٥٨
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG DIPERBOLEHKANNYA ANAK-ANAK MENJADI IMAM DALAM SHALAT KAITANNYA DENGAN SYARAT MENJADI IMAM
A. Analisis Pendapat Imam Syafi’i tentang Diperbolehkannya Anak-anak menjadi Imam dalam Shalat Kaitannya dengan Syarat Menjadi Imam Ilmu hukum Islam telah mengakui bahwa Imam Syafi’i adalah sebagai bapak yurisprudensi hukum Islam. Suatu julukan yang cukup pantas, dalam hal ini ia sebanding dengan kedudukan Aristoteles di lapangan filsafat, sebagai seorang yang digelari bapak filsafat. Namun begitu, kebesaran Imam Syafi’i tidak terletak dalam pengenalan konsep 100 % baru seperti sudah kita tunjukkan, melainkan dalam pemberian orientasi baru, penekanan baru dan perimbangan baru terhadap ide-ide yang sudah ada serta merangkumnya semua dalam satu skema akar-akar (dasar-dasar) hukum yang sistematik.1 Sebelum penulis menganalisis lebih jauh terhadap pendapat Imam Syafi’i sekali lagi dia adalah seorang ulama’ besar yang sangat terkenal sebagai imam madzhab dan terkenal konsekuensi hukumnya. Dalam hal ini adalah tentang diperbolehkannya anak-anak menjadi imam dalam shalat. Sebagai masyarakat ilmiah tentunya tidak mudah begitu saja menerima suatu pendapat secara demokratis, dengan kata lain perlu diadakan analisis terhadap pendapat
1
Hamid Ahmad, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, cet. 1, Jakarta: Guna Aksara, 1987, hlm. 69.
58
٥٩
yang ada utamanya dari segi pendapat Imam Syafi’i tentang diperbolehkannya anak-anak menjadi imam dalam shalat dan istimbath hukumnya. Imam shalat merupakan jabatan yang terpenting ketika seseorang melakukan shalat berjama’ah. Di mana ia dituntut harus memenuhi persyaratan yang cukup untuk diangkat menjadi imam. Dalam hal keimaman anak-anak, para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan boleh atau tidaknya anakanak diangkat menjadi imam shalat. Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa Imam Syafi’i berpendapat dalam kitabnya “al-Umm” sebagai berikut: “Ketika anak kecil yang belum baligh, dia berakal dan pandai membaca al-Qur'an menjadi imam shalat bagi orang-orang yang sudah baligh, maka keimamannya adalah sah”.2 Dengan pendapat ini dia mendasarkan bahwa ketika Rasulullah SAW masih hidup Amri bin Salamah pernah menjadi imam bagi kaumnya, padahal ketika itu ia baru berumur tujuh atau delapan tahun. Alasan lain yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i adalah bahwa anakanak yang belum baligh boleh menjadi imam bagi orang-orang yang sudah baligh dalam shalat-shalat tertentu, kecuali dalam shalat Jum’at karena shalatnya itu adalah sunah sedang syarat wajib shalat Jum’at adalah harus sudah baligh. Di samping itu yang lebih penting menurut dia adalah kalau anakanak tersebut memenuhi syarat yaitu mempunyai bacaan al-Qur'an yang bagus (fasih).
2
Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz. 1, Libanon: Daar al-Fikr, t.th., hlm. 295.
٦٠
Pendapat Imam Syafi’i di atas didukung oleh Imam Abi Ishak asySyairozi dalam kitabnya “Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i” dia berpendapat bahwa: 3
ُﺖ ِﺍﻣَﺎ َﻣﺘُﻪ ْ ﺤ ﺻﱠ َ ﻼ ِﺓ ﺼﹶ ﺍ َﻳ ْﻌ ِﻘﻞﹸ َﻭﻫُ َﻮ ِﻣ ْﻦ ﹶﺍ ْﻫ ِﻞ ﺍﻟ ﱠﺼِﺒ ﱡﻰ َﺣﺪ ِﺍﺫﹶﺍ َﺑﹶﻠ ﹶﻎ ﺍﻟ ﱠ
Artinya: “Apabila anak laki-laki menjelang baligh, dia berakal dan dia adalah ahli shalat (terbiasa shalat), maka mengimaminya itu sah. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Imam Mawardi dalam kitabnya “Al-Hawil al-Kabir” dia berpendapat bahwa :
ﺾ ﻛﹸﻠﱢﻬَﺎ ِﺍﺫﹶﺍ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِ َﻭَﻳﺠُﻮْﺯُ ﹶْﺍ ِﻷﺗْﻤَﺎﻡُ ِﺑ ِﻪ ﻓِﻰ ﺍﹾﻟ ﹶﻔﺮَﺍِﺋ،ُﻼﺗُﻪ ﺻﹶ َ ُﺼﺢ ِ ﺼِﺒ ﱡﻲ ﹶﻓَﺘ ﹶﻓﹶﺎﻣﱠﺎ ﺍﻟ ﱠ 4
ِ ﺍ ﱠﻻ ﺍﹾﻟ ُﺠ ْﻤﻌَﺔ،ُﻣﺮَﺍ ِﻫﻘﹰﺎ
Artinya: “ِAdapun Shalatnya anak kecil itu adalah sah. Oleh karena itu, ia boleh menjadi imam (shalat) ketika menjelang dewasa. Kecuali menjadi imam dalam shalat Jum’at. Sementara Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam kitab “Al-Sailly alSarori al-Mutadifiq ‘ala Hadaid al-Azhar” mengatakan bahwa tidak ada ketentuan bagi shoby (anak-anak) bahwa shalatnya shoby itu tidak sah. Oleh karena itu, ia boleh menjadi imam.5 Dari uraian-uraian di atas jelas bahwa imam anak-anak atas orang-orang yang
sudah
baligh
itu
sah,
sehingga
ulama’
Syafi’iyah
kemudian
menyimpulkan bahwa boleh anak-anak menjadi imam dalam shalat, asalkan ia memenuhi syarat bacaan al-Qur'an yang bagus (fasih) dan ketentuan lain dari 3
Abi Ishaq Ibrahim bin Ali asy-Syairozi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, juz 1, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hlm. 97. 4 Imam Mawardi, al-Hawil Kabir, juz 1, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 327. 5 Muhammad bin Ali asy-Syaukani, al-Sailly a-Sarori al-Mutadifiq ‘ala Hadaid al-Azhar, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 249.
٦١
para ulama’ Syafi’iyyah adalah ia tidak boleh menjadi imam dalam shalat Jum’at, karena bagi para ulama’ Syafi’iyyah disyaratkan untuk menjadi imam dalam shalat Jum’at hendaknya adalah yang sudah baligh. Lain halnya dengan pendapat beberapa madzhab yang berseberangan dengan Imam Syafi’i yaitu menurut pendapat Imam Hanifah dia mengatakan bahwa seseorang yang sudah baligh tidak sah bermakmum kepada anak-anak secara mutlak baik dalam shalat fardhu maupun shalat Sunah, karena shalatnya anak kecil itu adalah tidak sah, jadi ia tidak boleh menjadi imam.6 Pendapat ini juga diungkapkan oleh Imam Majidudin Abi al-Barkati dalam kaitannya “AlMuharoru fi al-Fiqh ‘ala Madzahib Imam Ahmad Hambal”, bahwa tidak sah bermakmum pada anak-anak baik dalam shalat fardhu ataupun sunah.7 Imam Abu Hanifah memandang bahwa shalatnya anak kecil itu tidak sah, karena dia belum baligh padahal syarat wajib shalat adalah baligh berarti di situ ia tidak diwajibkan shalat sebab tidak ada taklif (pembebanan hukum) kepadanya. Oleh karena itu, keimamannya jelas tidak sah. Sedangkan menurut pendapat Ahmad bin Hambal, dia mengatakan tentang keimaman anak-anak bahwa tidak sah orang yang sudah baligh bermakmum kepada anak-anak, karena anak-anak tersebut bukanlah orang yang sempurna, sedangkan untuk menjadi seorang imam dibutuhkan hal ihwal
6
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahibi al-‘Arba’ah, juz 1., Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 371. 7 Syaikh Imam Majdudin Abi al-Barkati, al-Muharoru fi al-Fiqh ‘ala Madzahib imam Ahmad, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Arabi, t.th., hlm. 103.
٦٢
yang sempurna8 atau setidaknya ia adalah seorang yang sudah baligh. Dia mendasarkan pendapatnya dengan Hadits Ibnu Mas’ud sebagai berikut:
9
(ﺤ ُﺪ ْﻭ ُﺩ ) َﺭﻭَﺍ ُﻩ ﹾﺍ ﹶﻻﺛﹾﺮ ْﻡ ُ ﺐ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ ﺍﹾﻟ َ ﺠ ِ ﻼﻡُ َﺣﺘﱠﻰ َﺗ ﹶﻻَﻳﺆُ ﱡﻡ ﺍﹾﻟﻐُ ﹶ:ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍﺩ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ْ َﻋ ِﻦ ﺍْﺑ ِﻦ َﻣ
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Janganlah anak-anak menjadi imam, sehingga sampai usia dikenai had” (HR. Asram). Dan Hadits dari Ibnu Abbas r.a : 10
(ﺤَﺘِﻠ َﻢ ) َﺭﻭَﺍ ُﻩ ﹾﺍ ﹶﻻﺛﹾﺮ ْﻡ ْ ﻼﻡُ َﺣﺘﱠﻰ َﻳ ﹶﻻَﻳﺆُ ﱡﻡ ﺍﹾﻟﻐُ ﹶ:ﺱ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ٍ َﻋ ِﻦ ﺍْﺑ ِﻦ َﻋﱠﺒﺎ
Artinya: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Janganlah anak-anak menjadi imam sehingga ia baligh” (HR. al-Atsram). Pendapat serupa juga diungkapkan Imam Malik, tapi bedanya dalam hal imam anak-anak ini dia membatasi, artinya dia mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh menjadi imam dalam shalat Fardhu, akan tetapi ia hanya boleh menjadi imam dalam shalat sunah saja.11 Berbeda dengan Imam Syafi’i yang memperbolehkan anak-anak menjadi imam dalam shalat, dengan ketentuan: pertama, ia harus mempunyai bacaan al-Qur'an yang fasih. Kedua, ia tidak boleh menjadi imam dalam shalat Jum’at. Ketentuan bahwa seorang imam itu harus mempunyai bacaan al-Qur'an yang bagus, ini didukung oleh Imam asy-Syairozi dalam kitabnya “Syarah fath al-Qadir” dia mengatakan bahwa memang seharusnya, seorang imam itu 8
Ibnu Qudamah al-Muqdasy, al-Mughny, juz II, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 146. 9 Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukanim Nailul Authar, Juz II, Beirut Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.th., hlm. 176. 10 Ibid. 11 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, wanihayatu al-Muktashid, juz 1, Surabaya: Daar alIhya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th., hlm. 104.
٦٣
mempunyai bacaan yang bagus karena dalam shalat itu ada banyak sekali qira’ah (bacaan) yang dibutuhkan kebenaran membacanya.12 Dari latar belakang di atas, penulis berpendapat mengenai pendapat Imam Syafi’i yang memperbolehkan anak-anak menjadi imam dalam shalat. Memang boleh-boleh saja mengangkat anak-anak menjadi imam bagi orang yang sudah baligh, kalau anak tersebut benar-benar mempunyai kapasitas yang lebih dari orang-orang dewasa dan ia mampu mengerjakannya. Dalam hal keimaman ini Rasulullah SAW hanya memberi syarat bahwa orang yang berhak mengimami suatu kaum adalah orang yang mempunyai bacaan alQur'an yang bagus (fasih). Itu berarti seorang anak-anak pun boleh menjadi imam asal ia mempunyai syarat seperti yang diajukan Rasulullah SAW. Dan sebagai bukti konkrit adalah bahwa dulu ketika Rasulullah SAW masih hidup Amri bin Salamah pernah mengimami kaumnya sedang pada waktu itu ia baru berumur tujuh atau delapan tahun. Peristiwa tersebut terjadi ketika Salamah ibnu Nafi’ al-Jurmy bersama kaumnya lewat di suatu mata air yang biasa disinggahi para kafilah yang lewat di daerah itu. Pada waktu itu sebagian bangsa Arab menunda keislaman mereka sampai setelah penaklukan kota Mekkah. Setelah Nabi SAW berhasil menaklukan Mekkah, maka setiap bangsa Arab berlomba-lomba untuk masuk Islam. dan Salamah ibnu Nafi’ al-Jurmy berkata kepada kaumnya “Demi Allah, baru saja aku datang dari seorang Nabi yang benar dalam suatu pesannya dia memerintahkan kami untuk melakukan shalat-shalat Fardhu pada waktu yang telah ditentukan. Dan jika telah tiba 12
Imam Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid asy-Syairozi, Sarah Fath al-Qadir, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 354.
٦٤
waktu shalat maka salah seorang di antara kami diperintahkan untuk melakukan adzan dan orang yang lebih pantas dipilih menjadi imam dalam shalat adalah seorang yang paling pandai dalam membaca al-Qur'an”.13 Dari peristiwa yang terjadi itu memang karena kondisi pada waktu itu yang tidak memungkinkan sebab di antara kaum Amri bin Salamah tidak ada satupun yang bisa membaca al-Qur'an dengan baik kecuali dia. Oleh karena itulah dia diangkat menjadi imam. Menurut penulis itu sah-sah saja dalam berhujjah mengenai imam shalat sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Syafi’i, karena memang dia mempunyai potensi yang melebihi orang yang sudah baligh. Dan mengenai pendapat yang tidak memperbolehkan anak-anak menjadi imam bagi orang-orang yang sudah baligh, penulis berpendapat bahwa ada kebenarannya juga anak-anak tidak boleh menjadi imam. Sebab bagaimanapun juga selain syarat bacaan al-Qur'an yang bagus (fasih), syarat baligh juga sangat penting sekali karena seseorang anak baru dikenai pembebanan hukum kalau ia sudah berusia baligh. Seandainya anak yang belum terkenai pembebanan hukum tersebut menjadi imam, maka jelas tidak sah. Di sisi lain dapat diketahui bahwa syarat wajib shalat salah satunya adalah baligh. Mengingat jabatan imam bukanlah persoalan yang mudah, artinya bahwa seorang imam penulis katakan adalah sebagai alat perantara kita dengan Tuhan. Jadi di situ dibutuhkan hal ihwal yang sempurna dari figur seorang imam shalat.
13
Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Ad-Damsiqy, Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul, Terjemah HM. Suwarta Wijaya, Jakarta: Kalam Mulia, cet. I, 1991, hlm. 102.
٦٥
Dari uraian di atas, timbul sebuah pertanyaan, bagaimana kalau memang dalam suatu wilayah itu tidak ada orang yang sama sekali bisa diangkat menjadi imam. Dan kebetulan juga di situ hanya ada anak kecil yang mana dia bisa membaca al-Qur'an dengan bagus (fasih). Menurut hemat penulis, itu adalah masalah pengecualian artinya kalau memang hal tersebut ada unsur kemaslahatan bagi wilayah itu atau bagi si imam dan si ma’mum, maka diperbolehkan mengangkat anak-anak menjadi imam. Di samping itu dari pihak ma’mum harus sepakat dan ikhlas menerima anak tersebut menjadi imam mereka. Karena memang tidak ada lagi yang pantas diajukan kecuali dia. Sebab menurut penulis bahwa sesuatu yang baik yang dikerjakan semata-mata untuk kemaslahatan umat adalah jalan yang diridhoi Allah SWT. Dan untuk masalah keimaman anak-anak menurut penulis juga merupakan kemaslahatan umat, karena didepan penulis sudah katakan bahwa shalat jama’ah tidak akan bisa dilaksanakan tanpa adanya imam yang menjadi panutan di tengah-tengah ma’mum. Jika ditanya mengenai anak-anak atau orang dewasa manakah yang lebih utama diangkat menjadi imam, tentu saja kita pasti akan menjawab bahwa orang yang sudah dewasa yang lebih berhak. Tapi ketika kita dihadapkan pada suatu permasalahan sebagaimana yang penulis paparkan bahwa apabila dalam suatu wilayah tersebut memang benar-benar tidak ada orang yang bisa membaca al-Qur'an dengan bagus (fasih), lalu apakah kita akan tetap pada prinsip bahwa orang dewasa yang berhak menjadi imam. Kalau menurut penulis pribadi, pasti tidak memungkinkan kita mengangkat orang yang tidak bisa membaca al-Qur'an dengan bagus (fasih). Padahal dalam shalat itu terdapat
٦٦
banyak sekali qiro’ah (bacaan) yang membutuhkan kebenaran dalam membaca. Kalau memang anak kecil tersebut bisa kenapa tidak. Karena memang keadaanlah yang menuntut begitu. Sebab hukum itu akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
َﺗ َﻐﱠﻴ َﺮ ﹾﺍ ﹶﻻ ْﺣﻜﹶﺎ ِﻡ ِﺑَﺘ َﻐﱠﻴ َﺮ ﹾﺍ ﹶﻻ ْﺯ ِﻣَﻨ ِﺔ ﻓِﻰ ﹾﺍ ﹶﻻ ْﻣ ﹶﻜِﻨ ِﻪ Artinya: “Perubahan hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan zaman dan tempat”14 Mungkin dari segi kemaslahatan inilah yang mendorong penulis sependapat dengan Imam Syafi’i tentang masalah di atas, karena masalah ini adalah menyangkut hal ihwal kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perlu kita pikirkan
agar
memperoleh
solusi
yang
tepat.
Soalnya
kalau
kita
mendiamkannya itu berarti kita mencegah orang-orang yang akan melakukan kebaikan. Di samping itu secara tidak langsung juga telah membubarkan kesatuan dan persatuan umat hanya karena mereka tidak mempunyai seorang pemimpin dalam shalat. Jadi intinya, jika dalam suatu keadaan yang sangat terpaksa dan tidak ada pilihan lainnya maka diperbolehkannya mengangkat anak-anak menjadi imam. Menurut penulis, jika permasalahan tersebut kita tarik pada era sekarang ini, rasanya pendapat Imam Syafi’i sudah tidak relevan lagi untuk di pakai, sebab kita tahu bahwa di era sekarang ini sudah banyak sekali orang-orang yang mempunyai potensi lebih untuk diangkat menjadi imam. Memang masalah keimaman anak-anak itu pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW 14
Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 149.
٦٧
yaitu Amri bin Salamah pernah mengimami kaumnya, sedang pada waktu itu dia baru berumur tujuh/delapan tahun. Menurut penulis, peristiwa itu sebagai sandaran berpijak para fuqaha’ dalam mengantsipasi fenomena/peristiwa kehidupan, dalam hal ini mengenai diperbolehkannya anak-anak menjadi imam dalam shalat. Jikalau kondisi pada zaman Rasulullah SAW tentang hal tersebut tidak pernah terjadi, maka peristiwa semacam ini akan menjadi sebuah wacana yang memerlukan suuatu ijtihad yang mendalam dari para fuqaha dalam memutuskan istimbath hukum tersebut. Sehingga dari perbedaan pendapat para fuqaha mengenai validitasi dan relevansi hadits Rasul itu bersifat universal (absolut), artinya perbedaan pendapat itu mengantarkan kaum muslimin kepada jalan alternatif yang sesuai dengan konteks kekinian.
B. Analisis
terhadap
Istimbath
Hukum
Imam
Syafi’i
tentang
Diperbolehkannya Anak-anak menjadi Imam dalam Shalat Hukum Islam sebenarnya tidak lain adalah fiqih Islam, atau syari’at Islam yaitu “Hasil daya upaya fuqaha’ dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Al-Qur'an dan as-Sunah melengkapi sebagian dari hukum-hukum Islam dalam bidang fiqih, kemudian para shahabat dan tabi’in menambahkan atas hukum-hukum itu, maka hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang timbul dalam masyarakat. Karenanya dapat dikatakan syari’at (hukum Islam) adalah hukum-hukum yang bersifat umum
٦٨
yang diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut kondisi dan situasi masyarakat serta masa.15 Penjelasan di atas menunjukkan bahwa antara syari’at dan fiqih memiliki hubungan yang sangat erat, karena fiqih adalah formula yang dipahami dari syari’at-syari’at tidak bisa dijalankan dengan baik tanpa dipahami melalui fiqih atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fiqih sebagai upaya memahami sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang melingkupi faqih (ijma’ fuqaha’) yang memformulasikannya. Karena itulah sangat wajar jika kemudian terdapat perbedaan-perbedaan dalam perumusan mereka. Kristalisasinya kemudian dicatat oleh sejarah, terdapat fiqih Sunny (berpaham ahli sunnah wal jama’ah) dan fiqih Syi’i (yang berpaham syi’ah yang mengaku pengikut Ali bin abi Thalib r.a). Di kalangan Sunny sendiri dikenal dengan fiqih Hanafi, fiqih Maliki, fiqih Syafi’i, fiqih Hambali, dan fiqih Auza’i, yang terakhir kurang popular di Indonesia.16 Oleh karena itu, sesuai dengan tata urutan pengambilan dasar hukum, maka dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum syari’ah mengenai perbuatan manusia kepada empat sistem pokok yaitu al-Qur'an, as-Sunah, al-Ijma’, dan al-Qiyas. Jadi apabila terjadi suatu kejadian, maka pertama kali harus dicari hukumnya dalam al-Qur'an. Bila telah ditemukan hukum di dalamnya, maka harus dilakukan hukum itu, dan apabila tidak terdapat dalam al-Qur'an maka harus melihat as-Sunah, apabila didapati hukumnya di dalamnya maka harus 15
Teungku Muhammad ash-shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. 2, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 29. 16 Ahmad Rafiq,Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja grafindo persada, 2000, hlm. 5.
٦٩
dilaksanakan hukum itu. Dan apabila tidak didapatinya maka harus melihat pada ijma’ para mujtahid, apabila mereka telah berijma’ mengenai suatu hukum pada masanya, bila didapat hukumnya maka hukum tersebut harus dilaksanakan dan apabila tidak didapati, maka harus berijtihad untuk mencari hukum pada suatu kejadian itu dengan menqiyaskan kepada hukum yang tidak ada nashnya.17 Adapun dalil mengenai penggunaan empat dalil tersebut sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi:
ﷲ َﻭﹶﺍ ِﻃْﻴﻌُﻮﺍﺍﻟ ﱠﺮ ُﺳ ْﻮ ﹶﻝ َﻭﺍﹸﻭﻟِﻰ ﹾﺍ ﹶﻻ ْﻣ ِﺮ ِﻣْﻨ ﹸﻜ ْﻢ ﹶﻓِﺎ ﹾﻥ َﺗﻨَﺎ َﺯ ْﻋُﺘ ْﻢ ﻓِﻰ َ َﻳﺎﹶﺍﱡﻳﻬَﺎﺍﻟﱠ ِﺬْﻳ َﻦ ﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ﹶﺍ ِﻃﻴْﻌُﻮﺍﺍ ﻚ َﺧْﻴ ٌﺮ َ ﷲ ﻭَﺍﹾﻟَﻴ ْﻮ ِﻡ ﹾﺍ ﹶﻻ ِﺧ ِﺮ ﺫِﻟ ِ ﷲ ﻭَﺍﻟ ﱠﺮ ُﺳ ْﻮ ِﻝ ِﺍ ﹾﻥ ﹸﻛْﻨُﺘ ْﻢ ﺗُﺆْ ِﻣﻨُﻮْ ﹶﻥ ﺑِﺎﺍ ِ َﺷ ٍﺊ ﹶﻓ ُﺮﺩﱡ ْﻭ ُﻩ ِﺍﻟﹶﻰ ﺍ (٥٩ :ﻼ )ﺍﹶﻟﱢﻨﺴَﺎ ُﺀ ﺴﻦُ َﺗ ﹾﺄ ِﻭْﻳ ﹰ َ َْﻭﹶﺍﺣ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (as-Sunah). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS. an-Nisa’: 59).18 Perintah menta’ati Allah SWT dan Rasul-Nya, artinya ialah mengikuti al-Qur'an dan as-Sunah, sedangkan perintah mengikuti Ulil Amri di antara kaum muslimin artinya telah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati oleh para mujtahid. Karena itulah para Ulil Amri umat Islam dalam soal pembentukan hukum adalah syari’at Islam. Dan peristiwa mengembalikan
17
Abdul Wahab khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, terj. Noer Iskandar al-Barsany, Jakarta: Rajawali Press, 1991, hlm. 18. 18 Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 128.
٧٠
kejadian-kejadian yang dipertentangkan di antara umat Islam, artinya ialah perintah mengikuti al-Qiyas ketika tidak terdapat nash/ijma’. Karena pengertian (taat dan mengembalikan) dalam masalah ini artinya ialah mengembalikan masalah yang dipertentangkan itu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, karena qiyas itu adalah mengadakan penyesuaian antara kejadian yang tidak terdapat dalam nash bagi hukmnya dengan kejadian yang terdapat dalam nash bagi hukumnya karena adanya kesamaan illat dalam dua kejadian tersebut.19 Berkaitan dengan istimbath hukum tentang diperbolehkannya anak-anak menjadi imam dalam shalat menurut pendapat Imam Syafi’i telah dijelaskan pada bab III. Konsekuensinya bahwa keimaman anak-anak yang belum baligh atas orang-orang yang sudah baligh adalah sah, jika anak-anak tersebut mempunyai bacaan al-Qur'an yang bagus (fasih). Dalam permasalahan ini Imam Syafi’i menyatakan pendapatnya dalam kitab “al-Umm” bahwa :
ﻼ ﹶﺓ َﻭَﻳﻘﹾ َﺮﺍﹸ ﺍﻟ ﱢﺮﺟَﺎ ﹶﻝ ﺍﹾﻟﺒَﺎِﻟ ِﻐْﻴ َﻦ ﻓﹶﺎِﺫﹶﺍ ﹶﺍﻗﹶﺎ َﻡ ﺼﹶ ﻼﻡُ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﹶﻟ ْﻢ َﻳْﺒﹸﻠ ﹾﻎ ﹶﺍﻟﱠﺬِﻯ َﻳ ْﻌ ِﻘﻞﹸ ﺍﻟ ﱠ ِﺍﺫﹶﺍ ﹶﺍ ﱠﻡ ﺍﹾﻟﻐُ ﹶ 20 ُﻼ ﹶﺓ ﹶﺍ ْﺟ َﺰﹶﺍْﺗ ُﻬ ْﻢ ِﺍﻣَﺎ َﻣﺘُﻪ ﺼﹶ ﺍﻟ ﱠ Artinya: Syafi’i telah berkata: “Ketika anak kecil yang belum baligh, dia berakal dan pandai membaca (al-Qur'an) menjadi imam shalat bagi orang-orang yang sudah baligh, maka keimamannya adalah sah”. Hal ini juga dijelaskan dalam kitab “al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asySyafi’i”, bahwa : 19 20
Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 19. Abi Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’i, op. cit., hlm. 295.
٧١
21
ُﺖ ِﺍﻣَﺎ َﻣﺘُﻪ ْ ﺤ ﺻﱠ َ ﻼ ِﺓ ﺼﹶ ﺍ َﻳ ْﻌ ِﻘﻞﹸ َﻭﻫُ َﻮ ِﻣ ْﻦ ﹶﺍ ْﻫ ِﻞ ﺍﻟ ﱠﺼِﺒ ﱡﻰ َﺣﺪ ِﺍﺫﹶﺍ َﺑﹶﻠ ﹶﻎ ﺍﻟ ﱠ
Artinya: “Apabila anak laki-laki menjelang baligh dia berakal dan dia adalah ahli shalat, maka keimamannya itu sah”. Jadi relevansinya dengan penerapan metode istimbath hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i tentang diperbolehkannya anak-anak menjadi imam dalam shalat adalah Hadits Nabi SAW dari Amr bin Salamah yang diriwayatkan oleh Abu Daud r.a sebagai berikut:
ﷲ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ ُ ﺻﻠﱠﻰﺍ َ ﺱ ِﺍﺫﹶﺍ ﺍﹶﺗَﻮُﺍﺍﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ُ ﺿ ٍﺮ َﻳ ُﻤﺮﱡ ِﺑﻨَﺎ ﺍﻟﻨﱠﺎ ِ ﹸﻛﻨّﺎ ِﺑﺤَﺎ: َﻋ ْﻦ َﻋﻤْﺮٍﻭ ِﺍْﺑ ِﻦ َﺳﹶﻠ َﻤ ﹶﺔ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﷲ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ُ ﷲ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍ ِ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﹶﻓﻜﹶﺎﻧُﻮﺍ ِﺍﺫﹶﺍ َﺭ َﺟﻌُﻮﺍ َﻣﺮﱡﻭﺍ ِﺑﻨَﺎ ﹶﻓﹶﺎ ْﺧَﺒ ُﺮ ْﻭﻧَﺎ ﹶﺍﻥﱠ َﺭﺳُﻮْ ﹶﻝ ﺍ ﻚ ﹸﻗ ْﺮﹶﺍﻧًﺎ ﹶﻛِﺜْﻴﺮًﺍ ﻓﹶﺎْﻧ ﹶﻄﹶﻠ َﻖ ﹶﺍﺑِﻰ َ ﺤ ِﻔﻈﹾﺖُ ِﻣ ْﻦ ﹶﺫِﻟ َ ﻼﻣًﺎ ﺣَﺎﻓِﻈﹰﺎ ﹶﻓ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻛﺬﹶﺍ ﻭَﻛﹶﺬﹶﺍ َﻭﻛﹸْﻨﺖُ ﻏﹸ ﹶ : ﻼ ﹶﺓ َﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺼﹶ ﷲ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ِﻓﻰ َﻧ ﹶﻔ ٍﺮ ِﻣ ْﻦ ﹶﻗ ْﻮ ِﻣ ِﻪ ﹶﻓ َﻌﻠﱠ َﻤﻬُﻢُ ﺍﻟ ﱠ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ َ ﻭَﺍِﻓﺪًﺍ ِﺍﻟﹶﻰ َﺭﺳُ ْﻮ ِﻝ ﺖ ﹶﺍ ْﺣ ﹶﻔﻆﹸ ﹶﻓ ﹶﻘ ﱢﺪ ُﻣ ْﻮﻧِﻰ ﹶﻓﻜﹸْﻨﺖُ ﹶﺍ ُﺅﻣﱡ ُﻬ ْﻢ ُ " َﻳ ُﺆﻣﱡ ﹸﻜ ْﻢ ﹶﺍﻗﹾ َﺮﺅُﻛﹸﻢْ " ﹶﻓﻜﹸْﻨﺖُ ﹶﺍﻗﹾ َﺮﹶﺍﻫُﻢْ ﹶﻟﻤﱠﺎ ﹸﻛْﻨ ﺖ ﺍ ْﻣ َﺮﹶﺍﹲﺓ ِ ﺖ ﻋَﻨﱢﻰ ﹶﻓﻘﹶﺎﹶﻟ ْ ﺸ ﹶﻔ ﺠ ْﺪﺕُ َﺗ ﹶﻜ ﱠ َ ﺻ ﹾﻔﺮَﺍ ُﺀ ﹶﻓﻜﹸْﻨﺖُ ِﺍﺫﹶﺍ َﺳ َ ﺻ ِﻐ َﲑ ٍﺓ َ َﻭ َﻋﻠﹶﻰ ﺑُ ْﺮ َﺩ ٍﺓ ﻟِﻰ ﺸ ٍﺊ َ ﺎ ﹶﻓﻤَﺎ ﹶﻓ ِﺮ ْﺣﺖُ ِﺑِﻣ َﻦ ﺍﻟﱢﻨﺴَﺎ ِﺀ ﻭَﺍﺭُﻭْﺍ َﻋﻨﱠﺎ َﻋ ْﻮ َﺭ ﹶﺓ ﻗﹶﺎ ِﺭِﺋﻜﹸ ْﻢ ﻓﹶﺎ ْﺷَﺘﺮُﻭﺍ ﻟِﻰ ﹶﻗ ِﻤْﻴﺼًﺎ ُﻋﻤَﺎِﻧﻴ ﻼ ِﻡ ﹶﻓ ِﺮﺣِﻰ ِﺑ ِﻪ ﹶﻓﻜﹸْﻨﺖُ ﹶﺍ ُﺅﻣﱡ ُﻬ ْﻢ ﻭَﺍﻧَﺎ ﺍْﺑ ُﻦ َﺳْﺒ ِﻊ ] ِﺳِﻨْﻴ َﻦ[ ﹶﺍ ْﻭ ﹶﺛﻤَﺎ ِﻥ ِﺳِﻨْﻴ َﻦ َﺑ ْﻌ َﺪ ﺍ ِﻻ ْﺳ ﹶ 22 () َﺭﻭَﺍ ُﻩ ﹶﺍُﺑ ْﻮ ﺩَﺍﻭُ َﺩ Artinya: Dari Amri bin Salamah R.A., ia berkata : “Kami berada di suatu persinggahan arus lalu lintas, yang pergi mengahadap kepada Nabi SAW, setelah pulang mereka mampir menemui kami lalu memberitahukan Rasulullah SAW, bersabda : begini dan begini. Aku adalah seorang anak yang kuat hafalannya, karena itu aku banyak hafal al-Qur'an maka ayahku pernah pergi menghadap Rasulullah SAW sebagai delegasi kaumnya bersama beberapa orang lainnya. dia mengajar mereka shalat dan bersabda : yang paling berhak menjadi imam shalat kamu adalah yang paling ahli 21
Abi Abdillah bin Idris asy-Syafi’i, loc. cit. Imam al-Khafidz Abi Daud, Sunan Abu Daud, juz 1, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub alIlmiyah, t.th., hlm. 159. 22
٧٢
membaca al-Qur'an. Kebetulan aku seorang yang paling ahli membaca al-Qur'an daripada mereka, karena aku telah biasa menghafalkannya. Oleh sebab itu mereka memajukan aku untuk menjadi imam. Maka aku biasa menjadi imam mereka dengan memakai kain kecil berwarna kuning, sehingga ketika aku bersujud ‘auratku sedikit tersingkap. Kemudian seorang wanita di antara mereka berkata : tutupilah dari kami, aurat ahli al-Qur'an (yang menjadi imam) kamu, maka membelikan sehelai baju oman untukku. Alangkah gembiranya aku, sehingga terasa bagiku belum pernah segembira itu, setelah aku memeluk Islam, aku menjadi imam mereka sedang usiaku tujuh/delapan tahun” (HR. Abu Daud). Dengan berpedoman pada Hadits yang telah disebutkan di atas, Imam Syafi’i memperbolehkan anak-anak menjadi imam dalam shalat, hal ini dikarenakan bahwa dahulu pada masa Rasulullah SAW masih hidup Amr bin Salamah pernah menjadi imam bagi kaumnya, padahal ketika itu ia baru berumur tujuh/delapan tahun. Dan hal ini menunjukkan bahwa boleh imam anak-anak yang belum baligh atas orang-orang yang sudah baligh. Jika hal ini tidak diperbolehkan, niscaya Nabi SAW tidak akan memberi ijin dan melarang Amr bin Salamah untuk mengimami kaumnya. Menurut penulis istimbath hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam hal ini sudah sesuai, karena memang di dalam al-Qur'an tidak ada dalil yang secara khusus menjelaskan mengenai diperbolehkannya anak-anak menjadi imam dalam shalat. Dengan demikian jika dalam al-Qur'an tidak ditemukan dalilnya, maka dia mengambil dari Hadits. Dan Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Nasa’i dan Abu Daud r.a dengan sanad hasan. Dan Imam Syafi’i menganggap hadits tersebut hasan, karena apabila maqtu’ maka Imam Syafi’i
٧٣
menolaknya. Hadits hasan sendiri terletak antara shahih dan dhaif.23 Hadis hasan maksudnya adalah Hadits yang dinukilkan oleh orang-orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, sanadnya bersambung, tidak berillat dan tidak syadz (janggal). Oleh karena itu, Hadits tersebut berada di tingkatan hadits shahih, karena kurang kuat ingatannya dan merupakan Hadits hasan lighairihi, karena bukan hasan dengan sendirinya. Jadi hadits itu menjadi hasan karena pengaruh atau karena didukung oleh orang lain24 sehingga dapat dijadikan hujjah. Dengan demikian Imam Syafi’i termasuk seorang mujtahid yang menggunakan dasar Hadits dalam mengistimbathkan hukum yang berkaitan dengan diperbolehkannya anak-anak menjadi imam dalam shalat. Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa istimbath hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’i dalam masalah ini adalah kuat, karena Hadits tersebut menunjukkan bahwa syarat terpenting ketika seseorang dijadikan imam adalah kalau ia mempunyai bacaan al-Qur'an yang bagus (fasih), walaupun ia seorang anak-anak yang belum baligh. Karena itu merupakan syarat dari Rasulullah SAW sendiri, sebagaimana keumuman sabdanya yang berbunyi:
25
ﷲ َﺗﻌَﺎﻟﹶﻰ ِ َﻳ ُﺆﻣﱡ ﹸﻜ ْﻢ ﹶﺍﻗﹾ َﺮﺅُﻛﹸﻢْ ﻟِﻜِﺘَﺎﺏِ ﺍ
Di samping itu Hadits tersebut adalah hasan, karena selain dia mendasarkan pada kejadian ketika Rasulullah SAW masih hidup bahwa Amr
23
171.
24
Hadi Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah, Semarang: CV Sarana Aspirasi, 1994, hlm.
Ibid., hlm. 1171-173. Ibnu Qudamah al-Muqdasi, Al-Mughni Juz II, Beirut Libanon, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.th, hlm. 146. 25
٧٤
bin Salamah pernah menjadi imam bagi kaumnya, padahal ketika itu baru berusia tujuh/delapan tahun.26 Menurut hemat penulis dalam persoalan ini terdapat beberapa alasan yang menghendaki bahwa anak-anak yang belum baligh boleh dijadikan seorang imam. Yaitu kalau toh memang dalam suatu daerah/kelompok benarbenar tidak ada satu orang pun yang bisa membaca al-Qur'an dengan baik (fasih) walaupun mereka sudah baligh, selain anak tersebut. Maka mengangkatnya menjadi imam atas orang-orang yang sudah baligh adalah boleh dan keimamannya adalah sah. Hanya saja menurut penulis, bagaimanapun juga orang yang sudah balighlah yang lebih utama dan tepat untuk dijadikan sebagai imam, karena itu akan keluar dari perbedaan pendapat. Oleh karena itu, diperbolehkannya anak-anak menjadi imam dalam shalat itu harus memperhatikan ketentuan yang telah diuraikan sebelumnya.
26
Syaikh al-Fara’ al-Baghawi, Misykaatul Mashaa Bihi, terj. Yunus Ali al-Muhdhor, Piala Lampu-lampu Penerang, jilid 1, Semarang: CV. As-Syifa’, 1993, hlm. 562.