HUKUM PUASA BAGI PENDERITA ASMA YANG MENGGUNAKAN INHALER (ALAT SEMPROT ATAU HISAP) (Studi Komparasi Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i) Skripsi Dibuat guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S-1)
Disusun oleh: IFTAKHUL JANNAH NIM: 1211024
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU) JEPARA 2015
MOTTO
ِ َات ص ُّح ْوا ُص ْو ُص ْو “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.”
v
PERSEMBAHAN Puji syukur Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan skripsi ini dan karya skripsi yang penulis buat ini, penulis persembahkan untuk pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut membantu terlaksananya penulisan skripsi ini, khususnya penulis persembahkan kepada: 1. Bapak serta Ibuku, Bapak Yazid dan Ibu Khuriyati yang telah mencurahkan kasih sayang, pengertian, perhatian, kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan do’a serta materinya. 2. Mbakku tercinta Siti Rohmah yang selalu memberi semangat dan motivasi hidup. 3. Seluruh keluarga tercinta dalam rumah kita adalah surga kita, yang semoga selalu ditemukan kedamaian, keceriaan, kebahagiaan dunia akhirat serta kasih sayang dari Allah SWT. Amiin. 4. Teman-teman Fakultas Syari’ah dan Hukum yang senantiasa berjuang bersama, susah maupun senang kita pernah alami bersama. 5. Sahabat-sahabatku Indah, Ana, Bang Ipul, Bustanul, Susi yang berjuang bersama dari awal kuliyah sampai wisuda.
vi
KATA PENGANTAR Dengan nama Allah SWT. Sang Pencipta Alam Semesta. Segala puji bagi Allah SWT. atas rahmat serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul HUKUM PUASA BAGI
PENDERITA ASMA YANG
MENGGUNAKAN INHALER (ALAT SEMPROT ATAU HISAP) (STUDI KOMPARASI MENURUT IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I). Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan ke pangkuan Nabi Muhammad SAW. segenap keluarga, para sahabat dan juga pengikutnya. Dengan berbekal kemauan serta bantuan dari berbagai pihak dalam mengatasi kesulitan-kesulitan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun sangat sederhana. Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu segala kritik dan saran semua pihak saya terima dengan senang hati. Kepada semua pihak yang telah membantu demi kelancaran skripsi ini, penulis hanya bisa menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Rektor UNINU Jepara 2. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara Bapak Drs. H. Bahrowi, M.Ag. 3. Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara Bapak Hudi. 4. Ibu Mayadina Rahmi Musfiroh Selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, fikiran serta tenaganya untuk memberikan bimbingan, serta pengarahannya untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu ke-Islaman.
vii
6. Segenap staff akademika dan juga staff perpustakaan UNISNU Jepara yang turut serta membantu penulis sehingga menjadikannya kelancaran penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan disini, yang turut berpartisipasi dalam penulisan sekripsi ini. Semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis senantiasa mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan khususnya bagi pembaca maupun adhik-adhikku fakultas Syari’ah dan Hukum yang arif dan budiman. Jepara, 17 September 2015 Iftakhul Jannah
viii
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji tentang hukum puasa bagi penderita Asma yang menggunakan Inhaler (alat semprot atau hisap) (studi komparasi menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i), dimana disini dibahas tentang pendapat-pendapat para ulama khususnya ulama-ulama madzhab yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tentang hukum puasanya seorang penderita Asma yang menggunakan alat Inhaler ketika kambuh. Penelitian ini termasuk pada penelitian kepustakaan (library risearch), dimana data-data yang diambil dari buku-buku yang ada yang berhubungan dengan judul yang telah diambil oleh penulis untuk mencari jawaban atas masalah yang ada. Selain itu penelitian ini juga menggunakan penelitian lapangan (field), artinya penelitian ini dilakukan dengan melihat dan mencari data-data yang berhubungan dengan objek penelitian guna mendapatkan kebenaran penelitian. Sehingga antara kejadian yang ada bisa dipadukan dengan data-data yang ada dalam buku, sehingga jawaban yang didapat bisa sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya dilapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang penderita Asma yang menggunakan Inhaler pada saat menunaikan ibadah puasa di hukumi batal. Karena dalam hal ini di qiyaskan dengan makan dan minum. Dimana makan dan minum adalah salah satu pembatal puasa, yaitu memasukkan sesuatu ke dalam rongga yang ada pada tubuh membatalkan puasa. Menurut Imam Syafi’i dalam hal memasukkan Inhaler ke dalam mulut pada saat menjalankan ibadah puasa di hukumi batal. Karena semakna dengan makan dan minum. Dan juga fungsi dari Inhaler sendiri adalah memberi kekuatan pada tubuh untuk bisa bernafas dengan lega/lancar. Namun, menurut Imam Abu Hanifah dalam hal memasukkan Inhaler ke dalam mulut tidak dapat di hukumi batal. Karena tidak dapat dikatakan semakna dengan makan dan minum. Dimana dalam hal memasukkan obat Inhaler tidak masuk sampai ke perut. Akan tetapi langsung masuk ke paru-paru.
ix
DAFTAR ISI
Halaman judul...........................................................................................................i Halaman Pengesahan.............................................................................................. ii Halaman persetujuan pembimbing........................................................................ iii Halaman Pernyataan Keaslian............................................................................... iv Halaman Motto........................................................................................................ v Halaman Persembahan........................................................................................... vi Halaman Kata Pengantar....................................................................................... vii Halaman Abstrak.....................................................................................................ix Halaman Daftar Isi...................................................................................................x BAB I: Pendahuluan................................................................................................1 A. Latar belakang masalah.................................................................................1 B. Penegasan judul..............................................................................................9 C. Rumusan masalah.........................................................................................11 D. Tujuan penelitian..........................................................................................11 E. Kajian pustaka..............................................................................................12 F. Metode penelitian.........................................................................................14 G. Sistematika penulisan skripsi........................................................................15 BAB II: Landasan Teori.........................................................................................18 A. Pengertian puasa...........................................................................................18 B. Syarat dan rukun puasa.................................................................................20 C. Tata cara berpuasa........................................................................................25 D. Kesunahan – kesunahan berpuasa................................................................27 E. Hal – hal yang membatalkan puasa..............................................................32
x
F. Hikmah dan tujuan puasa..............................................................................37 BAB III: Objek Kajian...........................................................................................41 A. Sekilas biografi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i................................41 B. Pemikiran, dasar hukum Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i..................52 C. Penjelasan tentang penyakit Asma...............................................................56 D. Keterangan dari narasumber tentang penyakit Asma....................................59 BAB IV: Hasil penelitian dan pembahasan...........................................................61 A. Analisis pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i..................................61 B. Penarikan kesimpulan data-data yang didapat dari lapangan.......................74 BAB V: Penutup....................................................................................................75 A. Kesimpulan...................................................................................................75 B. Saran-saran...................................................................................................76 C. Kata penutup.................................................................................................78 Daftar pustaka Lampiran-lampiran
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ibadah kepada Allah SWT. merupakan suatu hal yang penting. Karena itulah, Allah SWT. berkehendak menciptakan kita dan Dia pulalah pokok misi didalam kehidupan ini. Allah berfirman dalam Q.S. Adz-Dzariyat: 56.
وما َ ْق ْقاِإ َّن و ْقِإا ْق ِإَّن ِإ َي ُت ِإ )٥٦:ون ( ذ ريات َ َ َ ُت َ َ َ ْق ُت
Artinya: “Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.”(Adz-Dzariyat: 56).
Allah mewajibkan ibadah kepada kita bukan utuk kepentingan-Nya, tetapi justru untuk kebaikan kita sendiri, agar kita mencapai derajat takwa yang dapat menyucikan kita dari kesalahan dan kemaksiatan, sehingga kita dapat keuntungan dengan keridhaan Allah dan surga-Nya serta dijauhkan dari api neraka dan azab-Nya. 1 Tradisi puasa para Nabi dan umat-umat mereka dahulu yang kini dilestarikan oleh agama Islam membuktikan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad, ini merupakan penerus yang murni dan konsekuen dari ajaranajaran para Nabi. Dan semakin jelaslah bahwa agama Islam benar-benar sejalan dengan fitrah manusia. Allah SWT. berfirman:
ِإ ِإ ِّد ي ِإ حنِإ ًفا ِإطْقرت َّن ِإو َّنِإِت َطَر نَّناس عَ َي ا َ تََي ِإ َ ِإ ِإ َ يل ِلَْق ِإق َّن ِإو َذ َ َ ََ ْق َو ْق ََ َ َ َ ْق َ ْق َ ِّد ي ُت ْق َ ِّدُتم َوَ ِإ َّن َ ْق ََيَر ِإ )۳٠:نَّناس َ يََي ْق َ ُت َن ( روم 1
Syekh Mushthafa Masyhur, Berjumpa Allah Lewat Shalat, (Jakarta: Gema Insani, 2002), cet 1, hlm. 15.
1
2
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Ruum:30).2 Puasa merupakan salah satu ibadah yang mempunyai kedudukan istimewa disisi Allah. Di samping ia merupakan “benteng” yang ampuh bagi si pelakunya, dalam menangkal gejolak dan kebuasan hawa nafsu yang tak kenal puas itu, puasa juga satu-satunya ibadah yang benar-benar murni dan tulus karena Allah. Untuk itu, Allah SWT. sendirilah yang akan secara langsung menilai dan membalasnya. 3 Empat Imam mazhab sepakat bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu atas segenap kaum muslimin, dan merupakan salah satu dari rukun Islam. Mereka juga sepakat bahwa puasa Ramadhan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang telah balig, berakal sehat, suci (tidak sedang haidl dan nifas), bermukim (tidak dalam perjalanan).4 Puasa Ramadhan, bila dikerjakan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, bukan saja akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda, tapi juga akan menghapuskan berbagai dosa, baik yang pernah terlanjur kita kerjakan di masa lalu maupun yang akan datang. 5
2
Ahmad Syarifuddin, Puasa Menuju Sehat Fisik & Psikis, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet ke 3, hlm. 48. 3 Imam Musbikin, Rahasia Puasa Bagi Kesehatan Fisik dan Psikis, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), cet I, hlm. 3. 4 Syaikh Al-Allamah Muhammad Bin Abdurrahman Ad-Dimisyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2012), hlm. 147. 5 Imam Musbikin, Op.Cit., hlm. 2
3
Puasa yang dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum secara bahasa berarti „menahan diri‟ (berpantang) dari suatu perbuatan. 6 Shiyam menurut lughah ialah menahan diri. Sedangkan menurut Syara‟ ialah menahan diri dari makan, minum, jima‟ dan lain-lain yang dituntut oleh syara‟, disiang hari menurut cara yang disyariatkan. Atau menahan diri dari makan, minum dan jima‟ dari terbit fajar sampai terbenam matahari, karena mengharap pahala dari Allah.7 Allah SWT. berfirman:
ِإ ِإ م ْق ََيْق ُت ْق َ ََّن ُت ْق
َّن ِإ َّن ِإ ِإ ِإ ب َعَْق ُت ُت ِّد َ ب َعَى ذي َ صَ ُتام َ َ ا ُت ت َ يَا َيَُّي َ ا ذي َ َآمنُت ُت ت ) ١٨۳:( ره.تََيتَّنَي ُت َن
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S.Al-Baqarah:183) Firman Allah SWT. tersebut, di samping menjadi landasan bagi disyariatkannya puasa dalam Risalah Nabi Muhammad, juga memberikan arah
bagi
tujuan
pokok
diwajibkannya
puasa
(Ramadhan),
yaitu
meningkatkan kualitas takwa.8 Takwa itulah yang membangkitkan kesadaran dalam hati sehingga mau menunaikan kewajiban ini demi menaati Allah dan untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Takwa inilah yang menjaga hati sehingga tidak merusak puasanya dengan maksiat, walaupun cuma berupa getaran hati untuk berbuat maksiat. Orang-orang yang menjadi sasaran firman Allah ini mengetahui kedudukan takwa disisi Allah dan mengetahui bobot dalam 6
Ahmad Syarifuddin, Op. Cit ., hlm.43. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), cet 1, hlm. 161. 8 Imam Musbikin., Op.Cit., hlm.77. 7
4
timbangan-Nya. Maka, takwa merupakan puncak ketinggian rohani mereka, dan puasa ini merupakan salah satu alatnya dan jalan untuk mencapainya. 9 Dalam sebuah hadits menyebutkan:
ِّدي: َع ْق َِإ ُتىَريْقَيَرَ َر ِإ َى اُت َعْقنوُت َ َّنن َر ُت ْق َل اِإ َ َّنى اُت َعَْق ِإو َو َ َّن َ َ َال َلَ ُتام ُت نَّنةٌ َال ِإ ْي وَّنلِإذى ََي ْقف ِإسى بِإ ِإهِإ ِإ ِإ ِإ ِإ َ َ يََي ْقرُت ْق َوَ َْق َ ْق َو ن ْقم ُترٌ َا تََيَوُت َْقو َ ااََوُت ََيْقََي ُت ْق ىّن َ ائ ٌ َمَّنرتََي ْق صا ئِإ ِإ َطْق ِإ ِإ ِإ ِإ ِإ ف َ ِإ َّن َِلُت ْقُتو ُت ب عْقن َ ا م ْق ِإريْق ِإح ْق ْقس يََيْقتَي ُترَك طَ َا َموُت َو َ َربَوُت َو َ ْق َتَوُت َ ُت .لَ ُتام ِإِل َوََا َ ْق ِإزى بِإِإو َو ْقْلَ َسنَةُت بِإ َ ْقش ِإر َْقمَا ِإِلَا ِإم ْق َ ْق ِإى ِّدي Artinya: Dari Abu Hurairah ra bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Puasa itu penjaga (perisai) maka janganlah ia berkata-kata buruk dan jangan berbuat kebodohan. Jika ia dimusuhi atau dicaci maki oleh seseorang maka katakanlah : “Sesungguhnya saya ini sedang berpuasa”-dua kali- Demi Dzat yang diriku ditangan-Nya sungguh bau busuknya mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi”. Ia meninggalkan makannya, minumnya dan syahwat (nafsu sex)nya karena Aku. Puasa itu bagiKu dan Aku membalasnya, sedang kebaikan itu (dibalas) dengan sepuluh kalinya.10 Dalam puasa Ramadhan ada hal-hal yang dapat membatalkan puasa, antara lain:
9
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2000), hlm. 199-200. Zaenuddin Ahmad Azzubaidi, Terjemah Hadits Shahih Bukhari Jillid 1, (Semarang: C.V.Toha Putra, 1986), hlm. 616. 10
5
1. Makan dan minum. Yaitu masuk suatu barang ke rongga badan secara sengaja, seperti nasi, air, dan asap rokok. Tetapi, jika seseorang makan atau minum dengan tidak sengaja (terlupa) tidaklah membatalkan puasa. 11 Dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 187
ِإ ِإ ِإ ط ْقْلَبَي ِإ َ َوُت ُت َو ْق َربُت َح َّن يََيتَََي َّن... ْي َ ُت ُت ْقِلَْق ُت ْقَ ُت َ ض م َ ْقِلَْقط ْقْلَ ْق َ د م )۱٨٧:( ره...ْق َف ْق ِإر Artinya: “....Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar...” (Al-Baqarah: 187) Penjelasan dari surat diatas yaitu, hingga cahaya membentang di ufuk dan di puncak-puncak gunung. Bukan tampaknya benang putih dilangit yang dikenal dengan fajar kadzib. Berdasarkan beberapa riwayat mengenai batasan waktu imsak, dapatlah kami katakan bahwa waktu imsak itu sebentar sebelum terbitnya matahari. 12 Sabda Rasulullah:
رو ه. َ ا ئِإ ٌ َاَ َ َ َْقو َ ِإر َ ََيْقُتتِإ َّن َ ْق َموُت َاِإَّنَا َطْق َ َ وُت اُت َو َ َ اهُت .
ِإ َ َم ْق َس َ َو ُتى خا ري ومس
Artinya: “Barang siapa lupa, sedangkan ia dalam keadaan puasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah puasanya 11
Mahmud Yunus, Ibadah Puasa dan Zakat, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2001), cet ke 3,
hlm.8. 12
Sayyid Quthb, Op.Cit., hlm. 209.
6
disempurnakan, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).13 Memasukkan sesuatu ke dalam lubang yang ada pada badan, seperti lubang telinga, hidung, dan sebagainya menurut sebagian ulama sama dengan makan dan minum; artinya membatalkan puasa. 2. Muntah dengan sengaja. Yaitu dengan memasukkan anak jari kedalam kerongkongan sehingga muntah. Namun orang yang terpaksa muntah dalam puasa karena sakit, tidaklah batal puasanya. Menurut Imamiyah, Syafi‟i dan Maliki, wajib mengqadha-nya. 14 Hal ini sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits:
ََيَْق َ َعَْق ِإو, َم ْق َذ َر َعوُت ْق َ ْق ُت: َع ْق َِإ ْق ُتىَريْقَيَرَ َ ِإن نَّنِإ ِّد َ َّنى اُت َعَْق ِإو َو َ َّن َ َ َال َوَم ِإ ْق تََي َ ا َ َع ْق ً ََيْقََي ْق ِإ,ٌ َ َ ا . ض رو ه ِل سة نسا ئ Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa yang dikalahkan oleh muntah, maka tidak ada qadla’ atasnya, tetapi barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka dia harus mengqadla.” (HR Imam yang Lima kecuali Nasa‟i). 15
13 14
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014), cet ke 65, hlm. 230. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), cet ke 7, hlm.
163.
15
Asy-Syekh Faisal bin Abdul Aziz al-Mubarak, Nailul Authar Jilid 3, ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2009), hlm. 1252.
7
3. Bersetubuh. Jika seseorang bersetubuh disaat berpuasa, maka seketika itu puasanya menjadi batal. Sehingga, ia harus meng-qadhanya dan harus membayar kafarat.16 Berikut firman Allah:
)١٨٧ : ر
(....صَ ِإام َّنرَ ُت ِإ َِل ِإ َسائِإ ُت ْق ُت ِإح َّن َ ُت ْق َْقَيَةَ ِّد
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu....” (Al-Baqarah: 187). Laki-laki yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh di waktu siang hari di bulan Ramadhan, sedangkan dia berkewajiban puasa, maka ia wajib membayar kafarat. 4. Keluar darah haidl atau nifas.
رو ه خارى. صالَ ِإ ص ْق ِإم َو َ َيُت ْق َم ُتر بِإَ َ ا ِإ َّن َع ْق َعا ئِإ َشةَ ُت نَّنا َيُت ْق َم ُتر بِإَ َ ا ِإ َّن Dari Aisyah. Ia berkata, “Kami disuruh oleh Rasulullah SAW mengqadha puasa, dan tidak disuruhnya untuk mengqadha shalat.” (Riwayat Bukhari). 5. Gila. Jika gila itu datang waktu siang hari, batallah puasa. 6. Keluar mani dengan sengaja (karena bersentuhan dengan perempuan atau lainnya). Karena keluar mani itu adalah puncak yang dituju orang pada persetubuhan, maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh. Adapun keluar mani karena bermimpi, mengkhayal dan sebagainya tidak membatalkan puasa. 16
Saleh Al-Fauzan, Op.,Cit., hlm.297.
8
Bagi orang Islam, tidak ada sesuatu yang paling didambakan kecuali mendapatkan kasih sayang dengan rahmat-Nya, mendapatkan ampunan-Nya serta dibebaskannya dari api neraka. Setiap kita melakukan shalat selalu memohon dambaan itu semua. Setiap kali kita menghadapi datangnya saatsaat Ramadhan yang sangat menggembirakan itu, alangkah baiknya bila kita mempersiapkan diri baik secara fisik dan lebih-lebih secara mental untuk memenuhi perintah Allah SWT. melaksanakan ibadah puasa, menurut tuntunan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Akan tetapi, bagaimana dengan penderita penyakit Asma yang sewaktu-waktu bisa kambuh yang mana akan mengganggu pernafasan bagi si penderita Asma. Terutama akan mempengaruhi pada puasanya. Padahal sebelum menjalankan ibadah puasa telah mempersiapkan segala persiapan baik secara fisik maupun secara mental, akan tetapi penyakit Asma tiba-tiba kambuh pada saat tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Untuk mengurangi sesak nafas yang diderita penderita Asma, yaitu menggunakan alat semprot atau hisap yang dapat mengurangi rasa sesak nafas. Dalam ilmu kedokteran dinamakan Inhaler. Ada anggapan bahwa penggunaan alat semprot pada penderita Asma pada saat bulan Ramadhan tidak membatalkan puasa, karena dalam memasukkan alat semprot atau hisapnya kedalam mulut tidak bisa disamakan dengan makan ataupun minum, karena tidak melewati perut. Apabila penderita Asma memaksakan diri dalam menjalankan ibadah puasanya dan tidak menggunakan alat semprot atau hisap ketika kambuh penyakitnya, maka akan mengancam jiwa penderita Asma.
9
Berdasarkan uraian yang penulis sampaikan diatas perlu adanya penelitian lebih lanjut, karena dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih merupakan faktor pendorong bagi timbulnya peristiwa baru yang pasti ada hukumnya, terutama pada penggunaan Inhaler (alat semprot atau hisap) bagi penderita penyakit Asma. Apakah sama hukumya memasukkan Inhaler kedalam mulut sama dengan makan dan minum pada saat menjalankan ibadah puasa. B. Penegasan Judul Untuk menghindari kesalahan penafsiran tentang skripsi ini maka penulis menguraikan masing-masing istilah yang penulis pakai dalam skripsi ini: Hukum
: Patokan (kaidah, ketentuan mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu.17
Puasa
: Menahan makan dan minum dengan sengaja mulai fajar sodiq sampai maghrib. 18
Asma
: Penyakit sesak nafas. 19
Inhaler
: Alat hirup yang digunakan untuk menghantar obat ke saluran pernafasan atau paru-paru.20
17
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 167. Soeharso dkk, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Semarang: Grand Media Pustaka, 2007), hlm. 398. 19 Ibid., hlm.50. 18
10
Semprot
: Alat semacam pompa untuk menyemburkan air. 21
Hisap
: Hirup, menarik nafas dalam-dalam. 22
Komparasi
: Perbandingan.
Imam Abu Hanifah
: Nama beliau adalah Abu Hanifah An- Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau lahir di Kuffah pada tahun 150 H/699 M.. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya dan beliau wafat pada tahun 150 H/767 M.23
Imam Syafi‟i
: Nama beliau adalah Muhammad bin Idris AsySyafi‟i Al-Quraisyi. Beliau lahir di Ghazzah pada tahun 150 H dan meninggalkan makkah untuk mempelajari ilmu fiqh pada usia 20 tahun. Sepeninggalnya Imam Malik, Imam Syafi‟i pergi ke Yaman dan kemudian berlanjut ke Mesir sampai akhir hidupnya. 24
20
Iwan Hadibroto dkk, Asma, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 87. Soeharso dkk, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Semarang: Grand Media Pustaka, 2007), hlm. 398. 22 Ibid, hlm. 219. 23 Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. xxv. 24 Ibid. hlm. xxix. 21
11
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka kami sangat tertarik untuk membahas persoalan di atas dengan fokus permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana hukum puasa bagi penderita Asma yang menggunakan Inhaler (alat semprot atau hisap) pada saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan?
2.
Bagaimana pendapat dan apa argumentasi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i terhadap penggunaan Inhaler pada saat menjalankan ibadah puasa bagi penderita Asma?
D.Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin di capai dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Fungsional a. Untuk mengetahui apakah batal atau tidak puasa bagi penderita Asma yang menggunakan Inhaler (alat semprot atau hisap) pada saat menjalankan ibadah puasa. b. Untuk mengetahui pendapat dan argumentasi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i tentang penggunaan Inhaler pada saat menjalankan ibadah puasa bagi penderita Asma. 2. Manfaat penelitian: a. Manfaat teoritis
12
Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu tentang puasa yang termasuk dalam rukun Islam yang ketiga, yang sangat penting terhadap ibadah dan kehidupan. b. Manfaat praktis 1. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang dinamis serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. 2. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti. 3. Untuk mengetahui pendapat – pendapat para Imam Madzhab tentang puasa terutama hal-hal yang membatalkan puasa kaitannya dengan masuknya suatu benda kedalam bagian salah satu lubang, yaitu mulut. E. Kajian Pustaka Dalam skripsi ini penulis menggunakan buku maupun kitab terjemahan sebagai acuan dalam mencari jawaban atas masalah yang ada, adapun acuan-acuannya adalah sebagai berikut: Buku terjemahan Fiqh Al Islam Waadillatuhu jilid 3 karangan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani diterangkan juga tentang hal-hal yang membatalkan puasa dan yang tidak membatalkan puasa. Dalam buku Fiqih Sehari-hari karangan Saleh Al-Fauzan diterangkan tentang hal-hal apa saja yang membatalkan puasa.
13
Dalam buku Fiqih islam karangan Sulaimam Rasjid dan juga terjemahan Fathul mu’in jilid 2 penerjemah Aliy As‟ad diterangkan juga tentang pengertian puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Dalam Tafsir Al- Mishbah karangan Quraish Shihab dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an karangan Sayyid Quthb dijelaskan tentang tafsir ayat – ayat Al- Qur‟an yang berhubungan dengan puasa dan juga orang yang diperbolehkan berbuka saat puasa ramadhan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menjadikan skripsi terdahulu sebagai kajian, yaitu skripsi Chairul Hana Rosita tahun 2009 yang berjudul “Puasa dan pengendalian diri perspektif kesehatan mental” disitu diterangkan bahwa manusia dituntut untuk dapat mengendalikan diri dari tindakantindakan yang merugikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Karena orang yang tidak dapat mengendalikan diri akan memiliki akhlak yang buruk dan jiwa yang sakit yang selalu menuruti hawa nafsu. Skripsi Ibn Azar tahun 2012 yang berjudul “Puasa sehat fisik dan psikis ( studi kritis terhadap buku rahasia puasa bagi kesehatan fisik dan psikis karya Imam Musbikin)”, disitu diterangkan bahwa puasa tidak hanya bisa dilihat dari sudut pandang ibadah saja tetapi lebih jauh juga menarik untuk ditelaah dari sudut pandang kesehatan. Skripsi Anisatin Nadliroh tahun 2014 yang berjudul “Tinjauan Hukum Terhadap Puasa Sopir Bus Menurut Hukum Islam” diterangkan bahwa dalam perjalanan lebih utama berpuasa bila memang tidak terjadi madlarat,
14
sedangkan bila memang telah yakin akan terjadi madlarat maka berbuka atau tidak berpuasa itu lebih utama. Sedangkan skripsi yang penulis tulis lebih menitik beratkan pada halhal yang membatalkan puasa lebih khususnya yaitu memasukkan Inhaler (alat semprot atau hisap) bagi penderita Asma pada saat menjalankan ibadah puasa dengan sengaja dan apakah sama memasukkan Inhaler kedalam mulut sama dengan makan dan minum. F. Metodologi Penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian terhadap skripsi ini adalah kepustakaan (library research) artinya penelitian ini dilakukan dengan melakukan kajian terhadap pustaka dan dengan mengumpulkan data secukupnya yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dan kemudian diteliti secara akurat dan sistematis, untuk mendapatkan suatu jawaban
atas
masalah yang dibahas. 2. Metode penelitian. Metode yang dipakai dalam skripsi ini ialah metode penelitian kualitatitif,
yaitu metode penelitian yang berdasar pada filsafat
postpositisme, digunakan untuk meneliti dalam kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya ialah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekan makna dari pada generalisasi.
15
3. Sifat penelitian skripsi ini adalah deskriptif, analisis deskriptif adalah metode penyajian data secara sistematis sehingga dapat dengan mudah di pahami dan di simpulkan. 4. Sumber pengumpulan data a. Sumber primer ialah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, yaitu dari Al-Qur‟an, Hadits, buku, kitab fikih klasik ataupun kontemporer, kitab- kitab terjemahan, dan juga dokumen – dokumen yang berhubungan dengan masalah yang dikaji. b. Sumber sekunder ialah sumber yang tidak langsung memberikan data pada pengumpul data, yaitu hasil dari wawancara dan juga observasi. 5. Teknik pengumpul data a. Dengan mencari data-data dari buku-buku maupun kitab terjemahan serta dokumen yang mendukung penelitian ini, b. wawancara sebagai penunjang data penelitian dari beberapa pihak yang bersangkutan untuk mendapatkan data dan menganalisa masalah yang sebenarnya. c. Observasi (observasi tak berstruktur), yaitu dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan tak berstruktur, observasi akan berkembang selama kegiatan observasi berlangsung 25. F. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran menyeluruh dan memudahkan dalam memahami skripsi ini maka dibuat sistematika sebagai berikut: 25
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung, Alfabeta, 2012), hlm. 225 - 233
16
1. Bagian muka, terdiri dari: Halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi. Bagian isi terdiri dari beberapa bab: BAB I: Pendahuluan, yang terdiri dari: A. Latar belakang masalah B. Penegasan judul C. Rumusan masalah D. Tujuan penelitian E. Metodologi penelitian F. Kajian pustaka G. Sistematika penulisan skripsi BAB II: Landasan Teori, yang terdiri dari: A. Pengertian puasa B. Syarat dan rukun puasa C. Tata cara berpuasa D. Kesunahan – kesunahan puasa E. Hal – hal yang membatalkan puasa F. Hikmah dan tujuan puasa BAB III: Objek Kajian, yang terdiri dari: A. Sekilas biografi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i.
17
B. Pemikiran, dasar hukum Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i dalam hukum puasa bagi penderita Asma yang menggunakan Inhaler pada saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. C. Penjelasan tentang penyakit Asma dan cara kerja Inhaler (alat semprot atau hisap) pada Asma. D. Keterangan dari narasumber kesehatan tentang penyakit Asma. BAB IV: Hasil penelitian dan pembahasan A. Analisis tentang pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i tentang hal-hal yang membatalkan puasa terutama dalam hal memasukkan Inhaler bagi penderita Asma. B. Penarikan kesimpulan data-data yang didapat dari lapangan. BAB V: Penutup, yang terdiri dari: A. Kesimpulan B. Saran 2. Bagian kedua terdiri dari: Daftar pustaka, biodata, lampiran – lampiran.
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut al-shaum yang berarti menahan (imsak). Termasuk kedalam pengertian ini menahan berbicara dengan orang lain seperti disebut dalam Al-Qur’an:
ِ فَ ُق ِوِل إِ يِّن نَ َذر....... )٢٦:ص ْوًما فَلَ ْن أُ َكلي َم الْيَ ْوَم إِنْ ِسيِّا (املرمي ُْ َ ت ل َّلر ْْحَ ِن
Artinya:
“Maka katakanlah (Hai Maryam) sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini."(QS. Maryam: 26). Kuda yang diam dan tidak bergerak disebut shaim, demikian juga angin yang tenang disebut al-shaum. Dari sini dipahami bahwa dalam puasa terkandung arti ketenangan. 1 Sedangkan arti shaum menurut istilah syari’at adalah menahan diri pada siang hari dari hal-hal yang membatalkan puasa, disertai niat oleh pelakunya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Artinya, puasa adalah penahanan diri dari syahwat perut dan syahwat kemaluan, serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan sejenisnya), dalam rentang waktu tertentu yaitu sejak terbitnya fajar kedua (yakni fajar shadiq) sampai terbenamnya matahari yang dilakukan oleh orang tertentu yang memenuhi syarat yaitu beragama Islam, berakal, dan tidak sedang haidl dan nifas, disertai niat yaitu kehendak hati untuk melakukan 1
Rahman Ritonga, dkk, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 151.
18
19
perbuatan secara pasti tanpa ada kebimbangan, agar ibadah berbeda dari kebiasaan. 2 Dalam penggunaan istilah puasa, selanjutnya tidak boleh diartikan secara harfiah yaitu menahan diri. Tapi sudah menjadi istilah agama, yaitu sebagaimana disebut diatas. Sama seperti halnya shalat yang arti harfiahnya adalah do’a, tidak lagi diartikan do’a tapi suatu ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan taslim (salam). 3 Puasa harus dilakukan dengan niat; yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu.4 Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan:
ِ َّ ِصيام َكما ُكت ِيا أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا ُكت ين ِم ْن قَْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم ال م ك ي ل ع ب ُ ي َ َ ْ ُ َ َ َ َ َ َ ب َعلَى الذ َ َ َ ُ ) ۱٨۳ :َّقو َو (البقرة ُ َت Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”(QS. Al-Baqarah: 183). Ayat puasa dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman walau seberat apapun. Ia dimulai dengan satu pengantar yang mengundang setiap mukmin untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajakan itu. Ia dimulai dengan panggilan mesra, wahai orang-orang yang beriman.
2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Trjmh, Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 19. 3 Miftah Faridl, Puasa Ibadah Kaya Makna, (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm. 13-14. 4 Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan I‟tikaf: Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 85.
20
Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan kewajiban puasa tanpa menunjuk siapa yang mewajibkannya, Diwajibkan atas kamu. Redaksi ini menunjuk siapa yang mewajibkan. Agaknya untuk mengisyaratkan bahwa apa yang akan diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang
bahkan
kelompok,
sehingga
seandainya
bukan
Allah
yang
mewajibkannya atas dirinya sendiri. Yang diwajibkan adalah ash-shiyam, yakni menahan diri. Menahan diri dibutuhkan oleh setiap orang, kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit, orang modern yang hidup masa kini, maupun manusia primitif yang hidup di masa lalu. Bahkan perorangan atau kelompok.5 B. Syarat dan Rukun Puasa Dalam persoalan syarat puasa ada dua hal yang harus dibicarakan yaitu: syarat wajib puasa dan syarat sah puasa. 6 1. Syarat Wajib Puasa Para Ahli fiqh telah menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia wajib melaksanakan puasa Ramadhan sebagai berikut: a. Beragama Islam
5
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 401. 6 Rahman Ritonga, dkk, Op. Cit., hlm. 157.
21
Dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an yang memerintahkan berpuasa kepada orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183:
ِ َّ ِ َّ ِ ِ ين ِم ْن قَْبلِ ُك ْم ب َعلَْي ُك ُم ال ي َ ب َعلَى الذ َ يَا أَيُّ َها الذ َ صيَ ُام َك َما ُكت َ ين َآمنُوا ُكت )۱٨۳ :َّقو َو(البقرة ُ لَ َعلَّ ُك ْم َت Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”(Al-Baqarah: 183). Berdasarkan ayat itu orang-orang kafir tidak dituntut untuk melakukan puasa Ramadhan seperti yang dituntut kepada orang Islam.
b. Baligh dan berakal
Dalam hal ini baligh mengandung arti bahwa anak kecil tidak diwajibkan puasa. Sedangkan berakal mengandung arti bahwa orang gila tidak diwajibkan berpuasa. 7
c. Kuat berpuasa (al-qadir) dan sedang menetap di daerah tempat tinggalnya (muqim). Persyaratan kuat berpuasa mengandung arti bahwa orang yang sakit yang mengakibatkan tidak kuat melaksanakan puasa tidak dituntut untuk berpuasa. 2. Syarat Sah Puasa a. Niat 7
Ibid., hlm. 158.
22
b. Bersih dari haidl dan nifas c. Terhindar dari segala yang merusak puasa Para fuqaha dari kalangan Syafi’iyah menetapkan empat macam yang menjadi syarat, yaitu: a. Islam b. Berakal c. Suci dari haidl dan nifas d. Niat (menurut sebagian Syafi’iyah). Sedangkan fuqaha dari kalangan Hanabilah menetapkan tiga macam, yaitu: a. Islam b. Niat c. Bersih dari haidl dan nifas. 3. Rukun Puasa Rukun puasa adalah menahan diri dari dua macam syahwat; yaitu syahwat perut dan syahwat kemaluan. Maksudnya, menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya. Adapun rukun puasa adalah sebagai berikut: a. Niat Mengikhlaskan ibadah kepada Allah, menghendaki niat. Dan mengingat sabda Nabi Muhammad SAW.:
23
ِ بلني يَّا ِإََِّا ْااَ ْعم ُاا ا .رواه البخا ري. ت َواََِّّنَا لِ ُك يل ْام ِر ٍئ َمانَ َوى َ Artinya: “Hanya saja segala amalan itu menurut niat dan hanya setiap manusia memperoleh apa yang diniatkan.” (H.R. Bukhari).8 Hadits ini menjelaskan, bahwa Syara’ tidak menghargai sesuatu amal, melainkan dengan adanya niat, baik niat itu dipandang syarat sah amal, ataupun dipandang syarat kesempurnaan amal. Kebanyakan Ulama berpendapat, bahwa niat itu wajib hukumnya terhadap segala amal yang dihargai Syara’. Tempatnya ialah di dalam hati. Orang yang berpuasa diwajibkan berniat pada tiap-tiap malam sebelum terbit fajar yang kedua, sebagaimana mereka diwajibkan menjauhi
perbuatan-perbuatan
yang
merusakkan
puasa,
atau
membatalkan dan tidak sah puasa fardlu melainkan dengan berniat pada malam hari, karena puasa fardlu itu ibadah mahdah, berhajat kepada niat seperti halnya dengan shalat. Diriwayatkan oleh Abu Daud At-Turmudzi dan An-Nasa’i dari Hafsah bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
.ُصيَ َام قَْب َل الْ َ ْ ِرفَ َ ِصيَ َام لَو ب ِ ال ي َيي ُ َْ َم ْو
Artinya: “Barang siapa tidak berniat akan berpuasa sebelum fajar, tidak ada puasa baginya”. Barang siapa lupa berniat pada malamnya, tapi bukan sengaja meninggalkan niat itu, mereka hendaklah berniat ketika teringat,
8
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 79.
24
walaupun telah siang. 9 Berniat itu dapat dilakukan pada siang hari sebelum makan dan minum, baik sebelum tergelincir matahari, atau sesudahnya. Demikian pendapat Ibn Mas’ud dan Ahmad, mengingat kata Aisyah:
ٍ ات َّ ِ َّ َ .ئ ُْااَو ٌش َ يوم َ َاا َ ْا ِعْوَد ُ ْم َْ َ صلى ااُ َعلَْيو َو َ ل َم َذ .صااِ ٌم َ
َِّ َد َخ َا ُّ الن إَِي: َ َاا. َ
Artinya: “Nabi masuk ketempatku pada suatu hari, lalu bertanya: “Apa ada makanan padamu?”Aku menjawab: Tidak. Nabi SAW. berkata: “Kalau begitu aku berpuasa”. (H.R. Muslim dan Abu Daud). b. Menahan diri dari makan dan minum serta bersetubuh dan sengaja muntah. Diwajibkan kita menahan diri dari terbit fajar hingga terbenam matahari mengingat firman Allah:
اْلَْي ِط ْااَ ْ َوِد ِم َن ْ ض ِم َن ْ َّي لَ ُك ُم ُ اْلَْي َ َّ َ َوُكلُوا َوا ْشَربُوا َح ََّّت يَتَب.... ُ َط ْااَبْي ِ وى َّن َوأَنْتُ ْم َعاكِ ُو َو ِِف الْ َ ْ ِر ُُثَّ أَِِتُّوا ال ي ُ صيَ َام إِ ََل اللَّْي ِل َوَ ُبَاش ُر ِ الْمس )۱٨٧:(البقرة...ِ اا ََ Artinya: “....Dan maka serta minumlah kamu hingga terlihat benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari; dan janganlah kamu menyetubuhi mereka (istri-istrimu) sedang kamu lagi beriktikaf dalam Masjid...” (Q.S. Al-Baqarah: 187).
9
Ibid., hlm. 80.
25
C. Tata Cara Berpuasa Sebelum terbit fajar seseorang yang hendaknya melaksanakan puasa besoknya, dianjurkan makan sahur. Tujuannya adalah menambah kekuatan jasmani untuk menahan rasa lapar dan haus pada siang harinya. Nabi Muhammad SAW. bersabda:
ِ ضي اا عْو أَ َّو رسو ُا ااِ صَّاى اا عَا س َّح ُرْوا إَِ َّو ت و ي َ ََ سَّاَم َ َاا ُْ َ ُ َ ُ َ ِ عْو أَ َو ٍس َر َ َ َْ ُ َ .رواه البخارى ومسلم. ٌبة الل ُح ْوَر ََر َّ Artinya:
Dari Anas ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: ”Makan sahurlah kamu karena sesungguhnya sahur itu berkah.” (HR. AlBukhari dan Muslim). Adapun berkah yang diperoleh dari makan sahur adalah kekuatan jasmani menahan lapar dan dahaga sehingga dapat bekerja yang produktif sebagaimana biasa. Waktu makan sahur yang disyariatkan dapat dilaksanakan sejak tengah malam sampai terbit fajar. Akan tetapi menta’khirkan makan sahur sampai akhir malam lebih baik. Selain makan sahur, pada malam harinya diperintahkan agar berniat melaksanakan puasa besok harinya. Niat dapat dilaksanakan sejak berbuka puasa sampai terbit fajar. Artinya bila seseorang berniat pada waktu kapan pun di waktu yang disebutkan itu dapat dipandang sah. Setelah terbit fajar, ia harus mulai menahan dari segala yang membatalkan puasanya sampai terbenam matahari. Kemudian setelah terbenam ia dianjurkan segera melakukan berbuka puasa.
26
Untuk berbuka puasa dianjurkan dengan buah kurma, jika tidak diperoleh bisa dengan buah tamar, dan jika tidak juga diperoleh boleh dengan air. Nabi SAW. bersabda:
ِ ل ب ِن ما لِ ِ النَِّ صَّاى اا ٍ ب أَ ْو يصَّاى عَاى ر َط َّ ي و اب إََِّو ُْ ي َ ُ َ ي َ ُ طُر َ َْا َ ْ ِ ََع ْن أَن ُ َ ساَم َ َ ْ عَا ٍ ت ْو حسوا ِ ٍ . رواه الرتمذى. ت ِم ْو َم ٍاا َُ َْ ََ َ َُ َْ ت ْو َعَاى ََرا ت إَْو Artinya: Dari Anas ra. Berkata: “Nabi berbuka puasa sebelum shalat dengan buah anggur yang manis, jika tidak ada, dengan buah tamar, dan jika tidak ada, dengan meminum seteguk air.” (HR. Al-Turmuzi).
Ketika berbuka puasa dianjurkan membaca doa yang selalu dibacakan oleh Nabi SAW. ketika berbuka yaitu:
ِ ت ااَ ْجُر َ ب اللُّ َما اَ َوإِيْتَ لَ ِ الْ ُع ُرْو ِ َو َب ُ ص ْم ُ َو َعلَى ِرْزق َ أَفْ َْر ُ َ َللُى َّم ل َث َ ت ذَ َى ّ َا . عَاَل َت َ ُشااَ اا َ إِ ْو Artinya: “Ya Allah, karena Engkau aku berpuasa dan dengan rezeki Engkau aku berbuka, dahaga telah hilang dan urat-urat telah dialiri oleh air dan semoga pahalanya di tetapkan Allah SWT.”
Salah satu tujuan puasa adalah mendidik jiwa untuk mencintai kebaikan dan menyucikannya dari dosa-dosa yang telah dilakukan, maka selama berpuasa seseorang harus benar-benar memelihara puasanya dari segala yang merusak nilai-nilainya. Oleh karena itu ia harus menjaga lidah dari dusta dan perkataan-perkataan yang tidak baik. Selain dilarang mengerjakan hal-hal yang membawa batalya nilai puasa, dianjurkan beberapa hal yang memperbanyak nilai puasanya, antara lain adalah memperbanyak membaca Al-Qur’an, zikir, dan doa sebagaimana Nabi SAW. melakukan hal itu setiap malam di bulan Ramadhan.
27
Memperbanyak taubat kepada Allah, mengikuti shalat tarawih dan witir serta shalat-shalat sunat lainnya. Memperbanyak sedekah, infak, dan kegiatankegiatan sosial lainnya. D. Kesunahan-kesunahan Berpuasa Puasa menjadi sempurna apabila seseorang yang berpuasa melakukan hal-hal yang disunahkan di dalam puasanya. Perbuatan ini jika dilakukan akan menambah pahala puasa seseorang. Diantaranya adalah: 1. Makan Sahur Puasa dalam Islam memang berusaha menahan makan dan minum dalam sehari agar dapat mengendalikan diri dan merasakan bagaimana rasanya lapar. Tapi tidak secara berlebihan hingga seseorang bisa kelaparan atau tidak kuat. Oleh karena itu, Islam menganjurkan agar memulai puasa dengan bersahur agar kuat sampai maghrib. 10 Makan sahur walaupun
sedikit,
meski
hanya
seteguk
air,
dan
disunnahkan
menangguhkan sahur ini sampai akhir malam. Fungsi sahur adalah untuk menguatkan tubuh dalam menjalani puasa. 11 Fungsi lain sahur adalah untuk meningkatkan kelapangan hati dalam beribadah dan juga untuk membantu menghilangkan kemarahan dan tabiat buruk yang biasa timbul karena lapar.12
ِ َ َاا رسو ُا ااِ صَّاى اا: ضي اا عْو َ َاا س َّح ُرْوا إََِّو ِِف َ ُ َ َ َ : سَّاَم ُ َ ُ َ ِ عْو أَ َو ٍس َر ُْ َ َت َ عَا ْي َو )بًَة(رواه البخارى َّ َالل ُح ْوِر ر 10
Miftah Faridl, Op. Cit., hlm. 60. Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit., hlm. 79. 12 Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, Puasa Ramadhan dan I‟tikaf, (Yogyakarta: Citra Media, 2007), hlm. 48. 11
28
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas r.a, ia berkata: Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Lakukanlah/ makanlah sahur, karena di dalam sahur itu ada keberkahan.”(HR. Bukhari).13 2. Mengakhirkan Makan Sahur Makan sahur disunahkan. Tapi, mengakhirkan makan sahur lebih disunahkan lagi. Jadi, seseorang yang mengakhirkan makan sahur mendapat dua pahala, yaitu sahur itu sendiri dan mengakhirkannya. Mengakhirkan makan sahur merupakan sebuah anjuran yang sangat bermanfaat bagi mereka yang berpuasa, karena akan memperlama daya tahan tubuh dan hilangnya makanan dibanding mereka yang sahur jauhjauh waktu sebelumnya. 14 Sabda Rasulullah SAW:
ِ ِ تُاا اَُّم ِى بِ َ يْ ٍر َما َ َز: سَّاَم َ ُصَّاى اا َ َ سْو ُا اا َ عَا ْي َو ُ عْو اَِ ذَ ٍّرر َ َاا َر رواه اْح.ااا ِ ْطَر ْ ع َّج ُاو َّ اَ َّخُرو َ االل ُح ْوَر َو Artinya: “Dari Abu Zarr, “Rasulullah SAW. telah berkata, „Senantiasa umatku dalam kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka.” (Riwayat Ahmad). 3. Menyegerakan Berbuka Allah SWT. Maha segalanya dan tahu tentang sifat hamba-hambaNya. Seperti yang kita ketahui ketika menjelang berbuka kaum Muslimin sudah bersiap-siap untuk berbuka dengan menyediakan berbagai makanan
13
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, trjmh, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 328. 14 Ibid., hlm. 61-62.
29
dan hidangan. Maka, Allah menganjurkan untuk menyegerakan berbuka. Allah tidak suka dengan orang yang sok kuat dan tidak mau segera berbuka dengan alasan masih kuat. Justru lebih kebaikan dan keberkahan Allah dari segeranya berbuka puasa. Sabda Rasulullah SAW.:
ِ ب سعٍد َ َاا رسو ُا ااِ صَّاى اا عَا َّي وس اس بِ َيْ ٍر َما الن اا ي ز : م ا ُ َ َّ ْ َ سْ ِا ِْو َ َ َ ُْ َ َ ُ َ َْ ُ َ َ عْو . رواه البخا رى ومسلم.ع َّج ُاوا ْاا ِ ْطَر َ Artinya: “Dari Sahl bin Sa‟ad, “Rasulullah SAW. berkata, „Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa”. (Riwayat Bukhari dan Muslim) 4. Berbuka dengan kurma dan air Rasulullah SAW. menganjurkan kita berbuka dengan kurma dan seteguk air. Hal ini untuk menetralisir kondisi perut yang seharian kosong. Rasulullah SAW. melakukan hal ini bersama para sahabat ketika puasa, serta menganjurkan kita untuk mengikutinya. Rasulullah SAW. berbuka sebelum shalat maghrib dengan sedikit makanan. Sesudah shalat maghrib, barulah beliau menyempurnakan makannya. 15 Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dari Anas Ibn Malik katanya:
ِ ما رأَيت رسو ُا ااِ صَّاى اا ِ ي وسَّام َ ُّط صلَّى ص َ ةَ الْم ْغ ِر ب َح ََّّت يُ ْ ِ ُر َ ُ َ َ َ َ َ َ ْ عَا ُْ َ ُ ْ َ َ َ .َولَْو َعلَى ُش ْربَِة َم ٍاا Artinya:
15
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 111.
30
“Tiada pernah sekali juga aku lihat Rasulullah SAW. bershalat maghrib lebih dahulu sebelum berbuka, walaupun berbukanya dengan seteguk air saja. Adapun makanan utama untuk berbuka puasa ialah makanan yang mengandung zat yang manis, yang menyegarkan badan dan menambah kesehatan dan tidak dimasak dengan api, seperti kurma, pisang, limau, sawo dan sebagainya, mengingat hadits yang diriwayatkan Abu Ya’la dari Anas ujarnya:
ٍ ِ ََ ب أَ ْو ي ِْطر عَاى ِ ٍ ات أَو ُّ ِ ُصلَّى ااُ َعلَْي ِو َو َ لَّ َم ي َ َ ُ َْ شئ َ ْ ثث َََر َ سْو ُا اا ُ َ ا َو َر ُِ . النُار َّ ب ُْ تس Artinya: “Adalah Rasulullah SAW. suka berbuka puasa dengan tiga biji kurma, atau sesuatu yang tidak dimasak dengan api.” Dari hadits diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa sangat dianjurkan berbuka dengan makanan yang manis-manis dan yang tidak terkena api baik kurma ataupun selainnya, yang disukai bukanlah zat kurma, tetapi makanan-makanan yang manis yang menyegarkan badan dan menambah kesehatan. 5. Berdo’a ketika berbuka Meskipun lapar dan dahaga melilit kita ketika sore hari menjelang berbuka, kita tetap diharapkan untuk dapat mengendalikan diri. Begitu adzan maghrib berkumandang, kita telah diperbolehkan untuk berbuka dan menyantap apa saja kesukaan kita. Namun demikian, jangan lupa berdoa, mengucapkan rasa syukur atas kenikmatan yang Allah berikan kepada kita.
31
6. Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang puasa. Sabda Rasulullah SAW.:
رواه.
ِ َّ من اَفْ َر صااِما فَلَو اَار صا اِ ٍم و َي ْن ُق ِمن اَا ِر ْ ْ ُ َ َ َ ُْ ُ ً َ َ ْ َ ٌالصا ا ُم َش ْ ا .الرتمذى Artinya: “Barang siapa memberi makanan untuk berbuka bagi orang yang puasa maka ia mendapat ganjaran sebanyak ganjaran orang yang puasa itu, tidak kurang sedikitpun”. (HR. Tirmidzi). Hal ini dapat dilakukan walaupun dengan sebiji kurma, seteguk air,
atau yang lainnya. Sudah tentu yang lebih sempurna adalah memberi makanan yang mengenyangkan. 7. Melakukan I’tikaf terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal itu dianjurkan karena Itikaf merupakan ibadah yang lebih menjaga diri dari hal-hal yang dilarang dan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan. Dengan beritikaf, seseorang bisa berharap untuk menemukan Lailatul – Qadar. Sebab Lailatul-Qadar sering terjadi pada waktu tersebut. 8. Menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan, membaca dan mengaji AlQur’an, serta memperbanyak zikir dan membaca shalawat kepada Nabi SAW. yang dilakukan pada setiap saat yang tidak memberatkan, baik pada malam hari maupun siang hari. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
ِ الن صَّاى ااا ٍِ ِ َ سَّاَم ِ ُك يل لَْي لَة م ْن َرَم َ ُ ُفَيُ َ ا ِر ُ و،ضا َو َ َّ َِّ ياَى َْ َ ا َو ِجبْر ُْيا َ عَا ْي َو .ْااُْراۤا َو Artinya: “Jibril menemui Nabi SAW. pada setiap malam bulan Ramadhan, Dia mengajak beliau untuk mengaji Al-Qur‟an.
32
9. Berlapang dada terhadap keluarga, berbuat baik kepada kerabat, dan memperbanyak sedekah kepada fakir miskin. Hal ini berdasarkan hadits:
ِ صلَّى ااُ َعلَْي ِو َو َ لَّ َم َكا َو اَ ْا َوَد الن ض َو اْلَِْ َوَكا َو اَ ْا َوَد َمايَ ُك ْو ُو ِ َرَم َا ْ َِّاس ب َ ُاَنَّو .ياَاهُ ِجبْ ِر ُْيا َْ ِحيْ َن Artinya: “Rasulullah SAW. adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan. Kedermawanan itu lebih (tampak) lagi dalam bulan Ramadhan ketika ditemui oleh Jibril.” Hikmahnya, dapat menentramkan hati orang-orang yang berpuasa dan beribadah, dengan cara mencukupi keperluan-keperluan mereka. E. Hal-hal yang Membatalkan Puasa Ahli fiqh membagi hal-hal yang membatalkan puasa kepada dua bentuk yaitu: sesuatu yang membatalkan dan wajib meng-qadha dan sesuatu yang membatalkan dan wajib meng-qadha dan kaffarat. Hal-hal yang membatalkan puasa dan wajib meng-qadha adalah sebagai berikut: 1. Makan dan Minum dengan sengaja Seseorang yang dengan sengaja makan dan minum pada siang hari Ramadhan, puasanya dinyatakan batal. Ini berdasarkan kesepakatan para ahli fiqh berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
َّاْلَْي ِط ْااَ ْ َوِد ِم َن الْ َ ْ ِر ُُث ْ ض ِم َن ْ َّي لَ ُك ُم ُ اْلَْي َ َّ َ َوُكلُوا َوا ْشَربُوا َح ََّّت يَتَب... ُ َط ْااَبْي )١٨٧ :(البقرة...أَِِتُّوا ال يَ َام إِ ََل اللَّْي ِل Artinya:
33
“...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam...(QS. Al-Baqarah: 187). Ayat ini menerangkan kebolehan makan dan minum itu hanya sejak terbenam matahari sampai terbit fajar. setelah itu tidak lagi dibolehkan
makan
dan
minum
karena
seseorang
sudah
wajib
menyempurnakan puasanya sampai terbenam matahari. Orang yang sengaja membatalkan puasanya dengan makan dan minum bukan karena udzur, disamping ia berdosa tidak melaksanakan kewajiban berpuasa, diwajibkan meng-qadha atau menggantinya di hari-hari lain. Namun, jika seseorang sengaja membatalkan puasanya dengan makan dan minum disebabkan adanya udzur seperti sedang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, maka ia tidak dihukum berdosa, namun tetap diwajibkan meng-qadha pada hari-hari lain. Orang yang sedang berpuasa, kemudian ia makan dan minum karena lupa, menurut kesepakatan ulama puasanya tidak batal, berdasarkan hadits:
ِ الن صَّاى اا ِ رر َّ ي و ئ أََ َ َا ص ٌِم ي َو ُ َو َا َ ُ َ يَة أَو َِّ ي َْ َ ُ َ َم ْو َو ِس: ساَم َ َاا َ َ ْ عَا ِ َْا رواه البخارى ومسلم. ُس َاه َ صوَم ُ إَِ ََّا أَ ْطَم َْ يُّمت ُ َ عُ ااُ َو
َِعْو أ َ ب َ أَْو َ شِر
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Nabi SAW. bersabda: “Orang yang lupa bahwa dia sedang dalam berpuasa, lalu dia makan dan minum maka hendaklah dia menyempurnakan
34
puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim).16 Termasuk ke dalam kategori makan dan minum memasukkan sesuatu benda ke dalam rongga seperti rongga mulut, hidung dan telinga. 2. Muntah dengan sengaja Seseorang yang dalam keadaan puasa kemudian dengan sengaja memuntahkan sesuatu dari perutnya maka puasanya batal. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW. berikut:
ِ رسو ُا ااِ صَّاى اا ئ ُ َعُ ْاا َ سَّاَم َم ْو ذَ َر َ ُ َ ُْ َ َ عَا ْي َو ِ ْي ب َد ُاوَد َوال ْيرِم ِذ ى َرَواهُ أَ ْح َُمد َوأَ ُْوا.ض َ َ عْم ًد َْا
َع ْن أَِ ُىَريْ َرةَ َر ِ َ ااُ َعْنوُ قَ َاا ِ َايس ِ َ اس َ َْ َ َعَا ْي ْاا ُتاه ْ ضااُ َوَمو َِّ اب ِح . باو اج ُ َو ِْو َو ِْو َ اب َم
Artinya: Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang muntah dengan tidak sengaja tidak wajib meng-qadha puasanya. Dan siapa yang sengaja muntah maka hendaklah ia meng-qadha puasanya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmuzi, Ibn Majah dan Ibn Hibban). 3. Keluar darah Haidl dan Nifas Para Ulama sepakat menetapkan batalnya puasa seseorang apabila darah haidl dan nifas keluar, karena suci dari darah haidl dan nifas telah disepakati sebagai salah satu syarat sah puasa.
ِ َّ عْو عا ِئشةَ ُ اَّو ن ؤمر بِقض ِاا . َرَواهُ الْبُ َخا ِر ْي.ِالص َ ة َّ ض ِاا َ الص ْوم َوَ نُ ْؤَم ُر بَِق َ َ ُ َ ُْ َ َ َ Artinya: Dari Aisyah. Ia berkata, “Kami disuruh oleh Rasulullah SAW. meng-qadha puasa, dan tidak disuruhnya untuk meng-qadha shalat.” (HR. Bukhari).
16
Rahman Ritonga, dkk, Op. Cit., hlm. 161-162.
35
4. Gila. Salah satu syarat puasa adalah berakal. Jika seseorang yang sedang berpuasa lalu penyakit gilanya muncul, maka puasanya menjadi batal karena persyaratan berakal tidak terpenuhi. 5. Keluar mani dengan sengaja (karena bersentuhan dengan perempuan atau lainnya). Karena keluar mani itu adalah puncak yang dituju orang pada persetubuhan, maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh. Adapun keluar mani karena bermimpi, mengkhayal, dan sebagainya tidak membatalkan puasa. Sedangkan yang termasuk hal-hal yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha dan kaffarat menurut jumhur fuqaha hanyalah melakukan hubungan seksual di siang hari Ramadhan. Hubungan seksual yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha dan kaffarat adalah: a. Yang dilakukan dengan kehendak sendiri dan dia mengetahui bahwa hal itu dilarang. b. Puasa itu dibatalkan langsung dengan hubungan seksual. Seseorang yang telah batal puasanya disebabkan oleh hal-hal lain yang membatalkan, kemudian dia melakukan hubungan seksual di siang hari itu tidak diwajibkan membayar kaffarat, karena hubungan seksual tidak secara langsung membatalkan puasanya.17 Hal-hal yang dimakruhkan dalam puasa adalah sebagai berikut:
17
Rahman Ritonga, dkk, Op. Cit., hlm. 163.
36
1. Puasa wishal. Yaitu, tidak berbuka selama dua hari atau lebih. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berikut 18:
ِ واصَا رسو ُا ااِ صَّاى اا ِ َو ى رسو ُا اا، الناس سَّاَم ِ َرَم َا َ ُ َ ُْ َ َ ُ َّ اصَا ُْ َ َ َ َ ض َو َو َ عَا ْي َو ِ ِ ِ ِ ِ صَّاى اا عَاي وسَّام ِ ت ا َّوَ َُو: َ ُااوا، صِاا ا ي، ت َ اَ َح ِد ُ ْم َ ََ َْ َ ُ َ ُس َ عو ْااِو ْ ا ي َا: َ َاا،اصُا ُّ ِ . سِ ِْي ْي َ يْط ِعُم َري َو ُ اَ َظا Artinya: “Rasulullah SAW. melakukan puasa wishal pada bulan Ramadhan. Orang-orang ikut melakukannya. Kemudian Nabi SAW. melarang puasa wishal. Mereka bertanya: ”Engkau melakukan wishal?” Beliau menjawab: “Aku bukan seperti salah seorang diantara kalian. Ada siang hari, aku diberi makan dan minum oleh Tuhanku.”
2. Mencium dan pendahuluan aktivitas persetubuhan yang berupa khayalan atau penglihatan. Karena, hal itu boleh jadi akan menyebabkan keluar mani yang bisa membatalkan puasa. Mencium ini dimakruhkan jika keluarnya air mani telah diketahui bisa dihindari. 3. Mencari kesenangan dengan hal-hal yang mubah. Misalnya, mengenakan minyak wangi pada siang hari, mencium wewangian, dan masuk ke kamar mandi. 4. Mencicipi makanan. Hal ini dimakruhkan karena khawatir akan ada sesuatu yang masuk ke tenggorokan.
Adapun hal-hal yang makruh dilakukan pada puasa Ramadhan menurut Imam Madzhab adalah sebagai berikut: 1. Madzhab Hanafi: a. Mencicipi sesuatu dan menelannya tanpa uzur.
18
Wahbah Al-Zuhayly, Op.Cit. hlm. 201-202.
37
b. Menelan susu yang tidak bercampur gula. c. Mencium, menyentuh, merangkul, dan bertempelan kulit secara berlebihan. d. Mengumpulkan air ludah dalam mulut secara sengaja, kemudian menelannya. e. Perbuatan yang diperkirakan akan melemahkan seseorang. Misalnya, berbekam. 2. Madzhab Syafi’i: a. Berbekam b. Mengeluarkan darah. c. Mencium (jika dikhawatirkan akan menyebabkan keluar air mani, mencium hukumnya haram). d. Mecicipi masakan. e. Menelan makanan yang tidak dicampur dengan gula. f. Mencari kesenangan lewat pendengaran, penglihatan, perabaan, dan penciuman; misalnya mencium wewangian, kemudian meraba dan melihatnya. Tindakan-tindakan itu dimakruhkan, karena merupakan tindakan mencari kesenangan yang tidak sesuai dengan hikmah puasa.
F. Hikmah dan Tujuan Puasa 1. Hikmah Puasa Dalam Islam tidak ada ibadah yang diperintahkan Allah SWT. yang tidak mengandung hikmah maupun tujuan. Puasa merupakan ibadah
38
menahan makan dan minum serta hubungan seksual dan bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Allah SWT. berfirman:
ِ ِ ِ ِ ُّ ِئ نَ ْ ِس إِ َّو النَّ ْ ل َا ََّمارةٌ ب ور ُ َوَما أُبَير ٌ ُ السوا إَّ َما َرح َم َري إ َّو َري َغ َ َ ِ )٥۳ :(يو ف.يم ٌ َرح
Artinya: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. Yusuf: 53). Imam Al-Ghazali mengatakan syahwat adalah alat bagi syaitan untuk membawa manusia kepada kehancuran. Untuk membendung kegiatan syaitan maka syahwat harus ditekan, salah satu cara menekannya adalah puasa. Sebagaimana halnya shalat, hikmah utamanya adalah untuk secara terus-menerus menghidupkan keislaman seseorang, maka hikmah puasa pun demikian. Hanya bentuk dan intensitasnya berbeda. Shalat
mengingatkan manusia akan tugas-tugasnya, dalam setiap jangka waktu yang pendek, lima kali setiap harinya. Sedangkan puasa mengingatkannya dalam jangka waktu yang panjang, sekali dalam setiap tahun selama satu bulan secara terus-menerus. Dengan demikian diharapkan agar puasa dapat menanamkan kesadaran keislaman seseorang secara lebih kokoh dan mendalam, sehingga cukup memiliki daya tahan selama sebelas bulan berikutnya. Adapun hikmah puasa dari segi rohani dapat terjadi:
39
a. Dengan puasa seseorang dapat secara terus-menerus menyegarkan keyakinannya atas kemutlakan kedaulatan Tuhannya, Allah SWT. yang merupakan satu-satunya Penguasa jagat raya. b. Dengan
puasa
seseorang
diharapkan
mampu
mengendalikan
keseimbangan dirinya, dimana ia pada satu sisi harus senantiasa sadar akan kemutlakan kedaulatan Allah SWT. dan disisi lain ia harus pula senantiasa sadar akan kewajiban-kewajiban terhadap-Nya. Adapun hikmah puasa dari segi jasmani adalah sebagai berikut: 1. Puasa dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Puasa dapat berfungsi menjadi perisai dari penyakit-penyakit fisik yang menyerang tubuh manusia, dalam sebuah hadits menyebutkan: .ومسلِ ٍم Artinya:
ِ ال ي.... ْ ُ َ َرَواهُ الْبُ َخارى...ٌصيَ ُام ُانَّة
“...Puasa itu perisai....” (HR. Bukhari-Muslim).19 Bentuk perisai yang tumbuh dari aktifitas puasa menurut para pakar kesehatan ialah bertambahnya sel darah putih dan diblokirnya suplai makanan untuk bakteri, virus, dan sel kanker yang bersarang pada tubuh. Hal ini menjadikan orang-orang berpuasa memiliki daya tahan dan kekebalan tubuh yang meningkat.20 2. Puasa dapat memperbaiki fungsi hormon. 19
Zainuddin Ahmad, Ringkasan Hadits Shahih Bukhari, trjmh. Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), hlm. 421. 20
Ahmad Syarifuddin, Puasa Menuju Sehat Fisik & Psikis, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 115-116.
40
3. Puasa dapat mencerdaskan otak. 4. Puasa dapat mengistirahatkan mesin pencernaan. 2. Tujuan Puasa Adapun tujuan – tujuan puasa yang sebenarya ialah: a. Mencegah diri dari dusta, sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW.:
ِ َ َاا رسو ُا ااِ صَّاى اا عَا: ضي اا عْو َ َاا َم ْن: سَّاَم و ي َ ُ َ ُ َ ِ عْو اَِ ُ َر َْيرةَ َر ُْ َ َ َ َْ ُ َ ِ اللوِر والْعمل بِِو فَلَي .اب ااةً ِ ِْف اَ ْو َد َ ع َط َي َ عَام ُ َو َُ شَر َ ل اا َح َ ْ َ َ َ َ ْ ُّ َْ يَ َ ْع قَ ْوَا Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji (dusta) dan melakukan kejahatan (kepalsuan), Allah tidak akan menerima puasanya, sekalipun ia telah meninggalkan makan dan minum.”21 b. Perisai dari dosa, sebagaimana hadits Nabi:
ِ اَ َّو رسو ُا ااِ صَّاى اا عَا: ضي اا عْو صيَ ُام و ي قَ َاا ال ي: سَّاَم َ ُْ َ ُ َ ُ َ ِ عْو اَِ ُ َر َْيرةَ َر َ َ َْ ُ َ ِ (رواه... صااِ ٌم ْ ُ فَ َ يَ ْرف،ٌُانَّة َ ِّن ْ فَيَ ُق ْل اَ ي،ُ َوا َّْنََرٌؤ قَاَلَوُ اَْو َشتَ َمو،ث َو َ ََْي َه ْل )البخارى Artinya: “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Puasa adalah bagaikan perisai (dari api neraka). Karena itu orang yang berpuasa janganlah menggauli istrinya, berkata kotor dan berbuat jahil, bila dia diajak bertengkar atau dicaci maka dengannya, hendaklah ia berkata: “Saya sedang berpuasa....(HR. Bukhari).”22 Dengan puasa seseorang dapat diharapkan dapat menyeimbangkan dirinya, dimana ia dalam suatu sisi harus sadar akan kemutlakan, kedaulatan Allah SWT. 21
Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Bari Syarah: Shahih Bukhari, trjmh, Amiruddin dari Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azam, 2011), cet. ke-4, hlm. 48. 22 op. cit,. hlm. 422.
BAB III OBJEK KAJIAN A. Biografi Imam Madzhab 1. Imam Abu Hanifah a. Kelahiran Abu Hanifah Imam Abu Hanifah adalah salah seorang Imam empat dalam Islam. 1 Beliau lahir dan meninggal lebih dahulu dari pada imam-imam yang lain. Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 H bersamaan 659 M di Kufah, dan beliau wafat di Baghdad pada tahun 150 H. Beliau mendapat tempat yang baik dalam masyarakat pada masa itu sehingga beliau mampu menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi yaitu imam besar (Al Imam Al-„Adham) atau ketua agung. Semula Abu Hanifah adalah seorang pedagang, sesudah itu beliau beralih pada ilmu pengetahuan, beliau adalah orang yang amanah,
beliau
berhasil
mendapatkan ilmu
pengetahuan dan
perdagangan sekaligus. b. Ilmu, guru dan murid Abu Hanifah Beliau tinggal di Kufah dan juga Irak, kota ini terkenal sebagai tempat yang mudah menerima ilmu pengetahuan dan perubahan. Beliau sangat berminat pada pelajaran yang banyak menggunakan
1
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Amzah, 2004), hlm. 12.
41
42
pikiran. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ra’yu).2 Beliau banyak mempelajari ilmu-ilmu, beliau belajar ilmu fiqih dari Ibrahim, Umar, Ali ibni Abi Thalib, Abdullah bin Mas‟ud, dan Abdullah bin Abbas. Hammad bin Abu Sulaiman. Beliau mempelajari ilmu tajwid dari Idris bin „Asir. Beliau juga belajar pada Ibrahim AnNukha‟i. Hobi utamanya adalah memperbanyak membaca Al-Qur‟an, sehingga para perawi secara berlebihan menyebutkan bahwa beliau terbiasa mengkhatamkan Al-Qur‟an sebanyak enam puluh kali di bulan Ramadhan.3 Setelah guru-gurunya wafat ia menggantikan kedudukan gurunya, maka banyaklah murid-murid gurunya yang datang belajar padanya. Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal ialah Abu Yusuf Ya‟kub Al-Anshari, Al-Hasan bin Zaid Al-Lu‟lu4. Diantara larangan-larangan Abu Hanifah kepada muridnya tentang adab ialah sebagai berikut: 1. Jangan berdiri di tengah-tengah jalan raya, duduklah di Masjidmasjid 2. Jangan duduk digudang-gudang perniagaan 3. Jangan makan dan minum di pasar-pasar dan juga di Masjid-masjid 4. Jangan minum air dari para penjaja-penjaja air
2
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 72. 3 Syaikh Muhammad Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 3. 4 Op. Cit., hlm. 12-18.
43
5. Jangan pakai pakaian sutera karena membawa pada kelemahan 5. c. Sifat dan pribadi Abu Hanifah Abu Hanifah adalah orang yang bentuk tubuh badannya sederhana, tidak terlalu tinggi dan juga terlalu rendah, warna kulitnya hitam kemerahan, beliau adalah sebaik-baik manusia dalam tutur katanya, bentuk badannya bagus dan pakaiannya selalu berbau harum sehingga beliau dikenal dengan wanginya dikala keluar dari rumahnya. Beliau sangat gemar kepada wangi-wangian yang harum dan murah, sehingga ada diantara pakaiannya yang berharga 30 dinar. Oleh karena itu Abu Hanifah sangat menyukai serta menjaga kedudukan dan pakaian, beliau juga memberi rangsangan pada orang lain supaya melakukannya. Abu Hanifah juga orang yang bijaksana dan pandai, dengan kebijaksanaan akal pikiran beliau dapat membuatkan kesimpulankesimpulan hukum dan bermusyawarah dengan baik yang dapat menghilangkan kekeliruan. Setengah dari akhlak pribadi Abu Hanifah yang tinggi ialah beliau kuasa menahan hawa nafsu serta banyak bertaqwa kepada Allah dan sabar. Beliau pernah berkata: wahai Tuhanku, barang siapa yang merasa benci terhadap kami tetapi hati kami lapang terhadap mereka. Abu Hanifah juga seorang yang bijaksana beliau tidak terpengaruh dengan pendapat-pendapatnya, dan beliau juga tidak
5
Ibid, hlm. 39.
44
sombong dan juga tidak besar kepala. Abu Hanifah juga seorang yang pemurah, baik budi pekerti dan menghormati teman. Beliau suka memberikan sesuatu sebagai hadiah-hadiah dan beliau berbuat baik kepada siapa saja sekedar dengan kemampuannya. Beliau berperilaku demikian karena beliau adalah seseorang yang kaya, jika beliau membelanjakan uangnya untuk anak-anaknya ia juga memberikan sedekah pula menurut itu juga, begitu pula bila ia memakai pakaian baru beliau juga memberi hadiah pada orang lain yang sama harganya. Beliau bersedekah lebih dari separuh dari pembelanjaannya untuk makanan. Abu Hanifah adalah seseorang yang amanah dan cakap dalam urusan perniagaan, beliau tidak menipu dan makan keuntungan yang banyak, ia hanya mencari kesempatan jual beli untuk menolong terhadap orang yang membutuhkan pertolongan. Beliau juga seorang jujur dan juga tegas dalam kebenaran, beliau juga seseorang yang sangat menjaga marwah dalam segala aspek hidupnya Beliau juga seorang yang sangat wira‟i dan sangat bertaqwa kepada Allah, serta jujur, beliau tidak mencari rizki dengan menyampingkan agama. Beliau sangat mengamalkan apa yang ia tahu dan juga sangat taat beribadah pada Allah, beliau selalu beribadah pada Allah lebih-lebih diwaktu malam sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Watd6.
6
Ibid, hlm. 54-68.
45
d. Wafatnya Abu Hanifah Abu Hanifah meninggal dunia pada tahun 150 H, dan Imam Nawawi berpendapat bahwa Abu Hanifah meninggal dunia saat berada dalam tahanan. Diceritakan bahwa sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya beliau berpesan supaya jenazahnya dikuburkan ditanah yang baik, yang dimaksud dengan tanah yang baik ialah tanah yang tidak dirampas oleh kepala negeri ataupun seorang raja. Jenazah Abu Hanifah dikebumikan dimakam perkuburan Al-Khoizaran di Timur kota Baghdad7. 2. Imam Syafi’i Imam Syafi‟i ialah Imam ketiga menurut tatanan susunan kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan pembaharu dalam agama yaitu abad kedua Hijriyah. 8 Beliau hidup pada masa pemerintahan Abbasiyyah dan masa ini adalah masa permulaan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. a. Kelahiran dan keturunan Imam Syafi‟i Imam Syafi‟i dilahirkan di kota Gaza pada tahun 150. Ibunya keturunan Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik Imam Asy-Syafi‟i. 9 Ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam buaian, hidup dalam kemiskinan dan ketika ibunya takut nasab anaknya hilang sehingga hilanglah beberapa hak yang
7
Ibid, hlm. 69. Ibid., hlm. 139. 9 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’; Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 185. 8
46
dapat menjauhkannya dari sulitnya ujian hidup. Kemudian ibunya membawa beliau ke Mekkah ketika berumur sepuluh tahun agar dapat hidup bersama orang-orang Quraisy, bertemu dengan nasabnya yang tinggi. b. Imam Syafi‟i Menuntut Ilmu Imam Syafi‟i dapat menghafal Al-Qur‟an dengan mudah, yaitu ketika beliau masih kecil serta beliau menghafal dan menulis haditshadits. Beliau sangat tekun mempelajari kaidah-kaidah dalam nahwu bahasa Arab. Untuk tujuan itu beliau pernah mengembara ke kampung-kampung dan tinggal bersama puak (kabilah) “Huzail” kurang lebih sepuluh tahun lantaran ingin mempelajari adat istiadat mereka dan juga bahasa mereka. Selain mempelajari ilmu pengetahuan ia juga dapat kesempatan untuk mempelajari ilmu memanah, sehingga beliau dapat memanah sepuluh batang panah tanpa melakukan kesiapan. Imam Syafi‟i juga saat mudanya banyak menumpu tenaganya untuk mempelajari syair, sastra dan sejarah. Imam Syafi‟i menuntut ilmu di Mekah sehingga beliau menjadi orang yang cakap dan disana beliau mendapat kepercayaan untuk menyampaikan fatwa dan juga hukum-hukum dari gurunya Muslim bin Khalid Az-Zinji, tetapi beliau tidak berbesar hati dan tetap terus belajar, kemudian beliau pindah ke Madinah, di Madinah
beliau
47
belajar pada Imam Malik dan mempelajari kitab Al-Muwatta, beliaupun hampir menghafal semua isi kitab tersebut 10. Semasa muda Imam Syafi‟i hidup dalam kemiskinan, sehingga terpaksa beliau mengumpulkan batu-batu yang baik, belulang, pelepah tamar dan juga tulang untuk ditulisi diatasnya. Kadang-kadang beliau pergi ketempat-tempat perkumpulan meminta kertas untuk menulis pelajarannya11. Imam Syafi‟i juga merantau ke Irak tiga kali, dan bertemu dengan sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah. Imam Syafi‟i melakukan munazharah (bertukar pikiran) dengan Muhammad ibn al-Hasan. Di Irak, Imam Syafi‟i menyebarkan madzhab qadim-nya. Kemudian ia datang ke Mesir pada tahun 198 H dan tinggal di kota Al-Fusthath, dimana terdapat Masjid Jami‟ Amr ibn al-Ash. Di Mesir, Imam Syafi‟i menyebarkan ilmunya di kalangan masyarakat. 12 Ilmu fiqih yang dibawa oleh Imam Syafi‟i merupakan suatu zaman perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan Islam, oleh karena itu ia menyatukan dan mengumpulkan ilmu fiqih ahli-ahli ilmu akal dan hadits ilmu fiqih Imam Syafi‟i merupakan ikatan sunah dengan qiyas dan pemikiran dengan beberapa pertimbangan, sebagaimana juga dengan ilmu fiqih yang menetapkan cara-cara atau peraturan untuk memahami ilmu Al-Qur‟an dan hadits, juga beliau
10
Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit., hlm. 143-146. Ibid, hlm. 143. 12 Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam; Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya, (Bandung: Marja, 2005), hlm. 88. 11
48
menetapkan kaidah-kaidah pengeluaran hukum dan kesimpulannya, oleh karena itulah beliau berhak dianggap sebagai penerus ilmu ushul fiqih. Ilmu fiqih dan madzhab Imam Syafi‟i menjadikan Al-Qur‟an sebagai sumber yang pertama dalam menetapkan hukum-hukum dan perundangan, kemudian beliau berkata bahwa as-sunnah adalah menyamai taraf Al-Qur‟an, karena dia penerang dan penjelas AlQur‟an. Apabila Imam Syafi‟i mengalami permasalahan-permasalahan, pertama kali beliau mencari hadits nabawi untuk panduan, beliau pernah berpesan pada murid-muridnya untuk meninggalkan pendapat beliau dan mengambil hukum-hukum yang dibawa oleh hadits jika dianggap hadits itu berlawanan dengan pendapatnya. Imam Syafi‟i sangat berhati-hati dalam usahanya untuk memilih atau menyempurnakan madzhabnya, disamping itu beliau adalah orang yang tinggi ilmu pengetahuannya dan tinggi pula cita-citanya. Dengan kebijaksanaannya beliau mampu menghimpun bermacam-macam ilmu pengetahuan serta memahaminya dengan bersungguh-sungguh dan teliti. Diantara kitab-kitab Imam Syafi‟i ialah: Mu‟jam Al-Udaba, AlUm, Ar-Risalah, Al-Hujjah, Al-Wasaya, Al-Kabirah, Ikhtilaf Ahli Irak, Wasiyyatis Syafi‟i, Jami‟ Al-Ilm, Ibtal Al-Istihsan, Jami‟ Al-Mizani Al-Kabir, Jami‟ Al-Mizani As-Saghir, Al-Amali, Muktasar Al-Rabi‟
49
wal Buwaiti dan lain sebagainya. Imam Syafi‟i menyusun sebagian kitab-kitabnya ataupun beliau menulisnya sendiri dan direncanakan sebagian yang lain. Bahasa ibunda Imam Syafi‟i adalah bahasa Arab, beliau berketurunan bangsa Arab yang percakapannya sangat baik dan tinggi. Sungguhpun demikian beliau tetap mempelajari bahasa Arab selama dua puluh tahun. Pada akhirnya beliau terkenal sebagai seorang yang bijak dan ketua bahasa Arab. Sesungguhnya Imam Syafi‟i adalah penyair yang bijaksana dan pandai menggunakan syair yang tinggi dan baik, sekalipun beliau tidak mencurahkan semua tenaganya untuk mendalami bidang ini. Beliau meninggalkan
mempelajari
syair
karena
kesibukannya
dalam
mempelajari ilmu fiqih dan ilmu-ilmu yang lain13. c. Guru-guru Imam Syafi‟i Diantara guru-gurunya di Makkah ialah: Muslim bin Khalid AzZinji, yaitu seorang mufti Makkah dan beliau belajar dengannya dalam tempo yang lama sehingga Imam Syafi‟i berhasil menguasainya, bahkan sang guru memberikan izin kepada Imam Syafi‟i untuk memberi fatwa.14 Guru-gurunya yang lain yaitu: Sufyan bin Uyainah, Said bin Al-Kuddah, Said bin Abdur Rahman, Al-Attar dan Abdul Hamid bin Abi Daud. Sementara di Madinah ialah: Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa‟ad Al-Ansari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad13 14
Ibid, hlm. 149-169. Rasyad Hasan Khalil, Op. Cit., hlm. 188.
50
Dawardi, Ibrahim bin Yahya Al-Usami, Muhammad Sa‟id bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi‟ As-Saigh. Sedangkan guru-guru di Yaman ialah: Matraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf kadhi bagi kota San‟a. Umar bin Abi Maslamah, Al-Laith bin Saad. Dan di Irak ialah: Muhammad bin Al-Hasan, Waki‟ bin Al-Jarah Al-Kufi, Abu Usamah Hammad bin Usamah Al-Kufi, Ismail bin Attiah Al-Basri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid AlBasri. Imam Syafi‟i tidak hanya mengkritik pendapat-pendapat gurunya (Imam Malik), tetapi beliau juga pernah mengkritik pendapat Abu Hanifah dan Al-Zauza‟i, oleh karena itu beliau sering menemui kesulitan. Keadaan tersebut menunjang beliau untuk membentuk prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum, oleh karena itu ia terkenal pada orang banyak dan tarafnya tinggi sebagaimana telah diketahui. d. Murid-murid Imam Syafi‟i Di Mekah murid-muridnya ialah sebagai berikut: Abu Bakar AlHumaidi, Ibrahim bin Muhammad Al-Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris, Musa bin Abi Al-Jarud. Di Baghdad: Al-Hasan As-Sabah Az-Za‟farani, Al-Husin bin Ali Al-Karabisi, Abu Thur Al-Qurbi dan Ahmad bin Muhammad Al-Asy‟ari Al-Basri. Di Mesir ialah: Hurmalah bin Yahya, Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti, Ismail bin Yahya Al-Mizani, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam dan ArRabi‟bin Sulaiman Al-Jizi.
51
e. Sifat-sifat Imam Syafi‟i Imam Syafi‟i adalah seseorang yang cakap rupa parasnya, badannya tinggi serta tengkiknya jenjang, warna kulitnya hitam kemerahan, suaranya merdu dan baik manusia menangis tatkala mendengar pembacaan ayat Al-Qur‟an darinya. Imam Syafi‟i tidak melampaui batas membelanjakan uangnya untuk pakaian. Imam Syafi‟i juga seseorang yang mengetahui tentang ilmu kedokteran serta seseorang yang mahir memanah serta cakap menunggang kuda. Imam Syafi‟i juga seorang yang cakap pikirannya, kuat ingatannya serta luas wawasannya dan pikirannya, fasih lidahnya, luas penerangan dan kuat imannya. Diantara akhlak dan budi pekertinya ialah menjaga muruah, lembut dan murah hati. Beliau juga seseorang yang mengikuti kebenaran dimana saja ia berada, beliau tidak malu dan segan untuk kembali pada kebenaran bila beliau ditentang. Imam Syafi‟i adalah orang yang banyak beribadat dan bersujud, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa beliau membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian: satu pertiga untuk menulis atau mengarang, satu pertiga untuk shalat dan tahajud, satu pertiga lagi untuk tidur.
52
f. Penyakit dan meninggalnya Imam Syafi‟i Imam Syafi‟i banyak mengidap penyakit sewaktu hidupnya. Antaranya ialah “penyakit wasir” yang mana menyebabkan keluar darah pada tiap-tiap waktu. Imam Syafi‟i wafat di Mesir pada malam kamis sesudah maghrib, yaitu pada akhir bulan Rajab tahun 204 H. Umurnya pada waktu itu ialah 54 tahun, beliau wafat dikediaman Abdullah bin Abdul Hakam dan kepadanyalah beliau meninggalkan wasiat, jenazah Imam Syafi‟i dikebumikan pada hari jum‟at pada keesokan harinya. Anakanak Abdul Hakam mengebumikannya ditanah pekuburan mereka. Kuburnya ialah kubur-kubur anak Zahra. Yakut berkata: kuburnya sangat masyhur disana sebagai bukti bagi kebenarannya. B. Pemikiran dan dasar hukum Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam hukum puasa bagi penderita Asma yang menggunakan Inhaler 1. Imam Syafi‟i Imam Syafi‟i berpendapat bahwa, puasa menjadi rusak/ batal dan wajib di-qadha saja tanpa kafarat lantaran hal-hal berikut; di samping pula menjauhi hal-hal pembatal puasa sepanjang siang bagi orang yang batal puasanya tanpa uzur. Masuknya suatu benda ke dalam rongga dalam tubuh meskipun benda itu kecil (misalnya sebiji wijen) atau biasanya tidak dimakan (misalnya sebutir kerikil atau tanah), melalui lubang yang terbuka (seperti mulut, hidung, telinga, uretra, anus, dan luka di otak) apabila hal itu di sengaja. Alasannya, karena puasa artinya menahan diri dari segala
53
sesuatu yang masuk ke dalam rongga dalam tubuh, dan hal-hal di atas itulah yang ditahan. Jadi, barangsiapa makan atau minum karena lupa, dipaksa orang lain, atau tidak tahu bahwa hal itu membatalkan puasa karena dia masih belum lama memeluk Islam, atau dia dibesarkan di daerah pedalaman yang jauh dari Ulama, maka puasanya tidak batal, baik yang dimakan itu sedikit maupun banyak, sebab perbuatan ini tidak disengaja. Hukum tidak batalnya puasa karena paksaan orang lain adalah pendapat yang terkuat. Jika, yang masuk ke rongga dalam tubuhnya adalah lalat atau nyamuk, atau debu jalan, meskipun dia sengaja membuka mulutnya sehingga ada tanah yang masuk ke dalam rongga dalam tubuhnya, atau yang masuk adalah ayakan tepung atau angin yang membawa aroma ke dalam otaknya, maka puasanya tidak batal karena hal itu terjadi bukan atas kehendaknya sendiri, di samping karena sangat sulit menghindarinya, juga karena dia dimaafkan bila mulutnya kemasukan tanah dalam kasus membuka mulut dengan sengaja. Akan tetapi jika penderita Asma memakai alat semprotan udara ketika sesak nafas, puasanya batal karena jenis benda yang dimaafkan bila memasuki rongga dalam tubuh (seperti tanah dan udara) hanya terbatas pada kondisi umum yang menimpa publik. Jika hal itu terjadi pada individu secara khusus (misalnya: sengaja mengendus aroma panggang daging), puasanya batal karena hal itu mudah dihindari. Sama hukumnya dengan hal itu: menelan
54
pil arteriosclerosis (pengapuran pembuluh darah) ketika si penderita merasakan sesak nafas. 15 Puasa juga batal gara-gara menelan sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi tanpa kesengajaan jika dia tidak dapat memisahkannya dan memuntahkannya. Sebab, dalam hal ini dia terhitung punya uzur, tidak dapat disebut lalai. Jika dia dapat memisahkannya dan memuntahkannya tapi dia menelannya meskipun hanya sedikit, lebih kecil dari biji kacang, puasanya batal. Puasa menjadi batal gara-gara menghisap rokok dan sejenisnya (misalnya tembakau dan obat hirup); juga batal gara-gara masuknya sesuatu ke dalam otak, perut, usus, dan kandung kencing; juga batal gara-gara suntikan pada lubang kemaluan pria atau pada lubang keluarnya ASI pada payudara; juga batal gara-gara meneteskan sesuatu ke dalam telinga, memasukkan kayu dan sejenisnya ke bagian dalam telinga. Sebab, semua itu terhitung organ tubuh bagian dalam, dan semua yang disebutkan tadi sampai padanya melalui lubang yang terbuka. Tidak apaapa jika minyak masuk ke rongga dalam tubuh melalui penyerapan poripori kulit, juga tidak apa-apa memakai celak mata meskipun dia merasakan rasa celak itu di tenggorokannya, sebab yang mencapai ke sana itu
bukan
melewati
lubang
melainkan
pori-pori
kulit.
Baihaqi
meriwayatkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa:
15
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, trjmh, Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 109-110.
55
ِِ ِ ِ صائِ ٌم َ َكا َن يَكْتَح ُل بِا ْْل ْْثد َو ُه َو Artinya: “Nabi SAW. bercelak dengan batu celak ketika beliau berpuasa”.16 Secara berurutan dasar hukum yang digunakan Imam Syafi‟i adalah Al-Qur‟an, as-sunah, ijmak, qiyas. Keempat landasan tersebut dijadikan patokan dalam pengambilan suatu hukum. Sedangkan istihsan, istishab, sadd al-dzarai’ dan metode lainnya dimasukkan kedalam qiyas bi alqawaid (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkandung dalam preseden itu sendiri).17 2. Imam Abu Hanifah Adapun Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, jika ada sesuatu yang masuk melalui tenggorokan, tidak membatalkan puasa kecuali jika masuk sampai organ perut. Ulama Hanafiyah berpandangan bahwa jika ada sesuatu yang masuk melalui otak atau rongga dalam tengkorak kepala, maka termasuk pembatal puasa karena otak memiliki saluran hingga masuk organ dalam tubuh. Begitu pula saluran di kemaluan seperti misalnya ada sesuatu yang masuk melalui kemaluan perempuan hingga masuk ke organ dalam tubuh, maka termasuk membatalkan puasa. Adapun jika seseorang meneteskan obat tetes pada hidung lalu masuk sampai perutnya, maka hal itu membatalkan puasa jika dia sengaja melakukannya. Karena hal tersebut dapat menguatkan tubuh seseorang. Nabi Muhammad SAW. bersabda:
16 17
Ibid, hlm. 111. Syamsul Bahri, dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 23.
56
ِ ِ ِ ِ صا ئِ ٌم َ َوبَال ْغ ِِف ْاْل ْستْن َشا ق إِْلَّأَ ْن تَ ُك ْو َن Artinya: “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air kedalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.”18 Firman Allah SWT.:
)۱٥ :(الشورا...استَ ِ ْم َك َ ا أُِ ْ َ َوَْل تََتتَِّ ْ أ َْه َوااَ ُه ْم ْ َو... Artinya: “.....Dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka....”.(QS. Asy-Syura: 15). Secara teoritis ijtihad Abu Hanifah secara berurutan didasarkan pada Al-Qur‟an, As-Sunnah, ijmak, qiyas, istihsan, dan urf, tetapi karena Abu Hanifah menerapkan syarat yang begitu ketat maka pada kenyataannya menggunakan dasar-dasar Al-Qur‟an, qiyas, ijmak, sunnah, istihsan dan urf. C. Penjelasan tentang penyakit Asma dan cara kerja Inhaler (alat semprot atau hisap) pada Asma. 1. Pengertian Asma Asma adalah suatu kondisi paru-paru yang kronis, yang ditandai dengan sulit bernafas. Saluran pernafasan penderita asma sangat sensitif dan memberi respon yang sangat berlebihan jika mengalami rangsangan atau gangguan. Saluran pernafasan bereaksi dengan cara menyempit dan menghalangi udara yang masuk. Penyempitan atau hambatan ini bisa mengakibatkan salah satu atau gabungan dari berbagai gejala mulai dari 18
Abdurrahman Al-Mukaffi, 89 Kesalahan Seputar Puasa Ramadhan, (Bekasi: Darul Falah, 2015), hlm. 87-88.
57
batuk, sesak, nafas pendek, tersengal-sengal, hingga nafas berbunyi “ngik-ngik”.19 Asma adalah penyakit yang umum dijumpai, dialami kira-kira 5% penduduk. Laki-laki atau perempuan memiliki resiko yang sama untuk terkena.20 Penyempitan atau hambatan tersebut dikarenakan: Peradangan saluran pernafasan, sehingga menjadi merah, bengkak, dan mengeluarkan lendir berlebihan dan menyempit. Bronkokonstriksi, yang berarti otot-otot yang melingkari saluran pernafasan mengetat, mengejang, atau mengerut. 2. Tanda-tanda dan Gejala Asma a. Berikut ini merupakan tanda-tanda penyakit Asma: Perubahan dalam pola pernafasan Bersin-bersin Perubahan suasana hati Hidung mampat Batuk Gatal-gatal pada tenggorokan Merasa capek Lingkaran hitam dibawah mata Susah tidur
19
Iwan Hadibroto, Asma, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 17. Lawrence M.Tierney, dkk, Diagnosis Dan Terapi Kedokteran; Penyakit Dalam, (Jakarta: Salemba Medika, 2002), hlm. 65. 20
58
b. Gejala Asma memberi indikasi bahwa suatu serangan Asma sedang terjadi. Berikut gejala-gejala Asma: Nafas berat yang berbunyi “ngik-ngik Batuk-batuk Nafas pendek tersengal-sengal Sesak dada Umumnya penyebab Asma adalah alergi. Alergi yang muncul dapat berbentuk: Ingestan: alergen yang masuk tubuh melalui mulut (dimakan/ diminum). Inhalan: alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut. Kontak dengan kulit. Alat pereda/ pelega pada penyakit Asma adalah obat yang secara cepat mengembalikan saluran nafas yang menyempit ke kondisi semula, pada saat terjadi serangan Asma. Adapun cara kerja alat pereda/ pelega penyakit Asma adalah sebagai berikut21: 1. Kocok Inhaler dengan baik 2. Lepaskan tutupnya 3. Periksa apakah lubang penghisap bersih dari kotoran atau benda asing yang bisa terhisap oleh Anda
21
Eleanor Bull, dkk, Asma, (Malang: Erlangga, 2005), hlm. 93.
59
4. Berdiri atau duduklah dengan tegak dan hembuskan nafas 5. Rapatkan mulut Anda di sekeliling ujung lubang penghisap 6. Tarik nafas perlahan-lahan sambil menekan bagian atas Inhaler 7. Teruskan menarik nafas secara perlahan-lahan selama beberapa detik 8. Tahan nafas selama Anda bisa, atau sampai 10 detik 9. Hembuskan nafas perlahan-lahan 10. Berkumurlah dengan air atau sikatlah gigi. D. Keterangan dari Narasumber Kesehatan tentang Penyakit Asma Untuk mengetahui lebih jelas tetang penyakit Asma, terutama cara kerja dan kandungan yang ada pada Inhaler maka, penulis menemui perawat yang bernama Ahmad Jazuli, S. Kep. Ns. Beliau tinggal di Desa Bandungrejo, Kalinyamatan Jepara, dan beliau Dinas di Rumah Sakit Sultan Hadirin Jepara. Beliau menjelaskan bahwa: “Asma adalah suatu kondisi penyempitan saluran nafas karena ada mukosa (lendir) sehingga terjadi kesulitan dalam bernafas. Faktor pemicu terjadinya Asma adalah asap rokok, polusi udara, terjadinya perubahan cuaca dan suhu udara. Penyakit Asma bisa menyerang tubuh seseorang karena faktor gen. Sedangkan gejala Asma meliputi, sesak dada, batukbatuk, nafas pendek tersengal-sengal. Apabila seorang penderita Asma mengalami kambuh penyakitnya, dan jika tidak memakai alat bantu seperti Inhaler maka, kemungkinan besar terjadi kematian pada si penderita. Karena Inhaler merupakan salah satu alat bantu bagi penderita Asma untuk melegakan sistem pernafasannya. Adapun kandungan yang terdapat di dalam Inhaler adalah O2, H20, obat-obatan dan cairan tekan, biasanya chlorofluorocerbous/ CFC, yang mengembang menjadi gas ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan tersebut memecah obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan mendorongnya keluar dari moncong masuk saluran pernafasan atau paru-paru si pengguna Inhaler. Adapun fungsi dari CFC adalah mengendurkan lapisan otot yang mengelilingi saluran pernafasan. Sehingga, dalam proses pernafasannya lancar dan
60
terasa lega. Proses masuknya obat melalui mulut, tenggorokan, kemudian langsung ke paru-paru.”22
22
Wawancara dengan Ahmad Jazuli, S. Kep. Ns. pada tanggal 31 Agustus 2015 di rumah beliau di Desa Bandungrejo, Kalinyamatan, Jepara.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis pendapat Ulama dan Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i) tentang hal-hal yang membatalkan puasa terutama dalam hal memasukkan Inhaler Sesuai dengan perkembangan zaman, permasalahan yang berkenaan dengan ibadah Shiyam (puasa) semakin bermunculan. Diantara yang perlu untuk dikaji adalah masalah pembatal puasa. Karena puasa barulah sah jika kita meninggalkan pembatalnya. Beberapa obat dan benda perlu untuk di ketahui terutama yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut, telinga, mata dan saluran lainnya pada saat menjalankan ibadah puasa, karena banyak yang belum mengetahui hal ini. Ulama madzhab dalam menetapkan hukum ataupun masalah-masalah yang ada menggunakan Ijtihad. Arti Ijtihad adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. 1 Sedangkan ijtihad menurut ulama Ushul adalah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci. Sementara itu, sebagian ulama yang lain memberikan definisi ijtihad adalah usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-hukum Syara‟ maupun untuk mengamalkan dan 1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), hlm. 567.
61
62
menerapkannya. Dalam masalah ini, para fuqaha berbeda pendapat. Agar perbedaan pendapat ini bisa diketahui secara detail, maka akan dibahas lebih mendalam pendapat para Imam Madzhab. Puasa merupakan sarana untuk memantapkan akidah yang kokoh dan teguh, dan sarana hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa hubungan ketaatan dan kepatuhan. Sedangkan menurut istilah syari‟at adalah menahan diri pada siang hari dari hal-hal yang membatalkan puasa, disertai niat oleh pelakunya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Artinya, puasa adalah penahanan diri dari syahwat perut dan syahwat kemaluan, serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga dalam tubuh (seperti obat dan sejenisnya), dalam rentang waktu tertentu, yaitu sejak terbitnya fajar kedua (yakni fajar shadiq) sampai terbenamnya matahari yang dilakukan oleh orang tertentu yang memenuhi syarat, yaitu beragama Islam, berakal, dan tidak sedang haidl dan nifas, disertai niat, yaitu kehendak hati untuk melakukan perbuatan secara pasti tanpa ada kebimbangan, agar ibadah berbeda dari kebiasaan. 2 Kewajiban puasa itu hanya dalam beberapa hari tertentu, bukan kewajiban seumur hidup dan tugas sepanjang masa. Di samping itu, dimaafkan untuk tidak menunaikannya bagi orang-orang yang sakit sehingga mereka sembuh dan bagi para musafir sehingga mereka tiba kembali di rumah, sebagai suatu penegasan untuk memberi kemudahan.
2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, trjmh, Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 19.
63
ِ ٍ أَيَّاما مع ُد يضا أ َْو َعلَى َس َف ٍر فَعِ َّدةٌ ِم ْن أَيَّ ٍام ً ودات فَ َم ْن َكا َن مْن ُك ْم َم ِر َ َْ ً (۱٨٤:(البقرة.....أُ َ َر
Artinya: “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka, barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain....”(QS. Al-Baqarah: 184) Zahir nash mengenai sakit dan bepergian ini bersifat mutlak. Maka, apapun penyakitnya dan bagaimanapun bepergiannya memperkenankan mereka untuk berbuka. Hanya saja, si sakit wajib meng-qadhanya setelah dia sehat dan si musafir wajib meng-qadhanya setelah dia bermukim di kampung halamannya. Inilah yang lebih utama di dalam memahami nash Al-Qur‟an yang mutlak ini, dan lebih dekat kepada pemahaman Islami di dalam menghilangkan kesulitan dan mencegah mudharat. Maka, bukanlah karena beratnya sakit dan sulitnya bepergian yang menjadi pergantungan hukum, melainkan keadaan sakit secara mutlak dan bepergian secara mutlak. Karena boleh jadi terdapat pelajaran-pelajaran lain yang diketahui oleh Allah dan tidak diketahui oleh manusia dalam masalah sakit dan bepergian ini. Boleh jadi terdapat kesulitan (masyaqat) lain yang tidak tampak waktu itu, atau tidak jelas menurut ukuran manusia. Dan, selama Allah tidak mengungkapkan illat
„alasan‟
hukum
tentang
sesuatu,
maka
tidak
usahlah
kita
menakwilkannya, melainkan kita patuhi nash-nash itu meskipun hikmahya tersembunyi bagi kita. Maka, kita yakin bahwa di belakangnya pasti ada hikmahnya, dan tidak menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahuinya. 3 3
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur‟an, trjmh, As‟ad Yasin Abdul Aziz Salim Basyarahil, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2000), hlm. 200.
64
Ahli fiqh membagi hal-hal yang membatalkan puasa kepada dua bentuk, yaitu: sesuatu yang membatalkan dan wajib meng-qadha dan sesuatu yang membatalkan dan wajib meng-qadha dan kaffarat. Adapun hal-hal yang membatalkan dan wajib meng-qadha antara lain adalah makan dan minum dengan sengaja. Seseorang yang sengaja makan dan minum pada siang hari Ramadhan, puasanya dinyatakan batal. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ahli fiqh berdasarkan firman Allah SWT. sebagai berikut:
ِ ْ ط ْاْلَب يض ِمن ََّس َوِد ِم َن الْ َف ْج ِر ُُث ْ َّي لَ ُك ُم َ َّ َ َوُكلُوا َوا ْشَربُوا َح ََّّت يَتَب... ْ اْلَْيط ْاْل َ ُ َْ ُ اْلَْي ) ۱٨٧ : (البقرة... ِ الليَ َام ِ َ اللَّْي أَِ وا ِّص Artinya: “....Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam....”(QS. Al-Baqarah: 187).
Orang yang sengaja membatalkan puasanya dengan makan dan minum bukan karena uzur, di samping ia berdosa tidak melaksanakan kewajiban berpuasa, di wajibkan meng-qadha atau menggantinya di hari-hari lain. Akan tetapi seseorang sengaja membatalkan puasanya dengan makan dan minum disebabkan adanya uzur seperti sedang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, maka dia tidak dihukum berdosa, namun tetap diwajibkan meng-qadhanya pada hari-hari lain. Termasuk kedalam kategori makan dan minum memasukkan suatu benda ke dalam rongga seperti mulut, hidung dan telinga. 4 Hal-hal lain yang termasuk membatalkan puasa adalah memasukkan air dan sejenisnya ke dalam hidung hingga sampai ke dalam perut (seperti menghirup), memasukkan zat makanan melalui infus, dan menyuntikkan 4
Rahman Ritonga, dkk, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 161-162.
65
darah ke dalam tubuh seseorang. Memasukkan sesuatu ke dalam lubang yang ada pada badan, seperti lubang telinga, hidung, dan sebagainya, menurut sebagian ulama sama dengan makan dan minum; artinya membatalkan puasa. Mereka mengambil alasan dengan qiyas, di qiyaskan (disamakan) dengan makan dan minum. 5Termasuk yang membatalkan puasa juga adalah memasukkan obat penguat ke dalam tubuh melalui suntikan, dan ini sama dengan makan. Suntikan yang bukan untuk menguatkan tubuh, hendaknya juga di hindari oleh seseorang yang sedang berpuasa. Hal ini demi menjaga puasanya dan karena sabda Rasulullah SAW.:
ك َ ُك ِ َ َم َاَليَِريْب َ َُد ْع َمايَِريْب
Artinya: “Tinggalkan sesuatu yang membuatmu ragu dan ambillah yang tidak meragukanmu.”6 Dalam kaitannya dengan memasukkan Inhaler ke dalam mulut kemudian masuk ke tenggorokan, yang merupakan salah satu lubang pada badan, ini salah satu pembatal puasa yang di sebutkan oleh ulama diatas.
Karena dapat di qiyaskan dengan makan dan minum, dimana dalam memasukkan Inhaler ke dalam mulut kemudian ke tenggorokan masuk lagi ke dalam paru-paru yang pada akhirnya reaksi obat Inhaler memberi kekuatan pada tubuh si penderita Asma, yaitu dapat bernafas dengan lancar ataupun lega. Hal ini dapat dikatakan semakna dengan makan dan minum. Sehingga di hukumi batal puasanya jika menggunakan Inhaler.
5 6
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 230-231. Saleh Al-Fauzan, Fiqih sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 298.
66
Menurut Imam Syafi‟i, puasa menjadi rusak/ batal dan wajib di-qadha saja tanpa kafarat lantaran hal-hal berikut: 1. Masuknya suatu benda ke dalam rongga dalam tubuh meskipun benda itu kecil (misalnya sebiji wijen) atau biasanya tidak dimakan (misalnya sebutir kerikil atau tanah), melalui lubang yang terbuka (seperti mulut, hidung, telinga, uretra, anus, dan luka di otak) apabila hal itu di sengaja. Alasannya, karena puasa artinya menahan diri dari segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga dalam tubuh, dan hal-hal di atas itulah yang ditahan. Jadi, barangsiapa makan atau minum karena lupa, dipaksa orang lain, atau tidak tahu bahwa hal itu membatalkan puasa karena dia masih belum lama memeluk Islam, atau dia dibesarkan di daerah pedalaman yang jauh dari Ulama, maka puasanya tidak batal, baik yang dimakan itu sedikit maupun banyak, sebab perbuatan ini tidak disengaja. Hukum tidak batalnya puasa karena paksaan orang lain adalah pendapat yang terkuat. Jika, yang masuk ke rongga dalam tubuhnya adalah lalat atau nyamuk, atau debu jalan, meskipun dia sengaja membuka mulutnya sehingga ada tanah yang masuk ke dalam rongga dalam tubuhnya, atau yang masuk adalah ayakan tepung atau angin yang membawa aroma ke dalam otaknya, maka puasanya tidak batal karena hal itu terjadi bukan atas kehendaknya sendiri, di samping karena sangat sulit menghindarinya, juga karena dia dimaafkan bila mulutnya kemasukan tanah dalam kasus membuka mulut dengan sengaja. Akan tetapi jika penderita Asma memakai alat semprotan udara ketika sesak nafas, puasanya batal karena jenis benda yang
67
dimaafkan bila memasuki rongga dalam tubuh (seperti tanah dan udara) hanya terbatas pada kondisi umum yang menimpa publik. Jika hal itu terjadi pada individu secara khusus (misalnya: sengaja mengendus aroma panggang daging), puasanya batal karena hal itu mudah dihindari. Sama hukumnya dengan hal itu: menelan pil arteriosclerosis (pengapuran pembuluh darah) ketika si penderita merasakan sesak nafas. 7 2. Puasa juga batal gara-gara menelan sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi tanpa kesengajaan jika dia tidak dapat memisahkannya dan memuntahkannya. Sebab, dalam hal ini dia terhitung punya uzur, tidak dapat disebut lalai. Jika dia dapat memisahkannya dan memuntahkannya tapi dia menelannya meskipun hanya sedikit, lebih kecil dari biji kacang, puasanya batal. Puasa menjadi batal gara-gara menghisap rokok dan sejenisnya (misalnya tembakau dan obat hirup); juga batal gara-gara masuknya sesuatu ke dalam otak, perut, usus, dan kandung kencing; juga batal gara-gara suntikan pada lubang kemaluan pria atau pada lubang keluarnya ASI pada payudara; juga batal gara-gara meneteskan sesuatu ke dalam telinga, memasukkan kayu dan sejenisnya ke bagian dalam telinga. Sebab, semua itu terhitung organ tubuh bagian dalam, dan semua yang disebutkan tadi sampai padanya melalui lubang yang terbuka. Tidak apaapa jika minyak masuk ke rongga dalam tubuh melalui penyerapan poripori kulit, juga tidak apa-apa memakai celak mata meskipun dia merasakan rasa celak itu di tenggorokannya, sebab yang mencapai ke sana 7
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, trjmh, Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 109-110.
68
itu
bukan
melewati
lubang
melainkan
pori-pori
kulit.
Baihaqi
meriwayatkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa:
ِِ ِ ِ صائِ ٌم َ َكا َن يَكْتَح ُ بِا َْل ْْثد َو ُه َو Artinya: “Nabi SAW. bercelak dengan batu celak ketika beliau berpuasa”. 8 3. Menelan dahak, yaitu lendir yang turun dari kepala atau rongga dalam tubuh. Jika dia dapat memuntahkannya tapi dia membiarkannya sehingga mencapai rongga dalam tubuh, puasanya batal (menurut pendapat yang paling shahih) karena dia lalai. 4. Masuknya air berkumur atau air yang di hirup melalui hidung (dan perbuatan itu di syariatkan) ke rongga dalam tubuh jika dia berkumur atau menghirup air itu secara mendalam. Jika ada air yang “tidak di syariatkan” masuk ke rongga dalam tubuhnya (misalnya ketika dia sedang mendinginkan badan, sedang main-main, atau pada kali keempat dalam berkumur atau menghirup air dengan hidung), maka puasanya batal karena hal itu tidak di perintahkan. 5. Muntah yang di sengaja, bahkan meskipun dia yakin (menurut pendapat yang shahih) bahwa tidak ada sedikitpun muntahan itu yang masuk lagi kedalam perutnya, sebab yang membatalkan adalah muntahan itu sendiri. 6. Onani, yaitu mengeluarkan mani dengan cara selain senggama, baik yang hukumnya haram (misalnya dia mengeluarkannya dengan tangan sendiri) maupun yang tidak haram (misalnya mengeluarkannya dengan tangan 8
Ibid, hlm. 111.
69
istrinya). Demikian juga keluarnya mani akibat meraba, mencium, dan berpelukan tanpa kain penghalang, sebab itu terhitung ejakulasi akibat persentuhan kulit. 7. Puasa menjadi batal gara-gara terjadi kondisi gila, murtad, haidl, dan nifas. Sebab, hal itu bertentangan dengan syarat-syarat sahnya puasa (yaitu berakal, beragama Islam, dan suci dari darah kotor). Kaitannya dengan menggunakan Inhaler pada saat menjalankan ibadah puasa menurut Imam Syafi‟i di hukumi sama seperti makan dan minum. Karena memasukkan sesuatu kedalam rongga dalam tubuh di qiyaskan dengan makan dan minum. Dalam hal ini Imam Syafi‟i menggunakan qiyas dalam pengambilan hukum. Qiyas secara etimologi berarti qadr (ukuran, bandingan). Adapun secara terminologi menurut Ibnu as-Subki, qiyas ialah:
ِ ََحْ معلُوٍم علَى معلُوٍم لِمساوتِِه ِِف ِعلَّ ِة حك ِ اْلَ ِام ْ ْم ِه ِعْن َد ُ َ َ ُ ْ َْ َ ْ َْ ُ
Artinya: “Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan „illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya.”9 Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili, qiyas ialah:
ِ ْم ِه اللَّر ِعى بَِم ِر مْنلو ٍ علَى حك ِ اا أَمر َري رمْنلو ٍ علَى حك ِ ْم ِه َِل ْش َا ِ َهَم ا ُ َ ُْ َ ْ ُ َ ْ ُ َُ ْ ْ ُ َْْل ْ ااُ ْ ِم ْ َِِف ِعَّة Artinya: “Menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nashsh syara‟ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nashsh hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi „illah hukum.”
9
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 161.
70
Memasukkan Inhaler ke dalam mulut pada saat menjalankan ibadah puasa di qiyas-kan dengan makan dan minum yang merupakan salah satu pembatal puasa. Karena dipandang dari segi illahnya, yaitu memasukkan sesuatu. Memasukkan sesuatu dalam hal ini dilakukan secara sengaja. Dimana menurut Imam Syafi‟i memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh secara sengaja dinyatakan batal puasanya. Ulama Syafi‟iyah menganggap bahwa yang dimaksud “ ”الجوفadalah segala rongga seperti rongga telinga, rongga dalam tengkorak kepala, rongga (saluran) kemaluan walaupun saluran (rongga) tadi tidak menuju sampai perut (organ dalam tubuh). Jika ada sesuatu yang masuk sampai tenggorokan walau tidak sampai ke perut (organ dalam tubuh), maka puasanya batal. Disamping itu, fungsi dari pemakaian Inhaler adalah memberi kekuatan pada tubuh si penderita Asma. Yang awalnya tubuh melemas dan tidak dapat bernafas dengan lancar kemudian dengan menggunakan alat Inhaler bisa membantu dalam bernafas dengan lancar ataupun lega. Dalam menggunakan Inhaler merupakan suatu kondisi yang terjadi pada individu, bukan terjadi pada kondisi masyarakat umum. Dalam hal ini berlaku kaidah: . بَِق ْد ِ َها
ِِ ِ ِ َ َوَمااُبْي ُ للض َُّرْوَة ي َق َّد
Artinya: “Dan apa-apa yang di perbolehkan karena darurat diukur menurut ukuran kedharuratannya.”
71
Maksudnya di sini adalah, terpaksanya seseorang melanggar satu ketentuan karena darurat, ukurannya hanya sekadar terlepas dari bahaya tersebut. 10 Adapun pembatal puasa yang mewajibkan meng-qadha saja tanpa kafarat menurut Imam Abu Hanifah adalah sebagai berikut: 1. Memakan buah-buahan yang masih mentah, memakan sisa-sisa makanan yang ada di sela-sela gigi yang besarnya kira-kira sama dengan biji kedelai (jika besarnya lebih kecil dari biji kacang kedelai, puasa tidak batal), memakan buah pala yang basah, serta memakan tanah yang tidak biasa dimakan, selain tanah Armenia (tanah ini telah dikenal oleh ahli minyak wangi), orang yang memakannya wajib melakukan kafarat. 2. Muntah dengan sengaja. Dalam hal ini, bagi orang yang sengaja memuntahkan isi perutnya dan muntahnya keluar secara tidak sengaja, tetapi kemudian dia mengulanginya secara sengaja, muntah yang keluar secara sengaja itu banyak (memenuhi mulut) atau muntah itu sedikit tetapi terjadi karena pengulangan. 3. Berkumur, yang kemudian air kumur masuk ke perut secara tidak sengaja, atau apabila ketika mengobati luka yang ada pada kepala atau perut, ternyata obat itu masuk ke perut. 4. Melampiaskan nafsu seksual secara tidak normal. Misalnya, mengeluarkan air mani karena menyetubuhi mayat, binatang, perempuan kecil yang tidak bergairah, atau mengadu-adukan paha atau perut, mencium, memegang
10
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 138.
72
dan
memainkan kemaluan
dengan
telapak
tangan,
menyetubuhi
perempuan yang tertidur, mengolesi kemaluan perempuan dengan minyak, atau yang lainnya. Termasuk kategori yang sama yaitu, memasukkan jari yang dibasahi air atau minyak kedalam dubur, beristinja‟ sehingga ada air yang masuk ke lubang dubur.11 Bercelak bagi orang yang berpuasa hukumnya boleh, begitu juga memakai obat tetes mata dan telinga, hingga jika dia merasakan sesuatu akibat tetesan itu di tenggorokannya, hal itu tidak membatalkan puasanya, karena itu bukan makan dan minum dan tidak bermakna makan dan minum. Dalil yang menjelaskan pembatalan puasa itu berkaitan dengan larangan makan dan minum, maka tidak bisa diartikan makan dan minum sesuatu yang tidak masuk dalam makna keduanya. Itulah pendapat kami dan pendapat ini terpilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan itulah yang benar. Adapun jika seseorang meneteskan obat tetes pada hidung lalu masuk perutnya, maka hal itu membatalkan puasa jika dia sengaja melakukannya, karena Nabi Muhammad SAW.:
ِ ِ اَلستِْن َل ِ صا ئِ ًما ُ َاا َِلَّ أَ ْن ت ْ ْ ِ ْ َوبَال َ كْو َن Artinya: “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air kedalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.”12
11
Wahbah Az-Zuhayly, Puasa dan Itikaf; Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 228-229. 12 Abdurrahman Al-Mukaffi, 89 Kesalahan Seputar Puasa Ramadhan, (Bekasi: Darul Falah, 2015), hlm. 87-88.
73
ِ و... ِ )۱٥:(اللو ا...ت َوََل تَتَّبِ ْ أ َْه َوااَ ُه ْم َ استَق ْم َك َما أُم ْر َْ
Artinya: “....Sebagaimana diperintahkan kepadamu dan mengikuti hawa nafsu mereka...”(QS. Asy-Syura: 15).
janganlah
Dalam hal memasukkan Inhaler kedalam rongga dalam tubuh terutama ke dalam tenggorokan tidak bisa disamakan dengan makan dan minum, karena dalam memasukkan Inhaler belum tentu unsur-unsur yang terkandung didalamnya masuk ke dalam perut. Imam Abu Hanifah berpendapat jika sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh dan masuknya sampai ke dalam perut maka di hukumi batal puasanya. Akan tetapi jika unsur-unsurya tidak masuk kedalam perut, maka tidak bisa di hukumi batal. Puasa batal sebab masuknya benda yang tampak (bukan udara) sekalipun hanya sedikit ke dalam bagian yang disebut Jauf (rongga dalam) orang tersebut (yang sengaja, tahu hukumnya dan tidak terpaksa). 13 Masuknya obat Inhaler ini ke perut bukanlah suatu yang pasti (yakin), hanya keraguan saja (syak), yaitu bisa jadi masuk, bisa jadi tidak. Sehingga asalnya puasa orang yang menggunakan Inhaler ini sah atau tidak batal. Dalam hal ini berlaku kaidah:
ِ َّك َّي ََليَ ُزْو ُ بِالل ِّص ُ ْ اَلْيَق
Artinya: “Keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan syak (keraguan).”14
Dengan adanya penjelasan yang di dapat mengenai proses masuknya Inhaler ke dalam mulut kemudian masuk ke tenggorokan dan 13 14
Aliy As‟ad, Terjamah Fathul Mu‟in 2, (Kudus: Menara Kudus, 1979), hlm. 69. A. Basiq Djalil, Op. Cit., hlm. 134.
74
akhirnya ke paru-paru, berarti obat Inhaler ini tidak masuk ke perut. Menurut Imam Abu Hanifah ini tidak bisa dikatakan batal puasanya seseorang yang menggunakan Inhaler, karena obat tidak masuk ke perut, akan tetapi langsung ke paru-paru. Adapun landasan hukum yang membolehkan menggunakan Inhaler pada saat puasa adalah sebagai berikut:
)۱٧۳:(البقرة...اا َُّر َرْي َر بَ ٍاا َوََل َع ٍاد فَ َ ِ ُْثَ َعلَْي ِه ْ فَ َم ِن...
Artinya: “....Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya...”(QS. Al-Baqarah: 173).
Dalam hal ini juga di dasarkan pada pemeriksaan Ahli kesehatan (Perawat). B. Penarikan Kesimpulan yang di dapat dari Lapangan Berdasarkan keterangan yang di dapat dari Narasumber kesehatan tentang penyakit Asma dapat di ambil kesimpulan bahwa Asma merupakan suatu kondisi penyempitan saluran nafas karena ada mukosa (lendir) sehingga terjadi kesulitan dalam bernafas. Adapun alat bantu yang digunakan dalam mereda penyakit Asma yaitu menggunakan Inhaler. Inhaler merupakan salah satu alat Asma yang dapat melegakan pernafasan yang melanda. Adapun kandungan dalam Inhaler adalah O2, H20, obat-obatan dan cairan tekan, biasanya chlorofluorocerbous/ CFC. Yang berfungsi untuk mengendurkan lapisan otot yang mengelilingi saluran pernafasan. Sehingga, dalam proses pernafasannya lancar dan terasa lega. Proses masuknya obat melalui mulut, tenggorokan, kemudian langsung ke paru-paru.
75
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian serta analisis-analisis yang telah penulis paparkan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sekaligus jawaban atas rumusan masalah yang ada, uraian tersebut ialah sebagai berikut: 1. Para ahli fiqih sepakat bahwa hukum puasa bagi penderita Asma yang menggunakan Inhaler adalah batal. Dalam hal ini, memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh yang meliputi lubang telinga, hidung, dan sebagainya, menurut ulama sama dengan makan dan minum; artinya membatalkan puasa. Mereka mengambil alasan dengan qiyas, di qiyaskan (disamakan) dengan makan dan minum. Termasuk yang membatalkan puasa juga adalah memasukkan Inhaler ke dalam rongga tubuh. Karena fungsi dari Inhaler adalah menguatkan tubuh bagi penderita Asma, yang awalnya sulit dalam bernafas, kemudian dengan bantuan Inhaler dapat membantu penderita Asma untuk bisa bernafas dengan lega. Dalam hal ini ahli fiqih sepakat bahwa puasa Ramadhan batal karena masuknya sesuatu (Inhaler) ke dalam rongga yang ada pada tubuh, maka di wajibkan untuk meng-qadha puasanya pada hari-hari lain. 2. Menurut Imam Syafi’i puasa di hukumi batal apabila penderita Asma menggunakan Inhaler pada saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Karena dalam hal ini Imam Syafi’i meng-qiyaskan memasukkan Inhaler 75
76
sama dengan makan dan minum, karena sama-sama memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh, dan fungsi dari Inhaler adalah memberi kekuatan pada tubuh si penderita Asma, yaitu dapat bernafas dengan lancar/lega. Dan di wajibkan meng-qadha puasa yang di tiggalkannya pada hari-hari lain. 3. Menurut Imam Abu Hanifah memasukkan Inhaler ke dalam mulut kemudian ke tenggorokan dan akhirnya masuk ke paru-paru, dalam hal ini tidak dapat di hukumi membatalkan puasa, karena tidak masuk ke dalam perut. Dan juga didasarkan pada QS. Al-Baqarah:173.
)۱٧۳:( لبق ة...ا ُطَّر َفْضْيَف َف ٍغا َفَف َف ٍغا َف َف ِن ْضَف َفَفْض ِن َف َف ِن ْض...
Artinya: “....Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya...”(QS. Al-Baqarah: 173). Dalam hal ini juga didasarkan pada pemeriksaan Ahli kesehatan (Perawat). B. Saran-saran Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan tentang puasa kaitannya
dengan penggunaan alat pereda penyakit Asma yang merupakan salah satu teknologi yang canggih, dalam hal ini penulis memberikan saran bahwa: 1. Bagi penderita Asma yang kambuh pada saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan boleh menggunakan alat semprot atau hisap (Inhaler) ketika keadaannya benar-benar payah dan memang membutuhkan alat bantu Inhaler. Secara langsung puasanya menjadi batal, dan penderita Asma wajib meng-qadha puasanya di hari-hari lain.
77
2. Kepada para pembaca dimana sebagai seorang muslim hendaknya kita wajib mengetahui hal-hal yang boleh di lakukan dan yang tidak boleh di lakukan dalam aturan Allah SWT. Sehingga kita tidak terjerumus dalam persoalan yang sebenarnya mudah untuk di selesaikan, akan tetapi sulit di selesaikan jika diliputi dengan ketidak pahaman agama. Oleh karena itu perlunya belajar ilmu agama lebih mendalam. 3. Marilah kita mendekatkan diri kepada Allah yang selalu melimpahkan segala nikmat, rahmat dan hidayah-Nya yang tiada batas kepada kita. C. Kata Penutup Penulis berharap demi kesempurnaan studi lebih lanjut, atau tidak menutup kemungkinan bisa di kembangkan lebih jauh, lebih mendalam apalagi secara prioritas adalah lembaga atau perguruan tinggi yang bergerak dalam kajian Syari’ah dan hukum. Akhirnya, penulis berharap adanya penelitian yang lebih mendalam mengenai puasa dan hal-hal yang menyangkut puasa maupun ibadah yang lain. Demikianlah penelitian yang penulis lakukan mengenai HUKUM PUASA BAGI PENDERITA ASMA YANG MENGGUNAKAN INHALER (ALAT SEMPROT ATAU HISAP) (STUDI KOMPARASI MENURUT IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I) penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat dan penerapan hukum tentang puasa pada penderita Asma ini dapat diperbaiki. Dalam masa yang modern ini, penulis meyakini tidak ada karya ilmiah yang sempurna, begitu juga dengan karya ilmiah yang penulis tulis, dengan
78
ini penulis mohon maaf karena penulis yakin karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga, kritik, saran dan sumbangan data senantiasa penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Penulis tiada sanggup membalasnya. Penulis hanya mampu mendo’akan dengan iringan do’a.
DAFTAR PUSTAKA
A’la Maududi, Abdul. 2005. Dasar – Dasar Islam. Bandung: Pustakan. Cet ke-5. Abdul Aziz al-Mubarak, bin Asy-Syekh Faisal. 2009. Nailul Authar Jilid 3. Surabaya: PT Bina Ilmu. Abu Zahrah, Muhammad. 2013. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus. Ad-Dimisyqi, Bin Abdurrahman Syaikh Al-Allamah Muhammad. 2012. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi. Al-Mukaffi, Abdurrahman. 2015. 89 Kesalahan Seputar Puasa Ramadhan. Bekasi: Darul Falah. Al-Mundziri, Imam. 2003. Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Amani. Trjmh, Achmad Zaidun. Al-Zuhayly, Wahbah. 1996. Puasa dan I’tikaf: Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. As’ad, Aliy. 1979. Terjamah Fathul Mu’in 2. Kudus: Menara Kudus. Ash-Shiddieqy, Hasbi Teungku Muhammad. 2010. Kuliah Ibadah. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Cet I. Asy-Syurbasi, Ahmad. 2004. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab. Jakarta: Amzah. Azzubaidi, Ahmad Zaenuddin. 1986. Terjemah Hadits Shahih Bukhari Jillid 1. Semarang: C.V.Toha Putra. Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani. Trjmh, Abdul Hayyie Al-Kattani.
Bahri, Syamsul, dkk. 2008. Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Teras. Bull, Eleanor, dkk. 2005. Asma. Malang: Erlangga. Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana. Faridl, Miftah. 2007. Puasa Ibadah Kaya Makna. Jakarta: Gema Insani. Hadibroto, Iwan, dkk. 2005. Asma. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hasan Al-Jamal, Syaikh Muhammad. 2003. Biografi 10 Imam Besar. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad. 1999. Pedoman Puasa. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Khalil, Rasyad Hasan. 2009. Tarikh Tasyri’; Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta: Amzah. Khallaf, Abdul Wahhab. 2005. Sejarah Hukum Islam; Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya. Bandung: Marja. M.Tierney, Lawrence, dkk. 2002. Diagnosis Dan Terapi Kedokteran; Penyakit Dalam. Jakarta: Salemba Medika. Masyhur, Syekh Mushthafa. 2002. Berjumpa Allah Lewat Shalat. Jakarta: Gema Insani. Cet I. Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mughniyah, Jawad Muhammad. 2001. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera. Cet ke-7. Musbikin,
Imam.
2004.
Rahasia
Puasa
Bagi
Kesehatan
Fisik
dan
Psikis.Yogyakarta: Mitra Pustaka. Cet I. Nazir. Moh.2011. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1. Jakarta: Gema Insani. Rasjid, Sulaiman. 2014. Fiqh Islam. Cet ke-65. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Ritonga, Rahman, dkk. 1997. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama. Sayyid Quthb, Syahid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an. Jakarta: Gema Insani. Trjmh, As’ad Yasin Abdul Aziz Salim Basyarahil, dkk. Shihab, M.Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an. Jakarta: Lentera Hati. Soeharso dkk. 2007. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Semarang: Grand Media Pustaka. Sudarsono. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Syarifuddin, Ahmad. 2008. Puasa Menuju Sehat Fisik & Psikis. Jakarta: Gema Insani, cet ke 3. Yunus, Mahmud. 2001. Ibadah Puasa dan Zakat. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Cet ke 3. Zakariyya Al-Kandahlawi, Maulana Muhammad. 2007. Puasa Ramadhan dan I’tikaf. Yogyakarta: Citra Media.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Iftakhul Jannah
NIM
: 1211024
Tempat dan tanggal lahir : Jepara, 9 Desember 1992 Nama bapak kandung
: Yazid
Nama ibu kandung
: Khuriyati
Alamat
: Desa Bandungrejo, RT 1/RW 6, Kec. Kalinyamatan, Kab. Jepara
Riwayat Pendidikan
:
1. SDN Bandungrejo 2, Lulus Tahun 2005 2. SMPN 1 Kalinyamatan, Lulus Tahun 2008 3. SMAN 1 Welahan, Lulus Tahun 2011 4. Mahasiswa S1 UNISNU Jepara, Lulus Tahun 2015 Demikian riwayat pendidikan penyusun ini dibuat dengan sesungguhnya dan apabila terdapat kekurangan harap maklum.
Jepara, Oktober 2015 Penulis,
Iftakhul Jannah