BAB II LANDASAN TEORI
A. Iddah Menurut Pandangan Hukum Islam 1. Definisi Iddah Menurut Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam a. Iddah Menurut Hukum Islam Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata adda-yauddu- iddatan,1dan jamaknya adalah idad yang secara arti kata berarti “menghitung” atau hitungan kata ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yang beriddah menunggu berlalunya waktu. 2 Dalam fiqh definisi iddah yang yang pendek dan sederhana adalah مدة يتربص فيها المرئة
atau masa dimana seorang wanita
yang diceraikan suaminya menunggu. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya. Dan iddah juga sudah dikenal pada masa jahiliyah. Setelah datangnya Islam iddah tetap diakui sebagai salah satu dari syari‟at karena banyak mengandung manfaat. Para ulama telah sepakat mewajibkan iddah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi bahwa:
ُ ََوامْ ُم َطوَّل اَّلل ِِف َأ ْر َحا ِمه َِّن ا ْن ُك َّن ُ َّ ات ي َ َ ََتب َّ ْص َن ِبأَهْ ُف ِسه َِّن ثَ ََلثَ َة كُ ُرو ٍء ۚ َو ََل َ َِي ُّل مَه َُّن َأ ْن يَ ْك ُت ْم َن َما َخوَ َق ِ يُ ْؤ ِم َّن ِِب َّ َِّلل َوامْ َي ْو ِم ْال ٓ ِخ ِر ۚ َوبُ ُعوه َُتُ ُ َّن َأ َح ُّق ِب َر ِ ّد ِه َّن ِِف َذَٰ ِ َِل ا ْن َأ َرا ُدوا ا ْص ََل ًحا ۚ َوم َه َُّن ِمث ُْل َّ ِاَّلي عَوَْيْ ِ َّن ِ ِ ِ ِِبمْ َم ْع ُر )٢٢٢ :اَّلل َع ِز ٌيز َح ِك ٌي )امبلراة ُ َّ وف ۚ َو ِن ّ ِور َجالِ عَوَْيْ ِ َّن د ََر َج ٌة ۗ َو 1
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu'jam Mufarras Cet II. (Beirut: Darul Fikri, 1981), 448 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007), 303 2
20
21
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami- suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Baqara:228).3 b. Iddah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Masa iddah adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri (Qabla Dukhul) maka dia tidak mempunyai masa iddah.4 Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 11 dan KHI pasal 153 dijelaskan bahwa: Pasal 11 UU Perkawinan: 1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 2) Tenggang waktu atau jangka waktu tunggu tersebut ayat 1 akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. Masa iddah dalam pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam yang diklasifikasikan menjadi 1. Putus perkawinan karena ditinggal mati 3
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara),
4
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) , hlm.
hlm.55 87
22
suaminya. 2. putus perkawinan karena perceraian. 3 putus perkawinan karena khulu‟, fasakh dan li‟an dan 4. istri dithalak raj‟i kemudian ditingal mati suaminya pada masa iddah.5 Selain itu dijelaskan juga dalam KHI pasal 170 mengenai masa berkabung dalam masa iddah, sebagaimana yang dijelaskan berikut ini: 1) Istri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. 2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melaksanakan masa berkabung menurut kepatutan. 2. Dasar Hukum Iddah Yang menjalani iddah adalah perempuan yang bercerai dari suaminya bukan laki-laki atau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak wajib menjalani masa iddah. Kewajiban menjalani masa iddah itu dapat dilihat dari beberapa ayat al-Qur‟an, diantaranya adalah firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 228. Diantara hadits Nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayah Ibnu Majah dengan sanad yang kuat bunyinya: Nabi SAW menyuruh Barairah untuk beriddah selama tiga kali haid 3. Macam-Macam Iddah
5
Ibid., hlm. 88
23
Istri yang menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya perceraian adalah sebagai berikut: a. Kematian suami b. Belum dicampuri c. Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil d. Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti haidnya. e. Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil dan masih dalam masa haid. Adapun bentuk dan cara iddah juga ada tiga macam, yaitu: 1) Iddah dengan cara menyelesaikan quru‟ yaitu antara haid dan suci. 2) Iddah dengan kelahiran anak 3) Iddah dengan perhitungan bulan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 masa iddah diklasifikasikan menjadi beberapa macam yaitu: a. Putus perkawinan karena ditinggal mati suaminya. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari hal ini diatur dalam pasal 39 ayat 1 huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 153 KHI. Dan ketetapan ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya dengan istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka waktu tunggunya adalah sampai ia melahirkan. b. Putus perkawinan karena perceraian Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu tunggu yaitu:
24
1) Dalam keadaan hamil Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya. 2) Dalam keadaan tidak hamil a) Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak berlaku baginya masa iddah. b) Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul). 1) Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan 3 kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari. 2) Bagi seorang istri yang tidak datang bulan maka iddahnya 3 bulan atau 90 hari 3) Bagi seorang istri yang pernah haid namun ketika menjalani masa iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci. 4) Dalam keadaan yang disebut pasal ayat 5 KHI pasal 153 bukan karena menyusui maka iddahnya selama satu tahun akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali maka iddahnya menjadi tiga kali suci.6 c. Putus perkawinan karena khulu‟, fasakh dan li‟an Masa iddah bagi janda yang putus ikatan perkawinannya karena khulu‟ (cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan
6
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) , 87
25
perkawinan karena salah satu diantara saumi istri atau murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak dibenarkan kawin) atau li‟an maka waktu tunggu berlaku seperti iddah thalak.7 d. Istri dithalak raj‟i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa iddah. Apabila seorang istri terthalak raj‟i kemudian di dalam menjalani masa iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 yang mulai perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya. Adapun masa iddah yang telah dilalui pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung dari saat kematian. Sebab keberadaan istri yang dicerai selama menjalani masa iddah dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih berhak merujuknya selama masih dalam masa iddah.8 Karakteristik masa iddah tersebut merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa iddah dalam hukum perkawinan islam. 4. Hak dan Kewajiban Perempuan Dalam Masa Iddah Dalam menjalankan masa iddahnya bagi seorang istri terdapat beberapa perkara yang harus dilaksanakan dan yang harus diperoleh. Dalam hal ini peneliti akan menguraikan beberapa hak dan kewajiban seorang istri ketika dia melaksanakan iddahnya. Dikutip dari Sayyid Sabiq yang mengatakan bahwa istri yang sedang menjalani masa iddah berkewajiban untuk menetap di rumah 7 8
Ibid., 89 Ibid
26
di mana ia dahulu tingggal bersama sang suami sampai selesai masa iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar dari rumah tersebut. Sedangkan si suami juga tidak boleh mengeluarkan ia dari rumahnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surat Ath-Thalak ayat pertama. Seandainya terjadi perceraian diantara mereka berdua, sedang istrinya tidak berada di rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si istri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada.9 Dan apabila istri yang dithalak itu melakukan perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatkan sesuatu yang tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut. Ulama‟ fiqh mengemukakan bahwa ada beberapa kewajiban bagi perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya adalah: a. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-terangan maupun melalui sindiran, akan tetapi untuk wanita yang mnejalani iddah kematian suami pinangan dapat dilakukan dengan cara sindiran. Alasan ulama' fiqh menetapkan hukum ini adalah firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 235
9
Imam Syafi‟i, “Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh”, diterjemahkan Muh Yasir Abd Muthalib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 513
27
) ٥٣٢: ) البقراة Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun".(Q.S Al-Baqarah:235).10 b. Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama fiqh selain Mazhab Syafi‟i sepakat menyatakan bahwa perempuan yang menjalani iddah dilarang keluar rumah apabila tidka ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi Ulama‟ Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya baik cerai hidup maupun cerai mati dilarang keluar rumah. c. Menurut kesepakatan ulama‟ fiqh perempuan yang menjalani iddah akibat thalak raj‟i atau dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh nafkah yang dibutuhkan perempuan tersebut. akan tetapi apabila iddah yang dijalani adalah iddah karena kematian suami maka perempuan itu tidak mendapatkan nafkah apa pun karena kematian telah menghapuskan seluruh akibat perkawinan. Namun demikian ulama' mazhab maliki menyatakan 10
hlm.57
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara),
28
bahwa perempuan tersebut berhak manempati rumah suaminya selama dalam masa iddah tersebut, apabila rumah itu adalah rumah suaminya. d. Perempuan tersebut wajib berihdad.11 Mengenai hak-hak istri dalam masa iddah bahwa Ulama fiqh berpendapat istri yang dicerai oleh suami dengan thalak raj‟i selama masa iddah berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal inilah yang biasanya kurang mendapat perhatian dari suami yang menceraikan istrinya padahal masalah tersebut menyangkut dengan tanggung jawab (kewajiban) dari seorang suami. Akan tetapi apabila iddahnya karena suaminya wafat maka istri tidak mendapat nafkah. Namun Mahdzab Maliki memberi pengecualian dalam masalah tempat tinggal.12 Istri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam masa itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, namun hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentuk hak yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya. Istri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang diterimanya dikelompokan ke dalam tiga macam: 1) Istri yang dicerai dalam thalak raj‟i hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk
11
Dahlan , Abdul Azis, “Iddah, ” Ensiklopedi Hukum Islam jilid 2 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 640 12 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 222
29
perbelanjaan untuk pangan, pakaian dan juga tempat tinggal. Dan hal ini merupakan kesepakatan Ulama‟. 2) Istri yang dicerai dalam bentuk thalak ba‟in, baik ba‟in sughro atau pun ba‟in kubra dan dia sedang hamil, dalam hal ini ulama‟ sepakat bahwa dia berhak atas nafaqah dan tempat tinggal. Dasar hukumnya adalah firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 6:
)٦: )الطلق Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anakanak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Q.S. Athalaq:6)13 3) Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal istri dalam keadaan hamil ulama‟ sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila istri tidak dalam keadaan hamil ulama‟ berbeda pendapat. Sebagian ulama diantaranya Imam Malik, Syafi‟i dan 13
hlm.946
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara),
30
Abu Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal . Sebagian ulama‟ diantaranya Imam Ahmad berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat yang tidak hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah hanya menentukan untuk yang kematian suami itu adalah peninggalan dalam bentuk harta warisan. Dalam menjalankan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya maka wajib bagi mereka untuk menjalani masa berkabung atau ihdad dan terdapat perkara-perkara yang dilarang pada saat ihdad, berikut ini dijelaskan mengenai larangan melakukan perkara tersebut.14 Ummu „Athiyah meriwayatkan “kami diwajibkan berkabung atas kematian suami yakni empat bulan sepuluh hari. Selama itu kami dilarang memakai celak, parfum dan pakaian yang dicelup, kecuali sejenis pakaian celup buatan Yaman. Apabila kami suci dari dan mandi setelah haid, kami diberi keringanan untuk menggunakan sedikit wewangian. Dan kami dilarang mengiringi pemakaman jenazah”.15 Berdasarkan keterangan hadits di atas dan lainnya dapat disimpulkan bahwa wanita yang sedang berkabung hendaknya menjauhi perkara-perkara berikut ini: a. Memakai celak Wanita tidak boleh memakai celak ketika berkabung, sekalipun dengan alasan untuk berobat. Dalam hadits Ummu Salamah ra. disebutkan bahwa seorang wanita mengalami sakit mata, maka 14
Abu Malik Kamal Bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah, (Jakarta: I‟tishom Cahaya Umat,
2007), 324 15
Ibid.
31
beberapa kerabatnya minta izin kepada Rasulullah SAW. agar membolehkannya memakai celak sedangkan pada saat itu dia sedang berkabung karena kematian suaminya dan Rasulullah menjawab “dia tidak boleh memakai celak”. Pada dasarnya Allah telah menyediakan berbagai jalan pengobatan bagi segenap kaum Muslimin dan Muslimat selain dengan memakai celak, seperti obat tetes dan semisalnya. Dengan demikian sakit mata tidak dapat dijadikan alasan seseorang untuk memakai celak apabila dia masih dalam masa berkabung. b. Memakai parfum Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama‟ tentang haramnya memakai parfum bagi wanita yang sedang berkabung. Dalilnya ketika Ummu Habibah ra.selesai dari masa berkabung atas kematian ayahnya Abu Sufyan ia meminta diambilkan parfum dan memakainya Ada pengecualian dalam hal penggunaan parfum bagi wanita yang sedang berkabung yakni keringanan yang diberikan kepada wanita guna memakai parfum sebatas yang biasa diapaki oleh wanita yang mandi setelah haid unutk menghilanngkan bau tidak sedap pada bekas darah, bukan dengan maksud memakai parfum. Inilah pengertian pernyataan Ummu Athiyah “kami diberi keringanan untuk menggunakan sedikit wewangian”.16 c. Memakai pewarna kuku
16
Ibid, hlm.325
32
Ibnu Mundzir berkata, “setahuku, tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa memakai pewarna kuku termasuk dalam pengertian berhias yang dilarang”. Sama halnya dengan pewarna kuku segala bentuk kosmetik yang digunakan untuk merias diri. Ibnu Qudamah menyatakan bahwa wanita yang sedang berkabung haram memakai pewarna kuku, membubuhkan warna merah pada wajahnya atau warna putih dan meriasnya dengan warna kuning serta melukis pada wajah dan tangannya, dan dengan apa saja yang mempercantik dirinya.17 d. Memakai pakaian yang dicelup (berwarna) e. Memakai perhiasan Wanita yang sedang berkabung haram memakai cincin, kalung dan perhiasan lainnya baik yang terbuat dari emas, perak maupun bahan lainnya. Imam Malik mengatakan bahwa “wanita yang sedang berkabung atas kematian suaminya tidak boleh memakai perhiasan apapun baik cincin, kalung, gelang maupun perhiasan yang lainnya”.18 Selain perkara-perkara yang dilarang bagi perempuan yang sedang menjalankan ihdad dibolehkan untuk melaksanakan perkaraperkara berikut ini saat berkabung misalnya memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mandi dengan sabun. Tidak ada dalil yang melarang perkara-perkara di atas. Wanita yang sedang berkabung boleh mandi dengan menggunakan sabun selama tidak bermaksud 17 18
Ibid. Al Muwatha‟ Imam Malik Jilid 2, hlm.599
33
menjadikannya sebagai parfum. Ibnu Qudamah menyatakan “wanita yang berkabung tidak dilarang membersihkan diri seperti memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong rambut yang memang dianjurkan untuk memotongnya, mandi dengan memakai bahan pengharum dan menyisir rambut dengannya karena tujuannya adalah untuk membersihkan diri tidak menjadikannya sebagai parfum”. 19 Memakai minyak rambut. Boleh memakai minyak rambut jika bukan dengan maksud menjadikannya sebagai parfum atau berhias. Imam Malik mengatakan bahwa “wanita yang berkabung karena ditinggal mati suaminya boleh memakai minyak rambut selama tidak mengandung parfum”.20 5. Hikmah Iddah Sebagai peraturan yang dibuat oleh Allah SWT, aturan tentang iddah pasti mempunyai rahasia serta manfaat tersendiri. Kadang kala manfaat itu dapat langsung kita rasakan namun seringkali baru dapat kita rasakan setelah kejadian itu telah lama berlalu. Hikmah atau manfaat dari diwajibkannya iddah dapat dilihat dari beberapa sisi diantaranya adalah dari sisi social: a. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan. Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa Ayah dari bayi tersebut. Kalau tidak ada syari‟at tentang iddah maka seorang wanita dapat langsung menikah dengan laki-
19 20
Abu Malik Kamal, Op. Cit . hlm.327 Ibid
34
laki lain sehingga terjadi percampuran dan menghasilkan generasi yang samar.21 b. Memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.22 c. Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami hal ini jiak iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami dan masa iddah ini juga bisa digunakan istri untuk sedikit mengenang kembali kenangan lama dengan sang suami sangat tidak etis seandainya sang istri dengna cepat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain sementara sang suami baru saja meninggalkan dirinya. d. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon, terutama suami yang akan menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan wanita yang baru dicerai mantan suaminya. Ada kemungkinan wanita tersebut memilki persoalan mungkin masalah harta ataupun yang lainnya. Dengan adanya masa iddah ini diharapkan pasangan suami istri yang sudah bercerai ini dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya.23 Sedangkan dari sisi psikologi bahwasanya hikmah dari diwajibkannya iddah adalah dapat menimbulkan anggapan dari orang lain bahwa kematian suami tersebut karena adanya keinginan dari pihak si isti sehingga dia
21
Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm.305 Ibid 23 Aziz Salim Basyarahi, Fauzil Adhim Janda, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 22
hlm.135
35
berkeinginan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain sehingga muncul anggapan dia yang membunuh suaminya. Dampak psikis juga akan timbul pada diri anak-anak apabila ibu dari mereka menikah lagi dalam jangka waktu yang tidak lama dari kamatian suami ataupun dari perceraiannya, dan yang paling dirugikan dalam hal ini adalah anak karena selain harus beradaptasi dengan datangnya seorang ayah baru, ia juga harus menerima gunjingan dari orang lain dan lingkungan mereka yang mana perubahan status istri menjadi seorang janda secara psikis telah menempatkan perempuan ke dalam posisi tidak nyaman di mata masyarakat lingkungan karena sebagian besar menganggap bahwa seorang janda adalah perempuan yang telah gagal mempertahankan keluarganya karena adanya beberapa hal.24 B. Hukum adat 1. Pengertian Hukum Adat. Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through the concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a. Cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; dan
24
2008), 289
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: Uin Press,
36
b. Cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan penyusunan kebijakan.25 Catatan penting yang dapat diberikan berkenaan dengan Law and Development tersebut ialah: ..., hukum modern (dalam hal ini state law) itu perlu, tapi tidaklah cukup untuk pembangunan ekonomi; adanya „the rule of law‟ cukup menolong, namun belum mencukupi untuk melaksanakan pembangunan politik; di antara kondisi minimum tersebut, hukum bukan hal penting yang utama. Pusat kegawatan utama adalah pada campuran antara: sejarah negara yang unik, aspek kultural, ekonomi, politik serta sumberdaya alam dan manusia; dan negara berkembang akan beruntung bila mereka dapat mengembangkan variannya sendiri mengenai isi dari „the rule of law’ (Tamanaha 1998).26 Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama kali menggunakan istilah adatrecht (hukum adat), dan ia sebagai peletak teori Receptie13, ia memandang hukum adat identik dengan hukum kebiasaan.27
25
Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk MenyambutHari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. IhromiANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000 26 Ibid 27 Otje Salman
37
Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi hukum.28 Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan keajekannya (regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19 lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat hukum atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen). Selanjutnya Teer Haar; ia dengan mendasarkan analisisnya pada Teori Keputusan yang dikemukakan oleh John Chipman Grey menyatakan, semua hukum dibuat oleh hakim (Judge made law), ia mengemukakan Teori Keputusan (beslissingenleer-theorie). Mengkaji hukum adat dari berbagai sudut pandang, namun tetap menunjukkan apa yang disebut hukum adat, akan menentukan bagaimana hukum adat dalam perkembangannya, dan hukum adat akan mampu menyesuaian dengan kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat yang akan terus berubah. Oleh karena itu pemahaman pengertian, pendekatan metodologis menjadi penting sekali untuk dapat melihat, memahami dan
28
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 38
38
mempelajari
perkembangan
hukum
adat
atau
hukum
adat
dalam
perkembangannya. Hukum adat sebagai hukum yang dibangun berdasarkan paradigma atau nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak, sifat, karakter hukum adat. Kluckhon mengemukakan: nilai merupakan “a conception of desirable” (suatu konsepsi yang diinginkan). Maka nilai ada beberapa tingkatan, yaitu: Nilai Primer merupakan nilai pegangan hidup bagi suatu masyarakat, bersifat abstrak dan tetap seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kebersamaan dan lain sebagainya. Nilai subsider berkenaan dengan kegunaan, karena itu lebih berbicara hal-hal yang bersifat kongkrit. Maka hukum lebih banyak ditujukan pada nilai-nilai sekunder yaitu nilai-nilai yang berguna untuk memecahkan persoalan kongkrit yang sedang dihadapi masyarakat, atau orang-perorang. Timbulnya nilai sekunder tersebut, telah melalui penyaringan (sannering) oleh nilai-nilai primer. Nilai sekunder bisa berubah menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan dan menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat. Hukum-termasuk hukum adat-sesungguhnya juga didasarkan pada nilai primer, namun pendasaran pada nilai sekunder, sifatnya lebih nyata dilihat dan dipahami. Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak
39
berbentuk
peraturan-perundangan
yang
dibentuk
oleh
penguasa
pemerintahan.29 Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut: Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).30 a. Abdulrahman, SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini.31 b. Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.32 b. Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan 29
Hilman Hadukusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 8 30 Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, , (Jakarta: Jambatan,1983), hal 14, lihat juga Abdulrahman, SH : Hukum Adat menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, (Cendana Press, 1984), hlm. 17. 31 Abdulrahman, SH, Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia, (Jakarta: Cendana Press, 1984), hlm.18 32 Soepomo, Kedududkan Hukum Adat di Kemudian Hari, (Jakarta: Pustaka Rayat, 2004), hlm. 2
40
mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat.33 c. Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturanperaturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).34 d. Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan.35 e. Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).36 f. Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung
33
Abdulrahman, Op. cit, hlm. 18. Ibid, hlm. 19 35 Ibid,hlm.21 36 Ibid, hlm.22 34
41
unsur agama.37 Hukum adat merupakan species dari hukum tidak tertulis, yang merupakan genusnya. 38 Selanjutnya dalam memahami perkembangan hukum adat dalam masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka.39 Dengan kata lain memahami hukum adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas-yang memutuskan-dan bawah yang menggunakan-agar dapat diketahui dan dipahami perkembangannya. Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Dalam berbagai seminar, maka berkembang kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut Satjipto Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat untuk hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan
37
Ibid Sudjito Sastrodiharjo, Hukum adat Dan Realitas Kehidupan, dimuat dalam : Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, ( Fakultas Hukum –Universitas Islam Indonesia,1998), hlm. 107. 39 Op. cit, hlm. 24 38
42
penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan dalam hukum tertulis.40
40
Ibid. hlm 22.