BAB III BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH A. Profil Imam Abu Hanifah Nu‟man bin Tsabit adalah nama kecil dari Imam Abu Hanifah. Beliau lahir di Kufah, suatu kota yang terletak di negara Irak, pada tahun 80 H atau tahun 696 M, dan meninggal di Baghdad pada tahun 150 H, atau tahun 767 M. 1 Pada masa kelahiran Imam Abu Hanifah, pemerintahan Islam sedang di bawah kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (Raja dari Dinasti Umayah yang kelima), dan wafat pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah di bawah kekuasaan Abu Ja‟far al-Manshur.2 Kakek beliau bernama Zauth, yang berasal dari kota Kabul ibukota Afganistan, termasuk salah satu orang yang ditawan sewaktu tentara Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan menaklukan negara-negara di Persia, Khurasan, dan Afganistan. Selaku tawanan perang, biasanya dibagi-bagikan kepada tentara perang untuk dijadikan budak, dan ia diambil oleh Bani Taim bin Tsa‟labah, keturunan Arab dari suku Qurais. Setelah menjadi budak, ia pun memeluk agama Islam, dan dimerdekakan dan memilih tempat kediaman di kota Kufah. Di sana ia menekuni dengan berdagang kain sutera, di situ pula lahir putranya Tsabit, ayah dari Nu‟man. Seiring berjalanya waktu, Tsabit menjadi pebisnis yang sukses di kota Kufah dan menurunkannya kepada anaknya yaitu Nu‟man, yang
1
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab,( Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 95 2 Munawwar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. IV(Jakarta; Bulan Bintang, 1983), hlm. 19.
47
48
akhirnya dikenal sebagai Abu Hanifah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah.3 Imam Abu Hanifah menjalani hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni di masa akhir Dinasti Umayah dan masa awal Dinasti Abbasiyah. Menurut satu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah karena ia mempunyai putera yang bernama Hanifah. Ada pula yang mengatakan disebut Abu Hanifah karena ia dikenal sangat rajin belajar, taat beribadah, dan sungguh-sungguh dalam mengerjakan kewajiban agama. Kata “Hanif” dalam bahasa Arab berarti condong atau cenderung kepada yang benar. 4 Dalam usia yang relatif muda, Imam Abu Hanifah telah menyelesaikan pelajaran membaca Al-Qur‟an. Pada mulanya beliau menuntut ilmu di sela-sela ia berdagang, akan tetapi atas nasehat gurunya Amir bin Syarahil al-Sya‟bi, beliau mulai meninggalkan kesibukan berdagangnya dan memulai menekuni menuntut ilmu Islam. Pertama beliau belajar bahasa Arab, kemudian beliau mendalami ilmu dan mendapatkan keberhasilan dalam bidang ilmu kalam, Hadis, Fiqih, dan lain-lain, bahkan beliau sempat bertemu dan belajar langsung pada sahabat-sahabat Nabi SAW semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa‟ad, Jabir bin Abdullah, dan sebagainya. Saat berusia 16 tahun, beliau pergi dari Kufah menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi SAW. Dalam perjalananya beliau belajar kepada tokoh Tabi‟in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan salah satu tokoh ulama‟ di kota Makkah pada saat itu. Pada kehidupanya lebih 3 4
Muchlis Hanafi, M, Biografi Lima Imam Mazhab,(jakarta;Lentera Hati,2013) hlm. 2 Huzaemah Tahido Yanggo,Op,cit, hlm. 96
49
banyak digunakan untuk belajar, bahkan guru-gurunya berjumlah mencapai empat ribu orang guru, diantaranya tujuh orang sahabat Nabi SAW, sembilan puluh tiga dari kalangan tabi‟in, dan sisanya dari kalangan tabi‟ al-tabi‟in. Di dalam banyaknya beliau mencari ilmu, hanya saja ia lebih cenderung kepada fiqih dan menekuninya.Ia banyak mendatangi halaqah-halaqah fiqih dan berguru secara khusus kepada para ahlinya, ketika beliau mendengar ada ulama‟ yang masyhur dengan ilmunya, maka beliau dengan segera mendatangi dan mengaji atau belajar kepada ulama‟ tersebut.5 B. Karya-karya Imam Abu Hanifah Karya-karya yang telah dihasilkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai dasar pokok pengembangan madzhabnya, 6 dapat dilihat dari tiga karya besarnya, sekalipun masih dalam bentuk majalah ringkas, tetapi sangat terkenal, yaitu sebagai berikut ; 1. Kitab Fikh al-Akbar 2. Kitab al-Alim wa al-Mu’allim 3. Kitab Musnad fi Figh al-Akbar Pada saat Imam Abu Hanifah masih hidup karya-karyanya ini baik yang berkaitan dengan fatwa-fatwa maupun ijtihad-ijtihad Imam Abu Hanifah belum dibukukan, tetapi baru dijadikan buku setelah Imam Abu Hanifah wafat oleh murid-muridnya. Setelah terbukukannya karya-karya beliau berkembang pula
5
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at,(Jakarta;Robbani Press, 2008), hlm. 197. Muhammad Ma‟sum Zein, Arus Besar Pemikiran Emoat Madzhab(Study Analisis Istimbat Para Fuqoha‟),(Jombang; Darul Hikmah,2008) hlm. 124 6
50
madzhab ahlu al-ra’yi, dinamakan ahlu al-ra’yi karena diambil dari madrasah yang di asuh sendiri oleh Imam Abu Hanifah, selain madrasah al-ra‟yi nama madrasah tersebut dikenal oleh sejarah hukum dengan sebutan madrasah Kufah.7 C. Corak Pemikiran Imam Abu Hanifah Dalam menetapkan hukum, Imam Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota menyelesaikan
problema-problema yang muncul
dalam masyarakat.
Sedang di Kufah, sunnah hanya sedikit yang diketahui disamping banyak terjadi pemalsuan hadis, sehingga Imam Abu Hanifah sangat selekti dalam menerima hadis, oleh karena itu dalam menyelesaikan masalah yang aktual
beliau
banyak
menggunakan
al-Ra'yu.
Imam
Abu
Hanifah
mengajak kepada kebebasan berpikir dalam memecahkan masalah masalah yang baru, yang belum terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadis, dan menganjurkan pembahas persoalan dengan bebas merdeka, ia banyak mengandalkan qiyas, dan juga berdasarkan istihsan dan istishab dalam menentukan hukum.8 Setelah beliau wafat, murid-murid beliau seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Hasan bin Ziyad dan lain-lain, berkumpul dan memutuskan untuk
7
Ibid , hlm.133 Abdul Azis Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid.I, cet. I,(Jakarta; Ichtiar Baru van Hoeve, TT) hlm. 13 8
51
berusaha membukukan buah pikiran, fatwa-fatwa dan pendapat Imam Abu Hanifahyang dikemukakan di masa hidupnya. 9 Salah satu yang terkenal metode intinbat beliau adalah dengan menggunakan istihsan. Oleh sebab itu, maka Imam Abu Hanifah dikenal sebagai Ulama’ ahl al-Ra’yi, dimana dalam menetapkan hukum , baik yang diistimbatkan dari al-Qur‟an atau Hadis, beliau selalu memperbanyak penggunaan nalar dan lebih mendahulukan al-Ra’yi dari pada hadis yang diragukan kesahihannya, jika sedang menemukan hadis secara lahiriyah bertentangan, maka beliau menggunakan jalan qiyas dan istihsan. Bahkan dalam menciptakan metode dalam berijtihad, beliau menggunakan dengan cara melemparkan
suatu
permasalahan
kepada
forum,
kemudian
beliau
mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Beliau akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil al-Qur‟an, hadis, ataupun dengan logikanya, diskusi tersebut bias berjalan sampai seharian demi menuntaskan suatu permasalahan. 10 Sedangkan untuk mengetahui metode istimbat Imam Hanafi, dapat dilihat dari pengakuan yang dibuatnya sendiri, yaitu; a. “Sesungguhnya saya Abu Hanifah mengambil dari kitab al-Qur‟an dalam menetapkan hukum. Jika tidak ditemukan, maka aku mengambil dari hadis yang shahih dan yang tersiar secara masyhur di kalangan orang-orang yang terpercaya. Jika tidak ditemukan dari keduanya, maka aku mengambil dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki, lalu aku tidak keluar dari pandangan mereka, jika masalah tersebut sampai pada Ibarahim al-
9
Hasbi ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, jilid I ( Jakarta; Bulan Bintang,1980) hlm.
10
Siah Khosiyah, Fiqih Muammalah Perbandingan,(Bandung;Pustaka Setia,2014) hlm. 18
99
52
Sya‟by, Hasan ibn Sirin dan Sa‟id ibn Musayyah, maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”11 b. Imam Abu Hanifah berkata “Pertama-tama aku mencari dasar hukum dari al-Qur‟an, kalau tidak ada aku mencarinya dalam hadis, kalau tidak ada aku pelajari fatwa-fatwa para sahabat, dan aku memilih mana yang aku anggap paling kuat, tetapi jika orang melakukan ijtihad, maka aku pun melakukan ijtihad”. c. Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan “Ini pendapatku dan jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari aku, maka pendapat itulah yang lebih benar”. d. Beliau suatu saat pernah ditanya oleh seseorang, “Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar-benar tidak diragukan lagi?” Lalu Imam Abu Hanifah menjawab “Demi Allah boleh jadi itu adalah suatu fatwa yang salah yang yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya”.12 Selain hal tersebut, faktor sosial historis juga mendominasi pertimbangan akal dalam metode pemikiran Imam Abu Hanifah adalah sebagai berikut; a. Hadis-hadis Nabi SAW yang berada di Irak tidak sebanyak di Hijaz, sehingga para fuqoha‟ Irak dituntut untuk menggunakan akal dan berusaha memahami pengertian nash dan illat sebagai penetapan suatu hukum dan syariat. b. Irak merupakan pusat pengolakan politik sehingga para fuqoha‟ dituntut berhati-hati dalam menerima periwayatan hadis.13 Secara kultural, Irak termasuk dalam rumpun kebudayaan
Persia
sehingga Irak dalam hal ini pun menjadi salah satu pertimbangan para fuqoha‟ untuk menciptakan syari‟at yang memiliki basis kultural yang diperngaruhi budaya Persia.14
11
Hasbi ash-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh,cet.V ( Jakarta; Bulan Bintang,1987), hlm.114 Muhammad Ma‟sum Zein, Arus Besar Pemikiran Emoat Madzhab(Study Analisis Istimbat Para Fuqoha’), Op,cit, hlm.128 13 Siah Khosiyah, Fiqih Muammalah Perbandingan, Op,cit, hlm. 23 14 . Ibid, hlm. 23 12
53
Muhammad Ma‟shum mengutip dari Shubhi Mahmashani, menyatakan bahwa pengetahuan Imam Abu Hanifah yang mendalam dalam bidang hukum ditambah dengan profesinya sebagai saudagar, memberikan peluang yang sangat luas baginya, untuk memperlihatkan berbagai macam ketentuan hukum secara praktis, sehingga menyebabkan dirinya dalam menguasai hukum syariat melalui qiyas, istihsan dan kemudian dari pandangan beliau dikenal dengan sebagai madzhab al-Ra‟yu. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai berikut; a. Imam Abu Hanifah hanya menerima al-Qur‟an dan menolak sebagaian hadis yang keshahihanya diragukan, sekalipun ulama‟ lainya sudah melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi. b. Imam Abu Hanifah hanya tertuju pada al-Qur‟an semata dengan melalui qiyas dan istihsan, agar ayat-ayat al-Qur‟an dapat disesuaikan berbagai macam situasi dan kondisi. 15 Dengan demikian, pemikiran hukum islam dalam Imam Abu Hanifah ini dapat menggambarkan adanya usaha penyesuaian hukum islam (fikih) dengan kebutuhan masyarakat disegala bidang. Oleh sebab itu istimbat Imam Abu hanifah dalam menentukan hukum islam ini didasarkan pada alQur‟an, hadis, ijma’, qiyas, dan istihsan. Dan dari dasar inilah, maka obyek ijtihad menjadi luas, sehingga ketentuan beberapa hukum dapat diterapkan sesuai dengan keadaan masyarakat tanpa keluar dari prinsi-prinsip dan tata aturan baku Islam. 15
. Muhammad Ma‟sum Zein, Arus Besar Pemikiran Emoat Madzhab(Study Analisis Istimbat Para Fuqoha’),Op,cit, hlm.132
54
D. Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Panjang bayang-bayang matahari dalam Menentukan Waktu Salat Dhuhur dan Ashar Di kalangan para ulama‟ terdapat perbedaan pendapat dalam penentuan waktu salat, yang dimana perbedaan itu adalah mengenai waktu Dhuhur dan Ashar, dari perbedaan pendapat tersebut Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa:
ِ ِ ِ ِّ ِ َّ ت الظُّ ْه ِر ِمن ْ ت الْ َع ُ ْسوى الْ َف ْيء َوَوق ُ ْقال ابو حنيفة َوق ُص ِر مْنو َ َ الزَوال َإَل بُلُ ْوِغ الظ ِّل مثْلَْيو ِ الش ْم س ّ إِ ََل غُُرْو ِب Artinya : Imam Abu Hanifah berkata, “Waktu Dhuhur mulai dari tergelincirnya matahari sampai bayangan benda dua kali seperti bendanya selain waktu fai‟ (matahari berkulminasi) dan waktu Ashar dari bayangan benda dua kali seperti bendanya sampai tenggelamnya matahari.” 16 Dhuhur berakhir pada saat panjang bayangan suatu benda telah mencapai dua kali panjang bendanya, dan waktu Ashar masuk apabila panjang bayangan suatu benda telah mencapai dua kali bendanya.
Dan dalam kitab al-Mabsuth karangan Syamsudin al-Syarakhsi
ِ ِ ِ ت الظُّ ْه ِر ْ َوَرَوى َع ِن ُ ْص َار الظِّ ُّل قَ َام ًة ََيُْر ُج َوق َ اْلَ َس ِن اَِ ِْب َحنْي َف َة َرِحَ ُه َما اهللُ تَ َع َاَل اَنَّوُ ا َذا 17 ِ ِ وََل ي ْدخل َزقْت الْعص ِر ح ََّّت ي صْي َر الظِّ ُّل قَ َامتَ ْي َ َ ْ َ ُ ُُ َ َ
Artinya: 16
Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasa‟I, Kitab Bahru al-Rāiq, Jus.1(Beirut Lebanon;Dar Al-Fikri,2009) hlm. 425 17 Syamsudin Sarakhsi, Kitab al-Mabsuth, juz 1, (Beirut- Lebanon; Dar al-Ma‟rifat, TT) hlm. 142
55
Diceritakan dari Hasan Abi Hanifah sesungguhnya ketika bayangan benda itu sama dengan bendanya maka telah keluar waktu Dhuhur dan belum masuk waktu Ashar sehingga bayangan dua kali dari bendanya. Dijelaskan tentang pendapat Imam Abu Hanifah bahwa ketika bayangbayang suatu benda menjadi sama panjang bendanya maka berakhirlah waktu Dhuhur, akan tetapi belum masuk waktu Ashar, sedangkan waktu Ashar sendiri ketika bayang-bayang menda menjadi dua kali panjang bendanya.
Tetapi dalam riwayat lain, Imam Abu Hanifah juga berpendapat, yang telah dikemukakan oleh dua muridnya yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, yang tertera dalam kitab Raddul Mukhtar, Muhammad Amien Syahirban bin Abidin menyebutkan bahwa :
ِ ولِلظُّه ِر ِمن زو ِاِلا اِ ََل ب لُوِغ ِظل الشَّي ِئ ِمث لَي ِو ’ وِِف ِرواي ٍة عنو اَي ص َار ِظ ُّل ُك ِّل َشْي ٍئ ً ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ ْ ْ ِّ ْ ُ َ َ َ ْ ْ َ َ ضا اذَا ِ ِمثْلَو ََيْرج وقْت الظُّه ِر وَلَي ْدخل وقْت الْعص ِر ح ََّّت ي الرَوايَِة ِّ صْي ُر ِظ ُّل ُك ِّل َشْي ٍئ ِمثْلَْي ِو ’ فَ َعلَى َى ِذ ِه َ َ ْ َ ُ َ ُ ُ َ َ ْ ُ َ ُُ ُ ِ ْ َي الْوقْ ت ٌ ْي َوق ٌت ُم ْه َمل َ َْ َب Artinya : “Waktu dhuhur sejak tergelincirnya matahari sampai dengan bayangbayang suatu benda menjadi dua kali bendanya, dan pada riwayat lain juga, ketika bayang-bayang suatu benda telah menjadi sama seperti bendanya, maka waktu dhuhur telah habi, dan belum memasuki waktu Ashar, sehingga bayangbayang benda tersebut menjadi dua kali bendanya. Pada riwayat ini diantara dua waktu itu (bayang-bayang suatu benda telah menjadi sama seperti bendanya sampai bayang-bayang benda tersebut menjadi dua kali bendanya) maka waktu itu disebut dengan waktu longgar”.18 Dapat diambil kesimpulan bahwa akhir waktu Dhuhur adalah, ketika panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya, dan awal waktu
18
Syamsuddin Ahmad bin Sulaiman bin Kamal, AL-Idhoh fi syarh al-Islah fi al-fiqh alHanafi, (Beirut - Lebanon; Dar al-kotob al-Ilmiyah,2007), hlm.86
56
Ashar adalah ketika bayang-bayang dua kali panjang bendanya, dan diantara waktu tersebut tidak bisa dipakai untuk melaksanakan salat Dhuhur ataupun Ashar, karena waktu tersebut menurut Imam Abu Hanifah adalah waktu Mujmal (waktu longgar).
E. Dasar Pemikiran Imam Abu Hanifah Tentang Panjang bayang-bayang matahari dalam Menentukan Waktu Salat Dhuhur dan Ashar Al-Qur‟an dan hadis yang merupakan dasar hukum pokok telah menyebutkan dengan jelas mengenai ketentuan waktu salat.dalam hal ini Imam Abu Hanifah mengambil dari hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah r.a :
ِ ِ َّ أ، عب ِد اللَ ِو صلِِّو َّ ص َّ َِن الن ْ َع ْن َجابِر بْ ِن َ َ فَ َق َال قُ ْم ف، لى اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َجاءَهُ ج ِْْبيْ ُل َ َِّب ِ فَ َق َال قُم فَصلِِّو فَصلَّى الْع، ُُثَّ جاءه الْعصر، ت الشَّمس ِ َفَصلَّى الظُّهر ِحي َزال صا َر َْ صَر ح ْ َ َ َْ َ ْ َ ي َ ْ َ ُْ َ َُ َ ُ ْ ِ فَ َق َال قُم فَصلِِّو فَصلَّى الْم ْغ ِرب ِحي وجبت، ُُثَّ جاءه الْم ْغ ِرب، ِظ ُّل ُك ِّل َشي ٍء ِمثْلَو ُ َ َ ْ ََ َ ْ َ َ ُ َ َُ َ ْ ِ ِ ِ ِ َّ اب َْ صلَّى الْع َشاءَ ح ُ ُُثَّ َجاءَه، الش َف ُق َ َصلِّو ف َ َ فَ َق َال قُ ْم ف، َ ُُثَّ َجاءَهُ الْع َشاء،س َ ي َغ ْ الش ُ َّم ِ ِ َ فَ َق َال قُم ف،الْ َفجر ُُثَّ َجاءَهُ ِف، ي َسطَ َع الْ َف ْج ُر َْ حي بَ ْر َق الْ َف ْج ُر أ َْو قَ َال ح َْ صلَّى الْ َف ْجَر َ َصلِّو ف َ ْ َْ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ،ص ُر ْ ُُثَّ َجاءَهُ الْ َع، ُص َار ظ ُّل ُك ِّل َش ْيء مثْلَو َْ صلَّى الظُّ ْهَر ح َ ي َ َصلِّو ف َ َ فَ َق َال قُ ْم ف،الغَد الظُّ ْه ِر ِ ِ ٍِ ِ فَ َق َال قُم فَصلِِّو فَصلَّى الْع ِ َْ صَر ح ْ َ َ ْب َوقْ تًا َواح ًدا ََل َ ي َ ْ َ ُُثَّ َجاءَهُ الْ َم ْغ ِر، ص َار ظ ُّل ُك ِّل َش ْيء مثْلَْيو ِ ِ ِ ِ ُ ُف اللَّْي ِل أ َْو قَ َال ثُل ُ ص ْ بن َْ ُُثَّ َجاءَهُ الْع َشاءَ ح، ُيََزْل َعْنو ُ ُُثَّ َجاءَه، َصلَّى الْع َشاء َ َث اللَّْي ِل ف َ ي ذَ َى ِ َ فَ َق َال قُم ف، الْ َفجر ِحي أَس َفَّر ِجدِّا ِ ْ َي َى َذيْ ِن الوقْ ت ت ٌ ْي َوق َّ ص َْ َ ُُثَّ قَ َال َما ب، لى الْ َف ْجَر ْ َْ َ ْ َ َصلِّو ف َ ْ َ Artinya : Dari Jabir bin „Abdillah ra, bahwasanya Nabi SAW, pernah didatangi oleh Jibril as lalu ia berkata kepada Nabi SAW, “ Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat Dhuhur ketika matahari telah tergelincir. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Nabi SAW shalat Ashar ketika bayangan suatu benda sama panjang dengan bendanya. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Maghrib dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Kemudian Nabi SAW shalat
57
Maghrib ketika matahari telah terbenam. Kemudian Jibril mendatanginya saat „Isya‟' dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat „Isya‟' ketika syafak atau awan merah telah hilang. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Subuh dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat Subuh ketika muncul fajar. Keesokan harinya Jibril kembali mendatangi Nabi SAW saat Dhuhur dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Kemudian Nabi SAW shalat Dhuhur ketika bayangan semua benda sama panjang dengan bendanya. Kemudian Jibril mendatanginya saat Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat Ashar ketika panjang bayangan semua benda dua kali panjang bendanya. Kemudian Jibril mendatanginya saat Maghrib pada waktu yang sama dengan kemarin dan tidak berubah. Kemudian Jibril mendatanginya saat „Isya‟' ketika pertengahan malam telah berlalu atau sepertiga malam, maka Nabi SAW shalat „Isya‟'. Kemudian Jibril mendatangi Nabi SAW saat hari sudah sangat terang dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat Subuh. Kemudian Jibril berkata, “Di antara dua waktu tersebut adalah waktu shalat” (HR. Ahmad). 19 Dalam hadis diatas pada hari pertama Nabi SAW melakukan salat Ashar ketika bayang-bayang matahari sama panjang bendanya, dan di hari kedua Nabi SAW melakukan salat Ashar pada saat bayang-bayang matahari menjadi dua kali panjang bendanya.
19
Imam Ahmad bin Hambal al-Musnad, Sunan Al-Nasa’I (Beirut-Lebanon; Dar alFikr alArabi, TTH), hlm.25