( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.netBAB III PEMBARUAN HUKUM ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pembaruan Hukum Islam 1. Pengertian Pembaruan Hukum Islam Sebelum dibahas secara mendalam apa itu pembaruan hukum Islam, akan diuraikan terlebih dahulu apa itu pembaruan? dan apa itu hukum Islam? a.
Pembaruan Secara etimologi, pembaruan berakar dari kata baru, artinya sesuatu yang
belum pernah ada sebelumnya. Pembaruan dimaknai sebagai proses perbuatan cara memperbarui (cara berpikir masyarakat) atau proses mengembangkan kebudayaan. Dalam istilah Barat, pembaruan disebut pula modernisasi atau modernity, yaitu gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan lama menuju bentuk atau model kehidupan yang baru.
Harun Nasution menghindari penggunaan modernisasi karena istilah tersebut mengandung arti-arti negatif di samping arti-arti positif. Untuk itu, beliau lebih memilih menggunakan terjemahan Indonesianya, yaitu pembaruan. Arti negatif yang dikandung modernisme misalnya sekularisme, individualisme, kapitalisme, materialisme dan pergaulan bebas. Namun arti-arti positif yang dimiliki oleh orang modern adalah rasional, kritis, demokratis, cinta iptek, humanis dan lain-lain.
Berkaitan dengan kata pembaruan ini, banyak istilah sering digunakan, seperti istilah-istilah yang mencakup modernisasi (Orientalis Barat), tajdid, is}lah, reformasi, inovasi, sekularisasi-desakralisasi (Cak Nur), reaktualisasi (Munawir Syazali), pembaharuan (Harun Nasution), fiqh Indonesia (Ibrahim Husen dan Ali Yafie). Namun, pembaruan yang digunakan oleh Harunlah yang menjadi rujukan dalam tulisan ini. Dalam literatur hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih, is}lah dan tajdid. Di antara kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi, is}lah, dan tajdid.
Reformasi
berasal dari bahasa Inggris reformation yang berarti membentuk atau menyusun kembali, reformasi sama artinya dengan pembaruan. Harun Nasution memberikan definisi pembaruan dengan gerakan atau pikiran untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dalam definisi Harun Nasution, pembaruan dapat berbentuk pikiran atau gerakan pikiran, yang merupakan rumusan-rumusan ijtihad. Sifatnya berupa ide-ide atau lontaran-lontaran pendapat yang bisa dituangkan dalam bentuk tulisan, artikel dan buku-buku. Ensiklopedi Islam Indonesia edisi Bahasa Indonesia juga menggunakan istilah pembaruan bukan modernisme. Pengertian ini pada garis besarnya mengandung arti upaya atau aktifitas untuk mengubah kehidupan umat Islam dari keadaan yang sedang berlangsung kepada keadaan baru yang hendak diwujudkan. Ia juga berarti adanya upaya untuk kemaslahatan hidup umat Islam, baik di dunia
maupun di akhirat sesuai dengan garis-garis pedoman yang ditentukan oleh Islam. Kalau upaya pembaruan itu melanggar ajaran dasar, maka pembaruan itu tidak bisa disebut pembaruan dalam Islam, tetapi merupakan pembaruan di luar Islam. Sedang kata tajdid dalam arti pembaruan adalah mengandung arti membangun
kembali,
menghidupkan
kembali,
menyusun
kembali
atau
memperbaikinya agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan kata is}lah diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki. Kata tajdid merupakan bentuk masdar dari kata : َدَ ّدج- ُد ِّدَجُيyang artinya “memperbarui” dan tajdid artinya “pembaruan”. Dalam bahasa Arab disebutkan bahwa tajdid adalah kebalikan dari qadim. Qadim artinya lama. Kata tajdid mempunyai arti pembaruan, berarti menjadikan sesuatu menjadi baru. Sedangkan kata is}lah merupakan bentuk masdar dari kata kerja : ُحِلْصُي – َحَلْص َاyang artinya memperbaiki atau perbaikan. Kata is}lah (ا )حلصberasal dari s|ulas|i mujarrad ًاحَلَص – حُلْصَي – َحَلَصyang artinya baik, layak, patut dan memberikan faedah atau manfaat. Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, kata is}lah dan tajdid sering dipakai secara berdampingan dengan pengertian yang sama yaitu “pembaruan”. Dalam literatur berbahasa Arab, kata yang mengandung arti pembaruan ialah kata tajdid. Tajdid merupakan bentuk masdar kata : َد َّدَج- ُد ِّدَجُي ًادْيِدْجَتartinya “memperbarui”. Kata Jaddada-yujaddidu
merupakan fi’il
s|ula>s|i mazi>d (kata kerja yang huruf asalnya tiga kemudian mendapatkan imbuhan). Ia berasal dari fi’il s|ula>s|i mujarrad (kata kerja yang huruf asalnya terdiri dari tiga huruf), yaitu jadda-yajiddu, yang artinya “baru”. Dalam bahasa
Arab disebutkan bahwa jadid lawannya qadim. Qadim artinya “lama”. Lebih jauh dalam Kamus Bahasa Arab disebutkan, jaddadahu ay s}ayyarahu jadidan, artinya sama dengan istajadda, yaitu menjadikan sesuatu menjadi baru. Bustami Muhammad Saad, mengemukakan bahwa kata tajdid adalah lebih tepat digunakan untuk membahas tentang pembaruan hukum, sebab kata tajdid mempunyai arti pembaruan, sedangkan kata is}lah meskipun sering digunakan secara berdampingan, tetapi lebih berat pengertiannya kepada pemurnian. Pendapat ini sejalan dengan pendapat para muhaddisin dan komentatornya seperti Ibn al-Ashir, al-Nawawi dan al-Syuyuti yang banyak menggunakan kata tajdid ketika mereka membicarakan pembaruan hukum dengan arti pembaruan. Karena penggunaan kata tajdid dan is}lah tanpa dibedakan artinya yaitu pembaruan. Perkataan tajdid dalam pembaruan hukum Islam mempunyai dua makna: pertama, apabila dilihat dari segi sasaran, dasar, landasan dan sumber yang tidak berubah-ubah, maka pembaruan bermakna mengembalikan segala sesuatu kepada aslinya. Kedua, pembaruan bermakna modernisasi, apabila tajdid itu sasarannya mengenai hal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan sumber yang berubah-ubah, seperti metode, sistem, teknik, strategi, dan lain-lainnya untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi, ruang dan waktu. Meskipun tajdid dalam rumusan ini tidak terlalu jelas penjelasannya, tetapi secara umum tajdid itu dapat diartikan sebagai reformasi, purifikasi, modernisasi atau pembaruan. Kata tajdid yang diartikan sebagai “pembaruan” lebih tepat dipergunakan daripada kata lain yang sepadam, karena selain sesuai dengan istilah dalam agama Islam juga lebih luas cakupannya dan lebih komprehensif.
Menurut Masjfuk Zuhdi, kata tajdid lebih komprehensif pengertiannya sebab dalam kata tajdid terdapat tiga unsur yang saling berhubungan, yaitu: pertama, al-I’adah artinya mengembalikan masalah-masalah agama terutama yang bersifat khilafiah kepada sumber ajaran agama Islam yaitu al-Qur’an dan al-hadis. Kedua, al-Ibanah artinya purifikasi atau pemurnian ajaran agama Islam dari segala macam bentuk bid’ah dan khurafat serta pembebasan berpikir (liberalisasi) ajaran Islam dari fanatik mazhab, aliran, idiologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Ketiga, al-Ihya, artinya menghidupkan kembali,
menggerakkan,
memajukan
dan
memperbarui
pemikiran
dan
melaksanakan ajaran Islam. Pembaruan yang dikemukakan ini berbeda dengan pembaruan yang dikemukakan oleh Harun Nasution, yang lebih menekankan kepada penyesuaian pemahaman Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Masalah-masalah hukum yang perlu diperbarui (ditajdidkan) adalah hal-hal yang bersifat z}anni dan hendaklah dijauhi hal-hal yang bersifat qat}’i. Dalam Islam diyakini adanya ajaran-ajaran yang bersifat qat}’i dan ada yang bersifat z}anni>. Qat}’i suatu ajaran yang bersifat mutlak dan tidak dapat diinterpretasi, pada umumnya yang menyangkut masalah ibadah, seperti jumlah rakaat dalam salat fardu, sedang yang z}anni> suatu ajaran yang tidak bersifat mutlak dan dapat diinterpretasi, pada umumnya yang menyangkut persoalan mu’amalah. Jadi ruang lingkup pembaruan meliputi seluruh aspek kehidupan selama tidak diatur dengan ajaran-ajaran yang bersifat qat}’i.
Ulama pada umumnya melihat bahwa konsep ajaran-ajaran Islam yang z}anni> itu jauh lebih banyak dibanding dengan nas}-nas} yang qat}’i . Hal inilah yang sangat memungkinkan ajaran itu mengalami pembaruan atau reinterpretasi seiring dengan perkembangan dan kemajuan pemikiran umat manusia saat ini. Penggunaan kata tajdid dalam membicarakan pembaruan hukum Islam di dasarkan kepada al-Qur’an, antara lain Surah Ibrahim (14):19 ..ِ. ْن اù't±o öNä3ö7Ïdõã ÏNù'tur 9,ù=s¿2 7Ïy` Terjemahnya: . . . Jika Allah menghendaki, maka Allah akan melenyapkan kamu dan mengganti dengan generasi yang baru. Dalam hadis Riwayat Abu> Dawud disebutkan :
ُثَعْبَي َهلّلا َّنِا " َلاَق َمَّلَسَو ِهْيَلَع هّللا ىَّلَص هّللا ِلْوُسَر ْنَع " َاهَنْيِد اـَهَل ُد ِّدَجُي ْنَم ٍةَنّس ِةَئ اِم ِّلُك ِسْأَر ىَلَع ِةَّم ألا ِهِذهِل. Artinya; Rasulillah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini (umat Islam) pada penghujung setiap seratus tahun orang-orang yang memperbarui agama mereka” (Riwayat Abu> Da>wud). Hadis yang lain diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal disebutkan :
" ْمُكَن اَمْيِا اْو ُد ِّدَج " مّلسو هيلع ُهّللا ىّلص ِهَّللا ُلْوُسَر َل اَقَو ْنِم اْوُرِثْك َا" َلاَق اـَنـَن َامْيِا ُد ِّدَجُن َفْيَكَو ِهّللا َلْوُسَر اَي َلْيِق " ُهّللا َّالِا َهلِا َال ِلْوَق. Artinya; Bersabda Rasulillah saw. “Perbarui Imanmu”. Rasulullah ditanya, “Bagaimana kami memperbarui iman ? Rasulullah menjawab: “Perbanyaklah membaca la ilaha illallah”. (Hadis riwayat Ahmad bin Hambal).
Menurut Yusuf Qard}awi yang dimaksud dengan tajdid adalah berupaya mengembalikannya pada keadaan semula sehingga ia tampil seakan barang baru. Hal itu dengan cara memperkokoh sesuatu yang lemah, memperbaiki yang usang dan menambal kegiatan yang retak sehingga kembali mendekat pada bentuknya yang pertama. Dengan kata lain, tajdid bukan merombak bentuk yang pertama atau menggantinya dengan yang baru. Sebagai contoh kongkrit, bila ingin mentajdid (memperbarui) suatu bangunan tua, berarti kita membiarkan subtansi, ciri-ciri, bentukan dan karakteristik bangunan itu. Kita hanya memperbaiki yang rusak, menghiasinya kembali, menambal yang kurang, memperindah bagian yang sudah lumat. Jadi, memperbarui bangunan bukan menghancurkannya lantas diganti dengan bangunan baru yang berbeda. Demikian pula tajdidu din bukan bermakna mengubah din, tapi mengembalikannya menjadi seperti dalam era Rasulullah saw., para sahabat dan tabi’in. Sejak awal abad ke-15 H., tajdid (pembaruan) telah dilaksanakan dalam bidang intelektualitas dan peradaban yang luas dan dalam. Suatu tajdid diharapkan dapat menghidupkan kembali semangat dua macam ijtihad yakni, ijtihad intiqa>’i (dengan mentarjih pendapat melalui penelitian dan penyeleksian) dan ijtihad insya>’i (dengan cara menetapkan hukum untuk perkara baru), yaitu untuk mendiagnosa obat Islam itu sendiri, bukan menyembuhkan dan resep bikinan Barat maupun Timur. Berkaitan dengan ruang lingkup tajdid para us}u>liyyun membuat hukum yang menjadi wilayah ijtihad dan yang bukan menjadi wilayah ijtihad. Secara garis besar, wilayah ijtihad meliputi dua hal, yaitu hukum-hukum yang tidak ada
petunjuk nas} sama sekali dan hukum-hukum ditunjuk nas} yang z}anni>. Sedangkan hukum-hukum yang telah ditunjuk oleh nas} qat}’i dalalanya, maka tidak ada sedikitpun ruang gerak untuk ijtihad. Dorongan berijtihad terhadap hukum yang ditunjuk nas} qat}’i tersebut dikristalkan menjadi sebuah kaidah : ْيِعْطَق ُحْي ِرَّصَن يِف اَمْيِف د اهِتْج َألِِل َغ اَسُم َال
(tidak ada peluang
untuk berijtihad dalam hukum-hukum yang telah ada nas}nya secara jelas dan qat{‘i ). Suatu tajdid harus mampu mengembalikan gaya Islam yang sesuai dengan bahasa masa, mengena bagi seluruh masyarakat, perlu terhadap tren zaman, mempunyai karakteristik Islam dan kepribadian masyarakat. Tajdidi harus memiliki konsep dan pemahaman yang luas dan mendalam serta selaras dalam al-Qur’an Surat Ibrahim (14):4 !$tBur
$uZù=yör&
`ÏB
@Aqߧ
wÎ)
Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% úÎiüt7ãÏ9 öNçlm; ( @ÅÒãsù ª!$# `tB âä!$t±o Ïôgtur `tB
âä!$t±o
4
uqèdur
âÍyèø9$#
ÞOÅ3ysø9$# ÇÍÈ Terjemahnya : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Dalam pengembangan budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai
hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara) Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum Nasional pada masa yang akan datang. b. Hukum Islam Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term islamic law” dari literatur Barat. Istilah hukum Islam mulai muncul pada literatur Barat ketika para orientalis Barat mulai mengadakan penelitian tentang syariat Islam dan mereka menggunakan istilah islamic law yang secara harfiah dapat diartikan dengan hukum Islam. Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan kata Islam yang secara terpisah merupakan kata yang dipergunakan dalam bahasa Arab dan juga berlaku dalam bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun tidak ditemukan artinya secara definitif. Karena itu, untuk menjelaskan pengertian hukum Islam, ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam pembahasan ini, yaitu istilah hukum, syariat, fiqh dan hukum syarak. 1). Hukum Kata hukum dan yang berhubungan dengan itu dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-h}ukm. Lafaz al-h}ukm dan kata-kata yang diambil dari kata tersebut dipergunakan dalam al-Qur’an sebanyak 210 kali. Lafaz al-h}ukm sendiri adalah masdar dari kata kerja h}akama, yah}kumu, terulang sebanyak 30 kali. Bahasa-bahasa daerah yang tumbuh di Indonesia tidak ditemukan
kata yang dapat mewakili pengertian kata inggris (law), kata Belanda dan Jerman (recht) atau kata latin (ius). Karena itu, pengertian hukum di sini dipusatkan pada kata hukum yang berasal dari bahasa Arab.
Kata al-h}ukm dari bahasa
Arab, al-h}ukm (jamaknya al-ah}ka>m) berarti, “putusan” (judgement, verdict, decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command), “pemerintah” (goverment), “kekuasaan” (authority, power), “hukuman” (sentence). Kata kerjanya h}akama, yah}kumu, menurut Ibn Faris mempunyai arti etimologis, “mencegah” dan bermakna leksikal “menyelesaikan atau memutuskan suatu urusan, memberi kekang, dan mencegah seseorang dari apa yang diingininya”. Muhammad Muslehuddin mengemukakan, hukum adalah: }}}
“The body of rules, wether proceeding from formal enactment or from custom, which a particular state or community recognizes as binding on its members or subjects”. (Sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi anggotanya). Perkataan hukum dan segala makna yang berhubungan dengannya yang sudah populer digunakan dalam bahasa Indonesia bersumber dari bahasa Arab berasal dari kata kerja : َمَكَح- ُمُكْحَيberarti memutuskan, mengadili, menetapkan, memerintahkan, menghukum, mengandalikan dan lain-lainnya. Asal usul kata h}akama berarti mengendalikan dengan satu pengendalian. Hukum tersebut berhubungan dengan keputusan atau perintah yang bijak. Karena itu, hukum diartikan juga kebijakan atau policy. Sedangkan pengertian hukum secara umum misalnya terungkap dalam bahasa “anda memutuskan sesuatu dengan begitu dan begini, baik keputusan tersebut mengikat orang lain ataupun tidak.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam kata hukum berasal dari kata Arab al-H{ukm berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Secara bahasa al-H{ukm berarti juga mempunyai pengertian al-Qada’ (ketetapan), dan al-Mani’ (pencegahan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hukum diartikan sebagai, (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, (2) undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, (3) patokan (kaidah, ketentuan mengenai peristiwa (alam dsb) yang tertentu, (4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis. Pengertian h}ukum
yang sudah populer bagi masyarakat Indonesia
tersebut tidak serta merta juga dipahami dalam satu pengertian, melainkan masih mengandung pengertian yang bervariasi antara satu dengan yang lainnya tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Adanya perbedaan dalam memaknai h}ukum itu seiring dengan perkembangan ilmu h}ukum
dan
aliran-aliran yang berkembang di dalamnya, demikian pula adanya tuntutan sebagai akibat pergeseran peradaban manusia sesuai dengan tuntutan zaman. Pemaknaan h}ukum secara sederhana diartikan sebagai peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma tersebut berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang, maupun peraturan atau norma yang sengaja dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Kata hukum dalam al-Qur’an sebagai putusan atau ketetapan terhadap permasalahan yang diputuskan atau ditetapkan (h}ukima), di samping berhubungan dengan perbuatan Allah, juga berhubungan dengan perbuatan manusia. Dengan kata
lain, hukum ada yang berasal dari ketentuan Allah dan ada yang berhubungan dengan ketentuan manusia. Hukum yang menyangkut perbuatan Allah di akhirat misalnya, adalah keputusan yang akan Ia berikan di hari akhirat terhadap permasalahan yang diperdebatkan di kalangan manusia. Misalnya, keputusan menyangkut perselisihan antara umat Kristen dan umat Yahudi (Q.S. al-Baqarah/2:113), antara sesama pengikut Nabi Isa tentang ststus kematian beliau (Q.S. A
n/3:55), dan antara umat Nabi Syu’aib yang beriman dan yang tidak beriman (Q.S. al-‘A’ra>f/7:87). Keputusan atau ketetapan Allah memang berlaku di dunia dan di akhirat, sehingga sebutan lain untuk Allah dalam al-Qur’an adalah Ma>lik Yaum al-Di’idah/5:5, al-Nisa>’/4:58) dan sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah (al-Nisa>’/4:105). Dalam hal memutuskan permasalahan yang dihadapi, manusia diminta untuk mendekati Allah dalam hal keadilan, kedalaman ilmu, integritas diri,
keahlian, kembali ke jalan yang benar, keterikatan pada ketentuan (Kitab, ketentuan Allah dalam Kitab-Nya), sifat baik, keterbatasan dari segala kepentingan kebijakan, dan keluasan wawasan. Hal itu, karena dalam diri manusia yang berasal dari ciptaan Allah terdapat kualitas-kualitas ketuhanan. Salah satu atribut ketuhanan adalah al-h}aki>m (pemutus perkara, penguasa yang bijak). Kualitas ini dalam al-Qur’an sering dihubungkan dengan ‘ali>m (maha mengetahui), ‘azi>z (maha mulia), khabi>r (maha ahli), tawwa>b (maha penerima taubat), h}ami>d (maha terpuji), ‘ali (maha transenden, sangat teratas) dan wa>si’ (maha luas). Al-Qur’an sendiri sebagai ketentuan hukum Allah adalah sebuah kitab (ketentuan, aturan) yang h}aki>m (sangat teliti dan bijak). Q.S. al-Nisa>’(4):58 menjelaskan : ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr&
#sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ Terjemhnya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Kata “memutuskan hukum” di sini jelas tidak hanya berarti memutuskan perkara di pengadilan dengan pengertian mengadili atau memutuskan perselisihan
antara dua pihak yang bersengketa atau lebih, tetapi juga dalam pengertian “memerintah” atau “memegang dan menjalankan kekuasaan politik”. Keharusan adil di sini menyangkut sikap semua orang yang berada posisi membuat dan melaksanakan keputusan, baik di lingkungan keluarga, atau masyarakat dan negara, maupun di bidang hukum, ekonomi, politik atau lainnya. Kata kepercayaan dalam bentuk jamak (ama>na>t) mencakup segala bentuk kepercayaan dari Allah dan kepercayaan dari masyarakat agar manusia bertindak adil sesuai dengan tuntunan-Nya. Karena itu, hukum menurut al-Qur’an adalah ketetapan, keputusan dan perintah yang berasal dari Allah dan legislasi manusia yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara. Sebagai ketetapan yang berasal dari perintah Allah Yang Maha Adil, Maha Benar, Maha Tahu kemaslahatan hamba-Nya, hukum ini berisikan keadilan seluruhnya. Sebagai ketetapan yang berasal dari legislasi manusia, hukum manusia harus berdasarkan kepada hukum Ilahi dan rasa keadilan yang paling tinggi. 2). Syariah Syariat secara bahasa, syariat (syari>’ah) dalam bahasa Arab berarti “jalan yang lurus”. Istilah ini juga berarti “jalan ke sumber air” dan “tempat orang-orang untuk minum”. Orang Arab menggunakan istilah ini khususnya dengan pengertian “jalan setapak menuju sumber air yang tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”. Dengan pengertian bahasa tersebut, syari>’ah berarti suatu jalan yang harus dilalui. Atau menurut istilah Ahmad Hasan, suatu jalan yang jelas untuk diikuti (the clear parth or “the highway” to be followed). Menurut Abu>
al-Husain Ahmad bin Fa>ris bin Zakariyya>, perkataan syariat yang berasal dari akar kata ر- شdan )عرش( ع, berarti sesuatu yang dibuka jalan secara lebar kepadanya. Dari sinilah terbentuk kata syariat yang berarti sumber air minum. Menurut terminologi agama (al-syar’), al-syari>’ah pada mulanya mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih (fiqh) dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan segala yang diperintahkan Allah. Dengan demikian, syariat mengandung arti mengesankan Allah, menaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari pembalasan. Singkatnya, pengertian syariat mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi Muslim. Pengertian inilah yang terkandung dalam Q.S. al-Ja>siyah (45):18 yang berbunyi: ¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèΰ z`ÏiB ÌøBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù . . . Terjemahnya : Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu … Sejalan dengan pengertian yang terkandung dalam ayat di atas, Abba>s Husni> Muhammad menegaskan bahwa syariat adalah identik dengan (kandungan) Alquran dan hadis Nabi. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa pada mulanya syariat tidak lain dari ajaran Islam secara keseluruhan yang disebut juga al-di>n ( )نيدلاseperti yang ditegaskan dalam Q.S. al-Syu>ra> (42):13 yang berbunyi: tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/
%[nqçR
!$uZøym÷rr&
üÏ%©!$#ur
y7øs9Î)
$tBur
$uZø¢¹ur
ÿ¾ÏmÎ/
tLìÏdºtö/Î)
4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur ( ÷br& (#qãKÏ%r& tûïÏe$!$# wur (#qè%§xÿtGs? ÏmÏù ...
Terjemahnya : Dia Telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepad Ibarahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya… Jadi, syariat adalah apa yang digariskan/ditentukan oleh Allah dalam agama untuk pengaturan hidup para hambanya. Berdasarkan ini, ‘Abdullah Yusuf ‘Ali menerjemahkan syari’at sebagai “the right way of religion” (jalan agama yang betul) yang lebih luas daripada sekedar ibadah-ibadah formal dan ayat-ayat hukum yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ia tidak lain dari al-di>n (agama) itu sendiri, karena di antara pengertian al-di>n adalah kekuasaan (al-mulk), power (al-sulta>n), pemerintahan, hukum (al-h}ukm) dan peradilan (al-qada>’) yang mengikat banyak orang. Nabi Yusuf yang sengaja menangkap saudaranya, seperti dikisahkan oleh Alquran, sebenarnya tidak ingin memberlakukan di>n al-malik (aturan/hukum Raja) kecuali atas kehendak Allah (Q.S. Yu>suf/13:76). Sebagai al-di>n, syari’at Islam sebenarnya mencakup segi keyakinan dan segi amalan dalam agama. Dengan demikian, syariat adalah hukum Ilahi dengan pengertian bahwa ia adalah perwujudan kongkret dari kemauan Ilahi melalui kepatuhan manusia untuk mengikuti tuntutanan-Nya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Perwujudan kemauan Ilahi itu bukan hanya satu perangkat ajaran-ajaran yang kongkret, orang tidak hanya diminta agar menjadi dermawan,
rendah hati, atau adil, tetapi juga diminta untuk melakukannya dalam keadaan khusus kehidupan yang disertai dengan sanksi dalam hal pelanggaran. Penggabungan antara hukum dan agama berlanjut sampai ke abad-abad berikutnya. Semua uraian hukum yang tak terpisah dari agama ini dimulai dengan kewajiban-kewajiban keagamaan atau ibadat (seperti t}aha>rah, salat, puasa, dan haji). Kemudian dilanjutkan dengan masalah-masalah hubungan kemanusiaan (muamalah), yang mencakup bidang sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Kitab-kitab hukum Islam (fiqh) sampai sekarang tetap memakai sistematika seperti ini. Seperti disebutkan oleh Gibb, ketidakterpisahan antara agama dan hukum ini memang menjadi ciri semua agama Semitis (dalam istilah Islam disebut agama-agama Samawi), yakni hukum tidak dipandang sebagai produk pikiran manusia yang beradaptasi dengan cita-cita dan kebutuhan sosial yang berubah, tetapi sebagai wahyu ilahiah yang tidak dapat berubah. Akan tetapi, menurut pemahaman fukaha, istilah syariat ini digunakan secara khusus untuk menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia (al-ah}kam al-‘amaliyyah) atau ketentuan-ketentuan hukum membebani yang mayangkut perbuatan manusia (al-ah}ka>m al-taklifiyyah al-‘amaliyyah). Hal ini setidaknya dikemukakan oleh Ahmad Hasan. Bahkan Mahmud Syaltut menulis buku yang secara tegas membedakan syariat dari akidah sebagaimana terkesan dari judul buku tersebut, al-Isla>m 'Aqi>dah wa Syari>’ah. Judul buku ini jelas menunjukkan bahwa syariat mempunyai arti sudah dipersempit karena di dalamnya tidak lagi termasuk akidah. Dengan demikian, istilah syariat tidak lagi
dipahami oleh kebanyakan orang dalam arti luas tetapi sudah menjadi istilah yang terkadang diidentikkan dengan fikih atau hukum Islam. Meskipun istilah syariat dapat diartikan secara sempit dengan arti fikih atau hukum Islam, namun sebenarnya istilah syariat tidaklah identik dengan fikih atau hukum Islam, sebab kalau fikih dan hukum Islam dapat bersumber dari ijtihad, syariat berbeda dari itu karena ia sepenuhnya bersumber dari Allah sebagai Pencipta syariat (Al-Sya>ri’). Perbedaan syariat dan fikih akan terlihat dalam pembahasan istilah fikih seperti di bawah ini. 3). Fiqh Secara harfiah istilah fiqh berasal dari akar kata yang terdiri dari ق- ف dan )هقف( هyang berarti mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Karena itu, dapat dikatakan bahwa perkataan fiqh menunjuk kepada pengetahuan tentang hukum-hukum agama dan hukum-hukum syariat. Salah sati satu doamenyebutkan: ( نيوأتلا ههقفو نيدلا هملع مهللاWahai Tuhan, ajarkanlah kepadanya pengetahuan agama dan jadikanlah dia memahami takwil). Dalam al-Qur’an, perkataan fiqh yang dikaitkan dengan pengetahuan agama disebut Q.S. al-Taubah (9):122 yang berbunyi: wöqn=sù
txÿtR
öNåk÷]ÏiB
`ÏB
Èe@ä.
7ps%öÏù
×pxÿͬ!$sÛ
(#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# … Terjemahnya: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama …
Adapun pengertian fiqh menurut istilah antara lain dikemukakan Abu> Zahrah adalah mengetahui hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci. Sedang menurut al-‘Amidi>, fiqh ialah ilmu tentang perangkat hukum syarak yang bersifat furu’iyyah yang didapatkan melalui penalaran dan istidla>l. Dari kedua definisi fiqh tersebut di atas dapat diambil pengertian bahwa fiqh itu bukanlah hukum syarak itu sendiri, melainkan interpretasi terhadap hukum syarak itu, yang merupakan interpretasi bersifat z}anni> yang terpengaruh dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, maka fiqh dapat berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Secara esensial, fiqh dalam arti pemahaman adalah hasil uasaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh para mujtahid. Di sni dapat dipahami bahwa fiqh merupakan produk nalar dari mujtahid ketika mereka berusaha menggali hukum-hukum amaliah dari nas}-nas} syariat (al-Qur’an dan hadis nabi). Mujtahid dalam menggunakan nalarnya untuk mengetahui hukum, ia menghadapi dua kemungkinan. Pertama, mereka dapat langsung mengetahui hukum setelah menelaah sejumlah nas} yang dapat memberi pengertian induktif tentang hukum yang digali, yang demikian ini disebut fiqh tekstual (al-Fiqh al-Nus}u>s}). Kedua, mujtahid mengetahui
hukum tentang suatu perbuatan setelah
menggunakan lebih banyak nalar karena obyek hukum yang dimaksud tidak disebut secara tegas dalam nas}-nas} syariat, yang demikian ini disebut fiqh kontekstual berdasarkan ijtihad (al-Fiqh al-Ijtiha>di>).
Baik fiqh tekstual maupun fiqh kontekstual, dua-duanya merupakan hasil pemahaman mujtahid. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam memahami suatu obyek hukum, hasil pemahaman fiqh yang diperoleh seorang mujtahid berbeda atau bertentangan dengan yang diperoleh oleh mujtahid lain. Di sini terasa jelas betapa berbedanya antara fiqh dengan syariat. Syariat dalam arti nas}-nas} yang mengandung hukum adalah berasal dari Allah, sedangkang fiqh sebagai upaya memahamkan hukum syariat bersal dari pemikiran mujtahid. Karena itu, syariat bersifat mutlak dan universal, berlaku untuk segala zaman dan tempat, sedang fiqh sebagai hasil pemahaman dan penafsiran dari syariat tidak mesti universal, karena ia lahir dari ijtihad ulama sesuai dengan konteks dan kondisi zamannya. Ijtihad dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi diolah dan diputuskan berdasarkan pertimbangan akal sehat dari mujtahid yang bersangkutan (al-ra’yi). Karena itu memungkinkan adanya pendapat yang lebih dari satu, atau perbedaan dan kebinekaan pendapat di kalangan para mujtahid. Kebinekaan tersebut menurut seorang pengamat modern hukum Islam harus dipandang sebagai sebuah pertanda aktif fleksibilitas hukum Islam, dan bukan sebagai penutup yang bersifat dogmatis terhadap keberlakuannya. Kebinekaan dan perbedaan itu memang ada dan inilah yang melahirkan berbagai mazhab atau aliran di dunia Islam. Perbedaan-perbedaan ini bersifat alami karena perbedaan wawasan, lingkungan, tidak adanya nas} (teks agama) yang sahih atau sebuah nas} dipandang sebagai mansu>kh (dibatalkan oleh nas} yang lain) atau sebuah hadis dipandang lebih sahih oleh seorang mujtahid tetapi tidak dipandang sahih oleh yang lain.
Semuan imam mujtahid mengatakan bahwa apa yang mereka simpulkan sebagai hukum fiqh adalah sebenarnya hanyalah pendapat mereka dan tidak mempunyai unsur kekudusan sama sekali. Apabila dibelakang hari ternyata pendapat mereka tidak benar atau bertentangan dengan nas} yang jelas, mereka meminta untuk meninggalkan pendapat mereka dan mengambil pendapat yang mempunyai dasar yang lebih kuat. Jadi, hukum Islam dalam arti fiqh adalah hasil ijtihad yang dapat mengalami perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan waktu dan tempat pada zamannya. 4). Hukum Syarak ()يعرشلا مكحلا Untuk menghindarkan adanya kerancuan dan kesalahpahaman, sebelum menguraikan pengertian hukum syarak perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa pada hakekatnya, secara garis besar, hukum syarak dapat diklasifikasi menjadi tiga bagian.
Pertama,
hukum
syarak
yang
berhubungan
dengan
perihal
akidah/keimanan ()ةيداقتعا ةيعرش ماكحا. Kedua, hukum syarak yang berhubungan dengan akhlak.( )ةيقلخ ةيعرش ماكحاKetiga, hukum syarak yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf) )ةيلمع ةيعرش ماكحا. Hukum syarak bagian pertama menjadi kompetensi kajian ilmu tauhid (ilmu kalam). Bagian kedua menjadi kompetensi kajian ilmu akhlak dan tasawuf. Bagian ketiga menjadi kompetensi kajian ilmu fiqh dan us}u>l fiqh. Fiqh dan Us}u>l fiqh hanya membatasi kajiannya pada hukum syarak kategori ketiga. Bagian ketiga inilah yang populer disebut “hukum Islam”, sehingga apabila disebut hukum Islam maka yang dimaksud adalah hukum Islam yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf ()ةيلمع ةيعرش ماكحا.
Hukum syarak didefinisikan oleh para ahli hukum Islam (us}u>liyyu>n) sebagai berikut: ِرْيِيْخَّتلا ِوَا ِءاَضِتْق ِأل اِب َنْيِفَّلَكُملا ِلاَعْف َأِب ُقِلَعَتُملا هللا ُباَطِخ ِعْض َوْلا ِوَا. Artinya: Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa Iqtid}a>’(perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wad}’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ [penghalang]). Dari pengertian hukum syarak menurut istilah us}u>l fiqh di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Dari kata هللا باطخdapat diketahui bahwa yang berhak menetapkan hukum syarak hanyalah Allah. Dari sini muncul prinsip ( هلل الا مكح الtidak ada yang berhak menetapkan hukum Islam selain Allah). Mengenai sumber hukum syarak selain al-Qur’an, seperti sunnah Nabi, ijmak, qiya>s dan sebagainya, pada dasarnya hanyalah berfungsi sebagai memberitahu terhadap hukum tersebut (فرعم )مكحلل, bukan menetapkan. Demikian juga Rasulullah saw. tidaklah berhak menetapkan hukum. Tugas beliau hanyalah menyampaikan dan menjelaskan. Mengenai mujtahid atau fukaha, mereka pula tidak berhak untuk menetapkan hukum. Tugas mereka hanyalah menggali hukum yang belum ditegaskan oleh nas}/teks al-Qur’an dan sunnah. Dari kata هللا باطخ, juga dapat dipahami bahwa hukum syarak ada yang ditegaskan secara langsung olah al-Qur’an atau sunnah Nabi, dan ada yang tidak ditegaskan secara langsung; dan baru diketahui setelah digali oleh mujtahid
melalui ijtihad. Kategori pertama dikenal dengan istilah syariat dan kategori kedua dikenal dengan istilah fiqh. Dari kata نيفلكملا لاعف أب قلعتملا, dapat diketahui bahwa obyek hukum adalah perbuatan mukallaf, bukan zat (benda), dan yang perlu digaris bawahi disini adalah kata “perbuatan”, sehingga atribut hukum hanya dapat dikenakan pada perbuatan, tidak dapat diterapkan pada zat. Karena itu, ketika Q.S. al-Ma>’idah (5):3 menyatakan : ôMtBÌhãm
ãNä3øn=tæ
èptGøyJø9$#
ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# . . . Terjemahnya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi… Maksudnya adalah diharamkan atas kamu sekalian memakan atau memanfaakannya. Demikian jika dikatakan bahwa ini uang halal atau uang haram, maksudnya adalah uang yang diperoleh dengan jalan halal atau haram. Dari kata نيفلكملا لاعف أب قلعتملاjuga dapat diketahui bahwa hukum syarak yang berhubungan dengan prihal akidah dan akhlak tidak bisa dinamakan sebagai hukum. Atas dasar inilah sebagian ulama berpendapat bahwa ajaran Islam yang berkaitan dengan akidah dan akhlak tidak bisa dinamakan hukum Islam. Dari kata عض ولا وا رييختلا وا ءاضتق أل ابdapat diketahui bahwa hukum syarak terbagi menjadi dua macam, yaitu hukum takli>fi> dan hukum wad}’i>. Dari kata ءاضتقألابtercakuplah hukum ija>b (wajib), nadb (sunnah), tahri>m (haram), dan kara>hah (makruh). Kata رييختلاmuncullah hukum iba>h}ah (mubah).
Kelima hukum ini dikenal dengan hukum takli>fi> yang lazim juga disebut al-ah}ka>m al-khamsah (hukum lima). Dari kata عض ولاlahirlah hukum wad}’i> yang tiga, yaitu sebab, syart} dan ma>ni’. Sebab artinya khit}a>b (firman) Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi yang lain. Seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya melaksanakan salat Zuhur. Sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Isra>’ (17):78 sebagai berikut : ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$#
Ï8qä9à$Î!
ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# … Terjemahnya : Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam… Syart} artinya firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Seperti kemampuan adalah menjadi syarat bagi wajibnya menunaikan ibadah haji, sejalan firman Allah dalam Q.S. A>li ‘Imra>n (3):97 sebagai berikut : ÏmÏù
7M»t#uä
×M»uZÉit/
ãP$s)¨B
zOÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzy tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx.
¨bÎ*sù ©!$#
;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# Terjemahnya : Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. Ma>ni’ artinya firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain. Seperti haid menjadi penghalang bagi kebolehan melakukan hubungan suami-isteri, sesuai firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2):222 sebagai berikut : tRqè=t«ó¡our ö@è%
uqèd
Ç`tã
]r&
ÇÙÅsyJø9$#
(
(#qä9ÍtIôã$$sù
uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s?
4Ó®Lym
tbößgôÜt
(
#sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$#
=Ïtäur
úïÌÎdgsÜtFßJø9$# Terjemahnya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Para pakar us}u>l fiqh menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kata khita>bulla>h dalam definisi hukum Islam tersebut adalah kala>m nafsi aza>li>, artinya firman Allah yang qadi>m yang tidak dapat disifatkan seperti apa dan bagaimana. Karena itu, untuk mengetahui hukum Allah (hukum Islam) harus ada yang memberi tahu (mu’arrif), yaitu dalil yang dapat dipahami oleh
kemampuan akal manusia. Dalil tersebut ialah al-Qur’an, sunnah Nabi, ijmak, qiya>s. istis}la>h}, istih}sa>n, dan lain-lain. Lewat dalil-dalil inilah mujtahid akan menggali dan mengungkapkan hukum syarak yang berhubungan dengan tingkah laku, segala segi hidup dan kehidupan, dan problematika yang dihadapi umat manusia. Dari sini muncul saling keterkaitan antara perbuatan manusia, hukum syarak, dalil hukum, ijtihad, dan mujtahid tidak mungkin bisa terlepaskan. Dari keterangan hukum syarak di atas, maka dapat dipahami bahwa hukum Islam dalam satu rangkaian kata Hasbi Ash-Shiddiqy memberikan definisi hukum Islam adalah “koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh. Dalam khasanah ilmu hukum di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, berarti mencegah atau menolak. Hukum Islam harus mencegah ketidakadilan, kezaliman, dan segala bentuk penganiayaan dan kekerasan. Perwujudan makna hukum dalam berbagai ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (manusia dewasa dan cakap) dapat berupa bentuk tuntutan, pilihan dan wad}’i> (hubungan antara satu perbuatan dengan perbuatan lain). Ayat al-Qur’an yang berisi perintah (amr) oleh para ahli hukum Islam digolongkan ke dalam dua sifat, yaitu wajib dan sunnat. Demikian pula ayat al-Qur’an yang mengandung makna larangan (nahi) digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu haram dan makruh. Sedangkan ayat al-Qur’an yang memberikan kebebasan atau pilihan dalam melakukan sesuatu tindakan atau tidak melakukannya digolongkan sebagai hukum mubah. Menurut Amir Syarifuddin kata hukum bila
dihubungan dengan Islam, makna hukum Islam berarti: seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Sedangkan Ahmad Rofiq mengemukkan bahwa hukum Islam adalah: Peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum, fiqh, fatwa keputusan pengadilan, dan undang-undang yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam di Indonesia. Jadi hukum Islam mencakup hukum taklifi, dan hukum wad}’i> yang obyek sasarannya adalah perbuatan mukallaf. Dari beberapa pengertian tentang pembaruan dan hukum Islam sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, pembaruan hukum Islam adalah adanya perubahan waktu, tempat yang seiring dengan kemajuan peradaban manusia disebabkan kemajuan di bidang iptek. Hal ini dilakukan oleh mujtahid yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (mujtahid) dengan cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat} hukum yang dibenarkan sehingga menjadikan hukum Islam dapat tampil lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman. Pembaruan hukum Islam yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki otoritas dan kompetensi dalam pengembangan hukum Islam, tidak dilakukan berdasarkan kaidah yang benar, hal itu tidak disebut sebagai pembaruan hukum Islam. 2. Tujuan Pembaruan Hukum Islam Islam sebagai agama wahyu terakhir, agama yang berlaku dan dibutuhkan sepanjang zaman tentu mempunyai pedoman dan prinsip dasar yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam kehidupannya agar mereka
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai agama yang dibawa untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, Islam tentu harus dapat menjawab semua permasalahan umat manusia yang telah dan akan timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau Islam tidak mampu menjawab permasalahan umat manusia tersebut, Islam tentu akan ditinggalkan. Hal itu tentu tidak diinginkan oleh siapa pun yang meyakini kebenaran ajaran Islam. Agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi perkembangan zaman, dan mampu menjawab tantangan zaman, maka hukum Islam perlu dikembangkan, dan pemahaman terhadap Islam perlu terus-menerus diperbarui dengan memberikan penafsiran-penafsiran baru terhadap nas} syara’ dengan cara menggali kemungkinan-kemungkinan lain atau alternatif-alternatif dalam syari’at yang diyakini mengandung alternatif yang bisa diangkat dalam menjawab masalah baru. Jadi pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam selalu mampu merealisasi tujuan syari’at semaksimal mungkin, yaitu mampu merealisasi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam dunia modern ini. Kemajuan ilmu iptek modern dewasa ini, membuat dunia ini semakin kecil, dunia globalisasi. Dunia globalisasi diartikan secara sederhana: “menjadikan bumi sebagai satu titik perhatian”; meskipun ia terdiri dari beberapa negara yang terpisah dan dihuni oleh kelompok manusia yang berbeda bangsa, bahasa dan agama. Menyatunya titik pandang itu karena sudah begitu lancarnya komunikasi dan transportasi hingga jarak tidak berarti lagi dan lancarnya arus
informasi sehingga sekat wilayah dan budaya menjadi kabur disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam era globalisasi arus lalu lintas barang, modal dan jasa menjadi mudah dan cepat yang akan mempengaruhi ekonomi dunia. Begitu pula arus mobilitas orang antara satu tempat ke tempat lain akan berpengaruh terhadap sosial budaya manusia. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan dan pergolakan yang besar dalam seluruh segi kehidupan. Meskipun pada saat ini yang dirasakan paling besar mendapat pengaruh adalah bidang ekonomi, tetapi berpengaruh ke bidang kehidupan lainnya. Pengaruh ini bisa dalam bentuk positif (bermanfaat) dengan arti menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam bentuk negatif (mud}arat) dengan arti merugikan. Manusia tidak mungkin lari dari arus globalisasi, walaupun takut akan terkena mud}arat yang ditimbulkannya. Sikap yang harus dimiliki oleh umat Islam adalah meraih sebanyak mungkin manfaat dari globalisasi dan dalam waktu yang bersamaan mampu menghindari segala kemungkinan mud}arat. Pengaruh globalisasi dapat mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan umat manusia, termasuk di bidang agama. Menurut Amir Syarifuddin kemungkinan yang muncul dari globalisasi sehubungan dengan kehidupan beragama dan budaya antara lain: Pertama,
mudah
dan
terbukanya
komunikasi
dan
transportasi
menyebabkan semakin besarnya arus masuk manusia dari seluruh dunia. Boleh jadi mereka membawa paham keagamaan yang asing dan dapat menyesatkan umat beragama. Mereka berbuat dan bertingkah laku di negeri orang lain sebagaimana
di negeri mereka, yang mungkin tidak sesuai dengan adat kebiasaan budaya setempat. Ini dapat menyebabkan rusaknya adat dan nilai luhur yang dijungjung tinggi oleh suatu bangsa itu sendiri. Mereka membawa pendapat dan pemikiran baru sebagai hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah lebih dahulu mereka peroleh yang mungkin tidak sesuai dengan norma agama dan adat istiadat setempat. Kedua, semakin lancarnya lalu lintas informasi menyebabkan orang semakin mudah dan cepat mengetahui, melihat dan mendengar seluruh kejadian yang terjadi di seluruh pelosok dunia. Perkembangan informasi dan kunjungan orang asing (turis) bisa jadi berdampak negatif karena adanya titik lemah yang terdapat pada umat manusia tersebut. Di antara titik lemah itu adalah; (1) kurangnya ketahanan agama disebabkan oleh lemahnya keimanan dan ketaqwaan,
sehingga mudah ragu dan
terombang-ambing oleh munculnya ajaran-ajaran agama baru dan asing yang di bawa oleh umat pendatang. (2) rendahnya pengetahuan umat akan ajaran agamanya sehingga tidak menyadari ketinggian nilai ajaran agamanya dan tidak dapat menyeleksi ajaran agama yang betul dan ajaran agama yang sesat dan menyesatkan. (3) rendahnya ketahanan budaya menyebabkan mudahnya menerima budaya yang datang dari luar. Tidak menyadari ketinggian nilai budaya sendiri, yang menyebabkan gampang menggantinya dengan yang baru meskipun tidak sesuai dengan adat istiadat yang luhur. (4) kurangnya kepercayaan terhadap diri sendiri dan adanya rasa rendah diri (minder), serta selalu merasa baik apa yang
datang dari Barat, sehingga menyebabkan hilangnya daya seleksi pada waktu menerima suatu yang datang dari luar. Munculnya segi negatif dari globalisasi lebih banyak ditimbulkan oleh unsur eksternal, adanya titik-titik lemah pada diri manusia yang menyebabkan tidak tahan terhadap sesuatu yang datang dari luar. Hal ini berarti bahwa dampak negatif dari globalisasi itu dapat dihilangkan atau setidaknya diperkecil bila titik-titik lemah dalam diri manusia itu dapat dihilangkan atau dikurangi. Pada era globalisasi akan banyak perubahan dalam kehidupan manusia; yang di antaranya mungkin mempunyai kemiripan yang pernah ada selama ini dan di antaranya mungkin asing dan tidak dikenal selama ini. Karena semua tindak tanduk manusia harus berbeda dalam tatanan hukum Allah, hukum Islam harus mampu menjawab perubahan itu dengan perangkat aturan yang akan menempatkan tingkah laku manusia yang mengalami perubahan dalam tatanan hukum syara’. Aturan baru itu mungkin dengan cara reinterpretasi atas sumber yang selama ini telah diformulasikan oleh pakar terdahulu atau dengan cara menggali langsung dari sumber yang ada dengan menggunakan pendekatan baru dengan menjadikan kondisi yang ada sebagai bahan pertimbangan dalam hal-hal yang baru sama sekali. Oleh karena itu pengembangan atau pembaruan hukum Islam perlu dilakukan dengan tujuan agar hukum Islam dapat diterima oleh semua pihak, khusunya bagi umat Islam. Pengembangan atau pembaruan dalam hal ini berarti usaha membuat sesuatu menjadi berkembang dengan arti menjadi semakin luas, semakin besar atau semakin banyak. Bila kata “pengembangan atau pembaruan” itu dihubungkan
kepada hukum Islam berarti usaha menjadikan hukum Islam itu berkembang dalam arti meluas penggunaan dan pemberlakuannya. Kalau tadinya hanya berlaku untuk maksud tertentu, menjadi berlaku untuk maksud lain-lainnya. Timbul
pertanyaan, apakah boleh hukum Islam diperbarui
dan
dikembangkan? Bukankah ajaran Islam itu mutlak benar dan tidak berubah ? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu dipelajari terlebih dahulu hakikat Islam secara filosofis dan historis, serta sifat dasar hukum Islam itu sendiri. Sebagaimana diketahui wahyu Allah swt. Yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Terkandung seluruhnya dalam al-Qur’an. Al-Qur’an dengan demikian adalah sumber utama dari Islam, bahkan menurut sebagian ulama ia adalah satu-satunya sumber, karena hadis sebenarnya hanyalah penjelasan tentang apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Ayat-ayat yang mengandung ketentuan hukum dalam al-Qur’an sebagaimana diketahui disebut ayat ahka>m. Ayat ahka>m terbagi ke dalam dua kelompok besar, ayat ahka>m mengenai ibadat atau pemujaan pada Tuhan dan ayat ahka>m mengenai muamalah atau hidup kemasyarakatan manusia. Masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah ayat ahka>m dalam kelompok kedua karena yang dipermasalahkan di sini bukanlah hukum Islam mengenai ibadat, tetapi hukum Islam mengenai hidup kemasyarakatan umat. Anggapan bahwa al-Qur’an mengandung segala-galanya secara lengkap, termasuk di dalamnya soal hukum, sebenarnya kurang tepat. Ahli-ahli hukum semenjak awal telah mengetahui bahwa ayat ah}ka>m dalam al-Qur’an jumlahnya sedikit. Pandangan ini disadari terutama oleh ahli-ahli hukum Islam sekarang.
Menurut Abdul wahhab Khallaf, jumlah ayat ahka>m dalam al-Qur’an hanyalah 228. ‘Abdul Wahhab Khallaf menegaskan bahwa sebagian besar dari ayat-ayat ahka>m itu, tidak pula mengandung arti tegas dan pasti (qat}’i al-D}ala>lah), tetapi mengandung arti dugaan (z}anni> al-D}ala>lah). Dengan demikian ayat-ayat ahka>m yang sedikit jumlahnya itu masih memerlukan penjelasan dan perincian dalam pelaksanaannya. Oleh karena itulah, para sahabat dan para ulama hukum Islam memerlukan hadis sebagai sumber kedua dari hukum Islam. Tetapi sebagaimana dikatakan ‘Ali Hasballah, jumlah hadis juga sedikit dan terbatas dibandingkan dengan persoalan-persoalan yang timbul dalam hidup kemasyarakatan manusia. Jumlahnya menurut Khhallaf, 4500 hadis dan kebanyakan memberi penjelasan terhadap hukum-hukum yang disebut dalam garis besarnya di dalam al-Qur’an. Hanya sebagian kecil mengandung hukum tentang apa yang tidak disebut dalam al-Qur’an. Jelas bahwa hadis pun tidak dapat memenuhi kebutuhan para sahabat dan para ulama hukum Islam pada zaman lampau. Karena itu mereka melakukan ijtihad. Ijtihad, seperti disebut ‘Ali Hasballah adalah sumber ketiga dari hukum Islam di samping al-Qur’an dan hadis, sebagian besar dari hukum Islam adalah hasil ijtihad. Qiya>s, Mas}lah}ah Mursalah, Istih}sa>n dan istihsa>b yang dalam us}u>l fiqh diterima sebagai sumber hukum termasuk dalam ijtihad. Di antara sumber-sumber hukum yang disebut dalam us}u>l fiqh, hanya dua yaitu al-Qur’an dan hadis yang merupakan wahyu. Sebagian besar dari sumber-suber itu bukan wahyu, tetapi termasuk dalam kategori ijtihad.
Hukum Islam seperti dijelaskan Abdul wahhab Khallaf, mempunyai bentuk; (1) hukum yang ditentukan oleh ayat dan hadis, dan ini adalah hukum Ilahiyah; (2) hukum yang dihasilkan ijtihad para ulama dan ini adalah hukum Ilahiyah ditinjau dari segi sumbernya, tetapi hukum insaniyah kalau ditinjau dari kenyataan bahwa ia hasil ijtihad atau pemikiran manusia. Demikianlah keadaan hukum Islam, hanya sebagian kecil saja yang bersifat absolut (al-Qur’an dan hadis mutawatir), sedangkan sebagian besar lainnya bersifat relatif hasil ijtihad para ulama. Di dalamnya sering dijumpai perbedaan pemikiran antara satu ulama dengan ulama lainnya. Perubahan-perubahan pemikiran para ulama hukum Islam, karena dipengaruhi oleh zaman dan tempat sering kali tidak bisa dihindarkan. Contoh termasyhur yang disebut-sebut dalam buku-buku fiqh adalah perbedaan fiqh al-Syafi’i ketika ia di Irak dan ketika ia di Mesir. Dalam hukum Islam diakui bahwa situasi dan kondisi dapat mengubah hukum. Mengenai hal ini Mahmasa>ni mengemukakan: Oleh karena kepentingan mutlak yang menjadi dasar segala hukum, sebagai telah kami jelaskan sebelumnya, maka hukum harus berubah sesuai dengan perubahan zaman dan perubahan lingkungan masyarakat. Benarlah Ibn al-Qasim ketika ia mengatakan bahwa fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat, situasi, niat dan adat kebiasaan. Sejarah hukum Islam menyatakan bahwa perubahan hukum terjadi bukan hanya dalam bidang hukum hasil ijtihad ulama, tetapi juga dalam bidang hukum yang ditentukan al-Qur’an sendiri. Yang masyhur dalam masalah perubahan hukum ini adalah khalifah ‘Umar bin Khat}t}a>b. Mu’allaf pada zaman Nabi Muhammad mendapat bagian dari zakat, pada zaman ‘Umar tidak lagi memperoleh,
dikeluarkan dari golongan orang yang berhak menerima zakat, dengan alasan bahwa Islam telah kuat dan tidak perlu lagi pada sokongan mereka. ‘Umar yang membagi-bagikan tanah yang dikuasai tentara Islam setelah menaklukkan Irak kepada penggarap tanah tersebut. Alasan ‘Umar, apabila tanah itu dikuasai oleh para tentara, maka itu akan merugikan Islam sebagai negara. ‘Umar juga tidak menjalankan potong tangan pada orang yang mencuri karena kelaparan. Di dalam buku-buku fiqh terdapat lagi kasus-kasus yang hukumnya sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an diubah oleh ‘Umar sesuai dengan situasi dan kondisi Hukum Islam yang dikembangkan ulama-ulama Islam, ternyata tidak memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat akan hukum. Sultan-sultan membuat undang-undang di samping hukum Islam yang telah ada. Undang-undang yang dibuat para Sultan itu terutama mengatur administrasi negara, pajak, kepenjaraan, keuangan dan sebagainya. Sultan yang masyhur dalam bidang undang-undang ini adalah sultan Sulaiman (1520-1566) dari kerajaan ‘Usmani. Undang-undang yang dibuatnya mencakup hak milik sewa tanah, kepolisian, kejahatan, harga barang-barang, gaji, bunga uang, perlakuan terhadap binatang dan sebagainya. Sultan
Sulaiman
dikenal
dengan
gelar
Sulaiman
al-Qanu>n,
karena
produktifitasnya membuat undang-undang. Al-Qa>nu>ni berarti pembuat undang-undang. Pembuatan undang-undang oleh sultan dalam pendapat ahli-ahli hukum Islam dibolehkan, bahkan undang-undang itu wajib dipatuhi oleh rakyat. Argumen yang diajukan adalah QS. Al-Nisa (4):59
$pkr'¯»t (#qãèÏÛr&
tûïÏ%©!$# ©!$#
(#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (... Terjemahnya : Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang berkuasa di antara kamu… Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tidaklah benar hukum Islam bersifat statis, tidak bisa diperbarui dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hakikat hukum Islam tidak menghendaki keadaan statis, tetapi sebaliknya menghendaki perkembangan. Ulama-ulama ahli hukum Islam pada abad dua puluh satu ini memang kuat menganjurkan agar disusun hukum Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman sekarang. ‘Abdul Wahhab Khallaf mengatakan, semoga diambil langkah untuk menyusun hukum Islam yang sesuai dengan jiwa dan perkembangan zaman sekarang, tetapi tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan hadis, sungguhpun tidak diambil dari mazhab-mazhab yang pernah ada. Dalam Islam sebenarnya terdapat dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah, dan tak dapat diubah yang jumlahnya sedikit sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an. Kedua, ajaran relatif, tidak mutlak benar, tidak kekal, tetapi dapat berubah dan boleh diubah yang jumlahnya banyak sekali sebagaimana terdapat dalam buku-buku ilmu kalam, atau teologi Islam, ilmu fiqh atau hukum Islam, ilmu tasawuf, tafsir, hadis, akhlak, filsafat dan
sebagainya. Ajaran-ajaran relatif yang berubah dan dapat diubah inilah yang berkembang semenjak Nabi Muhammad saw. wafat pada permulaan abad ke-7 sampai zaman modern abad dua puluh satu sekarang ini dan seterusnya akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan kondisi setempat. Ajaran yang tidak berubah adalah ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Sebagai contoh ajaran dasar yang tidak bisa berubah adalah; sai dalam ibadah haji, kendati arus perubahan yang terjadi semakin dahsyat namun yang disebut sa’i itu tetap berbentuk perjalanan bolak balik. Hanya mungkin mengalami perubahan adalah pelaksanaannya yang tidak bersifat subtantif. Kalau dulunya perjalanan bolak balik yang bernama sai dilakukan di atas tanah berbatu, dilingkungi hawa kering krontang di bawah terik matahari; pada saat ini perjalanan bolak balik itu dilakukan di lantas yang rata dan indah, di ruangan nyaman ber AC dan terlindungi oleh atap yang bagus, namun perjalanan bolak balik itu sendiri sebagai subtantif ajaran tetap tidak mengalami perubahan. Contoh lain dapat diambil pada perkawinan pria Islam dengan wanita Ahli Kitab yaitu wanita Yahudi dan Kristen. Dalam mazahab Syafi’i ada pendapat bahwa wanita Kristen tak boleh dikawini seorang pria muslim, karena ia menganut keyakinan trinitas. Menurut mazahab lain, seorang pria Islam boleh kawin dengan wanita Kristen karena dia adalah Ahli Kitab dan bukan musyrikah atau politeis. Ayat dengan jelas mengatakan bahwa orang Islam boleh mengambil wanita Ahli Kitab menjadi isteri. Tetapi karena ayat tidak menjelaskan lebih lanjut Ahli Kitab mana yang dimaksud, timbullah perbedaan penafsiran tentang Ahli Kitab dalam ayat ini.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sepanjang masa timbul penjelasan dan penafsiran mengenai ajaran-ajaran dasar dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an. Penjelasan dan penafsiran para ulama, yang disebut ijtihad, makin lama makin banyak jumlahnya, dan memerlukan buku-buku tebal dan berjilid-jilid. Ijtihad ulama jauh lebih banyak jumlahnya dari pada ayat-ayat al-Qur’an sendiri, juga merupakan ajaran-ajaran Islam. Tetapi karena ajaran-ajaran yang berasal dari ijtihad ini adalah hasil pemikiran manusia, maka ajaran-ajaran itu bersifat relatif dan tidak absolut. Prinsip-prinsip dasar yang di bawa oleh al-Qur’an memerlukan penjelasan dan penafsiran melalui ijtihad ulama agar ajaran-ajaran dasar serta prinsip-prinsip itu dapat dijalankan oleh umat dalam masyarakat. Ijtihad ulama itu berjalan sepanjang zaman semenjak Nabi Muhammad wafat, dan dalam Islam terdapat ijtihad yang bukan saja jumlahnya besar sekali, melainkan juga berbeda, bahkan terkadang bertentangan. Karena ijtihad ulama ini juga merupakan ajaran Islam, ajaran Islam itu dalam sejarah pada hakikatnya senantiasa bertambah dan berkembang, sehingga pada akhirnya yang banyak terdapat dalam Islam adalah ajaran hasil ijtihad ulama yang tidak bersifat mutlak benar, tetapi relatif, berubah dan dapat diubah. Dalam pada itu ajaran yang bersifat mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tak dapat diubah sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan hadis tetapi sebagaimana ditinggalkan Nabi, tidak bertambah jumlahnya. Dari hakikat ajaran Islam sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikatakan
bahwa
tujuan
pembaruan
hukum
Islam
adalah
melakukan
pengembangan-pengembangan melaui ijtihad agar hukum Islam dapat dijalankan
oleh umat sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi setempat di mana hukum Islam itu akan diterapkan. Hukum Islam tidak ketinggalan zaman, tetap eksis sepanjang zaman dan dapat merealisasikan kemaslahatan umat di tengah dunia global akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi modern dewasa ini. 3. Penyebab Terjadinya Pembaruan Hukum Islam Pembaruan hukum Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta sesuai dengan tuntunan zaman. Hal ini disebabkan karena yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh banyak yang tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah baru sekarang muncul belum terjadi pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis. Sebagai contoh antara lain adalah perkawinan yang ijab qabulnya dilakukan dengan pesawat telepon. Pemberian harta waris yang berbeda agama dengan pewaris, pemberian harta waris kepada anak angkat dengan cara wasiat wajibah, wakaf dalam bentuk tunai, dan sebagainya. Hal ini telah mendorong negara mengaturnya dalam berbagai peraturan perundangan agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaannya. Menurut pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; pertama, untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum pada masalah yang baru terjadi sangat cepat dan mendesak untuk diterapkan. Kedua, pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya.
Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional. Keempat, pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional maupun tingkat nasional, terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembaruan hukum Islam disebabkan adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas. Perubahan ini sejalan dengan qaul qadi>m dan qaul jadi>d yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i bahwa hukum dapat juga berubah karena berubahnya pertimbangan hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan maqa>s}d
al-Syari>’ah. Perubahan hukum perlu dilaksanakan secara
terus-menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat relatif, sedangkan kebenaran perlu ditemukan atau didekatkan sedekat mungkin. Oleh karena itu, ijtihad sebagai metode penemuan kebenaran itu perlu terus dilaksanakan. Itulah sebabnya jawaban terhadap masalah baru yang senantiasa harus bersifat baru pula. Ijtihad tidak pernah tertutup dan setiap saat harus selalu terbuka untuk menemukan jawaban terhadap hukum baru dalam menghadapi arus globalisasi yang terjadi saat ini. Hak dan kewajiban melakukan pembaruan hukum Islam adalah perintah, dan umat Islam wajib menaatinya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah. Para cendekiawan muslim diharapkan dapat memperbarui hukum Islam dengan melakukan ijtihad, baik secara individual maupun kolektif, (kelembagaan NU, Muhammadiyah, MUI dan sebagainya). Diharapkan ormas-ormas Islam itu lebih responsif menghadapi masalah-masalah
sosial keagamaan yang timbul akibat kemajuan IPTEK. Mengingat masalah sosial keagamaan yang dihadapi umat sekarang pada umumnya sangat kompleks, maka seyogiyanya ijtihad dalam rangka pembaruan hukum Islam lebih tepat dilaksanakan dengan cara ijtihad kolektif dengan mempergunakan berbagai disiplin ilmu yang relevan dengan permasalahannya. Dalam kaitan pembaruan hukum Islam, Ahmad Mustafa al-Maragi mengemukakan bahwa sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia dan kepentingan manusia itu tidak sama satu dengan yang lainnya karena ada perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum yang diundangkan itu pada saat dibuat dipandang sebagai suatu kebutuhan, kemudian pada saat yang lain kebutuhan akan hukum itu tidak ada lagi, maka adalah suatu tindakan bijaksana untuk menghapus hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang baru yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan nada yang hampir sama Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena ada perbedaan waktu dan lingkungan, situasi dan kondisi. Jika suatu hukum yang diundangkan pada waktu dibuat sangat dibutuhkan oleh masyarakat terhadap hukum itu, tetapi kemudian kebutuhan akan hukum itu sudah tidak ada lagi, maka sebaiknya hukum yang lama itu segera diperbarui dengan hukum yang baru sesuai dengan situasi dan kondisi, waktu dan tempat dalam masyarakat yang melaksanakan hukum itu. Adanya faktor-faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum Islam sebagaimana tersebut di atas, mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat Islam, baik yang menyangkut idiologi,
politik, sosial, budaya dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut melahirkan sejumlah tantangan baru yang harus dijawab sebagai bagian hukum Islam. Untuk mengantisipasi masalah ini, maka ijtihad tidak boleh berhenti dan harus terus-menerus dilaksanakan untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah hukum baru yang sangat diperlukan oleh umat Islam. Hal ini penting untuk dilaksanakan karena perubahan tersebut melahirkan simbol-simbol sosial dan kultural yang secara eksplisit tidak dimiliki oleh simbol keagamaan yang telah mapan yang apabila dibiarkan akan menjauhkan umat Islam dari norma-norma agama. Hukum Islam mampu menghadapi segala persoalan zaman dan dapat diberlakukan sepanjang zaman. Untuk mencapai hal itu perlu dilaksanakan ijtihad, baik secara individual maupun kolektif, secara terus-menerus. Amir Mu’alim dan Yusdani mengemukakan bahwa hal yang sangat mendesak untuk dilakukan oleh pakar hukum Islam saat ini adalah agar menghasilkan hukum Islam yang komprehensif dan merumuskan suatu metodologi sistematis yang mempunyai akar yang kukuh. Menurut Nur Cahaya, di sinilah
letak
pentingnya
rumusan-rumusan
metodologi
hukum
Islam
kontemporer, yang harus disusun kembali baik yang ideal-moral maupun yang formal. Kerangka metodologi yang ideal moral dan formal ini bertujuan untuk menjaga keutuhan norma-norma keilahian, kemanusiaan dan kemaslahatan yang memberikan arah yang benar bagi perkembangan kehidupan. Cita-cita ini akan terwujud apabila para ahli hukum Islam berani meninjau kembali sejarah perkembangan hukum Islam di masa silam dan mengkaji sumber-sumber hukum Islam itu untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang timbul kini
dan esok. Metode mas}lahah dan istih}sa>n adalah metode yang masih relevan dalam rangka menemukan hukum guna menjawab segala permasalahan sosial dewasa ini. Untuk mengantisipasi faktor-faktor penyebab sebagaimana tersebut di atas, maka perlu dilaksanakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Mengadakan kajian secara komprehensif terhadap seluruh tradisi Islam, baik yang bersifat fenomena tradisional maupun Islam modernis dalam berbagai aspek; 2. Menggunakan kajian ilmiah kontemporer tanpa mengabaikan khasanah intelektual Islam klasik; 3. Memasukkan masalah kekinian ke dalam pertimbangan pada saat menginterpretasikan al-Qur’an dan Sunnah; 4. Mengembangkan fiqh Islam dengan cara menfungsikan kembali ijtihad baik individual maupun kolektif sehingga dapat menghasilkan materi hukum yang sesuai dengan modernisasi yang sekarang sedang berjalan dalam masyarakat Islam; 5. Menyatukan pendapat di antara mazhab-mazhab tentang berbagai masalah hukum yang serupa dan sama demi kepastian hukum dan ini dapat dilaksanakan jika semua pihak memandang bahwa fiqh sebagai suatu kesatuan yang utuh; 6. Zaman modern dikenal dengan zaman spesialisasi dan zaman pembidangan secara kritis, sebab tidak mungkin para fuqaha dapat berbicara tentang segala bidang pada zaman sekarang ini. Tentang hal ini hendaknya dipahami sebagai hikmah tersembunyi yang memungkingkan para ahli hukum Islam untuk duduk bersama memecahkan berbagai masalah hukum yang lebih menyentuh akar permasalahan, disinilah pentingnya dilakukan ijtihad kolektif. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya pembaruan hukum Islam adalah; pertama, untuk mengisi kekosongan hukum, karena banyaknya masalah baru yang muncul sementara tidak diatur dalam kitab hukum sebelumnya atau tidak relevan terhadap hukum yang sudah ada dalam kitab-kitab fiqh sebelumnya. Kedua, karena pengaruh globalisasi akibat IPTEK,
sehingga berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum maupun agama, yang menyebabkan perlunya ada penyesuaian-penyesuaian agar ajaran agama Islam tetap eksis sepanjang masa. 4. Pembaruan hukum Islam sebagai Suatu Kebutuhan Perlu dipahami bahwa hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial (social control); dan kedua, sebagai nilai baru dan proses perubahan sosial (social change). Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagaiblue print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social egineering terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum Islam lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi, atau meminjam istilah Abdurrahman Wahid, fosilisasi bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para ahli hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualitasnya. Apabila hukum Islam kehilangan aktualisasinya dalam memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan terhadap permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat, maka akan dikhawatirkan suatu ketika umat Islam meragukan eksistensi Islam itu sendiri (bahkan bisa jadi pada akhirnya
menghilangkan kepercayaan umat Islam terhadap kitab sucinya). Kecenderungan seperti itu bukan tidak mungkin terjadi, bila diperhatikan secara seksama, apa yang dilakukan oleh kalangan muslim sekularis yang mengadopsi sistem hukum Barat mentah-mentah untuk diterapkan bagi umat Islam adalah satu indikasi dari analis di atas. Ini tentu tidak bijaksana dan akan merugikan umat Islam sendiri. Mereka akan terasingkan dari sistem hukum itu karena bukan berasal dari tradisinya sendiri. Di lain pihak, kita juga harus menyadari bahwa formulasi hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fqh peninggalan para fuqaha dalam beberapa aspek ada yang telah kehilangan kemampuan transpormasinya. Bila formulasi hukum Islam aut of date itu tetap dipaksakan penerapannya dikhawatirkan akan menimbulkan penentangan-penentangan dari masyarakat, sehingga pada akhirnya, akan memunculkan konflik-konflik internal, dan bahkan konflik eksternal yang tidak perlu. Berdasarkan elaborasi tersebut, maka upaya pembaruan terhadap hukum Islam melalui wahana ijtihad mutlak dilakukan. Ide itu banyak disuarakan oleh para ulama, seperti Ibn Taimiyah, Jala>l al-Din al-Suyuti, Mahmud Syaltut, M. Yusuf Musa, M. Muslehuddin, Subhi Mahmassani, Wahbah al-Zuhaili dan lain-lain. Sebagaimana para tokoh di atas, ide tentang pentingnya pembaruan hukum Islam dikumandangkan pula oleh para cendekiawan di Indonesia, di antaranya Munawir
Sjadzali,
dalam
bukunya
berjudul
Ijtihad
Kemanusiaan
ia
mengungkapkan beberapa permasalahan hukum Islam kontemporer yang muncul pasca putusnya era wahyu, yaitu kasus kedudukan perempuan , kasus bunga bank,
kasus kedudukan warga non muslim, dan kasus perbudakan. Menurut mantan menteri Agama RI tersebut, jawaban-jawaban para ulama terhadap keempat permasalahan kontemporer tidak cukup memuaskan, karena tampaknya mereka masih menggunakan perspektif lama dalam memahaminya. Dalam kasus kedudukan perempuan misalnya, berdasarkan pendekatan tekstual terhadap al-Qur’an Surah al-Nisa (4):34 dan 176 , al-Baqarah (2):228, al-Nur (24):4, dan al-Maidah (5):5 disimpulkan bahwa Islam menetapkan: a. Kaum laki-laki lebih tinggi tingkatannya dari kaum perempuan, karenanya
kepemimpinan
dalam
kehidupan
berkeluarga
dan
bermasyarakat di tangan kaum laki-laki. b. Kaum perempuan tidak diterima kesaksiannya dalam perkara-perkara pidana. Kesaksian mereka dalam perkara perdata diterima, tetapi Kesaksian dua perempuan sama bobotnya dengan kesaksian satu orang laki-laki. c. Dalam pembagian warisan, anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih banyak dari anak perempuan. d. Kaum
laki-laki
Islam
diperkenankan
kawin
dengan
perempuan-perempuan ahl al-Kitab (Yahudi dan Kristen), tetapi kaum perempuan Islam tidak diperbolehkan kawin dengan pria ahl al-Kitab. Keempat kesimpulan di atas menurut Sjadzali dalam banyak hal sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern pada saat ini, ketika masalah kesetaraan dan hak asasi manusia (human rights) menjadi global mainstream. Tentu saja tidak sepakat dengan kritik Sjadzali tersebut, tetapi setidaknya kritik
tersebut memberikan gairah baru bagi para ulama untuk menilik kembali formulasi hukum Islam yang ada selama ini. Karena bagaimanapun, hukum Islam itu bersumber dari wahyu Allah (al-Qur’an) yang suci, tetapi ia juga merupakan jawaban kontekstual para ulama terhadap berbagai permasalahan umat pada masanya. Bahkan al-Qur’an sendiri pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas. Menyadari keadaan tersebut, para pakar hukum Islam telah berusaha membuat kajian hukum Islam yang lebih komprehensif agar hukum Islam tetap eksis dan dapat dipergunakan untuk menyelesaikan segala masalah umat dalam era globalisasi saat ini. Dalam kaitan ini, prinsip yang harus dilaksanakan adalah prinsip maslahat yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan. Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip-prinsip yang dipegang para imam mazhab, khususnya aliran al-Ra’yu dan al-Hadis yang telah terbukti membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat. Tidak ada perselisihan di kalangan para ahli hukum Islam tentang masalah ini, bahkan mereka sepakat bahwa dalam pembaruan hukum Islam segala sesuatu yang ditetapkan hendaknya melahirkan kemaslahatan bagi manusia yang bersifat d}aruriya>t, h}ajiya>t dan tah}siniya>t. sehubungan dengan niat memberikan kemaslahatan kepada masyarakat, maka dalam pembaruan hukum itu hendaknya dilaksanakan kebijakan untuk membuat masyarakat lebih dekat dan gemar kepada kebijakan serta menjauhkan diri dari keburukan dan kerusakan.
Menurut Nourrouzzaman, di Indonesia orang pertama yang mengeluarkan gagasan agar dilakukan pembaruan hukum Islam atau fiqh agar hukum Islam sesuai kepribadian bangsa Indonesia adalah Hasbi ash-Shiddieqy. Untuk mewujudkan hal itu perlu dibuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Beliau mendirikan Lembaga Fiqh Islam Indonesia (LEFISI) yang berkedudukan di Yogyakarta. Lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi dalam kajian perubahan hukum Islam yang bercorak Indonesia. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfiq dan secara selektif memilih pendapat mana yang cocok dengan kondisi negara Indonesia. Di samping itu, perlu digalakkan metode komparasi, yaitu membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran serta didukung oleh dalil yang kuat. Kajian komparasi ini hendaknya dilakukan juga antara fiqh dengan hukum adat dan hukum positif Indonesia, juga dengan syari’at agama lain. Sehubungan dengan hal ini, seorang yang ingin melakukan kajian komparasi hendaknya mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai ilmu pengetahuan, mengetahui secara lengkap tentang berbagai masalah fiqh. Gagasan Hasbi ash-Shiddieqy tersebut mendapat sambutan positif dari berbagai pihak dari pembaru hukum Islam di Indonesia, baik secara perorangan maupun secara organisasi. Secara perorangan, di antaranya Hasan Bangil, Harun Nasution, Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Sjadzali, Bustanul Arifin dan lain-lain. Tokoh-tokoh pembaru hukum Islam ini telah banyak berjasa dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama dalam hal memasukkan
nilai-nilai hukum Islam ke dalam legalisasi nasional dan juga ide lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan untuk dipergunakan oleh umat Islam pada khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya. Di samping itu organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Jamiatul wasliyah, al-Irsyad, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) telah banyak memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pembaruan hukum Islam di Indonesia dan telah berusaha semaksimal mungkin agar hukum Islam dapat masuk ke dalam legalisasi hukum nasional. Hasil ijtihad ulama Indonesia, baik yang dilakukan secara perorangan maupun
organisasi
perundang-undangan
Islam, yang
telah
berlaku
melahirkan di
Indonesia.
beberapa Di
peraturan
antaranya
ialah;
Undang-undang RI. Nomor: 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo peraturan pemerintah RI. Nomor: 9 Tahun 1975; Undang-undang RI. Nomor: 7 tahun 1992 tentang Bank Indonesia jo Peraturan Pemerintah RI. Nomor: 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil; Undang-undang RI. Nomor: 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-undang RI. Nomor: 3 tahun 2006 jo UU RI No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan berdasarkan Inpres RI. Nomor: 1 tahun 1991 yang saat ini sedang digagas untuk ditingkatkan menjadi hukum terapan di kalangan Peradilan Agama. Meskipun dalam peraturan perundang-undangan tersebut telah memuat nilai-nilai baru hukum Islam sebagai hasil ijtihad kolektif para ahli hukum Islam
di Indonesia, tetapi nilai-nilai baru tersebut belum sepenuhnya terakomodasi dalam legilasi nasional, ditambah lagi banyak hal-hal baru yang timbul sebagai akibat lajunya pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus segera ditampung dan dicari solusi pemecahannya, maka peraturan perundang-undangan tersebut perlu disempurnakan dan diperbarui agar sesuai dengan kondisi zaman. Mengubah suatu peraturan hukum bukanlah suatu hal yang mudah, di samping prosedur yang harus dilakukan begitu panjang dan lama, juga harus berhadapan dengan politik negara yang kadang-kadang tidak begitu kondusif menyambut ide hukum Islam dalam tatanan nasional. Meskipun sebenarnya hal ini sudah dijamin oleh Undang-undang RI. Nomor: 35 tahun 2000 tentang Propernas, yang menyebutkan bahwa untuk membentuk hukum nasional, salah satu bahan bakunya adalah hukum agama dalam hal ini adalah hukum Islam. Oleh karena permasalahan hukum yang timbul belum ada pengaturan dalam fiqh, dan belum juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan negara Indonesia, maka terhadap kasus-kasus yang diajukan ke Pengadilan Agama, terpaksa Pengadilan Agama melaksanakan ijtihad. Alasan Pengadilan Agama melaksanakan ijtihad adalah pasal 22 AB dan pasal 14 Undang-undang RI. Nomor: 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-undang RI. Nomor: 4 tahun 2005 yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memutus dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalil bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Selain dari itu, pasal 229 Kompilasi Hukum Islam menekankan bahwa hakim dalam mengadili dan memutus suatu perkara wajib
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini juga dipertegas oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim : َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِهّللا َلْوُسَر َعِمَس ُهَّنَأ ِصًاَعْلا ُنْب وُرْمَع ْنَع اَف َمَكَح اَذِا َو ِناَرْج َا ُهَلَف َباَصَا َّمُث َدَهَتْج اَف ُمِكاَحلا َمَكَح اَذِا" َل اَق ٌرْج َا ُهَلَف ْأَطْخ َا َّمُث َدَهَتْج. Artinya; Dari ‘Umaru bin al-‘A<s} Sesungguhnya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda “bahwa apabila seorang hakim menyelesaikan suatu perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala, tetapi jika ia berijtihad dan kemudian ternyata ijtihadnya itu salah, maka baginya mendapat satu pahala”. Putusan lembaga Peradilan Agama sudah banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan pembaruan hukum Islam di Indonesia, terutama putusan yang didasarkan kepada ijtihad hakim. Jika para hakim tidak menemukan dalil dalam kitab-kitab fiqh terhadap suatu kasus yang sedang diperiksanya, biasanya para hakim mengambil dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika dalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan barulah para hakim melaksanakan ijtihad untuk menetapkan suatu hukum. Contoh ijtihad hakim dalam rangka pembaruan hukum Islam adalah putusan Peradilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751/P/1989 tanggal 20 April 1989 tentang perkawinan melalui telepon yang merupakan persoalan baru dalam hukum Islam yang timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 yang memperbaiki putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 83/Pdt/1997/PA.Yk, tanggal 4 Desember 1997 tentang penetapan ahli waris yang bukan Islam berdasarkan wasiat wajibah, ketentuan ini menyimpang dari dalil hukum Islam yang berlaku saat ini.
Dengan demikian hukum Islam bukanlah sistem yang ajeg dan hanya memiliki satu standar kebenaran yang berlaku sepanjang masa. Hukum Islam tumbuh dan berkembang melalui proses evolusi yang sangat panjang mulai tahun pertama kenabian hingga sekarang. Atau dengan kata lain apa yang dipahami dengan hukum Islam pada saat ini, sebenarnya merupakan pembakuan dan pemberlakuan yang sebelumnya telah mengalami proses kritik dan dinamika sosio-kultural tersendiri. Lebih jauh lagi apa yang dikatakan oleh Abdullahi Ahmed al-Na’im; pertama, hukum Islam itu bukanlah Islam itu sendiri, tetapi ia semata-mata hanya merupakan
hasil
interpretasi
para yuris
terhadap
sumber-sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an dan al-sunnah); kedua, apa yang dianggap sebagai hukum Islam merupakan produk pemahaman manusia tentang sumber-sumber Islam dalam konteks sejarah sejak abad ketujuh sampai kesembilan. Selama periode tersebut menurut an-Na’im, para ahli hukum Islam telah
menafsirkan
al-Qur’an
dan
sumber-sumber
lain
dalam
rangka
mengembangkan suatu sistem syari’at yang komprehensif dan koheren sebagai petunjuk bagi kaum muslim. Bila mengikuti cara pandang di atas, maka setidaknya kita bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai sebuah produk pemikiran hukum Islam disusun berdasarkan kondisi objektif saat itu. Kondisi objektif itu bisa meliputi kesamaan atau perbedaan sebab atau illat atau perbedaan budaya masyarakat. Kedua hal tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi dalam menentukan formulasi hukum Islam yang diharapkan. Seperti, apa yang telah dilakukan oleh
‘Umar Ibn al-Khattab tentang pembagian rampasan perang (ganimah). Dalam QS. al-‘Anfal (8):41 (#þqßJn=÷æ$#ur `ÏiB
&äóÓx«
ÉAqߧ=Ï9ur
$yJ¯Rr& ¨br'sù
Ï%Î!ur
4yJ»tGuø9$#ur ÇÆö/$#ur
¬!
NçGôJÏYxî ¼çm|¡çHè~
4n1öà)ø9$#
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
È@Î6¡¡9$#
bÎ)
óOçGYä.
NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqt Èb$s%öàÿø9$# tPöqt
s)tGø9$#
Èb$yèôJyfø9$#
3
ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« íÏs% Terjemahnya : Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dalam ayat tersebut di atas, bahwa ganimah atau rampasan perang itu setelah dikurangi seperlima untuk kegiatan keagamaan dan sosial seperti penyantunan anak-anak, fakir miskin, dan sebagainya, maka sisanya atau yang empat perlima dibagikan kepada mereka yang ikut berperang. Sebelum kekhalifahan ‘Umar, yang dibagi tidak hanya benda-benda bergerak, tetapi juga tidak bergerak, seperti ladang dan kebun pekarangan di wilayah yang baru ditaklukkan.
Namun, di bawah kepemimpinan ‘Umar, sewaktu tentara Islam berhasil menaklukkan Iraq, Suriah, dan Khurasan, dia tidak memperlakukan ketentuan dalam al-Qur’an itu. Dia menolak membagikan tanah-tanah di wilayah yang baru dikuasai itu kepada para pejuang yang ikut berperang. Dia membiarkan tanah-tanah itu tetap dikuasai oleh para pemilik aslinya, hanya kepada mereka dibebankan pembayaran pajak tanah dan jizyah sebagai imbalan dari kebebasan yang diberikan kepada mereka untuk tetap memeluk agama asli mereka. Pajak tanah dan jizyah itu dikumpulkan dan dikelola oleh bait al-ma>l atau perbendaharaan negara, yang kemudian dipergunakan untuk pembiayaan kegiatan kenegaraan dan pemerintahan. Kebijakan ‘Umar itu ditentang oleh banyak peserta perang, termasuk sejumlah sahabat senior seperti Bila>l Mu’adzin Rasul, ‘Abd al-Rahma>n ibn ‘Auf, dan Zubair ibn awam. Maka terjadilah perdebatan sengit selama tiga malam. Mereka menuduh ‘Umar telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tetapi ‘Umar tidak tergoyahkan dan tetap bertahan dengan kebijakannya. Pada suatu ketika, perdebatan telah sedemikian meruncing, sampai dengan nada iba ‘Umar bermohon kepada Allah: “ya Allah, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawannya”. Permohonan itu tentu bukan berarti ‘Umar putus asa, tetapi ia berharap Allah akan membukakan hati sahabat-sahabatnya itu untuk dapat menerima kebijakannya tersebut. Pada hari ketiga ‘Umar menemukan suatu ayat dalam al-Qur’an yang dapat memperkuat kebijakannya, yakni QS al-Hasyr (59):6 dan 7 !$tBur
uä!$sùr&
¾Ï&Î!qßu
ª!$#
öNåk÷]ÏB
4n?tã !$yJsù
óOçFøÿy_÷rr& Ïmøn=tã ô`ÏB 9@øyz wur
7U%x.Í
£`Å3»s9ur
©!$#
äÝÏk=|¡ç
¼ã&s#ßâ 4n?tã `tB âä!$t±o 4 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ÖÏs% ÇÏÈ !$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr&
3tà)ø9$#
¬Tsù
Ï%Î!ur
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur Èûøó$#ur
ÉAqߧ=Ï9ur
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
È@Î6¡¡9$#
ös1
w
tbqä3t
P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur
©!$#
(
¨bÎ)
©!$#
ßÏx© É>$s)Ïèø9$# . Terjemahnya : Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. Ayat tersebut dinyatakan bahwa kepada Rasul diberikan kebebasan untuk membagikan harta rampasan perang yang disebut fa’i kepada siapa pun, dan konon para penentang ‘Umar dapat diyakinkan. Tetapi dapat dikemukakan disini
bahwa fa’i tidak sama dengan ganimah. Ada kesan bahwa ayat 6 dan 7 Surat al-Hasyr itu dikemukakan oleh ‘Umar sebagai wahana menyelamatkan muka para penentangnya. Bila diikuti perbedaan di atas sekaligus memang ‘Umar telah melakukan kesalahan fatal dengan mengabaikan pesan tekstual al-Qur’an. Akan tetapi, apabila ditilik lebih jauh dengan menggunakan konsep mas}lahat mursalah dan maqa>s}id al-Syari’ah, maka apa yang dilakukan ‘Umar itu berkesesuaian dengan semangat (ruh) al-Qur’an secara keseluruhan yaitu agar “harta tidak berputar-putar pada orang-orang tertentu saja”.
Sehingga
dalam kasus ini ‘Umar sebenarnya bukan mengingkari nas}, tetapi beralih dari suatu mas}lahat yang terdapat pada nas} tertentu ke mas}lahat yang terkandung pada nas} yang lain. Dengan demikian, kategori mas}lahat yang dipakai dalam kasus benda rampasan itu masih berkisar pada nas}. Dengan tidak diberikannya tanah hasil rampasan perang kepada para pejuang dan kemudian hanya diambil pajaknya saja, ‘Umar dapat memberikan jaminan-jaminan sosial kepada para tentara yang tinggal di wilayah taklukan, sehingga mereka dapat dengan tenang menjalankan tugasnya. Kondisi ini pada akhirnya tentu saja berimbas langsung kepada jaminan keamanan yang diberikan tentara Islam kepada masyarakat yang diduduki (baik muslim maupun non muslim). Stabilitas keamanan yang ada dengan sendirinya turut membantu mendongkrak investasi ekonomi dan perdagangan di daerah setempat, yang secara langsung berpengaruh pula pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila ‘Umar tidak melakukan terobosan intelektual terhadap kasus harta rampasan itu, barangkali tentara Islam
yang ada di daerah-daerah ada sebagian yang kaya (karena ikut berperang), tetapi ada pula yang tidak memiliki apa-apa (karena kebetulan tidak ikut berperang). Kondisi ini tentu saja tidak diinginkan oleh ‘Umar karena akan melemahkan mental dan semangat juang para tentara Islam. Selain akan menimbulkan kecemburuan sosial yang susah disembuhkan. Jika ditelusuri literatur-literatur Islam terobosan intelektual ‘Umar bukan hanya pada kasus benda rampasan perang saja, tetapi terdapat pula pada kasus-kasus lain, di antaranya kasus pembagian zakat untuk orang yang baru masuk Islam (mu’allaf), kasus talak (t}alak), penjualan Umm al-Walad, hukuman bagi pencuri, hukuman bagi pelaku zina, ta’zir dan lain-lain. Akan tetapi, atas pertimbangan tertentu penulis tidak akan menguraikan satu persatu tentang bagaimana inovasi ‘Umar terhadap kasus-kasus tersebut. Cukuplah kiranya kasus harta rampasan di atas sebagai contoh ideal bahwa sejak tiga tahun sepeninggal Nabi saw., permasalahan hukum yang muncul sudah sedemikian komplek dan membutuhkan inovasi-inovasi baru untuk pemecahannya. Bila masa tiga tahun itu saja sudah bisa membuat ‘Umar berpikir untuk memberikan solusi-solusi rumusan hukum Islam yang lebih masuk akal dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, semestinya kondisi pada saat ini lebih membutuhkan langkah-langkah inovatif tersebut. Apabila menggunakan analogi, umat Islam sekarang (terutama para ulama) semestinya dapat melakukan langkah-langkah yang sama seperti yang telah dirintis oleh ‘Umar ibn Khaththab ra. Mereka dapat melakukan studi kritis terhadap formulasi-formulasi hukum Islam masa lalu. Bila ternyata kemudian
ditemukan formulasi-formulasi hukum Islam yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi yang ada, kita bisa saja melakukan ijtihad untuk merumuskan hukum Islam yang baru. Namun perlu dipahami, hasil ijtihad terkemudian bukan berarti otomatis menggantikan atau menghapus hasil ijtihad sebelumnya, tetapi semata-mata memberikan pilihan hukum yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Artinya, hukum Islam hasil ijtihad para ulama terdahulu masih tetap berlaku selama memang umat Islam membutuhkannya dan cocok dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Konsep seperti itulah yang semestinya digunakan dalam memahami realitas qawl qadi>m dan qawl jadi> al-Syafi’i. Sebagaimana diketahui al-Syafi’i adalah salah satu Imam mazhab yang memiliki dua pendapat yang berbeda terhadap satu persoalan, yang kemudian dikenal dengan istilah qawl qadi>m dan qawl jadi>d. Qawl jadid adalah pendapat al-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis ketika hijrah di Mesir hingga akhir hayatnya. Menurut sebagian ulama, sejak munculnya qawl jadi>d maka eksistensi hukum qawl qadi>m tidak berlaku berdasarkan doktrim hukum, bahwa hukum terkemudian menghapus hukum sebelumya. Menurut hemat penulis, kesimpulan tersebut pada kenyataannya menyalahi realitas sejarah yang sebenarnya. Sebab tidak pernah dijumpai informasi yang dapat dipercaya bahwa sejak difatwakannya qawl jadi>d al-Syafi’i kemudian serta merta mencabut qawl qadi>mnya. Dengan demikian, qawl qadi>m bisa saja masih tetap berlaku, tetapi untuk konteks tertentu di Iraq seperti juga qawl Jadi>d di Mesir.
Kasus qawl qadi>m dan qawl jadi>d al-Syafi’i di atas memberikan preseden dan penegasan bahwa hukum Islam itu tidak bersifat statis, tetapi sebaliknya sangat dinamis. Hukum Islam bisa saja mengalami proses pembaruan bila memang dibutuhkan, melalui apa yang disebut dengan ijtihad. Lebih jauh dari itu, pembaruan terhadap hukum Islam itu bukan semata-mata kebutuhan, tetapi menurut para ahli merupakan pengejawantahan dari pesan-pesan Tuhan sendiri. Dengan kata lain, sifat dinamis hukum Islam itu, menurut para ahli, memiliki akar yang sangat kuat dalam ajaran internal Islam sendiri dan memiliki landasan teologis dari al-Qur’an dan al-Sunnah melalui konsep naskh. Naskh adalah sebuah konsep pergeseran atau pembatalan (nasikh) terhadap hukum atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat yang diterima Nabi pada waktu-waktu sebelumnya (mansu>kh). Dalam Tafsir al-Jawa>hir karya Syaikh Thanthawi al-Jawhari, terdapat sebanyak 21 kasus naskh dalam al-Qur’an. Pendapat al-Jawhari itu tidaklah final karena hingga saat ini para ulama tidak pernah sepakat tentang berapa sebenarnya jumlah ayat yang mengalami proses naskh. Dasar hukum adanya naskh dalam al-Qur’an adalah Surat al-Baqarah (2):106 $tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR
9ös¿2
!$pk÷]ÏiB
÷rr&
!$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% Terjemahnya:
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Mengenai ayat di atas Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m berkomentar: “sesungguhnya menurut rasio tidak terdapat sesuatu yang menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah”. Ahmad Mustafa al-Mara>gi> mengatakan: “sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan zaman dan tempat. Maka apabila suatu hukum diundangkan pada waktu yang memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lain yang lebih sesuai dengan waktu terakhir.” Muhammad Rasyid Ridha> dalam Tafsi>r al-Mana>r mengatakan: “Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan zaman, tempat dan situasi. Kalau satu hukum diundangkan pada saat dibutuhkannya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan menggantikannya dengan hukum lain yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan itu”. Sayyid Quthb dalam Tafsi>r fi> Zila>l al-Qur’a>n berpendapat: “Ayat 106 dari Surat al-Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Nabi tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari Masjid al-Aqsa ke Masjid al-H{aram maupun perubahan-perubahan petunjuk hukum dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang”.
Penafsiran empat mufassir sebagaimana tersebut di atas telah meletakkan suatu prinsip bahwa perubahan hukum karena perubahan kondisi dan situasi itu dibenarkan oleh Islam, tidak saja hanya pada zaman Nabi, tetapi juga pada waktu sepeninggal beliau. Demikian juga halnya sunnah Nabi. Tidak jarang Nabi memberikan petunjuk yang berbeda dengan apa yang beliau pernah berikan. Suatu contoh yang populer, pada awal Islam Nabi melarang umatnya berkunjung ke kubur, karena khawatir kambuh penyakit memuja nenek moyang atau minta wasilah kepada kubur. Tetapi setelah mereka kuat keiamanannya, justru Nabi mengimbau agar umatnya berziarah kubur, sebab dengan demikian mereka akan mengingat bahwa cepat atau lambat mereka akan mati. Dari berbagai uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah pembaruan hukum Islam adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi apabila menginginkan ajaran Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan memberikan jawaban positif terhadap berbagai permasalahan umat yang menuntut penyelesaian segera. Ini sangat rasional dan tidak menyalahi ajaran Islam sendiri. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa dari 6236 (atau 6666 menurut satu versi) ayat dalam al-Qur’an, hanya kira-kira 500 ayat saja yang jelas-jelas berbicara masalah hukum.
Keterbatasan ayat hukum tersebut membuat para ulama melakukan ijtihad dalam rangka mengembangkan hukum Islam, agar hukum Islam mampu menjawab berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat akibat kemajuan yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
B. Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam Kompilasi berasal dari bahasa latin, yang direduksi dari perkataan compilare yang megandung pengertian mengumpulkan secara bersama-sama, misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar dan berserakan dimana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris dan compilatie dalam bahasa Belanda istilah ini kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi kompilasi yang berarti mengumpulkan bersama-sama, menghimpun menjadi satu kesatuan, kumpulan yang tersusun secara teratur, karangan yang disusun dari kutipan buku-buku lain. Jadi apabila ditinjau dari segi bahasa kompilasi adalah kumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai kitab / tulisan mengenai persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam satu buku tertentu, sehingga kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah. a. Pengertian Kompilasi Menurut Hukum Dari beberapa pengertian kompilasi menurut bahasa tersebut di atas, tampaklah bahwa kompilasi itu bukanlah selalu merupakan suatu produk hukum sebagaimana halnya dengan sebuah kodifikasi. Dalam pengertian hukum maka pengertian kompilasi tidak lain adalah sebuah buku hukum atau kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum. b. Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Apabila dilihat dari segi rencana penyusunan Kompilasi hukum Islam adalah untuk menghimpun bahan-bahan (materi) hukum bagi para hakim dilingkungan peradilan Agama, berupa bahan-bahan yang diambil dari berbagai kitab yang bisa digunakan sebagai sumber pengambilan dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh para hakim agama dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan itu, maka dapat dikemukakan bahwa dengan Kompilasi Hukum Islam dalam pengertian hukum Islam adalah rangkuman berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab, yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa digunakan sebagai referensi pengadilan agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut ini yang dinamakan kompilasi. Materi yang tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa dengan perundang-undangan (yaitu berupa bab dan pasal-pasal tertentu). Bahan itu kemudian ditetapkan berlakunya melalui sebuah keputusan penguasa (presiden) yang merupakan hasil kesepakatan para ulama, untuk selanjutnya dapat dipergunakan oleh para hakim pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan serta menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya, Kompilasi hukum Islam menjadi pedoman bagi mereka.
2. Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Secara historis, hukum Islam masuk di Indonesia sama-sama dengan masuknya Islam itu sendiri (living law). Meskipun demikian, dalam sejarah
hukum Islam, yang bagi umat Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan beragama itu sendiri, walaupun telah mengalami berbagai kendala dan hambatan dalam penyebaran dan pemberlakuan yang pada akhirnya tertuang di dalam perundang-undangan. Dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia, hukum Islam memperoleh tempat sebagai salah satu unsurnya. Dengan demikian, secara berangsur-angsur materi hukum Islam merupakan bagian integral dalam hukum nasional. Hal ini dapat dilihat lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengandung hukum Islam. Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang wakaf Tanah Milik sepenuhnya dari hukum Islam. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan yang sangat menggembirakan adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materil yang tentunya memperkukuh berlakunya hukum Islam. Apabila dicermati perkembangan pembangunan hukum di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam, cukuplah menggembirakan lahirnya Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu respon positif dari komunitas bangsa Indonesia yang sebagian besar adalah mayoritas muslim, dalam rangka menata dan membenahi sekaligus mengaktualisasikan keberadaan hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Untuk mengetahui latar belakang munculnya Kompilasi Hukum Islam secara umum, maka tidaklah mudah diungkapkan secara menyeluruh. Sebab lahirnya Kompilasi Hukum Islam sangat terkait dengan berbagai macam kebijakan dan pertimbangan yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Namun demikian
sebagai langkah awal dapat diperhatikan dan dilacak pada konsideran keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Tanggal 21 Maret 1985 Nomor 07/KMA/1985 dan No 25 tahun 1985 tentang penunjukkan pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi atau lebih dikenal sebagai proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka dari sini dapat dikemukakan dua pertimbangan mengapa proyek ini diadakan yaitu : a. Bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya lingkungan Peradilan Agama, maka perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang selama ini menjadi hukum positif di Pengadilan Agama. b. Bahwa guna mencapai maksud tersebut demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas, sinkronisasi
dan tertib administrasi
dalam proyek
pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, maka dipandang perlu membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia. Apabila diteliti dari dua Konsideran tersebut di atas, nampaknya belumlah cukup untuk memberikan jawaban yang tegas mengenai keharusan membentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI), menurut Abdurahman, apabila diteliti lebih jauh tentang pembentukan KHI maka mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kondisi hukum Islam di Indonesia selama ini. Dalam beberapa literatur tentang latar belakang munculnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia paling tidak ada dua hal yang ditinjau, yaitu penelaahan latar belakang secara umum dan secara khusus. Hal ini perlu dilakukan sebagai
langkah untuk mengetahui secara historis keberadaan hukum Islam sampai lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 1. Latar Belakang Secara Umum Mengetahui latar belakang peninjauan Kompilasi Hukum Islam secara umum dapat penulis uraikan secara gamblang. Adapun latar belakang secara umum dapat ditinjau sebagai berikut: a). Keadaan Hukum Islam di Indonesia secara umum selama ini Term hukum Islam telah berkembang di Indonesia selama ini, memerlukan penjelasan mengingat belum adanya pengertian yang disepakati tentang hukum Islam selama ini, sehingga muncul berbagai anggapan tentang hukum Islam itu sendiri karena masing-masing pakar melihat hukum Islam dari sudut yang berbeda-beda. Dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa pandangan para pakar hukum Islam di Indonesia, Muhammad Daud Ali misalnya memahami pengertian hukum Islam di Indonesia dari sudut pandang kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia. Sedangkan Ichtijanto memahami hukum Islam dari sudut pandang hukum Islam di Indonesia adalah hukum yang diperpegangi atau ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia yang telah hidup dalam masyarakat dan merupakan bagian dari ajaran keyakinan Islam yang ada dalam kehidupan nasional dan merupakan bahan dalam pembinaan hukum dan pengembangannya. Sehingga dalam kondisi yang demikian, dibutuhkan persepi yang menyatu mengenai keberadaan hukum Islam di Indonesia. Munculnya Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu bentuk upaya untuk menyatukan persepsi yang
berbeda selama ini di tengah masyarakat tentang hukum Islam, sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara para pakar hukum dalam memaknainya, dan terlebih khusus lagi bagi masyarakat muslim sebagai konsumen hukum. b). Keberadaan hukum Islam di Indonesia maupun di dunia Islam lain pada umumnya, sampai saat ini merupakan fiqh hasil penafsiran pada abad kedua dan beberapa abad berikutnya, kitab-kitab fiqh klasik masih tetap mendominasi dan berfungsi memberikan informasi tentang hukum, baik di sekolah-sekolah menengah agama maupun perguruan tinggi, kajian pada umumnya banyak dipusatkan pada masalah-masalah ibadat, dan al-akhwa>l syakhsiyah, kajiannya tidak terlalu banyak diarahkan pada fiqih muamalah, seperti halnya masalah perekonomian dalam Islam. Sehingga apabila hukum Islam dihadapkan dengan masalah kontemporer sekarang ini, kelihatannya sangat kaku. Hal ini disebabkan materi-materi yang termasuk dalam buku-buku fiqh tidak atau belum sempat disistimatisasikan, sehingga ia dapat disesuaikan dengan kondisi sekarang ini. Problem yang muncul sekarang ini bukan saja perubahan sosial tetapi juga peningkatan kebutuhan masyarakat dalam berbagai bentuknya. Banyaknya masalah baru yang muncul, yang belum ada pada masa Rasulullah dan di masa terbentuknya mazhab-mazhab, sehingga berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dikemukakan.
Di
satu
sisi
kehendak
berpegang
pada
tradisi
dan
penafsiran-penafsiran ulama mujtahid terdahulu, di lain pihak ada yang menawarkan, bahwa apabila perpegangan erat saja pada penafsiran-penafsiran lama tidak cukup dalam menghadapi perubahan sosial di abad kemajuan ini. Oleh karena itu penafisaran-penafsiran hendaklah diperbaharui untuk disesuaikan dengan
kondisi yang dihadapi pada masa kekinian, untuk itu ijtihad sangat perlu untuk di hidupkan kembali untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks. Kondisi seperti ini diperlukan Kompilasi hukum Islam sebagai wujud penafsiran baru atau fiqh baru ala Indonesia. Pelaksanaan hukum dapat berjalan dengan baik apabila, sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu hakim dipengadilan dalam menyelesaikan perkara yang dihadapi harus memperhatikan dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tentang hal ini Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman pasal 27 ayat 1 menyatakan “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Kuatnya tradisi pemikiran fiqh di dunia muslim, sesungguhnya bukan hal mengada-ada. Hal ini didasarkan, paling tidak, pada kenyataan bahwa esensi masyarakat Islam terletak pada kesadaran akan pentingnya perilaku hidup berdasarkan ajaran wahyu. Artinya keberagamaan seseorang baru bermakna jika ajaran agama itu termanifestasikan dalam perilaku hidup sehari-hari. Kebutuhan terhadap legislatif pengaturan masyarakat. Di sisi lain juga telah meniscayakan pertumbuhan tradisi pemikiran fiqh secara lebih intensif. Inilah sebabnya mengapa umat Islam selalu berusaha menformulasikan ajaran wahyu itu ke dalam bentuk-bentuk ketentuan-ketentuan formal sebagai aturan hidup. Hal inilah yang kemudian hari melahirkan kelompok masyarakat yang dikenal sebagai ahli hukum atau fuqaha.
c). Penerapan hukum Islam hendaknya disesuaikan dengan penyesuaian pada budaya dan kultur Indonesia. Karena kadang-kadang hasil ijtihad yang diterapkan di negara-negara Islam lainnya seperti halnya dalam bidang jual beli, sewa menyewa, warisan, wakaf dan hibah, demikian pula penerapan hukum Islam melalui yurisprudensi di Pengadilan Agama. Pada Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan telah banyak hukum Islam menjadi hukum positif sekaligus menjadi kompetensi Pengadilan Agama, sedangkan di Jawa dan Madura masih sebagian kecil hukum Islam yang menjadi hukum positif. d). Bahwa sumber yang dipergunakan oleh para hakim Peradilan Agama dalam penerapan hukum adalah hukum Islam ala mazhab Syafi’i, walaupun tidak selalu demikian, dalam prakteknya baik sebelum tahun 1976 maupun sesudahnya, hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan apa yang tidak selalu berpegangan kepada referensi aliran Syafi’iyah. Pengadilan Agama dalam menetapkan putusan tentang harta bersama/gono gini, harta syarikat, yang hal ini tidak dikenal dalam referensi kitab Syafi’iyyah, dalam hal ini Pengadilan Agama banyak mengutip langsung ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an. Di Indonesia kecenderungan seperti ini tampak begitu kental. Selain tergantung kepada kitab-kitab fiqh klasik, pola pikir masyarakat pun sangat khas fiqh. Klaim-klaim terhadap kaum santri yang berpikiran “fiqh Oriented” secara apik mengilustrasikan fenomena tersebut, demikian pula terminologi dan dominasi ulama yang berkembang lebih identik sebagai ulama fiqh. Puncaknya dapat dilihat ketika sejumlah (13) kitab fiqh Syafi’iyyah direkomendasikan sebagai referensi hukum dalam Pengadilan Agama. Semua itu menunjukkan bahwa
pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia terkonsentrasi pada tradisi pemikiran fiqh klasik. Menurut Munawir Sjadzali, bahwa ini berakibat jika hakim agama menghadapi kasus yang diadili maka rujukannya adalah buku fiqh tanpa standarisasi atau keseragaman. Akibat lanjutnya, secara praktis, kasus yang sama dapat lahir keputusan yang berbeda jika ditangani oleh hakim yang berbeda. Dari sudut teori hukum, ini berarti produk-produk Peradilan Agama bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. Hal ini akan menumbuhkan sikap sinis masyarakat, baik terhadap Pengadilan Agama maupun terhadap para hakimnya, dan hukum Islam yang dipergunakan sebab biasanya dalam setiap masalah selalu ditemukan lebih dari satu pendapat, qaul. Dalam kondisi hukum yang demikian, maka dibutuhkan Kompilasi Hukum Islam untuk menyatukan pendapat mazhab. Mazhab tersebut dalam satu mazhab yang pada akhirnya melahirkan mazhab ala Indonesia atau dikenal fiqh Indonesia. Dengan terbentuknya Kompilasi Hukum Islam, maka harapan masyarakat untuk mendapatkan kepastian dan keadilan akan terwujud, karena rujukan para hakim Pengadilan Agama telah berpedoman pada satu kitab fiqh, yakni Kompilasi Hukum Islam ala Indonesia yang telah menjadi ijma oleh para ulama dan umara di Indonesia. e). Munculnya kecenderungan umat Islam pada dekade akhir-akhir ini untuk menjadikan pemerintah sebagai “maz\hab” untuk melegalformalkan penerapan hukum Islam lewat perundang-undangan Indonesia. Walaupun jumlahnya masih kecil, namun telah berkembang dengan penerapannya untuk menjawab tantangan
dan kebutuhan masyarakat untuk menuju tujuan hukum Islam seperti dalam hal monogami, masalah batas umur kebolehan kawin, masalah harta bersama, masalah nadzir dan saksi pada perwakafan tanah milik dan masalah ikrar perwakafan harus tertulis. Penerapan hukum Islam di Indonesia baik yang penerapannya dalam kehidupan masyarakat, dalam Pengadilan Agama menurut Rahmat Djatnika mengandung masalah ijtiha>diyah yang harus diselesaikan dengan ijtiha>d (ulama Indonesia) tentunya dengan menggunakan metode-metode ijtihad, seperti istih}sa>n, istis}lah, al-‘urf, dan lain metode-metode istidlal dengan bertujuan terwujudnya kemaslahatan umat. Manakala ada pihak yang sependapat dengan hasil ijtihad tersebut sedangkan hakim memutuskan dengan ketentuan yang tersebut dalam perundang-undangan, maka ijtihad para hakim tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang lain. 2. Latar Belakang secara khusus Untuk mengungkapkan latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam secara khusus, dapat ditelusuri dari pernyataan-pernyataan yang bersumber dari para tokoh yang banyak terlibat langsung dalam proses penyususunan Kompilasi Hukum Islam, karena data yang dikemukakan oleh mereka sangat terkait langsung denga latar belakang dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam. Adapun beberapa tokoh sentral yang banyak terlibat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam antara lain; KH. Hasan Basri, Bustanul Arifin, Masrani Basran dan M. Yahya Harahap. Keberadaan KH. Hasan Basri adalah sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia yang banyak terlibat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam,
sedangkan tiga tokoh lainnya adalah para hakim Agung yang banyak memberikan kontribusi dan sekaligus sebagai motor penggerak dari pelaksanaan proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Dari pendapat mereka ini, terdapat perbedaan-perberdaan antara satu dengan yang lainnya, tetapi bukanlah merupakan pertentangan, karena perbedaan sudut pandang, maka keterangan-keterangan dimaksud tidak terlepas dari berbagai keterangan umum tentang hukum Islam di Indonesia sekarang sebagaimana dikemukakan di atas. Adapun yang melatarbelakangi lahirnya Kompilasi Hukum Islam secara khusus, penulis akan mengemukakan beberapa pandangan dan argumen yang dipaparkan oleh para tokoh yang terlibat langsung dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam, yang dijadikan sandarannya sebagai berikut : a). Terjadinya kesimpangsiuran keputusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah hukum Islam di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh KH. Hasan Basri dalam suatu tulisannya mengenai urgensi dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam, beliau mengungkapkan bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan keberhasilan besar umat Islam di Indonesia pada masa Orde Baru ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama, demikian juga sebab-sebab ikhtilaf yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh masalah fiqh akan dapat diakhiri.
Lebih jauh Bustanul Arifin menyatakan bahwa di Indonesia karena belum adanya Kompilasi Hukum Islam dalam paratiknya sering kali terjadi keputusan peradilan Agama yang saling berbeda/tidak seragam, pada hal kasusnya sama. Bahkan dapat dijadikan alat praktek untuk menjatuhkan yang dianggap tidak sepaham. Juga beliau mengatakan bahwa fiqh yang semestinya membawa rahmat bagi manusia, malah menjadi perpecahan. Dengan demikian menurut pendapat beliau adalah karena umat Islam salah paham dalam mendudukan fiqh dan belum adanya Kompilasi Hukum Islam. Sebab rancangan buku hukum Kompilasi Hukum Islam tersebut bukan hanya sekedar reaktualisasi hukum Islam melainkan dapat disebut sebagai reformulasi hukum Islam. b). Adanya urgensi kepastian hukum bagi pencari keadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Kehadiran Undang-undang Peradilan Agama menegaskan kembali keberadaan dan kompetensi absolut Peradilan Agama. Pasal 2 misalnya menyatakan bahwa “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini”. Tentang kompetensi absolut Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 undang-undang Nomor 7 tahun 1989 menjelaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wakaf, sedekah, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Ketentuan pasal 49 tersebut nampaknya bersifat global sekali, untuk itu diperlukan adanya unifikasi dan kodifakasi hukum yang memadai, agar tujuannya sangat jelas yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat muslim. Dalam hal ini, Bustanul Arifin mengemukakan bahwa munculnya persoalan tentang adanya masalah hukum Islam yang diterapkan oleh pengadilan Agama. Dikatakannya bahwa hukum Islam (fiqh) tersebar dalam sejumlah besar kitab yang disusun oleh para fuqaha beberapa abad yang lalu, biasanya, bahwa dalam setiap masalah selalu ditemukan lebih dari satu pendapat (qaul). Sehingga wajar jika ada orang yang bertanya “hukum Islam yang mana”? bagi pribadi-pribadi atau kelompok tertentu mungkin jelas, mengingat masing-masing telah menganut paham tertentu. Hal ini menurut pendapatnya adalah salah satu kenyataan yang tidak bermaksud mengingkari bahwa perbedaan pendapatnya adalah rahmat, akan tetapi yang ditekan disini adalah bahwa untuk diberlakukan di Pengadilan, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, sehingga tercipta kepastian hukum. Masalah yang tidak kalah pentingnya lagi menurut Bustanul Arifin bahwa dalam keputusan Pengadilan Agama menggunakan kitab-kitab fiqih, hal ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang berpekara mengenai kekalahan kemudian mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang memang tidak menguntungkan itu, seraya menunjuk kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan di antara 13 kitab fiqh, yang menjadi pegangan itu telah jarang menjadi rujukan dan sering pula
terjadi pada para hakim berselisih pendapat sesama mereka tentang pemilihan kitab rujukan. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa kitab fiqh yang dipergunakan sekarang, telah ada sebelum lahirnya paham kebangsaan, di mana praktek kenegaraan Islam masih memakai konsep umat. Hal ini sangat berbeda dengan paham kebangsaan, konsep umat menyatukan berbagai kelompok masyarakat dengan ikatan agama, sedangkan paham kebangasaan baru lahir sesudah perang dunia pertama, dan kemudian negara Islam menganutnya, termasuk negara-negara dunia Arab. Dengan demikian kita tidak lagi bisa memakai sejumlah produk dan peristilahan yang dihasilkan sebelum lahirnya paham kebangsaan tersebut. Untuk menghadapi kondisi yang demikian, maka dibutuhkan adanya Kompilasi Hukum Islam sebagai langkah untuk menyatukan misi dan persepsi menuju kebangsaan yang berkeadilan. Dengan melihat situasi hukum Islam seperti yang digambarkan di atas inilah, sehingga menurut Bustanul Arifin mendorong untuk diadakannya Proyek Penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pengambilan keputusan sekaligus dapat memberikan kepastian hukum pada pihak yang ingin menyelesaikan perkara/sengketanya. c). Munculnya Persepsi yang belum seragam tentang penggunaan istilah antara, syariah, Din dan fiqh, terutama pada abad kemunduran yang dialami oleh dunia Islam yang melanda hampir disegala segi kehidupan, termasuk di dalamnya bidang hukum.
Hal ini diakui oleh Masrani Basran yang mengemukakan bahwa lahirnya KHI lebih disebabkan oleh beberapa hal antara lain: pertama, adanya ketidak jelasan persepsi tentang syariah dan fiqh, kekacauan persepsi tentang kedua istilah ini berlangsung lama dikalangan umat Islam. Mereka kadang kala menyamakan syariat Islam dan fiqh, bahkan ada kalanya dianggap sama pula dengan al-din, maka terjadinya kekacauan pengertian dikalangan umat Islam, dan kekacauan pengertian ini berkembang pula bagi orang di luar Islam. Akibat terjadinya polemik orang Islam karena tidak seragamnya mengenai pengertian syariah ini akan menyebabkan munculnya hal berikut ini: 1). Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam. 2). Ketidak jelasan bagaimana melaksanakan syariat Islam itu. 3). Akibatnya yang lebih jauh lagi adalah kita tidak mampu mempergunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya. Masalah ini perlu diperhatikan agar persepsi tentang syariat harus diseragamkan agar tidak terjadi kerancuan pemahaman, langkah yang harus diambil adalah mengembalikan pada awal seperti yang dialami sebelum terjadinya kemunduran berpikir, dan sebelum kaum penjajah menjajah dan menguasai bidang kehidupan umat Islam. Karena sangat sulit untuk melakukan pembangunan bangsa yang kokoh dan kuat apabila persepsi yang keliru tentang syariat Islam tetap menyelimuti pemikiran umat Islam.
Kondisi pemahaman yang beragam tentang syariah yang dialami umat Islam ini, maka perlu dilakukan proyek yurisprudensi Islam yang mencakup ruang lingkup Kompilasi Hukum Islam. d). Munculnya kecenderungan para hakim Pengadilan Agama menjadikan kitab fiqh sebagai “kitab hukum” (perundang-undangan). Menurut M. Yahya Harahap bahwa Kecenderungan para hakim Pengadilan Agama yang bergantung pada kitab-kitab klasik, dan pola pikir masyarakat yang mencerminkan kekhasan fiqh, merupakan satu problema yang perlu mendapatkan perhatian dan harus diluruskan. Karena pandangan yang menganggap bahwa pemikiran fiqh merupakan harga mati dan dilihat identik sebagai aturan Tuhan merupakan suatu hal yang sangat keliru dan salah. Oleh karena itu atas kekeliruan inilah perlu dilakukan penegasan hukum. Dikatakannya bahwa hukum Islam yang diterapkan dan ditegakkan, seolah-olah bukan lagi berdasarkan hukum, akan tetapi sudah menjurus ke arah penerapan hukum menurut buku/kitab pertimbangan dan putusan yang dijatuhkan berdasarkan kitab. Praktik penerapan hukum seperti ini bertentangan dengan asas yang mengajarkan, putusan pengadilan harus berdasarkan hukum. Oleh karena itu orang yang tidak boleh diadili berdasarkan buku atau pendapat ahli atau ulama manapun. Kecenderungan mengutamakan fatwa atau penafsiran syarah ulama dalam menemukan hukum menyebabkan kitab-kitab fiqh telah berubah fungsinya, yang semula kitab fiqh merupakan literatur pengkajian ilmu hukum para Hakim Peradilan Agama telah dijadikan “kitab hukum”. Padahal situasi hukum Islam di Indonesia tidak berbeda dengan negara lain, yaitu tetap tinggal dalam “kitab
kuning”. Kitab ini merupakan kitab karangan dan bahasan para sarjana hukum Islam, sehingga sebagiannya adalah karangan dan hasil pemikiran (ijtihad) seorang, maka dengan sendirinya setiap kitab kuning diwarnai oleh pendapat dan pendirian masing-masing pengarangnya untuk dasar pemberian fatwa-fatwa sangat tergantung sungguh pada kemampuan yang dimilikinya serta situasi yang menyelimutinya. Hal ini sangat berbeda dengan hakim agama yang mempunyai otoritas menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Demikian pula hakim harus mampu menentukan hukum yang adil dalam suatu perkara yang dihadapinya serta mencari cara pemecahannya, dan apabila tidak mampu mengatasinya, maka akan dapat merusak rasa keadilan dari pihak yang berperkara yang diminta penyelesaiannya. Sebagai ilustrasi dari kecenderungan tersebut M. Yahya Harahap mengemukakan suatu kasus, misalnya di Pengadilan Agama. Pertimbangan dan putusan hakim, mengambil dan menemukan hukum yang diterapkan dari kitab ulama Bagdad, kemudian pada tingkat banding, pengadilan Tinggi Agama mengambil hukum yang diterapkan dari buku/kitab ulama Kairo, sehingga putusan ini menimbulkan pertanyaan apakah tepat atau adilkah penerapan hukum seperti itu? Tentu saja jawabnya bisa bermacam-macam. Apabila kebetulan terhadap anda dipergunakan fatwa atau sarahan kitab ulama Bagdad, dengan penerapan itu anda menang dalam sengketa, barangkali anda akan merasa diperkosa atas putusan yang didasarkan pada kitab ulama Bagdad tadi. Hal ini disebabkan sekiranya kitab ulama Kairo yang diterapkan hakim, pihak lawan itupun akan menjerit-jerit sambil
menuntut agar kitab ulama Kairo yang tepat dan adil, atau barangkali pihak lawan menuntut kitab ulama Hijazlah yang paling tepat dan adil untuk diterapkan dalam perkara yang sedang diperiksa. Penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim seperti ilustrasi di atas akan mengakibatkan tindakan semena-mena para hakim dan juga menimbulkan citra yang buruk terhadap putusan Peradilan Agama, sehingga praktek penerapan hukum yang semata-mata berdasarkan penemuan dan pengambilan hukum dari sumber kitab-kitab, benar-benar tidak dapat diperhatikan. Karena praktek penerapan hukum demikian tentu akan menjurus ke arah penegakan hukum menurut persepsi hakim. Kebebasan hakim yang demikian sangat menyimpang dari kerangka kebebasan yang bertanggung jawab menurut hukum dan lari mendekati pada kebebasan yang tak terkendali pada hakekatnya kebebasan para hakim mengadili suatu perkara tidak lain daripada kebebasan yang tunduk pada hukum. Dalam kebebasan melaksanakan fungsi ketaatan kepada hukum tadi hakim tidak tunduk kepada pengaruh siapapun. Jadi makna kebebasan para hakim melaksanakan fungsi Peradilan bukan merupakan kebebasan menerapkan hukum sesuka hati dari sumber yang bersifat pengkajian ilmiah yang tertulis dari berbagai kitab. Kejadian tersebut di atas dapat mengundang pertanyaan, mengapa hal itu terjadi ? dalam hal ini, Yahya Harahap menjelaskan jawabnya yaitu mungkin belum adanya hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai landasan rujukan yang mutlak. Atau hukum Islam yang ada di Indonesia pada umumnya masih merupakan abstraksi hukum, dan umat Islam belum memiliki wujud hukum Islam secara konkrit positif. Karena yang kita miliki baru berupa “abstraksi” hukum
yang substansinya terdapat dalam al-Quran dalam bentuk “wahyu”, substansi hukum yang abstarak tadi, memang ada yang di susun dalam kitab-kitab fiqh para mujtahid, sesuai dengan ra’yu dan suasana waktu serta lingkungan tempat kitab itu ditulis, walaupun itu banyak tulisan dan kitab para Mujtahid atau imam mazhab yang tersebar di Indonesia, sama sekali kuantitas itu tidak akan mengurangi arti hipotesis abstraksi yang dikemukakan. Sampai pada saat sekarang ini masih banyaknya masyarakat Indonesia yang masih mereka-reka wujud dan bentuk hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan bidang muamalah, dan juga yang berkenaan langsung dengan perkawinan, kekeluargaan, hibah, wakaf, warisan dan shadaqah. Dalam kondisi yang demikian, maka dipandang perlu untuk dilakukan penyusunan Kompilasi Hukum Islam sebagai suatu kitab hukum yang mampu menjawab problema yang dihadapi masyarakat baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam dapat membantu para penegak hukum dalam memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya putusan yang dihasilkan dapat menyentuh rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Demikian beberapa di antara pandangan yang dikemukakan para pakar yang menyangkut hal-hal yang melatarbelakangi diadakannya proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, yang permasalahannya bertumpu pada pelaksanaan hukum Islam dilingkungan Peradilan Agama. Mungkin masih ada banyak lagi permasalahan yang dapat disebut sebagai tambahan di atas untuk
sementara dapat ditunjuk sebagai latar belakang pembentukan Kompilasi Hukum Islam. 3. Proses dan Prosedur Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam di awali dengan penunjukan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan itu, dalam surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI. dan Menteri Agama Republik Indonesia No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985. Di dalam SKB tersebut ditunjuk pimpinan umum proyek yang di ketuai oleh Prof. H. Bustanul Arifin, SH. (Ketua Muda Mahkamah Agung RI. Urusan Lingkungan Peradilan Agama) yang dibantu oleh dua orang wakil pimpinan umum, yaitu H.R. Djoko Soegianto, SH. (Ketua Muda Mahkamah Agung RI. Urusan Lingkungan Peradilan Umum Bidang Hukum Perdata tidak tertulis), dan H. Zaini Dahlan, M.A. (Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.). Kemudian pelaksanaan proyek ini diketuai oleh H. Masrani Basran, SH. (Hakim Agung Mahkamah Agung RI.), dan wakil Ketua H. Muchtar Zarkasyi, SH., (Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI.), sekretaris dijabat oleh Ny. Lies sugondo, SH., (Direktur Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI.), wakilnya Drs. Mafruddin Kosasih (Pejabat Departemen Agama RI.) dan Bendahara Alex Marbun (Pejabat Mahkamah Agung RI.), serta Drs. Kadi S (Pejabat Departemen Agama RI.). Adapun pelaksana bidang sebagai berikut:
a. Bidang Kita/Yurisprudensi : (1) Prof. KH.Hosen LML (Majelis Ulama Indonesia) (2) Prof. HMD. Kholid, SH. (Hakim Agung) (3) HA. Wasit Aulawi (Pejabat Departemen Agama RI.). b. Bidang Wawancara : (1) M. Yahya Harahab, SH. (Hakim Agung Mahkamah Agung RI.) (2) Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH. (Pejabat Departemen Agama RI.) c. Bidang Pengumpul dan Pengolah Data : (1) H. Amiroeddin Noer, SH. (Hakim Agung Mahkamah Agung RI.) (2) Drs. Muhaimin Nur, SH. (Pejabat Departemen Agama RI.). Berdasarkan Surat Keputusan Bersama tersebut, telah ditentukan tentang tugas pokok proyek, yakni untuk melaksanakan usaha pembangunan hukum melalui yurisprudensi dengan jalan mengadakan Kompilasi Hukum Islam. Adapubn sasarannya adalah untuk mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju Hukum Nasional. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Pengkajian kitab-kitab fiqh b. Wawancara dengan para ulama c. Yurisprudensi pengadilan Agama d. Studi perbandingan hukum dengan negara lain e. Pengolahan data hasil penelitian f. Lokakarya/Seminar materi hukum untuk pengadilan Agama.
Bidang garapan usaha ini adalah bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan, hibah, sedekah dan lain-lain yang menjadi kompetensi Peradilan Agama. Secara teknik proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam ini dilakukan secara bertahap. Adapun tahapan proses penyusunannya adalah sebagai berikut : a. Tahap I : Tahap Persiapan b. Tahap II : Tahap pengumpulan data melalui jalur ulama, kita-kitab fiqh, yurisprudensi Peradilan Agama dan studi perbandingan dinegara-negara Timur Tengah. c. Tahap III : Tahap penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Islam dari data yang terkumpul. d. Tahap IV : Tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-masukan akhir dari para ulama/cendekiawan muslim seluruh Indonesia yang ditunjuk melalui lokakarya. Untuk lebih memperjelas kronologis pelaksanaan proyek Kompilasi Hukum Islam melalui jalur tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Pengkajian kitab-kitab fiqh Pengkajian kitab-kitab fiqh sebanyak 160 masalah di bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan, wasiat, hibah, dan sedekah. Terdapat 38 (tiga puluh delapan) kitab fiqh yang dikaji oleh tujuh IAIN yang ditunjuk untuk mengkaji dan diminta pendapat, beserta argumentasi dan dalil-dalil
hukumnya. Kajian kitab ini berlangsung selama 3 (tiga) bulan mulai dari tanggal 7 Maret sampai tanggal 21 Juni 1985. Adapun rincian pelaksanaan pengkajian masing-masing IAIN adalah sebagai berikut : a) IAIN Arraniri Banda Aceh 6 kitab, yaitu (1) al-Bajuri (2) Fathul Mu’in (3) syarqawi ‘ala> Tahri>r (4) Mugni Muhtaj (5) Niha>yah al-Muhta>j (6) As-Syarqawi b) IAIN Syarif Hidayatullah 6 kitab, yaitu (1) I’anatut Ta>libi>n (2) Tuhfah (3) Targib al-Musytaq (4) Bulgat al-Salik (5) Syamsuri fil Fara>id (6) Al-Mudawwanah. c) IAIN Antasari 6 kitab, yaitu (1) Qalyubi/Mahlli (2) Fathul Wahab dan Syarahnya (3) Bidayah al-Mujtahid (4) Al-Umm (5) Bugyatul Musytarsyidi>n(6) aqidah wa Syari’ah d) IAIN Suna Kalijaga 5 kitab, yaitu (1) Al-Muhalla (2) Al-Wajiz (3) Fathul Qadi>r (4) al-Fiq ala> Mazhabil Arba’ah (5) Fiqh Sunnah e) IAIN Sunan Ampel Surabaya, yaitu 5 Kitab, yaitu (1) Kasyfal Qina> (2) Majmu’atau Fata>wi> Ibn Taimiyah (3) Qawa>ni>n Syari’ah li Sayyid Usman bin Yahya (4) al-Mugni (5) Al-Hidayah Syarah Bidayah al-Mubtadi f) IAIN Alauddin Ujung Pandang 5 kitab, yaitu (1) Qawa>ni>n Syar’iyah li Sayyid Sudaqah Dahlan (2) Nawab al-Jalil (3) Syarah Ibn Abidi>n (4) Al-Muwat}t}a (5) Hasyiah Syamsuddin Moh. Irfat Dasuki
g) IAIN Imam Bonjol Padang 5 kitab, yaitu (1) Bada’i al-Sanai (2) Tabyin al-Haqa>iq (3) Al-Fatawi> al-Hindiyah (4) Fat} al-Kadi>r (5) Niha>yah. Selain pengkajian kitab tersebut, untuk kepentingan perbendaharaan hukum kontemporer dipedomani pula hasil-hasil fatwa yang berkembang di Indonesia, baik lembaga fatwa Majelis Ulama Indonesia maupun lembaga-lembaga keagamaan seperti Nahdatul Ulama, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan lain-lain. 2. Wawancara Kegiatan wawancara dilakukan dengan para ulama diseluruh Indonesia, pokok masalah yang telah disusun dan disajikan sebagai bahan wawancara dimuat dalam sebuah buku guide questioner berisi 102 masalah dalam bidang hukum keluarga Perkawinan, Kewarisan, Perwakafan, wasiat, dan Hibah. Wawancara dilakukan di 10 lokasi Pengadilan Tinggi Agama, yaitu (1) Banda Aceh 20 orang ulama (2) Medan 19 orang ulama (3) Padang 20 orang ulama (4) Palembang 20 orang ulama (5) Bandung 16 orang ulama (6) Surakarta 18 orang ulama (7) Surabaya 18 orang ulama (8) Banjarmasin 15 orang ulama (9) Ujung Pandang 19 orang ulama (10) Mataram 20 orang ulama. 3. Penelitian Yurisprudensi Penelitian yurisprudensi dilaksanakan oleh direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam terhadap putusan Peradilan Agama yang telah dihimpun dalam 16 buku yaitu, (1) Himpunan putusan PA/PTA 4 buku yaitu terbitan tahun 1976/1977, 1977/1978, 1978/1979 dan 1980/1981 (2) Himpunan Fatwa 3 buku, yaitu buku terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980, dan 1980/1981 (3)
Yurisprudensi PA 5 buku, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, 1982/1983, dan 1983/1984 (4) Law Report 4 buku, yaitu buku terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, dan 1983/1984. 4. Studi Perbandingan Studi perbandingan dilaksanakan ke Timur Tengah yaitu negara-negara: Maroko pada tanggal 28 dan 29 Oktober 1986, Turki pada tanggal 2 Nopember 1986, Mesir pada tanggal 3 dan 4 Nopember 1986. Studi perbandingan dilaksanakan oleh H. Masran Basran, SH., (Hakim Agung Mahkamah Agung RI.), H. Muchtar Zarkasyi, SH. (Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departem Agama RI.). Adapun pihak-pihak yang dihubungi, yaitu: a. Maroko : (1) Direktur Institut Kehakiman Nasional (2) sekretaris Jenderal kementerian Wakaf dan Urusan Islam (3) Penasehat Menteri Wakaf dan Urusan Islam (4) Ketua Supreme Court (5) Ketua Badan Kerjasama UNESCO ALESCO. b. Turki : (1) Ketua Islamic Center (2) Supreme Court diwakili oleh ATTOR NEY GENERAL. c. Mesir : (1) Rektor al-Azhar (2) Majelis Tinggi al-Azhar (3) Grand Syeikh al-Azhar (4) Dekan Fakultas Dakwah al-Azhar (5) Ketua Supreme Court (6) Mufti Negara dan (7) Menteri Wakaf. Informasi bahan masukan yang diperoleh yaitu : (1) Sistem Peradilan (2) Masuknya Syariah law dalam arus Tata Hukum Nasional (3) Sumber-sumber
hukum dan hukum materiil yang menjadi pegangan/terapan hukum dibidang Ahwalussyakhsiyah yang menyangkut kepentingan muslim. Kecuali masukan-masukan yang didapat dan 4 jalur informasi di atas didapat juga dari masukan-masukan spontan dari: (1) Syariah NU Jawa Timur yang mengadakan 3 kali bahtsul masail di tiga Pondok Pesantren yaitu : Tambak Beras, Lumajang dan Sidoarjo. (2) Majelis Tarjih PP Muhammadiyah melalui suatu seminar tentang Kompilasi Hukum Islam. 5. Pengolahan data hasil penelitian a. Hasil penelitian bidang kitab, yurisprudensi, wawancara dan studi perbandingan diolah oleh Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum Islam melalui Yurisprudensi yang terdiri dan seluruh pelaksana proyek sebagaimana tersebut dalam Bab IV angka I. b. Hasil rumusan dari Tim Besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah Tim Kecil yang merupakan tim inti, yang terdiri dari : (1) Prof. H. Busthanul Arifin, SH. (2) Prof. H. MD. Kholid, SH. (3) H. Masrani Basran, SH. (4) M. Yahya Harahap, SH. (5) H. Zaini Dahlan, MA. (6) H. A. Wasit Aulawi, MA. (7) H. Muchtar Zarkasyi, SH. (8) H. Amiroeddin Noer, SH. (9) Drs. H. Marfuddin Kosasih, SH. Tim kecil akhirnya setelah mengadakan rapat sebanyak 20 kali dapat merumuskan dan menghasilkan 3 buku naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam, yaitu : (a). Hukum Perkawinan (b). Hukum Kewarisa (c). Hukum Perwakafan. Rancangan Kompilasi Hukum Islam ini selesai disusun dalam kurun waktu 2 tahun 9 bulan yang telah siap di lokakaryakan. Untuk itu tanggal 29
Desember 1987 secara resmi naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam oleh Pemimpin Proyek Pembinaan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. 6. Lokakarya Pada upacara penyerahan naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam dilakukan penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Mahkamah Agung RI, H. Ali Said, SH. dan Menteri Agama RI. H. Munawir Sjadzali, MA. tentang pelaksanaan lokakarya pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi pada bulan Februari 1988. Lokakarya tersebut dilaksanakan pada tanggal 2 s.d 6 Februari 1988 dimaksud untuk mendengarkan komentar akhir para Ulama dan Cendikiawan Muslim. Ulama dan Cendikiawan Muslim yang diundang pada lokakarya tersebut adalah wakil-wakil yang respresentatif dari daerah penelitian dan wawancara dengan mempertimbangkan luas jangkauan pengaruhnya dan bidang keahliannya, mereka yang ikut menghadiri ada sebanyak 124 orang. Lokakarya tersebut diselenggarakan selama 2 hari di Hotel Kartika Chandra Jakarta yang dibuka oleh Ketua Mahkamah Agung RI. H. Ali Said, SH. dan ditutup oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung RI. H. Purwoto Ganda Subrata, SH. Pelaksanaan pembahasan naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam pada lokakarya tersebut dibagi dalam dua Instansi yaitu sidang Pleno dan sidang Komisi: Sidang Pleno dihadiri oleh seluruh peserta melakukan perbaikan umum, dan mengesahkan hasil rumusan akhir lokakarya.
Sidang Komisi terdiri : a). Komisi Hukum Perkawinan : Pemimpin : H. M. Yahya Harahap, SH. Sekretaris : Drs. Marfuddin Kosasih, SH. Narasumber : K.H. Abdul Halim Muhammad, SH. Notulen
: a. Drs. Muchtar Effendi. b. Farchan Hisjam.
Anggota
: 42 orang.
b). Komisi Hukum Kewarisan : Pemimpin
: H.A. Wasit Aulawi, MA.
Sekretaris
: H. Zainal Abidin Abubakar, SH.
Nara sumber : K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA Notulen
: a. Drs. Nabhan Maspoetra. b. Drs. H. M. Zuffran Sabrie.
Anggota
: 42 orang.
c). Komisi Hukum Wakaf : Pemimpin
: H. Masrani Basran, SH.
Sekretaris
: Dr. H.A. Gani Abdullah, SH.
Nara sumber : Prof. Dr. H. Rahmat Djatnika Notulen
: a. Drs. Wahyu Widiana. b. Drs. Farid.
Anggota
: 29 orang.
Masing-masing Komisi membentuk Tim Perumus sebagai berikut : 1). Tim Perumusan Komisi A, tentang Hukum Perkawinan :
(a). H.M. Yahya Harahap, SH. (b). Drs. Marfuddin Kosasih, SH. (c). K.H. Abdul Halim Muhammad, SH. (d). H. Muchtar Zarkasyi, SH. (e). K.H. Ali Yafie (f). K.H. Najih Ahyad. 2). Tim Perumusan Komisi B, tentang Hukum Kewarisan (a). H.A. wasit Aulawi, M.A (b). H. Zainal Abidin Abubakar, SH (c). K.H. Azhar Basyir, M.A (d). Prof.K.H. Md. Kholid, SH (e). Drs. Ersyad, SH 3). Tim Perumusan Komisi C, tetang Hukum Wakaf (a). H. Masrani Basran, SH (b). DR HA. Gani Abdullah, SH (c). Prof. DR. H. Rahmat Djatnika (d). Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML (e). K.H. Aziz Masyhuri. 4) Kata akhir para Ulama dalam sidang pleno pengesahan rumusan Kompilasi Hukum Islam buku I, II, III disampaikan oleh: (a). K.H. Hasan Basri mewakili MUL (b). K.H. Ali Yafie mewakili NU (c). K.H. AR. Fahruddin mewakili Muhammadiyah. 5). Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Wakaf mengalami Penghalusan redaksi yang intensif di Ciawi Bogor yang dilakukan oleh Tim Besar Proyek untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden oleh Menteri Agama dengan surat tanggal 14 Maret 1988 Nomor: MA/123/1988 Hal: Kompilasi Hukum Islam dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan dalam
praktek dilikungan Peradilan Agama. Kemudian lahirlah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang dalam diktumnya menyatakan: MENGINSTRUKSIKAN Kepada
: Menteri Agama untuk
Pertama
: Menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dan
: a. Buku I tentang Perkawinan; b. Buku II tentang Kewarisan; c. Buku III tentang Perwakafan; Sebagaimana telah diterima baik oleh para Alim Ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2 s.d 5 Februari 1988, untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Kedua
: Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan
dengan penuh tanggung-jawab. Untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, yang dalam diktumnya menyatakan: Pertama : Seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum Pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.
Kedua
: Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum
Pertama, dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi
Hukum
Islam
tersebut
di
samping
peraturan
perundang-undangan lainnya. Ketiga
: Direktur Jenderal Pembinaan kelembagaan Agama Islam
dan Urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia dalam bidang tugasnya masing-masing. Jadi dengan telah dikeluarkannya Instruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama tersebut, Kompilasi Hukum Islam telah mendapatkan pengesahan untuk dipergunakan sebagai pedoman bagi para Hakim pada lingkungan Peradilan Agama dan instansi lain dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dan oleh masyarakat yang memerlukannya. 4. Substansi Kompilasi Hukum Islam Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam diktum Inpres No 1 Tahun 1991 bahwa Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku yakni buku I tentang Perkawinan, buku II tentang Kewarisan, buku III tentang perwakafan. Dalam kerangka sistimatikanya masing-masing buku terbagi dalam beberapa bab, kemudian bab tertentu terbagi pula atas beberapa bagian yang selanjutnya dirinci dalam beberapa pasal. Secara menyeluruh Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 229 pasal dengan pembagian yang berbeda-beda untuk masing-masing buku. Porsi yang paling banyak adalah pada buku hukum perkawinan, kemudian hukum kewarisan dan
paling sedikit adalah hukum perwakafan. Perbedaan ini sebenarnya mucul bukan hanya karena intensif dan terurai atau tidaknya pengaturan masing-masing yang tergantung pada tingkat penggarapannya. Hukum Perkawinan tampaknya telah dijelaskan sampai hal-hal yang sangat detail, karena hal yang demikian ada dalam perundang-undangan tentang perkawinan. Sedangkan hukum kewarisan belum pernah digarap demikian pula hukum perwakafan ia hanya mucul secara garis besarnya dalam jumlah yang cukup terbatas. Buku I tentang perkawinan terdiri dari 19 bab 170 pasal. 1) Hukum Perkawinan Buku I dalam Kompilasi Hukum Islam menjelaskan ketentuan yang terdiri dari sebagai berikut; Bab I, tentang Ketentuan Umum (pasal 7), bab II Dasar-dasar Perkawinan (pasal 2-10), bab III peminangan (11-13), bab IV Rukun dan syarat Perkawinan (pasal 14-24), bab V Mahar (pasal 30-38), bab VI larangan Kawin (pasal 39-44), bab VII Perjanjian Perkawinan (pasal 45-52), bab VIII Kawin Hamil (pasal 53-54), bab IX Beristeri lebih dari satu orang (pasal 55-59), bab X Pencegahan Perkawinan (pasal 60-69), bab XI batalnya Perkawinan (pasal 70-76), bab XIII Hak dan Kewajiban Suami isteri (pasal 77-84), bab XIII Harta kekayaan dalam Perkawinan (85-97) bab XIV Pemeliharaan anak (pasal 98-106), bab XV Perwalian (pasal 107-112), bab XVI Putusnya Perkawinan (149-162), bab XVII Rujuk (pasal 163-169). Bab XIX masa berkabung (pasal 170). Apabila ditinjau dari materi muatan Kompilasi Hukum Islam khususnya mengenai buku perkawinan ini kelihatannya banyak terjadi duplikasi terhadap apa yang telah diatur dalam Undang-undang RI. No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dan Peraturan Pemerintah RI. No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU RI. No. 1 tahun 1974, mengingat
Kompilasi
Hukum Islam ini
juga mengatur
ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural, pada sisi lain terdapat pula hal-hal yang baru dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam. Mengenai pengertian perkawinan dalam hal ini digunakan dalam konteks dasar-dasar perkawinan dan sedikit berbeda dengan apa yang disepakati dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah swt dan melaksanakannya merupakan ibadah, kemudian dalam pasal 3 menyebutkan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sedangkan dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merumuskan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu persoalan yang sama sekali tidak diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 akan tetapi cukup banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh dan juga hukum adat, yaitu tentang peminangan yang diatur dalam satu bab khusus dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun pasal 13 Kompilasi menyebutkan bahwa belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. Pengertian hubungan peminangan tidak dijelaskan di sini akan tetapi mencakup apa yang dalam praktik disebut “pertunangan”. Ketentuan ini rasanya juga kurang serasi dengan pasal 12 ayat 3 yang melarang meminang wanita yang
sedang dipinang pria lain. Larangan demikian yang juga dikenal dalam kitab-kitab fiqh tentunya tidak bisa dilanggar begitu saja. Persoalan mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya mendapat pengaturan yang cukup banyak dalam Kompilasi Hukum Islam. Apabila dalam Undang No. 1 Tahun 1974 persoalan ini cukup diatur akibatnya pasal Bab (Bab VIII) tentang putusnya perkawinan serta akibat-akibatnya pasal (38-41), maka dalam Kompilasi Hukum Islam di atur dalam dua Bab yaitu XVI tentang putusnya perkawinan (pasal 149-162), kemudian masih ada lagi satu Bab yaitu Bab XVII tentang rujuk (pasal 163-169) dimana untuk hal yang disebut terakhir tidak mendapat pengaturan sama sekali dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu masih ada lagi ketentuan lain mengenai hal yang sama perlu disebutkan yaitu ketentuan yang termuat dalam pasal 65-91 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam isinya sama dengan pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan perkawinan dapat putus karena, kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Kemudian pasal 114 menentukan putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalak atau berdasarkan gugatan cerai. Pasal 115 Kompilasi isinya sama dengan pasal 39 ayat (1) Undang-undang RI. No. 1 Tahun 1974 dan pasal 65 Undang-undang RI. No. 7 Tahun 1989 yang menyebutkan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai alasan perceraian dalam pasal 116
Kompilasi selain alasan yang disebutkan dalam penjelasan pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 atau pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 ditambahkan pula ada dua alasan lain yaitu, pertama suami melanggar taklik thalaq dan yang kedua, peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Mengenai akibat putusnya perkawinan di atur tentang berbagai kewajiban dari suami dan waktu tunggu. Mengenai waktu tunggu yang diatur dalam pasal 153 Kompilasi Hukum Islam yang isinya hampir sama dengan pasal 39 PP. No. 9 Tahun 1975. Di sini juga diatur tentang mut’ah yaitu berupa pemberian mantan suami kepada istri yang dijatuhi thalaq berupa benda atau uang dan lainnya. Akibat khuluk dan akibat li’an. Pengaturan tentang rujuk merupakan satu hal tersendiri yang sekaligus juga merupakan tambahan ketentuan bagi hukum acara Peradilan Agama mengenai masalah tersebut. Kompilasi Hukum Islam ditutup dengan satu bab khusus tentang masa berkabung. Dalam pasal 170 yang merupakan ketentuan penutup untuk buku pertama disebutkan : 1) Istri yang ditinggal mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. 2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut keputusan. Ketentuan ini merupakan satu ketentuan baru yang sebenarnya tidak perlu diatur dalam satu bab khusus mengingat urgensinya yang tidak terlalu mendesak.
Namun, sebagaimana beberapa ketentuan lain dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan ini adalah ketentuan hukum yang tidak mempunyai sanksi dan karenanya walaupun dirumuskan dengan kata-kata “wajib melaksanakan” hanya bersifat anjuran saja. 2) Hukum Kewarisan Sistematika kompilasi mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit bila dibandingkan dengan hukum perkawinan sebagaimana yang diurai di atas. Buku II yang berisi tentang kewarisan terdiri dari enam bab dan beberapa pasal mulai pasal 171-214 (43 pasal). Adapun sistematikanya sebagai, yaitu : Bab I tentang Ketentuan umum (pasal 171), bab II ahli waris (pasal 172-175), bab III besar bahagian (176-191), bab IV Aul dan rad (pasal 192-193), bab V wasiat (pasal 194-209), bab VI Hibah (pasal 210-214). Sebagaimana halnya dengan hukum perkawinan maka apa yang diatur dalam ketentuan umum adalah pengertian-pengertian dan ternyata juga di sini tidak menguraikan secara keseluruhan pengertian yang disebutkan dalam Buku ke II ini. Ketentuan ini berlaku sejalan dengan hukum yang berlaku bagi pewaris yaitu beragama Islam dan karenanya masalah harta warisannya harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Islam. Hal ini adalah suatu hal yang sangat prinsip sekali akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam ini disebut secara sepintas dalam rumusan mengenai pewaris dan ahli waris. Persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam buku kedua ini. Sebagaimana halnya
pewaris pun adalah beragama Islam. Untuk itu pasal 172 menegaskan indikator untuk menyatakan bahwa seseorang itu adalah Islam. Dalam pasal 173 dijelaskan tentang terhalangnya seorang untuk menjadi ahli waris yang pada dasarnya hanya berupa melakukan kejahatan terhadap pewaris. Tetapi, sebagaimana ditemukan di atas ketentuan ini tidak mencantumkan bahwa murtadnya seseorang menjadi penghalang utama untuk menjadi ahli waris. Hal yang demikian seharusnya ditambahkan dalam pasal 173 ini. Mengenai siapa menjadi ahli waris pasal 174 menyebutkannya secara singkat yaitu ahli waris karena hubungan darah ahli waris menurut hubungan perkawinan. Kemudian disebutkan keutamaan dari masing-masing ahli waris bilamana semua ahli waris ada, hanya saja di sini tidak disebutkan sebagaimana pewarisan dari seseorang pewaris yang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris sama sekali. Hal ini, memang ada diatur dalam pasal 191 tetapi mengenai pembagian warisnya. Begitu juga mengenai keutamaan yang bersifat lebih kasuistik jika satu ahli waris dapat menghijab ahli waris lain seharusnya juga secara lebih rinci di sini. Dalam persoalan mengenai besarnya bagian warisan dapat dicatat ada beberapa hal penting yang menarik perhatian antara lain : a. Mengenai porsi perbandingan bagian wanita dan bagian laki-laki masih mempertahankan secara ketat bahwa bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan (pasal 176), walaupun sebenarnya cukup banyak orang termasuk dari kalangan umat Islam sendiri yang menginginkan penentuan bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Tetapi karena dalil al-Qur’an tentang hal ini cukup tegas maka dalam Kompilasi Hukum Islam menuangkannya sebagaimana yang tersebut di atas. b. Mengenai
prinsip
musyawarah
dalam
pembagian
waris
juga
memungkinkan. Pasal 183 menentukan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing pihak menyadari bagiannya. Ketentuan ini akan membuka peluang,
setelah
para
pihak
yang
terlibat
menentukan
bagian
masing-masing yang seharusnya mereka terima selanjutnya mereka menentukan secara musyawarah misalnya semua harta dibagi sama di antara ahli waris. c. Penentuan bagian dari masing-masing ahli waris adalah sesuai dengan ketentuan faraid yang umumnya ditentukan kasus per kasus seperti telah diatur dalam pasal 177-182. d. Pembagian waris tidak mesti harus membagikan bendanya secara fisik. Pasal 189 mengatur tentang pembagian warisan yang berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 ha yang harus dipertahankan dan dimanfaatkan bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga tanahnya tetap dipegang oleh seorang ahli waris saja. Ketentuan lain yang seharusnya dimasukkan dalam Bab mengenai ahli waris yaitu tentang ahli waris pengganti sebagaimana yang diatur dalam pasal 185. Dengan adanya ketentuan seperti ini dalam hukum Islam Indonesia dimungkinkan
terjadinya penggantian tempat dalam warisan, walaupun dalam paham yang lain hal yang demikian tidak dikenal dalam hukum Islam. Bab V mengatur tentang wasiat (pasal 194-209) baik menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Sedangkan Bab VI (pasal 210-214) adalah tentang hibah yang hanya diatur secara singkat. 3). Hukum Perwakafan Materi yang terdapat dalam buku III ini terdiri dari lima bab dan beberapa pasal mulai pasal 215-229 (15 pasal), adapun sistematikanya sebagai berikut : Bab I berisi ketentuan umum (pasal 215), bab II fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf (pasal 216-222), bab III Tata cara perwakafan dan pendapatan benda wakaf (pasal 223-224), bab IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan benda wakaf (pasal 225-227) dan bab V Ketentuan Peralihan (pasal 228) Kemudian Kompilasi Hukum Islam Penutup (pasal 229). Sesuai dengan tujuannya semula bahwa Kompilasi Hukum Islam ini akan memuat materi hukum Islam yang diangkat dari berbagai pendapat hukum dikenal dalam hukum Islam, maka Kompilasi Hukum Islam ini harus memuat hukum substantif dari hukum Islam yakni materi hukum perwakafan sebagaimana yang diatur dalam kitab-kitab fiqh. Sedangkan dalam PP No 28 Tahun 1977 seharusnya lebih menitik beratkan pada aspek prosedurnya yang menyangkut masalah prosedur administratif lainnya. Akan tetapi, karena PP No. 28 Tahun 1977 tidak hanya mengatur masalah proseduaral semata tetapi juga banyak yang bersifat hukum substantive. Demikian juga lahirnya Undang-undang RI. No. 41 Tahun
2004 tentang wakaf telah banyak membicarakan masalah substantif mengenai wakaf, maka perpaduan antara KHI, PP dan UU Wakaf, Kompilasi Hukum Islam dapat lebih sempurna sebagai acuan hukum para hakim tentang wakaf di Pengadilan Agama.