BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN HUKUM IMAM SYAFI’I
A.
Sejarah dan Metode Ijtihad yang dipergunakan Imam Syafi'i Riwayat Hidup Imam Syafi'i
1.
Imam Syafi'i nama sebenarnya adalah Muhammad Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Sabit bin Abu Yazid bin Hakim bin Muthalib bin Abdul Manaf, keturunan dari pihak bapak bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, dari keturunan suku Kuraisy, sedangkan dari ibunya dari golongan Al-Azz yang lahir di Gazza, salah satu kota di daerah Palestina di pinggiran Laut Merah pada tahun 150 Hijriyah atau bertepatan dengan 767 Masehi Imam Syafi'i lahir.1 Imam Syafi'i ketika lahir sudah dalam keadaan yatim, karena sudah ditinggal wafat oleh ayahandanya. Kemudian setelah berusia kurang lebih dua tahun, baru beliau dibawa pulang oleh ibundanya ke kota Makkah. Di Makkah beliau tetap ditempat kediaman ayahandanya yang semula, dan tetap dibawah asuhan
1
Departemen Agama RI, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 1984), hlm. 76.
14
15
ibundanya dengan penghidupan dan kehidupan yang sangat sederhana,dan kadang-kadang menderita kesulitan.2 Beliau meskipun dalam keadaan yatim dan miskin, namun beliau pada masa sebelum dewasanya, baru berusia sembilan tahun sudah dapat hafal Al-Qur'an diluar kepala dengan lancarnya, kemudian beliau dengan tekad yang bulat pergi dari Makkah menuju ke suatu dusun bangsa Badwy Banu Hudzail untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih, karena dusun Banu Hudzail itulah satu-satunya dusun yang penduduknya terkenal masih berbahasa arab yang fasih dan asli. Di dusun itulah beliau dengan rajin mempelajari bahasa Arab dan kesusteraannya serta sya’ir-sya’irnya kepada para pemuka orang di dusun itu. Beliau mempelajari adat istiadat bangsa Arab yang asli, dan cara pergaulan mereka yang masih baik budi serta jauh dari percampuran adat istiadat bangsa lain yang telah biasa terjadi di kota-kota yang besar.3 Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid Az-Zanniy, seorang guru besar dan mufti di
٢
K.H. Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hlm. 152. ٣
Ibid., hlm. 152.
16
kota Makkah pada masa itu. Ayah lama beliau belajar kepada guru itu, sehingga mendapat ijazah dan diberi hak boleh mengajar dan memberi fatwa tentang hukum-hukum yang bersangkut paut dengan agama. Tengang ilmu hadits, beliau belajar kepada Imam Sufyan bin Uyainah, seorang alim besar ahli Qur’an di kota Makkah di masa itu. Dan tentang ilmu Al-Qur'an, beliau belajar kepada Imam Isma’il Qasthanthin, seorang alim besar ahli Qur’an di kota Makkah di masa itu. Selanjutnya kepada para ulama lainnya di masjid Al-Haram, beliau belajar berbagai ilmu pengetahuan, sehingga ketika baru beusia 15 tahun, beliau telah menduduki kursi mufti di kota Makkah. Menurut riwayat, ketika beliau baru berusia 10 tahun sudah dapat mengerti tentang isi kitab “Al-Muwaththa” yang disusun oleh Imam Maliky.4 Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Imam Syafi'i adalah sebagai berikut :
ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻳﻘﺴﻢ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺍﻗﺴﺎﻡ ﺛﻠﺚ ﻟﻠﻌﻠﻢ ﻭﺛﻠﺚ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﻭﺛﻠﺚ ﻟﻠﻨﻮﻡ ﻭﳜﺘﻢ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﰱ ﻛ ﹼﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺮﺓ ﻭﳜﺘﻢ ﰱ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺳﺘﲔ ﻣﺮﺓ ﻛﻞ ﺫﻟﻚ ﰱ ﺍﻟﺼﻼﺓ Artinya : “Bahwasanya Imam Syafi'i membagi malam itu kepada tiga bagian: sepertiganya untuk ilmu pengetahuan, sepertiganya lagi untuk sembahyang, dan sepertiganya lagi untuk istirahat atau tidur dan beliau setiap hari ٤
Ibid., hlm. 153.
17
membaca Al-Qur'an sampai enam puluh kali khataman yang kesemuannya itu beliau baca sewaktu dalam sembahyang”.5 Terhadap semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Al-Qur'an, Sunnah, ucapan para sabahat, sejarah serta pendapat-pendapat yang lawanan dari para ahli dan sebagainya diaduk dengan sempurna dengan pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab dari gurun pasir itu baik dalam ilmu bahasanya, nahwunya, sharafnya, dan sya’irnya. Oleh karena itu Ahmad Ibnu Hambal dengan segenap kejujuran ia berkata: “AlSyafi’i bagi umat ini ibarat matahari bagi bumi dan laksana kesehatan bagi tubuh, siapa yang akan dapat menggantikannya”.6 Dalam perjalanan hidupnya, setelah berpindah-pindah di beberapa tempat yang pada akhirnya beliau berpindah ke negeri Mesir kedatangannya disambut oleh ulama-ulama di sana, ternyata beliau di sana (Mesir) dapat mengembangkan ilmu yang sudah dipadatkannya dan di sanalah beliau menjadi ulama yang besar dan terkenal pada waktu itu. Imam Syafi'i ketika di negeri Mesir
dan
Baghdad
banyak
sekali
perbedaannya
dalam
menetapkan suatu permasalahan hukum, sehingga Mesir selama
5
Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I’anah At-Talibin, Juz I, Mustafa Al-Babi Al-Halabi, Mesir, 1942, hlm. 16. 6
Nasrudin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1982), hlm. 259.
18
enam tahun akhirnya pada tahun 204 H, di Fushah beliau wafat dan dimakamkan di kaki gunung Qatam di kota Mesir.7 Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi'i
2.
Imam Syafi'i termasuk orang yang alim juga sebagai seorang penya’ir, sehingga banyak sya’ir-sya’ir yang beliau tulis dan yang terpenting beliau termasuk seorang yang banyak sekali mengarang kitab, dan semua karangannya itu sampai sekarang masih banyak kita jumpai. Imam Syafi'i dalam mengarang kitabnya berada di dua tempat yaitu di Mesir dan di Baghdad, di Mesir disusun semua kitab-kitabnya itu menjadi satu kitab yang disebut dengan “Qaul Jadid”, sedangkan di Baghdad kitab-kitab yang disusun disebut dengan “Qaul Qadim”.8 Adapun karya beliau yang paling besar dan menjadi pedoman bagi kaum muslimin sekarang, diantaranya adalah: a. Kitab Ar-Risalah b. Kitab Al-Umm c. Kitab Ikhtikaf Al-Hadits
٧
K.H.E., Abdurrahman, Perbandingan Madzhab-Madzhab, (Bandung: CV. Sinar Baru,
1986), hlm. 31. ٨
Ibid.,
19
d. Kitab Al-Musnad.9 3.
Sejarah Perkembangan Madzhab Syafi’i Sejarah perjalanan kehidupan Imam Syafi'i adalah selalu belajar dan mengajar ilmu agama. Ketika beliau masih menjadi murid, Imam Syafi'i termasuk yang diistimewakan oleh Imam Malik, terbukti beliau pernah diminta oleh Imam Malik (gurunya) untuk bertempat tinggal serumah dengannya dan semua biaya baik untuk hidup maupun untuk keperluan lainnya ditanggung dan dicukupinya. Berkat ketekunan yang selalu dekat dengan gurunya, maka beliau menjadi penganut madzhab Maliki yang setia. Hal ini terbukti ketika di Makkah masih menganut madzhab Maliki dan barulah belajar di Irak yang di sana menganut madzhab Hanafi. Karena keadaan seperti itu Imam Syafi'i berubah menjadi penganut madzhab Hanafi. Setelah pulang dari negeri Irak, beliau menetap di Makkah dan membawa fiqih Iraqi yang sudah sempurna kemudian dikembangkannya melalui diskusi dalam majlis ta’lim yang bertempat
٩
di
Masjidil
Haram,
dan
di
sinilah
memulai
A. Hanafi, M.A., Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), hlm. 155.
20
menumbuhkan fiqih baru yaitu fiqh ala Madinah dan fiqh ala Iraqi, ini berarti fiqih yang bercampur antara naqli dan aqli.10 Kehidupan Imam Syafi'i senantiasa berpindah-pindah, sehingga di setiap tempat banyak penganutnya, maka lambat laun madzhab syafi’i dapat berkembang dengan pesatnya, terlebih lagi murid-murid beliau angat giat dalam mengembangkan madzhab gurunya tersebut. Madzhab Syafi’i tersiar dan berkembang pula di negaranegara Islam sebelah timur, kemudian berkembang sedikit demi sedikit ke lain negeri. Adapun sekarang umumnya pengikut Madzhab Syafi’i terdapat di Mesir, Palestina, Arminia, Ceylon, sebagian penduduk Persia, tiongkok, Philipina, Indonesia, Australia, Aden dan sebagian penduduk di Asia. Di India terdapat banyak pengikut Madzhab Syafi’i juga di Syam, kira-kira seperempat dari jumlah penduduknya mengikuti Madzhab Syafi’i.11
B.
Metode Istimbath Hukum Imam Syafi'i Imam Syafi'i adalah seorang imam madzhab yang terkenal dalam sejarah Islam, seorang pakar ilmu pengetahuan agama yang
10
Prof. Dr. T.M., Ash-Shiedieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 23.
21
luas dan memiliki kepandaian yang luar biasa, sehingga ia mampu merumuskan kaidah-kaidah yang dapat dipakai sebagai metode istimbath, sebagaimana yang termaktub dalam karyanya yang terkenal yaitu “Ar-Risalah”. Kitab Ar-Risalah merupakan sumbangan Imam Syafi'i yang sangat besar dalam dunia intelektual muslim. Dengan kitab Al-Qur'an, As-Sunah
serta
teori
Imam
Syafi'i
tentang
prinsip-prinsip
jurisprudensi (ushul fiqh) penjabaran hukum Islam dapat diawasi keotentikannya secara obyektif sekaligus kreatif dikembangkan dengan suatu penalaran yang rasional. Imam Syafi'i apabila hendak memutuskan suatu hukum, beliau pertama-pertama
mendahulukan
tingkatan
yang
lebih
tinggi
sebagaimana diterangkan dalam kitab Ar-Risalah, bahwa dasar Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah : 1. Kitab Allah 2. Sunnah Rasul 3. Ijma’ 4. Qiyas.12
11
١٢
K.H., Moenawir Chalil, Op.Cit., hlm. 244. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th., hlm. 17.
22
Imam Syafi'i sangat mengutamakan dan menyatukan Al-Hadits sebagai pemberi penjelasan terhadap Al-Qur'an yang sifatnya masih dzanni.13 Oleh karena itu jumhur membolehkan mentahsis Al-Qur'an dengan Khabar Ahad. Adapun yang dimaksud dengan Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang dari satu orang dan demikian seterusnya sampai ke sumbernya, yakni Nabi atau sahabat. Hadits seperti ini tidak dapat menjadi hujjah, kecuali jika orang yang meriwayatkan terpercaya dalam agamanya, dikenal jujur dalam periwayatan, memahami apa yang diriwayatkan, menyadari sesuatu lafadz yang mungkin mengubah arti hadits, dan hendaknya cakap meriwayatkan hadits kata demi kata sebagaimana yang ia dengar dan bukan hanya mungkin dapat mengubah artinya, tidak diketahui jelas, mungkin sebaliknya.14 Disamping itu, jumhur mengemukakan alasan bahwa perintah Allah untuk mengikuti Nabi tidak terbatas karena itu apabila Nabi mengeluarkan suatu ketentuan, umat Islam wajib menaantinya andaikata ketentuan itu dari Nabi SAW itu menurut lahirnya berlawanan dengan umumnya Al-Qur'an hendaknya diusahakan untuk
١٣
Ibid., hlm. 112.
١٤
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1976, hlm. 170.
23
mengompromikannya, ialah mentahsiskan keumumannya, dan mereka konsekuen dengan pendapat bahwa dalalah lafadz amm sebagian satunya adalah dzanni. Oleh karena itu tidak ada halangan mentahsiskan keumumannya Al-Qur'an dengan khabar Ahad yang berdalalah dzanni itu.15
Selanjutnya Imam Syafi'i mempergunakan Ijma’ jika tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu, baik dalam Al-Qur'an maupun AsSunnah. Mengenai apa yang disepakati (ijma’) dan dikatakan ada landasan riwayat dari Rasulullah, maka demikian itulah insya Allah.16 Mengenai ijma’ yang tidak terkait dengan riwayat dan Nabi, Imam Syafi'i tidak dapat menjelaskan sebagai sumber dari riwayat itu, sebab seorang hanya dapat meriwayatkan apa yang ia dengar. Tidak dapat seseorang meriwayatkan sesuatu berdasarkan dugaan di mana ada kemungkinan bahwa Nabi sendiri tidak pernah mengatakan atau melakukannya. Maka kami menerima kesepakatan umat dan mengikuti otoriter mereka dengan keyakinan bahwa setiap sunnah
١٥ ١٦
Muhammad Khuzari Beik, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr, t.th., hlm. 186-187. Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Op. Cit., hlm. 204.
24
Nabi pasti diketahui oleh sebagian lainnya. Kami yakin bahwa umat tidak akan bersepakat atas sesuatu kesalahan.17 Menurut Imam Syafi'i, Ijma merupakan hujjah syar’iyah karena ketika Umar bin Khattab berkunjung ke Al-Jabiyah, dia berpidato di muka para sahabat, pada kesempatan itu beliau mengemukakan:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺣﺪﺛﲎ ﺍﰉ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﰉ ﺍﺳﺤﺎﻕ ﺃﻧﺒﺎﻧﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﻳﻌﲎ ﺍﰉ ﺍﳌﻨﺎﺭﻙ ﺃﻧﺒﺎﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻮﻗﺔ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﺑﻦ ﺩﻳﻨﺎﺭ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻡ ﻓﻴﻨﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ:ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺧﻄﺐ ﺏ ﺑﺎﳉﺎﺑﻴﺔ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﺳﺘﻮﺻﻮﺍ ﺑﺄﺻﺤﺎﰉ ﺧﲑ ﰒ:ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻘﺎﻣﻰ ﻓﻴﻜﻤﻰ ﻓﻘﺎﻝ ﺣﱴ ﺍﻥ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻟﻴﺒﺘﺪﻯ,ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻠﻮﻬﻧﻢ ﰒ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻠﻮﻬﻧﻢ ﰒ ﻳﻔﺸﻮ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻓﺎﻥ,ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﻗﺒﻞ ﺍﻥ ﻳﺴﺌﻠﻬﺎ ﻓﻤﻦ ﺍﺭﺍﺩ ﻣﻨﻜﻢ ﲝﺒﺤﺔ ﺍﳉﻨﺔ ﻓﻠﻴﺰﻡ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔ ( ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺛﺎﻟﺜﻬﻤﺎ ﻭﻣﻦ ﺳﺮﺗﻪ ﺣﺴﻨﺔ ﺳﺄﺗﻪ ﺳﻴﺌﺘﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﺆﻣﻦ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﲪﺪ Artinya : “Diceritakan dari Abdullah berkata: Bapak saya menceritakan padaku, diceritakan Jabir dari Abdul Malik ibn Umar, dari Jabir ibn Samurah berkata Umar bin Ktahhab telah berkhutbah dihadapan kaum muslimin di Jabiyah dengan perkataan; Sesungguhnya Rasulullah SAW berdiri seperti berdirinya aku di sini dan bersabda: “berbuat baiklah kepada sahabat-sabahatku kemudian penerus-penerusnya dan penerus yang selanjutnya, kemudian datang seorang sahabat yang bersumpah sebelum dimintai sumpah dan memberi kesaksian sebelum dimintai kesaksiannya. Barang siapa yang ingin memperoleh kelapangan di surga, maka ia ١٧
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ibid., hlm., 204.
25
harus mengikuti mayoritas umat, maka sesungguhnya syaitan besera orang yang menyendiri jika seorang bergabung dengan yang lainnya sehingga menjadi berbua dan seterusnya maka syaitan semakin menjauh. Janganlah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita, sebab syaitan akan menjadi teman ketiga bagi mereka, dan barang siapa merasa bahagia dengan amal baiknya dan merasa susah dengan amal buruknya, maka dia adalah mukmin yang sesungguhnya”. (HR. Ahmad).18
Yang dimaksud dengan Ijma’ menurut Imam Syafi'i adalah :
ﺍﺗﻔﺎﻕ ﺍﺠﻤﻟﺘﻬﺪﻳﻦ ﻣﻦ ﺍﻻﻣﺔ ﺍﻻﺳﻼﻣﺔ ﰱ ﻋﺼﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺼﻮﺭ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﺮ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﻌﻤﻠﻴﺔ Artinya : “Kesepakatan para imam mujtahid diantara umat Islam pada satu masa setelah Nabi SAW terhadap suatu persoalan”. 19 Kemudian jika tidak terdapat pula dalam ijma’ (kesepakatan para ulama), maka Imam Syafi'i mempergunakan istimbath qiyas (analogi). Dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi'i disebutkan bahwa semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim tentu ada hukum yang jelas dan mengikat sekurang-kurangnya ada ketentuan
18
Muhammad Abdul As-Salam Adbul As-Sani, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal, Juz I, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Beirut, t.th., hlm. 24. ١٩
Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), hlm. 152.
26
umum yang menunjukkan kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu tidak lain adalah qiyas.20 Qiyas itu ada dua macam; Pertama, yaitu kasus yang dipersoalkan tercakup dalam arti dasar yang terdapat dalam ketentuan pokok. Dalam qiyas semacam ini, insya Allah tidak akan terjadi perbedaan. Kedua, yaitu kasus yang dipersoalkan tercakup dalam ketentuan yang lebih mendekati kemiripannya. Dalam qiyas semacam ini perbedaan memang sering terjadi.21 Diantara firman Allah yang mendasari qiyas adalah :
ﻭﻻﳛﻴﻄﻮﻥ ﺑﺸﻴﺊ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﻪ ﺍﻻ ﲟﺎﺷﺎﺀ Artinya : “Mereka tiada tahu tentang ilmu-Nya, kecuali yang ia kehendaki”. (Q.S. Al-Baqarah: 255)
٢٠
Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i, Op. Cit., hlm. 206.
٢١
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Op.Cit., hlm. 207.