TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Syari’ah Dalam Ilmu Jinayah Siyasah
Oleh : MALIK KHABIBURROHMAN NIM. 052211180
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010 i
ABSTRAK Dalam hukum pidana dikenal beberapa asas yang menjadi dasar bagi pembentukan serta penerapan hukum. Asas-asas ini merupakan asas yang telah diakui oleh hukum Internasional sebagai dasar bagi suatu negara untuk menerapkan hukum yang berlaku di negra tersebut. Akan tetapi dalam penerapannya, asas-asas ini dapat saling bertautan dalam masalah kejahatan yang melibatkan dua atau lebih negara. Islam sendiri meskipun pada dataran ideal ajaran-ajarannya bersifat universal, akan tetapi pada dataran praktis lebih bersifat regional. Berdasarkan hal ini hukumhukum Islam mengenai pidana khususnya hanya dapat diterapkan dalam wilayah-wilayah kekuasaan dar as-salam. Dalam penerapan hukum, suatu negara dapat menerapkan hukum terhadap kejhatan yang terjadi di wilayahnya berdasarkan asas teritorial yang menitik beratkan tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum. Setiap orang (warga negara maupun warga negara Asing) yang mengancam keamanan negara maupun warganya di luar batas-batas wilayah negara berlaku ketentuan pidana berdasarkan asas personalitas (pasif). Adapun dalam hukum pidana Islam ketentuan mengenai batas-batas berlakunya ketentuan pidana salah satunya dapat dilihat dalam teori imam madzhab Hanafi menekankan aspek tempat (locus delicti) sebagai dasar pemberlakuan hukum pidana Islam. Teori Imam Abu Hanifah tidak jauh berbeda dengan hukum pidana Indonesia artinya sama-sama menekankan pada unsur tempat (wilayah teritorial), akan tetapi hukum pidana Indonesia lebih lengkap dalam menerapkan pidana yang lebih dikenal sebagai asas hukum yaitu; asas teritorial, asas personal aktif, personal pasif dan asas universal. Dapat kita ketahui dalam KUHP pasal 2-9. Dalam hukum Internasional setiap negara dianggap memiliki wewenang untuk melaksanakan ketentuan hukum terhadap setiap kejahatan yang terjadi di wilayah negara tersebut. Adapun pemberlakuan hukum terhadap warga negara yang berad di luar wilayah negara tersebut sebagai kewajiban sekaligus tanggung jawab sebagai warga negara. Asas-asas yang menjadi dasar diberlakukannya ketentuan pidana menurut tempat (locu delicti); asas teritorial, asas nasionalitas aktif dan pasif dan asas universal maupun teori Imam Abu Hanifah, dalam penerapannya memilki persamaan dan perbedaan serta titik taut yang dapat dipertemukan. Dalam hal penerapan hukum tehadap kejahatan yang berlaku di wilayah negara (dar as-salam dan dar al-harb), setiap negara memiliki wewenang untuk menerapkan hukum pidana terhadap setiap kejahatan yang terjadi di batas-batas wilayah negara tersebut tanpa melihat kewarganegaraan pelaku. Dalam hukum Internasional hal ini dapt dibenarkan dikarenakan negara yang menjadi tempat dilakukannya suatu kejahatan dianggap sebagai negara yang paling memiliki wewenang untuk menerapkan hukum pidana nasionalnya. Dengan demikian hukum pidana negara yang menjadi tempat (locus delicti) dilakukannya kejahatan berlaku bagi seorang warga dar as-salam yang melakukan kejahatan di wilayah dar al-harb atau seorang warga dar alharb yang melakukan kejahatan di wilayah dar as-salam.
ii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran
dan tanggung jawab penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi dalam referensi yang penulis jadikan bahan rujukan.
Semarang, 31, Mei, 2010 Deklarator,
Malik Khabiburrohman NIM. 052211180
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eksemplar Hal
: Naskah Skripsi a.n. Sdr. Malik Khabiburrohman
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudara : Nama
: Malik Khabiburrohman
Nim
: 052211180
Judul
: TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF
IMAM ABU HANIFAH Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 31, Mei, 2010 Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Muhyiddin, M. Ag. NIP. 19550228 198303 1 003
Drs. Moh Solek, M.A NIP. 19660318 199303 1 004
iv
PENGESAHAN PENGUJI
Nama
: MALIK KHABIBURROHMAN
NIM
: 052211180
Jurusan
: JINAYAH SIYASAH
Judul
:TEORI LOCUS DELECTI PERSPEKTIF IMAM ABU HSNIFAH
Telah memunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang dinyatakan lulus pada tanggal: 28 Juni 2010 Dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir Program sarjana Strata satu (1) guna memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Syari'ah. Semarang, 22 Juni 2010 Mengetahui Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Drs. Miftah AF, M. Ag. NIP. 19530515 198403 1 001
Drs. Moh. Solek, M.A. NIP. 19660318 199303 1 004
Penguji I
Penguji II
Drs. H. A. Fatah Idris, M. S.I. NIP. 19520805 198303 1 002
H. Ade Yusuf Mujadid, M. Ag. NIP. 19670119 199803 1 002
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Muhyidin, M.Ag NIP. 19550228 198303 1 003
Drs. Moh. Solek,M.A NIP. 19660318 199303 1 004
v
MOTTO
ّ ا ور “Hukum itu berputar bersama illatnya ”.
vi
PERSEMBAHAN
Salah satu karya sederhana menggapai cita, takkan berarti tanpa kehadiran mereka, penulis persembahkan karya ini sebagai salah satu wujud mengangkat derajat kedua orangtua dan keluarga: 1. ”Kedua pahlawanku paling sabar” dan sumber inspirasi ”(bapak Asnawi, BA dan Ibu Hanik Siti Musyarofah, BA)” pemilik samudera kasih sayang yang tak pernah surut sehingga tetap tegar dalam menyongsong masa depan yang gemilang, yang selalu mendoakan dan tiada henti mendidik dan selalu berjuang untuk kehidupan keluarga, Insya’Alloh Tuhan SWT membalas keduanya dengan derajat yang lebih tinggi, Amin... 2. Saudara ku, keluarga “TELETUBBIS”: mas Fuad, Risma, dan Riza yang selalu memberi motivasi belajar. 3. “Hana Mufida”, My Inspirasi yang selalu mendukung setiap waktu, memotivasi dan fasilitas selama pembuatan skripsi, terima kasih atas kesabaran, perhatian, kesetiaan dan pengabdiannya. 4. “Mas. Syiarudin”, terimakasih atas didikan dan perhatiannya selama di Semarang.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas nikmat, taufiq dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada makhluk-makluk Nya. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi. Sholawat serta Salam kehadirat Nabi Agung Muhammad Saw, keluarganya, sahabatsahabatnya, semoga kita mendapatkan syafaatnya baik di dunia maupun di akhirat nanti, dan semoga kita betul-betul diakui sebagai umat beliau, Amien. Selanjutnya, penulis juga memanjatkan syukur kepada Allah SWT sehingga untukmelengkapi tugas penulis sebagai mahasiswa dengan menyusun skripsi denganjudul ”TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH” dapat diselesaikan meskipun masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Penulis sangat menyadari bahwa selain dukungan dan bantuan dari orang tua dalam menyusun skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik materi maupun spiritual (do’a). Dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Rektor IAIN Walisongo Semarang 2. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah dan staf
Jinayah Siyasah IAIN Walisongo
Semarang 3. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag, dan bapak Drs. Moh.Solek, MA selaku pembimbing yang telah membantu dan membimbing serta memberi pengarahan penulis sehingga skripsi ini selesai. 4. Bapak M. Saifullah, M.Ag, selaku wali studi selama ini. 5. Dosen pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah, dan staf karyawan yang telah membekali ilmu kepada penulis. 6. Kawan-kawan organisasi politik ”GERINDRA” dan LSM ”JOGLO”, terimakasih atas kerjasama dan motivasinya. 7. Teman-teman kost AL-FIRDAUS II: Ridho’, Ahnaf, , Anam, Arip, Anshori, Baidhowi, Jawaher, Sarif, Uly, Amron dan Faesol
viii
yang selalu memberi
semangat, selalu mendukung, dan senantiasa berbagi rasa dalam suka maupun duka. 8. Sahabat-sahabat se nasib dan se perjuangan, semua anak Jinayah Siyasah khususnya kelas JS B angkatan 2005 yang selalu SEMANGAT…!!! 9. Keluarga besar “KMT” cabang Walisongo Semarang yang telah memberikan banyak pengalaman berharga. 10. Sahabat-sahabat PPL - KKL, terima kasih atas kerjasamanya. 11. Kawan-kawan KKN Pahlawan di desa Curug 1000, terima kasih atas kebersamaan nya. Kapan kita ngajar WB lagi? 12. Om Sowam n Bang Thobroni yang selalu memberikan informasi 13. UKM WSC (Walisongo Sport Club), Ayo… tembus Liga Super,.!!! 14. Semua pihak yang berpengaruh dalam pembuatan skripsi ini, terima kasih. 15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, atas bantuan, motivasi dan do’a yang telah diberikan kepada penulis. Semua bantuan dan dukungan yang telah mereka berikan dengan tulus ikhlas semoga mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan penulis, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan, demi kemajuan penulis. Selanjutnya bagi para pembaca skripsi ini, semoga skripsi ini dapat memberikan sedikit manfaat meskipun dalam penulisan masih perlu ditindaklanjuti untuk kesempurnaannya. Untuk itu sangat kami harapkan bagi pembaca atas saran serta kritik yang membangun untuk menambah wawasan keilmuan dalam bidang ilmu sosial, ilmu hukum dan ilmu politik.
Semarang, Penulis, 31, Mei, 2010
Malik Khabiburrohman NIM. 052211180
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….… i ABSTRAK ………………………………………………………….…………… ii DEKLARASI …………………………………………………………..……...... iii NOTA PEMBIMBING ……………………………………………….……....... iv PENGESAHAN …………………………………………………………..…….. v MOTTO ………………………………………………..……………………...… vi PERSEMBAHAN …………………………………………………………….… vii KATA PENGANTAR ………………………………………………………...... viii DAFTAR ISI …………………………………………………………………..… x BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………….……………….…….. 1 B. Rumusan Masalah ……………………….…………….…… 7 C. Tujuan dan Kegunaan ……………….…………..…………. 7 D. Telaah Pustaka …….…………………………….…………. 8 E. Metode Penelitian ……………………………….….………. 12 F. Sistematika Penulisan Skripsi ………………………..……... 15
BAB II
: KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT (LOCUS DELICTI) PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Pengertian Locus Delicti …………...…...………......…….… 17 B. Teori Locus Delicti ...............................................…...…….. 18 1. Teori Personal …………………………………………. 18 2. Teori Alat (instrument) ………………………………... 19 3. Teori Akibat …………………………………………… 19 C. Penerapan Teori Locus Delicti (Asas Berlakunya undang-undang pidana menurut hukum pidana positif) …... 20 1. Asas Teritorial ……………………………………..….. 20 2. Asas Kewarganegaraan (Nasional Aktif) ……………... 29 3. Asas Kewarganegaraan (Nasional Pasif) ……………… 34 4. Asas Universal ………………………………………… 36
BAB III
: TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH A. Biografi Singkat … ..………………...…………..…….…… 41 B. Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah ……..……...……..…... 45 C. Teori Locus Delicti .…………………………………….….. 54
x
BAB IV
: ANALISIS TEORI DAN PENERAPAN LOCUS DELICTI (KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT) PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH A. Teori Locus Delicti ............................................................. 63 B. Penerapan Teori Locus Delicti ............................................ 71
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………….…. 82 B. Saran ………………………………………………….…… 83 C. Penutup ……………………………………………….…… 84
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syari’ah) Islam.1 Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat kini tidak dapat terelakkan dan sudah dapat dirasakan hampir di semua negara, terutama di negara berkembang seperti Indonesia pada umumnya. Pengaruh ini ada yang berdampak positif dan ada yang berdampak negatif. Pengaruh positif yang dapat dirasakan di antaranya adalah adanya peningkatan hubungan masyarakat Internasional yang pesat di bidang perekonomian pada umumnya dan bidang perdagangan pada khususnya. Pengaruh yang berdampak negatif antara lain meningkatnya lalu lintas tindak pidana lintas teritorial antara satu negara dengan negara lainnya. Perkembangan tindak pidana ini selain telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan kepentingan kesejahteraan, keamanan dan ketertiban suatu negara, juga telah
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB.
1
2
menimbulkan sensitivitas hubungan diplomatik antara negara-negara yang terlibat dalam jaringan tindak pidana yang ber dimensi Internasional.2 Salah
satu
dampak
tindak
pidana
Internasional
yang dapat
menimbulkan sensitivitas hubungan diplomatik (karena dominan nya faktor politik dalam penyelesaian kasus pidana yang melibatkan lebih dari satu negara) antara satu negara dengan negara lainnya adalah masalah yuridiksi3 kriminal. Dalam KUHP Indonesia secara tersirat disebutkan beberapa asas yang menjadi landasan bagi pembentukan serta pemberlakuan hukum pidana atas suatu peristiwa pidana menurut tempat yaitu asas teritorial, asas personalitas berdasarkan
kewarganegaraan
aktif,
asas
personalitas
berdasarkan
kewarganegaraan pasif dan yang terakhir adalah asas universal.4 Asas-asas ini merupakan dasar yang di atasnya dapat dilaksanakan yuridiksi suatu negara.
2
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995, hlm 1. 3 Pengertian yuridiksi atau wewenang harus dibedakan dengan pengertian berlakunya undang-undang. Yuridiksi berkaitan dengan kedaulatan suatu negara untuk menangkap, menahan dan mengadili setiap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial negara yang bersangkutan. Penjelasan khusus mengenai yuridiksi ini berkaitan dengan locus delicti. Doktrin mengenai penentuan locus delicti atau tempat tindak pidana adalah mengenai penetapan kompetensi relatif dari suatu pengadilan dan untuk menentukan berlakunya undang-undang. Penentuan kompetensi pengadilan telah diatur di dalam Bab X Pasal 84-88 KUHAP. Sedangkan pengertian berlakunya undang-undang pidana berkaitan erat dengan jangkauan efektivitas berlakunya undang-undang hukum pidana suatu negara. Hal ini telah diatur dalam Pasal 1 (menurut waktu) dan Pasal 2-9 (menurut tempat). Meskipun berkaitan, kedua pengertian ini mempunyai pengaturan yang berbeda dan perbedaan ini tergantung dilihat dari sudut sistem hukum yang berlaku, yaitu sistem Civil Law atau sistem Common Law. Sistem Civil Law menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum utama, sedangkan Common Law menempatkan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang utama. Lihat Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1996, hlm. 84-86. 4 Asas-asas ini ditulis secara tersirat dalam Pasal 2-9 KUHP. Meskipun demikian dalam pasal-pasal tersebut dapat ditemukan aturan tentang pemberlakuan undang-undang pidana Indonesia dilihat dari segi tempat. Lihat Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hkum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, cet-27, 2008, hlm. 3-5.
3
Asas-asas tersebut juga dianut oleh sebagian besar hukum pidana negara lain di dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas-asas tersebut merupakan asas-asas hukum pidana Internasional yang berlaku umum.5 Penerapan asas-asas tersebut oleh negara-negara dalam rangka menerapkan hukum pidana nasional nya masing-masing dalam beberapa masalah dapat menimbulkan pertautan yuridiksi, di antaranya adalah terhadap tindak pidana yang melibatkan dua negara atau lebih. Begitu juga dengan hukum pidana Indonesia dalam kasus pidana yang memiliki dimensi Internasional (transnasional).6 Asas teritorial terdapat dalam pasal 2 KUHP yang berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan sesuatu tindak pidana”. Asas teritorial ini melahirkan yuridiksi teritorial, yaitu kedaulatan atau kewenangan suatu negara yang berdasarkan hukum Internasional untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi dalam batas-batas wilayah negaranya. Salah satu wujud dari yuridiksi teritorial suatu negara adalah membuat serta memberlakukan hukum pidana nasional nya terhadap tindak pidana yang terjadi dalam wilayah negara tersebut. Ketentuan ini berlaku bagi warga
5
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yrama Widya, 2003, hlm. 11. 6
Bisa jadi satu kasus kejahatan melibatkan beberapa negara seperti tindak pidana yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di wilayah teritorial Malaysia. Kasus seperti ini akan melahirkan pertautan yuridiksi dalam menentukan hukum pidana negara mana (Indonesia atau Malaysia) yang berlaku terhadap kasus pidana tersebut. Hal ini bisa terjadi karena Malaysia dapat memberlakukan hukum pidana nya terhadap pelaku atas dasar asas teritorial karena perbuatan tersebut terjadi di wilayah teritorial Malaysia sedangkan Indonesia bisa memberlakukan hukum pidana nasional berdasarkan asas nasional aktif. Lihat Ibid., hlm. 17-21.
4
negaranya sendiri maupun orang asing yang melakukan suatu tindak pidana.7 Ini merupakan dasar yang diunggulkan bagi pelaksanaan yuridiksi negara. Peristiwa yang terjadi dalam batas-batas teritorial suatu negara dan orangorang yang berada di wilayah tersebut sekalipun untuk sementara, pada lazimnya tunduk pada penerapan hukum lokal.8 Dalam hukum pidana Islam sendiri meskipun secara teoritis ajaran Islam untuk seluruh dunia (universal), peraturan-peraturannya tidak saja mengikat kaum muslimin yang hidup di bawah kekuasaan negara Islam melainkan juga mereka yang berada di luar kedaulatan negara Islam,9 Berbeda dengan syari’at nabi-nabi sebelumnya yang bersifat lokal dan temporal, syari’at Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW bersifat Internasional dan kekal hingga akhir zaman. Dengan kata lain syari’at Islam bersifat universal melintasi batas-batas ruang dan waktu. Hal ini ditegaskan dalam Firman Allah SWT dalam surat As-Saba’ ayat 28:
ن َ !ُ#َ$ْ َ َ س ِ َأ ْآ َ َ ا ِ َس ًَِا َو ًَِا َو ِ ِ ً َك ِإ آ َ َْ َ َْوَ َأر (٢٨) Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Q.S. AsSaba’: 28).10 Akan tetapi pada dataran praktis tidaklah demikian. Amin Widodo berpendapat bahwa meskipun pada asasnya hukum Islam itu berlaku universal 7
I Wayan Parthiana, 0p.cit., hlm. 12-13. Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi, Semarang: IKIP Semarang Press, 1993, hlm. 120. 9 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri al-Jana’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wad‘iy, Juz. I, Beirut: Muasasah ar- Risalah. 1994, hlm. 275. 10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah, Semarang : Toha Putra, 2006, hlm.688. 8
5
akan tetapi dilihat dari segi ‘amaliyyah-nya adalah bercorak iqlimiyyah, artinya hukum Islam hanya dapat diterapkan dalam lingkungan yuridiksi dar as-salam.11 Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa hukum Islam mempunyai batasan mengenai kekuasaan berlakunya ketentuan pidana dilihat dari segi tempat. Tidak di segala tempat (wilayah atau negara) hukum Islam dapat diterapkan, bahkan dalam negara yang hukum-hukumnya dibangun berlandaskan syariat Islam sekalipun terkait dengan siapa yang menjadi pelaku dan di mana perbuatan tersebut dilakukan. Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterapkan atas jarimah (tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempat-tempat yang masuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah maupun pelaku, muslim maupun non-muslim.12 Di luar dar as-salam hukum Islam yang menyangkut masalah pidana tidak berlaku kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak perseorangan (haq adamiy). Pendapat yang popular yang selalu menjadi rujukan dan sandaran hujjah ialah pengertian Dar kufr yang disebut oleh al-Kasani dari Mazhab Hanafi dalam Kitabnya Bada'I'alsana'I', juz 7, Al-Kasani menyebut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani (murid Abu Hanifah): Maksudnya: Sesungguhnya kenyataan yang kami sebut dar al-Islam dan dar kufr ialah menyandarkan keadaan negara kepada Islam dan kepada kufur. Sebenarnya disandarkan
11
L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994, hlm. 17. 12 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar. Golongan, (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash Shhidieqy, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 8.
6
negara kepada Islam atau kepada kufur adalah kerana zahir (menonjolnya) Islam atau menonjolnya kufur di dalamnya.13 Teori Abu Hanifah menitikberatkan pada tempat sebagai unsur utama untuk menentukan berlaku tidaknya ketentuan hukum Islam. Pada dasarnya, berlakunya hukum pidana itu berkaitan erat dengan kondisi suatu masyarakat yang mengenal struktur kekuasaan. Dalam pelaksanaannya, sesungguhnya pemberian hukuman kepada setiap pelaku kejahatan yang bersifat publik terdapat dalam setiap masyarakat. Salah satu dari ajaran Islam adalah memperhatikan dan menghormati hak hidup manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam menyamakan kedudukan kaum muslimin dengan kaum śimmi, yaitu orang kafir yang berlindung di bawah kekuasaan Negara Islam, dalam kehidupan sosial dan politik. Sedangkan dalam bidang akidah tidak boleh ada persamaan sama sekali, juga tidak boleh kompromi. Dalam hal ini Islam telah menarik garis nyata antara kaum Muslimin dan orang-orang kafir.14 Terkait dengan bahasan di atas yang kemudian menjadi persoalan adalah apakah teori Imam Abu Hanifah Indonesia merupakan salah satu bagian dari negara Islam (dar as-salam)? Atau dar al-harby?, bagaimana rumusan (aplikasi) asas yang membatasi berlakunya ketentuan pidana (teori Imam Abu Hanifah)? Artinya, bagaimana bila seorang penduduk Indonesia atau penduduk negara yang memakai hukum pidana positif melakukan suatu 13
Al-Kasani, Badaa’I’alsana’I’ fi tartibi asy-syara’i, juz 7Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997, hlm. 130-131. 14 Hasmi, A., Dimana Letak Negara Islam, cet.I. ( Surabaya : P.T. Bina Ilmu, 1984 ), hlm. 222. Lihat juga ENSIKLOPEDI Islam, Dewan Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).V: 236.
7
tindak pidana di negara yang menerapkan aturan pidana Islam (dar as-salam) atau sebaliknya, bagaimana jika seorang muslim atau seorang penduduk dar as-salam melakukan tindak pidana di Indonesia atau negara yang landasan hukumnya berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana positif. Ketentuan hukum pidana manakah yang berlaku dalam kasus tersebut? Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABUHANIFAH” untuk mendapatkan kajian yang lebih mendalam mengenai permasalahan di atas.
B. Rumusan Masalah Bertolak dari pemikiran di atas, maka skripsi ini mencari pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana aplikasi ketentuan pidana menurut tempat (teori locus delicti) perspektif Imam Abu Hanifah?
C. Tujuan dan Kegunaan Adapun tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah: 1. Tujuan a. Untuk mengetahui ketentuan pidana menurut tempat (teori locus delicti) perspektif Imam Abu Hanifah.
8
b. Untuk mengetahui aplikasi ketentuan pidana menurut tempat (teori locus delicti) perspektif Imam Abu Hanifah. 2. Kegunaan a. Sebagai pengembangan keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum di Indonesia, terutama dalam masalah hukum pidana khusus nya Jinayah Siyasah b. Mengetahui teori yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah dalam masalah locus delicti. c. Sebagai bahan acuan bagi yang akan melanjutkan penelitian tentang asas-asas berlakunya ketentuan pidana dalam hukum Islam dan hukum pidana positif. d. Sebagai salah satu kontribusi pemikiran penyusun dalam bidang hukum di Indonesia, terutama dalam masalah pidana.
D. Telaah Pustaka Dalam menulis skripsi ini, penulis melakukan telah pustaka secara fokus membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan judul skripsi. Di dalam skripsi saudara Khoirudin Zuhri (2100093) Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah (2004/2005) IAIN Semarang dengan judul “Kewarganegaraan
dalam
Sistem
Ketatanegaraan
Islam”.
Dalam
pembahasan skripsinya mengenai kafir zimmiy di wilayah Negara Islam (kaitannya dengan locus delicti), bahwa dalam pemberlakuan hukum pidana terjadi persamaan antara seorang muslim dengan zimmiy. Sebagaimana warga
9
negara non muslim terikat pula oleh hukum pidana yang sama tanpa adanya pembedaan kecuali dalam jarimah yang terkait dengan minum-minuman keras. Di dalam skripsi saudara Suhardi (2199135) Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah (2004/2005) IAIN Semarang dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 134 dalam KUHP Tentang Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Presiden atau Wakil Presiden”. Dalam pembahasan skripsinya dijelaskan secara global terhadap unsur-unsur delik penghinaan. Seseorang dapat dikatakan telah melanggar hukum dalam suatu tindak pidana, maka perbuatan
tersebut
harus
dapat
dirumuskan.
Adapun
syarat
untuk
memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik. Rumusan delik dalam hukum pidana penting sebelum menjatuhkan pidana karena merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Salah satu rumusan delik tersebut ialah jelas ruang berlakunya delik tersebut, dalam artian bahwa tempat kejadian perkara pidana tersebut (locus delicti) Dalam makalah nya Romli menulis tentang Pengaruh Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Nasional. Ia mempertanyakan sejauh manakah asas-asas berlakunya hukum pidana nasional dapat dipertahankan seutuhnya dan merupakan “hak eksklusif” dari setiap negara.15 Menurutnya perkembangan kejahatan memasuki abad 21 tidak
15
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tanggal 5, Desember, 2009, pukul 22.00 WIB.Romli Atmasasmita, “Pengaruh Konvensi Internasional terhadap Perkembangan Asas-asas Hukum Pidana Nasional.”Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-asas Hukum Pidana Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
10
lagi sebatas wilayah teritorial suatu negara melainkan sudah melampaui batas satu atau lebih. Menurut T. M. Hasbi Ash Shhidieqy dalam bukunya Hukum Antar Golongan, pada dasarnya syari’at Islam hanya diberlakukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan di darul Islam, serta kejahatan yang dilakukan di darul harbi.16Namun para fuqaha berbeda pendapat dalam menerapkan prinsip ini. Akibat perbedaan pendapat ini, muncul tiga aliran (paham) tentang penerapan hukum terhadap kejahatan berdasarkan tempat kejadian perkara (locus delicti). I Wayan Parthiana dalam bukunya yang merupakan kumpulan makalah serta artikelnya yang pernah dipublikasikan, menulis tentang suatu pertautan antara yuridiksi negara dan asas-asas hukum pidana nasional dalam suatu peristiwa pidana yang ber dimensi internasional. Ia membahas maksud, tujuan serta substansi dari asas-asas hukum pidana yang diakui oleh kebanyakan negara-negara di dunia ditinjau dari segi hukum internasional dan hukum pidana nasional. Ia mencoba menjawab persoalan tentang pertautan asas-asas hukum pada tindak pidana yang melibatkan dua negara atau lebih (lintas teritorial).17 Selain itu, ia juga membahas masalah penerapan yuridiksi universal melalui mekanisme ekstradisi atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada kesimpulannya ia menulis bahwa meskipun terhadap kejahatan kemanusiaan dapat diberlakukan yuridiksi universal dari hukum pidana, akan
Hak Asasi Manusia RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 26-27 April 2004, 16 T.M. Hasbi Ash Shhidieqy, op. cit., hlm. 8. 17 I Wayan Parthiana,op.cit.., hlm. 1-22.
11
tetapi dalam kenyataannya bukanlah hal yang mudah untuk mengadili serta memberi hukuman terhadap pelaku tindak pidana terhadap kemanusiaan. Hal ini, menurutnya dikarenakan adanya kendala dalam proses peradilan yang terletak pada faktor kedaulatan negara dari segi ada atau tidaknya kemauan politik, baik untuk mengadili sendiri pelaku, mengekstradisikannya kepada negara lain yang meminta atau menyerahkan proses peradilan kepada badan peradilan pidana Internasional.18 Amin Widodo dalam bukunya yang berjudul Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional menulis pendapat para imam mazhab mengenai berlakunya hukum pidana dari segi tempat. Dalam bukunya dipaparkan teori para imam mazhab yang pada prinsipnya hukuman terhadap pelaku tindak kejahatan yang dilakukan di dar al-harb tidak wajib dilakukan. Begitu juga sebaliknya, setiap kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dalam maupun di luar negeri tetap berhak mendapat hukuman. Larinya pelaku kejahatan ke dar as-salam atau ke dar al-harb tidak dapat menggugurkan hukuman yang telah ditetapkan.19 Sejauh penulis ketahui, belum ada skripsi yang membahas tentang teori Locus Delicti (analisis perbandingan hukum pidana positif dengan Imam Abu Hanifah). Meskipun demikian, buku-buku yang membahas hukum pidana (hukum pidana Islam dan hukum pidana positif) dapat ditemukan membahas mengenai hal ini. Akan tetapi buku-buku tersebut bahasanya tidak terlalu mendalam dan dibahas secara terpisah, artinya dalam hukum pidana Islam 18 19
Ibid., hlm. 38. L. Amin Widodo, op. cit., hlm. 28.
12
sendiri dan hukum pidana positif sendiri dengan tidak membandingkan antara keduanya.
E. Metode Penelitian Skripsi ini dimaksudkan penulis untuk mengetahui tentang asas berlakunya ketentuan pidana menurut tempat kejadian perkara (teori locus delicti) dalam perspektif hukum pidana positif dan teori Imam Abu Hanifah. Ada beberapa bagian dalam metode penelitian ini, antara lain jenis dan data penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian dan teknik analisis data. 1. Jenis dan Data Penelitian Ditinjau dari segi metodologi, penelitian ini merupakan library research (penelitian pustaka) yaitu penelitian yang berdasarkan data-data kepustakaan (melalui buku, surat kabar, majalah, jurnal, internet dan lainlain).20 Adapun jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah: a) Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian
dengan
menggunakan
alat
pengukuran
atau
alat
pengambilan langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Adapun sumber data ini diperoleh dari buku karangan Alau alDin Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’I as-Sana’I fi Tartib asy-
Syara’I, Juz VII, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, Imam Kamaluddin bin Al-
20
Marzuki, MetodologiRiset, BPFE UII, Jogjakarta, 1995, hlm. 7.
13
Ghamam, Syarah Fathul Qadir Ala’Hidayah Syarah Bidayatul Mubtadi, Juz IV, Bairut: Darrul Kitab Alamiyah dan pasal 2 sampai 9 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). b) Data Sekunder Bahan-bahan ini terdiri dari buku-buku, internet, dan kitabkitab lainnya yang di dalamnya terdapat masalah yang berkaitan dengan masalah tersebut di atas misalnya; Abd al-Qadir ‘Audah ‘, atTasyri al-Jana’I al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’iy, Baeirut: Muasasah ar-Risalah, 1994. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik, yaitu menjelaskan tentang asas berlakunya ketentuan pidana dari segi tempat serta penerapannya asas-asas tersebut secara sistematis serta memberikan penelitian secara cermat dan tepat terhadap objek kajian tersebut. Selanjutnya konsep tentang asas-asas berlakunya ketentuan pidana dari segi tempat (locus delicti) dibandingkan supaya dapat diketahui dari segi persamaan dan perbedaan dalam hukum pidana positif dengan teori Imam Abu Hanifah. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-yuridis yakni menginventarisasi norma-norma hukum yang ada, baik dalam hukum pidana Islam maupun hukum positif, yang berkaitan dengan asas berlakunya hukum pidana dari segi tempat (locus delicti).
14
4. Teknik Analisis Data Akumulasi data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut : a. Induktif, yaitu dengan mengurai data yang bersifat khusus dan menarik kesimpulan yang bersifat umum. Metode ini digunakan dalam menjelaskan pendapat-pendapat dari Imam Abu Hanifah dengan pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai locus delicti dan menarik kesimpulan dari pendapat-pendapatnya terebut. b. Komparatif, yaitu menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingkan untuk diketahui mana yang lebih benar atau untuk mencapai kemungkinan mengkompromikan, shingga dapat diketahui kelebihan dan kelamahan dari teori tersebut.
15
F. Sistematika Penulisan Skripsi Skripsi ini dibagi menjadi lima bab, adapun sistematika pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, Telaah pustaka, metode penelitian skripsi dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II
KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT (LOCUS DELICTI) DALAM HUKUM DI INDONESIA Bab ini membahas locus delicti dalam hukum pidana positif, pengertian locus delicti, Teori locus delicti, dan penerapan locus delicti di Indonesia.
BAB III
TEORI
IMAM ABU HANIFAH TENTANG LOCUS
DELICTI Bab ini membahas mengenai biografi singkat,
metode istinbat
hukum yang digunakan Imam Abu Hanifah dan teori locus delicti yang digunakan Imam Abu Hanifah.
16
BAB IV
ANALISIS TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH Bab ini merupakan analisis terhadap teori locus delicti dan aplikasi asas-asas berlakunya hukum pidana dari segi tempat (locus delicti) perspektif Imam Abu hanifah.
BAB V
PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan penutup.
BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT (LOCUS DELICTI) PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA
A. Pengertian locus delicti Pembentukan undang-undang dapat menetapkan ruang berlakunya undang-undang yang dibuatnya. Pembentukan undang-undang pusat dapat menetapkan berlakunya undang-undang pidana terhadap tindak-tindak pidana yang terjadi dalam atau di luar wilayah Negara sedang pembentuk-pembentuk undang-undang di daerah hanya terbatas pada daerahnya masing-masing, wilayah suatu negara itu hanya pengertian dalam hukum tata negara.1 locus delicti adalah tempat terjadinya suatu tindak pidana atau lokasi tempat kejadian perkara atas suatu tindak pidana terjadi, dalam istilah hukum Internasional locus delicti adalah sebuah istilah yang berarti kewenangan yurisdiksi atau wilayah kewenangan peradilan.2 Sedangkan dalam KUHAP Republik Indonesia dalam pasal pasal 84 menjelaskan locus delicti sebagai berikut: Pasal (1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Pasal (2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut apabila 1
Sudarto, hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudaarto d/a Fakultas Hukum UNDIP, 1990, hlm. 32 2 http://daemien-ocehankosong.blogspot.com/2009/07/polisi-dan-locus-delicti.html/19-0410-19.30.
17
18
tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. (UU no 8 /1981 tentang KUHAP)
B. Teori locus delicti Pembahasan mengenai locus delicti diperlukan karena hal ini berhubungan dengan Pasal 2-9 KUHP yaitu menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana atau tidak. Selain itu, locus delicti juga akan menentukan pengadilan mana yang memiliki wewenang terhadap kasus tersebut dan ini berhubungan dengan kompetensi relatif.3 Mengenai locus delicti, ada beberapa teori untuk menentukan di mana tempat terjadinya perbuatan pidana yaitu teori mengenai tempat di mana perbuatan dilakukan secara personal, kedua adalah teori tentang instrument dan yang terakhir adalah teori tentang akibat.4 1. Teori tentang di mana perbuatan dilakukan secara personal Yang dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan dalam teori ini adalah tempat di mana perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman dilakukan. Menurut teori ini, jika seorang pelaku menikam korbannya di Jakarta, setelah terjadi penikaman tersebut si korban pulang ke Bogor dan di sana ia mati, maka meskipun akibatnya (matinya korban) terjadi di Bogor, yang dianggap sebagai tempat dilakukannya perbuatan adalah Jakarta. 3
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Putra, 2000, hlm. 78. Mengenai teori-teori tentang locus delicti lihat misalnya Satochid Kartanegara, Hukum Pidana (t.tp. Balai Lektur Mahasisiwa, t.th), hlm. 154-158. 4
19
2. Teori tentang alat atau instrument yang digunakan Yang dianggap sebagai tempat kejahatan dilakukan dalam teori ini adalah tempat di mana alat atau instrument yang digunakan untuk melakukan kejahatan menimbulkan akibat. Jika seorang pelaku mengirimkan makanan beracun dari Jakarta ke Bandung untuk seseorang, kemudian orang tersebut (korban) memakan makanan beracun tersebut dan ia mati maka, yang dianggap sebagai tempat terjadinya kejahatan adalah Bandung. Hal ini dikarenakan alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan (makanan beracun) menimbulkan akibat, yaitu matinya korban. 3. Teori tentang akibat. Menurut teori ini yang dianggap sebagai tempat dilakukannya tindak pidana adalah tempat di mana suatu kejahatan menimbulkan akibat perbuatan. Dengan demikian, yang dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan dalam contoh pada point (a) adalah Bogor dikarenakan di tempat tersebut akibat dari perbuatan (penikaman) terjadi, yaitu matinya korban.
20
C. Penerapan teori locus delicti (asas berlakunya undang-undang pidana menurut tempat dalam hukum pidana positif) Mengenai kekuasaan berlakunya undang-undang pidana dapat dilihat dari dua sisi, yang bersifat negatif dan yang bersifat positif.5 Yang bersifat negatif berlakunya undang-undang menurut waktu, hal ini tercantum dalam Pasal 1 KUHP6 sedangkan dari segi positif, berlakunya undang-undang dilihat dari segi tempat. Hal ini diatur dalam Pasal 2 sampai 9 KUHP yang memuat 4 asas yaitu, asas teritorial, asas nasional aktif, asas nasional pasif dan asas universal. 1. Asas Teritorial Asas teritorial terdapat dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi: “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan sesuatu tindak pidana”. Asas teritorial ini melahirkan yuridiksi teritorial, yaitu kedaulatan atau kewenangan suatu negara yang berdasarkan hukum Internasional untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi dalam batas-batas wilayah negaranya. Salah satu wujud dari yuridiksi teritorial suatu negara adalah membuat serta memberlakukan hukum pidana nasional nya terhadap tindak pidana yang terjadi dalam wilayah negara tersebut. Ketentuan ini berlaku bagi warga
5
Lihat misalnya C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka 1989, hlm. 276. 6 Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan iru terjadi”. Dalam Pasal ini terkandung asas legalitas yang berhubungan dengan waktu dilakukannya perbuatan (kejahatan). Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang.
21
negaranya sendiri maupun orang asing yang melakukan suatu tindak pidana.7 Ini merupakan dasar yang diunggulkan bagi pelaksanaan yuridiksi negara. Peristiwa yang terjadi dalam batas-batas teritorial suatu negara dan orangorang yang berada di wilayah tersebut sekalipun untuk sementara, pada lazimnya tunduk pada penerapan hukum lokal.8 Asas atau prinsip teritorial mempersoalkan tentang lingkungan kuasa berlakunya hukum pidana terhadap ruang, jadi lebih luas dari pada tanah (bumi),9 ia merupakan asas yang tertua dari asas-asas berlakunya hukum pidana menurut tempat. Asas teritorial merupakan asas yang fundamental. Hal ini berarti, sekalipun telah diterapkan batas-batas berlakunya hukum pidana Indonesia, dalam keadaan tertentu serta untuk subyek hukum tertentu, dapat diterapkan perluasan-perluasan terhadap asas teritorial.10 Romli, dengan mengutip Bert Swart dan Andre Klip menulis bahwa asas teritorial telah diperluas tidak lagi semata-mata ditujukan terhadap tempat di mana pelaku melakukan kejahatan, melainkan juga tempat di mana akibat dari kejahatan itu dilakukan atau di mana korban berada.11Selain wilayah tanah, asas teritorial juga mencakup seluruh wilayah udara dan wilayah perairan atau laut Indonesia. Wilayah udara Indonesia terhitung dari 7
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yarma Widya, 2003. hlm. 12-13. 8 Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi, Semarang: IKIP Semarang Press, 1993, hlm. 120. 9 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 162. 10 Romli Atmasamita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem hukum Pidana Indonesia (Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1997, hlm. 105. 11 Romli Atmasasmita, “Pengaruh Konvensi Internasional terhadap Perkembvangan Asasasas Hukum Pidana Nasional.” Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-asas Hukum Pidana Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 26-27 April 2004, hlm. 6.
22
tanah ditarik ke atas setinggi yang ditentukan menurut perjanjian antar negara. Meskipun demikian, bukan berarti seorang pelaku harus berada di salah satu wilayah tanah, udara atau perairan suatu negara ketika melakukan kejahatan. Hal ini berhubungan dengan bahasan mengenai locus delicti, karena bisa jadi pelaku dapat melakukan kejahatan di suatu negara meskipun ia berada di negara lain. Wilayah perairan Indonesia meliputi seluruh perairan yang terletak di sebelah dalam garis dasar serta laut wilayah (teritorial sea) di sekelilingnya selebar 12 mil laut, diukur mulai garis dasar ke arah luar. Wilayah ini ditambah lagi seluas 200 mil diukur dari garis dasar yang disebut Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Seperti halnya terhadap wilayah daratan, Indonesia memiliki kedaulatan penuh (soveregnty) di seluruh wilayah perairan yang diikuti pula oleh yuridiksi kriminal.12 Yang menjadi sasaran yuridiksi kriminal di wilayah lautan adalah delik-delik yang terjadi di laut yang pada pokoknya diatur dalam ordonansiordonansi dan juga diatur dalam pasal KUHP. Sasaran ini selain delik yang sifatnya kejahatan, juga meliputi pelanggaran. Delik ini merupakan sasaran utama yang ditegaskan dalam Ordonansi Laut Wilayah dan Lingkungan Maritim 1939.13 Berlakunya undang-undang Indonesia terhadap tindak pidana yang terjadi dalam pesawat Indonesia tercantum dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab 12
Mustafa Djuang Harahap, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan hukum Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 125. 13 Ibid., hlm. 115
23
Undang-undang Hukum Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana-prasarana Penerbangan. Dalam Pasal I Undang-undang tersebut disebutkan: “Mengubah dan menambah Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 yang tercantum dalam Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia sehingga berbunyi sebagai berikut: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. Pasal 3 KUHP memperluas ruang lingkup berlakunya undang-undang pidana, yaitu mengenai berlakunya ketentuan hukum pidana bagi setiap tindak pidana yang terjadi di dalam perahu serta pesawat terbang Indonesia meskipun keberadaan perahu serta pesawat tersebut berada di luar wilayah teritorial Indonesia.14 Dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 KUHP ini, maka setiap perahu dan kapal terbang Indonesia dianggap atau merupakan perpanjangan dari wilayah teritorial Indonesia dan karenanya setiap tindak pidana yang terjadi di dalamnya tunduk pada ketentuan perundang-undangan pidana Indonesia tanpa mempermasalahkan kewarganegaraan pelaku. Yang dimaksud kapal-kapal Indonesia adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 95 KUHP yang berbunyi: “Kapal Indonesia berarti kendaraan air yang menurut peraturanperaturan umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di daerah Republik Indonesia, harus mempunyai surat laut atau pas kapal atau surat-surat izin sebagai pengganti sementara kendaraan air atau pas itu”.15
14
C. S. T. Kansil, op.cit., hlm. 278. Pasal 95 KUHP. Tentang pemberian surat laut dan pas kapal diatur oleh Ordonansi Surat Laut dan Kapal dalam L.N. tahun 1935. ketetapan surat laut dan pas kapal dalam L.N. tahun 1934 No. 78, diubah dalam L.N. 1937 No. 629. jo. L.N. 1935. No. 565. Lih. R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, hlm. 112-113. 15
24
Yang dimaksud pesawat udara Indonesia, ketentuannya tercantum dalam Pasal 95 a ayat (1) dan (2).16 Pasal ini berbunyi: (1) Yang dimaksud dengan “pesawat udara Indonesia” adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia; (2) Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang di sewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia. Meskipun demikian, tidak semua perahu maupun kapal dianggap sebagai perpanjangan wilayah suatu negara, hanya kapal perang dan kapal dagang yang berada di lautan terbuka yang dianggap sebagai wilayah negara.17 Ketentuan ini juga berlaku bagi kapal-kapal dagang Indonesia yang berada di pelabuhan asing. KUHP Indonesia tidak saja berlaku bagi awak serta penumpang, melainkan juga berlaku bagi setiap orang yang ada dalam kapal tersebut.18 Pasal 3 KUHP diperluas lagi dengan Pasal 8. Pasal ini menentukan bahwa nahkoda atau penumpang kapal laut atau perahu Indonesia yang melakukan kejahatan sumpah atau keterangan palsu dan kejahatan pelayaran di luar wilayah Indonesia, dapat dituntut menurut ketentuan pidana Republik Indonesia. Pasal 8 KUHP berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku di luar Indonesia berlaku di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas kendaraan air, melakukan salah satu perbuatan yang 16
Pasal ini merupakan perubahan dan penambahan pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan yang tercantum dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1976 Pasal II ke-1. 17 J. E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, alih bahasa Tim Penerjemah Bina Aksara (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 145. 18 E. Utrecht, Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm. 241.
25
dapat di pidana yang tersebut dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian juga yang tersebut dalam peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di Indonesia dan yang tersebut dalam “Ordonantie Kapal 1927.” Dalam KUHP Indonesia tidak diatur mengenai ketentuan kejahatan penerbangan yang dilakukan di dalam maupun di luar pesawat udara Indonesia. Namun demikian usaha ke arah sana sudah dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dengan sudah dicantumkan nya ketentuan mengenai hal ini dalam Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana. Dalam Rancangan Undang-undang tersebut disebutkan: (1) Ketentuan dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi kapten pilot, awak pesawat udara, penumpang pesawat udara Indonesia yang di luar wilayah Republik Indonesia melakukan salah satu tindak pidana penerbangan sebagai mana di maksud dalam Bab XXXI Buku kedua.19 Pasal ini merupakan perluasan berlakunya ketentuan pidana, yaitu mengenai berlakunya undang-undang pidana Indonesia bagi pelaku kejahatan penerbangan di dalam maupun di luar pesawat udara Indonesia yang sedang melakukan penerbangan di wilayah negara asing. Sedangkan asas eksteritorial tercantum dalam Pasal 9 KUHP yang berbunyi: “Berlakunya Pasal 2 sampai 5, Pasal 7 dan 8 Pasal dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum Internasional.” Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan yang senantiasa ada bahwa berlakunya Pasal 2-5, Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP akan bertentangan dengan
19
Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor….Tahun….Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 11 ayat (1).
26
hukum antar negara, karena ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasalpasal tersebut berhubungan juga dengan negara asing. Selain itu perlu diketahui bahwa hukum antar negara merupakan kumpulan asas-asas hukum yang mengatur hubungan antar negara di dunia. Hubungan ini biasanya diselenggarakan dengan saling menempatkan perwakilan
dalam
bersangkutan.20
bentuk
Utrecht
kedutaan
dengan
tegas
atau
konsul
mengatakan
di
negara-negara
bahwa ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 KUHP tidak diperlukan lagi saat ini. Hal ini disebabkan negara kita telah mengakui adanya primat hukum antar negara. Menurutnya ketentuan tersebut dibuat ketika kedaulatan negara absolut masih diterima.21 Menurut hukum Internasional, yang tidak terikat oleh KUHP Indonesia adalah para duta besar negara serta para utusan negara asing yang secara resmi diterima oleh kepala negara. Selain itu mereka yang tidak tunduk pada KUHP Indonesia adalah para pegawai dalam kedutaan yang berfungsi di bidang diplomatik, para konselir (konsultan) dan sekretaris meskipun mereka tidak berseragam (tidak dalam keadaan dinas). Berdasarkan asas eksteritorial, para diplomat dianggap tidak berada di negara penerima melainkan di negara pengirim meskipun pada kenyataannya ia berada di wilayah negara penerima. Selain itu mereka tidak dapat dikuasai oleh hukum dan peraturan negara penerima. Seorang diplomat menurut asas ini, hanya dikuasai oleh hukum negara pengirim begitu juga gedung atau 20 21
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981. hlm. 11. E. Utrecht, op. cit., hlm. 249.
27
tempat kediaman mereka di negara penerima dianggap sebagai bagian atau perpanjangan dari wilayah negara pengirim.22 Bammelen berpendapat bahwa ketentuan tentang mereka yang diberi hak immunitas atau kekebalan hukum tercantum dalam perjanjian Wina tanggal 18 April 1961.23 Alat-alat kekuasaan negara penerima tidak dapat menangkap, menuntut maupun mengadili mereka dalam masalah kriminal. Meskipun demikian mereka harus tetap menghormati serta menghargai hukum di negara setempat.24 Mengenai para konsul asing, mereka diberi hak immunitas hukum bukan berdasarkan Pasal 9 KUHP melainkan atas dasar perjanjian yang disepakati antar negara. Hal ini dikarenakan para konsul bukan merupakan wakil diplomatik melainkan hanya merupakan wakil perdagangan. Meskipun demikian mereka diberi keistimewaan seperti yang tercantum dalam Pasal 7a U.U. Pengawasan Orang Asing dan U.U. Dar No. 9 tahun 1953 (L. N. 1953 No. 64). Pasal-pasal ini menentukan bahwa undang-undang tersebut tidak berlaku bagi para pejabat diplomatik dan konselir asing.25 Orang-orang yang memiliki hak immunitas meliputi: a) Kepala negara asing yang berkunjung ke Indonesia secara resmi. Selain itu sanak saudara kepala negara yang bersangkutan, kecuali mereka yang melakukan perjalanan yang berdiri sendiri. Meskipun demikian para sanak saudara kepala negara diperdebatkan hak immunitasnya. Van Hammel
22
Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm.
14. 23
A. Zainal Abidin Farid, op.cit., hlm. 167. Edy Suryono, op.cit., hlm. 46. 25 A. Zainal Abidin Farid, op.cit., hlm. 165-166. 24
28
secara tegas mengatakan bahwa mereka tidak memiliki hak immunitas. Jonkers sebaliknya mengakui adanya hak tersebut bagi mereka. b) Duta negara asing yang ditempatkan di Indonesia dengan persetujuan kedua negara yang bersangkutan. Hak immunitas juga berlaku bagi para sanak saudara yang tinggal bersama duta tersebut. Adapun para pegawai di kedutaan tersebut dianggap sebagai orang asing yang menempati kedutaan, oleh karenanya mereka tidak memiliki hak immunitas. Meskipun demikian, jika para duta negara asing melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan negara yang mereka tempati, mereka tetap berhak mendapatkan sanksi seperti pengusiran, protes maupun permintaan penarikan ke negara asalnya. c) Kapal negara asing yang berlabuh dengan persetujuan pemerintah. Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan immunitas kepada kapal perang dan kapal-kapal pemerintah untuk tujuan non-komersial, yaitu diatur dalam Pasal 95 untuk kapal-kapal perang dan Pasal 96 untuk kapal-kapal pemerintah non-komersial. Ketentuan ini berhubungan dengan keberadaan kapal-kapal tersebut di laut lepas. Selama kapal-kapal ini berada di laut lepas, ia memiliki kekebalan dari yuridiksi negara lain selain negara benderanya. d) Pasukan negara asing yang masuk ke suatu negara dengan seizin negara yang didatangi. Bila mereka masuk tanpa izin, mereka dapat diusir dengan cara kekerasan.
29
Mengenai tentara pendudukan, mereka tidak tunduk pada hukum negara yang diduduki, karena tunduk pada hukum negara yang diduduki dianggap bertentangan dengan hubungan kekuasaan yang ada, tetapi ia akan diadili menurut hukum negaranya sendiri dan diadili oleh pengadilan militer yang mengikuti mereka. Dalam hal ini perbuatan tidak dinilai dengan hukum pidana umum melainkan hukum perang. 2. Asas Kewarganegaraan (Nasional Aktif) Dalam hukum Internasional, suatu negara memiliki yuridiksi yang disebut yuridiksi personal berdasarkan kewarganegaraan (nasionalitas) aktif atas warga negaranya yang berada di luar wilayah negara tersebut yang melakukan suatu kejahatan (tertentu). Yuridiksi ini didasarkan pada adanya hubungan antara negara pada satu pihak dengan warga negaranya yang berada di luar wilayah negaranya pada pihak lain. Hubungan tersebut termanifestasikan dalam hak, kekuasaan serta kewenangan negara untuk memberlakukan hukum nasional terhadap warganya yang berada di luar wilayah teritoir. Sebaliknya warga negara memiliki hak serta memikul tanggung jawab dalam hubungan dengan negaranya selama ia berada di luar wilayah negaranya sendiri. Ini sesuai dengan adagium hukum yang tidak sepenuhnya berlaku, bahwa setiap orang membawa hukum negaranya kemanapun ia pergi dan di manapun ia berada.26 Romli menulis bahwa dalam konteks kedaulatan negara yang berkaitan dengan kewarganegaraan pelaku kejahatan transnasional atau
26
I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 14.
30
Internasional, asas nasionalitas merupakan landasan hukum bagi suatu negara untuk melaksanakan penyelidikan, penuntutan serta peradilan atas warga negaranya yang melakukan kejahatan terlepas di mana locus delicti itu terjadi.27 Asas kewarganegaraan aktif atau asas personalitas ini terdapat dalam Pasal 5 KUHP yang berbunyi: (1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan di luar wilayah Indonesia: Ke-1. Salah satu kejahatan yang terdapat dalam Bab I dan II Buku Kedua dan dalam Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451; Ke-2. Sesuatu perbuatan yang oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia dipandang sebagai kejahatan dan dapat di pidana menurut perundang-undangan negara tempat perbuatan itu dilakukan. Mengingat bahwa tempat dilakukannya tindak pidana berada di luar wilayah Indonesia maka kejahatan yang tunduk pada asas ini bersifat umum, dalam artian bahwa di samping dapat mengancam kedaulatan negara Indonesia, kejahatan yang dilakukan harus dianggap sebagai kejahatan oleh negara tempat tindak pidana dilakukan. Asas personalitas diperluas lagi dengan adanya ayat (2) Pasal 5 KUHP yang berbunyi: (2) Kejahatan yang tersebut pada No. 2 itu dapat juga dituntut jika terdakwa baru menjadi warga negara Republik Indonesia sesudah melakukan perbuatan itu. Berdasarkan ketentuan tersebut maka hukum pidana Indonesia juga berlaku bagi tiap orang yang berkebangsaan Indonesia meskipun ia berada 27
Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 5-6.
31
di luar Indonesia melakukan salah satu atau beberapa delik tertentu yang dianggap mengancam negara Indonesia. Delik-delik ini dianggap sangat berbahaya sehingga perlu untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku dimana saja ia berada. Bentuk kejahatan dalam asas personalitas, meliputi: a. Kejahatan yang berupa pelanggaran terhadap keamanan negara yang tercantum dalam Bab I buku Kedua KUHP, yaitu Pasal 104 -129. b. Kejahatan yang melanggar martabat kepala negara serta wakil presiden, ketentuan ini tercantum dalam Pasal 131-139 Bab II Buku Kedua KUHP. c. Kejahatan penghasutan yang tercantum dalam Pasal 160 KUHP. d. Menyebarluaskan tulisan yang bertujuan untuk menghasut yang tercantum Pasal 161 KUHP. e. Dengan sengaja membuat diri maupun orang lain menjadi tidak cakap untuk memenuhi kewajiban militer yang tercantum dalam Pasal 240 KUHP. f. Melakukan perampokan (pembajakan) di laut yang tercantum dalam Pasal 450 dan 451 KUHP. Delik-delik ini dicantumkan secara tidak tegas dalam Pasal 5 ayat 1 Sub1 karena dalam pasal ini terdapat perbuatan yang dapat mengancam kepentingan-kepentingan yang khusus bagi negara Indonesia, di pihak lain perbuatan-perbuatan ini tidak dikenai hukuman menurut UU negara di mana perbuatan tersebut terjadi dan pelaku berada.
32
Kejahatan yang dianggap oleh KUHP Indonesia dan juga oleh negara tempat terjadinya kejahatan sebagai delik atau kejahatan yang harus dikenai sanksi hukum.28 Untuk kejahatan semacam ini diperlukan adanya dua syarat: 1. Perbuatan tersebut harus diakui sebagai kejahatan oleh KUHP. 2. Kejahatan tersebut dikenai hukuman - diakui sebagai kejahatan oleh negara yang menjadi tempat terjadinya perbuatan.29 KUHP Indonesia hanya menentukan syarat bahwa delik yang bersangkutan merupakan kejahatan. Apabila kejahatan ini tidak dihukum oleh hukum pidana negara asing maka peraturan undang-undang hukum pidana Indonesia tidak berlaku karena tidak terpenuhinya syarat yang kedua. Ketentuan ini sesuai dengan asas internasionalitas bahwa suatu negara tidak dapat menyerahkan warga negaranya kepada pemerintahan negara asing. Asas personalitas aktif ini dibatasi oleh Pasal 6 KUHP yang berbunyi: “Berlakunya Pasal 5, ayat (1) ke-2 itu dibatasi dengan tidak dibolehkan untuk menjatuhkan pidana mati untuk perbuatan yang tiada diancam dengan pidana itu menurut perundang-undangan di tempat perbuatan itu dilakukan.” Dari pasal ini dapat dipahami bahwa hukuman mati hanya dapat dijatuhkan apabila perbuatan itu di wilayah Republik Indonesia maupun di negara lain di mana perbuatan itu dilakukan, diancam dengan hukuman 28
Pengkhususan kejahatan serta dianggap nya perbuatan yang dilakukan sebagai kejahatan di negara asing guna menghindarkan pelanggaran terhadap kedaulatan negara tersebut terhadap satu tindak pidana. Lihat misalnya Satochid Kartanegara, op.cit., hlm. 196. 29 E. Utrecht, op.cit., hlm. 144.
33
mati. Pembatasan ini tidak meliputi pada kejahatan-kejahatan yang tersebut dalam sub 1 ayat 1 Pasal 5; jadi menurut sub 1 ayat 1 Pasal 5 ini hukuman mati dapat dijatuhkan.30 Ketentuan mengenai asas personal aktif dalam KUHP diperluas dengan berlakunya undang-undang pidana Indonesia bagi pegawai negeri Indonesia yang sedang berada di luar negeri melakukan kejahatan jabatan. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 7 KUHP yang berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi pegawai negeri Indonesia yang melakukan di luar daerah Republik Indonesia salah satu kejahatan yang disebut dalam Bab XXVIII Buku Kedua.” Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah kejahatan yang dilakukan dalam jabatan para pegawai negeri Republik Indonesia. Kejahatan tersebut tertuang dalam Pasal 413 – 437 Bab XXVIII Buku Kedua KUHP mengenai kejahatan jabatan. Dengan adanya pasal ini, maka hukum pidana Indonesia berlaku bagi pegawai negeri di luar wilayah Indonesia. Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan pegawai negeri adalah pelanggaran yang dapat mengganggu kepentingan negara serta masyarakat Indonesia yang dapat merusak atau menurunkan wibawa pemerintahan Indonesia.31
30 31
R. Sugandhi, op.cit., hlm. 10. A. Zainal Abidin Farid, op.cit., hlm. 160.
34
3. Asas Kewarganegaraan (Nasional Pasif) Dalam hukum Internasional, suatu negara memiliki yuridiksi atas orang yang bukan warga negaranya yang melakukan tindak kejahatan yang dianggap dapat merugikan negara tersebut atau warganya sendiri yang dilakukan
di
luar
wilayahnya.
Yuridiksi
ini
berdasarkan
asas
kewarganegaraan pasif. Berdasarkan asas ini perundang-undangan pidana Indonesia berlaku terhadap siapapun juga yang berada di luar wilayah teritoirial Indonesia melakukan kejahatan tertentu. Adanya yuridiksi ini sebagai upaya perlindungan terhadap negara maupun warganya dari tindakan atau perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh orang asing di luar wilayah negara tersebut. Oleh karenanya, yuridiksi ini disebut juga sebagai yuridiksi personal berdasarkan perlindungan32 yang oleh Hazewinkel Suringa asas ini disebut sebagai asas untuk melindungi kepentingan umum yang besar dan tidak ditujukan bagi kepentingan individual.33 Dasar pembenar asas ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warganya di luar negeri. Apabila negara teritorial di mana tindak kejahatan dilakukan tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut maka negara asal korban berwenang34 untuk memberlakukan hukum pidana nya apabila orang tersebut berada di wilayahnya.35
32
I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 14. A. Zainal Abidin Farid, op.cit., hlm. 157. 34 Mengenai wewenang untuk menghukum pelaku pada dasarnya diserahkan kepada negara tempat dilakukannya perbuatan. Bila seorang warga negara asing melakukan penipuan terhadap seorang warga Indonesia maka negara asing dipercaya untuk menuntut maupun memidana warganya yang melakukan kejahatan sebagaimana negara Indonesia akan melindungi hak 33
35
Asas nasional pasif dirumuskan dalam Pasal 4 ayat 1 sampai ayat 3 dan Pasal 8 KUHP. Pasal 4 KUHP berbunyi: “Ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan di luar daerah Republik Indonesia: Ke-1 Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 104, 106, 107 dan 108, 110, 111 bis pada ke-1, 127 dan 131;36 Ke-2 Suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank atau tentang materai atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia; Ke-3 Pemalsuan surat-surat utang atau sertifikat-sertifikat utang yang ditanggung Pemerintah Indonesia, daerah atau sebagian daerah, pemalsuan talon-talon, surat-surat utang sero (keterangan Dividend) atau surat-surat bunga uang yang masuk surat-surat itu, serta surat-surat keterangan pengganti surat-surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seperti itu seakan-akan surat itu asli dan tidak dipalsukan.” Setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan kejahatan seperti yang tersebut dalam pasal-pasal ini dapat dikenakan ketentuan-ketentuan pidana Indonesia meskipun mereka melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia. Pasal ini menggunakan istilah “setiap orang” yang berarti bahwa orang tersebut bisa saja
berkebangsaan
atau
berkewarganegaraan
Indonesia
maupun
berkewarganegaraan negara asing, bahkan tidak berkebangsaan sekalipun. Pasal ini meninggalkan asas teritorial dan menerima asas universal. Sub 1 menjaga kepentingan negara, sedangkan sub 2 dan sub 3 menjaga kepentingan keuangan negara.
individual orang asing yang menjadi korban penipuan oleh warga Indonesia di Indonesia. Lihat ibid. 35 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa bambang Iriana Djajaatmaja, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 303. 36 Kejahatan yang dimaksud dalam Pasal 4 Ke-1ini merupakan kejahatan terhadap keamanan negara (Buku Kedua Bab I KUHP) serta kejahatan terhadap martabat Presiden atau Wakil Presiden (Buku Kedua Bab II KUHP).
36
Pasal 8 KUHP berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku di luar Indonesia, juga waktu mereka tidak ada di atas kendaraan air, melakukan salah satu perbuatan yang tersebut dalam bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga, demikian juga yang tersebut dalam peraturan umum tentang surat-surat laut dan pas-pas kapal di Indonesia dan yang tersebut dalam “Ordonantie Kapal 1927”.37 Pasal ini menentukan bahwa nakhoda atau penumpang kapal laut atau perahu Indonesia yang melakukan peristiwa pidana di luar wilayah Republik Indonesia, dapat dituntut menurut ketentuan hukum pidana Republik Indonesia.38 Adapun kejahatan yang dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua adalah kejahatan dalam pelayaran, sedangkan yang dimaksud dalam Bab IX Buku Ketiga
adalah pelanggaran-pelanggaran dalam
pelayaran. 4. Asas Universal Asas universal mengandung pengertian bahwa, suatu negara memiliki yuridiksi atas pelaku suatu kejahatan, di mana dan kapanpun kejahatan itu dilakukan, siapapun pelaku maupun korbannya. Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum Internasional yang melibatkan semua negara di dunia. Oleh karenanya jika ada suatu kejahatan yang dapat merugikan kepentingan Internasional, maka setiap negara berhak untuk mengadili pelaku tanpa melihat status kewarganegaraan.39
37
R. Sugandhi, op.cit., hlm. 10-11. Ibid.,. 39 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1989), hlm. 53. 38
37
Kejahatan yang pelaku nya ditundukkan pada asas universal ini merupakan kejahatan yang digolongkan sebagai musuh umat manusia (hostis
human
generis)
semisal
kejahatan
narkotika,
terorisme,
pembajakan pesawat udara, genocide, kejahatan perang dan lain-lain. Penegasan yuridiksi universal ini terdapat di dalam konvensi tentang kejahatan Internasional atau kejahatan yang mempunyai dimensi Internasional. Konvensi mewajibkan kepada negara-negara peserta konvensi yang di wilayahnya di temukan pelaku kejahatan atau pelaku tindak melawan hukum terhadap keselamatan penerbangan sipil, jika negara tersebut tidak bermaksud untuk meng ekstradisikan pelaku nya, agar menyerahkan kasus tersebut kepada badan yang berwenang untuk dilakukan penuntutan, tanpa terkecuali, baik kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara bersangkutan maupun di luar wilayah negara tersebut. Ditinjau dari segi hukum pidana, khususnya hukum pidana Indonesia, yuridiiksi universal inilah yang dipandang sama dengan asas universal hukum pidana. Tegas nya hukum pidana suatu negara berlaku bagi siapapun, di manapun dan kapanpun suatu peristiwa pidana terjadi.40 Dengan demikian, tampak pula bahwa kaidah hukum pidana berdasarkan asas universal ini tidak tunduk pada asas daluwarsa. Hal ini dikarenakan kejahatan yang tunduk pada yuridiksi atau asas universal,
40
I Wayan Parthiana, op.cit., hlm. 16.
38
tergolong peristiwa pidana atau kejahatan yang merupakan musuh umat manusia.41 Asas
universal
dalam
perkembangan
hukum
Internasional
memiliki peranan yang sangat strategis sebagai bentuk solidaritas sekaligus sebagai pertanggungjawaban masyarakat Internasional terhadap kejahatan Internasional. Meskipun demikian masih banyak negara yang meragukan penerapan asas ini jika tidak dilandaskan pada standar tertentu, yaitu kekhawatiran terhadap “intervensi” terhadap kedaulatan suatu negara.42 Keberatan banyak negara dalam menerapkan asas universal ini juga disebabkan kehendak negara-negara tersebut untuk menyerahkan sepenuhnya wewenang menuntut dan mengadili kepada negara yang memiliki yuridiksi yang kuat atas kejahatan Internasional. Oleh karena itu, sebagai jalan keluar yang ditawarkan dalam hukum Internasional dikenal resentation
principle
yang
berarti
bahwa,
penerapan
yuridiksi
ekstrateritorial suatu negara atas kejahatan internasional adalah untuk kepentingan pihak ketiga yang secara langsung mempunyai kepentingan atas kejahatan dimaksud.43 Berdasarkan hal ini pula Romli berpendapat bahwa sekalipun dalam praktik hukum Internasional asas universal dipandang lebih efektif dalam menuntut dan mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat kejam serta 41
bertentangan
dengan
Ibid., Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 6-7. 43 Ibid., hlm. 7. 42
kemanusiaan,
pada
saat
yang
sama
39
pemberlakuan asas teritorial dan asas nasionalitas (kewarganegaraan) tetap relevan untuk diberlakukan.44 Asas universal bertujuan untuk melindungi kepentingan dunia. Penerapan asas ini diatur dalam Pasal 4 sub ke-2 dan ke-4 KUHP yang berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan di luar daerah Republik Indonesia.” Ke-2. suatu kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank atau tentang materai atau merk yang dikeluarkan atau digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia; Ke-4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. (UU. No. 4/1976). Dalam sub ke-2 Pasal 4 KUHP – berdasarkan Conventie Genewa tahun 1929 - ditetapkan bahwa siapa saja yang memalsukan atau memasukan uang dan uang kertas dari negara manapun juga dapat dituntut menurut pidana Indonesia. Pasal 4 sub ke-4 KUHP sesuai dengan jiwa Declaration of Paris 1856. berdasarkan deklarasi tersebut, maka hukum antar negara modern melarang perampokan di laut tanpa melihat siapa pelaku dan yang menjadi korban.45 Kejahatan pembajakan udara yang tunduk pada asas universal ini diatur dalam U.U. No. 4 tahun 1976 (L.N. No. 26 tahun 1976).46 Undang-
44
Ibid., hlm. 11. A. Zainal Abidin Farid, op.cit., 160-161. 46 Selain sebagai penambahan pasal dalam KUHP yang bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, undang-undang ini juga sebagai penambah Bab 45
40
undang ini hanya menyebutkan dua jenis kejahatan yaitu kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan. Dalam undang-undang ini tidak disebutkan secara tegas adanya penggolongan tindak pidana penerbangan. Berkaitan dengan hal ini, dalam KUHP Indonesia ditambahkan satu bab baru setelah Bab XXIX dengan Bab XXIX A. tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana dan Prasarana Penerbangan yang terdiri dari Pasal 479 huruf a dan Pasal 479 huruf r dengan ketentuan sanksi yang berbeda-beda dalam tiap pasal. Kejahatan penerbangan merupakan suatu perbuatan yang dapat mengancam keselamatan baik jiwa maupun harta manusia, juga merupakan tindakan yang sangat mengganggu serta menghambat pengembangan lalu lintas udara Internasional maupun nasional serta menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap keamanan penerbangan sipil menjadi berkurang.47 Demikianlah keempat asas mengenai ruang berlakunya aturanaturan hukum pidana Indonesia. Selanjutnya dalam KUHP terdapat pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal 2-5-7 dan 8, yakni sebagai mana tersebut. Dalam pasal 9.
baru setelah Bab XXIX KUHP dengan XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/prasarana Penerbangan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/prasarana Penerbangan. 47 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 55.
41
BAB III TEORI LOCUS DELICTI PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH
A. Biografi Singkat An Nu’man bin tsabit yang terkenal dengan sebutan Al-Imamul-A’zham (Imam Besar karena kemahiran dan keluasan ilmunya). Dilahirkan di kuffah pada tahun 80 H, beliau keturunan Persia. Beliau adalah seorang pedagang yang terkenal dengan kejujuran kemudian pindah untuk berkonsentrasi talabul ilmi, abu hanifah memiliki kecendrungan dalam masalah fiqih Silsilah Guru imam Abu Hanifah pada metode fiqih syaikh Hammad bin Abi Sulaiman di irak beliau adalah murid dari Ibrahim bin Yazid An Nakho’i kemudian beliau adalah murid Alqomah bin Qais An Nakho’i kemudian beliau adalah murid dari Abdullah ibnu Masud Guru fiqih imam Abu Hanifah selain syaikh Hammad bin Abi Sulaiman yaitu antara lain: Zaid bin Ali, Zaenal Abidin, Ja’far Ashidiq Abdullah bin Hasan Beliau juga belajar ilmu fiqih kepada ulama ulama fiqih di makkah pada massa musim musim haji dan beliau pernah tinggal di mekkah selama 6 tahun semenjak 130 H. Kuffah terkenal dengan ahlu ra’i dan mencapai puncaknya pada masa imam Abu Hanifah sehingga beliau di juluki dengan imamul qiyasiyyin dan pembesar ahlu fiqih logika di zaman nya. Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hanifah bahwa
42 Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Ada pula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia. Perkembangannya Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits. Beliau disibukkan dengan mencari atsar atau hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar atau sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya. Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqih nya, Abu Ja’far AlBaqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat. Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas
43 saya tidak mempunyai jawaban nya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersama nya selama 10 tahun. Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya di cambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskan nya. Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru AlBajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain. Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajib nya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya
44 pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajib nya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Wafatnya Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapan nya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut karena Abu Hanifah hendak menjahui harta dan kedudukan dari sulthan (raja) maka dia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara dan wafat dalam penjara. Dan beliau wafat di Bagdad pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.(diambil dari majalah Fatawa). Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi: Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.Mazhab ini juga dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok. Kitab karya Imam Abu Hanifah yang disusun oleh para murid-muridnya ada dua macam:1 1. Zahirur-riwayah (kitab yang masalah-masalahnya pokok atau terang), yaitu; AlMabsut, Al-Jami’ul-Kabir, Al-Jami’us-Saghir, As-Siyarul Kabir dan Az-Ziyadat. Semua kitab ini disusun dalam kitab Al-Kafi, oleh Abul Fadal Al-Marwazi terkenal dengan nama Al-Hakimusy Syahid (344 H), kemudian disyarahi oleh Imam Muhammad bin Ahmad As-Sarkhasi dalam kitab Al-Mabsut terdiri 30 jilid. 1
hlm. 44.
Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, alih bahasa A. Sudjono, Bandung: Alma’arif,
45 2. Masailun-na wadir (kitab yang masalahnya jarang ada), yang diriwayatkan dari Imam Muhammad ialah kitab Amali Muhammad fil-fiqh atau al-Kisaniyat yang diriwayatkan oleh Syu”aib Al-Kisani dalam kitab Ar-Raqiyyat. Murid-murid yang memperkuat dan mempertahankan mazhab antara lain; Hilalur-Ra’y (245 H), Ahmad bin Mahir yang terkenal dengan nama Al-Hasaf (261 H) pengarang kitab Al-Hail,Al-Waqf, abu Ja’far At-Tahawi (321 H) Al-Jami’ulKabir Fisy-Syurut, Abul-Hasan Al-Khurki (340 H), Abu Abdillah Al-Jurjani (398 H) dalam kitab Khizanatul-Akmal, Sarkasi dalam kitab Al-Mabsut, Abu Bakar AlKasani (587 H) dalam kitab Badai’us-sa-na’i fi tartibisy-syara’i, dan kitab fathulqadir karangan Kamalludin bin Al-Ghamam dan ulama-ulama lainnya.2
B. Metode Istinbat Hukum Imam Abu Hanifah Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut oleh masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab Syi’ah. Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah. Menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syari’ah yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga
2
Ibid., hlm. 45.
46 menjadi satu kesatuan yang utuh.3 Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasi nya berupa hukum-hukum syari’ah (fiqih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqih yang menjadi metode penggalian (Tharîqah al-Istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqih dan ushul fiqih menurut Imam Syafi’i. Sejarah Lahirnya Mazhab Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age”. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban maupun kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Fenomena ini kemudian melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqih Islam, dimana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang. Memasuki abad kedua Hijriyah inilah yang menjadi era kelahiran mazhabmazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat (penetapan) hukum. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing
3
http://www.nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=235:mazhab&ca tid=96:ensiklopedi-islam 21/april/2010/pukul 15.30 WIB.
47 menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi, baik dalam memahami nash al-Qur’an dan al-Hadist maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawaban nya dalam nash. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia tanpa disadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakar dan melembaga nya doktrin pemikiran hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat (penetapan) hukum. Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat (penetapan) hukum.4 Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi inilah yang dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqih. Metode imam Abu Hanifah di dalam proses mengajar:5 1. Menyampaikan permasalahan kepada muridnya, menanyakan pendapat masing masing kepada mereka dan mendiskusikan, maka apabila sepakat Pada kepada suatu pendapat maka langsung ditulis oleh salah seorang murid beliau, begitu juga 4
Ibid
5
http://aslamsalam.wordpress.com/2010/02/12/biografi-imam-abu-hanifah/
48 ketika masih ada perselisihan beliau dengan murid muridnya maka tetap di tulis disertai menyebutkan letak perbedaannya dengan metode ini mazhab imam Abu Hanifah mulai tumbuh. 2. Mazhab imam Abu Hanifah terkenal dengan metode musyawarah, bertukar pendapat, pikiran dan diskusi, berbeda dengan metode imam Malik di mana beliau hanya menyampaikan beberapa permasalahan dan hukum hukumnya kepada murid muridnya, akan tetapi beliau tidak mengikuti metodenya imam Abu Haniffah yaitu tanpa mendiskusikan nya dan bertukar pendapat dengan murid muridnya. demikianlah kemudian mazhab imam Abu Hanifah berkembang dengan metode tersebut. Diantara pokok pokok istinbat yang pernah beliau sampaikan secara langsung adalah, berpegang kepada alquran ketika ditemukan hukum hukumnya, jika tidak ditemukan di dalam alquran maka pada sunnah jika tidak ditemukan pada sunnah maka berpegang pada pendapat sahabat, kemudian apabila ijtihad itu dari jalur Ibrahim An Nakho’i, Assyabi, Ibnu Sirin, A’to, dan Said ibnu Musyaib (pembesar mujtahidin di kalanagan tabiin), maka saya (Abu Hanifah) ber ijtihad sebagaimana ijtihad mereka.6 Dari kutipan perkataan beliau di atas menunjukkan bahwa Abu Hanifah berpegang kepada alquran kemudian sunnah dan perkataan para sahabat jika tidak ditemukan baru setelahnya beliau ber ijtihad. Dengan demikian sumber hukum menurut Imam Abu Hanifah adalah: 1. Al-Qur’an Al-qur’an adalah perkataan Allah yang di turun kan oleh Ruhul Amin ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah, dengan lafal bahasa Arab
6
Sobhi Mahasimi, Op., citi., hlm. 42.
49 berikut artinya. Supaya menjadi hujah bagi Rasulullah SAW bahwa Dia adalah sebagai utusan Allah SWT.7 Menjadi undang-undang dasar bagi orang-orang yang mendapat petunjuk dengan petunjuk Allah. Dengan membaca Al-Qur’an itulah maka orang menghamparkan diri kepada Allah dan menyembah-Nya. Hukum yang terdapat dalam al-Qur’an diuraikan secara global, sedangkan Sunnah berfungsi menjelaskan secara rinci itu tunduk kepadanya, karena pada dasarnya penjelasan Sunnah berasal dari al-Qur’an juga, sebagai mana Firman Allah AWT :
َ ع ا َ َ ل َ َ ْ َأ َ ُ ِ ا ِ ُ َْ Artinya: Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. (QS. An-Nisa: 80).8 2. Sunnah Sunnah dalam arti syar’i adalah apa yang bersumber dari Rasul. Perkataan, atau perbuatan, atau ketetapan. Dengan demikian Sunnah dilihat dari segi materi dan esensinya terbagi menjadi tiga macam:9 a. Sunnah Qauliyah (ucapan)
ا ؤ واوا ؤ Artinya: Berpuasa lah karena melihat tanggal(satu Ramadhan) dan ber bukalah (lebaran) karena melihat tanggal (satu syawal). b. Sunnah Fi’liyah (perbuatan)
ا آ! رأ! ا Artinya: Lakukan lah shalat persis sebagaimana kalian melihat Ku mengerjakan shalat.
7
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Jakarta: Rineka Cipta,
8
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, 1989. Hlm. 132. M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus,cet ke 10, 2007, hlm. 149-150.
hlm.17. 9
50 c. Sunnah Taqririyah (ketetapan) Sunnah taqririyah ialah semisal Nabi melihat suatu perbuatan atau mendengar satu ucapan, lalu Nabi mengakui atau membenarkan nya. 3. Qaulu Sahabat Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung menerima risalah nya dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri.10 Oleh karena itu jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujah sesudah dalil-dalil nash. Firman Allah SWT:
ن ٍ َ&' ْ (ِ )ِ ْ*ُ ُه,-َ . ا َ ِ/َ ِر وَا0ْ 1َ ْ وَا َ ِ2 ِ َ3!ُ ْ ا َ ِ ن َ ُ و1َ ْ ن ا َ ُ)ِ &وَا َ ُر3ْ 1َْ َ ا3َ 4 ْ .َ ِي6 ْ .َ ت ٍ 82 َ ْ*3ُ َ 9 َ ُ َوَأ8ْ 9 َ ُا:*ْ َو َر3ُ 8ْ 9 َ ُ ا َ: ِ َر F١٠٠C * ُ <ِ=,َ ْ ا
@ ا ْ َ?ْ ُز َ َِ َأ َ) ًا َذ3<ِ َ ِ ِ َ;
Artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surgasurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. AtTaubah: 100).11 Dalam ayat ini Allah SWT memuji orang-orang yang mengikuti para sahabat. Sebagai konsekuensi logis dari pujian Allah SWT tersebut, berarti kita di diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan karena fatwa-fatwa mereka dapat dijadikan hujah. Sabda Rasulullah SAW:
GH ا نG) 4 واG) 4 H ا ا ن 10 11
Ibid.. hlm. 328. Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 297.
51 Artinya: Saya adalah kepercayaan (orang-orang yang dipercaya) sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan para umatku.12 Kepercayaan umat kepada para sahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa sahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan para sahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
< IJ,) ى/ اG L ;<او ن Artinya: Sebaik-baik generasi, adalah generasi ku dimana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut.13 Jika pendapat para sahabat didasarkan pada qiyas, sedang para ulama yang hidup sesudah mereka juga menetapkan hukum berdasarkan qiyas yang berada dengan pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para sahabat. 4. Ijtihad (masuk di dalamnya Qiyas dan Istihsan) a. Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nash nya dalam alQur’an dan Hadist dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash atau menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukumnya.14 Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya al-Qur’an dan Hadist, kadang juga bersifat implist-analogik terkandung dalam nash tersebut.15 Jadi hukum Islam ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash, yakni hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam al-Qur’an dan Hadist, ada kalanya harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash, yang demikian itu dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas. 12
M. Abu Zahrah, op.cit. 329. Ibid.. hlm. 330. 14 Syekh Abdul wahab Khalaf, op.cit., hlm. 58. 15 M. Abu Zahrah, op.cit., hlm. 336. 13
52 Firman Allah SWT:
ْض َأم ِ ْر1َ ْ ِ ا َ ِ & ِ ?ْ !ُ ْ َت آ ِ َ4ِ 0 ِ!ُا ا9 َ ُا َو8َ Oَ َ ِ/ اP ُ ,َ 6 ْ َ َْأم F٢٨C
ِر6?ُ ْ َ آ َ <ِ !ُ ْ اP ُ ,َ 6 َْ
Artinya: Patut kah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?. (QS. Shaad: 28).16 b. Istihsan adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Imam Abu alHasan al-Karkhi menggunakan definisi ihthsan adalah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.17 Pada dasarnya Imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas, selama masih dipandang tepat. Maka jika pemakaian dalil pada situasi tertentu kurang pas, maka ia beralih kepada dalil ihtihan. 5. Beliau juga menggunakan Ijma’ dan Al-Arfu atau adat sebagai sumber hukum a. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly). Para ulama sepakat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujah) untuk menetapkan hukum syara’, tapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siapakah ulama mujtahidin yang berhak menetapkan ijma’.18
16
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 736. M. Abu Zahrah, op.cit., hlm. 401. 18 Ibid.. hlm. 308. 17
53 b. Al-Arfu adalah apa yang saling diketahui dan saling dijalani orang. Berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkan.19 Ini merupakan salah satu sumber hukum yang diambil oleh mazhab Abu Hanifah yang berada di luar lingkup nash. ‘Urf (tradisi) adalah bentuk muamalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) ditengah masyarakat. Dan ini tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqh yang diambil dari intisari Sabda Nabi Muhammad SAW:
&' اS ا89 3 8&' ا !&!نT را Artinya: Apa yang dipandang baik kaum muslimin, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik.20 Hadits ini, baik dari segi ibarat maupun tujuannya menunjukkan bahwa setiap perkara yang telah mentradisi dikalangan kaum muslimin dan dipandang sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang baik dihadapan Allah. Oleh karena itu, ulama’ mazhab Hanafi mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf yang sohih (benar), bukan yang fasid (rusak / cacat), sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy.
9 U P< ) I) V ف, ) I) Vا Artinya: Dictum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy.
X8 ) I) J ف آ, ) I) Jا Artinya: apa yang ditetapkan berdasarkan ’urf statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan nash.21
19
Syekh Abdul Wahab Khalaf, op.cit., hlm. 104. M. abu Zahrah, op.cit., hlm.417. 21 Ibid.. 20
54 Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan.22 Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zaman nya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad. Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.23
C. Teori Locus Delicti Telah diketahui bahwa pada dasarnya syariat Islam bersifat universal (‘alamiyyah), sedangkan dari segi pengamalan lebih bersifat regional (iqlimiyyah) tergantung kewilayahan. Kemudian yang menjadi permasalahan adalah apakah syariat Islam berlaku bagi seluruh penduduk dar as-salam atau hanya berlaku bagi sebagian penduduknya saja. Kemudian apabila syariat Islam berlaku bagi tindak 22 23
Sobhi Mahmassani, op.cit., 43-47. http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-112.html
55 pidana atau jarimah yang terjadi di wilayah kekuasaan Islam, apakah syariat Islam juga berlaku bagi tindak pidana yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar alharb.24 Syariat Islam juga berlaku bagi tiap penduduk dar as-salam yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam tanpa membedakan agama. Bagi orang yang menetap (berkebangsaan) di dar as-salam mempunyai keharusan melaksanakan syariat di wilayah dar as-salam saja melainkan di luar wilayah kekuasaan Islam juga. Dengan sifatnya yang ‘alamiyyah, aturan pidana Islam berlaku di setiap pelosok negeri. Bila tidak memungkinkan untuk menegakkan syariat di luar dar as-
salam, maka cukup untuk menerapkannya bagi tindak pidana yang terjadi di wilayah dar as-salam. Karena aturan syariat berlaku bagi siapa saja (muslim maupun zimmiy) yang melakukan tindak pidana di wilayah kekuasaan Islam. Begitu juga bagi jarimah yang di lakukan penduduk dar as-salam di dar al-harb.25 Karena merupakan suatu kemungkinan untuk menetapkan hukum terhadap jarimah yang di lakukan oleh seseorang yang berkebangsaan dar as-salam, meskipun tidak memungkinkan untuk menegakkan syariat (memberi hukuman bagi pelaku) di dar al-harb. Mengenai batas wilayah yang dapat diberlakukan pidana Islam di dalamnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa syariat Islam berlaku hanya bagi tindak Pidana
(jarimah) yang terjadi dalam wilayah kekuasaan dar as-salam. Ketentuan ini berlaku bagi seluruh penduduk dar as-salam, muslim maupun zimmiy. Pendapat seperti ini dapat kita lihat dalam ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-tasyri’ al-Jana’I al-Islamiy
Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’iy, di bawah ini:
24
TM Hasbi Ash Shiddieqy, Huum Antar Golongan (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 3. 25 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 107.
56
Gأم ا6 اG9 Y-. Z,[ و ى أن اZ?<8' ) أ3-' و ا،Z<]^ اZ ' ود ا وG P; أى ` ن دا، دارا^]مG a`.. L c< *&!ن اd ، < &! أوذ3-`. واء آ ن،Z!6 اI آ G/ن اd و، <هe L &?8 G: ز أن6H و،Z,[< اe ن 26 . ا أمZ/ ا9 -) دأfم أ'` م ا^] م اfا Adapun terhadap seorang musta’min, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum Islam yang menyangkut masalah pidana tidak berlaku baginya apabila kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan yang masuk dalam haq Allah (berzina, minum khomer, mencuri, merampok dan bugah)27 atau yang menjadi hak jama’ah. Meskipun demikian ia tetap dihukum apabila tindak kejahatannya merupakan kejahatan terhadap individu atau haq al-‘abd (qishas, ta’zir, kodhaf, ghosob dan tabdid).28
دارا^]مZLh Z L أ <* إZ?<88' ) أ3-' و G&!. أى،S ' اc!. Z!2 a`. إذا ارZ,[< أ'` م ا9 Y-.] c!. Z!2 a`. إذا ارZ,[ اGj!) aL , !. وإ،Z9 !6 ' G!ّ & دارا^]مG ZLh Z L أن <* إ8!9 L و،ادk ' 29 .1&!ا
‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-tasyri’ al-Jana’I al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’iy, Juz I, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994, hlm.280. 27 Apa yang telah disyariatkan oleh Allah tidak terlepas dari kemaslahatan individu (seorang mukallaf), maupun kemaslahatan orang banyak (jama’ah). Kemaslahatan individu merupakan kemaslahatan jama’ah, begitu juga kemaslahatan jama’ah tidak terlepas dari kemaslahatan individu. Tuntutan syariat yang membawa kemaslahatan serta manfaat dari ditetapkannya kepada kepentingan individu merupakan hak individu dan kewajiban yang menyebabkan kemaslahatan jama’ah adalah hak jama’ah. Dalam kajian ushul fiqh para ulama membagi hukum taklifiy menjadi empat bagian, yang murni menjadi hak Allah, yang terbagi lagi menjadi tiga bagian, masalah ‘ubudiyyah, masalah zakat serta pajak bagi tanah, dan masalah ‘uqubah selain hadd dan qisas. Kedua adalah hukum taklifiy yang mencakup hak Allah (jama’ah) serta hak individu akan tetapi hak Allah (jama’ah) lebih kuat dibanding hak individu. Ketiga, hukum taklifiy yang mencakup hak Allah dan hak Individu, akan tetapi hak individu lebih kuat dibanding hak Allah atau hak jama’ah dan yang keempat adalah hukum taklifiy yang pelaksanaan serta kemaslahatannya murni menjadi hak individu yang terkait dengan masalah harta seperti halnya penentuan harga dalam jual beli, hak syuf‘ah dan sebagainya. Lihat misalnya ‘Ali Hasballah, Usul at-Tasyri’ alIslamiy (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964), hlm. 293-297. 28 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddiqy, op.cit., hlm. 8. 29 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, loc.cit., 26
57 Hal ini dikarenakan seorang musta’min masuk ke dar as-salam bukan untuk menetap selamanya, melainkan karena adanya suatu kepentingan, seperti berdagang dan lain sebagainya. Permohonan perlindungan yang diminta tidak menjadikan ia terikat oleh hukum Islam dalam masalah jarimah. Meskipun demikian ia tetap terikat oleh apa yang telah ia sepakati dan menjadi tujuannya memasuki dar as-salam, yaitu segala aturan yang mengharuskan ia berbuat adil dalam bermu’amalah. Asas dari semua ini adalah wilayah atau kekuasaan, yaitu adanya kekuasaan atau kedaulatan terhadap tempat, dalam hal ini tidak ada kekuasaan terhadap seorang
musta’min karena keberadaannya dalam dar as-salam dapat diketahui sampai batas tertentu (sementara waktu).30 Abu Hanifah membagi tauliyyah (wewenang atau kekuasaan) pada dua bagian yaitu, tauliyyah ‘ammah (kekuasaan yang bersifat umum) dan tauliyyah
khasah (kekuasaan yang bersifat khusus).31 Kekuasaan Umum atau menyeluruh adalah kekuasaan seseorang sultan, raja maupun orang yang dipercaya untuk memegang tampuk kepemimpinan terhadap suatu wilayah yang luas atau suatu negara. Kekuasaan ini mempunyai wewenang untuk menegakkan hadd meskipun dalam hal yang tidak ditetapkan dalam nash alQur’an maupun al-Hadits. Ketika kekuasaan ini diberikan bagi seseorang, maka menjadi keharusan baginya untuk menjaga kemaslahatan umat Islam yang salah satu caranya dengan menegakkan hadd. Adapun kekuasaan khos adalah kekuasaan yang berwenang terhadap masalah-masalah yang khusus seperti menarik pajak bagi pemilik tanah kharijiyyah. Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islamiy,al-‘Arabiy,t.th., Dar al-Fikr, hlm 344. 31 Alau al-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’I as-Sana’I fi Tartib asy-Syara’I, Juz VII, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hlm. 86. 30
58 Kekuasaan ini tidak mempunyai wewenang untuk menegakkan hadd, kecuali pada hal-hal yang telah ditetapkan. Terhadap jarimah yang dilakukan oleh seorang muslim atau zimmiy di luar wilayah dar as-salam, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum Islam tidak dapat diterapkan karena permasalahannya bukan pada terikatnya seorang muslim maupun
zimmiy oleh hukum Islam, melainkan pada kemampuan penguasa untuk menegakkan hadd.32 Bukan merupakan suatu keharusan bagi penguasa untuk menegakkan hukum kecuali berdasarkan kemungkinan atau kemampuan untuk menegakkan nya.33 Bila yang menjadi dasar bagi penerapan hukum adalah adanya suatu kekuasaan terhadap satu wilayah maka jelas bagi penguasa dar as-salam tidak memungkinkan untuk menerapkan segala peraturan yang telah ditetapkan oleh syara’ dalam masalah pidana di wilayah yang berada di bawah kedaulatan dar al-harb. Hal ini dikarenakan dar al-
harb bukan merupakan daerah atau wilayah yang berada dalam kekuasaan Islam. Pendapat tersebut di atas seperti yang ditulis Kamalludin bin Al-Ghamam dalam kitab syarah Fathul Qadir, bahwa ”penguasa tidak mampu melaksanakan hukum had terhadap orang yang melakukan kejahatan di Darrul Harbi, pada waktu kejahatan itu dilakukan, apa bila penguasa tidak punya kemampuan, maka hukum itu tidak wajib dilaksanakan (hukum batal dengan sendirinya)”.34 Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengadilan dalam menghukumi suatu perkara harus mempunyai wewenang atau kekuasaan terhadap Hadd merupakan hukuman yang telah ditetapkan (al-Muqaddarah) dalam nas yang menjadi hak Allah. Maksudnya ditetapkan (muqaddarah) adalah bahwa hukuman hadd telah dibatasi, maka tidak ada hukuman hadd yang lebih berat atau tinggi dan juga tidak ada hukuman hadd yang lebih ringan dari batas yang tekah di tetapkan oleh Syari’. Adapun yang dimaksud dengan yang menjadi hak Allah adalah tidak adanya hak untuk menggugurkan hukuman bagi seseorang maupun bagi jama’ah. Lihat misalnya ‘Abd alQadir ‘Audah, op.cit., hlm. 78 33 Ibid., hlm. 281. 34 Imam Kamaluddin bin Al-Ghamam, Syarah Fathul Qadir Ala’Hidayah Syarah Bidayatul Mubtadi, Juz IV, Bairut: Darrul Kitab Alamiyah, hlm. 152-153. 32
59 tempat terjadinya suatu tindak jarimah. Dalam hal ini pengadilan Islam tidak punya wewenang terhadap wilayah kekuasaan dar al-harb apabila di tempat tersebut terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh seorang berkebangsaan dar as-salam, muslim maupun zimmiy. Tidak ada hukuman bagi seorang muslim maupun zimmiy yang melakukan suatu jarimah yang mengharuskan diberlakukannya hadd, sebagaimana tidak adanya qisas,35 apabila yang menjadi tempat terjadinya jarimah adalah dar al-
harb. Ini berlainan dengan jarimah yang mengharuskan adanya diyat bila yang menjadi korban adalah seorang yang dilindungi jiwa, raga dan hartanya. Ketentuan ini didasarkan pada dua hal. Pertama ditetapkannya wewenang pengadilan Islam terhadap pelaku. Kedua adalah karena dilindungi nya darah seorang muslim dan
zimmiy. Bila seorang muslim atau zimmiy membunuh seorang muslim lainnya di dar al-harb, maka tidak mungkin untuk melakukan qisas pada saat terjadinya perbuatan. Hal ini dikarenakan keberadaan pelaku di dar al-harb tidak memungkinkan untuk melaksanakan qisas, maka yang kemudian dapat ditetapkan adalah diyat atau denda. Hal ini mungkin untuk dilakukan karena yang diambil dalam diyat adalah harta pelaku yang saat itu berada di dar as-salam.36 Ketentuan lainnya adalah mengenai seorang muslim yang melakukan suatu jarimah di wilayah kedaulatan dar as-salam kemudian melarikan diri ke dar al-harb. Mengenai hal ini Abu Hanifah berpandangan bahwa ketentuan-ketentuan syariat Islam tetap berlaku bagi pelaku. Ketentuan ini tidak berbeda dengan peraturan yang Tindak pidana yang mengharuskan adanya qisas (balasan) sebagai ‘uqubah atau hukuman bagi pelanggar maupun pelaku jarimah. Qisas merupakan hukuman yang bentuknya diserahkan kepada masingmasing individu untuk melaksanakannya (haq li al-afrad). Dalam artian bahwa korban dapat saja menggagalkan hukuman - yang menjadi haknya untuk melaksanakan ataupun menggagalkan - bila ia memaafkan ataupun mengampuni pelaku jarimah tersebut. Lihat ibid.,hlm. 78-80. 36 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 350. 35
60 ditetapkan bagi seorang musta’min yang berbuat jarimah di dar as-salam kemudian melarikan diri atau kembali ke dar al-harb. Kembalinya ia ke dar al-harb tidak menjadikan hukuman yang harus diterimanya menjadi gugur.37 Hal tersebut berlaku pula bagi terhadap seorang musta’min yang pulang dari tempat asalnya (Darrul Harbi). Hukuman terhadapnya tidak gugur dan hukuman terhadap kejahatannya tetap dapat dikenakan.38 Mengenai tindak kejahatan yang di lakukan oleh tentara-tentara Islam yang berada dalam markas meskipun letaknya berada dalam daerah kekuasaan dar al-harb tetap dikenai ketentuan-ketentuan hukum Islam. Hal ini dikarenakan daerah yang diduduki tentara Islam termasuk wilayah kekuasaan Islam.39 Oleh karenanya setiap tindak pidana yang terjadi di tempat tersebut dihukumi seperti dalam dar as-salam. Seorang imam atau pemimpin dianggap mampu untuk menegakkan hukum di markas-markas tentara Islam karena adanya kekuatan, senjata serta berkumpulnya mereka dalam satu tempat. Oleh karenanya markas-markas tentara Islam, ketika dalam keadaan perang dihukumi seperti dar as-salam meskipun letaknya berjauhan dengan wilayah yang menjadi kedaulatan dar as-salam.40 Abu Hanifah berpendapat bahwa aturan-aturan hadd tidak berlaku bagi seorang zimmiy kecuali dalam masalah qazaf41. Pelanggaran mereka dalam bentuk perbuatan zina, meminum khamr serta mencuri tidak dikenakan aturan yang ‘Abd al- Qadir ‘Audah, op.cit., hlm. 282. Alau al-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, op.,cit., hlm. 131. 39 L. Amin Widodo, Fiqh siyasah dalam hubungan Internasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994. hlm. 19. 40 ‘Alau al-Din Abi Bakr ibn Mas’ud al-Kasaniy al-Hanafiy, op.cit., hlm. 195. 41 Yaitu menuduh seeorang telah berbuat zina dengan disertai adanya empat orang saksi yang menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri perbuatan tersebut dan dilakukan terhadap orang yang tidak halal baginya. Qazaf merupakan salah satu perbuatan jarimah yang hukumannya telah ditetapkan oleh Syari’ yang tidak ada peluang untuk mengurangi, menambah, ataupun mengganti hukuman tersebut. Lihat misalnya Mahmud Fuad Jad Allah, Ahkam al-Hudud fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah (Mesir: Matabi’ alMisriyyah al-‘Ammah, 1983), hlm. 51-52. 37 38
61 mewajibkan ditegakkannya hadd. Ketentuan ini seperti yang ditetapkan oleh Malik. Kecuali asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa seorang zimmiy tetap dihukum karena pelanggaran yang ia lakukan dalam bentuk apapun.42 Menurut asy-Syafi’i, ketentuan diyat juga berlaku bagi pelaku pembunuhan terhadap ahl az-zimmah, seperti halnya yang berlaku terhadap pelaku pembunuhan terhadap seorang muslim. Para tentara Islam yang melakukan jarimah sewaktu dalam keadaan perang atau melakukan pelanggaran di medan perang tidak terkena ketentuan ‘uqubah. Hukuman akan ditetapkan se kembalinya ia dari medan perang. Abu Hanifah membedakan kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di medan perang dalam dua keadaan.43 Pertama, apabila yang terbunuh adalah penduduk dar al-harb yang telah masuk Islam serta belum pindah ke dar as-salam dan pelaku pembunuhan nya adalah seorang penduduk dar as-salam, muslim atau zimmiy maka untuk kasus ini tidak ada qisas maupun diyat bagi pelaku. Kedua, bila yang terbunuh adalah seorang muslim atau zimmiy sebagai penduduk dar as-salam dan pembunuh nya adalah seorang musta’min yang masuk ke dar al-harb, maka tidak ada
qisas karena tidak adanya wewenang. Teori Abu Hanifah tentang lingkungan berlakunya syariat Islam terutama mengenai orang-orang musta’min mempunyai pengaruh yang buruk bagi negerinegeri Islam, karena pendapat tersebut dijadikan dasar untuk pemberian hak istimewa kepada orang-orang asing (musta’min). Akibat tersebut masih terasa sampai sekarang. Pemberian hak istimewa tersebut cukup mendorong mereka untuk memasuki negara-negara Islam dengan
Abi Muhammad ‘Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, al-Muhalla, jilid VIII (Beirut: Dar alFikr, t.th.), hlm. 158. 43 ‘Alau al-Din Abi Bakr ibn Mas’ud al-Kasaniy al-Hanafiy, op.cit., hlm. 131. 42
62 mendapat jaminan keselamatan. Setelah kaum muslimin lemah banyak hak-hak mereka yang dilanggar. Keadaan seperti ini menyiapkan jalan kemenangan bagi orang-orang asing. Selain itu, tidak dituntut nya orang-orang muslim yang berbuat pidana di dar
al-harb, akan mempersubur jarimah, terutama jarimah yang bertalian dengan akhlak, bahkan juga jarimah yang ditujukan kepada keamanan, kedudukan serta kewibawaan
dar as-salam. Dalam penerapan ketentuan-ketentuan pidana, syariat tidak membedakan antara pribadi, jama’ah, ras, antara hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat. Tidak ada yang diistimewakan dalam pemberlakuan hukum. Ketentuan syariat berlaku bagi para pemimpin negara (dar as-salam) yang melakukan pelanggaran hukum. Begitu juga terhadap para pemimpin negara luar (ajnabiyyah) yang sedang berada di dar as-
salam. Ketentuan ini berlaku bagi para anggota perwakilan asing yang bertugas di dar as-salam, pejabat negara dan sanak saudara serta orang-orang yang
menyertai
mereka. Mengenai para pemimpin dar al-harb yang berada di dar as-salam, Abu Hanifah berpendapat bahwa terhadap mereka tidak memungkinkan untuk menerapkan syariat jika yang dilakukan adalah jarimah yang menyangkut hak jama’ah. Hal ini dikarenakan mereka dianggap sebagai musta’min dan tidak ada hukuman bagi mereka kecuali terhadap jarimah yang menyangkut hak individu. Selain itu, seorang kepala negara dianggap sebagai pelaksana hukuman oleh karenanya, tidak memungkinkan untuk melaksanakan hukuman atas dirinya sendiri.44
44
L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 48.
63
BAB IV ANALISIS TEORI DAN PENERAPAN LOCUS DELICTI (KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT) PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH
A. Teori Locus Delicti Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana. Hukum pidana yang berupaya cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan dimana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum Internasional mengatur persoalan antar berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. Filosof Aristoteles menyatakan bahwa “sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela”.1 Jadi sampai di mana hukum pidana dapat melekat (berlaku) pada seseorang dapat dilihat pada Pasal 2 sampai 9 dalam KUHP. Pasal-pasal ini memberi ketentuan mengenai batas-batas 1
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB.
64
berlakunya perundang-undangan pidana Indonesia. Dalam Pasal 2 KUHP dapat di temukan adanya satu asas yang menjadi dasar bagi berlakunya undang-undang pidana dilihat dari segi tempat, yaitu asas teritorial. Asas atau prinsip teritorial mempersoalkan tentang lingkungan kuasa berlakunya hukum pidana terhadap ruang, jadi lebih luas dari pada tanah (bumi), ia merupakan asas yang paling tua. Yang menjadi ukuran asas ini adalah peristiwa pidana (delik, perbuatan pidana, tindak pidana) yang terjadi dalam batas wilayah Indonesia dan bukan ukuran bahwa pelaku harus berada dalam batas wilayah Indonesia.2 Pasal 2 KUHP diperluas lagi dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan penerbangan dan kejahatan sarana prasarana penerbangan. Undang-undang ini merupakan tambahan bagi Pasal 3 KUHP yang merupakan perluasan Pasal 2 KUHP sehingga berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat Indonesia.”3 Ketentuan mengenai asas teritorial ini dapat dijelaskan dengan teori mengenai kewenangan setiap negara berdaulat untuk menjaga ketenteraman di wilayahnya. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan
2
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 162. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 Pasal 1 ayat (1) tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana-prasarana Penerbangan. 3
65
memberlakukan ketentuan hukum yang berlaku di dalamnya. Di samping itu ada pandangan yang mengatakan bahwa negara yang menjadi tempat dilakukannya suatu kejahatan adalah negara yang paling berhak untuk memberlakukan hukum terhadap pelaku.4 Asas teritorial menitik beratkan pada terjadinya tindakan pidana dalam suatu negara.5 Dalam artian bahwa segala bentuk tindak pidana yang terjadi dalam negara tersebut tidak bisa lepas dari peraturan pidana yang telah diundang kan kecuali bagi orang-orang asing yang mendapat hak eksteritorial yang tercantum dalam Pasal 9 KUHP. Orang-orang asing yang mendapat hak eksteritorial, mereka tidak dapat diganggu gugat sehingga ketentuan pidana nasional tidak berlaku bagi mereka dan mereka hanya tunduk pada undang-undang pidana negaranya sendiri. Dengan adanya hak eksteritorial bukan berarti mereka dapat bertindak di luar ketentuan hukum. Bagi mereka senantiasa dapat dimajukan pengaduan kepada pemerintahannya. Pengaduan ini dapat disertai dengan tuntutan untuk menarik mereka ke negaranya untuk diadili berdasarkan hukum pidana di negaranya, hanya saja hal ini harus senantiasa dilakukan melalui jalur diplomatik.6 Selain itu, hukum-hukum Islam ditegakan atas dasar persamaan antar manusia tanpa membedakan ras dan golongan. Hal ini sesuai dengan ruh Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam. Namun demikian tidak dapat dipungkiri, pada kenyataannya tidak semua wilayah atau negara menggunakan
4
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 277. 5 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineika Cipta, 2000, hlm. 38. 6 R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, hlm. 6-7.
66
syariat Islam sebagai landasan hukum meskipun sesungguhnya di suatu wilayah atau negara mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan demikian hukum Islam dalam arti formalnya hanya dapat berlaku pada wilayah-wilayah yang bersifat regional. Sanksi hukum pidana dalam Islam, dilihat dari segi tempat terbagi pada dua macam, yaitu: pertama yang telah ditetapkan dalam nas-nas syara’ (al-Qur’an, al-sunnah yang berkaitan dengan ‘uqubah, hudud maupun qisas). Ketentuan ini berlaku umum (universal) untuk semua negara Islam. Kedua adalah ‘uqubah yang tidak ditetapkan secara pasti oleh Syari’, mengenai ketentuannya diserahkan kepada pemerintah untuk mengadakan sekaligus menjalankan ketentuan tersebut. Ketentuan ini tidak harus sama antara satu daerah dengan daerah lain. Oleh karenanya tidak menjadi soal ketika satu hukuman berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya selama hal ini dapat menanggulangi kejahatan atau kerusakan yang terjadi.7 Pada dasarnya suatu negara memiliki wewenang untuk menerapkan undang-undang pidana terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di wilayah teritorial, baik pelakunya sebagai warga negara tersebut maupun bukan. Hal ini dikarenakan setiap negara yang berdaulat wajib menjamin ketertiban hukum yang terjadi di wilayahnya. Selain itu setiap negara yang berdaulat mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan kedaulatan di wilayah negara lain. Pembagian negara atau sistem pemerintahan kepada dar as-salam dan dar al-harb bukan berarti hanya ada dua sistem pemerintahan dalam Islam. Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Fikr al‘Arabi. Ttp, hlm. 338-340. 7
67
Pembagian ini lebih dimaksudkan pada pembagian wilayah sebagai wilayah yang aman dar as-salam bagi umat Islam dan yang kedua sebagai wilayah permusuhan (perang) dar al-harb bagi kaum muslimin. Selain itu, pembagian negara dimaksudkan untuk menentukan hukum yang berlaku di kedua bentuk negara tersebut. Negara-negara Islam, meskipun berbeda dalam sistem pemerintahan dianggap sebagai satu negara (dar) dikarenakan negara-negara Islam, dalam masalah penerapan hukum mempunyai asas yang sama, yaitu berlandaskan syariat Islam. Dari segi ini, negara-negara Islam mempunyai satu kesatuan hukum dan oleh karenanya tiap dar as-salam dianggap sebagai wakil bagi dar
as-salam yang lain dalam penerapan hukum pidana. Pandangan ini tidak berbeda terhadap dar al-harb, seluruh negara yang tidak menerapkan ketentuan syariat Islam dianggap sebagai dar al-harb, meskipun negara-negara tersebut mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda. Berdasarkan hal ini pula dapat disimpulkan bahwa dalam masalah penerapan hukum dapat di tentukan oleh batas-batas wilayah negara serta sistem
hukum
yang
berlaku
di
dalamnya
dan
juga
berdasarkan
kewarganegaraan pelaku. Dalam hukum pidana Islam dikenal beberapa kaidah mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masalah pidana. Kaidah-kaidah ini merupakan pedoman dalam pelaksanaan maupun pengguguran hukuman.
68
Selain itu, kaidah-kaidah ini juga sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengetahui hak milik serta batasan-batasannya. Kaidah-kaidah ini di antaranya adalah:
.ّ ّ و إ Ketentuan mengenai termasuk atau tidaknya suatu perbuatan dalam jarimah haruslah menurut nas (al-Qur’an dan Hadits). Berdasarkan hal ini, kejahatankejahatan yang dapat dihukum berdasarkan pidana Islam telah diatur oleh nas yang merupakan rukun Syari’ dalam pidana Islam. Adapun ketentuan mengenai nas adalah bahwa nas tersebut harus berlaku tidak dimansukh ketika dilakukannya perbuatan. Yang kedua adalah bahwa nas tersebut harus berlaku dapat menjangkau di tempat terjadinya perbuatan. Ketentuan selanjutnya adalah bahwa nas harus berlaku bagi pelaku atau nas tersebut merupakan peraturan yang mengikat baginya. Kaidah yang kedua adalah:
"! دار ا م اء ون أ م#$$ ا%$
' &ا Dari kaidah ini dapat dijelaskan bahwa seluruh umat muslim di dar as-salam memiliki hak serta kewajiban yang sama meskipun mereka berasal dari wilayah yang berbeda. Persamaan dalam hukum, juga mencakup setiap orang non-muslim yang berada di dar as-salam dikarenakan mereka ketika berada di
69
dar as-salam, juga memiliki hak serta kewajiban sebagaimana penduduk muslim. Kaidah ketiga berbunyi: 8
.(را
)$ * م "! دار ا م+, -./ا
Tidak mengetahui hukum islam tidak menjadikan uzur. Kaidah keempat berbunyi:
! ;4 !ّ وا,0ّ1 ا2 ّ 3 2ّ1'4 !ّ ا56 ا/ ا# 7' ا2 ّ + ي آ ن ّ , )$ ;ود3 ا56 ا Bahwa para pemimpin dan siapa saja di dar as-salam tidak mempunyai hak untuk memaafkan suatu kejahatan hudud. Tidak adanya hak untuk memaafkan atau menggugurkan hukuman juga berlaku terhadap korban dan orang yang menjadi wali korban. Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterapkan atas jarimah (tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempat-tempat yang masuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah maupun pelaku, muslim maupun non-muslim.9 Di luar dar as-salam hukum Islam yang menyangkut masalah pidana tidak berlaku kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak perseorangan (haq adamiy). Abu Hanifah menitikberatkan pada tempat sebagai unsur utama untuk menentukan berlaku tidaknya ketentuan hukum Islam.
8
Samsul Ma’arif, Terjemah Matan Taqrib Ringkas dan Jelas, cet-II, Magelang: Toko Kitab Salamun Tegalrejo, 2009, hlm.203. 9 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri al-Jana’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun alWad‘iy, Juz. I, Beirut: Muasasah ar- Risalah. 1994, hlm. 280.
70
Abu Yusuf salah seorang tokoh fiqih dalam mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum Islam berlaku atas semua tindak pidana yang terjadi di daerah hukum dar as-salam, baik ia bermukim (penduduk) seperti seorang muslim atau zimmiy, ataupun bermukim untuk sementara seperti seorang musta’min. Ia berasumsi bahwa seorang muslim diharuskan menuruti dan melaksanakan syariat Islam karena ke-Islamanya dan seorang zimmiy dikarenakan akad zimmah-nya yang menjamin keamanan yang tetap baginya di dar as-salam. Adapun bagi seorang musta’min, ia harus melaksanakan hukum-hukum Islam dan menaatinya mengingat ‘aqd al-amn (yaitu akad jaminan keamanan) yang waktunya terbatas sesuai dengan perjanjian yang telah memberikan kepadanya hak untuk menetap dalam jangka waktu tertentu di dar as-salam.10 Selanjutnya Imam asy-Syafi’I, Imam Maliki, dan Imam Ahmad (jumhur) berpendapat bahwa hukum Islam dapat diterapkan atas segala kejahatan yang dilakukan di mana saja selama tempat tersebut masih termasuk dalam daerah yuridiksi dar as-salam, baik pelaku nya adalah seorang muslim,
zimmiy maupun musta’min. Ini berarti bahwa aturan-aturan pidana tidak terikat oleh wilayah melainkan terikat oleh subyek hukum.11 Jadi setiap muslim tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diperintahkan atau diwajibkan di manapun ia berada.
10 11
Ibid., hlm. 285. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, op.cit. hlm. 287.
71
B. Penerapan Teori Locus Delicti Dalam
masalah
penerapan
hukum,
selain
berdasarkan
kewarganegaraan12 dengan ke-Islaman maupun berdasarkan akad zimmah Abu Hanifah mensyaratkan adanya kedaulatan terhadap tempat. Bila seorang
harbiy masuk Islam di negaranya dan belum pindah atau berhijrah ke dar assalam maka, hukum pidana Islam tidak dapat menjangkau atau tidak berlaku bagi kejahatan yang ia lakukan di negaranya (dar al-harb). Hal ini dikarenakan ketika ia melakukan kejahatan, ia berada di wilayah yang di dalamnya tidak ada kedaulatan negara Islam yang mengakibatkan tidak adanya kemampuan bagi penguasa dar as-salam untuk memberlakukan serta memberi hukuman kepada pelaku sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Aspek tempat inilah yang kemudian menjadi titik tolak dalam penerapan hukum pidana Islam dalam teori Abu Hanifah mengenai ruang lingkup berlakunya hukum pidana. Berdasarkan hal ini pula jika seorang penduduk dar as-salam melakukan suatu kejahatan dalam pandangan hukum Islam di dar al-harb maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam melainkan dihukumi berdasarkan hukum pidana yang berlaku di dar al-
harb. Negara tersebut (dar al-harb) dapat memberlakukan hukum pidana yang berlaku berdasarkan asas teritorial yang dianut oleh negara tersebut dan jika menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu kejahatan. Keberadaannya 12
Yusuf Qardhawi menulis bahwa nasionalisme tidak terletak pada batas wilayah geografis melainkan pada aqidah. Dari pendapatnya ini dapat difahami bahwa meskipun umat Islam berada di wilayah yang berbeda, akan tetapi mereka dianggap satu dalam masalah nasionalisme, yaitu nasionalisme yang berdasarkan akidah Islam, Menyatukan Pikiran Para Pejuang Islam, alih bahasa Ali Makhtum Assalamy (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), hlm. 97.
72
penduduk dar as-salam di dar al-harb meniadakan kewajiban bagi penguasa untuk memberi hukuman terhadapnya. Begitu juga sekembalinya ia ke dar as-
salam, kejahatan yang ia lakukan di dar al-harb tidak mengharuskan ia mendapat hukuman di karenakan ketika ia melakukan kejahatan tersebut ketentuan pidana Islam (nas) tidak menjangkau apa yang ia lakukan. Berkaitan dengan penerapan teori Abu Hanifah terhadap seorang muslim yang menjadi penduduk dar al-harb, hijrahnya seorang harbiy yang telah masuk Islam dari dar al-harb ke dar as-salam dijadikan syarat kewarganegaraan dar as-salam menurut Abu Hanifah. Selama ia belum pindah ke dar as-salam maka hukum pidana Islam belum berlaku bagi pelanggaranpelanggaran yang ia lakukan di dar al-harb.13 Hukum pidana yang mengikat baginya adalah hukum pidana yang berlaku di negara tersebut. Negara Islam, meskipun bukan negara nasionalis,14 namun tetap membatasi kewarganegaraan hanya bagi mereka yang menetap di wilayah dar
as-salam dan orang-orang yang telah ber hijrah ke dalamnya. Firman Allah dalam al-Qur’an:
# َ ِ(> وَا0ِ 1> اِ $ِ? َ !ِ" ْ5.ِ ِ 7ُ Bْ ْ َوَأ5.ِ ِ َْاCَِ ُوا َوَ َه;ُوا َ َ َُا َوهEَ # َ ِ(>ن ا > ِإ َ ُوا ِ َ. ُ ْ5َ َُا َوEَ # َ ِ(> وَاG ٍ 'ْ َ َ ُء$ِْْ َأو5.ُ H ُ 'ْ َ I َ Jِ َ ُوا أُوK َ Bَ َووْا َوEَ # ِ M;ْ "ِ! ا5 ُو ُآK َ ْ َ ْ نا ِ ُوا َوِإ ِ َ. ُ N>+ َ !ْ ٍءL َ ْ#ِ ْ5.ِ ِ َ َْ َو#ِ ْ5*ُ َ 13
Mengenai kewarganegaraan dalam Islam lihat misalnya Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqie, Hukum antar Golongan, (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash Shhidieqy, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001,hlm. 43-45. 14 Syaukat Hussain menyebutnya sebagai negara ideologis. Masyarakat dalam negara ini diklasifikasikan pada dua kelompok yaitu muslim (yang percaya pada ideologi negara) dan warga non-muslim (yang tidak percaya pada ideologi negara), Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 75.
73
ٌ $ِKَ ن َ ُ1َ 'ْ 4َ َِ 0ُ 1>َقٌ وَا$ِ ْ5.ُ َ $ْ َ َْ و5*ُ َ $ْ َ ْ ٍمQَ Nَ1 َ > ُ ِإK ْ > ا5ُ *ُ $ْ 1َ'َ "َ U٧٢R Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orangorang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindungmelindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Anfall: 72).15
Pada ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai kepala negara Islam, dibebaskan dari segala macam tanggung jawab terhadap orangorang muslim yang bukan warga negara dari negara Islam.16 Ketentuan mengenai boleh nya setiap dar as-salam untuk menerapkan hukum Islam terhadap seorang penduduk dar as-salam di dar as-salam yang lain, berlaku selama pelanggaran yang dilakukan belum diadili oleh salah satu
dar as-salam yang menjadi asal pelaku, dar as-salam yang menjadi tempat dilakukannya perbuatan maupun dar as-salam yang menjadi tempat pelarian bagi pelaku. Begitu juga bila pelanggaran yang dilakukan telah dijatuhi bukan berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, pelanggaran tersebut harus kembali diadili dengan ketentuan syariat Islam di dar as-salam yang bermaksud untuk mengadili.
15
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 273. Syaukat Hussain Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N Jakarta: Gema Insani Press, 1996., hlm. 21. 16
74
Mengenai para musta’min, Abu Hanifah berpendapat bahwa ketentuan pidana Islam tidak berlaku kecuali terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan hak-hak individu selain hudud dan qisas. Oleh karenanya, seorang
musta’min yang melakukan suatu kejahatan yang berkaitan dengan hak-hak jama’ah atau hak Allah di dar as-salam tidak dapat dikenai hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam. Hal ini dikarenakan keberadaan seorang musta’min di dar as-salam adalah dalam rangka bermu’amalah seperti berdagang atau lainnya. Pendapat seperti inilah yang digunakan Imam Abu Hanifah menggunakan salah satu metode istinbat hukum sesuai dengan ayat al-Qur’an surat Al-Anfaall ayat 72. Dalam hukum pidana positif, penerapan hukum pidana suatu negara terhadap kejahatan yang terjadi di dalam batas-batas wilayah negara didasarkan atas asas teritorial. Tidak ada ketentuan tentang kejahatan seperti apa yang tunduk pada asas teritorial suatu negara. Dalam KUHP Indonesia hanya disebut ketentuan umum bahwa undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia.17 Penerapan hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini berlaku umum, dalam artian bahwa setiap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial Indonesia tunduk pada perundang-undangan pidana nasional. Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan suatu kejahatan di wilayah yuridiksi Indonesia tanpa memandang kewarganegaraan pelaku.
17
Pasal 2 KUHP.
75
Asas teritorial dilandasi oleh bermacam prinsip yang di antaranya adalah bahwa kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara harus diatasi oleh negara dimana kejahatan itu terjadi. Pertimbangan lainnya adalah bahwa negara yang menjadi tempat terjadinya kejahatan adalah negara yang di anggap memiliki kepentingan paling kuat, memiliki fasilitas paling baik serta memiliki perangkat paling kuat untuk menerapkan hukum pidana nya terhadap kejahatan yang dilakukan baik oleh warga negaranya maupun oleh orangorang asing yang berada di wilayahnya.18 Selain memiliki hak serta kekuasaan terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial, suatu negara dalam pandangan hukum Internasional juga memiliki hak-hak istimewa bagi duta-duta diplomatik nya di negara lain.19 Hak istimewa ini dapat dinikmati berupa hak immunitas atau kekebalan hukum terhadap yuridiksi sebuah negara. Hal ini mengakibatkan adanya pengecualian bagi mereka yang memiliki hak tersebut dalam penerapan hukum pidana suatu negara. Dengan kata lain, mereka yang mendapat hak immunitas, meskipun mereka melakukan suatu kejahatan di wilayah teritorial Indonesia, hukum pidana Indonesia tidak dapat di terapkan terhadap mereka.20
18
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 277. 19 Hak-hak lainnya yang melekat bagi sebuah negara merdeka di antaranya adalah kekuasaan eksklusif untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan dalam negeri, kekuasaan untuk memberi izin masuk dan mengusir orang-orang asing dan juga sebuah negara dianggap memiliki yuridiksi tunggal terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi/dilakukan di wilayah teritorial negara tersebut. Lihat Ibid., hlm. 133. 20 Pengecualian bagi berlakunya hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini tercantum dalam Pasal 9 KUHP.
76
Dengan adanya pengecualian ini maka dapat disimpulkan bahwa meskipun setiap negara berdaulat memiliki hak untuk memberlakukan hukum pidana nasional nya terhadap pelaku kejahatan di wilayahnya, dengan adanya pengecualian bagi mereka yang mendapat hak immunitas, penerapan hukum pidana berdasarkan asas teritorial tidak berlaku secara mutlak. Dalam penerapannya, asas ini dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut hukum internasional. Wilayah yang termasuk teritorial, selain wilayah tanah adalah wilayah perairan dan udara. Ini merupakan perluasan bagi berlakunya hukum pidana dari segi tempat. Dengan adanya perluasan ini maka, kejahatan yang terjadi di dalam kendaraan air dan juga pesawat Indonesia tunduk pada perundangundangan pidana Indonesia.21 Dalam penerapannya, tidak semua kapal atau perahu dianggap sebagai perpanjangan dari wilayah teritorial. Hanya kapal yang berada di lautan terbuka yang di dalamnya dapat ditegakkan kedaulatan teritorial. Berdasarkan hal ini, setiap kejahatan yang dilakukan di atas kapal berbendera Indonesia, tunduk pada ketentuan hukum pidana Indonesia. Berdasarkan hal ini setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang penduduk dar as-salam di Indonesia atau di negara yang menerapkan hukum pidana positif serta mengakui adanya asas teritorial baik dilakukan di wilayah tanah, perairan maupun udara dan juga dalam perahu dan pesawat udara Indonesia maka terhadap kejahatan tersebut dapat diberlakukan hukum pidana yang berlaku di Indonesia atau negara yang menerapkan hukum pidana positif. 21
Pasal 3 KUHP sebagai perluasan bagi berlakunya perundang-undangan hukum pidana Indonesia sebagai mana tercantum dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1976.
77
Adapun ketentuan hukum pidana Islam dalam hal ini tidak dapat diberlakukan dikarenakan keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar as-salam. Berdasarkan hal ini pula negara tempat dilakukannya perbuatan dar al-harb dapat memberlakukan hukum yang berlaku berdasarkan asas teritorial. Hal ini apabila perbuatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam tersebut dianggap sebagai kejahatan dalam hukum pidana positif. Persamaan antara teori Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum pidana positif adalah pada adanya penekanan terhadap tempat sebagai dasar bagi pemberlakuan ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan. Dalam pendapat Abu Hanifah, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya ketentuan jarimah terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik pelakunya seorang muslim maupun zimmiy. Ini merupakan suatu keharusan bagi tiap negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayahnya. Selama kejahatan tersebut terjadi di dalam batas-batas wilayah negara, maka hukum pidana yang berlaku dapat menjangkau serta berlaku terhadap pelaku. Oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku bagi kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di
dar as-salam. Sedangkan perbedaan Teori Imam Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum positif perbedaan mengenai warga negara di luar negeri, dimana menurut hukum positif dikenakan hukuman, sedangkan menurut Abu Hanifah tidak dikenakan hukuman. Selain itu, tidak diberlakukannya hukum pidana bagi kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb, melainkan diberikannya
78
wewenang kepada penguasa dar al-harb untuk melaksanakan hukuman kepada pelaku berdasarkan asas teritorial yang berlaku merupakan ketentuan yang timbul akibat dari disyaratkan kedaulatan (kekuasaan) terhadap tempat dalam penerapan hukum pidana. Mengenai para kepala negara dan para konsul yang berada atau sedang berkunjung di dar as-salam, seperti halnya seorang musta’min yang bebas dari ketentuan pidana terkecuali terhadap pelanggaran yang menyangkut hak individu. Pendapatnya ini seperti di berlakukannya hak immunitas bagi para kepala negara asing dan para konsul dalam teori hukum pidana positif, hanya saja dalam hukum positif ketentuan mengenai tidak berlakunya hukum pidana nasional terhadap mereka berlaku secara mutlak, dalam artian bahwa hukum pidana nasioanal tidak berlaku bagi mereka dalam keadaan bagaimanapun. Adapun hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku di negara mereka. Hak penuntutan serta pengadilan diserahkan kepada negara tersebut. Mengenai para konsul negara asing di dar as-salam, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku bagi seorang musta’min. dengan demikian, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang menyangkut hak individu. Ini merupakan perbedaan antara pendapat Abu Hanifah dengan hukum pidana positif mengenai para konsul negara asing. Berdasarkan
teori
Abu
Hanifah,
suatu
negara
Islam
dapat
memberlakukan hukum pidana Islam dalam kapal maupun perahu milik berbendera negara tersebut. Seperti halnya markas-markas tentara muslim di
79
medan perang yang dianggap sebagai wilayah kedaulatan dar as-salam, begitu juga terhadap kapal (perahu) milik suatu dar as-salam.. Berdasarkan pendapat Abu Hanifah yang menekankan adanya kekuasaan terhadap tempat maka kapal tersebut dapat dianggap sebagai perluasan bagi wilayah dar as-salam dan oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku terhadap kejahatan yang terjadi di dalamnya baik pelakunya sebagai warga dar as-salam maupun warga dari negara yang menerapkan hukum pidana positif seperti halnya Indonesia. Asas-asas berlakunya ketentuan pidana dari segi tempat dalam penerapannya didasarkan pada kewenangan negara terhadap tempat serta adanya kewenangan terhadap pelaku (kewarganegaraan). Dalam hukum pidana positif, penerapan asas teritorial mencakup seluruh kejahatan yang dilakukan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah negara. Ketentuan ini berlaku bagi warga negara maupun warga negara asing yang melakukan kejahatan di wilayah negara tersebut. Dalam penerapannya, keberadaan seseorang di wilayah negara telah dianggap cukup untuk memberlakukan hukum pidana nasional tanpa harus berdomisili di negara tersebut. Dalam hukum pidana Islam, teori Abu Hanifah yang menekankan adanya kewenangan terhadap tempat dalam penerapan hukum, dapat diterapkan terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di batas-batas wilayah dar as-salam oleh penduduk dar as-salam, yaitu muslim dari dar as-salam manapun ia berasal maupun sebagai penduduk dar al-harb yang belum menetap (berhijrah) di dar as-salam dan zimmiy (orang-orang yang menetap) tidak pada para pendatang
atau
musta’min
kecuali
pada
kejahatan-kejahatan
yang
80
berhubungan dengan kemaslahatan jama’ah. Dalam asas teritorial hukum pidana positif dan teori Abu Hanifah terdapat pengecualian dalam penerapan hukum meskipun mereka melakukan kejahatan di wilayah teritorial. Adapun asas kewarganegaraan dalam hukum positif penerapannya terhadap warga negara yang melakukan kejahatan di luar wilayah teritoir (luar negeri) dengan kejahatan-kejahatan tertentu. Adapun teori Abu Yusuf penerapannya tidak jauh berbeda dengan penerapan teori Abu Hanifah hanya saja jangkauannya lebih luas, yaitu tidak terbatas pada mereka yang menetap di dar as-salam. Dengan ketentuan seperti ini, terhadap seorang muslim yang bukan berasal dari dar as-salam berdasarkan ke-Islamannya yang berada di dar as-salam dapat dikenai ketentuan pidana Islam jika ia melakukan suatu kejahatan. Ketentuan ini berlaku juga bagi mereka para pendatang di dar as-salam tanpa terkecuali. Adapun asas universal dalam penerapannya oleh negara-negara mencakup seluruh kejahatan yang telah disepakati berdasarkan konvensi Internasional. Berdasarkan hal ini tiap negara yang di dalamnya terdapat pelaku kejahatan
yang menyangkut kepentingan
Internasional dapat
memberlakukan hukum pidana nasionalnya terhadap pelaku tanpa melihat aspek kewarganegaraan. Berdasarkan ketentuan berlakunya hukum pidana Islam terhadap setiap jarimah yang dilakukan di dar as-salam. Titik temu antara asas-asas hukum pidana positif dengan teori para Imam Madzhad mengenai ketentuan berlakunya hukum pidana dilihat dari segi tempat adalah pada aspek tempat dilakukannya kejahatan. Berdasarkan hal ini setiap kejahatan (pelanggaran) yang terjadi di wilayah teritorial dar as-
81
salam maupun negara yang menerapkan hukum pidana positif tunduk terhadap hukum yang berlaku di negara tersebut. Adapun kewarganegaraan pelaku dalam hal ini tidak dapat dipermasalahkan. Hal ini berkaitan dengan sistem hukum yang berbeda antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Suatu perbuatan yang dianggap sebagai suatu kejahatan dalam hukum pidana positif tidak selalu dianggap kejahatan dalam hukum pidana Islam. Oleh karenanya penerapan hukum terhadap kejahatan yang melibatkan dua negara
dar as-salam dan negara yang menerapkan hukum pidana positif hanya dapat dilihat dari satu sistem hukum pidana, yaitu hukum negara yang memandang perbuatan tersebut sebagai kejahatan dan di mana perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku. Adapun kejahatan yang diakui oleh kedua sistem hukum tersebut maka lembaga ekstradisi atau penyerahan pelaku kejahatan dapat ditempuh untuk menyerahkan pelaku kejahatan kepada negara yang mempunyai wewenang terhadap pelaku. Dengan demikian hukum yang berlaku di dar as-salam dan negara yang menerapkan hukum pidana positif yang berbeda dalam sistem pemerintahan akan senantiasa berjalan dan pelaku kejahatan tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan.
63
BAB IV ANALISIS TEORI DAN PENERAPAN LOCUS DELICTI (KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT) PERSPEKTIF IMAM ABU HANIFAH
A. Teori Locus Delicti Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana. Hukum pidana yang berupaya cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan dimana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum Internasional mengatur persoalan antar berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. Filosof Aristoteles menyatakan bahwa “sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela”.1 Jadi sampai di mana hukum pidana dapat melekat (berlaku) pada seseorang dapat dilihat pada Pasal 2 sampai 9 dalam KUHP. Pasal-pasal ini memberi ketentuan mengenai batas-batas 1
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB.
64
berlakunya perundang-undangan pidana Indonesia. Dalam Pasal 2 KUHP dapat di temukan adanya satu asas yang menjadi dasar bagi berlakunya undang-undang pidana dilihat dari segi tempat, yaitu asas teritorial. Asas atau prinsip teritorial mempersoalkan tentang lingkungan kuasa berlakunya hukum pidana terhadap ruang, jadi lebih luas dari pada tanah (bumi), ia merupakan asas yang paling tua. Yang menjadi ukuran asas ini adalah peristiwa pidana (delik, perbuatan pidana, tindak pidana) yang terjadi dalam batas wilayah Indonesia dan bukan ukuran bahwa pelaku harus berada dalam batas wilayah Indonesia.2 Pasal 2 KUHP diperluas lagi dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan penerbangan dan kejahatan sarana prasarana penerbangan. Undang-undang ini merupakan tambahan bagi Pasal 3 KUHP yang merupakan perluasan Pasal 2 KUHP sehingga berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat Indonesia.”3 Ketentuan mengenai asas teritorial ini dapat dijelaskan dengan teori mengenai kewenangan setiap negara berdaulat untuk menjaga ketenteraman di wilayahnya. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan
2
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 162. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 Pasal 1 ayat (1) tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana-prasarana Penerbangan. 3
65
memberlakukan ketentuan hukum yang berlaku di dalamnya. Di samping itu ada pandangan yang mengatakan bahwa negara yang menjadi tempat dilakukannya suatu kejahatan adalah negara yang paling berhak untuk memberlakukan hukum terhadap pelaku.4 Asas teritorial menitik beratkan pada terjadinya tindakan pidana dalam suatu negara.5 Dalam artian bahwa segala bentuk tindak pidana yang terjadi dalam negara tersebut tidak bisa lepas dari peraturan pidana yang telah diundang kan kecuali bagi orang-orang asing yang mendapat hak eksteritorial yang tercantum dalam Pasal 9 KUHP. Orang-orang asing yang mendapat hak eksteritorial, mereka tidak dapat diganggu gugat sehingga ketentuan pidana nasional tidak berlaku bagi mereka dan mereka hanya tunduk pada undang-undang pidana negaranya sendiri. Dengan adanya hak eksteritorial bukan berarti mereka dapat bertindak di luar ketentuan hukum. Bagi mereka senantiasa dapat dimajukan pengaduan kepada pemerintahannya. Pengaduan ini dapat disertai dengan tuntutan untuk menarik mereka ke negaranya untuk diadili berdasarkan hukum pidana di negaranya, hanya saja hal ini harus senantiasa dilakukan melalui jalur diplomatik.6 Selain itu, hukum-hukum Islam ditegakan atas dasar persamaan antar manusia tanpa membedakan ras dan golongan. Hal ini sesuai dengan ruh Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam. Namun demikian tidak dapat dipungkiri, pada kenyataannya tidak semua wilayah atau negara menggunakan
4
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 277. 5 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineika Cipta, 2000, hlm. 38. 6 R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, hlm. 6-7.
66
syariat Islam sebagai landasan hukum meskipun sesungguhnya di suatu wilayah atau negara mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan demikian hukum Islam dalam arti formalnya hanya dapat berlaku pada wilayah-wilayah yang bersifat regional. Sanksi hukum pidana dalam Islam, dilihat dari segi tempat terbagi pada dua macam, yaitu: pertama yang telah ditetapkan dalam nas-nas syara’ (al-Qur’an, al-sunnah yang berkaitan dengan ‘uqubah, hudud maupun qisas). Ketentuan ini berlaku umum (universal) untuk semua negara Islam. Kedua adalah ‘uqubah yang tidak ditetapkan secara pasti oleh Syari’, mengenai ketentuannya diserahkan kepada pemerintah untuk mengadakan sekaligus menjalankan ketentuan tersebut. Ketentuan ini tidak harus sama antara satu daerah dengan daerah lain. Oleh karenanya tidak menjadi soal ketika satu hukuman berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya selama hal ini dapat menanggulangi kejahatan atau kerusakan yang terjadi.7 Pada dasarnya suatu negara memiliki wewenang untuk menerapkan undang-undang pidana terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di wilayah teritorial, baik pelakunya sebagai warga negara tersebut maupun bukan. Hal ini dikarenakan setiap negara yang berdaulat wajib menjamin ketertiban hukum yang terjadi di wilayahnya. Selain itu setiap negara yang berdaulat mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan kedaulatan di wilayah negara lain. Pembagian negara atau sistem pemerintahan kepada dar as-salam dan dar al-harb bukan berarti hanya ada dua sistem pemerintahan dalam Islam. Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Fikr al‘Arabi. Ttp, hlm. 338-340. 7
67
Pembagian ini lebih dimaksudkan pada pembagian wilayah sebagai wilayah yang aman dar as-salam bagi umat Islam dan yang kedua sebagai wilayah permusuhan (perang) dar al-harb bagi kaum muslimin. Selain itu, pembagian negara dimaksudkan untuk menentukan hukum yang berlaku di kedua bentuk negara tersebut. Negara-negara Islam, meskipun berbeda dalam sistem pemerintahan dianggap sebagai satu negara (dar) dikarenakan negara-negara Islam, dalam masalah penerapan hukum mempunyai asas yang sama, yaitu berlandaskan syariat Islam. Dari segi ini, negara-negara Islam mempunyai satu kesatuan hukum dan oleh karenanya tiap dar as-salam dianggap sebagai wakil bagi dar
as-salam yang lain dalam penerapan hukum pidana. Pandangan ini tidak berbeda terhadap dar al-harb, seluruh negara yang tidak menerapkan ketentuan syariat Islam dianggap sebagai dar al-harb, meskipun negara-negara tersebut mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda. Berdasarkan hal ini pula dapat disimpulkan bahwa dalam masalah penerapan hukum dapat di tentukan oleh batas-batas wilayah negara serta sistem
hukum
yang
berlaku
di
dalamnya
dan
juga
berdasarkan
kewarganegaraan pelaku. Dalam hukum pidana Islam dikenal beberapa kaidah mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masalah pidana. Kaidah-kaidah ini merupakan pedoman dalam pelaksanaan maupun pengguguran hukuman.
68
Selain itu, kaidah-kaidah ini juga sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengetahui hak milik serta batasan-batasannya. Kaidah-kaidah ini di antaranya adalah:
.ّ ّ و إ Ketentuan mengenai termasuk atau tidaknya suatu perbuatan dalam jarimah haruslah menurut nas (al-Qur’an dan Hadits). Berdasarkan hal ini, kejahatankejahatan yang dapat dihukum berdasarkan pidana Islam telah diatur oleh nas yang merupakan rukun Syari’ dalam pidana Islam. Adapun ketentuan mengenai nas adalah bahwa nas tersebut harus berlaku tidak dimansukh ketika dilakukannya perbuatan. Yang kedua adalah bahwa nas tersebut harus berlaku dapat menjangkau di tempat terjadinya perbuatan. Ketentuan selanjutnya adalah bahwa nas harus berlaku bagi pelaku atau nas tersebut merupakan peraturan yang mengikat baginya. Kaidah yang kedua adalah:
"! دار ا م اء ون أ م#$$ ا%$
' &ا Dari kaidah ini dapat dijelaskan bahwa seluruh umat muslim di dar as-salam memiliki hak serta kewajiban yang sama meskipun mereka berasal dari wilayah yang berbeda. Persamaan dalam hukum, juga mencakup setiap orang non-muslim yang berada di dar as-salam dikarenakan mereka ketika berada di
69
dar as-salam, juga memiliki hak serta kewajiban sebagaimana penduduk muslim. Kaidah ketiga berbunyi: 8
.(را
)$ * م "! دار ا م+, -./ا
Tidak mengetahui hukum islam tidak menjadikan uzur. Kaidah keempat berbunyi:
! ;4 !ّ وا,0ّ1 ا2 ّ 3 2ّ1'4 !ّ ا56 ا/ ا# 7' ا2 ّ + ي آ ن ّ , )$ ;ود3 ا56 ا Bahwa para pemimpin dan siapa saja di dar as-salam tidak mempunyai hak untuk memaafkan suatu kejahatan hudud. Tidak adanya hak untuk memaafkan atau menggugurkan hukuman juga berlaku terhadap korban dan orang yang menjadi wali korban. Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterapkan atas jarimah (tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempat-tempat yang masuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah maupun pelaku, muslim maupun non-muslim.9 Di luar dar as-salam hukum Islam yang menyangkut masalah pidana tidak berlaku kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak perseorangan (haq adamiy). Abu Hanifah menitikberatkan pada tempat sebagai unsur utama untuk menentukan berlaku tidaknya ketentuan hukum Islam.
8
Samsul Ma’arif, Terjemah Matan Taqrib Ringkas dan Jelas, cet-II, Magelang: Toko Kitab Salamun Tegalrejo, 2009, hlm.203. 9 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri al-Jana’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun alWad‘iy, Juz. I, Beirut: Muasasah ar- Risalah. 1994, hlm. 280.
70
Abu Yusuf salah seorang tokoh fiqih dalam mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum Islam berlaku atas semua tindak pidana yang terjadi di daerah hukum dar as-salam, baik ia bermukim (penduduk) seperti seorang muslim atau zimmiy, ataupun bermukim untuk sementara seperti seorang musta’min. Ia berasumsi bahwa seorang muslim diharuskan menuruti dan melaksanakan syariat Islam karena ke-Islamanya dan seorang zimmiy dikarenakan akad zimmah-nya yang menjamin keamanan yang tetap baginya di dar as-salam. Adapun bagi seorang musta’min, ia harus melaksanakan hukum-hukum Islam dan menaatinya mengingat ‘aqd al-amn (yaitu akad jaminan keamanan) yang waktunya terbatas sesuai dengan perjanjian yang telah memberikan kepadanya hak untuk menetap dalam jangka waktu tertentu di dar as-salam.10 Selanjutnya Imam asy-Syafi’I, Imam Maliki, dan Imam Ahmad (jumhur) berpendapat bahwa hukum Islam dapat diterapkan atas segala kejahatan yang dilakukan di mana saja selama tempat tersebut masih termasuk dalam daerah yuridiksi dar as-salam, baik pelaku nya adalah seorang muslim,
zimmiy maupun musta’min. Ini berarti bahwa aturan-aturan pidana tidak terikat oleh wilayah melainkan terikat oleh subyek hukum.11 Jadi setiap muslim tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diperintahkan atau diwajibkan di manapun ia berada.
10 11
Ibid., hlm. 285. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, op.cit. hlm. 287.
71
B. Penerapan Teori Locus Delicti Dalam
masalah
penerapan
hukum,
selain
berdasarkan
kewarganegaraan12 dengan ke-Islaman maupun berdasarkan akad zimmah Abu Hanifah mensyaratkan adanya kedaulatan terhadap tempat. Bila seorang
harbiy masuk Islam di negaranya dan belum pindah atau berhijrah ke dar assalam maka, hukum pidana Islam tidak dapat menjangkau atau tidak berlaku bagi kejahatan yang ia lakukan di negaranya (dar al-harb). Hal ini dikarenakan ketika ia melakukan kejahatan, ia berada di wilayah yang di dalamnya tidak ada kedaulatan negara Islam yang mengakibatkan tidak adanya kemampuan bagi penguasa dar as-salam untuk memberlakukan serta memberi hukuman kepada pelaku sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Aspek tempat inilah yang kemudian menjadi titik tolak dalam penerapan hukum pidana Islam dalam teori Abu Hanifah mengenai ruang lingkup berlakunya hukum pidana. Berdasarkan hal ini pula jika seorang penduduk dar as-salam melakukan suatu kejahatan dalam pandangan hukum Islam di dar al-harb maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam melainkan dihukumi berdasarkan hukum pidana yang berlaku di dar al-
harb. Negara tersebut (dar al-harb) dapat memberlakukan hukum pidana yang berlaku berdasarkan asas teritorial yang dianut oleh negara tersebut dan jika menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu kejahatan. Keberadaannya 12
Yusuf Qardhawi menulis bahwa nasionalisme tidak terletak pada batas wilayah geografis melainkan pada aqidah. Dari pendapatnya ini dapat difahami bahwa meskipun umat Islam berada di wilayah yang berbeda, akan tetapi mereka dianggap satu dalam masalah nasionalisme, yaitu nasionalisme yang berdasarkan akidah Islam, Menyatukan Pikiran Para Pejuang Islam, alih bahasa Ali Makhtum Assalamy (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), hlm. 97.
72
penduduk dar as-salam di dar al-harb meniadakan kewajiban bagi penguasa untuk memberi hukuman terhadapnya. Begitu juga sekembalinya ia ke dar as-
salam, kejahatan yang ia lakukan di dar al-harb tidak mengharuskan ia mendapat hukuman di karenakan ketika ia melakukan kejahatan tersebut ketentuan pidana Islam (nas) tidak menjangkau apa yang ia lakukan. Berkaitan dengan penerapan teori Abu Hanifah terhadap seorang muslim yang menjadi penduduk dar al-harb, hijrahnya seorang harbiy yang telah masuk Islam dari dar al-harb ke dar as-salam dijadikan syarat kewarganegaraan dar as-salam menurut Abu Hanifah. Selama ia belum pindah ke dar as-salam maka hukum pidana Islam belum berlaku bagi pelanggaranpelanggaran yang ia lakukan di dar al-harb.13 Hukum pidana yang mengikat baginya adalah hukum pidana yang berlaku di negara tersebut. Negara Islam, meskipun bukan negara nasionalis,14 namun tetap membatasi kewarganegaraan hanya bagi mereka yang menetap di wilayah dar
as-salam dan orang-orang yang telah ber hijrah ke dalamnya. Firman Allah dalam al-Qur’an:
# َ ِ(> وَا0ِ 1> اِ $ِ? َ !ِ" ْ5.ِ ِ 7ُ Bْ ْ َوَأ5.ِ ِ َْاCَِ ُوا َوَ َه;ُوا َ َ َُا َوهEَ # َ ِ(>ن ا > ِإ َ ُوا ِ َ. ُ ْ5َ َُا َوEَ # َ ِ(> وَاG ٍ 'ْ َ َ ُء$ِْْ َأو5.ُ H ُ 'ْ َ I َ Jِ َ ُوا أُوK َ Bَ َووْا َوEَ # ِ M;ْ "ِ! ا5 ُو ُآK َ ْ َ ْ نا ِ ُوا َوِإ ِ َ. ُ N>+ َ !ْ ٍءL َ ْ#ِ ْ5.ِ ِ َ َْ َو#ِ ْ5*ُ َ 13
Mengenai kewarganegaraan dalam Islam lihat misalnya Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqie, Hukum antar Golongan, (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash Shhidieqy, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001,hlm. 43-45. 14 Syaukat Hussain menyebutnya sebagai negara ideologis. Masyarakat dalam negara ini diklasifikasikan pada dua kelompok yaitu muslim (yang percaya pada ideologi negara) dan warga non-muslim (yang tidak percaya pada ideologi negara), Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 75.
73
ٌ $ِKَ ن َ ُ1َ 'ْ 4َ َِ 0ُ 1>َقٌ وَا$ِ ْ5.ُ َ $ْ َ َْ و5*ُ َ $ْ َ ْ ٍمQَ Nَ1 َ > ُ ِإK ْ > ا5ُ *ُ $ْ 1َ'َ "َ U٧٢R Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orangorang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindungmelindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Anfall: 72).15
Pada ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai kepala negara Islam, dibebaskan dari segala macam tanggung jawab terhadap orangorang muslim yang bukan warga negara dari negara Islam.16 Ketentuan mengenai boleh nya setiap dar as-salam untuk menerapkan hukum Islam terhadap seorang penduduk dar as-salam di dar as-salam yang lain, berlaku selama pelanggaran yang dilakukan belum diadili oleh salah satu
dar as-salam yang menjadi asal pelaku, dar as-salam yang menjadi tempat dilakukannya perbuatan maupun dar as-salam yang menjadi tempat pelarian bagi pelaku. Begitu juga bila pelanggaran yang dilakukan telah dijatuhi bukan berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, pelanggaran tersebut harus kembali diadili dengan ketentuan syariat Islam di dar as-salam yang bermaksud untuk mengadili.
15
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 273. Syaukat Hussain Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N Jakarta: Gema Insani Press, 1996., hlm. 21. 16
74
Mengenai para musta’min, Abu Hanifah berpendapat bahwa ketentuan pidana Islam tidak berlaku kecuali terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan hak-hak individu selain hudud dan qisas. Oleh karenanya, seorang
musta’min yang melakukan suatu kejahatan yang berkaitan dengan hak-hak jama’ah atau hak Allah di dar as-salam tidak dapat dikenai hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam. Hal ini dikarenakan keberadaan seorang musta’min di dar as-salam adalah dalam rangka bermu’amalah seperti berdagang atau lainnya. Pendapat seperti inilah yang digunakan Imam Abu Hanifah menggunakan salah satu metode istinbat hukum sesuai dengan ayat al-Qur’an surat Al-Anfaall ayat 72. Dalam hukum pidana positif, penerapan hukum pidana suatu negara terhadap kejahatan yang terjadi di dalam batas-batas wilayah negara didasarkan atas asas teritorial. Tidak ada ketentuan tentang kejahatan seperti apa yang tunduk pada asas teritorial suatu negara. Dalam KUHP Indonesia hanya disebut ketentuan umum bahwa undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia.17 Penerapan hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini berlaku umum, dalam artian bahwa setiap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial Indonesia tunduk pada perundang-undangan pidana nasional. Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan suatu kejahatan di wilayah yuridiksi Indonesia tanpa memandang kewarganegaraan pelaku.
17
Pasal 2 KUHP.
75
Asas teritorial dilandasi oleh bermacam prinsip yang di antaranya adalah bahwa kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara harus diatasi oleh negara dimana kejahatan itu terjadi. Pertimbangan lainnya adalah bahwa negara yang menjadi tempat terjadinya kejahatan adalah negara yang di anggap memiliki kepentingan paling kuat, memiliki fasilitas paling baik serta memiliki perangkat paling kuat untuk menerapkan hukum pidana nya terhadap kejahatan yang dilakukan baik oleh warga negaranya maupun oleh orangorang asing yang berada di wilayahnya.18 Selain memiliki hak serta kekuasaan terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial, suatu negara dalam pandangan hukum Internasional juga memiliki hak-hak istimewa bagi duta-duta diplomatik nya di negara lain.19 Hak istimewa ini dapat dinikmati berupa hak immunitas atau kekebalan hukum terhadap yuridiksi sebuah negara. Hal ini mengakibatkan adanya pengecualian bagi mereka yang memiliki hak tersebut dalam penerapan hukum pidana suatu negara. Dengan kata lain, mereka yang mendapat hak immunitas, meskipun mereka melakukan suatu kejahatan di wilayah teritorial Indonesia, hukum pidana Indonesia tidak dapat di terapkan terhadap mereka.20
18
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 277. 19 Hak-hak lainnya yang melekat bagi sebuah negara merdeka di antaranya adalah kekuasaan eksklusif untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan dalam negeri, kekuasaan untuk memberi izin masuk dan mengusir orang-orang asing dan juga sebuah negara dianggap memiliki yuridiksi tunggal terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi/dilakukan di wilayah teritorial negara tersebut. Lihat Ibid., hlm. 133. 20 Pengecualian bagi berlakunya hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini tercantum dalam Pasal 9 KUHP.
76
Dengan adanya pengecualian ini maka dapat disimpulkan bahwa meskipun setiap negara berdaulat memiliki hak untuk memberlakukan hukum pidana nasional nya terhadap pelaku kejahatan di wilayahnya, dengan adanya pengecualian bagi mereka yang mendapat hak immunitas, penerapan hukum pidana berdasarkan asas teritorial tidak berlaku secara mutlak. Dalam penerapannya, asas ini dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut hukum internasional. Wilayah yang termasuk teritorial, selain wilayah tanah adalah wilayah perairan dan udara. Ini merupakan perluasan bagi berlakunya hukum pidana dari segi tempat. Dengan adanya perluasan ini maka, kejahatan yang terjadi di dalam kendaraan air dan juga pesawat Indonesia tunduk pada perundangundangan pidana Indonesia.21 Dalam penerapannya, tidak semua kapal atau perahu dianggap sebagai perpanjangan dari wilayah teritorial. Hanya kapal yang berada di lautan terbuka yang di dalamnya dapat ditegakkan kedaulatan teritorial. Berdasarkan hal ini, setiap kejahatan yang dilakukan di atas kapal berbendera Indonesia, tunduk pada ketentuan hukum pidana Indonesia. Berdasarkan hal ini setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang penduduk dar as-salam di Indonesia atau di negara yang menerapkan hukum pidana positif serta mengakui adanya asas teritorial baik dilakukan di wilayah tanah, perairan maupun udara dan juga dalam perahu dan pesawat udara Indonesia maka terhadap kejahatan tersebut dapat diberlakukan hukum pidana yang berlaku di Indonesia atau negara yang menerapkan hukum pidana positif. 21
Pasal 3 KUHP sebagai perluasan bagi berlakunya perundang-undangan hukum pidana Indonesia sebagai mana tercantum dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1976.
77
Adapun ketentuan hukum pidana Islam dalam hal ini tidak dapat diberlakukan dikarenakan keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar as-salam. Berdasarkan hal ini pula negara tempat dilakukannya perbuatan dar al-harb dapat memberlakukan hukum yang berlaku berdasarkan asas teritorial. Hal ini apabila perbuatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam tersebut dianggap sebagai kejahatan dalam hukum pidana positif. Persamaan antara teori Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum pidana positif adalah pada adanya penekanan terhadap tempat sebagai dasar bagi pemberlakuan ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan. Dalam pendapat Abu Hanifah, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya ketentuan jarimah terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik pelakunya seorang muslim maupun zimmiy. Ini merupakan suatu keharusan bagi tiap negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayahnya. Selama kejahatan tersebut terjadi di dalam batas-batas wilayah negara, maka hukum pidana yang berlaku dapat menjangkau serta berlaku terhadap pelaku. Oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku bagi kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di
dar as-salam. Sedangkan perbedaan Teori Imam Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum positif perbedaan mengenai warga negara di luar negeri, dimana menurut hukum positif dikenakan hukuman, sedangkan menurut Abu Hanifah tidak dikenakan hukuman. Selain itu, tidak diberlakukannya hukum pidana bagi kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb, melainkan diberikannya
78
wewenang kepada penguasa dar al-harb untuk melaksanakan hukuman kepada pelaku berdasarkan asas teritorial yang berlaku merupakan ketentuan yang timbul akibat dari disyaratkan kedaulatan (kekuasaan) terhadap tempat dalam penerapan hukum pidana. Mengenai para kepala negara dan para konsul yang berada atau sedang berkunjung di dar as-salam, seperti halnya seorang musta’min yang bebas dari ketentuan pidana terkecuali terhadap pelanggaran yang menyangkut hak individu. Pendapatnya ini seperti di berlakukannya hak immunitas bagi para kepala negara asing dan para konsul dalam teori hukum pidana positif, hanya saja dalam hukum positif ketentuan mengenai tidak berlakunya hukum pidana nasional terhadap mereka berlaku secara mutlak, dalam artian bahwa hukum pidana nasioanal tidak berlaku bagi mereka dalam keadaan bagaimanapun. Adapun hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku di negara mereka. Hak penuntutan serta pengadilan diserahkan kepada negara tersebut. Mengenai para konsul negara asing di dar as-salam, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku bagi seorang musta’min. dengan demikian, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang menyangkut hak individu. Ini merupakan perbedaan antara pendapat Abu Hanifah dengan hukum pidana positif mengenai para konsul negara asing. Berdasarkan
teori
Abu
Hanifah,
suatu
negara
Islam
dapat
memberlakukan hukum pidana Islam dalam kapal maupun perahu milik berbendera negara tersebut. Seperti halnya markas-markas tentara muslim di
79
medan perang yang dianggap sebagai wilayah kedaulatan dar as-salam, begitu juga terhadap kapal (perahu) milik suatu dar as-salam.. Berdasarkan pendapat Abu Hanifah yang menekankan adanya kekuasaan terhadap tempat maka kapal tersebut dapat dianggap sebagai perluasan bagi wilayah dar as-salam dan oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku terhadap kejahatan yang terjadi di dalamnya baik pelakunya sebagai warga dar as-salam maupun warga dari negara yang menerapkan hukum pidana positif seperti halnya Indonesia. Asas-asas berlakunya ketentuan pidana dari segi tempat dalam penerapannya didasarkan pada kewenangan negara terhadap tempat serta adanya kewenangan terhadap pelaku (kewarganegaraan). Dalam hukum pidana positif, penerapan asas teritorial mencakup seluruh kejahatan yang dilakukan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah negara. Ketentuan ini berlaku bagi warga negara maupun warga negara asing yang melakukan kejahatan di wilayah negara tersebut. Dalam penerapannya, keberadaan seseorang di wilayah negara telah dianggap cukup untuk memberlakukan hukum pidana nasional tanpa harus berdomisili di negara tersebut. Dalam hukum pidana Islam, teori Abu Hanifah yang menekankan adanya kewenangan terhadap tempat dalam penerapan hukum, dapat diterapkan terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di batas-batas wilayah dar as-salam oleh penduduk dar as-salam, yaitu muslim dari dar as-salam manapun ia berasal maupun sebagai penduduk dar al-harb yang belum menetap (berhijrah) di dar as-salam dan zimmiy (orang-orang yang menetap) tidak pada para pendatang
atau
musta’min
kecuali
pada
kejahatan-kejahatan
yang
80
berhubungan dengan kemaslahatan jama’ah. Dalam asas teritorial hukum pidana positif dan teori Abu Hanifah terdapat pengecualian dalam penerapan hukum meskipun mereka melakukan kejahatan di wilayah teritorial. Adapun asas kewarganegaraan dalam hukum positif penerapannya terhadap warga negara yang melakukan kejahatan di luar wilayah teritoir (luar negeri) dengan kejahatan-kejahatan tertentu. Adapun teori Abu Yusuf penerapannya tidak jauh berbeda dengan penerapan teori Abu Hanifah hanya saja jangkauannya lebih luas, yaitu tidak terbatas pada mereka yang menetap di dar as-salam. Dengan ketentuan seperti ini, terhadap seorang muslim yang bukan berasal dari dar as-salam berdasarkan ke-Islamannya yang berada di dar as-salam dapat dikenai ketentuan pidana Islam jika ia melakukan suatu kejahatan. Ketentuan ini berlaku juga bagi mereka para pendatang di dar as-salam tanpa terkecuali. Adapun asas universal dalam penerapannya oleh negara-negara mencakup seluruh kejahatan yang telah disepakati berdasarkan konvensi Internasional. Berdasarkan hal ini tiap negara yang di dalamnya terdapat pelaku kejahatan
yang menyangkut kepentingan
Internasional dapat
memberlakukan hukum pidana nasionalnya terhadap pelaku tanpa melihat aspek kewarganegaraan. Berdasarkan ketentuan berlakunya hukum pidana Islam terhadap setiap jarimah yang dilakukan di dar as-salam. Titik temu antara asas-asas hukum pidana positif dengan teori para Imam Madzhad mengenai ketentuan berlakunya hukum pidana dilihat dari segi tempat adalah pada aspek tempat dilakukannya kejahatan. Berdasarkan hal ini setiap kejahatan (pelanggaran) yang terjadi di wilayah teritorial dar as-
81
salam maupun negara yang menerapkan hukum pidana positif tunduk terhadap hukum yang berlaku di negara tersebut. Adapun kewarganegaraan pelaku dalam hal ini tidak dapat dipermasalahkan. Hal ini berkaitan dengan sistem hukum yang berbeda antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Suatu perbuatan yang dianggap sebagai suatu kejahatan dalam hukum pidana positif tidak selalu dianggap kejahatan dalam hukum pidana Islam. Oleh karenanya penerapan hukum terhadap kejahatan yang melibatkan dua negara
dar as-salam dan negara yang menerapkan hukum pidana positif hanya dapat dilihat dari satu sistem hukum pidana, yaitu hukum negara yang memandang perbuatan tersebut sebagai kejahatan dan di mana perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku. Adapun kejahatan yang diakui oleh kedua sistem hukum tersebut maka lembaga ekstradisi atau penyerahan pelaku kejahatan dapat ditempuh untuk menyerahkan pelaku kejahatan kepada negara yang mempunyai wewenang terhadap pelaku. Dengan demikian hukum yang berlaku di dar as-salam dan negara yang menerapkan hukum pidana positif yang berbeda dalam sistem pemerintahan akan senantiasa berjalan dan pelaku kejahatan tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan.
82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan mengenai asas-asas berlakunya ketentuan hukum pidana dari segi tempat (locus delicti) maka pada bab ini penulis dapat menuangkan hasil penelitian ini dalam beberapa point kesimpulan: 1. Berlakunya ketentuan pidana dari segi tempat dalam penerapannya didasarkan pada kewenangan negara terhadap tempat serta adanya kewenangan terhadap pelaku (kewarganegaraan). Dalam hukum pidana positif, penerapan asas teritorial mencakup seluruh kejahatan yang dilakukan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah negara. Ketentuan ini berlaku bagi warga negara maupun warga negara asing
yang
melakukan
kejahatan
di
wilayah
negara
tersebut.
Dalam
penerapannya, keberadaan seseorang di wilayah negara telah dianggap cukup untuk memberlakukan hukum pidana nasional tanpa harus berdomisili di negara tersebut. Dalam hukum pidana Islam, teori Abu Hanifah yang menekankan adanya kewenangan terhadap tempat dalam penerapan hukum, dapat diterapkan terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di batas-batas wilayah dar as-salam oleh penduduk dar as-salam, yaitu muslim dari dar as-salam manapun ia berasal maupun sebagai penduduk dar al-harb yang belum menetap (berhijrah) di dar as-
salam dan zimmiy (orang-orang yang menetap) tidak pada para pendatang atau musta’min kecuali pada kejahatan-kejahatan yang berhubungan dengan
83 kemaslahatan jama’ah. Dalam asas teritorial hukum pidana positif dan teori Abu Hanifah terdapat pengecualian dalam penerapan hukum meskipun mereka melakukan kejahatan di wilayah teritorial. 2. Persamaan antara teori Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum pidana positif adalah pada adanya penekanan terhadap tempat sebagai dasar bagi pemberlakuan ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan. Dalam pendapat Abu Hanifah, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya ketentuan jarimah terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik pelakunya seorang muslim maupun zimmiy. Ini merupakan suatu keharusan bagi tiap negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayahnya. Selama kejahatan tersebut terjadi di dalam batas-batas wilayah negara, maka hukum pidana yang berlaku dapat menjangkau serta berlaku terhadap pelaku. Oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku bagi kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar as-salam. Sedangkan perbedaan Teori Imam Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum positif perbedaan mengenai warga negara di luar negeri, dimana menurut hukum positif dikenakan hukuman, sedangkan menurut Abu Hanifah tidak dikenakan hukuman. 3. Teori Abu Hanifah tentang lingkungan berlakunya syariat Islam terutama mengenai orang-orang musta’min mempunyai pengaruh yang buruk bagi negerinegeri Islam, karena pendapat tersebut dijadikan dasar untuk pemberian hak istimewa kepada orang-orang asing (musta’min). Akibat tersebut masih terasa sampai sekarang. Pemberian hak istimewa tersebut cukup mendorong mereka untuk memasuki negara-negara Islam dengan mendapat jaminan keselamatan.
84 Setelah kaum muslimin lemah banyak hak-hak mereka yang dilanggar. Keadaan seperti ini menyiapkan jalan kemenangan bagi orang-orang asing. Selain itu, tidak dituntutnya orang-orang muslim yang berbuat pidana di dar al-harb, akan mempersubur jarimah, terutama jarimah yang bertalian dengan akhlak, bahkan juga jarimah yang ditujukan kepada keamanan, kedudukan serta kewibawaan dar
as-salam.
B. Saran Dalam masalah penerapan hukum pidana, dalam hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif sangat berkaitan dengan adanya kewenangan terhadap tempat, oleh karenanya antara dār as-salām maupun negara yang menerapkan hukum pidana positif diperlukan adanya perjanjian untuk saling menyerahkan para pelaku kejahatan karena dengan cara seperti inilah para pelaku kejahatan tidak dapat melarikan diri dari hukum yang berlaku terhadap dirinya. Dalam masalah yang berkaitan dengan asas-asas yang menjadi landasan diberlakukannya hukum pidana dari segi tempat, kiranya diperlukan adanya kajian lebih lanjut dalam masalah ini. Hal ini dikarenakan kejahatan akan terus berkembang sebagaimana berkembangnya teknologi yang pada akhirnya akan melahirkan kejahatan-kejahatan baru yang tidak mengenal batas-batas wilayah geografis suatu negara.
85 C. Penutup Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan skripsi, dengan disertai do’a semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Penulis menyadari, meskipun penulisan skripsi ini sudah diusahakan sepenuhnya bahwa skripsi ini kurang dari sempurna, maka dari itu segala kritik, koreksi dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berdo’a semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
86
A. Pembagian Negara dalam Islam Berbeda dengan syari’at Nabi-nabi sebelumnya yang bersifat lokal dan temporal, syari’at Islam yang di bawah oleh Nabi Muhammad SAW bersifat internasional dan kekal hingga akhir zaman.1 Dengan kata lain syari’at islam bersifat universal melintasi batas-batas ruang dan waktu. Syari’at Islam adalah syari’at Internasional, bukan untuk golongan atau bangsa saja bukan pula untuk suatu benua tertentu.2 Oleh karena itu syari’at Islam ditunjukkan kepada orang-orang muslim maupun bukan muslim, kepada penduduk Islam atau non Islam. Akan tetapi karena tidak semua orang percaya kepada syari’at Islam, tidak mungkin dipaksakan. Sedangkan syari’at Islam hanya dapat diterapkan di negeri-ngeri yang berada di tangan kaum muslimin. Dengan demikian berlakunya syari’at Islam berhubungan erat dengan kekuasaan dan kekuatan kaum kaum muslimin. Dalam artian bahwa semakin luas daerah yang dikuasai, semakin luas pula daerah berlakunya syari’at itu, dan sebaliknya. Dari aspek ilmiah syari’at Islam tetap bersifat universal, dan bersifat nasional jika di lihat dari aspek pemberlakuannya.3 Pada dataran ideal, syariat Islam
1
http://generasimujahid.multiply.com/journal/item/4/makalahQ/ 21/11/09/21.30 WIB. A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 106. 3 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash- Shiddieqy (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 3. 2
87 dengan sifatnya yang universal dapat meliputi seluruh alam tanpa batas, tidak terbatas pada daerah tertentu seperti ruang lingkup ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Firman Allah SWT:
١٠٧
َ ََِ ْ ِ ً َ ْ ك ِإ َر َ َْ َ َْوَ َأر
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS. Al- anbiya’: 107).4 Akan tetapi pada kenyataannya syariat Islam hanya berlaku pada bangsabangsa atau negara yang di dalamnya tegak kekuasaan Islam. Dengan demikian berlakunya hukum Islam sangat terkait dengan kekuasaan yang ada dan berkembang di suatu negara. Berdasarkan kenyataan ini, jumhur Ulama membagi negara yang merupakan alat kekuasaan dalam menerapkan hukum islam kepada dua bagian, yaitu dar-Islam dan dar-Harb. Berkaitan dengan penerapan hukum, para fuqoha membagi negara menjadi dua, dar as-salam dan dar al-harb. 1. Dar as as--salam
Dar as-salam merupakan suatu negeri yang seluruh penduduknya muslim dan mereka dapat menegakkan hukum Islam di dalamnya, juga masuk kategori ini tiap tempat atau wilayah yang seluruh atau sebagian besar penduduknya adalah muslim. Begitu juga negara yang diperintah atau berada di bawah kekuasaan orang muslim sekalipun mayoritas penduduknya adalah non-muslim
4
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, Semarang : Toha Putra, 2006, hlm. 508.
88 sepanjang orang-orang muslim di dalamnya dapat menegakan hukum Islam serta tidak ada tentangan dari penduduk non-muslim.5 Sehubungan dengan permasalahan di atas, penduduk dalam dar as-salam dapat dibedakan menjadi tiga golongan. a. Muslim, yaitu semua orang Islam yang tinggal dalam dar as-salam, baik sebagai warga tetap maupun sebagai orang asing yang datang ke negara tersebut. Terhadap mereka berlaku seluruh aturan hukum yang telah di tetapkan oleh Syari’ karena ke-Islamannya. b. śimmiy, yaitu penduduk selain muslim yang terhadap mereka dapat diberlakukan hukum Islam. Mereka adalah penduduk yang menetap dalam dar
as-salam. Tidak menjadi soal apakah mereka beragama Nasrani maupun Yahudi. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka sah tinggal dalam dar as-
salam meskipun beragama Majusi bahkan tidak beragama sekalipun, kecuali orang-orang musyrik dan orang-orang yang murtad. Mereka disebut ahl az-zimmah dikarenakan adanya akad yang terjadi antara mereka dengan penguasa muslim. Adapun dasar dibolehkan nya akad
zimmah terdapat dalam firman Allah:
ُ ْ ِ!ْ " َأ#ُ ِ ( َ َ' َآَ َم ا ْ )َ *+ َ ,ُ ْ-. ِ /َ 0َ ك َ َ َر1+َ ْ ا َ ِآ-ِ 2 ْ ُ ْ ا َ ِ ٌ4 َ َوِإنْ َأ ٦
ن َ 5َُ ْ )َ َ ٌْم56َ ْ"7ُ 8/َ !ِ 9 َ ِْ َ َ ُ َذ/َ
Artinya: Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat Khadijah Abu Utlah, al-Islam wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi as-Silmi wa al-Harb (Mesir, Dar alMa‘arif: 1119), hlm. 123. 5
89 mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. At-Taubah: 6)6 Dengan akad tersebut mereka dapat hidup dalam perlindungan orangoramg muslim dengan disertai membayar jizyah. Dasar kewajiban membayar
jizyah tertera dalam firman Allah SWT:
ُ َم ا- َ َ ن َ 5ُ-< = َ )ُ َ َو-ِ > ِ ?َ ْ ْ ِم ا5َ ْ ِ! َن !ِ ِ َو َ 5ُِ ْ@)ُ َ َ )ِAا ا5ُBِ َ6 ا5ُC ْ )ُ *+ َ ب َ َ+Eِ ْ ا ا5ُB أُو َ )ِA ا َ ِ F <= َ ْ ا َ )ِن د َ 5ُ)ِ4)َ َُ ُ َو5َُو َر ٢٩
ن َ ُو-H ِ َI ْ" َو ُه4ٍ )َ ْL َ َ )َ ْM1 ِ ْ ا
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orangorang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. At-Taubah: 29)7 Hukum yang berlaku bagi seorang zimmiy sama seperti hukum yang berlaku bagi seorang muslim, kecuali pada hal-hal yang ditentukan lain terhadap mereka. Mereka tidak diperintah untuk beribadah sebagaimana seorang muslim. Lebih sempit lagi, mereka hanya diwajibkan untuk
6 7
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 278. Ibid., hlm. 282.
90 melakukan hal-hal yang menjadi hak Allah atau hak jama’ah, tidak pada hak yang menjadi milik individu.8 Dengan akad zimmah-nya, seorang non-muslim yang ingin menetap dalam dar as-salam mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana seorang muslim. Hak-hak mereka di antaranya adalah: 1. Hak perlindungan. Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap segala macam pelanggaran (serangan) yang berasal dari luar negeri maupun terhadap segala macam kedzaliman yang berasal dari dalam negeri sehingga mereka benar-benar dapat menikmati rasa aman dan tenteram di
dar as-salam. 2. Hak perlindungan dari kedzaliman orang Islam. 3. Hak kebebasan dalam berakidah serta bersyariat menurut agama mereka. 4. Hak berperkara di pengadilan dalam masalah perkawinan, talaq dan sebagainya. 5. Dalam persaksian, tidak diterima kesaksian seorang kafir atas seorang muslim. Sedangkan dalam masalah warits, Islam telah menjadikan perbedaan agama sebagai salah satu hal yang dapat menghalangsi seseorang untuk mendapat warisan. 6. Bagi seorang zimmiy boleh menempati tempat yang ia kehendaki di wilayah dar as-salam. 7. Mereka juga diperbolehkan berperilaku (melakukan suatu hal) dengan sesama mereka meskipun hal tersebut dilarang dalam Islam. Abi al-Fadl Jalal ad-Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuti Asybah wa an-Nazair fi Qawa’id wa alFuru’ Fiqh asy-Syafi‘iy (Beirut: Muassasah al-Kutub as-Saqofiy, t.th.), hlm. 322-323. 8
91 8. Mereka juga berhak mendapat perlakuan yang baik dari penduduk muslim dalam pergaulan.9 Adapun kewajiban mereka dalam bernegara, sama seperti kewajiban seorang muslim. Selain kewajiban untk membayar jizyah, mereka juga dituntut untuk merasa ikhlas, tidak memata-matai serta tidak membongkar rahasia dar as-salam kepada pihak musuh. c. Musta’min, yaitu seorang harbiy yang masuk ke dalam dar as-salam dengan izin atau atas dasar perlindungan yang khusus atau perjanjian yang menjadi perlindungan bagi jiwa, raga serta harta selama berada di dar as-salam. Perlindungan yang diterima oleh seorang musta’min bersifat temporal (muaqqat) atau dibatasi oleh waktu. Berbeda dengan seorang zimmiy yang dapat menetap dalam dar as-salam selama-lamanya, bila telah berakhir masa yang telah ditentukan maka seorang musta’min harus kembali ke negara asalnya. Diberlakukannya
syariat
Islam
terhadap
seorang
musta’min
dikarenakan permohonan perlindungan yang dimintanya dan hukumnya seperti seorang zimmiy. Tidak ada perbedaan antara seorang zimmiy dengan seorang musta’min kecuali pada lamanya mereka berdua dapat tinggal dalam wilayah kekuasaan dar as-salam. Seorang musta’min, selama ia berada di dar as-salam terikat oleh hukum Islam dalam masalah pengelolaan harta. Dengan demikian ia boleh
Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai hak-hak ahl az-zimmah lihat Yusuf Qardhawi, Minoritas Nonmuslim di dalam Masyarakat Islam, alih bahasa Muhammad Al-Baqir (Bandung: Penerbit Karisma, 1994), hlm. 21-69. 9
92 melakukan akad jual beli dengan berdasarkan hukum yang telah ditetapkan oleh Islam mengenai jual beli. Keterikatan seorang musta’min dengan hukum mu’amalah Islam telah menjadikan riba tidak boleh dilakukan. Hal ini disebabkan
Islam telah mengharamkan riba meskipun bagi seorang
musta’min, riba merupakan hal yang diperbolehkan.10 Mengenai hubungan seorang musta’min dengan ‘uqubah, ia berhak mendapatkan hukuman bila melakukan pelanggaran terhadap hak hamba. Bila ia melakukan pembunuhan terhadap seorang muslim maka ia dihukum dengan hukuman yang sama seperti hukuman bagi seorang muslim. Begitu juga bila ia melakukan pelanggaran terhadap hak seorang zimmiy atau sesama musta’min seperti dirinya.11 As-Sayyid Sabiq berpendapat bahwa pelanggaran yang ia lakukan dan merupakan pelanggaran terhadap hak Allah seperti berbuat zina, berhak mendapat hukuman seperti halnya seorang muslim yang berbuat zina. Hal ini dikarenakan zina merupakan tindak pidana yang dapat merusak masyarakat muslim.12 2. Dar al al--harb
Dar al-harb mencakup seluruh negara selain dar as-alam yang di dalamnya tidak ada kemungkinan untuk menegakan syariat Islam. Batasan ini juga berlaku bagi tiap negara yang di antara penduduknya beragama Islam atau bahkan
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jld. III (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 97-98. Muhammad Rifat ‘Usman, al-Huquq wa al-Wajibat wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam (Kairo: al-Matba’ah al-Sa’adah, 1973), hlm. 94-95. 12 As-Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 98. 10 11
93 mayoritas penduduknya adalah muslim, selama mereka tidak mampu untuk menegakan syariat Islam sebagai landasan hukum yang berlaku di negara tersebut. Para ulama tidak bersilang pendapat mengenai dar al-harb yang menjadi dar
as-salam dengan berlakunya hukum Islam di negara tersebut. Perbedaan pendapat terjadi dalam masalah bagaimana dar as-salam menjadi dar al-harb. Para fuqoha berselisih mengenai batasan-batasan apa yang menjadikan wilayah kedaulatan dar
as-salam menjadi dar al-harb.13 Abu Hanifah memberi batasan bahwa suatu negara (dar as-salam) di sebut sebagai dar al-harb apabila hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum selain hukum Islam atau hukum yang bertentangan dengan hukum Islam.14 Dengan kata lain pergantian hukum yang berlaku dalam dar as-salam yang sebelum adanya pergantian hukum dikarenakan suatu sebab seperti perang adalah menerapkan hukum Islam, dapat merubah negara tersebut menjadi dar al-harb. Bahwa negara tersebut juga berbatasan dengan dar as-salam, dengan begitu padang pasir yang membatasi suatu wilayah dari dar as-salam bukan termasuk ke dalam dar al-harb selama orang-orang Islam yang berada di dar as-salam dapat menegakkan syariat Islam di wilayah padang pasir tersebut. Begitu juga lautan yang mengelilingi dar as-salam bukan termasuk daerah kekuasaan Islam selama di atas lautan tersebut terhalang untuk menegakan syariat Islam,15 dan hilangnya rasa aman dari penduduk muslim, zimmiy serta musta’min seperti sedia kala di ‘Alau ad-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’i as-Sana’i fi Tartib asy-Syara’i, juz VII (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 130. 14 Ibid. 15 Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islamiy (Dar al-Fikr al‘Arabiy, t.th.), hlm 370. 13
94 negara tesebut. Hal ini seperti peralihan kekuasaan akibat perang atau lain hal. Negara ini tidak termasuk pada dar al-harb selama penguasa baru tersebut tidak mengganggu keamanan seperti sedia kala. Begitu juga sebaliknya apabila penguasa tersebut memerangi penduduk muslim maka negara tersebut masuk dalam dar al-harb meskipun mereka memberi rasa aman baru bagi penduduk muslim. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah beserta sebagian Fuqoha mengenai
dar as-salam dan dar al-harb yang dapat disimpulkan bahwa suatu negara dapat disebut sebagai dar as-salam apabila hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum Islam atau keberadaan kaum muslimin dan seluruh penduduk yang ada dalam kekuasaan pemerintahan Islam dalam keadaan aman. Abu Yusuf melihat aspek hukum ketika membedakan antara dar as-salam dan dar al-harb. Apabila negara tersebut menegakan hukum Islam maka negara tersebut masuk dalam dar as-salam, apabila yang diberlakukan adalah hukum selain Islam, negara tersebut masuk dalam dar al-harb. Abu Yusuf berhujjah bahwa pada dasarnya penamaan negara beserta hukumnya diambil dari hakikat makna ke-Islaman dan ke-Kafiran.16 Akan tetapi yang menjadi maksud Abu Hanifah bukanlah ke-Islaman maupun ke-Kafiran ketika menyebut suatu negara sebagai dar as-salam atau dar al-harb. Ia menyebut suatu negara sebagai dar Islam atau dar al-harb dengan melihat ada atau tidaknya rasa aman bagi penduduk negeri tersebut. dengan adanya rasa aman maka hukum Islam dapat ditegakkan bagi penduduk di negara Islam tersebut.
16
Ibid., hlm. 371.
95 Bila rasa aman yang telah diberikan Islam hilang dari kehidupan kaum muslimin maupun zimmiy, maka negara tersebut telah menjadi dar al-harb. Begitu juga sebaliknya, jika rasa aman yang semula itu ada dan masih dapat dirasakan oleh penduduk muslim dan zimmiy, negara tersebut tetap menjadi dar
as-salam.17 Para ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa bila kaum muslimin menjadi kaum minoritas dalam suatu negara, hal ini tidak menjadikan negara tersebut menjadi dar al-harb. Oleh karena itu mereka membagi dar as-salam menjadi tiga macam. Pertama, dar as-salam yang di dalamnya tinggal umat Islam. Kedua, dar as-
salam yang terbuka - orang pertama yang menguasai - untuk orang luar (selain muslim) untuk tinggal di dalamnya. Orang luar yang tinggal di dalamnya mempunyai keharusan untuk membayar jizyah. Ketiga adalah dar as-salam yang di dalamnya tinggal orang-orang muslim akan tetapi kalah dalam hal jumlah oleh penduduk non-muslim.18 Penduduk dar al-harb dibagi menjadi dua golongan, yaitu harbiy dan muslim. Harbiy adalah seluruh penduduk dar al-harb yang tidak beragama Islam. Mereka tidak dilindungi oleh syara’, dalam artian mereka boleh diperangi selama tidak terikat oleh perjanjian dengan dar as-salam, sedangkan muslim adalah orang Islam yang tinggal dalam dar al-harb sebagai penduduk tetap serta belum pindah atau hijrah ke dar as-salam.
‘Alau ad-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, op.cit., hlm. 131. Muhammad Rifat ‘Usman, al-Huquq wa al-Wajibat wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam (Kairo: al-Matba’ah al-Sa’adah, 1973), hlm. 101-102. 17 18
96 Menurut Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad, bahwa seorang muslim yang tinggal (menjadi penduduk tetap maupun sementara) di dar al-harb mempunyai hak serta kewajiban yang sama seperti layaknya seorang muslim yang tinggal di
dar as-salam dan ia dilindungi jiwa, raga serta harta oleh syara’ karena keIslamannya.19 Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka (orang Islam yang tinggal di dar
al-harb) tidak mendapat jaminan terhadap jiwa dan harta hanya karena keIslaman mereka. ‘ismah (jaminan keselamatan) tidak diperoleh hanya karena keIslaman semata-mata, tetapi karena terjaminnya negara Islam dan kekuatannya yang diperoleh dari persatuan kaum muslimin. Orang-orang muslim yang berada di dar al-harb tidak memiliki kekuatan serta pertahanan seperti yang dimiliki oleh orang-orang muslim yang berada di dar as-salam oleh karenanya mereka tidak memiliki hak perlindungan.20 Seperti seorang harbiy yang tidak terlindungi jiwa dan raganya ketika memasuki dar as-salam tanpa izin dari penguasa negeri, begitu juga seorang muslim yang masuk dar al-harb tanpa izin atau permohonan perlindungan.
1. Abu Yusuf Abu Yusuf merupakan seorang pemuka dari madzhab Hanafi, ia berpendapat bahwa syariat Islam berlaku bagi tiap orang yang bermukim di dar
as-salam, baik sebagai seorang muslim maupun zimmiy. Tinggal dalam waktu
‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai’ al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-wad’iy, Juz I, Beirut: Muasasah ar-Risalah. 1994, hlm. 278. 20 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 109. 19
97 yang lama maupun untuk sementara waktu.21 Seorang muslim terikat oleh hukum Islam karena ke-Islamannya dan seorang zimmiy terikat dengan aturan hukum Islam karena akad zimmah yang memberinya hak perlindungan dari pihak penguasa Islam terhadap jiwa, raga dan hartanya. Adapun seorang musta’min, ia terikat oleh hukum Islam karena akad atau karena perizinan yang ia peroleh untuk memasuki dar as-salam untuk sementara waktu. Dengan permohonan untuk memasuki dar as-salam yang ia minta, seorang musta’min mempunyai kewajiban yang sama seperti seorang zimmiy. Oleh karenanya ia mendapat hukuman bila melakukan suatu pelanggaran yang ia lakukan sewaktu tinggal di dar as-salam. Semua pelanggaran yang dilakukan oleh seorang musta’min dapat dikenai hukuman. Ia akan terkena sanksi hukum bila melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak yang menjadi hak Allah yang berhubungan dengan hak serta kemaslahatan umum serta pelanggaran terhadap kemaslahatan individu. Perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dengan Abu Yusuf terletak pada permasalahan berlakunya syariat Islam bagi seorang musta’min dalam tiap keadaan. Menurut Abu Yusuf, seorang musta’min berhak di hukum atas tiap pelanggaran yang dilakukan sedangkan Abu Hanifah hanya membatasi pada kejahatan yang menyangkut hak-hak perorangan yang dianggap sebagai kejahatan yang dapat diberi hukuman. 22
21 22
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 14-15. Ibid.
98 Abu Hanifah dan Abu Yusuf sependapat mengenai tidak dapat diterapkannya syariat Islam terhadap kejahatan yang dilakukan di dar al-harb, meskipun perbuatan tersebut dilakukan oleh penduduk dar as-salam.23 Abu Yusuf berselisih dalam dua hal dengan Abu Hanifah, yaitu dalam masalah: a. Mengenai lepasnya ketentuan pidana bagi seorang muslim maupun zimmiy bila yang menjadi tempat terjadinya pelanggaran jarimah adalah dar al-harb. Berbeda dengan Abu Hanifah yang tidak mengharamkan, Abu Yusuf berpendapat bahwa seorang muslim maupun zimmiy tetap tidak boleh melakukan akad riba ketika berada di dar al-harb dengan seorang harbiy maupun seorang muslim yang tinggal di dar al-harb sebagai seorang
musta’min, meskipun akad riba diperbolehkan di dar al-harb. Riba merupakan hal yang dilarang secara pasti dalam Islam dan ketentuan ini berlaku bagi seorang muslim maupun zimmiy di manapun mereka berada.24 b. Mengenai tahanan muslim yang dibunuh oleh seorang Islam atau zimmiy di
dar al-harb. Menurut Abu Hanifah pembunuhan terhadap seorang muslim di dar al-harb yang dilakukan oleh seorang muslim maupun zimmiy tidak terlepas dari tiga keadaan. Pertama adalah bahwa orang tersebut berada di dar al-harb sebagai seorang musta’min. Kedua adalah bahwa ia telah berada di dar al-harb dikarenakan orang-orang kafir telah menjadikan ia sebagai tahanan. Yang terakhir, dia telah masuk Islam akan tetapi belum pindah ke dar as-salam. 23 24
Ibid. Ibid., hlm. 16
99 Tiap keadaan mengakibatkan hukum yang berbeda pula. Dalam keadaan pertama Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus tersebut tidak mengharuskan adanya qisas. Meskipun demikian, diyat yang diambil dari harta pembunuh tetap berlaku. 25 Terhadap keadaan yang kedua Abu Hanifah memandang tidak adanya
qisas maupun diyat bagi pelaku dalam kasus pembunuhan tersebut. Karena menurutnya seorang tahanan tidak memiliki hak perlindungan terhadap jiwa dan harta. Adapun keadaan ketiga, yaitu bahwa orang yang terbunuh telah masuk Islam akan tetapi belum pindah ke dar as-salam. Abu Hanifah berpendapat bahwa untuk kasus pembunuhan terhadap seorang muslim sebagai penduduk dar al-harb tetapi belum pindah ke dar as-salam, tidak ada hukuman bagi pelaku pembunuhan tersebut, qisas maupun diyat.26 Abu Yusuf berpendapat bahwa diyat tetap berlaku bagi pelaku pembunuhan tersebut meskipun untuk melaksanakan qisas tidak mungkin. Bagi Abu Yusuf, tertahan nya seseorang tidak menjadikan ia kehilangan hak ‘ismah.27 Ditetapkannya diyat sebagai hukuman bagi pelaku merupakan hukuman pengganti bagi hukuman qisas yang tidak mungkin untuk dilaksanakan di dar al-
harb. 2. Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal.
Muhammad Rifat Usman, al-Huquq wa al-Wajibat wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi al-Islam (Kairo: Matba’ah as-Sa’adah, 1973), hlm. 103-104. 26 Ibid., hlm. 104. 27 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, op.cit., hlm. 286. 25
100 Menurut pendapat ini, syariat Islam berlaku bagi tiap jarimah yang terjadi di wilayah kedaulatan Islam. Asy-Syafi’i, Malik dan Imam Ahmad tidak membedakan pelaku nya baik ia seorang muslim, zimmiy maupun musta’min.28 Alasan yang mereka kemukakan bahwa seorang muslim terikat oleh ketentuan hukum Islam karena ke-Islamannya. Bagi seorang zimmiy terikat oleh hukum Islam karena akad zimmah yang ia sepakat i dengan penguasa Islam sebagai imbangan terhadap jaminan terhadap keselamatan jiwa, raga dan harta yang ia peroleh.29 Adapun bagi seorang musta’min karena perjanjian damai (akad yang membolehkan ia tinggal di dar as-salam selama waktu tertentu) yang berisiskan jaminan keamanan terhadap jiwa, raga dan hartanya selama ia tinggal di dar as-
salam. Perjanjian ini mengharuskan ia mengikuti atau terikat dengan ketentanketentuan hukum Islam sebagaimana seorang zimmiy.30 Menurut
asy-Syafi’i,
bila
seorang
musta’min
melakukan
suatu
pelanggaran yang menjadi hak Allah di dar as-salam, maka ia boleh dimaafkan atau tidak diberi hukuman dan bila yang dilakukan adalah pelanggaran yang menyangkut masalah individu atah hak adamiy, maka ia berhak dihukum (ditegakkan hadd atas pelanggaran yang dilakukan).31 Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad juga berpendapat bahwa syariat Islam berlaku bagi pelanggaran pidana oleh seorang muslim maupun zimmiy di dar al-
harb. Lain halnya dengan seorang musta’min, ia tidak mendapat hukuman untuk 28
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 16. L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 25. 30 Ibid., hlm. 25-26 31 Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘i, al-Umm, juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 378. 29
101 kasus seperti ini, karena keterikatannya dengan hukum Islam hanya selama ia berada di dar as-salam.32 Penerapan hukum Islam bagi seorang muslim dan zimmiy di luar wilayah kedaulatan dar as-salam dikarenakan hukum Islam berada di pundak mereka di manapun mereka berada. Tidak ada perbedaan antara jarimah yang dilakukan di
dar as-salam maupun di dar al-harb, selama Islam melarang perbuatan tersebut, tidak ada tempat yang membolehkan seorang muslim maupun zimmiy untuk melakukan hal tersebut.33 Tidak ada perbedaan antara dar as-salam dan dar al-
harb dalam masalah yang telah ditetapkan oleh Allah dalam masalah hudud.34 Allah berfirman:
ُ ا ِ وَا َ ِ ًَE8َ َP( َ َا ًء ِ!َ َآMَ. َ7ُ )َ 4ِ )ْ ا َأ5ُ C َ 6ْ َ0 ُ 6َ ق وَا( ِر ُ وَا( ِر ٣٨
ٌ"ِE َ ٌM)ِML َ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah: 38)35 Dalam jarimah Zina Allah berfirman:
32
A. Hanafi, op.cit., hlm. 177. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 17. 34 Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘I, op.cit., hlm. 374. 35 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 165. 33
102
ٌ 0َ َْ َرأ7ِ !ِ ْ"ْ ُآA> ُ ْ/Bَ َ ٍة َو4َ ْ . َ َ Vَ ِ َ7ُ ْ ِ 4ٍ ِ وَاW ُوا ُآ4ِ. ْ َ0 Xِ8اM َ ُ وَا8ِ اMا
ٌ Yَ Zِ َ[ َ7ُ !َ َاAL َ ْ47َ 2 ْ َ ْ َو-ِ > ِ ?َْ ْ ِم ا5َ ْ ن !ِ ِ وَا َ 5ُِ ْ@Bُ ْ"+ُ ْ دِ)ِ ا ِ ِإنْ ُآXِ0 ٢
َ ِِ ْ@ُ ْ ا َ ِ
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orangorang yang beriman. (QS. An-Nur: 2)36 Hal ini berlaku juga untuk perbuatan yang menurut hukum yang berlaku di
dar al-harb dianggap bukan suatu pelanggaran, sedangkan dalam hukum Islam merupakan tindak pelanggaran hukum.37 Seorang zimmiy yang melakukan kejahatan yang di dalam agamanya diharamkan seperti membunuh, zina, mencuri dan juga qazaf, maka ia berhak untuk dihukum sebagaimana seorang muslim yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Berbeda halnya jika perbuatan tersebut tidak dilarang dalam agamanya seperti meminum khamr, maka hal tersebut boleh dilakukan.38 Hal ini berdasarkan hadits riwayat ibn Umar
36
Ibid., hlm.543. A. Hanafi, op.cit., hlm. 177. 38 Abu Muhammad Muwaffiq ad-Din ‘Abdullah ibn Quddamah al-Maqdisy, al-Kafi fi Fiqh alImam al-Mujabbal Ahmad bin Hanbal, juz IV (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1988), hlm. 360. 37
103
ّ)د57) 8ّM* ا0 ". وّ" رL ]ّ* اI ]ل ا5ن ر ّ أ-L ! اL "ّ وL ]ّ* اI ]ل ا5د إ* ر57_ اB/0 8أة ز- وإa.ر 39
7!
Dalam hadits lain disebutkan:
,د6/0 7 حc* أوL )ر. W+6 ّ)د57) ن ّ أL ] اXc رd8 أL ا40! "ّ وL ]ّ* اI ]ل ا5ر Bagi seorang zimmiy, bila melakukan suatu kejahatan setelah ia keluar dari dar as-salam dengan tidak ada maksud untuk kembali ke negara tersebut maka hukum Islam tidak berlaku terhadap pelanggaran yang ia lakukan. Kepindahan seorang zimmiy dari dar as-salam ke dar al-harb merubah status kependudukannya dari seorang zimmiy menjadi kafir harbiy. Bila ia kembali ke
dar as-salam maka statusnya kembali menjadi seorang musta’min.41 Markas-markas tentara Islam di medan perang di anggap sebagai wilayah kekuasaan Islam. Oleh karenanya tiap pelanggaran yang terjadi di tempat tersebut berhak untuk mendapat hukuman. Bagi asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad tidak menjadi persoalan tempat di mana suatu tindak pidana terjadi. Selama perbuatan itu di anggap suatu tindak kejahatan maka hukum Islam berlaku atas perbuatan tersebut.42
Abi Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairiy al-Naisaburiy, Al-Jami’ as-Sahih, juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 122. 40 Jalaluddin as-Suyuti, Syarh Sunan al-Nasa’i, Juz VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1930), hlm. 22. 41 L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 27. 42 A. Hanafi, op.cit., hlm. 118. 39
104
4.
Berlakunya Ketentuan Syariat terhadap Korps Diplomatik Asing Dalam penerapan ketentuan-ketentuan pidana, syariat tidak membedakan antara pribadi, jama’ah, ras, antara hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat. Tidak ada yang diistimewakan dalam pemberlakuan hukum. Ketentuan syariat berlaku bagi para pemimpin negara (dar as-salam) yang melakukan pelanggaran hukum. Begitu juga terhadap para pemimpin negara luar (ajnabiyyah) yang sedang berada di dar as-salam. Ketentuan ini berlaku bagi para anggota perwakilan asing yang bertugas di dar as-salam, pejabat negara dan sanak saudara serta orang-orang yang menyertai mereka. Mengenai para pemimpin dar al-harb yang berada di dar as-salam, Abu Hanifah berpendapat bahwa terhadap mereka tidak memungkinkan untuk menerapkan syariat jika yang dilakukan adalah jarimah yang menyangkut hak jama’ah. Hal ini dikarenakan mereka dianggap sebagai musta’min dan tidak ada hukuman bagi mereka kecuali terhadap jarimah yang menyangkut hak individu. Selain itu, seorang kepala negara dianggap sebagai pelaksana hukuman oleh karenanya, tidak memungkinkan untuk melaksanakan hukuman atas dirinya sendiri.43 Abu Yusuf seperti jumhur berpendapat bahwa terhadap mereka tetap dapat diberlakukan ketentuan syara’.44 Menurut pendapat ini mereka tetap dapat dijatuhi hukuman seperti halnya seorang musta’min yang melakukan suatu pelanggaran.45
43 44
L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 48. ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, op.cit., hlm. 323-324.
105 Mengadili kepala negara serta para anggota perwakilan negara asing yang melakukan suatu kejahatan tidak dianggap sebagai hal yang dapat menyudutkan posisi syariat, selama hal ini dilakukan secara adil.46
B. Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kewarganegaraan (Nasionalitas) Penerapan teori Imam Abu Yusuf mengenai ruang lingkup berlakunya ketentuan hukum pidana Islam, selain ketentuan-ketentuan di atas – pendapat Abu Hanifah47 – maka, terhadap orang-orang asing – musta’min - yang berada di dar as-
salam, harus dihukumi berdasarkan ketentuan pidana Islam jika mereka melakukan salah satu pelanggaran pidana di dar as-salam mana saja ia berada. Begitu juga bila ia telah dihukumi tidak berdasarkan ketentuan pidana Islam maka ia harus kembali diadili dengan ketentuan pidana Islam. Hal ini berdasarkan pendapatnya mengenai para musta’min yang berkunjung ke dar as-salam, yaitu bahwa bagi mereka berlaku ketentuan pidana Islam seperti halnya seorang zimmiy. Menurut pendapatnya bahwa bagi seorang musta’min berlaku ketentuan hukum Islam dalam segala kejahatan, bukan hanya dalam masalah kejahatan yang menyangkut hak individu. 45
L. Amin Widodo, op.cit., hlm. 48. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 58. 47 Sisi persamaan antara pendapat Abu Hanifah dengan Abu Yusuf adalah mengenai tidak berlakunya Hukum pidana Islam terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik pelakunya muslim, zimmiy maupun musta’min. 46
106 Perbedaan pendapat antara keduanya hanya berkisar pada penerapan hukum riba yang dilakukan oleh seorang muslim dan maupun dengan penduduk dar al-harb yang tidak berhijrah ke dar as-salam. Meskipun akad riba tidak diharamkan di dar al-
harb, akan tetapi bagi seorang muslim, akad tersebut merupakan akad yang diharamkan maka, perbuatan ini tidak boleh dilakukan meskipun di dar al-harb. Perbedaan yang kedua adalah mengeni seorang muslim atau zimmiy yang melakukan pembunuhan terhadap seorang muslim yang berada di dar al-harb – belum hijrah ke dar as-salam. Abu Hanifah berpendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan tersebut tidak dapat diterapkan ketentuan qisas dan juga diyat, sedangkan Abu Yusuf berpendapat bahwa terhadap pelaku tetap dapat diterapkan hukuman berupa diyat. Berdasarkan ketentuan ini maka terhadap kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar as-salam maka tunduk terhadap hukum pidana Islam. Hal ini disebabkan terhadap setiap kejahatan yang terjadi di wilayah dar as-salam berlaku hukum pidana Islam tanpa melihat kewarganegraan pelaku, baik ia sebagai warga dar as-salam maupun warga dar- al-harb. Dalam hal ini negara Indonesia memberikan wewenang kepada dar as-salam untuk mengadili serta menuntut pelaku meskipun ia merupakan warga Indonesia. Penerapan hukum pidana, dalam konteks kedaulatan negara yang berkaitan dengan
kewarganegaran pelaku, maka asas
nasionalitas (kewarganegaraan)
merupakan landasan hukum bagi suatu negara untuk menerapkan hukum pidana terhadap warganya terlepas di mana locus delicti itu berada. Berbeda dengan penerapan hukum pidana berdasarkan asas teritorial, penerapan hukum pidana berdasarkan asas kewarganegaraan dalam hukum pidana
107 positif, tergantung pada kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa hukum. Penerapan hukum pidana terhadap individu dapat dibenarkan bila orang tersebut berada dalam kekuasaan negara (sebagai warga negara).48 Berdasarkan ketentuan ini, kewarganegaraan pelakulah yang menjadi ukuran untuk dapat tidaknya hukum pidana suatu negara diberlakukan terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana di suatu negara selain wilayah teritorial negara kebangsaan. Kewarganegaraan merupakan satu-satunya hubungan antara individu dengan negara yang menjamin bahwa terhadapnya dapat diberikan hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Penerapan hukum pidana terhadap warga negara dalam praktek hukum internasional,
pada
dasarnya
diterapkan
berdasarkan
asas
kewarganegaran
(nasionalitas) aktif dan asas kewarganegaraan (nasional pasif). Berdasarkan asas kewarganegaran aktif, negara dapat menerapkan aturan perundang-undangan pidana terhadap warganegaranya. Dengan diakuinya asas ini sebagai salah satu pedoman dalam pelaksanaan/penerapan hukum pidana maka, setiap warganegara terikat oleh perturan pidana negaranya di manapun ia berada. Mengenai penerapannya, dalam KUHP Indonesia ditentukan mengenai berlakunya ketentuan pidana Indonesia terhadap warganegara Indonesia yang melakukan
kejahatan-kejahatan tertentu di luar wilayah Republik Indonesia.49
Kejahatan yang tunduk pada asas nasionalitas aktif adalah berupa pelanggaran terhadap negara,50 pelanggaran tehadap martabat Presiden dan Wakil Presiden,51
48
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional…., hlm. 302-303. Pasal 5 KUHP 50 Pasal 104-129 KUHP 51 Pasal 131-139 KUHP 49
108 penghasutan,52 menyebarluaskan tulisan dengan tujuan untuk menghasut,53 dengan sengaja membuat diri maupun orang lain menjadi tidak cakap untuk memenuhi kewajiban militer54 dan kejahatan perampokan (pembajakan) di laut.55 Kejahatan-kejahatan ini merupakan kejahatan yang tunduk terhadap ketentuan perundang-undangan pidana Indonesia meskipun pelaku – yang merupakan warga negara Indonesia - berada di luar wilayah kedaulatan Indonesia. Berdasarkan hal ini pula setiap kejahatan – tertentu – yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar
as-salam maka hukum pidana Indonesia dapat diberlakukan kepada pelaku dengan meminta kepada penguasa dar as-salam untuk menyerahkan pelaku kepada penguasa Indonesia untuk dihukumi berdasarkan ketentuan hukum pidana Indonesia. Untuk menghindari pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain – di mana pelaku berada – maka kejahatan-kejahatan tersebut juga harus dianggap sebagai kejahatan di negara yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan hingga dalam penyelesaian terhadap salah satu pelanggaran ini dapat ditempuh jalur ekstradisi.56 Hukum pidana merupakan sistem aturan yang mengatur semua tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh warga negara. Pelarangan tersebut dikarenakan perbuatanperbuatan tertentu dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia, kepentingan masyarakat umum dan kepentingan pemerintahan dan negara.57
52
Pasal 160 KUHP Pasal 161 KUHP 54 Pasal 240 KUHP 55 Pasal 450-451 KUHP 56 Salah satu kewajiban negara berdaulat adalah untuk tidak melakukan tindakan pelaksanaan kedaulatan di wilayah negara lain, salah satu cara untuk mengatasi pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial suatu negara adalah dengan melalui lembaga ekstradisi karena hal ini sebelumnya telah disepakati oleh kedua negara. 57 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 40. 53
109 Adapun asas kewarganegaraan pasif, prinsip ini membenarkan sebuah negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik ia warga Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia. Dasar yang merupakan pembenar asas nasional pasif adalah bahwa negara berhak melindungi warga negaranya yang berada di luar wilayah teritorial negara tersebut. Berdasarkan hal ini pula, jika negara teritorial yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan tidak melakukan atau tidak menerapkan hukum pidananya terhadap pelaku maka, negara yang merupakan negara kebangsaan korban, dianggap memiliki wewenang terhadap kejahatan tersebut untuk memberlakukan hukum pidananya.58 Adanya asas ini juga sebagai upaya untuk melindungi negara dari ancaman yang datang/dilakukan di luar wilayah negara tersebut oleh orang-orang asing.59 Dalam prakteknya, asas nasional pasif ini diberlakukan terhadap kejahatankejahatan yang dapat mengancam keamanan negara yang berupa penyerangan dengan maksud menghilangkan nyawa Presiden atau Wakil Presiden,60 makar atau perbuatan untuk merusak kedaulatan negara61 dan dengan maksud meruntuhkan pemerintahan negara,62 kejahatan mata uang,63 kejahatan pemalsuan surat-surat utang atau sertifikat utang yang ditanggung pemerintah Indonesia, pemalsuan talon, surat utang sero atau
58
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional…., hlm. 303. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1)-(3) dan Pasal 8 KUHP. 60 Pasal 104 KUHP 61 Pasal 106 KUHP 62 Pasal 107-108, Pasal 110 dan Pasal 111 KUHP 63 Pasal 4 ke-2. KUHP 59
110 menggunakan surat palsu,64 kejahatan pelayaran65, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana /prasarana penerbangan.66 Kejahatan-kejahatan yang tersebut di atas merupakan kejahatan yang dapat menimbulkan ancaman terhadap integritas bangsa selain kerugian dalam bidang ekonomi. Oleh karenanya asas ini di sebut juga sebagai asas perlindungan. Hal ini dapat diterima karena melihat besarnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan-kejahtan tersebut. Selain itu, apabila hukum pidana nasional tidak diterapkan terhadap pelaku, maka dia dapat meloloskan diri dari jeratan hukum dikarenakan di negara tempat kejahatan tersebut dilakukan, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan. Dengan demikian lembaga ekstradisi sebagai jembatan untuk menghadapkan para pelaku kejahatan lintas teritorial ke muka hukum tidak dapat dilaksanakan. Persamaan antara asas nasionalitas dalam hukum pidana positif dengan teori Abu Yusuf adalah bahwa setiap orang yang bermukim (berkebangsaan) di suatu negara maka ia harus tunduk pada ketentuan hukum negara tersebut. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya hak serta kewajiban bagi warga suatu negara terhadap negaranya. Kejahatan
yang
tunduk
terhadap
hukum
pidana
berdasarkan
asas
kewarganegaraan, penerapannya dalam hukum pidana positif hanya jika pelaku – tanpa melihat kewarganegaraan - melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang dapat mengancam warga maupun negara di luar wilayah teritoir Indonesia, sedangkan dalam teori Abu Yusuf, penerapannya terhadap setiap orang yang bermukim di dar 64
Pasal 4 ke-3. KUHP Pasal 438, 444 sampai Pasal 446 KUHP 66 Pasal 479 KUHP huruf j, l, m, n dan o. 65
111
as-salam dan melakukan kejahatan di wilayah tersebut. Adapun kejahatan yang dilakukan di luar dar as-salam, hukum pidana Islam tidak berlaku meskipun pelaku berkebangsaan dar as-salam., dalam artian bahwa hukum pidana Islam tidak dapat diterapkan terhadap pelaku karena keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar
as-salam. Dengan demikian setiap warga Indonesia yang melakukan suatu kejahatan tertentu di dar as-salam dapat dipidana berdasarkan ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia dengan memohon agar pelaku dikembalikan ke Indonesia. Adapun terhadap warga dar as-salam yang melakukan suatu kejahatan di Indonesia, menurut teori Abu Yusuf maka upaya untuk mengadili serta menghukumi pelaku diserahkan kepada penguasa yang berwenang di Indonesia. Meskipun demikian dalam mengadili dan memberi hukuman para pelaku kejahatan yang berasal dari dar
as-salam di dar as-salam meskipun kejahatan tersebut dilakukan di dar al-harb – Indonesia – dianggap lebih baik.
C. Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Asas Universalitas Bila teori Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal akan diterapkan maka, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh seorang warga dar as-salam akan dikenai hukuman di manapun kejahatan itu dilakukan. Begitu juga terhadap kejahatan yang dilakukan di dar al-harb, baik pelanggran tersebut merupakan jarimah hudud, qisas-
diyat maupun kejahatan yang dihukum dengan hukuman ta’zir. Terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam oleh penduduk dar al-
harb, harus di adili berdasarkan ketentuan pidana Islam di dar as-salam. Hal ini
112 berdasarkan kewajiban negara Islam untuk menegakan hukum terhadap warganya yang melakukan kejahatan. Upaya untuk menegakkan hukum dalam kasus seperti ini – kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb – dapat ditempuh dengan cara ekstradisi (taslim al-mujrimin). Yaitu permohonan kepada negara yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan untuk menyerahkan pelaku ke penguasa dar as-salam.. Dalam konteks kejahatan yang melibatkan dua negara – dar as-salam dan dar
al-harb – atau lebih, jika seorang warga dar as-salam melakukan suatu kejahatan di Indonesia atau negara yang menerapkan sistem hukum pidana positif maka para penguasa dar as-salam dapat meminta pelaku kepada pemerintah Indonesia untuk mengembalikan warganya untuk diadili di dar as-salam berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam. Dalam pandangan syariat, semua orang Islam mempunyai kedudukan yang sama meskipun berbeda dalam ras dan golongan. Mereka memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sama. Syariat Islam meletakan persamaan di luar batas-batas kemampuan akal manusia, oleh karenanya tidak ada yang dianggap istimewa antara pribadi dengan golongan, hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat sampai antara seorang muslim dengan orang non-muslim, mereka semua mempunyai kedudukan yang sama.67 Terhadap penduduk zimmiy, dalam masalah penerapan hukum pidana sama halnya seperti seorang muslim. Mereka terikat dalam masalah pidana secara utuh.
67
Sa’id Hawwa, al-Islam…., hlm. 573.
113 Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Nabi SAW telah melaksanakan hukuman rajam terhadap orang Yahudi yang berbuat zina.
ﻧﺎ ﰱ ﺭﺟﻢ ﻭﺳﻠﹼﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﷲ ﺻﻠﹼﻰ ﺍﷲ ﺭﺳﻮﻝ ﺃ ﹼﻥ ﻋﻤﺮ ﺍﺑﻦ ﻋﻦﲔ ﺍﻟﺰﺯﻧﻴﺎ ﻭﺇﻣﺮﺃﺓ ﺭﺟﻼ ﻳﻬﻮﺩﻳ ﻤﺎ ﻭﺳﻠﹼﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﷲ ﺻﻠﹼﻰ ﺍﷲ ﺭﺳﻮﻝ ﺇﱃ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻓﺄﺗﺖ
68
Dalam masalah kejahatan terhadap nyawa, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi SAW memberi hukuman terhadap seorang Yahudi yang telah melakukan pembunuhan. L d8 أXc ا] رL ن ّ د)ّ أ57) W+6 )ر. *L حc أو7 ,د6/0 ل5ّ* ا] رI ] اL "ّ و7! 69
Hal ini yang membedakan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif. Dalam hukum pidana positif, terdapat atau ada pengecualian dalam penerapan perundang-undangn pidana, mereka adalah orang-orang yang mendapat hak immunitas sedangkan dalam Islam Islam hal itu tidak ada. Terhadap kepala negara asing yang berada di dar as-salam yang melakukan suatu kejahatan tetap dapat diberlakukan ketentuan pidana Islam. Begitu juga terhadap perwakilan diplomatik Islam, terhadap mereka berlaku ketentuan syariat Islam mengenai kejahatan apabila mereka melakukannya. 68
Abi Husain Muslim bin al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairiy an-Naisaburiy, AlJami’ as-Sahih, juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 122. 69 Jalaluddin as-Suyuti, Syarh Sunan an-Nasa’i, Juz VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1930), hlm. 22.
114 Kendala yang dihadapi dalam penerapan teori Imam Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal adalah dalam masalah penerapan hukum pidana ta’zir, karena setiap dar as-
salam dapat bebeda dalam bentuk dan penerapannya. Hal ini dikarenakan pidana ta’zir tidak ditetapkan secara pasti dalam al-Qur’an maupun hadits, oleh karenanya, dalam masalah ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada penguasa yang berwenang untuk menentukan bentuk serta pelaksanaannya. Mengenai jarimah ta’zir terdapat tiga kemungkinan untuk penerapannya: 1. Bila semua dar as-salam melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut dapat diadili di semua dar as-salam. 2. Bila dar as-salam di mana pelaku menjadi warganya tidak melarang perbuatan yang dilakukan sedangkan di dar as-salam yang menjadi tempat dilakukannya perbuatan, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran, maka pelaku tidak boleh diadili karena perbuatan tersebut baginya tidak dilarang. 3. Bila di dar as-salam di mana pelaku menjadi warganya suatu perbuatan dilarang sedangkan di dar as-salam berada karena melarikan diri umpamanya, hal tersebut tidak dilarang maka pelaku tidak boleh dihukum di dar as-salam di mana ia berada karena pebuatan yang dilakukan, tidak dilarang di negara tersebut. Para pendatang di dar as-salam (musta’min) juga berlaku ketentuan hukum pidana Islam sebagaimana diberlakukannya ketentuan tersebut terhadap seorang muslim dan
zimmiy. Mereka berhak atas hukuman bila melakukan suatu kejahatan di negara tersebut. Ketentuan terhadap musta’min, hanya berlaku ketika mereka berada di dar as-
salam. Bila kejahatan tersebut dilakukan di dar al-harb setelah keluar dari dar as-
115
salam maka, terhadap kejahatan tersebut tidak dapat diterapkan ketentuan pidana Islam. Dengan keluarnya ia dari dar as-salam, statusnya sebagai musta’min menjadi hilang. Di samping permohonan ekstradisi untuk mengembalikan seorang pelaku kejahatan di dar al-harb untuk diadili dan di hukumi sesuai dengan ketentuan syariat, akan tetapi para pejabat berwenang di Indonesia dapat memberlakukan hukum pidana nasional berdasarkan asas teritorial terhadap pelaku. Hal ini disebabkan kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara tunduk terhadap ketentuan hukum lokal karena negara tersebut yang memiliki kepentingan serta dianggap sebagai negara yang paling mampu untuk melaksanakan penuntutan serta memberi hukuman kepada pelaku. Dalam hukum pidana positif, penerapan asas universal dapat diberlakukan terhadap kejahatan yang dianggap sebagai musuh umat manusia. Dengan diakuinya asas ini sebagai dasar bagi pemberlakuan ketentuan pidana maka, dalam hukum pidana terdapat beberapa kejahatan yang terhadap pelakunya dapat di berlakukan hukum pidana negara di mana pelaku berada. Berdasarkan asas ini pula setiap negara yang di dalamnya ada pelaku kejahatan yang dapat merugikan kepentingan seluruh negara di dunia maka, negara tersebut dapat memberlakukan hukum pidana nasionalnya tanpa memandang kewarganegaraan pelaku. Hal ini tentu saja jika negara tersebut menggagap bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah merupakan kejahatan dan pada umumnya setiap negara mengaggap bahwa kejahatan yang tunduk terhadap yuridiksi universal adalah sebuah kejahatan. Berdasarkan hal ini, jelas bahwa tujuan dari adanya asas universal sebagai
116 landasan bagi pemberlakuan hukum pidana adalah untuk menjamin bahwa tidak ada negara yang tidak menghukum kejahatan tersebut (tidak ada yang menganggap bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan). Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa kejahatan yang tunduk terhadap yuridiksi universal merupakan kejahatan yang tidak mengenal batas-batas negara maupun kewarganegaraan pelaku. Meskipun asas universal dinggap memiliki peranan yang sangat strategis dalam menanggulangi kejahatan lintas teritorial, akan tetapi dalam penerapannya masih banyak negara yang meragukan. Dalam penerapan asas ini oleh suatu negara dikhawatirkan akan melanggar kedaulatan negara lain.70 Hal ini dapat dibenarkan karena setiap negara memiliki kepentingan terhadap kejahatan yang memiliki dimensi internasional. Bagi negara yang merupakan asal pelaku, dapat menuntut pelaku berdasarkan asas kewarganegaraan, bagi negara tempat pelaku berada dapat mendasarkan tuntutan dengan asas teritorial di samping pihak atau negara-negara lain yang memiliki kepentingan. Oleh karenanya menjadi penting untuk mempertimbangkan penerapan asas teritorial suatu negara terhadap kejahatan lintas teritorial yang terjadi di wilayahnya dan mengesampingkan asas universal. Dalam hukum pidana Islam hal ini dapat teratasi dengan adanya pandangan bahwa setiap negara Islam dianggap sebagai wakil bagi negara Islam lainnya untuk menghukum pelaku kejahatan berdasarkan ketentuan pidana Islam. Berdasarkan pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan hukum Islam, dalam masalah kejahatan-kejahatan yang telah ditetapkan secara jelas – bentuk dan 70
Romli Atmassasita, Pengaruh Konvesi Internasional…., hlm. 7.
117 hukumannya (hudud, qisas) – dalam al-Qur’an maupun Hadits, keberadaan pelaku di luar wilayah negara – Islam – asal pelaku tidak menjadi persoalan dalam penyelesaian hukum. Di samping itu, hal ini tidak akan menimbulkan pertentangan atau kompetensi antar dar as-salam untuk memberi hukuman kepada pelaku. Selama pelaku dihukumi berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, hal tersebut telah dianggap cukup dalam mengatasi kejahatan dalam kehidupan masyarakat. Dalam masalah kejahatan pidana Islam, disyaratkan adanya nas yang melarang serta menghukum suatu perbuatan jika hal tersebut dilakukan. Dalam penerapannya, nas tersebut haruslah berlaku atau dapat menjangkau tempat di mana perbuatan/kejahatan dilakukan. Selain berlaku terhadap tempat, nas tersebut haruslah berlaku bagi pelaku. Hal ini terkait dengan pandangan bahwa syariat Islam berlaku secara universal, meskipun demikian dalam penerapannya syariat Islam hanya berlaku di negara-negara yang berada di bawah kekuasaan orang-orang muslim tidak di negara selain negara Islam (iqlimiyyah). Mengenai batasan umum dalam penerapan pidana, bahwa ketentuan pidana Islam berlaku bagi setiap kejahatan yang dilakukan di dar as-
salam, tanpa memandang kewarganegaran pelaku dan juga terhadap kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb.71 Ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi kejahatan dalam Islam. Upaya ini, meskipun tidak atau belum dapat mewujudkan penerapan ketentuan syariat secara menyeluruh – di setiap negeri, Islam maupun bukan – akan tetapi dengan diberlakukannya hukum pidana Islam bagi para pelaku kejahatan dari
71
Sa’id Hawwa, al-Islam…., hlm. 584.
118
dar as-salam di dar al-harb, sedikitnya akan dapat menanggulangi kejahatan dalam dunia Islam yang akibat-akibatnya akan dirasakan juga oleh penduduk negeri-negeri asing (dar al-harb). Penerapan teori Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal oleh negara Islam akan memberi dampak yang baik bagi kelangsungan umat Islam sendiri di dunia internasional. Dengan dihukumnya para pelaku kejahatan yang berkebangsaan dar as-
salam karena melakukan kejahatan di dar al-harb akan memberi citra yang positif bagi umat Islam dalam masalah penegakkan hukum. Selain itu, dengan penerapan yang seperti ini pula hukum Islam akan tetap utuh dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dengan hukum pidana positif, suatu kejahatan yang melibatkan dua negara atau lebih hanya akan dapat dihukum apabila kejahatan tersebut telah disepakati oleh negara-negara yang bersangkutan sebagai suatu kejahatan oleh hukum pidana nasional negara-negara tersebut. Begitu juga dalam penerapan asas universal sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, hal tersebut bukan merupakan hal yang mudah dikarenakan setiap negara merasa berhak terhadap kejahatan tersebut yang pada akhirnya harus ada kedaulatan negara terabaikan atau terjadinya intervensi terhadap kedaulatan teritorial suatu negara. Berdasarkan hal ini pula menjadi penting untuk memberlakukan asas teritorial bagi negara yang di dalamnya terdapat pelaku kejahatan yang memiliki dimensi internasional. Dalam artian bahwa penerapan asas teritorial dapat lebih diutamakan serta mengesampingkan asas universal. Berdasarkan hal ini pula setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga dar as-salam dapt ditundukkan pada hukum yang
119 berlaku di Indonesia meskipun antara dar as-slam dan Indonesia dar al-harb memiliki sistem hkum yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
120
B. Masalah Ekstradisi dalam Hukum Islam a. Penyerahan pelaku kejahatan antar dar as-salam Dalam teori fiqh siyasah Islam, setiap negara dar as-salam dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi dar as-salam lainnya untuk menegakan hukum Islam. Negeri-negeri Islam dapat saling menyerahkan para pelanggar hukum (pelaku jarimah) yang kemudian lari ke dar as-salam lainnya. Ketentuan ini berlaku bagi seorang muslim, zimmiy maupun musta’min dan berlaku selama pelaku belum diadili di pengadilan Islam di negara ia berasal.72 Bila kasus yang ia perbuat sudah diadili di pengadilan negara di mana pelaku berada, maka tidak boleh menyerahkannya untuk diadili kembali. Hal ini dikarenakan satu tindak kejahatan tidak boleh diadili dua kali.73 Penyerahan pelaku juga tidak dianggap perlu bila negara-peminta akan mengadili pelaku tidak dengan ketentuan syariat Islam, sedangkan negara yang 72
L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 31. 73 Ibid., hlm. 33.
121 diminta tempat pelaku berdomosili akan mengadilinya berdasarkan ketentuan syariat. Ketentuan ini dapat berlaku bagi pelaku jarimah hudud dan qisas- diyat. Bila perbuatan pelaku merupakan jarimah at-ta’zir maka negara termohon atau negara yang diminta untuk menyerahkan pelaku dianggap lebih baik jika negara tersebut tidak keberatan untuk melakukan penyerahan pelaku ke negara-peminta. Hal ini dikarenakan hukuman ta’zir dapat berbeda dari satu negara dengan negara yang lainnya.74 Menghadapkan seorang pelaku kejahatan ke muka pengadilan di mana perbuatan itu terjadi dipandang lebih baik daripada menyerahkannya ke pengadilan di negara lain yang bukan merupakan tempat terjadinya perbuatan. Pemeriksaan terhadap pelaku di tempat terjadinya perbuatan dipandang lebih baik serta lebih dapat menjamin keadilan dikarenakan di tempat terjadinya perbuatan akan lebih mudah untuk mengemukakan bukti serta saksi-saksi. Dengan adanya dua hal ini (bukti dan saksi) akan mempermudah pengadilan dalam mencari keterangan-keterangan yang diperlukan. 75 Selain itu, pelaksanaan hukuman di tempat terjadinya pebuatan akan lebih terasa pengaruhnya bagi masyarakat. Hal ini berhubungan dengan fungsi dijatuhkannya hukuman. Hukuman dijatuhkan selain sebagai pembalasan bagi
Lihat misalnya Muhammad Salim al-Awwa, fi Usul an-Nizam al-Jinai al-Islamiy (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1983), hlm. 267 75 ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Jana’i al-Islamiy….,hlm. 297. 74
122 para pelaku jarimah, juga merupakan tindakan preventif agar masyarakat tidak berbuat yang sama seperti yang diperbuat pelaku kejahatan.76 Berbeda halnya jika penjatuhan hukuman dilakukan di negara yang bukan tempat terjadinya kejahatan. Meskipun ada kemungkinan untuk memberi pelajaran bagi pelaku, akan tetapi akibat yang muncul dari pemberian hukuman tidak akan dirasakan oleh masyarakat di mana pelaku berasal.77 Berdasarkan hal ini, penyelesaian hukuman bagi pelaku oleh pengadilan di mana perbuatan itu terjadi dianggap lebih baik dari pada mengadilinya di tempat yang bukan merupakan tempat terjadinya kejahatan. Hal ini dianggap lebih baik meskipun sebenarnya tidak ada halangan bagi negara yang menjadi pelarian untuk menegakkan hukum bagi pelaku karena tidak adanya perbedaan aturan maupun undang-undang antara negara-peminta dengan negara yang diminta.78 Penyerahan pelaku kejahatan oleh negara yang menjadi tempat pelaku berdomisili kepada negara pelarian pelaku di anggap sebagai hal yang menyulitkan bagi pelaku. Ia tidak dapat membela diri karena keberadaannya di lingkungan asing yang berbeda kebangsaan dan bahasa.79 Hal ini berlaku juga untuk pelaku kejahatan yang berkebangsaan dar as-
salam jika melarikan diri ke dar al-harb. Abu Zahrah berpendapat bahwa jika antara dar as-salam dengan dar al-harb telah ada perjanjian sebelumnya maka
76
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…., hlm. 124-125. ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy….,hlm. 298. 78 L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 32. 79 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri’ al-Janai al-Islamiy…., hlm. 298. 77
123 permohonan ekstradisi harus dilakukan, jika tidak maka hal ini tidak dapat dilakukan kecuali bila ada hukum kebiasaan yang berlaku.80 b. Penyerahan pelaku kejahatan ke dar al-harb Islam tidak membenarkan bagi penguasa dar as-salam untuk menyerahkan warga negaranya, baik ia muslim maupun zimmiy untuk diadili di dar al-harb karena telah melakukan tindak kejahatan di negara tersebut (dar al-harb).81 Selain itu Islam tidak membolehkan penguasa dar as-salam untuk menyerahkan seorang muslim yang berstatus sebagai warga negara dar al-harb sekalipun penguasa negara tersebut memintanya karena suatu tindak kejahatan yang telah ia lakukan. Penyerahan tidak boleh terjadi selama tidak ada perjanjian antara penguasa dar as-salam dengan penguasa dar al-harb yang sesuai dengan ketentuan hukum Internasional mengenai penyerahan warga negara masingmasing. Jika perjanjian telah terjadi antara kedua negara tersebut maka penyerahan harus dilakukan terkecuali adanya syarat-syarat yang dianggap batal dan menyalahi perjanjian.82 Islam tidak membenarkan penyerahan wanita-wanita muslimah yang berhijrah ke dar as-salam. Wanita muslim dalam keadan bagaimanapun tidak boleh diserahkan ke dar al-harb meskipun ia berstatus sebagai warga negara tersebut. Ketetapan ini berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah…., hlm. 379. ‘Abd al-Qadir al-‘Audah, at-Tasyri’ al-Jana’i aI-Islamiy…., hlm. 299. 82 L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 34. 80 81
124
íÃíøåÇÇáøÐíä ÃãäæÇ ÅÐÇ ÌÇÁ ßã ÇáãÄãäÇÊ ãåÇÌÑÇÊ ÝÇãÊÍäæåäø Çááå ÃÚáã ÈÅíãÇäåäø ÝÅä ÚáãÊãæåäø ãÄãäÇÊ ÝáÇ ÊÑÌÚæåäø Åáì ÇáßÝøÇÑ áÇåäø Íáø áåã æáÇ åã íÍáøæä áåäø æÃÊæåã ãøÇÃäÝÞæÇ æáÇ ÌäÇÍ Úáíßã Ãä ÊäßÍæåäø ÇÐÇ ÃÊíÊãæåäø
ÃÌæÑåäø
æáÇ
ÊãÓßæÇ
ÈÚÕã
ÇáßæÇÝÑ æÇÓÃáæÇ ãÇ ÃäÝÞÊã æáíÓÃáæÇ ãÇ ÃäÝÞæÇ ÐÇáßã Íßã Çááå íÍßã Èíäßã æÇááå Úáíã Íßíã
83
Para ulama berbeda pendapat mengenai penyerahan laki-laki muslim setelah adanya perjanjian. Imam Ahmad dan beberapa Fuqoha madzhab Maliki berpendapat bahwa penyerahan tersebut harus dipenuhi. Abu Hanifah berpendapat bahwa penyerahan tersebut tidak boleh terjadi, sebab seorang muslim tidak boleh dikuasai oleh orang-orang non-muslim.84 Para fuqoha madzhab Syafi’i memisahkan antara mereka yang mempunyai keluarga di dar al-harb yang dapat melindunginya dengan orang yang tidak 83 84
Al-Mumtahanah (60): 10. L. Amin Widodo, Fiqih Siyasah…., hlm. 34.
125 mempunyai pelindung di negara tersebut. Bila orang yang diminta mempunyai keluarga, maka ia boleh diserahkan, bila tidak, maka ia tidak boleh diserahkan ke tangan penguasa dar al-harb. Masuknya orang-orang Islam yang berstatus sebagai penduduk negara dar
al-harb ke dar as-salam tidak dipandang sebagai penyimpangan terhadap kaidah umum penerapan hukum Islam. Orang tersebut dianggap sebagai penduduk dan warga negara dar as-salam yang ia datangi. Oleh karena itu, ketika penguasa dar
as-salam tidak menyerahkan kepada penguasa dar al-harb, sebenarnya ia tidak menyerahkan orang yang menjadi warga negaranya sendiri. Tindakan ini merupakan tuntutan syariat yang tidak membolehkan penguasa dar as-salam untuk menyerahkan warga negaranya ke dar al-harb. Bila yang memohon adalah dar as-salam yang lain maka tidak ada halangan untuk menyerahkan orang tersebut.85 Mengenai penyerahan seorang musta’min ke dar al-harb di karenakan tindak kejahatan yang di lakukannya, boleh dilakukan bila antara penguasa dar as-
salam dengan dar al-harb telah ada perjanjian sebelumnya.86 Meskipun demikian, tidak diperbolehkan untuk menyerahkan orang tersebut (musta’min) ke dar al-harb lainnya (yang bukan negara asal pelaku) yang bisa jadi merasa dirugikan oleh tindakan orang tersebut. Hal ini berlawanan dengan perjanjian keamanan yang telah diberikan kepadanya.
85 86
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam…., hlm. 127. L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah…., hlm. 35.
126 Kaidah hukum Islam yang menghendaki agar penguasa dar as-salam tidak menyerahkan warga negaranya ke negara lain untuk menyelesaikan masalah kejahatan, sesuai dengan ketentuan hukum internasional sekarang.87
87
Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU PRIMER ‘Audah, ‘Abd al-Qadir, at-Tasyri’ al-Janai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun alWad‘iy, 2 juz, Beirut: Muassasah al-risalah,1994. Imam Kamaluddin bin Al-Ghamam, Syarah Fathul Qadir Ala’Hidayah Syarah Bidayatul Mubtadi, Juz IV, Bairut: Darrul Kitab Alamiyah, Kasaniy, ‘Alau ad-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-, Bada’i as-Sana‘i fi Tartib asy-
Syara‘i, 7 juz, Beirut: Dar al-ilmiyyah, 1997. Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hkum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, cet-27, 2008.
B. AL-QUR’AN Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah, Semarang : Toha Putra, 2006.
C. KELOMPOK FIQH DAN USHUL FIQH Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-fiqh al-Islam, al-Jarimah, 2 juz, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, tth. Abu Utlah, Khadijah, al-Islam wa al-‘Alaqah ad-Dauliyyah fi as-Silmi wa al-Harb, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1119. Hanafi, A., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976 Hasballah, ‘Ali, Usul at-Tasyri’ al-Islamiy, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964. Hazm, Abi Muhammad ‘Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn, al-Muhalla, 8 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Hussain, Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C. N Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Jad Allah, Mahmud Fu‘ad, Ahkam al-Hudud fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Mesir: Matabi’ al-Misriyyah al-‘Ammah, 1983.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Jakarta: Rineka Cipta. Widodo, L. Amin, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994. Zahrah, M. Abu, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus.
D. KELOMPOK BUKU LAIN Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Hukum Antar. Golongan, (ed.) H.Z. Fuad Hasbi Ash Shhidieqy, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001. Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995. ________, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1996 ________, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem hukum Pidana Indonesia (Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1997 ENSIKLOPEDI Islam, Dewan Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika 1995. Harahap, Mustafa Djuang, Yuridiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan Hukum Internasional, Bandung: Penerbit Alumni, 1983. Hasmi, A., Dimana Letak Negara Islam, cet.I. Surabaya : P.T. Bina Ilmu, 1984. http://www.nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=235: mazhab&catid=96:ensiklopedi-islam 21/april/2010/pukul 15.30 WIB. http://aslamsalam.wordpress.com/2010/02/12/biografi-imam-abu-hanifah/ http://daemien-ocehankosong.blogspot.com/2009/07/polisi-dan-locus-delicti.html/1904-10-19.30. http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB. http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tanggal 5, Desember, 2009, pukul 22.00 WIB. http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum/tangal 20, Nopember, 2009, pukul 21.00 WIB. http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-112.html Jonkers, J. E., Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, alih bahasa Tim Penerjemah Bina Aksara, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Kansil, C. S. T , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 1989. Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, t.tp: Balai Lektur Mahasisiwa, t.th. Ma’arif, Samsul, Terjemah Matan Taqrib Ringkas dan Jelas, cet-II, Magelang: Toko Kitab Salamun Tegalrejo, 2009. Mahmassani, Sobhi, Filsafat Hukum dalam Islam, alih bahasa A. Sudjono, Bandung: Alma’arif. Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Putra, 2000. Marzuki, MetodologiRiset, BPFE UII, Jogjakarta, 1995. Parthiana, I Wayan, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yrama Widya, 2000. Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Eresco, 1989. Qardhawi, Yusuf, Menyatukan Pikiran Para Pejuang Islam, alih bahasa Ali Makhtum Assalamy Jakarta: Gema Insani Press, 1993. Starke, J. G., Pengantar Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Iriana Djajaatmaja, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Sudarto, hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudaarto d/a Fakultas Hukum UNDIP, 1990. Sugandhi, R., KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981 Suryono, Edy, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Mandar Maju, 1992. Utrecht, E., Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994. Wallace, Rebbeca M.M., Hukum Internasional, alih bahasa Bambang Arumanadi, Semarang: IKIP Semarang Press, 1993.