litelatur hukum di Indonesia digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab, yaitu waris, warisan, pusaka, dan 39
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 5. 40 Ibid., h. 8. 41 Ibid., h. 9.
32
hukum kewarisan. Yang menggunakan nama hukum waris, memandang kepada orang yang berhak menererima harta warisan, yaitu menjadi subjek dari hukum ini. Adapun yang menggunakan nama warisan memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum ini. Di dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan mengambil kata waris dengan dibubuhi awalan ke dan akhiran an. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang, pewaris sebagai subjek dan dapat berarti pula proses. Dalam arti yang pertama mengandung makna hal ihwal orang yang menerima warisan dan dalam arti yang kedua mengandung makna hal ihwal peralihan harta dari yang sudah mati kepada yang masih hidup dan dinyatakan berhak menurut hukum yang diyakini dan diakui berlaku dan mengikat untuk semua orang yang beragama Islam.42 2. Rukun dan Syarat-syarat kewarisan a. Rukun-rukun Waris Rukun waris ada tiga, yaitu:43 1. Muwarrits (orang yang meninggalkan harta waris) 2. Waris (si penerima waris) 3. Mauruts (benda yang diwariskan / harta peninggalan)
42 43
Ibid., h. 9. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), h. 22.
33
3. Sebab-sebab Mendapat Kewarisan Hal-hal yang menyebabkan seseorang berhak menerima warisan ada tiga, yaitu: a. Hubungan Kekerabatan (nasab) Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut: 1. Furu‟, yaitu anak turun (cabang) dari si mayit. 2. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan adanya si mayit. 3. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mayit melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.44 b. Pernikahan Yaitu akad yang sah, yang terjadi di antara suami isteri, sekalipun sesudah pernikahan itu belum terjadi persetubuhan atau berduaan di tempat sunyi (khalwat). Mengenai nikah fasid atau nikah batal, tidak bisa menyebabkan hak mewaris.45 c. Hubungan Al-Wala‟
44
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 73. 45 Ali Al-Shabuni, Hukum Waris Islam, h. 55.
34
Hubungan wala’ terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak yang dengan sukarela memerdekakan budaknya. Dengan demikian, pemilik budak tersebut mengubah status orang yang semula tidak cakap bertindak, menjadi cakap bertindak untuk mengurusi, memiliki dan mengadakan transaksi terhadap harta bendanya sendiri. Di samping itu, cakap melakukan tindakan hukum sebagai imbalan atas kenikmatan yang telah dihadiahkan kepada budaknya sebagai perangsang agar orangorang pada waktu itu memerdekakan budak.46 4. Penghalang Mendapat Kewarisan Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena ada sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak waris. Halangan mendapatkan warisan ada tiga, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dalam kitab alUmm berkata: warisan tidak diterima oleh seseorang yang disebutkan sebagai ahli waris, sehingga 1. agama yang ia peluk sama dengan agama orang yang meninggal dunia, 2. merdeka, dan 3. terbebas dari tuduhan sebagai pembunuh orang yang mewariskan. Jika terlepas dari tiga hal di atas, maka ia berhak mendapat warisan. Namun jika tidak, maka ia tidak berhak mendapat warisan.47 5. Jalur-jalur Keturunan Khunsa
46
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 74. 47 Abdullah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, penerjemah Imron Rosadi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), h. 179.
35
Khunsa memiliki jalur kekerabatan melalui al-bunuwwah (garis keturunan anak), al-ukhuwwah (garis keturunan persaudaraan), al-„umumah (garis keturunan paman), dan al-idla‟ (hubungan langsung) dengan salah satu tersebut. Oleh karena itu, khunsa tidak bisa menjadi bapak, ibu, kakek, atau nenek. Sebab, jika dia menjadi bapak atau kakek, berarti dia adalah laki-laki dan jika dia menjadi ibu atau nenek, berarti dia adalah perempuan. Khunsa juga tidak bisa menjadi suami atau istri karena tidak sah pernikahan khunsa selama ia masih musykil atau belum diketahui jenis kelaminnya.48
48
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 394.
BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG WARIS KHUNSA
A. Biografi dan Metode Istinbat Hukum Imam Syafi‟i 1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan Imam Syafi‟I dilahirkan di kota Ghazzah, wilayah palestina pada jum‟at akhir bulan Rajab tahun 150 Hijriyah. Nasab imam Syafi‟i dari pihak bapak adalah, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi‟i bin Sa‟id bin „Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutholib bin Abd al-Manaf bin Qushay al-Quraisyiy. Abd alManaf bin Qushay kakek kesembilan dari Imam Syafi‟i adalah juga merupakan kakek keempat dari Nabi Muhammad SAW. Jadi nasab Imam Syafi‟i bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada abd al-Manaf.1 Adapun nasab dari ibunya adalah, Imam Syafi‟i bin Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, maka Imam Syafi‟i adalah cucu dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib khalifah keempat yang terkenal, dan merupakan menantu Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah ditemukan, bahwa Said bin Yazid, kakek Imam Syafi‟i yang kelima adalah Sahabat Nabi Muhammad SAW.2
1
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), h.
2
Ibid., 120.
120.
36
37
Imam Syafi‟i dilahirkan tepat pada malam wafatnya Imam Abu Hanifah. Oleh karena itu, setelah nama Imam Syafi‟i mulai terkenal, muncul ungkapan, “Telah tenggelam satu bintang dan muncul bintang lain”. Imam Syafi‟i lahir di tengahtengah keluarga miskin. Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil.3 Di Makkah kedua orang ibu dan anak ini hidup dalam keadaan miskin dan kekurangan, namun si anak mempunyai cita-cita yang tinggi untuk menuntut ilmu, sedang si ibu bercita-cita agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu si ibu bertekad akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai anaknya selama menuntut ilmu.4 Setelah dididik di Makkah, beliau dimasukkan ke Madrasah. Berkat usaha ibunya, beliau menghafal al-Qur‟an pada usia sembilan tahun. Kemudian Imam Syafi‟i melanjutkan belajarnya kepada majelis ulama besar di masjid al-Haram yang diasuh oleh dua ulama yang terkenal pada saat itu, yaitu Sufyan bin Uyaynah dan Muslim Khalid al-Zanji. Dari kedua ulama tersebut, beliau mulai mendalami ilmuilmu al-Qur‟an dan al-Hadis sekaligus menghafalnya.5 Ketika gurunya, Muslim bin Khalid memperhatikan kemajuan pesat pada Syafi‟i dan menganggapnya telah cukup menguasai persoalan-persoalan agama, beliau diizinkan untuk memberikan fatwa kepada masyarakat, padahal saat itu umur beliau masih lima belas tahun. Dan
3
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, Penerjemah Abdullah Zakiyah al-Kaff, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 17 4 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta: Erlangga, 1991), h. 88. 5 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, h. 17.
38
wewenang yang seperti itu hampir tidak pernah diberikan kepada orang seusia beliau.6 Ketika beliau mengetahui bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yang terkenal dan ahli dalam ilmu hadis, yaitu Imam Malik bin Anas. Maka Imam Syafi‟i berniat untuk belajar kepadanya. Sebelum pergi ke Madinah beliau sudah lebih dahulu menghafal kitab al-Muwattha‟ susunan Imam Malik. Kemudian beliau berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa surat pengantar dari gubernur Makkah dan dari gurunya, Muslim bin Khalid.7 Sesampainya di Madinah beliau langsung menemui Imam Malik dan menyampaikan surat yang dibawanya kepada Imam Malik, setelah surat itu dibaca oleh Imam Malik, terjadilah perbincangan antara Imam Malik dan Imam Syafi‟: “siapa namamu?”, Imam Syafi‟i menjawab: “saya Muhammad bin Idris”. Imam Malik berkata: “hai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhi kemaksiatan. Saya melihat akan terjadi sesuatu padamu”. “baiklah, besok datanglah kembali, dan akan saya suruh seseorang membacakan al-Muwattha‟ kepadamu” sambung Imam Malik. Imam Syafi‟i menjawab: “tak perlu dicarikan orang lain karena saya sudah menghafal kitab al-Muwattha‟ itu”. Imam Malik menjawab: “bacalah!”. Imam Syafi‟i membaca membaca kitab al-Muwattha‟ yang didengar oleh Imam Malik dengan
6 7
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, h. 88. Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, h. 18.
39
seksama dan disana-sini membetulkan hafalan Imam Syafi‟i yang lancar itu.8 Demikianlah maka Imam Syafi‟i menjadi murid Imam Malik. Ia menjadi murid yang disayang oleh gurunya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap musim haji para jamaah setelah melaksanakan manasik haji, mereka berziarah ke makam Rasulullah SAW, dan melakukan shalat di masjid Nabawi sekaligus mengikuti pengajian kitab alMuwattha‟ yang diasuh oleh Imam Malik. Sejak Imam Syafi‟i berguru kepada beliau, Imam Syafi‟i sering ditugasi untuk mendiktekan kitab al-Muwattha‟ kepada para jama‟ah, bahkan menggantikan Imam Malik bila Imam Malik sedang berhalangan mengajar. Melalui media inilah, Imam Syafi‟i mulai dikenal luas. Inilah yang mendorong beliau untuk mengadakan perlawatan ke Irak, Yaman, Mesir dan negara lain di kemudian harinya.9 Imam Syafi‟i mendengar bahwa di Baghdad dan Kufah terdapat banyak sekali ulama-ulama murid dari Imam Abu hanifah, di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, sehingga tertarik hati beliau untuk mengunjungi Irak. Hal tersebut disampaikan kepada gurunya, Imam Malik. Imam Malik menyetujuinya dan berangkatlah beliau ke baghdad dengan bekal yang diberikan Imam Malik sebesar 50 dinar emas.10
8
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995), h. 23. 9 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, h. 18. 10 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟i, h. 22.
40
Sesampainya di Kufah beliau menemui ulama-ulama sahabat Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Selama di Kufah Imam Syafi‟i singgah di rumah Muhammad bin Hasan. Di Kufah Imam Syafi‟i mempelajari naskah-naskah, dan buku-buku yang berhubungan dengan Mazhab Hanafi. Dalam kesempatan ini Imam Syafi‟i dapat mengetahui aliran-aliran dan cara-cara fikih dalam mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Imam Syafi‟i dapat mendalami dan menganalisa caracara yang dipakai oleh kedua Imam itu. Dan hal ini akan membantu beliau dalam membangun fatwanya dalam Mazhab Syafi‟i.11 Imam Syafi‟I wafat pada malam jum‟at seusai sholat maghrib, yaitu pada hari akhir pada bulan Rajab. Beliau dimakamkan pada hari jum‟at di tahun 204 atau 819/ 820 M. Kuburannya di kota Kairo, dekat masjid Yazar.12 Inilah ringkasan daripada biografi dan latar belakang pendidikan Imam Syafi‟i. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi‟i mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang keilmuan agama seperti fikih, hadis, bahasa, dan sastra. Dan pengetahuan fikih yang ia miliki meliputi fikih Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.13 2. Karya-karya Imam Syafi‟i Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al-Qur‟an, bahwa karya Imam Syafi‟i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan bin Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam 11
Ibid., h. 23. Abdullah Muhammad bin Idris as-Syafi‟i, Ringkasan Kitab Al-Umm, h. 9. 13 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 122. 12
41
Syafi‟i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fikih, adab, dan lain-lain.14 Di antara buku-buku yang beliau karang, adalah:15 a. Kitab Al-Risalah, kitab ini adalah kitab yang pertama dikarang Imam Syafi‟i, dan dikarang pada usia beliau masih muda belia. Al-Risalah merupakan kitab ushul fikih yang pertama kali dikarang, yang sampai bukunya kepada generasi sekarang. Di dalamnya diterangkan pokokpokok pemikiran Imam Syafi‟i dalam menetapkan hukum. b. Kitab Al-Umm, kitab ini berisi masalah-masalah fikih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pemikiran beliau yang terdapat dalam alRisalah. Kitab al-Umm sebenarnya telah disusun oleh Imam Syafi‟i sejak beliau berada di Irak, yang dinamakan dengan Al-Hujjah atau Al-Mabsuth, kemudian setelah beliau berada di Mesir kitab ini direvisi dan diberi nama Al-Umm. c. Kitab Musnad, berisi hadis-hadis yang terdapat pada kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang merupakan karangan beliau atau karangan murid-murid beliau yag disandarkan kepada beliau. Diantaranya adalah Ibthal al-Ihtisan, Ahkam al-Qur‟an, Bayadh al-Fardh, Sifat al-Amr wa al-Nahyi,
14 15
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 133. Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, h. 95.
42
Ikhtilaf Imam al-Malik wa al-Syafi‟i, Ikhtilaf al-Iraqiyyin, ikhtilaf al-Hadits, Ikhtilaf Muhammad bin Husain, Fadhail Al-Quraisy, Kitab al-Sunan.16 3. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi‟i Adapun pegangan Imam Syafi‟I dalam menetapkan hukum adalah: a. Al-Qur‟an dan al- Sunnah Imam Syafi‟i memandang al-Qur‟an dan Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Qur‟an dan Sunnah, karena menurut beliau, sunnah itu menjelaskan al-Qur‟an, kecuali hadis ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur‟an dan hadis mutawatir. Di samping itu, karena al-Qur‟an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Qur‟an.17 Dalam pelaksanaannya, Imam Syafi‟i menempuh cara, apabila di dalam alQur‟an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadis mutawatir. Jika tidak dalam hadis mutawatir, ia menggunakan hadis ahad. Jika tidak diketemukan dalil yang dicari dalam kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan dzohir al-Qur‟an atau sunnah secara berturut. Walaupun berhujjah dengan hadis ahad, Imam Syafi‟i tidak menempatkannya sejajar dengan al-Qur‟an dan hadis mutawatir. Karena hanya al-Qur‟an dan hadis mutawatir sajalah yang qath‟iy ketetapannya, yang dikafirkan orang yang
16
Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, Ringkasan Kitab Al-Umm, penerjemah Imron Rosadi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), h. 9. 17 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 129.
43
mengingkarinya. imam Syafi'i dalam menerima hadis ahad mensyaratkan sebagai berikut:18 1. Perawinya terpercaya 2. Perawinya berakal 3. Perawinya kuat ingatan 4. Perawinya benar-benar mendengarkan sendiri hadis itu dari orang yang menyampaikan kepadanya 5. Perawi tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu
b. Ijma‟ Ijma‟ adalah kesepakatan ulama yang hidup pada suatu masa atas hukum satu kejadian.19 Imam Syafi‟i hanya mengambil ijma‟ sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma‟ sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma‟ sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara alasannya menolak ijma‟ sukuti, karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.20 c. Qiyas
18
Ibid., h. 129. Imam Haromain, Syarh Waraqat, Penerjemah Mujib al-Rahman, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2006), h. 65 20 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 130. 19
44
Qiyas menurut bahasa adalah mengukur atau memperkirakan sesuatu atas sesuatu yang lain untuk mengetahui persamaan diantara keduanya, seperti mengukur pakaian dengan lengan. Sedangkan menurut istilah, qiyas berarti mengembalikan hukum cabang (far') kepada hukum asal karena adanya alasan („illat) yang mempertemukan keduanya dalam hukum. Seperti menqiaskan beras terhadap gandum dalam harta ribawiy dengan titik temu berupa keduanya sama-sama makanan pokok.21 Imam Syafi‟i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Untuk itu Imam Syafi‟i pantas diakui dengan penuh penghargaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hukum dalam Islam sebagai satu disiplin ilmu, sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.22 Sebagai dalil penggunaan qiyas, Imam Syafi‟i mendasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Nisa (4) 59:
شيۡءٖ َف ُسّدُو ُه َ ه ءَامَ ُن ٓىاْ َأطِيعُىاْ ٱّلّلَوَ َوَأطِيعُىاْ ٱّل َسسُىلَ َوأُ ْوّلِي ٱّلَۡأمۡسِ مِن ُكمۡۖ فَئِن تَنَٰ َزعُۡتمۡ فِي َ يََٰٓأ ُيهَا ٱَّلرِي (اّلنساء٩٥ ك خَيۡسٖ َوَأحۡسَهُ تَأۡوِيّلًا َ خسِۚ َٰذِّل ِ ِإّلَى ٱّلّلَ ِو وَٱّل َسسُىلِ إِن كُن ُتمۡ تُؤۡ ِمنُىنَ بِٲّلّلَوِ وَٱّلۡيَىۡمِ ٱّلۡٓأ )95٩٥/
21 22
Imam Haromain, Syarh Waraqat, Penerjemah Mujib al-Rahman, h. 73. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h., h. 131.
45
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Imam Syafi‟i menjelaskan, bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan RasulNya” itu ialah qiyaskanlah kepada salah satu dari al-Qur‟an dan Sunnah.23 Selain berdasarkan al-Qur‟an, Imam Syafi‟i juga berdasarkan kepada hadis Rasulullah SAW, yaitu ketika Rasulullah berdialog dengan Mu‟adz bin Jabal, ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur disana:
كَ ْيفَ تَ ْقضِي5 هلل عَّلَ ْيوِ وَسَّلَمَ ّلَمَا أَزَاّدَ أنْ يَ ْبعَجَ مُعَاذًا إِّلَى اّليَمَهِ قال ُ أَنَ زَسُ ْىلَ اّلّلّوِ صَّلَى ا َعسِضَ ّلَك ُ ل إِذَا ِ س ْى ُ سنَ ِة َز ُ فَ ِب5 ل َ ب اهللِ قَا ِ ج ْد فِي كِتَا ِ َ فَِئنْ ّلَ ْم ت5 َ أَ ْقضِي بِكِتَابِ اهللِ قَال5 َقَضَا ٌء قَال أَجْ َتهِ ُد5 ل َ سّلَم قَا َ عَّليْوِ َو َ هلل ُ صّلَى ا َ هلل ِ س ْىلِ ا ُ َ فَِئنْ ّلَمْ َتجِ ْد فِي سُنَةِ ز5 َسّلَ َم قَال َ عَّليْوِ َو َ هلل ُ صّلَى ا َ هلل ِ ا )وّلَا آّلُى (زواه ابىّداوّد َ َزأْيِي Artinya: “bahwasannya ketika Rasulullah SAW ingin mengutus Mu‟adz bin Jabal ke Yaman: Rasul berkata: “bagaimana caramu memutuskan perkara bila diajukan kepadamu?”. Mu‟adz menjawab, “saya putuskan berdasarkan al-Qur‟an”. Rasulullah bertanya lagi: “jika tidak engkau temukan dalam al-Qur‟an?”. Mu‟adz menjawab, “jika tidak ditemukan, maka dengan sunnah”. Rasulullah bertanya lagi: “jika tidak engkau temukan dalam sunnah?” Mu‟adz menjawab: “jika tidak ditemukan juga didalam sunnah maka saya berijtihad dengan pendapat saya dan tidak mengabaikan perkara tersebut”. (HR. Abu Daud). Kata أَجْتَهِدُ زَأْيِيdi atas, merupakan suatu usaha maksimal yang dilakukan mujtahid dalam rangka menetapkan hukum suatu kejadian, yang dalam istilah ahli ushul fikih disebut ijtihad. Menetapkan hukum dengan cara menganalogikan, adalah satu metode dalam berijtihad. Jadi ungkapan dalam hadis tersebut adalah termasuk
23
Ibid., h. 131. Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sajistani, Sunan Abi Daud, juz 3, (Beirut: Daar alKitab al-„Arabi, t.th), h. 330. 24
46
cara menetapkan hukum dengan qiyas, bahkan Imam Syafi‟i memberikan konotasi yang sama antara ijtihad dan qiyas. 4. Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Jenis Kelamin Khunsa Imam Syafi‟i berkata, khunsa adalah seorang yang memiliki zakar seperti laki-laki, dan vagina seperti perempuan. Atau ia tidak memiliki keduanya, namun ia hanya memiliki satu lubang yang berfungsi untuk buang air. Maka hal ini dapat membuat kesulitan dalam mengetahui jenis kelaminnya. Jika keadaannya seperti ini, maka dilihat dari segi urine-nya. jika ia kencing dari salah satu alat kelaminnya, maka hukumnya dapat diketahui. Jika ia kencing dari zakarnya maka ia laki-laki, dan alat kelamin satunya adalah tambahan. Jika ia kencing melalui vaginanya maka ia perempuan, dan alat kelamin satunya adalah tambahan.25 Jika khunsa kencing melalui dua alat kelamin itu secara bersamaan, maka hukum yang diberlakukan untuknya ditentukan berdasarkan kelamin yang mengeluarkan air seni lebih dahulu.26 Jika air seni keluar dari kelamin laki-laki dahulu, kemudian kelamin perempuan, dia adalah laki-laki. Namun, jika air seni keluar dari kelamin perempuan dahulu, kemudian laki-laki, dia adalah perempuan. Sebab, kelamin yang mengeluarkan air seni lebih dahulu menunjukkan bahwa kelamin itu adalah kelamin sebenarnya. Jika cara tersebut tidak membuahkan hasil,
25
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, juz 8, (Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1994), h. 168. 26 Abu Yahya Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz I, (Beirut: Daar al-Kutub al„Ilmiyyah, 2001), h. 174.
47
maka khunsa tersebut termasuk khunsa musykil, dan ditunggu kejelasannya hingga mencapai dewasa.27 Apabila khunsa telah mencapai dewasa dan terlihat ciri-ciri lelaki seperti janggut, memiliki kecenderungan suka kepada perempuan, mimpi keluar mani dari kelamin laki-laki, maka ia laki-laki. Karena tanda-tanda itu hanya dimiliki laki-laki. Namun, apabila yang kelihatan ciri-ciri perempuan seperti haid, tumbuhnya buah dada, hamil, maka ia adalah perempuan. Jika ciri-ciri yang dimilikinya berlawanan, misalnya memiliki jenggot dan payudara, maka orang itu tetap dikatakan khunsa musykil.28 5. Pendapat Imam Syafi‟i Tentang bagian yang Diperoleh Khunsa Sebagai Ahli Waris a. Bagian yang Diperoleh Khunsa Ghairu Musykil Untuk mengetahui bagian yang yang didapat oleh khunsa ghairu musykil adalah dengan melihat jalan keluar air seni. Jika ia kencing dengan alat kelamin lakilaki maka ia laki-laki, dan hukum yang diberlakukan untuknya disamakan dengan hukum warisan laki-laki. Jika ia kencing dengan alat kelamin perempuan maka ia perempuan, dan berlaku baginya bagian waris perempuan.29 Diriwayatkan dari Ibnu
27
Abu Abdillah Muhammad bin Abd al-Rahman al-Dimasyqi, Rahmat al-Ummah Fi alikhtilaf al-Aimmah, (Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1986), h. 205. 28 Ibid., h. 205. 29 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, h. 168.
48
Abbas, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang warisan khunsa. Beliau bersabda: ) (زواه ابه عباس.ُُيىَ ِزثُ مِهْ حَ ْيجُ يَ ُبىْل Artinya: “khunsa ini mewarisi berdasarkan awal pertama keluar kencingnya”. (HR. Ibnu Abbas).30 Apabila khunsa kencing melalui kedua alat kelaminnya, maka pendapat Imam Syafi‟i adalah, ditentukan berdasarkan kelamin yang mengeluarkan air seni terlebih dahulu. Jika air seni keluar dari kelamin laki-laki dahulu kemudian kelamin perempuan, maka ia adalah laki dan ia mewarisi berdasarkan warisannya laki-laki. Jika kelamin perempuan yang lebih dahulu mengeluarkan air seni, kemudian kelamin perempuan, maka ia adalah perempuan dan ia mewarisi berdasarkan warisannya perempuan.31 Apabila tidak diketahui yang mana yang mengeluarkan air seni terlebih dahulu, maka dia disebut khunsa musykil, yaitu khunsa yang sulit diketahui statusnya sampai dewasa. Apabila khunsa telah mencapai usia dewasa dan terlihat ciri-ciri lelaki seperti janggut, memiliki kecenderungan suka kepada perempuan, mimpi keluar mani dari kelamin laki-laki, maka ia adalah laki-laki, dan ia mewarisi layaknya warisan laki-laki. Namun, apabila yang kelihatan ciri-ciri perempuan seperti haid, tumbuhnya buah dada, hamil, maka ia adalah perempuan, maka ia mewarisi layaknya
30
Ahmad bin Husein bin Ali bin Musa bin Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi alKubro, h. 261. 31 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, h. 168.
49
warisan perempuan.32 Jika ciri-ciri yang dimilikinya berlawanan, misalnya memiliki jenggot dan payudara pada waktu yang bersamaan, maka orang itu tetap dikatakan khunsa musykil. Dan mewarisi berdasarkan warisan khunsa musykil sebagaimana di bawah ini. b. Bagian yang Diperoleh Khunsa Musykil Imam Syafi‟i berpendapat bahwa masing-masing dari ahli waris dan khunsa musykil diberikan bagiannya yang terkecil atau merugikan, karena ia adalah orang yang diyakini bernasab kepada setiap orang dari mereka. Sisanya disimpan sampai jelas keadaannya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dalam mazhab Syafi‟iyah. 33 Khunsa menurut pendapat yang kuat harus diberikan menurut perhitungan yang terkecil. Maka harus diperhatikan hak-hak warisannya dari kedua perkiraan sebagai laki-laki dan perempuan. Maksudnya, dibuat perkiraan baginya dua masalah. Pertama, perkiraan sebagai laki-laki. Kedua, perkiraan sebagai perempuan. Kemudian khunsa itu diberi bagian terkecil di antara dua masalah itu. Dan selisih di antara keduanya disimpan sampai jelas keadaannya, atau ahli waris berdamai, atau khnusa itu wafat, sehingga bagiannya dikembalikan kepada ahli warisnya. Pengertian memperlakukan khunsa dengan cara merugikannya adalah apabila ia mewarisi pada setiap keadaan, dan apabila ditakdirkan perempuan, bagian warisannya lebih sedikit, maka ia ditakdirkan perempuan. Jika ditakdirkan laki-laki 32
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Al-Dizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 394. 33 Ali al-Shabuni, Hukum Waris Islam, h. 235.
50
bagian warisannya lebih sedikit maka ia ditakdirkan laki-laki. Apabila dalam pentakdiran itu ia tidak mendapatkan warisan, maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga apabila salah satu ahli waris ada yang tidak mendapatkan apa-apa karena bersama khunsa yang ditakdirkan laki-laki atau perempuan itu, maka ia harus terhalang dari mendapatkan warisan. Demikianlah pendapat terkuat dalam mazhab Syafi‟iyah.34 B. Biografi dan Metode Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah 1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan Nama lengkap Abu Hanifah ialah Abu al-Nu‟man bin tsabit bin Zutha alTaimy. Ia berasal dari keturunan parsi, lahir di kota Kufah tahun 80 H bertepatan dengan 699 M dan wafat di baghdad tahun 150 H bertepatan dengan 767 M. Ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan masa awal dinasti Abbasiyah.35 Ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena ia mempunyai seorang putra bernama Hanifah, sehingga ia dikenal dengan Abu Hanifah atau dalam bahasa Indonesia berarti bapaknya si Hanifah. Menurut Yusuf Musa ia disebut Abu Hanifah karena ia selalu berteman dengan tinta, dan kata hanifah ( )حَنِيْفَةmenurut bahasa Arab
34 35
Ibid., h. 236. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 95.
51
berarti tinta. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang ia peroleh.36 Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira‟at, hadis, nahwu sastra, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Di antara ilmu-ilmu yang diminatinya ialah teologi, sehinga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim. 37 Selanjutnya, Abu hanifah menekuni ilmu fikih di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fikih yang cenderung rasional. Di Irak terdapat Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas‟ud (wafat 63 H/ 682 M). Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha‟i, lalu Hammad bin Sulaiman al-Ays‟ari (wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah seorang Imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari „Alqamah bin Qais dan alQadhi Syuriah, keduanya adalah tokoh dan pakar fikih yang terkenal di Kufah dari golongan tabi‟in. Dari Hammad bin Abi Sulaiman itulah Abu hanifah belajar fikih dan hadis.38 Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fikih dan hadis sebagai nilai tambah yang ia peroleh dari Kufah. Sepeninggal Hammad, Majelis Madrasah Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala 36
Ibid., h. 96. Ibid., h. 96. 38 Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, h. 13. 37
52
Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fikih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.39 Abu Hanifah berhasil mendidik ratusan murid dan memiliki pandangan luas dalam masalah fikih. Puluhan dari muridnya itu menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerintah dinasti Abbasiyah, Saljuk, „Utsmani dan Mughal. 40 Di antara murid dan sahabat beliau yang memahami pendapat dan fatwa beliau dengan baik ialah Imam Abu Yusuf (wafat 182 H), Imam Muhammad bin Hasan (wafat 189 H), Imam Hasan bin Ziyad (wafat 204 H) dan lain-lain. Setelah beliau wafat, muridmurid dan sahabat beliau itu berkumpul dan memutuskan untuk berusaha membukukan buah pikiran, pendapat dan fatwa-fatwa beliau yang dikemukakan semasa hidup beliau. Kumpulan-kumpulan kitab ini dilengkapi dengan komentar dan pendapat-pendapat murid dan sahabat-sahabat beliau itu. Adakalanya mereka sependapat dan adakalanya mereka berbeda pendapat dengan Abu Hanifah. Kumpulan kitab inilah yang menjadi sumber utama dalam mempelajari mazhab Hanafi.41 Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya dan selalu memberi nasihat kepadanya, antara lain: Imam Amir bin Syahril al-Sya‟by dan
39
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 97. Ibid., h. 97. 41 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, h. 77. 40
53
Hammad bin Sulaiman al-Asy‟ary. Ia mempelajari qira‟at dan tajwid dari Idris „Ashim. Beliau selalu rajin dan taat serta patuh pada perintah gurunya.42 2. Karya-karya Imam Abu Hanifah Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan, bahwa Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar, yaitu: fiqh akbar, al-Alim wa alMuta‟allim dan musnad fiqh akbar. Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika beliau masih hidup belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, barulah buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikutpengikut beliau.43 Adapun murid-murid Abu Hanifah yang berjasa membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia Islam, adalah: a. Abu Yusuf Ya‟kub bin Ibrahim al-Anshary (113-182 H). b. Muhammad bin Hasan al-Syaibany (132-189 H). c. Zufar bin Huzail bin al-Kufy (110-158 H). d. Al-Hasan bin Ziyad al-Lu‟lu‟iy
42 43
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 97. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 101.
54
Dari keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah pikiran Abu Hanifah adalah Muhammad bin Hasan al-Syaibany yang terkenal dengan al-Kutub alSittah (enam kitab), yaitu:44 a. Kitab Al-Mabsuth b. Kitab al-Ziyadah c. Kitab Jami‟ al-Shagir d. Kitab Jami‟ al-Kabir e. Kitab al-Sair al-Saghir f. Kitab al-Sair al-Kabir 3. Metode Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah Dalam mengistinbatkan hukum, pokok-pokok pikiran Abu Hanifah dapat diketahui dari pernyataan beliau, yang artinya, “sesungguhnya saya berpegang dengan al-Qur‟an, apabila saya tidak menemukan dasar hukumnya dalam al-Qur‟an, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah SAW yang sahih dan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (adil, kuat ingatan, dan dapat dipercaya). Jika saya tidak menemukan dasar hukumnya dalam al-Qur‟an dan Sunnah, maka saya berpegang kepada pendapat orang-orang yang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim al-
44
Ibid., h. 102.
55
Sya‟by, Hasan bin Sirin, dan Sa‟id bin Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.45 Dalam kesempatan lain Imam Abu Hanifah berkata: “Pertama-tama saya mencari dasar hukum dalam al-Qur‟an, kalau tidak ada, saya cari dalam sunnah Nabi, kalau tidak ada juga, saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya pilih mana yang saya anggap kuat, kalau orang melakukan ijtihad maka saya pun melakukan ijtihad”.46 Dari keterangan di atas, nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath‟iy dari alQur‟an dan sunnah yang diragukan kesahihannya, ia selalu menggunakan ra‟yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadis. Imam Abu Hanifah memperhatikan mu‟amalat manusia, adat istiadat serta „urf mereka. Beliau berpegang kepada qiyas dan apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka beliau berpegang kepada adat dan „urf.47 Menurut Shubhi Mahmasany, pengetahuan Abu Hanifah yang mendalam di bidang ilmu fikih dan profesinya sebagai sudagar, memberi peluang baginya untuk memperlihatkan hubungan-hubungan hukum secara praktis. Kedua faktor inilah yang menyebabkan keahliannya sangat luas dalam menguasai pendapat dan logika dalam
45
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, h. 79. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 99. 47 Ibid., h. 99. 46
56
penerapan hukum syari‟at dengan qiyas dan istihsan. Oleh karena itu mazhab Hanafi terkenal dengan sebutan mazhab ra‟yi.48 4. Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Status Jenis Kelamin Khunsa Khunsa menurut Imam Abu Hanifah adalah seseorang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan. Pada hakikatnya, tidak mungkin terkumpul pada diri seseorang dua alat kelamin laki-laki dan perempuan. Seharusnya ia hanya seorang laki-laki atau seorang perempuan saja. Adapun untuk mengetahui status jenis kelamin khunsa menurut Imam Abu Hanifah adalah sama seperti yang disampaikan Imam Syafi‟i, yaitu dengan memperhatikan jalan keluar urinenya untuk anak-anak, dan melihat tanda-tanda kedewasaannya ketika dewasa.49 Tanda-tanda yang dijadikan patokan untuk mengetahui jenis kelamin khunsa ada dua, yakni tanda-tanda ketika kecil dan ketika dewasa. Tanda-tanda ketika kecil adalah melihat kepada jalan keluarnya urine. berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “khunsa dilihat dari cara urinenya” Jika air seninya keluar dari alat kelamin laki-laki maka ia laki-laki. Jika air seninya keluar dari alat kelamin perempuan maka ia perempuan. Apabila air seninya keluar dari kedua alat kelaminnya, maka dilihat mana yang lebih dahulu mengeluarkan air seni. Karena yang mengeluarkan air seni lebih dahulu menunjukkan atas keaslian kelaminnya.
48
Ibid., h. 101. „Alau al-Din Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ al-Shanai‟ fi Tartib alSyaroi‟, (t.t: Mauqi‟ al-Islami, t.th), h. 124. 49
57
Apabila air seni keluar dari kedua alat kelaminnya secara bersamaan, maka Imam Abu Hanifah tawaqquf (berhenti benpendapat). Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa khunsa tersebut adalah khunsa musykil. Dan ini merupakan kesempurnaan Fikih Imam Abu Hanifah, karena tawaqquf (berhenti berpendapat) ketika tidak ada dalil hukumnya adalah wajib.50 Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad yang merupakan murid dari beliau, berpendapat jika khunsa kencing dengan kedua alat kelaminnya secara bersamaan, maka ia dilihat dari banyaknya air seni yang keluar dari kelaminnya. Jika air seni yang keluar dari kelamin laki-laki lebih banyak daripada yang keluar dari kelamin perempuan, maka ia laki-laki. Jika air seni yang keluar dari alat kelamin perempuan lebih banyak daripada yang keluar dari kelamin laki-laki, maka ia perempuan.51 Imam Abu hanifah berkata, “jika khunsa telah baligh, lalu timbul tanda-tanda kedewasaannya. Seperti, tumbuh jenggot, timbul rasa suka kepada perempuan, mimpi basah seperti mimpinya laki-laki, maka ia laki-laki. Karena itu adalah ciri-ciri yang dimiliki laki-laki. Jika tumbuh tumbuh padanya dua payudara seperti perempuan, dan payudara tersebut mengeluarkan asi, atau dia haid, maka dia perempuan. Karena tanda-tanda ini hanya dimiliki oleh perempuan”. 52
50
Ibid., h. 125. „Alau al-Din Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ al-Shanai‟ fi Tartib alSyaroi‟, h. 125. 52 Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-babarti, al-„Inayah Syarh al-Hidayah, (t.t: Mauqi‟ al-Islam, t.th), h. 252. 51
58
5. Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang bagian Yang Diperoleh Khunsa Sebagai Ahli Waris a. Bagian yang Diperoleh Khunsa Ghairu Musykil Untuk mengetahui bagian warisan yang diterima khunsa ghairu musykil, pendapat Imam Abu Hanifah bersamaan dengan pendapat Imam Syafi‟i. Yaitu, pada waktu kecil melihat kepada jalan keluarnya air seni. Jika air seninya keluar dari alat kelamin laki-laki maka ia dianggap laki-laki dan dapat mewarisi layaknya laki-laki. Jika air seninya keluar dari alat kelamin perempuan maka ia perempuan dan ia dapat mewarisi layaknya warisan perempuan. Jika air seninya keluar dari kedua alat kelamin tersebut, maka dilihat yang mana lebih dahulu mengeluarkan air seni. Jika air seni itu keluar dari alat kelamin laki-laki dahulu, kemudian kelamin perempuan, maka ia laki-laki, dan ia dapat mewarisi layaknya warisan laki-laki. Jika air seninya keluar dari alat kelamin perempuan dahulu, kemudian baru kelamin laki-laki, maka ia perempuan, dan ia dapat mewarisi layaknya warisan perempuan. Jika air seni tersebut keluar dari kedua alat kelaminnya bersamaan (tidak diketahui yang mana yang lebih dahulu keluar), maka Imam Abu Hanifah tawaqquf (berhenti berpendapat). Ia berkata “laa „ilma lii bidzalik” (aku tidak mengetahui hal
59
tersebut). Dan Imam Abu Hanifah mengelompokkan khunsa tersebut kepada kelompok khunsa musykil.53 b. Bagian Yang Diperoleh Khunsa Musykil Imam Abu Hanifah berkata, “bahwa khunsa berhak bagian yang terkecil di antara dua bagian, yaitu apabila ia ditetapkan sebagai laki-laki dan ditetapkan sebagai perempuan. Mana diantara dua bagian itu yang lebih sedikit, maka diberikan kepada khunsa”.54 Di dalam kitab al-Mabsuth Imam Abu Hanifah berkata, “bagian khunsa musykil adalah bagian yang sangat kecil, yaitu bagian perempuan. Kecuali ketika keadaan berubah, bagian laki-laki menjadi bagian terkecil dan terjelek, maka khunsa ditetapkan pada bagian laki-laki”.55 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa khunsa musykil dapat mewarisi dan diproses menurut kemungkinan yang paling tidak menguntungkan baginya, yaitu dengan mengurangi bagiannya atau menghalanginya untuk mewarisi, baik dia sebagai laki-laki maupun perempuan, karena itulah cara yang paling meyakinkan, sedangkan cara yang lain masih meragukan. Pada dasarnya, kepemilikan seseorang atas sesuatu tidak bisa terlaksana jika ada keraguan disana, baik keraguan tentang orangnya maupun keraguan tentang barangnya. Dengan ungkapan lain, menurut Imam Abu
53
Abu Bakr Muhammad bin abu Sahl al-Sarakhsi, al-Mabsuth, (t.t: Mauqi‟ al-Islami, t.th) h.
54
Ali al-Shabuni, Hukum Waris Islam, h. 235. Abu Bakr Muhammad bin abu Sahl al-Sarakhsi, al-Mabsuth, h. 175.
199. 55
60
Hanifah hanya khunsa yang akan diproses dengan cara yang tidak menguntungkan, dan ahli waris yang lain tidak terpengaruh olehnya.56 Dalam prakteknya, Imam Abu hanifah mengatakan, “khunsa diasumsikan sebagai laki-laki kemudian diasumsikan sebagai perempuan serta setelah itu dia diperlakukan dengan kondisi yang paling serupa dari dua kondisi tersebut, hingga seandainya dia mewarisi dengan suatu pertimbangan dan tidak mewarisi dengan pertimbangan lain, maka dia tidak diberi apa-apa. Jika dia mewarisi berdasarkan dua asumsi dan bagiannya berbeda, maka dia diberi yang minimal dari dua bagian”.57
56 57
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 395. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 641.
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF WARIS KHUNSA MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH A. Persamaan Pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah Tentang Waris Khunsa Musykil dan Khunsa Ghairu Musykil Secara umum terdapat persamaan pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam masalah waris khunsa musykil dan khunsa ghairu musykil. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah memandang bahwa waris mewarisi adalah perintah yang jelas tercantum dalam al-Qur’an dan hadis. Sedangkan dalam ilmu ushul fikih perintah (amar) menunjukkan arti kewajiban yang harus dilaksanakan.1 Maka waris mewarisi adalah perintah Allah SWT yang harus dijalankan oleh setiap umat Islam. Allah SWT menjanjikan surga bagi orang yang mentaati ketentuan (pembagian harta pusaka) dan memasukkan ke neraka selama-lamanya bagi orang yang tidak mengindahkannya.2 Allah SWT berfirman pada surat al-Nisa (4) 13-14:
َجّنَٰتٖ تَجۡسِي مِن َتحۡ ِتهَا ٱلۡأَنۡ َٰهسُ خَٰلِدِين َ ط ِع ٱللَ َه وَزَسُىلَ ُهۥ يُدۡخِلۡ ُه ِ ُك حُدُو ُد ٱللَهِۚ َومَن ي َ ۡتِل خلۡهُ نَازًا ِ ۡص ٱللَ َه وَزَسُىلَهُۥ وَيَ َتعَ َد حُدُودَهُۥ يُد ِ ۡ َومَن َيع٣١ ُك ٱلۡفَىۡشُ ٱلۡعَظِيم َ ِفِيهَاۚ وَ َٰذل )4141/ ) الّنساء٣١ ٖخلِدٖا فِيهَا وَلَهُۥ عَرَابٖ ُمهِين َٰ Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai 1
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar Dalam Istinbat Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), h. 15. 2 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Alma’arif 1971), h. 34.
60
61
Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. Allah mengatur pembagian warisan berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. maka ulama menghendaki kejelasan dari kelamin seseorang yang menjadi objek suatu hukum. Meskipun khunsa memiliki dua alat kelamin namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu yaitu laki-laki atau perempuan. Kepastian tersebut dapat diketahui dengan memperhatikan beberapa ciri-ciri.3 Secara garis besar, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat sama dalam menentukan jenis kelamin khunsa, yakni dengan melihat ciri-ciri pada waktu kecil yaitu keluarnya air seni, dan melihat kepada ciri-ciri dewasa yaitu melihat kemana khunsa ini condong.4 Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah juga berpendapat sama dalam menentukan bagian warisan khunsa ghairu musykil. Yaitu dengan melihat dari mana air seninya keluar. Jika air seninya keluar dari kelamin laki-laki, maka ia laki-laki, dan ia mewarisi warisannya laki-laki. Jika air seninya keluar dari kelamin perempuan, maka ia perempuan, dan ia mewarisi warisannya perempuan.5 Jika air seninya keluar dari kedua alat kelaminnya, maka dilihat mana yang lebih dahulu mengeluarkannya.6 Jika air seni keluar dari kelamin laki-laki dahulu kemudian kelamin perempuan, maka
3
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2005), h. 139. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, juz 8, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), h. 168. 5 Ibid., h. 168. 6 Abu Yahya Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz I, (Beirut: Daar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 2001), h. 174. 4
62
ia adalah laki dan ia mewarisi berdasarkan warisannya laki-laki. Jika kelamin perempuan yang lebih dahulu mengeluarkan air seni, kemudian kelamin perempuan, maka ia adalah perempuan dan ia mewarisi berdasarkan warisannya perempuan.7 Jika cara tersebut tidak membuahkan hasil, maka khunsa tersebut termasuk khunsa musykil, dan warisannya ditangguhkan hingga si khunsa mencapai dewasa.8 Dalam menentukan kewarisan khunsa dewasa pun Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat sama yaitu dengan melihat tanda-tanda kedewasaannya. Jika timbul tanda-tanda kedewasaannya. Seperti tumbuh jenggot, timbul rasa suka kepada perempuan, mimpi basah seperti mimpinya laki-laki, maka ia laki-laki. Karena itu adalah ciri-ciri yang dimiliki laki-laki, dan ia dapat mewarisi warisannya laki-laki. Jika tumbuh tumbuh padanya dua payudara seperti perempuan, dan payudara tersebut mengeluarkan asi, atau dia haid, maka dia perempuan. Karena tanda-tanda ini hanya dimiliki oleh perempuan dan ia dapat mewarisi warisannya perempuan.9 B. Perbedaan Pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah Tentang Waris Khunsa Musykil dan Ghairu Musykil Dalam pembagian warisan khunsa musykil Imam syafi’i dan Imam Abu Hanifah berbeda pendapat tentang bisa tidaknya khunsa musykil mewarisi. Imam 7
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, h. 168. Abu Abdillah Muhammad bin Abd al-Rahman al-Dimasyqi, Rahmat al-Ummah Fi alikhtilaf al-Aimmah, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), h. 205. 9 Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-babarti, al-„Inayah Syarh al-Hidayah, (t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th), h. 252. 8
63
Syafi’i memiliki dua pendapat dalam menentukan bagian warisan khunsa musykil, pendapat pertama adalah, khunsa dan ahli waris yang bersamanya diproses dengan kemungkinan yang paling buruk, dan sisanya ditahan sampai ada kejelasan tentang statusnya.10 Ini adalah pendapat terkuat dalam mazhab Syafi’iyah, adapun pendapat kedua Imam Syafi’i sama seperti pendapat Imam Abu Hanifah.11 Menurut pendapat terkuat mazhab Syafi’iyah, setelah semua ahli waris, termasuk si khunsa mendapatkan bagian yang terkecil atau meyakinkan, sisanya ditahan dahulu dan akan diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya apabila persoalan khunsa menjadi jelas. Tetapi jika persoalan khunsa tidak menjadi jelas, maka para ahli waris harus mengadakan perundingan (musyawarah) damai untuk saling hibah menghibahkan terhadap jumlah sisa yang ditawaqufkan tersebut. Sebab apabila perundingan damai ini tidak dilaksanakan, niscaya sisa yang ditawaqufkan tersebut tidak dapat dimiliki mereka, dikarenakan tidak ada jalan yang dapat mengesahkan, dan pembagian semacam ini ada gunanya. Perundingan damai terhadap jumlah sisa yang ditahan yang masih diragukan adalah sah.12 Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa khunsa musykil diberikan bagian terkecil lagi terjelek dari dua perkiraan bagian laki-laki dan perempuan dan
10
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Al-Dizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 395. 11 Muhammad Ali al-Shobuni, al-Mawarits fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah fi Dhoui al-Kitab wa al-Sunnah, (Beirut: Alim al-Kutub, 1979), h. 181. 12 Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 488.
64
ahli waris yang lain tidak terpengaruh olehnya.13 Pendapat semacam ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Imam Abu Yusuf dengan perincian sebagai berikut:14 1. Jika ia sebagai ahli waris yang termahjub oleh ahli waris yang terdekat, ia tidak diberi bagian sedikitpun, walaupun menurut perkiraan yang seminimalminimalnya. 2. Jika menurut suatu kondisi ia sebagai ahli waris yang mendapatkan warisan, tetapi menurut kondisi yang lain ia tidak dapat warisan, maka ia tidak memperoleh warisan sedikit pun. 3. Jika tidak dalam keadaan seperti tersebut di atas, ia diberi bagian harta pusaka yang terkecil jumlahnya atau terjelek keadaannya dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan. Ini berarti bila suatu penerimaan atas dasar perkiraan laki-laki itu lebih sedikit dari penerimaan atas dasar perempuan, maka ia diberi bagian penerimaan laki-laki. Bila penerimaannya sebagai perempuan lebih sedikit dari penerimaan sebagai laki-laki, maka ia diberi bagian perempuan. Kemudian para ahli waris lain diberikan bagian yang terbaik dan meyakinkan dari kedua bagian sekiranya si khunsa diperkirakan laki-laki dan perempuan.15 Di sini terdapat perbedaan kembali, yaitu Imam Syafi’i berpendapat membagi-bagikan harta kepada khunsa dan ahli waris yang lain dengan bagian
13
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 395. Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 487. 15 Ibid., h. 487. 14
65
terkecil, lalu sisa harta ditangguhkan sampai status khunsa menjadi jelas. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat membagi-bagikan harta kepada khunsa dengan bagian terkecil, sedangkan ahli waris yang lain mendapat bagian yang meyakinkan, dan tidak ada harta yang ditangguhkan. Untuk selanjutnya penulis akan menganalisis kedua pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah tentang waris khunsa ghairu musykil dan khunsa musykil. Dalam menentukan bagian warisan khunsa ghairu musykil, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah sepakat dengan melihat kepada keluarnya air seni si khunsa. Dengan melihat jalan keluar air seninya, maka hukum warisannya menjadi jelas. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang warisan khunsa. Beliau bersabda: ) (سواي ابه عباس.ُج َي ُب ْىل ُ ْحي َ ُْيىَسِثُ ِمه Artinya: “khunsa ini mewarisi berdasarkan awal pertama keluar kencingnya”. (HR. Ibnu Abbas).16 Jika belum diketahui, maka dilihat mana yang lebih dahulu mengeluarkan air seni.17 karena yang mengeluarkan air seni lebih dahulu menunjukkan kepada alat kelamin yang asli.18 Sebagaimana yang tercatat dalam kitab Rahmat al-Ummah fi alIkhtilaf al-Aimmah, sebagai berikut: ًِِس َت َىيَا بَقِيَ عَهَى اِشْكَان ْ سبَ ُقهُمَا فَ ِانِ ا ْ َع ُتبِشَ ا ْ ن بَالَ ِمهَ انزَكَشِ فَ ُه َىغُهَاوٌ َاوْ ِمهَ انفَشَدِ َف ُهىَ ُاوْخَى َاوْ ِم ْىهُمَا ُا ْ ِا 16
Ahmad bin Husein bin Ali bin Musa bin Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi alKubro, (t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th), h. 261. 17 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 140. 18 „Alau al-Din Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ al-Shanai‟ fi Tartib alSyaroi‟, (t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th), h. 125.
66
Artinya: “Apabila (khunsa) kencing melalui zakar maka ia adalah laki-laki, atau melalui vagina maka ia perempuan, atau melalui keduanya maka dilihat mana yang dahulu mengeluarkan kencingnya, apabila tetap sama ketika mengeluarkannya maka ia digolongkan menjadi khunsa musykil”. Alasan menetapkan cara kencing sebagai tanda yang ditetapkan oleh Nabi untuk mengetahui jenis kelamin karena hal tersebut adalah tanda umum yang dapat ditemukan pada anak kecil dan orang dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti tumbuh janggut pada laki-laki dan tumbuh payudara pada wanita baru akan dapat diketahui setelah dewasa.19 Jika pada saat dewasa khunsa tersebut belum menunjukkan tanda-tanda kejelasannya, maka ia digolongkan sebagai khunsa musykil. Menurut penulis, pembagian warisan kepada khunsa musykil sudah jelas, dan para ulama telah sepakat menghukumi warisan khunsa musykil berdasarkan jalan keluarnya air seni. Analisis kedua adalah pembagian warisan khunsa musykil. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dalam pembagian waris khunsa musykil. Imam Syafi’i berpendapat bahwa khunsa dan ahli waris yang bersamanya diproses dengan kemungkinan yang paling kecil, dan sisanya ditahan sampai ada kejelasan tentang statusnya.20 Contoh dari penyelesaiannya adalah sebagai berikut. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris ayah, istri, dan seorang anak khunsa musykil. Harta warisannya berjumlah Rp 48.000.000. untuk menyelesaikan pembagian warisan ini adalah sebagai berikut. 19
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 140. Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Al-Dizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 395. 20
67
Ahli Waris Bagian
Asal
Saham
Perolehan
Masalah Ayah
1/6
+ 24
4
4x2.000.000 = Rp.8.000.000
Ashabah Istri
1/8
3
8.000.000
+ Ashabah
3x2.000.000
Rp.6.000.000
= 6.000.000 Anak
1/2
12
12x2.000.000
Khunsa
Rp.24.000.000
= 24.000.000
(dianggap perempuan) Sisa
saham 5x2.000.000
yang
= 10.000.000
Harta
sisa
yang
ditawaqufkan
ditawaqufkan
=5
berjumlah Rp.10.000.000 Jumlah
harta
keseluruhan = Rp.48.000.000
Ahli waris diatas terdiri dari ayah yang mendapatkan 1/6 + ashabah karena ada anak khunsa yang diperkirakan perempuan, istri mendapatkan 1/8, dan anak
68
khunsa yang diperkirakan perempuan mendapatkan 1/2. KPK (asal masalah) dari bagian ahli waris tersebut adalah 24. Setelah diketahui asal masalahnya, maka asal masalah tersebut dibagi dengan jumlah harta waris untuk mengetahui jumlah satu sahamnya. Rp. 48.000.000 : 24 = Rp. 2.000.000 per satu saham. Untuk mengetahui perolehan masing-masing ahli waris, maka harus diketahui saham yang dimiliki masing-masing ahli waris tersebut. Yakni dengan mengalikan bagian ahli waris dengan asal masalah. Cara pembagiannya adalah : Ayah
: 1/6 x 24 = 4
Istri
: 1/8 x 24 = 3
Anak khunsa yang diperkirakan sebagai perempuan : 1/2 x 24= 12 Setelah diketahui saham dari masing-masing ahli waris, maka saham tersebut dikalikan dengan jumlah satu saham. 4 x Rp. 2.000.000 = Rp. 8.000.000 3 x Rp. 2.000.000 = Rp. 6.000.000 12 x Rp. 2.000.000 = Rp. 24.000.000 Maka bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut: Ayah
: Rp. 8.000.000
69
Istri
: Rp. 6.000.000
Anak khunsa yang diperkirakan perempuan : Rp. 24.000.000 Jumlah : Rp. 38.000.000 Sisa harta Rp. 48.000.000 – Rp. 38.000.000 = Rp. 10.000.000. Menurut Imam Syafi’i, setelah semua ahli waris dan khunsa mendapatkan bagian yang terkecil, maka sisanya ditawaqufkan dahulu sampai status khunsa menjadi jelas. Tetapi jika status khunsa tidak menjadi jelas, maka para ahli waris harus mengadakan perundingan untuk saling hibah menghibahkan terhadap sisa harta yang ditawaqufkan tersebut, atau khnusa itu wafat, sehingga bagiannya dikembalikan kepada ahli warisnya.21 Maka dalam kasus di atas, sisa harta yang berjumlah Rp. 10.000.000 tersebut ditawaqufkan sampai khunsa itu jelas. Jika khunsa menjadi jelas dan kejelasannya adalah seorang anak perempuan, maka ia mendapatkan Rp. 24.000.000, dan sisa harta dialihkan kepada ayah yang menjadi ashabah bersama anak perempuan yang sebelumnya adalah khunsa, sehingga ayah mendapatkan Rp. 18.000.000. namun, apabila khunsa tersebut tidak menjadi jelas, maka para ahli waris harus mengadakan perundingan untuk saling hibah menghibahkan terhadap sisa harta yang ditawaqufkan tersebut, atau khnusa itu wafat, sehingga bagiannya dikembalikan kepada ahli warisnya. 21
Ali al-Shabuni, al-Mawarits fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah, (Beirut: Alim al-Kitab, 1985), h. 186.
70
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa khunsa musykil mendapat bagian terkecil dari dua bagian, yaitu bagian apabila dia dianggap laki-laki dan bagian apabila dianggap perempuan. Bagian itulah yang akan diberikan kepada khunsa musykil.22 Sedangkan ahli waris yang lain tidak terpengaruh olehnya atau medapatkan bagian yang meyakinkan.23 Cara menyelesaikannya melalui dua tahap. Tahap pertama dicari bagian pada saat dia dianggap sebagai laki-laki. Tahap kedua dicari berapa bagian pada saat dia dianggap sebagai perempuan. Cara ini juga merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Contoh dari penyelesaiannya adalah sebagai berikut. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris suami, ibu, dan seorang saudara khunsa musykil sekandung. Harta warisannya berjumlah Rp. 36.000. untuk menyelesaikan pembagian warisan ini adalah sebagai berikut. Tahap pertama: Ahli Waris
Bagian
Asal
Saham
Perolehan
Masalah Suami
1/2
6
3
3x6.000=
Rp. 18.000
18.000 Ibu
1/3
22
2
2x6.000=
Rp. 12.000
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komaratif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 187. 23 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 395.
71
12.000 Saudara
Ashabah
1
Khunsa
1x6.000=
Rp. 6.000
6.000
kandung (dianggap lakilaki) Jumlah harta keseluruhan Rp. 36.000
Ahli waris diatas terdiri dari suami yang mendapatkan 1/2, ibu mendapatkan 1/3, dan saudara khunsa kandung yang diperkirakan laki-laki menjadi ashabah. Asal masalah dari bagian ahli waris tersebut adalah 6. Setelah diketahui asal masalahnya, maka asal masalah tersebut dibagi dengan jumlah harta waris untuk mengetahui jumlah satu sahamnya. Rp. 36.000. : 6 = Rp. 6.000. per satu saham. Untuk mengetahui perolehan masing-masing ahli waris, maka harus diketahui saham yang dimiliki masing-masing ahli waris tersebut. Yakni dengan mengalikan bagian ahli waris dengan asal masalah. Cara pembagiannya adalah :
72
suami
: 1/2 x 6 = 3
ibu
: 1/3 x 6 = 2
saudara khunsa kandung yang diperkirakan sebagai laki-laki menjadi ashabah, saham yang dimilikinya adalah 1. Setelah diketahui saham dari masing-masing ahli waris, maka saham tersebut dikalikan dengan jumlah satu saham. 3 x Rp. 6.000 = Rp. 18.000 2 x Rp. 6.000 = Rp. 12.000 1 x Rp. 6.000 = Rp. 6.000 Maka bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut: Ayah
: Rp. 18.000
Istri
: Rp. 12.000
Anak khunsa yang diperkirakan perempuan : Rp. 6.000 Jumlah : Rp. 36.000 Tahap kedua: Ahli Waris
Bagian
Asal Masalah 6
8
Saham
Perolehan
73
Suami
1/2
3
3
3
3x4.500= Rp. 13.500
Ibu
1/3
2
2
2
2x4.500= Rp. 9.000
Saudara
1/2
3
3
3
Khunsa
13.500
9.000
3x4.500= Rp. 13.500
13.500
kandung (dianggap perempuan) 8
8
Jumlah harta Rp. 36.000
Dalam tahapan ini, ahli waris terdiri dari suami yang mendapatkan bagian 1/2, ibu mendapatkan bagian 1/3, dan saudara khunsa kandung yang diperkirakan perempuan mendapatkan bagian 1/2. Asal masalah dari bagian ahli waris tersebut adalah 8 setelah sebelumnya terjadi Aul. Setelah diketahui asal masalahnya, maka asal masalah tersebut dibagi dengan jumlah harta waris untuk mengetahui jumlah satu sahamnya. Rp. 36.000. : 8 = Rp. 4.500. per satu saham.
74
Untuk mengetahui perolehan masing-masing ahli waris, maka harus diketahui saham yang dimiliki masing-masing ahli waris tersebut. Yakni dengan mengalikan bagian ahli waris dengan asal masalah. Cara pembagiannya adalah : suami
: 1/2 x 8 = 3
ibu
: 1/3 x 8 = 2
saudara khunsa kandung yang diperkirakan sebagai perempuan : 1/2 x 8 = 3 Setelah diketahui saham dari masing-masing ahli waris, maka saham tersebut dikalikan dengan jumlah satu saham. 3 x Rp. 4.500 = Rp. 13.500 2 x Rp. 4.500 = Rp. 9.000 3 x Rp. 4.500 = Rp. 13.500 Maka bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut: suami
: Rp. 13.500
Ibu
: Rp. 9.000
Anak khunsa yang diperkirakan perempuan : Rp. 13.500 Jumlah : Rp. 36.000
75
Dengan demikian, contoh yang sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah terdapat pada tahap yang pertama, yaitu khunsa mendapatkan warisan sebesar Rp. 6.000, karena bagian ini adalah bagian terkecil dari dua bagian. Dari pendapat di atas dapat kita pahami bahwa hukum warisan bagi khunsa musykil, belum jelas dan masih meragukan. Sehingga Imam Syafi’i memberikan warisan terkecil kepada khunsa dan kepada ahli waris si khunsa. lalu sisa hartanya ditawaqufkan
(disimpan)
dahulu
sampai
khunsa
menunjukkan
tanda-tanda
kejelasannya. Di dalam kitab Raudhah al-Thalibin dijelaskan: ًِِف بِسَبَبِ انخُىْخى نَا بُذَ مِهَ انتَىَقُفِ فِيًِْ مَا دَاوَ انخُىْخى بَاقِيًا عَهَى إِشْكَان ُ ْانمَالُ انمَىْ ُقى Artinya: “Harta yang ditahan sebab khunsa, hendaknya harta tersebut ditahan selama khunsa masih pada ketidak jelasannya”.24 Adapun alasan Imam Syafi’i memberikan bagian terkecil kepada khunsa dan ahli waris yang lainnya karena ada dua sebab, sebagaimana yang tercatat dalam kitab al-Hawi al-Kabir, pertama, Imam Syafi’i mengatakan bahwa orang yang mewarisi tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan ketentuan yang sesungguhnya, tidak dengan keragu-raguan. Kedua, pada dasarnya semua hukum khunsa tidak dapat dijalankan kecuali dengan yakin, begitu pula mengenai ketentuan hukum waris haruslah dengan yakin.25
24
Muhyi al-Din Yahya bin Syaraf Abi Zakariyya al-Nawai, Raudhah al-Thalibin, (t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th), h. 315. 25 Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, h. 169.
76
Di dalam Kaidah Ushul Fikih dijelaskan:26 ِانيَق ْيهُ نَا يُزَالُ بِانّشَّك Artinya: “keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”. Dalam kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa dalam mengambil hukum harus didasari dengan keyakinan. Pengambilan hukum yang didasari dengan keyakinan tidak dapat dirusak dengan keraguan. Sedangkan mengambil hukum yang didalamnya sudah terdapat keraguan, maka akan sangat mudah dirusak. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat khunsa musykil diberikan bagian terkecil lagi terjelek dari dua perkiraan bagian laki-laki dan perempuan dan ahli waris yang lain tidak terpengaruh olehnya. Maksud dari pendapat tersebut adalah setelah khunsa diperkirakan laki-laki dan perempuan, maka khunsa diberikan bagian yang terkecil dari perkiraan tersebut. Sedangkan ahli waris yang lain tidak terpengaruh dengan keberadaan khunsa. dan harta warisan tidak ada yang ditangguhkan. Prinsip Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum khunsa adalah mengambil hukum dengan kehati-hatian dan yang paling meyakinkan. Dan tidak boleh menetapkan hukum yang terdapat keragu-raguan di dalamnya.27 Di dalam kitab ushul al-karkhi, Abdullah bin Hasan menyatakan kaidah dalam mazhab hanafi sebagai berikut: ِت ِبيَ ِق ْيهٍ نَا يَ ُز ْولُ بِانّشَّك َ َصمُ َأنَ مَا َحب ْ ا َال 26
Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Asybah wa al-Nadzair, (t.t: Mauqi’ al-Islami,
t.th) h. 90. 27
Kamal al-Din Muhammad bin Humam, Fath al-Qadir, (t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th), h. 468.
77
Artinya: “pada dasarnya, bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan keyakinan tidak akan dapat hilang dengan keraguan”.28 Alasan memberikan bagian yang terkecil kepada khunsa musykil adalah bagian terkecil lebih meyakinkan, sedangkan bagian terbesar meragukan. Karena apabila khunsa tersebut ditakdirkan laki-laki maka bagiannya banyak, dan ini meragukan. Apabila ia ditakdirkan perempuan, maka bagian ini meyakinkan. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab Badai‟ al-Shanai‟, sebagai berikut: ُحقَاق ْ ِست ْ وَِإنْ كَانَ ُأ ْوخَى فَهَهَا انْأَقَمُ فَكَانَ ا، ُشّكٌ ؛ نَِأوًَُ إنْ كَانَ رَكَشًا فَهًَُ انْأَ ْكخَش َ ِ وَفِي انْأَكْخَش، ٍنَِأنَ انْأَقَمَ حَابِتٌ بِيَقِيه ِّك عَهَى انَْأصْم ِ ّش َ شّكٌ فَهَا َي ْخبُتُ انِاسْتِحْقَاقُ مَعَ ان َ ِستِحْقَاقِ انْأَ ْكخَش ْ انْأَ َقمِ حَا ِبتًا ِبيَقِيهٍ وَفِي ا Artinya: “karena bagian yang sangat kecil lebih meyakinkan, dan bagian yang banyak meragukan (untuk khunsa), karena apabila ia ditakdirkan sebagai laki-laki maka ia mendapat bagian yang banyak dan apabila ia ditakdirkan sebagai perempuan maka ia mendapat bagian yang sedikit. bagian yang sedikit lebih berhak diterima khunsa dan lebih meyakinkan, sedangkan bagian yang banyak tidak berhak diterima khunsa karena meragukan. Maka pada dasarnya tidak dibenarkan memberikan bagian yang terdapat keraguan di dalamnya”.29 Yang dimaksud dari berbagai hal di atas adalah, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat sama bahwa dalam memutuskan kasus-kasus waris terutama waris khunsa musykil haruslah ada keyakinan. Pembagian semacam ini didasarkan kepada suatu ketentuan bahwa untuk memiliki harta benda itu tidak dibenarkan selama tidak ada sebab-sebab yang meyakinkan. Dalam masalah ini terdapat keraguan antara bagian yang terkecil dengan bagian yang terbesar. Untuk memperoleh keyakinan dan menghilangkan keraguan, sudah barang tentu ditetapkan
28
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2009),
h. 116. 29
‘Alau al-Din Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ al-Shanai‟ fi Tartib alSyaroi‟, h. 133.
78
bagian yang terkecil. Suatu bagian yang masih diragukan tidak boleh dimiliki hanya semata-mata berdasarkan sesuatu sebab yang masih meragukan.30 Melihat pemaparan mengenai perbedaaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, penulis lebih cenderung sepakat terhadap ijtihad Imam Syafi’i tentang penentuan pembagian waris khunsa musykil, dengan ketentuan bagian setiap ahli waris dan khunsa diberikan dalam jumlah yang paling sedikit, sedangkan sisa dari harta waris yang ditangguhkan untuk sementara tidak dibagikan kepada masingmasing ahli waris hingga jelas keadaan khunsa tersebut. Penulis menganggap pendapat Imam Syafi’i lebih relevan untuk dipakai pada masa sekarang. Penulis juga menganggap bahwa analisa Imam Abu Hanifah masih belum tuntas, karena beliau berpendapat untuk membagi-bagikan harta kepada khunsa dan ahli waris tanpa sisa atau tawaqquf. Jika suatu saat ternyata khunsa tersebut berubah kelamin kembali, maka bagaimana Imam Abu Hanifah mengatur hukum kewarisannya? Sedangkan harta warisan sudah terbagi-bagi kepada ahli waris yang lain. Menurut penulis pendapat Imam Syafi’i sesuai dengan prinsip penetapan hukum waris dan hukum syari’at lainnya. Menetapkan suatu hukum haruslah meyakinkan dan jauh dari keragu-raguan. Yang pada dasarnya kehati-hatian itu lebih meyakinkan demi kemaslahatan. Dengan alasan, menurut penulis penerapan pembagian waris khunsa musykil untuk membagikan harta yang terkecil kepada khunsa musykil dan ahli waris yang lain, dengan menangguhkan sisa harta pembagian 30
Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 487.
79
tersebut hingga
jelas status khunsa musykil tersebut laki-laki atau perempuan
kemudian baru dibagikan terhadap ahli waris yang berhak, lebih meyakinkan. apabila status khunsa musykil tetap tidak menjadi jelas, maka diadakan musyawarah damai untuk saling menghibahkan sesama ahli waris, menurut penulis hal itu lebih mencerminkan rasa keadilan tanpa saling merugikan satu sama lain.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam menentukan bagian warisan khunsa ghairu musykil, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat sama. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menegaskan konsep pembagian warisan khunsa ghairu musykil harus dilihat berdasarkan keluarnya air seni si khunsa, Jika ia kencing dengan alat kelamin laki-laki maka ia laki-laki, dan hukum yang diberlakukan untuknya disamakan dengan hukum warisan laki-laki. Jika ia kencing dengan alat kelamin perempuan maka ia perempuan, dan berlaku baginya bagian waris perempuan. Apabila khunsa kencing melalui kedua alat kelaminnya, maka ditentukan berdasarkan kelamin yang mengeluarkan air seni terlebih dahulu. Jika air seni keluar dari kelamin laki-laki dahulu kemudian kelamin perempuan, maka ia adalah laki dan ia mewarisi berdasarkan warisannya laki-laki. Jika kelamin perempuan yang lebih dahulu mengeluarkan air seni, kemudian kelamin perempuan, maka ia adalah perempuan dan ia mewarisi berdasarkan warisannya perempuan. 2. Dalam menentukan bagian warisan khunsa musykil, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berbeda pendapat. Imam Syafi'i berpendapat bahwa masing-masing dari ahli waris dan khunsa musykil diberikan bagian yang terkecil atau merugikan, karena ia adalah orang yang diyakini bernasab kepada setiap orang dari mereka.
80
81
Sisanya disimpan sampai keadaan khunsa menjadi jelas. Tetapi jika persoalan khunsa tidak kunjung menjadi jelas, maka para ahli waris harus mengadakan perundingan (musyawarah) damai untuk saling hibah menghibahkan terhadap jumlah sisa yang ditawaqufkan tersebut. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa khunsa musykil diberikan bagian terkecil dari dua perkiraan bagian laki-laki dan perempuan dan ahli waris yang lain diberikan bagian yang meyakinkan atau jumlah bagiannya tidak terpengaruh oleh keberadaan khunsa. 3. Istinbat hukum yang digunakan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam menguatkan pendapatnya tentang pembagian warisan khunsa ghairu musykil adalah berdasarkan hadis yang juga sudah menjadi kesepakatan para ulama (ijma’) dengan melalui tanda-tanda yang telah disebutkan baik dengan jalan melihat darimana keluarnya air seni maupun dengan cara melihat tanda-tanda kedewasaannya. Namun apabila tidak tampak juga tanda-tanda kejelasannya, ia digolongkan menjadi khunsa musykil. Adapun istinbat hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam menentukan warisan khunsa musykil adalah kaidah fikih yang berbunyi: “sesuatu yang diyakini, tidak dapat hilang karena ada keragu-raguan”. Menurut Imam Syafi’i memberikan bagian yang sedikit kepada khunsa musykil dan ahli waris yang lain dan menangguhkan sisa harta sampai jelas status khunsa tersebut merupakan pendapat yang meyakinkan. Sedangkan Imam Abu Hanifah dalam kitab Badai’ al-Shanai’ menjelaskan: “pada dasarnya tidak dibenarkan memberikan bagian warisan yang
82
terdapat keraguan di dalamnya”. Pernyataan ini sejalan dengan pemikiran Imam Syafi’i yakni tidak memberikan warisan kepada khunsa musykil karena hal itu meragukan. Imam Abu Hanifah berpendapat membagikan warisan kepada khunsa musykil dengan bagian terkecil dan ahli waris yang lain mendapatkan bagian yang meyakinkan dan tidak ada harta yang ditangguhkan. B. Saran-Saran 1. Bagi para hakim agama, perlu mengetahui perbedaan antara khunsa, waria dan banci, karena istilah tersebut berbeda. Sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam penetapan bagian warisan bagi khunsa. 2. Bagi masyarakat, hendaknya tidak memandang sebelah mata terhadap si khunsa, khunsa seharusnya dilihat sebagai manusia pada umumnya yang keberadaannya tidak melulu ditentukan oleh jenis kelaminnya, tetapi sebagai makhluk Allah SWT yang memiliki hak dan kewajiban di dunia ini. 3. Bagi para khunsa, hendaknya untuk selalu ikhlas, bersabar, dan tetap bersyukur. karena Allah SWT menciptakan segala sesuatu pasti ada hikmahnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya. Al-Anshari, Abu Yahya Zakariyya. Asna al-Mathalib, juz I. Beirut: Daar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 2001. Al-babarti, Muhammad bin Muhammad bin Mahmud. al-„Inayah Syarh al-Hidayah. t.t: Mauqi’ al-Islam, t.th. Abbas, Sirajuddin. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟i. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995. Abbas, Ahmad Sudirman. Sejarah Qawa‟id Fiqhiyyah. Jakarta: Radar Jaya Offset, 2009. Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Al-Baihaqi, Ahmad bin Husein bin Ali bin Musa bin Abu Bakar. Sunan al-Baihaqi al-Kubro, juz 6. Makkah al-Mukarramah: Maktabah Daar al-Baz, 1994. Al-Dimasyqi, Abu Abdillah Muhammad bin Abd al-Rahman. Rahmat al-Ummah Fi al-ikhtilaf al-Aimmah, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986. Al-Hanafi, ‘Alau al-Din Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani. Badai‟ al-Shanai‟ fi Tartib al-Syaroi‟. t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th. Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdor. Kamus Kontemporer. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996. Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib. Al-Hawi Al-Kabir, juz 8. Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994. Al-Nawawi, Muhyi al-Din Yahya bin Syaraf Abi Zakariyya. Raudhah al-Thalibin. t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th.
83
84
Al-Sarakhsi, Abu Bakr Muhammad bin abu Sahl. al-Mabsuth. t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th. Al-Shidiqy, Hasybi. Fiqh al-Mawarits. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Al-Syafi’i, Abdullah Muhammad bin Idris. al-Asybah wa al-Nadzair. t.t: Mauqi’ alIslami, t.th. Al-Shabuni, Muhammad Ali. al-Mawarits fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah fi Dhaui alKitab wa al-Sunnah. Beirut: Alim al-Kutub, 1979. Al-Shabuni, Ali. Hukum Waris Islam. Penerjemah Sarmin Syukur. Surabaya: AlIkhlas, 1995. Al-Syafi’i, Abdullah Muhammad bin Idris. Ringkasan Kitab Al-Umm .Penerjemah Imron Rosadi, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2004. Alwi, Hasan, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam wa Adillatuhu. Penerjemah, Abdul Hayyie AlKattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 20011. Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Dorland, Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Penerjemah Alifa Dimanti, dkk. Jakarta: EGC Medical Publisher, 2012. Haromain, Imam. Syarh Waraqat, Penerjemah Mujib al-Rahman. Surabaya: Mutiara Ilmu, 2006. Hasan, Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Ibrahim, Muslim. Pengantar Fiqh Muqaaran. Jakarta: Erlangga, 1991.
85
Jenike, Lusita. “kedudukan Orang yang Mempunyai Kelamin Ganda (Khunsa) dalam Hukum Kewarisan Islam”. Skripsi S1 Fakultas Hukum Andalas Padang, 2011. Karim, Muchit. Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan keagamaan, 2012. Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir. Hukum Waris. Penerjemah Addys Al-Dizar dan Fathurrahman. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004. K. Lubis, Suhrawardi, dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam Lengkap & Praktis. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Manzhur, Ibnu. Lisan Al-Arab. Al-Qahirah: Dar Al-Ma’arif, t. th. Maemah, Siti. “Operasi Penyempurnaan dan Penggantian Alat Kelamin Dalam Tinjauan Hukum Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Status Perkawinan dan Kewarisannya”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Muhibbin, Muhammad. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Muhlasul, Ahmad. “Khunsa Dalam Tinjauan Fikih dan Medis”. Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan KaliJaga Yogyagarta, 2009. Muhammad bin Humam, Kamal al-Din. Fath al-Qadir. t.t: Mauqi’ al-Islami, t.th. Nasution, Amin Husein. Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komaratif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012. Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: Alma’arif 1971. Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo, 1995. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, Juz 5. penerjemah Abdurrahim, dkk. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.
86
Soekanto, Soerjono & Sri Mahmudji. Penelitian Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Prenada Media, 2005. Syalthut, Mahmud. Fiqih Tujuh Madzhab. Penerjemah Abdullah Zakiyah al-Kaff. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000. Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar Dalam Istinbat Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002. Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos, 1997. Yanggo, Huzaemah Tahido. Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer. Bandung: Angkasa, 2005. Yatim, Wildan. Kamus Biologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. http://muhmiftah92.blogspot.com/2013/03/hermafroditisme.html, pada 23 Februari 2015.
Artikel
diakses
http://12121rrs.blogspot.com/2013/06/perbedaan-transgender-dan-transseksual.html, artikel diakses pada 24 Februari 2015. http://health.detik.com/read/2012/02/28/093942/1853161/1202/2/perempuanhermafrodit-hidup-sebagai-laki-laki-selama-41-tahun, Artikel diakses pada 23 Februari 2015. http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/08/12/24/22219-ganti-kelamindisidangkan-pn-purwokerto. Artikel diakses pada 7 April 2015. http://www.antarantb.com/print/524/namaku-mohammad-solehan-bukansolihatunnisa, artikel diakses pada 7 April 2015.