WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam)
Oleh : Drs. Arpani, S.H.
(Hakim Pengadilan Agama Bontang)
A. PENDAHULUAN Salah keseimbangan
satu
hikmah
perkawinan
adalah
untuk
menciptakan
keturunan, secara lahiriah pasangan suami isteri pada
umumnya sangat mendambakan adanya keturunan
yaitu anak yang
merupakan hasil dari perkawinan tersebut yang nantinya akan menjadi pewaris dan sebagai penerus keluarga, anak
merupakan suatu curahan
kasih sayang keluarga. Secara realita banyak pasangan suami isteri
yang belum berhasil
memperoleh keturunan (anak) padahal pasangan tersebut sudah mapan dan perekonomian berkelebihan, namun disisi lain masih ada pasangan suami isteri yang merasa kurang siap untuk memperoleh anak karena faktor ekonomi tidak berkecukupan justru banyak mempunyai keturunan (anak). Dari permasalahan kedua pasangan suami isteri yang telah diuraikan diatas, adalah merupakan suatu kehidupan yang terjadi suami isteri yang tidak mempunyai keturunan dapat (Mengadopsi anak), dari kedua orang tua anaknya
bagi
pasangan
mengangkat anak
yang dapat
menyerahkan
dengan cara diadopsi oleh pasangan suami isteri yang tidak
mempunyai keturunan (anak)
untuk
dijadikan anak angkat bagi mereka,
sehingga dengan demikian terjadilah suatu
proses peralihan tanggung
jawab dari orang tua yang menyerahkan anaknya kepada suami isteri yang telah menerima dan bersedia membesarkan serta mendidik anak tersebut
sebagaimana anak kandungnya sendiri. Pelaksanaan proses pengangkatan anak mengakibatkan hukum baru, dimana kalau terjadi suatu musibah
ketentuan
yang mengakibatkan
suatu kematian dari orang tua angkat tersebut, maka akan terjadi suatu perubahan sosial tentang pembagian harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang tua angkat/anak angkat itu sendiri. Kedudukan anak angkat/ orang tua angkat pada hukum waris yang diatur dalam kitab Undang-undang hukum perdata, hukum waris, dan hukum adat, keduannya adalah sebagai ahli waris
yang dapat saling
mewarisi , sedangkan dalam hukum islam keduanya tidak termasuk sebagai ahli waris. Menurut pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, anak angkat ataupun orang tua angkatnya berhak mendapatkan sebanyak-banyaknya 1/3 tua
angkatnya
tidak
(sepertiga),
apabila
wasiat wajibah
anak angkat atau orang
menerima wasiat, maka dengan demikian wasiat
wajibah adalah merupakan jalan keluar dari pada anak angkat atau orang tua angkat untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan tersebut. Namun masalah ini banyak masyarakat umum yang
belum mengetahui
dan belum memahami kedudukan wasiat wajibah yang sebenarnya. B. WASIAT WAJIBAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi : (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Menurut pasal tersebut di atas, bahwa harta warisan seorang anak
angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan aturannya yaitu dibagikan kepada orang-orang yang mempunyai pertalian darah (kaum kerabat) yang menjadi ahli warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat secara serta marta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3
dari harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau
sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu. Peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan di dalam fiqh bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku diberbagai dunia Islam kontemporer. Alqur’an menolak penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang di dalam adat masyarakat bangsa arab, waktu itu karena ada hubungan pertalian darah. Sedangkan di dalam masyarakat muslim Indonesia
sering terjadi
adanya pengangkatan anak terutama bagi mereka yang di dalam perkawinannya tidak dikaruniai keturunan. Pengangkatan anak yang biasanya dikukuhkan dengan aturan adat ini, sering menimbulkan kesulitan, perasaan tidak puas, bahkan tidak jarang adanya tuduhan tidak adil ketika salah satu pihak meninggal dunia. Dalam hubungan pengangkatan anak hal ini sering terjadi anak angkat tidak memperoleh harta sedikitpun karena orang tua angkatnya tidak sempat berwasiat atau tidak tahu bahwa anak angkatnya tidak berhak memperoleh warisan (menurut fiqh) namun sebaliknya sebagian orang tua angkat menempuh dengan cara hibah, yang kadang-kadang juga tidak mulus
karena
sesudah
hibah
dilakukan
terjadi
pertengkaran
dan
ketidakakuran antara anak dengan orang tua angkat tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang terjadi ditengah masyarakat maka diberlakukanlah peraturan mengenai hukum wasiat wajibah karena hubungan pengangkatan anak dimasukkan ke dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan dasar hukum bagi masyarakat Islam di Indonesia. C. WASIAT WAJIBAH MENURUT HUKUM ISLAM Sebelum agama Islam datang, tradisi pengangkatan anak ini telah membudaya pada zaman jahiliyah misalnya pada jahiliyah telah ditemukan praktek-praktek pengangkatan anak dan
hal tersebut sudah merupakan
kebiasaan bagi bangsa arab. Dengan demikian sebelum Islam datang telah banyak ditemukan contoh-contoh orang yang berstatus sebagai anak angkat dan orang tua angkat. Setelah Agama Islam datang dan berkembang tradisi pengangkatan anak ini masih tetap dapat diterima akan tetapi dengan perubahan status dan keberadaannya sebagai berikut : 1. Status nasab anak angkat tidak dihubungkan kepada orang tua angkatnya,
akan
tetapi
tetap
dinasabkan
kepada
orang
tua
kandungnya. 2. Status pengangkatan anak tidak menciptakan adanya hubungan hukum perwarisan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, demikian juga dengan keluarga mereka. Adapun dalil pokok tentang kewajiban berwasiat terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 180 yang artinya : “ Diwajibkan atas kamu apabila seseorang
diantara
kamu
kedatangan
meninggalkan harta yang banyak,
(tanda-tanda)
maut,
jika
ia
berwasiat untuk ibu-bapa dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang yang bertaqwa ” . Menurut hukum waris Islam, ada tiga hal yang menyebabkan
seseorang itu mendapat warisan, yaitu : hubungan darah, pernikahan
dan wala (budak yang dimerdekakan). Di luar tiga sebab di atas tidak termasuk dalam hak kewarisan, oleh karena itu anak angkat bukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya. Dalam kenyataan dan praktek-praktek sehari-hari, tidak dapat disangkal bahwa hubungan anak angkat dengan orang tua angkatnya erat sekali baik dalam suasana suka maupun duka, sehingga secara sadar orang tua pada umumnya selalau memberikan hibah atau wasiat kepada anak angkat sebelum orang tua angkat meninggal dunia. Berdasarkan kenyataan kesadaran hukum masyarakat
yang selalu
memberi wasiat kepada anak angkat dan hal itu merupakan motivasi bagi para pakar hukum yang membuat Kompilasi Hukum Islam melakukan terobosan dengan cara mengkonstruksi wasiat wajibah sebagai jalan pemecahan yang memberi hak dan kedudukan bagi anak angkat untuk memperoleh harta peninggalan dari orang tua angkatnya. Sehubungan dengan perbedaan agama, apa yang disepakati para ulama tersebut hanya sebatas ahli waris non muslim, baik sejak awal tidak beragama Islam atau keluar dari agama Islam (murtad), tidak dapat mewarisi pewaris muslim. Kesepakatan para ulama tersebut didasarkan pada Hadits Nabi, Saw, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid, yang artinya : “Tidak mewarisi seorang muslim terhadap orang non muslim, demikian juga tidak mewarisi orang non muslim terhadap orang muslim”. Adapun terhadap orang yang murtad, menurut Imam Abu Hanifah bahwa harta peninggalan yang diperolehnya sewaktu ia muslim diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim dan harta peninggalan yang diperoleh setelah murtad dikuasai oleh Baitulmal. Sedangkan menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syifi’iyah dan Hambalillah) orang murtad tidak mewarisi dan tidak diwarisi, sebagaimana layaknya orang non muslim lainnya, dan harta peninggalannya dikuasai
oleh Baitulmal, baik yang diperolehnya sewaktu
muslim maupun setelah murtad.
D. P E N U T U P Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa Wasiat wajibah adalah merupakan suatu pelaksanaan wasiat atau suatu pesan yang harus dilaksanakan dan ditujukan kepada orang yang ditinggalkan (orang yang masih hidup)
akan memberikan
harta
peninggalannya kepada anak angkat. Penerima wasiat wajibah adalah anak angkat yang tidak menerima warisan dari orang tua angkatnya. Dalam pembagian wasiat wajibah, dimana telah ditentukan menurut hukum Islam, yang harus diperhatikan adalah bahwa bagian anak angkat adalah sepertiga bagian dan tidak boleh melebihi dari bagian minimal yang diterima oleh para ahli waris. Semoga tulisan ini akan bermanfaat bagi penulis pribadi dan juga kepada para pembaca sekalian. Amin. Daftar Bahan Bacaan : Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam Departemen Agama R I. Jakarta Tahun 2000 Mujamma Al Malik Fahd Li Thaba’at, Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah 1415, Penerbit Mushaf Asy-Syarif M .Ali As Shabuni ,Al-Mawarist Fis Syariatil Islamiyah , Mesir,Penerbit Iqamatuddin, cet II. Pengadilan Tinggi Agama Surabaya , Kumpulan Peraturan PerundangUndangan dalam Lingkungan Peradilan Agama , 1992 M .Yahya Harahap , Kedudukan
Janda dan Duda Serta anak Angkat sebagai Ahli Waris Dalam Hukum Adat, diktat, Jakarta.