WASIAT KEPADA AHLI WARIS Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Islam Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Ilham Ismail NIM : 106043101303
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
WASIAT KEPADA AHLI WARIS Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Islam
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Ilham Ismail NIM : 106043101303
Pembimbing :
Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA NIP : 195008171989021001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta; 15 Rabiul Akhir 1432 H 21 Maret 2011 M
Penulis
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya kepada penulis, sehingga dengan kudrat dan iradatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk dengan risalahnya yakni Agama Islam, yang akan menyelamatkan dan menghantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dibalik selesainya skripsi yang berjudul “Wasiat Kepada Ahli Waris “Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Islam”, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMF), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tentunya banyak kendala dan cobaan yang penulis hadapi dalam proses penulisannya terutama cobaan mental yang terasa begitu berat, di tengah kemampuan ekonomi yang kurang memadai. Akan tetapi, dengan penuh keyakinan dan ketabahan penulis mampu melewati segala persoalan tersebut. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang tiada hingga penulis sampaikan kepada yang terhormat :
iv
1.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM., beserta seluruh staf jajarannya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menimba ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku Sekretaris Prodi yang telah memberikan arahan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
3.
Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bantuan, baik dari segi arahan, waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4.
Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pimpinan, staf, karyawan perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
5.
Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani masa pendidikan berlangsung. Semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.
v
Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta do’a yagn diberikan kepada penulis,mendapat ganjaran pahala oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Harapan penulis semoga skripsi ini berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT segala urusan akan kembali dan kepada-Nyalah kita memohon hidayah dan taufiq serta ampunan.
Jakarta;
7 Rabiul Awal 1432 H 11 Februari 2011 M
Penulis
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iv
BAB I
BAB II
:
:
PENDAHULUAN ………………………………………….
1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................
12
D. Kajian Pustaka ...................................................................
13
E. Metode Penelitian ..............................................................
14
F. Sistematika Penulisan .................................................... ....
15
KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT …………..
17
A. Pengertian Wasiat .............................................................
17
B. Dasar Hukum Wasiat ........................................................
19
C. Hukum Wasiat ..................................................................
24
D. Rukun dan Syarat Wasiat .............................................. ....
26
E. Kadar Dan Hikmah Wasiat ...............................................
31
F. Hal-hal Yang Membatalkan Wasiat ..................................
33
vi
BAB III
:
TINJAUAN UMUM TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) ………………………………………………...
35
A. Sekilas Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) ..................
35
B. Landasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ............................
45
C. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Sistem Hukum Nasional ................................................................................. D. Tujuan Perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) .............. BAB IV
:
48 51
ANALISIS WASIAT KEPADA AHLI WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) PASAL 195 DAN HUKUM ISLAM ……………………………………………
54
A. Kedudukan Wasiat Kepada Ahli Waris ...............................
54
1. Menurut Imam Mazhab ..................................................
54
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) .......................... 59 B. Relevansi Pasal 195 Kompilasi Hukm Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris di Indonesia ............................. BAB V
:
63
PENUTUP …………………………………………………….
66
A. Kesimpulan ...........................................................................
66
B. Saran-saran ............................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
68
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi dan pengaruh informasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja membawa kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan perilaku dan persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan yang ada di tengahtengah umat Islam. Upaya ini dilakukan mengingat universalitasnya ajaran Islam. Dengan demikian hukum Islam harus selalu dapat menjawab tantangan zaman. Ini karena fikih sebagai aplikasi operasional dari pemahaman terhadap syari’ah dapat berubah sesuai dengan situasi yang berubah pula. Dengan demikian sifat fikih sangat fleksibel. Dalam kaidah ushuliyyah terkenal dengan ungkapan: 1
.اﻟﺤﻜﻢ ﯾﺪور ﻣﻊ اﻟﻌﻠّﺔ وﺟﻮدا و ﻋﺪﻣﺎ
Artinya: Keberadaan hukum itu sesuai dengan ‘illatnya, baik ada dan tidak adanya. Pada dasarnya, hukum Islam dihadirkan dalam rangka untuk merealisasikan kemashlahatan individu maupun kemashlahatan sosial yang selalu sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Oleh kerenanya, hukum Islam selalu bersifat elastis dan
1
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, Tt), h. 47
1
2
fleksibel. Dalam rangka inilah, selalu diperlukan ijtihad agar terealisasikannya hukum Islam. Dalam konteks keindonesiaan yang masyarakatnya majemuk dan mayoritas warga negara memeluk agama Islam, banyak upaya yang dilakukan oleh ulama agar hukum Islam menjadi hukum positif dan mempunyai kekuatan hukum. Oleh karenanya, diantara upaya untuk merealisasikan hukum Islam adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bahtsul Masail dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain itu juga, untuk menjawab seputar masalah hukum Islam yang terjadi seiring dengan berkembangnya zaman. Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneisa (UU NRI) Tahun 1945 menentukan dalam pasal (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan pelaku Kekuasaan Kehakiman (KK) untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah. 2 Dalam Undang-undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, khususnya
2
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan “Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 240-241
3
masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum UU no. 7 Tahun 1989 tentang PA (UU PA No.7/89) yang menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian waris”, dinyatakan dihapus. Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum substansional (mencakup hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan) yang diberlakukan pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991.4 Dalam sejarah, penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan di Peradilan Agama selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang digunakan oleh Peradilan Agama senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri atas beragam kitab fikih dari berbagai aliran (mazhab), yang berakibat munculnya keragaman putusan terhadap perkara yang serupa. Hal ini sangat merisaukan para petinggi hukum terutama di kalangan Mahkamah Agung dan Dapertemen Agama. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) kekosongan hukum itu telah terisi. Dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), secara substansional dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam yakni Al-Qur’an dan AlSunnah dan secara hierarkial mengacu kepada Peraturan Perundang-undangan yang 3
Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 2 4 Cik Hasan Basri, h. 11
4 berlaku.5 Di samping itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam (KHI) memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global dan memperhatikan tatanan hukum barat yang tertulis (terutama hukum eropa kontinental) dan tatanan hukum adat yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di Bidang Kewarisan, Wasiat dan Perwakafan (Buku II dan Buku III) dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada dasarnya merupakan suatu bentuk peralihan dari hukum kewarisan dan hukum perwakafan menurut pandangan fuqaha ke dalam bentuk qanun. Namun demikian, terdapat ketentuan yang terkait dengan masyarakat majemuk, khususnya dengan tradisi yang berlaku dalam berbagai satuan masyarakat lokal, diantaranya ketentuan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang kebolehan memberikan wasiat kepada ahli waris dengan syarat adanya persetujuan dari ahli waris lainnya. Dalam hal wasiat, Islam mensyari’atkan ketentuan adanya wasiat dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama dan juga bentuk amal jariyah si mayit sebagai tambahan amal kebajikannya. Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dapat dilaksanakan bila si mayit mempunyai harta peninggalan dan sudah dibereskan masalah yang sudah berkaitan dengan si mayit seperti biaya penguburan dan hutang piutang. Dengan demikian masalah perwasiatan erat hubungannya dengan harta peninggalan si mayit yang bahasa arab disebut tirkah. 5
Cik Hasan Basri, h. 9
5
Secara khusus tirkah diartikan dengan segala apa yang ditinggalkan oleh si mayit dibenarkan oleh syari’at untuk dipusakai bagi ahli waris, seperti kebendaan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, serta bukan kebendaan yang bersangkutan dengan orang lain. 6 Demikian juga diungkapkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sedangkan Hanafi dan Ibnu Hazm hanya berupa harta benda saja. Adapun hak-hak yang berkaitan dengan peninggalan terdiri atas beberapa urutan, seperti hak yang berkaitan dengan zat harta tirkah, pengurusan biaya jenazah, pelunasan hutang piutang. Hutang piutang kepada Allah SWT, seperti pelaksanaan ibadah haji bila mampu atau hutang kepada manusia, seperti melaksanakan wasiat dan pembagian waris.7 Dalam syari’at Islam pelaksanaan wasiat telah diatur oleh Al-Qur’an juga Al-Sunnah. Adapun sumber hukum yang dijadikan rujukan tentang wasiat adalah yang terdapat dalam Surat al-Baqarah Ayat 180 dan juga Surat al-Maidah Ayat 106. Adapun dalam pelaksanaannnya dilakukan setelah orang yang berwasiat telah meninggal dunia. Wasiat hanya berlaku sepertiga dari harta peninggalan bila masih ada ahli waris dari si mayit, baik wasiat itu dikeluarkan masih sakit atau sehat. Apabila melebihi sepertiga harta peninggalan, maka kesepakatan ulama mazhab adalah membutuhkan izin dari ahli waris yang ada. Bila ada sebagian mengizinkan
6 7
Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif,1984), h. 36-37 Suparman usman, Fikih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 46
6
sedangkan yang lain tidak, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang mengizinkan, sedangkan izin ahli waris adalah sah dan berlaku jika ia berakal sehat, baligh dan dapat dipercaya.8 Berdasarkan sumber hukum tentang wasiat yang tersebut di atas, para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang status hukum wasiat ini. Mayoritas mereka berpendapat bahwa status hukum wasiat adalah tidak fardhu ‘ain, baik kerabat dan orang tua atau kepada mereka yang tidak menerima warisan. 9 Implikasi wasiat yang dipahami oleh para ahli hukum Islam itu adalah kewajiban wasiat hanya dipenuhi jika seseorang telah berwasiat secara nyata, jika mereka tidak berwasiat maka tidak perlu mengada-ngada agar wasiat dilaksanakan karena ketentuan yang tersebut dalam Al-Qur’an dalam Surat al-Baqarah Ayat 180 telah dinasakh oleh Surat an-Nisa Ayat 11-12. Oleh karena itu kedua orang tua dan kerabat dekatnya, baik orang-orang yang menerima warisan ataupun tidak menerima warisan setelah turunnya Surat an-Nisa Ayat 11-12 itu sudah tertutup haknya atau dengan kata lain tidak menrima wasiat. Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk mewasiatkan hartanya kepada siapa yang dikehendakinya, namun harus terikat dengan beberapa ketentuan. Adanya ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan agar pelaksanaan hak seseorang untuk berwasiat jangan sampai merugikan pihak yang lain. Adapun tentang hukum
8
Jawad Mighniyah, Terjemah Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996),
h.513 9
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 153
7
berwasiat, para ulama hukum Islam tidak ada perbedaan di kalangan mereka dalam kebolehannya berwasiat sebagian harta kepada siapa yang dikehendakinya selain ahli waris yang akan mendapatkan harta warisan, dengan syarat tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta peninggalan. Berbeda dengan hal itu, ulama berselisih pendapat tentang hukum berwasiat kepada salah seorang ahli waris yang akan mendapat pembagian warisan: 10 1. Pendapat yang dipegang oleh para Imam Mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa pihak yang menerima wasiat harus bukan yang terdiri dari ahli waris yang mendapat pembagian harta warisan bilamana dalam kasus tersebut terdapat ahli waris yang lain. Sehingga wasiat kepada ahli waris tidak sah. Alasan mereka beberapa ketegasan Rasulullah, antara lain hadis riwayat Nasa’iy: 11
(انّ اﷲ ﻗﺪ اﻋﻄﻰ ﻛﻞّ ذى ﺣﻖّ ﺣﻘّﮫ و ﻻ وﺻﯿّﺔ ﻟﻮارث )رواه اﻟﻨّﺴﺎءى
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orangorang yang mempunyai hak, untuk itu tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Al-Nasa’iy) Hadis tersebut menunjukan bahwa wasiat kepada ahli waris tidak sah kecuali atas izin ahli waris yang lain. Menurut aliran ini Surat al-Baqarah Ayat 180 :
10
Setria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 380 11 Jalaluddin al-Syuyuti, Syarh Sunan Nasa’i, (Beyrut: Dar al-Fikr, Tt), h. 262
8
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”.(QS. al-Baqarah/2: 180) Ayat ini telah dinasakh oleh ayat pembagian harta warisan, yakni Surat an-Nisa Ayat 11-14:
9
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. AnNisa/04: 11) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudahh dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
10
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa/04: 12) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungaisungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa/04: 13) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa/04: 14) Dengan turunnya ayat mawaris tersebut, maka berakhirlah masa diwajibkannya berwasiat kepada ahli waris sesama muslim. Ayat yang mewajibkan berwasiat kepada ahli waris tersebut di atas, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf tidak lagi berlaku umum bagi ahli waris sesama muslim, tetapi secara bagi kerabat yang terhalang untuk mendapatkan harta warisan disebabkan berlainan agama. 2. Pendapat yang dianut oleh kalangan Malikiyah dan Zahiriyah menyatakan bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya izin dari ahli waris yang lain. Menurut mereka larangan seperti itu termasuk hak Allah yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah ahli waris. Ahli waris tidak berhak untuk membenarkan sesuatu yang dilarang Allah. Seandainya ahli waris menyetujuinya juga, begitu aliran ini menjelaskan, maka
11
statusnya bukan lagi wasiat, tetapi menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana lazimnya praktek hibah. 12 3. Syi’ah Imamiyah dan sebagian dari Syi’ah Zaidiyah berpendapat boleh hukumnya berwasiat kepada ahli waris tanpa ada persetujuan dari ahli waris yang lain dalam batas jumlah sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa Ayat 180 Surat al-Baqarah telah dinasakh oleh ayat-ayat mawaris dalam Surat an-Nisa.13 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri dalam membahas tentang wasiat menjabarkan dalam pasal 195 tentang kebolehannya berwasiat kepada ahli waris setalah adanya persetujuan dari pihak ahli waris yang lain. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas dan untuk meneliti tentang fenomena perbedaan pendapat tentang wasiat kepada ahli waris, secara khusus tentang kebolehan wasiat kepada ahli waris yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena disadari secara umum Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah merupakan sumber hukum Islam yang sangat bercorak keindonesiaan, maka dari itu penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul Peran “Wasiat Kepada Ahli Waris “Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Islam”.
240
12
Jawad Mighniyah, Terjemah Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h.
13
Mahammad Abu Zahra, Al-Miras ‘Inda al-Ja’fariyah, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1995), h. 56
12
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalahnya berkisar tentang pemberian wasiat kepada ahli waris menurut hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), kajian persamaan dan perbedaannya antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam serta kajian tentang relevansinya dengan konteks keindonesiaan. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka terdapat pokok masalah yang harus diteliti serta dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris serta persamaan dan perbedaannya antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam tentang wasiat kepada ahli waris? 2. Bagaimanakah relevansi pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris dengan konteks keindonesiaan saat ini? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi adalah sebagai berikut: 1. Agar dapat mengetahui persamaan dan perbedaan tentang wasiat kepada ahli waris antara pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan hukum Islam. 2. Agar dapat mengetahui relefansi pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris dengan konteks keindonesiaan saat ini.
13
Penulis pun berharap, dengan penulisan skripsi ini mampu memberi manfaat: 1. Memperkaya pemahaman bagi penulis yang dalam hal ini lebih memahami kajian hukum Islam dan tatanannya yakni Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ini. 2. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai dasar atau bandingan bagi para peminat studi ini untuk mengkajinya lebih mendalam lagi dan menambah khazanah kepustakaan. D. Kajian Pustaka Dalam penelitian yang telah lalu, ada penulisan skripsi yang terkesan mirip dengan penulisan skripsi yang dipilih oleh penulis yakni skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syaukani, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum Tahun 2006 yang berjudul “Pengaruh Pembunuhan Tidak Sengaja Terhadap Wasiat Dalam Perspektif Hukum Islam”. Pada penulisan skripsi ini, penulis membahas tentang pengaruh pembunuhan yang dilakukan secara tidak sengaja terhadap wasiat, apakah pelaku pembunuhan tidak sengaja masih memperoleh wasiat? Berbeda dengan skripsi tersebut, dalam penulisan skripsi penulis “Faktor Dan Pengaruh Pembentukan Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris”, penulis lebih mendiskripsikan tentang kajian komparatif tantang wasiat kepada ahli waris antara hukum Islam dengan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi bagian dari sumber rujukan hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia.
14
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam skripsi ini adalah pendekatan hukum normatif, analisis deskriptif dan kajian perbandingan. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah pustaka yang bersifat kualitatif yang dalam pengumlan datanya menggunakan bahan-bahan tulisan atau dokumen. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis data. Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka.14 3. Data Penelitian a. Data Primer Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan objek dari skripsi ini. b. Data Sekunder Bahan pustaka, buku-buku, literatur-literatur yang mempunyai hubungan dengan skripsi ini.
14
Sudarman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: Pusaka Setia, 2002), h. 51
15
4. Tekhnik Pengolahan Data Setelah data-data kualitatif terkumpul, penulis menggunakan study komparatif (perbandingan) dengan membandingkan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris dengan hukum islam. 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab
I
:
Merupakan Pendahuluan Yang Terdiri Enam Sub Bab Yang Membahas Tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Dan Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Metode Penelitian Dan Sistematika Penulisan
Bab II
:
Ketentuan Umum Perwasiatan Menurut Hukum Islam. Adapun Fokus Kajiannya Adalah Pengertian, Dasar Hukum, Syarat Menerima Wasiat, Kadar Dan Hal-Hal Yang Membatalkan Wasiat.
16
Bab III
:
Berisi Mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun Fokus Kajiannya Adalah Dasar Pembentukan Dan Perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Tujuan Dari Perumusan KHI.
Bab IV
:
Analisis Faktor dan Pengaruh Pembentukan Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris. Bab Ini Terdiri Dari Dasar Pembentukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Relefansinya Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dengan Negara Indonesia Saat Ini.
Bab V
: Penutup Yang Meliputi Kesimpulan dan Saran-saran.
Daftar Pustaka
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT
A. Pengertian Wasiat Wasiat menurut bahasa adalah meminta sesuatu kepada orang lain agar ia dapat mengerjakan sewaktu yang memberi tersebut tidak ada baik ia masih hidup atau sudah mati.1 Sedangkan menurut istilah wasiat adalah suatu pemberian dari seseorang kepada orang lain baik berupa barang, hutang piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia. 2 Pengertian secara bahasa tersebut masih bersifat umum, sehingga membatasi terhadap kematian si pewasiat. Yang dititikberatkan di sini adalah keadaan si pewasiat, apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Untuk manjelaskan pengertian wasiat itu sendiri, di sini dikemukakan beberapa definisi yang diberikan para ulama mazhab dan pakar dalam menta’rifkan secara syara antara lain: 1. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian tentang wasiat sebagai berikut:
اﻟﻮﺻﯿﺔ ﺗﻤﻠﯿﻚ ﻣﻀﺎف اﻟﻰ ﻣﺎ ﺑﻌﺪ اﻟﻤﻮت ﺑﻄﺮﯾﻖ اﻟﺘﺒﺮع ﺳﻮاء أﻛﺎن: اﻟﺤﻨﻔﯿﺔ ﻗﺎﻟﻮا 3
1
.اﻟﻤﻠﻚ ﻋﯿﻨﺎ ام ﻣﻨﻔﻌﺔ
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), h. 631 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: al-Ma’arif, 1990), Jilid 4, h. 217 3 Wahbah Zuhaily, al-Fikih al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 8, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1998), h. 9 2
17
18
Artinya: “Wasiat adalah memberikan hak milik kepada orang lain setelah (‘aqid) meninggal dunia dengan jalan sukarela, sama sebagaimana kepemilikan benda atau manfaat”. 2. Ulama Malikiyah mendefinisikan wasiat adalah sebagai berikut: 4
. اﻟﻮﺻﯿﺔ ﻋﻘﺪ ﯾﻮﺟﺐ ﺣﻘﺎ ﻓﻰ ﺛﻠﺚ ﻣﺎل ﻋﺎﻗﺪه ﯾﻠﺰم ﺑﻤﻮﺗﮫ: اﻟﻤﺎﻟﻜﯿﺔ ﻗﺎﻟﻮا
Artinya: “Wasiat adalah suatu ‘aqad perjanjian yang menimbulkan suatu dalam memperoleh sepertiga harta dari orang yang memberikan janji yang bisa dilangsungkan ketika yang memberikan itu meninggal dunia.” 3. Ulama Syafi’iyah mengartikan wasiat sebagai berikut: 5
.اﻟﺸﺎﻓﻌﯿﺔ ﻗﺎﻟﻮا اﻟﻮﺻﯿﺔ ﺗﺒﺮع ﺑﺤﻖ ﻣﻀﺎف إﻟﻰ ﻣﺎ ﺑﻌﺪ اﻟﻤﻮت ﺳﻮاء أﺿﺎﻓﮫ ﻟﻔﻈﺎ أو ﻻ
Artinya: “Wasiat adalah sama dengan amal shadaqah dengan satu hak yang duiksandarkan pada keadaan setelah mati, baik dengan ucapan atau tidak.” 4. Ulama Hanabilah menjelaskan wasiat adalah sebagai berikut: 6
. اﻟﻮﺻﯿﺔ ھﻲ اﻻﻣﺮ ﺑﺎﻟﺘﺼﺮف ﺑﻌﺪ اﻟﻤﻮت: اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ ﻗﺎﻟﻮا
Artinya: “Wasiat adalah menyuruh orang lain untuk melakukan daya upaya setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia”
Pengertian wasiat sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah serta Hanabilah pada dasarnya adalah sama, yaitu suatu akad yang memindahkan hak milik yang kepemilikannnya diserahkan setelah si pewasiat telah meninggal dunia.
4
Abd al-Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘Ala Mazhab ‘Alim al-Madinah al-Imam Malik bin Annas, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid 3, h. 1619 5 Abdurrahmsn al-Juzairy, al-Fikih ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beyrut, Dar al-Irsyad alThaba’ah 1647), Juz 3, h. 316 6 ‘Abdurrahmsn al-Juzairy, , Juz 3, h. 316
19
Sedangkan para pakar mengartikan wasiat sama dengan menghibahkan sesuatu kepada orang lain yang kepemilikannya dapat diambil setelah pewasiat meninggal dunia, seperti disebutkan di bawah ini. Wasiat merupakan suatu akad yang boleh dan tidak mengikat sehingga wasiat dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak (pemberi wasiat). Dengan demikian wasiat adalah menghibahkan harta dari seseorang kepada orang lain sesudah meninggalnya si pewasiat atau pembebasan hartanya, baik dijelaskan dengan kata-kata (lafadz) atau tidak.7 Begitu pun yang dikemukakan oleh Sayuti Thalib. 8 Dan wasiat bisa diartikan dengan suatu pesan tentang pembagian harta warisan kepada seseorang yang selain ahli waris.9 Dari berbagai pengertian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa benda, atau sekedar manfaat yang akan menjadi milik bagi orang yang akan diberikan wasiat tanpa mengharapkan imbalan (tabarru’) yang pelaksanaannya berlaku setelah orang yang berwasiat telah meninggal dunia. B. Dasar Hukum Wasiat Dasar-dasar pengambilan hukum mengenai wasiat adalah berdasarkan AlQur’an, Al-Hadis, Ijma’ dan Ijtihad para Ulama. 1. Al-Qur’an
7
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Terjemahan ‘Abdurrahman, (Semarang: asy-Syifa, 1990), Juz 3, h. 40 8 Sayuthi Thalib, Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Askara, 1970), h. 87 9 Husein Bhreisy, Kamus Islam, (Bandung: Galuni Jaya, 1990), h. 16
20
Dalam Al-Qur’an penjelasan tentang wasiat terdapat dalam surat al-Baqarah Ayat 180 yakni:
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah/02: 180). Ayat ini menunjukan kewajiban untuk berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat yang dekat, yaitu hanya kepada ahli waris (kedua orang tua dan karib kerabat) yang tidak mendapatkan harta waris baik karena dzawil arham
dan
mahjub yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris maupun karena mahram (kecuali pembunuh).10 Namun ketetapan itu menjadi sunah sesudah turunnya ayat tentang pembagian waris, maka ayat tentang kewajiban berwasiat menjadi mansukh. Di samping ada ayat yang menasakh tentang wasiat juga ada hadis Nabi yang artinya “tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Selanjutnya dalam surat al-Maidah Ayat 106 menganjurkan dalam berwasiat hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi, yakni:
10
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 175-176
21
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" (QS. Al-Maidah/05: 106). Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya wasiat merupakan suatu perbuatan yang dianjurkan oleh agama dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang sekiranya dapat merusak tujuan dari wasiat tersebut, maka hendaklah wasiat disaksikan oleh dua orang saksi. 2. Al-Hadis Di samping ayat Al-Qur’an, juga ada hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang hal wasiat di antaranya sebagai berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﯾﻮﺳﻒ اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮرﺿﻲ ﻣﺎ ﺣﻖ اﻣﺮئ ﻣﺴﻠﻢ ﻟﮫ: اﷲ ﻋﻨﮭﻤﺎ ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل 11 .(ﺷﯿﺊ ﯾﻮﺻﻰ ﻓﯿﮫ ﯾﺒﯿﺖ ﻟﯿﻠﺘﯿﻦ اﻻ ووﺻﯿﺘﮫ ﻣﻜﺘﻮﺑﺔ ﻋﻨﺪه )رواه اﻟﺒﺨﺎرى
11
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, (Beyrut: Dar alFikr, Tt), Juz I, h. 124
22
Artinya: “Dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar R.A, Ia berkata: bahwa Rasulallah SAW. Bersabda: bukankah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah tercatat di sisinya”. (H.R. al-Bukhari)
ﻗﺎل، ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻧﺼﺮ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ اﻟﺤﺪاﻧﻰ: ﻗﺎل، اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﺼﻤﺪ: ﻗﺎل،ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﯿﺪة ﻋﺒﺪ اﷲ ﺣﺪﺛﻨﻰ ﺷﮭﺮ ﺑﻦ ﺣﻮﺷﺐ انّ اﺑﺎ ھﺮﯾﺮة ﺣﺪﺛﮫ ان: ﻗﺎل، اﺧﺒﺮﻧﺎ اﻻﺷﻌﺚ ﺑﻦ ﺟﺎﺑﺮ: انّ اﻟﺮّﺟﻞ ﻟﯿﻌﻤﻞ او اﻟﻤﺮاة ﺑﻄﺎﻋﺔ اﷲ ﺳﺘّﯿﻦ: رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ّ ﻗﺎل وﻗﺮأ ﻋﻠﻲ. ﻓﯿﻀﺎرّان ﻓﻰ اﻟﻮﺻﯿﺔ ﻓﺘﺠﺐ ﻟﮭﻤﺎ اﻟﻨﺎر، ﺛﻢّ ﯾﺤﻀﺮ ھﻤﺎ اﻟﻤﻮت،ﺳﻨﺔ .اﺑﻮ ھﺮﯾﺮة ﻣﻦ ھﺎ ھﻨﺎ )ﻣﻦ ﺑﻌﺪ اﻟﻮﺻﯿﺔ ﯾﻮﺻﻲ ﺑﮭﺎ اوذﯾﻦ ﻏﯿﺮ ﻣﻀﺎر وﺻﯿّﺔ ﻣﻦ اﷲ 12 .( )رواه اﺑﻮ داود.(وذاﻟﻚ ﻓﻮز اﻟﻌﻈﯿﻢ Artinya: “Dari ‘Aidah ‘Abdullah, dari ‘Abd al-Shamad, dari Nashr bin ‘Ali alHaddany, dari al-‘Asy’ats bin Jabir, dari Syahr bin Hausyah, dari Abu Hurairah menceritakan sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Bahwa seseorang sungguh akan beramal, juga perempuan (sungguh akan beramal) taat kepada Allah SWT itu selama enam puluh tahun, kemudian keduanya kedatangan ajalnya, sedang keduanya menyulitkan dalam wasiatnya, maka keduanya pun akan dipastikan masuk neraka”. Kemudian Abu Hurairah membacakan ayat : ...“sesudah wasiat yang ia wasiatkannya atau (untuk membayar) hutang, padahal wasiat itu tidak juga menyusahkan, sebagai ketetapan dari Allah. Yang demekian itu adalah batas-batas ketentuan Allah, barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga-surga yang di bawahnya ada sungai-sungai yang mengalir, mereka akan kekal di surga-surga itu: dan demikian itu adalah kebahagiaan yang sangat besar”. (H.R. Abu Dawud) Kedua hadis tersebut memberikan bahwa wasiat yang tertulis dan selalu berada di sisi orang yang berwasiat merupakan suatu kehati-hatian, sebab kematian seseorang tidak ada yang dapat mengetahui, kemudian pada hadis berikutnya dapat dipahami bahwa apabila seseorang beramal baik selama enam puluh tahun, sedang ia
12
4, h. 4
Abi Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abi Dawud, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1987), Juz
23
dalam wasiatnya berbuat kecurangan maka terhadap orang tersebut jaminannya adalah neraka. Dalam hal ini al-Syafi’i memberikan komentarnya bahwa orang islam yang berwasiat sebaiknya wasiat tersebut ditulis dan berada di sisinya, sebab hal tersebut dapat menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bila tidak berhati-hati dalam berwasiat, bisa jadi cita-cita si pewasiat tidak tercapai karena kematian seseorang hanya Allah yang mengetahui. 3. Ijma’ Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid di antara umat islam pada satu masa setelah wafatnya Rasulallah terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian. 13 Umat Islam, sejak zaman Rasulullah sampai sekarang masih banyak yang menjalankan wasiat. Perbuatan yang demikian itu tidak ada yang mengingkarinya dan dengan tiada adanya pengingkaran tersebut telah menunjukan adanya ijma’. 14 Para ulama pun telah sepakat dalam menanggapi hadis Nabi tentang kadar wasiat yang tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalannya si pewasiat. 4. Ijtihad Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala kemampuan atau menghabiskan segala daya dalam berusaha. Sedang ijtihad menurut istilah adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan
13 14
Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), Jilid I, h. 81 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris, h. 57
24
segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan ketentuan hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. 15 Ada beberapa jenis wasiat yang tidak ada penegasan hukumnya baik dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, seperti membagi macam-macam harta benda warisan kepada ahli waris tertentu, bolehkah wasiat direalisasikan atau tidak. Dalam hal ini ulama melakukan ijtihad yang dianggap perlu oleh karena ahli waris tertentu dari harta benda warisan adalah keseluruhan harta, dengan alasan bahwa Al-Qur’an menentukan bagian warisan dua pertiga, sepertiga, seperempat, seperenam, dan seperdelapan itu adalah dari keseluruhan harta warisan yang ada. 16 C. Hukum Wasiat Dari beberapa fenomena di atas, para ulama juga berijtihad dalam menetapkan status hukum wasiat, yaitu: 1. Wajib Wasiat dianggap wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum
15
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia), (Jakata: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 104 16 Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1972), h. 32
25
dilaksanakan, atau dia mempunyai amanat yang belum disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui selain oleh dirinya, atau dia mempunyai titipan yang belum dipersaksikan. 17 2. Sunah Berwasiat hukumnya sunnah bila diberikan kepada karib kerabat atau ditujukan kepada orang-orang miskin dan orang-orang shaleh atau kepada orang yang tidak menerima pusaka yang motifnya untuk kepentingan sosial. 18 3. Haram Berwasiat hukumnya haram bila bertujuan untuk maksiat, seperti berwasiat untuk mendirikan tempat-tempat perjudian, pelacuran atau hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama islam. 19 4. Makruh Berwasiat hukumnya makruh, bila orang yang berwasiat itu sedikit hartanya, sedangkan ia mempunyai ahli waris yang banyak yang membutuhkan hartanya. Demikian juga berwasiat kepada orang-orang fasiq jika diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka akan menggunakan harta tersebut dalam kefasikan dan kerusakan. Namun bila orang yang memberi wasiat itu mengetahui dan
17
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 222 Ahmad Rofiq, MA, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), h. 449 19 Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif, 1984), h. 25
18
26
menduga bahwa orang akan diberi wasiat itu menjadi baik, maka hal ini menjadi sunnah.20 5. Mubah Wasiat itu diperbolehkan bila ditujukan kepada kerabat, tetangga atau yang lain yang penghidupannya tidak kekurangan. 21 Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan tentang hukum wasiat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa keadaan si pewasiat dan orang yang akan diberikan wasiat sangat mempengaruhi terhadap status hukum dari wasiat itu sendiri. Seperti contoh, apabila orang yang akan berwasiat sebelum meninggal, ia masih memiliki hutang kepada manusia atau kepada Allah SWT yang hanya diketahui olehnya, maka hukum wasiat adalah wajib. Wasiat pun akan menjadi haram apabila hendak berwasiat yang bertujuan untuk kemaksiatan. Seperti berwasiat untuk membangun rumah prostitusi. Wasiat juga dianggap makruh apabila meninggalkan harta yang sedikit sedangkan banyak ahli yang mempunyai hak terhadap harta peninggalan tersebut. D. Rukun dan Syarat Wasiat Wasiat yang telah diatur oleh syariat Islam merupakan suatu amalan yang sangat dianjurkan, hal ini karena dalam wasiat mengandung nilai ibadah yang akan mendapatkan pahala dari allah swt dan juga mengandung nilai-nilai sosial yang mengandung kemashlahatan bagi yang ada di dunia. 20
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 223 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Tintamas, 1981), h. 57-58 21
27
Agar wasiat dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak syariat maka diperlukan sebuah perangkat aturan yang di dalamnya mencakup rukun dan syarat syariat. Rukun syarat itu merupakan kumpulan komponen yang penting sehingga turut menentukan sah dan tidaknya suatu wasiat. Adapun rukun wasiat terdapat perbedaan pendapat fuqaha dalam menentukan rukunnya wasiat diantaranya ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwasanya rukun wasiat hanya satu yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat). Karena menurut mereka wasiat adalah suatu akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, tidak mengikat pihak yang menerima wasiat. Oleh sebab itu qabul tidak diperlukan.22 Akan tetapi jumhur ulama fikih menyatakan, bahwa rukun wasiat itu ada empat, yaitu:23 1. Al-Mushi (orang yang berwasiat) 2. Al-Musha lahu (yang menerima wasiat) 3. Al-Musha bihi (harta yang diwasiatkan) 4. Sighat (lafaz atau ucapan) Dari keenpat rukun di atas, masing-masing memiliki syarat yang harus dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat masing-masing rukun wasiat tersebut adalah sebagai berikut:
22
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 1927 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 136-237 23
28
a. Al-Mushi (orang yang berwasiat) Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang memiliki kesanggupan melepaskan hak miliknya kepada orang lain (ahli tabarru’) yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan kompetensi ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar dan tidak dibatasi karena adanya kedunguan dan kelalaian. Apabila pemberi wasiat itu adalah seseorang yang kurang kompetensinya, yaitu karena ia masih anak-anak, gila, hanba sahaya, dipaksa atau dibatasi, maka wasiatnya tidak sah. Untuk itu imam syafi’i menghukumi tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila atau anak yang belum baligh. b. Al-Musha lahu (yang menerima wasiat) Bagi orang atau badan hukum yang menerima wasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut: 1) Harus dapat diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang menerima wasiat tersebut, nama orang tersebut, atau badan organisasi tersebut. 2) Telah wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada secara yuridis misalnya anak yang masih dalam kandungan. 3) Bukan tujuan kemaksiatan. c. Al-Musha bihi (harat yang diwasiatkan) Sesuatu yang diwasiatkan (al-musha bihi) dengan syarat sebagai berikut: 1) Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tidak bergera, atau dapat menjadi objek perjanjian.
29
2) Benda itu sudah ada (wujud) pada waktu diwasiatkan. 3) Hak milik itu betul kepunyaan si pewasiat d. Shighat (lafaz atau ucapan) Shighat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang yang menerima wasiat yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan yang diucapkan oleh si pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu, sedangkan qabul adalah pernyataan yang diucapkan oleh penerima wasiat sebagai tanda terima atas ijab wasiat. Ajab dan qabul ini didasarkan atas unsur kerelaan tanpa ada paksaan. Penjelasan tentang rukun dan syarat wasiat juga disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni: Pasal 194 1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. 2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. 3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Pasal 195 1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris. 2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. 3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. 4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua saksi dihadapan Notaris. Dalam pasal 194 dan 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat disimpulkan bahwa syarat bagi orang yang akan melakukan wasiat sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, tidak ada paksaan dari pihak manapun atupun dalam pengampuan serta harta yang akan diwasiatkan merupakan hak seutuhnya si pewasiat.
30
Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dilakukan di hadapan dua orang saksi atau Notaris secara lisan atau tertulis. Wasiat pun tetap tidak melebihi dari sepertiga harta peninggalan. Berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris, maka dianggap sah bila telah disetujui oleh ahli semua ahli waris. Persetujuan dari ahli waris dimaksudkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun dalil tentang notaris adalah dalam surat an-Nisa ayat 135:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa /04: 135) Oleh karena ketentuan ini di bawah kebijakan pemerintah, maka rakyat harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
31
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa /04: 59) E. Kadar Dan Hikmah Wasiat Telah diketahui kadar atau batas maksimal memberikan wasiat itu adalah sepertiga dari harta peninggalan. Ketentuan tersebut berdasarkan Hadis Nabi SAW di bawah ini : ﺳﻔﯿﺎن ﺑﻦ ﻋﯿﯿﻨﺔ ﻋﻦ زھﺮى ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ اﺑﻰ وﻗﺎص ﻋﻦ اﺑﯿﮫ، ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻦ اﺑﻰ ﻋﻤﺮ ﻓﺎًﺗﺎﻧﻲ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ، ﻣﺮﺿﺖ ﻋﺎم اﻟﻔﺘﺢ ﻣﺮﺿﺎ اﺷﻔﯿﺖ ﻣﻨﮫ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮت:ﻗﺎل ﻻ: ﯾﺎ رﺳﻮل أن ﻟﻲ ﻣﺎﻻ ﻛﺜﯿﺮا وﻟﯿﺲ ﯾﺮﺛﻨﻲ إﻻ اﺑﻨﺘﻲ أﻓﺄوﺻﻲ ﺑﻤﺎﻟﻲ ﻛﻠﮫ ؟ ﻗﺎل: ﻓﻘﻠﺖ،ﯾﻌﻮدﻧﻲ إﻧَﻚ ان ﺗﺬر ورﺛﺘﻚ أﻏﻨﯿﺎء، واﻟﺜﻠﺚ ﻛﺜﯿﺮ. اﻟﺜﻠﺚ: ﻓﺎﻟﺜﻠﺚ ؟ ﻗﺎل: ﻗﻠﺖ، ﻻ: ﻓﺎﻟﺸﻄﺮ ؟ ﻗﺎل: ﻗﻠﺖ، 24
.(ّ )رواه اﻟﺘﺮﻣﺬي.ﺧﯿﺮ ﻣﻦ ان ﺗﺬرھﻢ ﻋﺎﻟﺔ ﯾﺘﻜﻔﻔﻮن اﻟﻨﺎس
Artinya: “ Dari Ibnu Abi ‘Umar, Sufyan bin Uyainah dari Zuhry dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqash dari Bapaknya, bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW pernah datang ke tempatku untuk melawat aku ketika aku sakit keras, lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sudah sangat payah sebagaimana yang engkau lihat sendiri, sedangkan aku ini adalah orang yang kaya dan tidak ada ahli waris lain selain anakku perempuan, apakah boleh aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku itu? Rasul menjawab: Jangan. Aku bertanya lagi: Bagaimana kalau separuhnya? Rasul menjawab lagi: Jangan. Aku bertanya lagi: Kalau sepertiga? Sepertiga, dan (sekali lagi) sepertiga itu sudah cukup banyak, karena sesungguhnya engkau jika meninggalkan ahli waris dalam keadaan cukup atau kaya akan lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan yang selalu menadahkan tangan kepada orang lain”. (H.R. At-Turmudzi)
24
Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Sawrah at-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1994), Juz 3, h. 40
32
Fuqaha sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan lebih dari sepertiga hartanya. Namun mereka berselisih dengan orang yang tidak meninggalkan ahli waris, dan tentang besarnya barang wasiat yang utama. 25 Bila si pewasiat itu mempunyai ahli waris, maka dia tidak boleh mewasiat lebih dari sepertiga. Apabila hendak mewasiatkan lebih dari sepertiga, maka wasiat tersebut tidak dapat dilaksanakan melainkan atas izin ahli waris. Adapun untuk merealisasikan hal tersebut diperlukan dua syarat, sebagai berikut: 1. Agar permintaan izin dari ahli waris dilakukan setelah pewasiat meninggal, sebab sebelum ia meninggal orang yang memberi izin itu belum mempunyai hak. 2. Agar pemberi izin mempunyai kompetensi yang sah dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian di waktu memberi izin. 26 Para fuqaha yang berpendapat bahwa wasiat yang utama itu kurang dari sepertiga adalah mengambil alasan dengan adanya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim yang menerangkan bahwa wasiat itu harus tidak lebih dari sepertiga dan sepertiga itu sudah dalam kategori banyak, karena hal itu dikhawatirkan berdampak kurang bagus pada keturunan yang ditinggalkan. Adapun hikmah disyariatkannya wasiat adalah untuk memenuhi kewajiban bagi al-mushy yang mempunyai hutang kepada sesama manusia dan kepada Allah 25
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Terjemahan A. Hanafi, MA, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Jilid 10, h. 6-7 26 Sayyid Sabiq, h. 223
33
SWT,
karena
ketentuannya
juga
untuk
menambah
amal
perbuatan
dan
menyempurnakan amal kebajikan dengan cara bershadaqah kepada orang lain yang membutuhkannya. Karena itu dalam wasiat terdapat unsur pemindahan haq milik harta benda yang diberikan secra ikhlas dan didorong semata-mata untuk taqarrub kepada Allah SWT. F. Hal-hal Yang Membatalkan Wasiat Menurut Sayyid Sabiq wasiat menjadi batal bila tidak memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: 1. Orang yang berwasiat itu mengidap penyakit yang sehingga menyampaikannya kepada kematian. 2. Orang yang menerima wasiat meninggal terlebih dahulu. 3. Barang yang diwasiatkan itu rusak sebelum sampai pada penerima wasiat.27 Apabila dilihat dari pemaparan di atas, dapat dapat diambil kesimpulan bahwa wasiat itu menjadi batal bila pewasiat itu hilang akal, tidak cakap untuk melakukan hukum, kemudian orang yang menrima meninggal terleebih dahulu karena hak penerimaan wasiat itu baru tetap bila
barang yang diwasiatkan itu
dimiliki bila si pewasiat telah meningal dunia. Dan menjadi batal juga bila barang yang akan diwasiatkan itu telah rusak atau musnah sebelum waktunya serta penerima wasiat tersebut tidak membunuh si pewasiat dan juga bukan dari ahli waris. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan tentang batalnya wasiat, yaitu terdapat pada pasal 197 ayat (1) dan (2), sebagai berikut: 27
Sayyid Sabiq, h. 223-224
34
1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau dengan hukuman yang lebih berat. c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah si pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat itu untuk kepentingan calon si penerima wasiat. d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat. 2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya si pewasiat. b. Mengetahui adanya wasiat tersebut tapi ia menolak untuk menerima wasiat tersebut. c. Mengetahui adanya wasiat tersebut tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai meninggal sebelum meninggalnya si pewasiat. 3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah. Berdasarkan pada pasal 197 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di atas, maka batalnya wasiat sebagian besar dipengaruhi oleh calon penerima wasiat. Dikatakan bahwa wasiat menjadi batal apabila calon peneima wasiat dipersalahkan hakim yang telah berkekuatan tetap membunuh atau mencoba membunuh pewasiat. Wasiat juga mejadi batal apabila calon penerima wasiat telah meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat sedangkan ia tidak mengetahui akan adanya wasiat tersebut.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
A. Sekilas Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) 1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam (KHI) Istilah kompilasi berasal dari bahasa Yunani, diambil dari perkataan “compilare”
yang
mempunyai
arti
mengumpulkan
bersama-sama,
seperti
mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi “compilation” dalam bahasa Inggris atau “compilatie” dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi “kompilasi” yang berarti terjemahan langsung dari dua perkataan yang tersebut terakhir.1 Dalam literatur bahasa bahasa Indonesia, kompilasi secara bahasa mengandung arti kumpulan yang tersusun secara teratur (daftar informasi, keterangan-keterangan dan sebagainya).2 Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa kompilasi adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku atau tulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh
11
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), hal. 10 2 Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 453
35
36
beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah. 3 Adapun yang dimaksud dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sebuah kitab yang berisi kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah atau garis-garis hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis. 4 Namun ada juga yang mendefinisikan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah fikih dalam bahasa Undang-undang, sehingga susunannya seperti Undang-undang yang mencakup pada bab, pasal dan ayat yang berisi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut yakni perkawinan, kewarisan dan perwakafan. 2. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam salah satu tulisannya mengenai perlunya Kompilasi Hukum Islam (KHI), K.H. Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini merupakan keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada Pemerintahan Orde Baru ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh semua bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam Lembaga-lembaga Peradilan Agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh
3
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 11 Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Dapertemen Agama RI, 1995), h. 79 4
37
masalah fikih akan dapat diakhiri. 5 Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama diadakannya penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah karena adanya kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalahmasalah hukum Islam. Hal ini secara tegas dinyatakannya oleh karena di Indonesia belum ada kompilasi maka dalam praktek sering kita lihat adanya keputusan Peradilan Agama yang saling berbeda pada kasus yang sama. Bahkan dapat dijadikan alat politik untuk menghakimi orang lain yang dianggap tidak sepaham. Juga telah kita saksikan masalah fikih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi sebab perpecahan. Dengan demikian yang kita rasakan bukan rahmat, akan tetapi laknat. Hal ini, menurut pendapatnya adalah karena umat Islam salah paham dalam mendudukan fikih di samping belum adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI).6 Menurut Masrani Basran yang melatarbelakangi diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah dikemukakannya tentang adanya ketidakjelasan persepsi tentang syari’ah dan fikih. Dikemukakannya bahwa sejak ratusan tahun di kalangan umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia, terjadi kekurang jelasan atau kalau tidak dapat dikatakan kekacauan persepsi tentang arti dan ruang lingkup pengertian syari’ah Islam dengan fikih, bahkan adakalanya dalam penetapan dan persepsi dianggap sama pula dengan al din. Maka terjadilah kekacauan pengertian di kalangan umat Islam dan kekacauan ini berkembang pula di pihak-pihak orang-orang yang di 5
Hasan Basry, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 104 (April 1986): h.
6
Hasan Basry, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, h. 60
60
38
luar Islam. Karena syari’ah Islam itu meliputi seluruh bidang kehidupan menusia maka persepsi yang keliru akan mengakibatkan pula kekacauan dan saling menyalahkan dalam bidang-bidang kehidupan umat. Hal inilah yang menurutnya pada poin kedua harus diluruskan, persepsi tentang syari’ah harus diseragamkan, harus dikembalikan pada awal asalnya sebelum terjadinya kemunduran berfiir, sebelum kaum penjajah menguasai hidup dan kehidupan orang Islam. 7 Untuk mengatasi kesulitan ini, menurutnya harus dilaksanakan proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selanjutnya Yahya Harahap menambahkan sisi lain dengan apa yang diungkapkan di atas. Ia menekankan pada adanya penonjolan kecenderungan mengutamakan fatwa atau penafsiran maupun syarah ulama dalam menemukan dan menemukan hukum. Dikatakan para Hakim di Pengadilan Agama pada umumnya sudah menjadikan kitab-kitab fikih sebagai landasan hukum. Kitab-kitab fikih sesudah berubah fungsinya. Kalau semula kitab-kitab fikih merupakan literatur pengkajian ilmu hukum Islam. Para hakim pengadilan agama telah menjadikannya kitab hukum (Perundang-undangan). Praktik seperti inilah yang menurutnya akan menjurus kepada penegakkan hukum menurut selera dan persepsi Hakim. 8
7
Masrani Basran, Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 105 (Mei 1986) : h. 8-9. Yahya Harahap, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Dalam IAIN Syarif Hidayatullah, ed., Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), h. 8889 8
39
Penjelasan tentang latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga dkatakan bahwa keberadaan Pengadilan Agama di Indonesia banyak dicoraki oleh politik Islam pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintah kolonial, maupun Pemerintah Republik Indonesia di masa kemerdekaan. Terutama disebabkan oleh politik Islam pemerintah Hindia Belanda yang kemudian tetap dibiarkan berlanjut oleh Pemerintah Republik Indonesia, banyak keruwetan yang dihadapi oleh Peradilan Agama. Keruwetan yang meliputi Peradilan Agama, misalnya terletak pada (a) kewenangan atau kompetensinya, (b) hukum acara atau hukum formilnya, (c) hukum materiil atau hukum terapannya. 9 Sebagian keruwetan tersebut telah pupus dengan lahirnya undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.10 Persoalan yang kemudian dihadapi oleh Peradilan Agama adalah tentang hukum materiil atau hukum terapannya, yakni hukum positif yang harus diterapkan oleh Pengadilan Agama untuk menyelasaikan kasus-kasus yang diajukan kepadanya. Hukum materiil itu adalah hukum Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, M. Yahya Harahap mengatakan bahwa salah satu asas Peradilan Agama yakni personalitas keIslaman. Asas personalitas keIslaman adalah yang tunduk dan dapat ditundukan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang mengakui beragama Islam. Persoalannya adalah ada sementara termasuk Hakim Peradilan Agama menyamakan
9
Moh. Muhibbin, H. Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 169-170 10 Bustanul Arifin, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditjen Bimbaga Departemen Agama RI, 1991), h. 135
40
syariah dengan fikih. Karena ada hakim yang berpandangan demikian, maka dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, mereka merujuk kepada kitab fikih. Perbedaan pendapat ini antara fuqaha yang terdapat dalam kitab fikih pegangan Hakim Peradilan Agama tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan sikap antipati masyarakat pencari keadilam pada peradilan agama. Selain itu, di masa yang lalu, wawasan para hakim Peradilan Agama mengenai fikih Islam di Indonesia masih terpaku pada hukum yang terdapat dalam mazhab Syafi’i. Jika hal ini berlangsung terus-menerus, kepercayaan masyarakat untuk mencari keadilan berdasarkan hukum Islam ke Peradilan Agama lamakelamaan akan menyurut, bahkan bukan tidak mungkin akan sirna. Logika yang demikian harus dihindari dan jawaban untuk mengatasi hal tersebut sudah jelas, yaitu harus ada hukum yang bisa dijadikan pedoman bagi hakim Peradilan Agama dalam membuat keputusan.11 Demikian beberapa pandangan yang dikemukakan berkenaan dengan latar belakang diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang permasalahannya bertumpu pada pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama. Berdasarkan pemaparan-pemaparan dari para ahli hukum di atas maka penulis menyimpulkan bahwa alasan diadakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah lahirnya putusan hukum yang berbeda terhadap kasus yang sama dalam
11
Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, h. 170-171
41
lingkungan Peradilan Agama dikarenakan berbeda-bedanya para hakim dalam mengambil rujukan oleh sebab berbeda aliran mazhab. 3. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) a. Penelitian Menurut Masrani Basran dalam salah satu tulisannya, dalam penelitian terdapat beberapa jalur. Pertama, jalur kitab yaitu dengan mengumpulkan kitab-kitab hukum atau fikih. Kedua, jalur ulama yaitu dengan mewawancarai para ulama di seluruh Indonesia meliputi, Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Ujung Pandang, Mataram dan Banjarmasin. Ketiga, jalur yurisprudensi yaitu dengan menghimpun putusan-putusan Pengadilan Agama dari dulu hingga sekarang kemudian dibukukan. Keempat, jalur studi perbandingan terhadap beberapa Negara muslim. 12 b. Pengolahan Data Hasil penelitian bidanng kitab, yurisprudensi, wawancara (jalur ulama) dan studi perbaandingan diolah oleh tim besar proyek pembinaan Hukum Islam melalui yurisprudensi yang terdiri dari seluruh pelaksana proyek. Hasil dari rumusan tim besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah tim kecil yang merupakan tim inti berjumlah 10 orang. Setelah mengadakan 20 kali rapat, akhirnya tim kecil dapat merumuskan dan menghasilkan 3 buku naskah
12
Masran Basran, Kompilasi Hukum Islam, h. 37-38.
42
rancangan Kompilasi Hukum (KHI) Islam yaitu Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Wakaf. 13 c. Lokakarya Pelaksanaan pembahasan naskah rancangan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada lokakarya tersebut dibagi dalam dua instansi, yaitu sidang pleno dan sidang komisi. Sidang pleno dihadiri oleh seluruh peserta melakukan perbaikan umum, dan mengesahlan hasil rumusan akhir lokakarya. Sidang komisi terdiri dari komisi hukum perkawinan, komisi hukum kewarisan dan komisi hukum wakaf. 14 Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Wakaf mengalami penghalusan redaksi yang intensif di Ciawi-Bogor yang dilakukan oleh tim besar proyek untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden, oleh Menteri Hukum Islam dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktik di Lingkungan Peradilan Agama. d. Subtantansi Kompilasi Hukum Islam (KHI) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun atas prakarsa penguasa negara, dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama (melalui surat Keputusan Bersama/SKB) dan mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur. Secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil ijtihad jama’iy ulama 13
Basiq Djalil. Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.116. 14 Basiq Djalil. Peradilan Agama di Indonesia, h.117
43
dari berbagai golongan melalui media lokarkarya yang dilaksanakan secara nasional kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara. Hukum materil yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan. Ia merupakan hasil dari kompromi terhadap keadaan setempat (sosial, budaya dan kultur kemasyarakatan). Dengan kata lain, pertimbangan yang dilakukan oleh ulama dalam merumuskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan hanya pertimbangan nash tetapi juga pertimbangn realitas. Sistematika penyusunan materi hukum Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dilihat sebagai berikut: a. Hukum perkawinan Sistematika Kompilasi mengenai hukum perkawinan ini adalah sebagai berikut: 1. Bab I
: Ketentuan Umum (Pasal 1)
2. Bab II
:
Dasar-dasar Perkawinan (Pasal 2-10)
3. Bab III
:
Peminangan (Pasal 11-13)
4. Bab IV
:
Rukun dan Syarat Perkawinan (14-29)
5. Bab V
:
Mahar (Pasal 30-38)
6. Bab VI
:
Larangan Kawin (Pasal 39-44)
7. Bab VII
:
Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52)
8. Bab VIII
:
Kawin Hamil (Pasal 53-54)
9. Bab IX
:
Beristeri Lebih dari satu (Pasal 55-59)
10. Bab X
:
Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)
44
11. Bab XI
:
Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)
12. Bab XII
:
Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 77-84)
13. Bab XIII
:
Harta Dalam Perkawinan (Pasal 85-97)
14. Bab XIV
:
Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)
15. Bab XV
:
Perwalian (Pasal 107-112)
16. Bab XVII
:
Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)
17. Bab XVIII
:
Rujuk (Pasal 163-169)
18. Bab XIX
: Masa Berkabung (Pasal 170)
b. Hukum kewarisan Sistematika Kompilasi mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit bilamana dibandingkan dengan hukum perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan di muka. Kerangka sistematikanya adalah sebagai berikut: 1. Bab I
:
Ketetuan Umum (Pasal 171)
2. Bab II
:
Ahli Waris (Pasal 172-175)
3. Bab III
:
Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)
4. Bab IV
:
Aul dan Rad (Pasal 192-193)
5. Bab V
:
Wasiat (Pasal 194-209)
6. Bab VI
:
Hibah (Pasal 210-214)
c. Hukum perwakafan Bagian terakhir atau buku ke III Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah tentang hukum perwakafan. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
45
1. Bab I
:
Ketentuan Umum (Pasal 215)
2. Bab II
:
Fungsi dan syarat Wakaf (Pasal 216-222)
3. Bab III
:
Tata Cara Perkawafan dan Pendaftaran Benda Wakaf (Pasal 223-224)
4. Bab IV
:
Perubahan, Penyelesaian dan Fungsi Benda Wakaf (Pasal 225-227)
5. Bab V
:
Ketentuan Peralihan (Pasal 228)
B. Landasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Landasan atau dasar hukum pertama keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 adalah Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan Pemerintahan Negara. Intruksi Presiden ini ditujukan kepada Menteri Agama yang memerintahkan unutk mnyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sudah disepakati teresebut.15 Diktum keputusan menyatakan: 1. Menyebarkan Kompilasi Hukum Islam, terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, b. Buku II tentang Hukum Kewarisan, c. Buku III tentang Hukum Perwakafan.
15
M. Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cet. Ke-4, h. 53.
46
Sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia dalam lokarkarya di Jakarta tanggal 2-5 Februari 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannnya. 2. Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. Landasan hukum yang kedua adalah keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22 Juli 1991 No. 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991. Dalam diktum keputusan Menteri tersebut disebutkan sebagai berikut: a. Seluruh Instansi Departmen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. b. Seluruh lingkungan instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan masalah di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasai Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundangundangan lainnya. c. Direktur jendral pembinaan kelembagaan agama Islam dan direktur bimbingan masyarakat Islam dan urusan haji mengkoordinasikan tentang pelaksanaan keputusan menteri agama ini dalam bidang tugasnya masing-masing.
47
d. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan.16 3. Landasan Hukum yang ketiga yaitu Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694/EV/Hk. 003/AZ/91, yang ditujukan kepada ketua Pengadilam Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.17 Berdasarkan hal di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. Dalam sejarah, penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan di Peradilan Agama selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang digunakan oleh Peradilan Agama senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri atas beragam kitab fikih dari berbagai aliran (mazhab), yang berakibat munculnya keragaman putusan terhadap perkara yang serupa. Hal ini sangat merisaukan para petinggi hukum terutama di kalangan Mahkamah Agung dan Dapertemen Agama. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) kekosongan hukum itu telah terisi. Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum substansional (mencakup hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan) yang diberlakukan pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, antara lain diatur tentang
h. 60
16
M. Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
17
M. Daud Ali, h. 66
48
kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang Perkawinan, Kewarisan, Hibah, Wasiat, Wakaf dan Shadaqah khususnya bagi orang-orang yang beragama Islam. Dengan demikian, secara yuridis hukum Islam di bidang Perkawinan, Kewarisam (termasuk Wasiat dan Hibah) dan Perwakafan menjadi hukum positif tertulis dalam sistem hukum nasional. Ia menjadi dasar pengambilan keputusan hukum terhadap perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. C. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Sistem Hukum Nasional Berkenaan dengan kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam sistem hukum Nasional, diukur oleh unsur-unsur sistem hukum nasional sebagaimana telah dikemukakan. 18 1. Landasan ideal dan konstitusional Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal itu dimuat dalam konsideran Instruksi Presiden dan dalam penjelasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ia disusun sebagai bagian dari sintem hukum naional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ysng sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia. 2. Ia dilegalisasi oleh instrumen hukum dalam bentuk Instruksi Presiden yang dilaksanakan oleh Keputusan Menteri Agama, yang merupakan bagian dari rangkaian Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
18
Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999) h. 9-10
49
3. Ia dirumuskan dari tatanan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal itu yang menjadi inti hukum Islam yang mencakup berbagai dimensi. Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai kedudukan yang kuat dalam tatanan hukum di Indonesia, walaupun di sisi lain menurut hemat penulis masih terdapat beberapa kelemahan di antaranya dalam konsideran terdapat susunan kalimat “dapat digunakan sebagai pedoman”, dakan dapat menimbulkan kesan bahwa dalam masalah ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak mengikat, artinya para pihak dan instansi dapat memakainya dam dapat pula tidak, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan masalah. Lebih lanjut Inpres tidak mengikat seperti halnya undang-undang, karena Inpres adalah penetapan yang tanpa meminta persetujuan DPR sehingga kepastian hukum materil Peradilan Agama belum ada pada taraf maksimal. Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri yang merupakan sebuah anjuran bagi hakim dalam mangambil keputusan terhadap perkara yang diajukan di lingkungan Peradilan agama, maka posisi hakim sebagaimana dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneisa (UU NRI) Tahun 1945 menentukan dalam pasal (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan pelaku Kekuasaan Kehakiman (KK) untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan
50
keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah. 19 Dalam Undang-undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum UU no. 7 Tahun 1989 tentang PA (UU PA No.7/89) yang menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian waris”, dinyatakan dihapus. Dalam usaha memperkuat prinsip Kekuasaan Kehakiman (KK) yang merdeka, sesuai dengan tuntunan reformasi di bidang hukum, telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UUK2PKK No. 14/1970) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UUK2PKK No. 14/1970, sebagaimana terakhir telah diganti menjadi UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK No. 4/2004). Demikian juga halnya telah dilakukan perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA (UUMA No. 14/1985) dengan UU No. 5 Tahun 2005 tentang perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA.
19
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan “Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 240-241
51
Penggantian dan perubahan kedua Undang-undang tersebut secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, finansial dan senua lingkungan peradilan ke MA. Dengan demikian, organisai, administrasi dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan UUPA No. 7 Tahun 1989 sedah tidak lagi berada di bawah Departemen Agama. 20 D. Tujuan Perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum positif Islam, sebagaimana dirumuskan secara sistematis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mencakup berbagai substansi dan dimensi. Ia merupakan hukum Substansional (materil) yang menjadi rujukan dalam proses pengambilan keputusan di Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama. Ia meliputi hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah dan wasiat dan hukum perwakafan. Ia juga mnecakup dimensi pemeliharaan tradisi intelektual di kalangan ulama, dimensi transformasi ke dalam produk Kekuasaan Pemerintahan Negara, dan dimensi pengembangan ke dalam produk kekuasaan kehakiman terhadap perkara yang diajukan ke Pengadilan. Berkenaan dengan hal yang di atas, maka dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) besar harapan untuk mempositifkan hukum Islam di Indonesia. Dengan mempositifkan hukum secara terumus dan sistematik dalam Kompilasi
20
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan “Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam”, h. 241-242
52
Hukum Islam (KHI), maka terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI).21 1. Melengkapi Pilar Peradilan Agama Secara konstitusional dan teoritis keberadaan Peradilan Agama sebagai salah satu badan Lingkungan Peradilan yang melaksanakn amanat kekuasaan kehakiman yang ditentukan Pasal 24 Undang-undang 1945 telah terpenuhi. 22 Maka setelah lahir Kompilasi Hukum Islam (KHI) keberadaan Peradilan Agama menjadi berfungsi semakin baik dan jelas dalam menangani perkara yang di ajukan kepadanya. 2. Menyamakan Persepsi Penerapan Hukum Dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah jelas dan pasti nilai-nilai tata hukum Islam di bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf dan warisan. Bahasa dan nilai-nilai hukum yang dipertarungkan di forum Peradilan Agama oleh masyarakat pencari keadilan, sama kaidah dan rumusannya dengan apa yang mesti diterapkan oleh para Hakim di seluruh Nusantara.23 3. Mempercepat Proses Taqribi Bainal Ummah Tujuan lain yang hendak dicapai dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tidak kalah pentingnya adalah mempercepat arus proses taqarrub bayn al-
21
Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional,h. 27 22 Cik Hasan Basri, h. 29 23 Cik Hasan Basri , h. 31
53
ummah.24 Dengan adanya Kompilasi Hukm Islam (KHI) dapat diharapkan sebagai jembatan penyebrangan ke arah memperkecil pertentangan dan pembantahan khilafiyah. Sekurang-kurangnya di bidang hukum yang menyangkut perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan dapat dipadukan pemahaman yang sama. 4. Menyingkirkan Paham Private Affairs Hal lain yang dituju Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah menyingkirkan paham dan cakrawala private affairs.25 Dari pengamatan dan pengalaman yang dapat diraba, dalam penghayatan kesadaran masyarakat Islam selalu dianggap merupakan urusan pribadi. Tindakan perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan semata-mata dianggap urusan hubungan vertikal seseorang dengan Allah yang tidak perlu ada campur tangan dari orang lain. Paham yang bercorak private affairs ini bukan hanya terdapat dikalangan masyarakat awam, tetapi meliputi kalangan elite lingkungan ulama dan fuqaha.
24
Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional,h. 32 25 Cik Hasan Basri, h. 33
BAB IV ANALISIS WASIAT KEPADA AHLI WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN HUKUM ISLAM
A. Kedudukan Wasiat Kepada Ahli Waris 1. Menurut Imam Mazhab Keabsahan wasiat
disepakati oleh semua mazhab, demikian juga
kebolehannya dalam syariat Islam. Wasiat yang secara umum ialah pemberian hak untuk memilikim suatu benda atau mengambil manfaatnya, setelah meninggalnya si pemberi wasiat dengan cara sukarela (tabarru’). Dalam wasiat tidak ada redaksi khusus. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan redaksi bagaimanapun yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela sesudah wafatnya pewasiat.1 Wasiat terdiri dari dua macam, wasiat tamlikiyah, seperti seseorang berwasiat dengan sebagian harta untuk diberikan kepada seseorang sesudah wafatnya. Dan wasiat ahdiyah, seperti wasiat berkaiatan dengan penanganan jenazah seseorang dan wasiat untuk pelaksanaan ibadah atas nama dirinya sesudah ia wafat.2 Ahli waris yaitu mereka yang berhak menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya hubungan kekerabatan atau ikatan pernikahan. Dengan adanya
1
Jawad Mighniyah, Terjemah Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h.
2
Zahir Yahya, Manual Syariat Mu’amalah, h. 29
236
54
55
ahli waris yang masih hidup pada waktu pewaris meninggal, maka hak hak kepemilikan dari pewaris bisa berpindah kepada ahli waris tersebut. Adapun dikalangan fuqaha terdapat
perbedaan pendapat
mengenai
pelaksanaan wasiat kepada ahli waris, diantaranya: a. Mazhab Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa hukumnya boleh, walaupun tanpa seizin ahli waris lainnya, asalkan tidak melebihi sepertiga. 3 Karena makna zahir ayat 180 surat al-Baqarah:
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah/02: 180) Mereka menyatakan: 4
ﻧﺴﺦ اﻟﻮﺟﻮب ﻻ ﯾﺴﺘﻠﺰم ﻧﺴﺦ اﻟﺠﻮواز
Artinya: “Penghapusan hukum wajib bukan berarti mengharuskan menghapus kebolehannya” Dengan pernyataan tersebut mereka tidak sependapat dengan mayoritas ulama yang mengatakan bahwa ayat di atas sudah dinasakh (dihapuskan) hukumnya sama sekali oleh ayat-ayat yang mengatur tentang pembagian harta warisan. Menurut mereka yang dinasakh hanya hukum wajibnya wasiat kepada ahli waris. Setelah 3 4
7477
Mahammad Abu Zahra, Al-Miras ‘Inda al-Ja’fariyah, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1995), h. 56 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1998), Juz X, h.
56
hukum wajibnya dihapuskan oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan, maka ayat tersebut tetap berfungsi membenarkan atau membolehkan berwasiat kepada ahli waris. Sehingga menurut mereka wasiat boleh untuk ahli waris maupun bukan ahli waris dan tidak bergantung pada persetujuan ahli waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta.5 Dan mengingat juga bahwa kadang-kadang memang sangat perlu mewasiatkan suatu tambahan bagi seorang ahli waris berdasarkan kebutuhannya yang khusus. Seorang yang mempunyai lima orang anak misalnya, laki-laki atau perempuan, yang empat diantaranya kaya raya, sementara yang satu dikarenakan beberapa sebab dalam keadaan miskin atau beban hidupnya amat berat, tidak ada salahnya apabila diwasiatkan kepadanya tambahan yang tidak melebihi sepertiga harta yang akan diwariskan. Dalam hal ini, saudara-saudaranya yang lain pun tidak selayaknya menolak wasiat tersebut, sepanjang hal ini memang diperlukan, sementara mereka sendiri tidak begitu memerlukan bagian warisan. 6 b. Al-Muzanni
dan Abu Daud al-Zahiri berpendapat bahwa tidak sah berwasiat
kepada ahli waris walaupun diizinkan oleh ahli waris yang lain, karena Allah SWT telah melarang hal itu, maka ahli waris tidak berhak membolehkan sesuatu yang dilarang Allah SWT melalui lisan Rasul-Nya sebab harta warisan ketika itu sudah
5
Jawad Mighniyah, Terjemah Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h.
240 6
Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab Studi Analisis Istinbat Para Fuqaha, h. 158
57
hak menjadi ahli waris. Jadi orang yang memberi wasiat terhadap harta warisan milik ahli waris itu batal (tidak sah). Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW: 7
(انّ اﷲ ﻗﺪ اﻋﻄﻰ ﻛﻞّ ذى ﺣﻖّ ﺣﻘّﮫ و ﻻ وﺻﯿّﺔ ﻟﻮارث )رواه اﻟﻨّﺴﺎ ئ
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang-orang yang mempunyai hak, untuk itu tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Al-Nasa’iy) Jadi ahli waris tidak bisa menambahkan sesuatu yang batil, tetapi jika ahli waris ingin meninggalkan wasiat dan harta mereka, maka mereka berhak untuk meninggalkna wasiat dan mereka bisa memberikan bagian (upah) kepada orang mereka kehendaki. 8 c. Pendapat yang dianut oleh sebagian kalangan Malikiyah dan Zahiriyah menyatakan bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya izin dari ahli waris yang lain. Menurut mereka larangan seperti itu termasuk hak Allah SWT yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah ahli waris. Ahli waris tidak berhak untuk membenarkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. Seandainya ahli waris menyetujuinya juga, begitu aliran ini menjelaskan, maka statusnya bukan lagi wasiat, tetapi menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana lazimnya praktek hibah.9
7 8
9
Jalaluddin al-Syuyuti, Syarh Sunan Nasa’i, (Beyrut: Dar al-Fikr, Tt), h. 262 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Waadillatuhu, Juz X, h. 7477
Prof. Dr. H. Setria Effendi M. Zein, M.A., Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 380
58
d. Mazhab Syafi’i mendominasi dan merupakan mazhab kebanyakan umat Islam di Asia Tenggara, fiqh mazhab Syafi’i dipakai secara turun temurun untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan sehari-hari dalam bidang ‘ubudiyah, muamalah, kawarisan, maupun perkawinan. Materi-materi yang bersumber dari kitab-kitab al-Syafi’i senantiasa menjadi acuan keputusan Pengadilan. Ini menunjukan betapa kuat pengaruh mazhab Syafi’i dalam kehidupan umat Islam di Asia Tenggara. 10 Imam Syafi’i dalam kitabnya (al-Umm), mengatakan bahwa wasiat itu diperuntukan untuk orang yang diwasiatkan asalkan bukan dari ahli waris, kalau wasiat itu diberikan kepada orang yang menerima pusa dari si mayat, maka batal wasiat tersebut. Dan kalau wasiat tersebut kepada orang yang tidak menerima pusaka dari si mayat, maka dibolehkan wasiat tersebut.11 Berdasarkan hadis “Tiada wasiat bagi ahli waris”. Dan apabila seseorang meminta izin untuk berwasiat kepada ahli waris, sewaktu ia masih sehat atau sakit, lalu mereka ahli waris lainnya mengizinkan atau tidak mengizinkan kepadanya, maka yang demikian itu sama. Kalau para ahli waris menepati wasiat itu kepada yang diwasiatkan, maka itu adalah lebih baik bagi
10
Abdul Hadi Muthohhar, Pengaruh Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), h.2 11 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1987), h. 32
59
mereka dan lebih bertaqwa kepada Allah SWT. Dan lebih baik pada kejadian itu bahwa mereka membolehkannya.12 e. Jumhur ulama berpendapat bahwa berwasiat terhadap ahli waris mutlak tidak dapat dilaksanakan kecuali atas persetujuan ahli waris lainnya, jika mereka mengizinkan selama tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan maka wasiat dapat dilaksanakan dan jika tidak mengizinkan maka hukum wasiat adalah batal. Hal ini
berdasarkan
makna
hadis
yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i
“Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang-orang yang mempunyai hak, untuk itu tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Al-nasa’iy) Ulama sepakat bahwa wasiat yang diberikan kepada selain ahli waris dan wasiat tersebut tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan, maka dibolehkan tanpa harus menunggu persetujuan dari ahli waris. 13 2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam sejarahnya, Hakim-hakim di lingkungan Peradilan Agama ketika menghadapi kasus-kasus selalu merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua kasus serupa apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi kitabnya, keputusannya dapat berbeda, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah Surat Kepusan Bersama (SKB)
12 13
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, h. 40 Muhammad bin Abdurrahman al-Syafi’i, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, h. 198
60
Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Departemen Agama. SKB itu membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masingmasing tentang Hukum Perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang Hukum Perwakafan (Buku III). Bulan Februari 1988 ketiga Buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas sebagai inovasi dari para ulama di Indonesia. Pada Tanggal 10 Juni 1991 Soeharto menandatangani Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991.14 Dalam sejarah, penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan di Peradilan Agama selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang digunakan oleh Peradilan Agama senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri atas beragam kitab fiqh dari berbagai aliran (mazhab), yang berakibat munculnya keragaman putusan terhadap perkara yang serupa. Hal ini sangat merisaukan para petinggi hukum terutama di kalangan Mahkamah Agung dan Dapertemen Agama. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) kekosongan hukum itu telah terisi. Berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris, disebutkan juga di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni:
14
Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 2
61
Pasal 195 1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris. 2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. 3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. 4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua saksi dihadapan Notaris. Dari apa yang telah ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 195, maka bisa disimpulkan wasiat kepada ahli menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) bisa saja dilaksanakan selama telah ada izin dari ahli waris yang lain. Dalam pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat disimpulkan bahwa syarat bagi orang yang akan melakukan wasiat sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, tidak ada paksaan dari pihak manapun atupun dalam pengampuan serta harta yang akan diwasiatkan merupakan hak seutuhnya si pewasiat. Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dilakukan di hadapan dua orang saksi atau Notaris secara lisan atau tertulis. Wasiat pun tetap tidak melebihi dari sepertiga harta peninggalan. Berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris, maka dianggap sah bila telah disetujui oleh semua ahli waris. Persetujuan dari ahli waris dimaksudkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun dalil tentang saksi dan keberadaan notaris adalah dalam surat an-Nisa ayat 135:
62
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa /04: 135) Oleh karena ketentuan ini di bawah kebijakan pemerintah, maka rakyat harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa /04: 59) Berdasarkan penjabaran di atas, maka penulis menyimpulkan bahwasanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya tentang wasiat kepada ahli waris pada dasarnya telah seragam dengan pendapat yang di anut oleh mazhab Syafi’i dan Jumhur. Hal ini dikarenakan keberadaan mazhab Syafi’i yang sangat mendominasi di
63
negara Indonesia sehingga pemikiran hukum Islamnya pun mempengaruhi terhadap masyarakat Indonesia. B. Relevansi Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris di Indonesia Perdebatan dan teoretisasi mengenai pergumulan hukum Islam dan perubahan sosial yang merupakan salah salah problem fundamental filsafat hukum telah terjadi dalam waktu yang cukup lama.15 Polarisasi masalah ini setidaknya mengarah pada dua kutub yang sangat ekstrim. Pertama, hukum islam dianggap tidak mempunyai hikmah dan ‘illat (rasio legit) di balik formula legal formalnya, sebab ia adalah kehendak Tuhan. Kedua, hukum Islam dianggap memiliki ‘illat, hikmah dan tujuan. Sebab, jika tidak, maka berarti Tuhan menciptakan sesuatu yang sia-sia. Tuhan memberikan akal pikiran kepada manusia supaya bisa menangkap rahasia alam dan gejala sosial. Dengan perspektif di atas, secara filosofis pemikiran hukum Islam yang pernah dan sedang berkembang di Indonesia menampakan kecenderungan yang kedua. Untuk mengetahui sejauh mana teori ini menjiwai lahirnya pemikiranpemikiran ini kita dapat mengukurnya dengan metode atau pendekatan mashlaha (human welfare), di mana peran akal budi sangat menetukannya.16 Hal yang paling
15
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005), h. 16 16 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, h. 17
64
nyata dalam hal ini dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bentuk untuk kemashlahatan umat Islam Indonesia. Berdasarkan uraian pada bahasan sebelumnya, pola reformasi Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada dasarnya tidak lepas dari pola-pola ijtihad yang dikembangkan oleh ulama fiqh. Paling tidak terdapat tiga sifat pola, yaitu doktriner, kodifikasi dan legislasi. Dilihat dari segi doktriner, Kompilasi Hukum Islam (KHI) merujuk pada sumber yang utama, yakni al-Qur’am dan al-Sunnah. Dalam hal ini, Panitia perumus Kompilasi Hukum Islam (KHI) senantiasa memperhatikan asbabu an-nuzul suatu ayat dan asbabu al-wurud suatu hadis. Dilihat dari segi kodifikasi, para perumus Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini mengambil bahan dari penalaran para fuqaha yang terdapat dalam kitab fiqh yang dikaji oleh para ulama tersebut melalui jalur pertama. Adapun pola yang bersifat legislasi terlihat dalam usaha Pemerintah dan para tokoh masyarakat dalam merumuskan, menghimpun, dan mengesahkan dalam bentuk Inpres. Tahapan ini merupakan langkah dalam merumuskan garis-garis hukum Islam yang dituangkan ke dalam bahasa perundang-undangan. 17 Sekalipun Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah diberlakukan di Indonesia dan telah terjadi pedoman di lingkungan Peradilan Agama, hal ini bukan berarti Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak membutuhkan penyempurnaan. Sebagaimana watak fiqh yang mungkin selalu mengalami perubahan karena perkembangan maka 17
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Cet. 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 391
65
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang satu sumber pembentukannya mengacu kepada fiqh dimungkinkan adanya perubahan.18 Berdasarkan penjabaran di atas maka keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam hal ini secara khusus posisi wasiat kepada ahli waris adalah masih bisa mengayomi masyarakat Indonesia Islam selama atas persetujuan ahli waris yang lain dan juga tidak lebih dari sepertiga harta warisan. Dalam hal ini, apabila ada perkara yang diajukan ke lingkungan Peradilan agama yang berkaitan dengan wasiat kepada ahli waris, maka hakim bisa memutuskan perkara tersebut berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris. Sehingga tidak ada perdebatan karena belum ada hukum lain mengaturnya, karena dalam sifat penegakan hukum, ada yang bersifat normatif dan bersifat fungsional selama belum ada hukum baru.
18
Suparman Usman, Hukum Islam: Asa-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 151
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai akhir dari penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan beberapa kesimpulan yang merupakan inti uraian pembahasan tersebut antara lain: 1. Setelah melakukan penelitian berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris Jumhur
ulama berpendapat bahwa berwasiat terhadap ahli waris mutlak tidak dapat dilaksanakan kecuali atas persetujuan ahli waris lainnya, jika mereka mengizinkan selama tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan maka wasiat dapat dilaksanakan dan jika tidak mengizinkan maka hukum wasiat adalah batal. Ulama sepakat bahwa wasiat yang diberikan kepada selain ahli waris dan wasiat tersebut tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan, maka dibolehkan tanpa harus menunggu persetujuan dari ahli waris. Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pemberian wasiat kepada ahli waris adalah boleh selama tidak melebihi sepertiga dari harta warisan dan juga telah ada izin dari ahli waris lainnya. Penulis menyimpulkan bahwasanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya tentang wasiat kepada ahli waris pada dasarnya telah seragam dengan pendapat yang di anut oleh mazhab Syafi’i dan Jumhur. Hal ini dikarenakan keberadaan mazhab Syafi’i yang sangat mendominasi di negara Indonesia sehingga pemikiran hukum Islamnya pun mempengaruhi terhadap masyarakat Indonesia.
66
67
2. Berdasarkan pada uraian sebelumnya, maka keberadaan pasal 195 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) bisa direalisasikan dalam konteks Indonesia saat ini karena secara umum keberadan Kompilasi Hukum Islam (KHI) termasuk di dalamnya pasal 195 telah menjadi salah satu sumber utama dalam lingkungan Peradilan Agama untuk mengatasi persoalan hukum yang ada di Indonesia khususnya bagi umat Islam. B. Saran-saran 1. Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah beraku di Indonesia, agar Kompilasi Hukum Islam (KHI) selalu menjadi rujukan dalam mengampil keputusan di lingkungan Peradilan Agama kapan dan di manapun, maka para pejabat hukum di Indonesia perlu untuk kembali menyempurnakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sesuai dengan watak masyarakat Islam Indonesia saat ini yang semakin majemuk. 2. Dianjurkan kepada umat Islam khususnya di Indonesia, agar melaksanakan wasiat dalam hal ini wasiat kepada ahli waris, seyogyanya perlu mempertimbangkan piahk-pihak yang mempunyai hak terhadap harta peninggalan. Hal ini bertujuan agar ahli waris yang ditinggalkan merasa tidak dirugikan dan tidak saling iri. 3. Terakhir, penulis menyarankan bagi yang akan melakukan penelitian yang berhubungan dengan latar belakang
lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI),
maka harus bersemangat dalam mengumpulkan rujukan, karena telah cukup banyak karya yang lahir sehingga banyak pula perspektifnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan “Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004 Al-Asy’ats, Abi Dawud Sulaiman bin, Sunan Abi Dawud, Beyrut: Dar al-Fikr, 1987 Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-4, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994 Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia), Jakata: PT. Raja Grafindo, 2000 Arifin, Bustanul, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ditjen Bimbaga Departemen Agama RI, 1991 Al-Baghdadi, Abd al-Wahab, al-Ma’unah ‘Ala Mazhab ‘Alim al-Madinah alImam Malik bin Annas, Beyrut: Dar al-Fikr, 1995 Basran, Masrani, Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 105 Mei 1986 Basry, Hasan, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 104 April 1986
68
69
Basyir, Ahmad Azhar, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1972 Basri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999 Bhreisy, Husein, Kamus Islam, Bandung: Galuni Jaya, 1990 Al-Bukhary, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhary, Beyrut: Dar al-Fikr, Tt Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1996 Danim, Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pusaka Setia, 2002 Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dapertemen Agama RI, 1995 Djalil, Abdul Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006 Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung: al-Ma’arif, 1984 Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005 Harahap, Yahya, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Dalam IAIN Syarif Hidayatullah, ed., Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tintamas, 1981
70
Al-Juzairy, Abdurrahman, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beyrut, Dar alIrsyad al-Thaba’ah 1647 Mughniyah, Jawad, Terjemah Fiqh Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996 Muhibbin, Moh, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Muthohhar, Abdul Hadi, Pengaruh Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997 Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2000 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999 Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Terjemahan ‘Abdurrahman, Semarang: asy-Syifa, 1990 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung: al-Ma’arif, 1990 Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: Bina Askara, 1990 Sumberindonesia.blogspot.com Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, Cet. 1, Bandung: Pustaka Setia, 2007 Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris, al-Umm, Beyrut: Dar al-Fikr, 1987 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997 Al-Suyuti, Jalaluddin, Syarh Sunan Nasa’i, Beyrut: Dar al-Fikr, Tt Thalib, Sayuthi, Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Askara, 1970
71
At-Turmudzi, Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Sawrah, Sunan at-Turmudzi, Beyrut: Dar al-Fikr, 1994 Usman, Suparman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997 Usman, Suparman, Hukum Islam: Asa-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 Usman, Suparman, Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997 Zahra, Mahammad Abu, Al-Miras ‘Inda al-Ja’fariyah, Beyrut: Dar al-Fikr, 1995 Zein, Muhammad Ma’shum, Arus Pemikiran Empat Mazhab Studi Analisis Istinbat Para Fuqaha, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Zein, Setria Effendi M, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004 Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 9, Beyrut: Dar al-Fikr, 1998