1
KONTROVERSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Studi Analisis Tentang Counter Legal Draft (LCD) atas Kompilasi Hukum Islam (KHI) Perspektif Tim Penggagas
SKRIPSI Oleh:
AWWALU’AININ NI’MA NIM: 241042005
Pembimbing I LUTHFI HADI AMINUDDIN, M.Ag. Pembimbing II LAYYIN MAHFIANA, M.hum.
Program Studi Al-Ahwal Syahshiyah
JURUSAN SYARI’AH (STAIN) PONOROGO 2008
2 A.
PENDAHULUAN Dalam kasus Indonesia, untuk mewujudkan satu hukum nasional bukanlah
pekerjaan yang mudah apalagi hukum nasional yang sekaligus dapat mengakomodasi syariat Islam yang partikular. Karena disadari ataupun tidak, bahwa agama Islam adalah agama hukum dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karena itu dalam pembangunan hukum nasional di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, unsur hukum Islam benar-benar harus diperhatikan. Untuk itu perlu wawasan dan kebijaksanaan yang jelas. Sejak akhir 1950-an semua parpol Islam memperjuangkan lahirnya undangundang yang mengakomodasi syariat Islam yang partikular dalam masalah perkawinan. Tetapi perjuangan itu tidak berhasil. Pada tahun 1973 Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) perkawinan yang sama sekali mengabaikan syariat Islam. Tentu parpol dan ormas Islam menolak Rancangan UndangUndang (RUU) yang bertentangan dengan syariat Islam itu. Berkat perjuangan para tokoh Islam untuk meyakinkan Presiden Soeharto, akhirnya pasal-pasal yang bertentangan dengan syariat Islam dihilangkan. Maka Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi undang-undang pertama yang mengandung ketentuan partikular syariat Islam,1 dan beberapa tahun kemudian disusul dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 (yang telah diamandemen menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006) tentang Pengadilan Agama (PA) yang merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan
1
Salahuddin Wahid, “Perkawinan Agama dan Negara,” dalam Republika (http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=187988&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=, tanggal 3 April 2007).
(online) diakses
3 kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini.2 Selanjutnya, lahirlah Instruksi Presiden N0. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang memuat tiga (3) bidang hukum yakni hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang menjadi pedoman bagi hakim agama dalam memutuskan perkara dan juga menjadi pedoman bagi umat Islam dalam mengamalkan Hukum Islam pada tiga bidang tersebut.3 KHI itu sendiri pada dasarnya mempunyai tujuan untuk mempositifkan hukum Islam di Indonesia.4 Dengan mempositifkan hukum secara terumus dan sistematik dalam “kitab hukum” secara otomatis terdapat beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai dan ditujunya. Pada akhir 1990-an muncul kritik dari cendekiawan muslim terhadap KHI. Menurut mereka ada beberapa pasal-pasal di dalam KHI yang secara prinsipil berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang universal, seperti prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikhâ’), dan keadilan (al-‘adl), serta gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat madani, seperti pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi, dan egalitarianisme.5 Kalangan yang sangat bersemangat untuk mempertanyakan ulang KHI adalah pokja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen
2
Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam setelah Amandemen UUD 1945,” Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam PERTA, 02 (2002), 35. 3 Salahuddin, “Perkawinan.” 4 Sebelum terbentuknya Kompilasi Hukum Islam (KHI) masyarakat Indonesia baik masyarakat awam maupun para Ulama “salah” dalam memahami hukum positif, mereka mengidentikkan fikih dengan Syariah dan Hukum Islam. Akibatnya dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan Peradilan Agama (PA), para Hakim menoleh pada kitab-kitab fikih rujukan mereka yang sesuai dengan “selera” masing-masing. Hal ini berdampak pada tidak adanya standar yang jelas dalam memutuskan perkara. Lihat, Jahya Harahap, Arah Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Kajian Islam tentang Masalah Kontemporer (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), 60. 5 Naskah Pembaruan Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam Perempuan, didokumentasikan dalam acara “Membedah Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dari Berbagai Perspektif” oleh Koordinator Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2004), 7.
4 Agama RI. Secara kongkret mereka mewujudkannya dengan membentuk tim kajian untuk menyusun Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam –selanjutnya pada penulisan ini disingkat dengan CLD-KHI.6 Tim kajian tersebut terdiri dari 11 (sebelas) orang yang dipimpin oleh Siti Musdah Mulia7 serta 15 kontributor aktif. Usulan dari tim CLD-KHI itu ternyata banyak yang menganggap mengandung hal-hal kontroversial.8 Antara lain dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian mengirimkan surat penolakan kepada Menteri Agama. Beberapa cendekiawan yang tergabung
dalam
Majlis
Internasional
Ilmuan
Muslimah
juga
menyampaikan
keberatannya terhadap 16 masalah kontroversial yang terkandung dalam CLD-KHI.9
6
Salahuddin, “Perkawinan”. Siti Musdah Mulia, lahir 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan. Istri dari Ahmad Thib Raya, guru besar Pascasarjana UIN Jakarta. Pendidikan formalnya dimulai dari pesantren As’adiyah Bone, lalu menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada IAIN Alauddin Makassar; selanjutnya S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam; dan S3 Bidang Pemikiran Politik Islam, keduanya di Pascasarjana UIN Jakarta. Selain itu, mengikuti sejumlah pendidikan nonformal, seperti Kursus Singkat Democracy and Civil Society di Melbourne, Australia (1998); Kursus Singkat Pendidikan HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand (2000); Kursus Singkat Advokasi Penegakan HAM dan Demokrasi (International Visitor Program) di Amerika Serikat (2000); Kursus Singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan di Universitas George Mason, Virginia, Amerika Serikat (2001); Pelatih HAM di Universitas Lund, Swedia (2001); Manajemen Kepemimpinan Perempuan di Bangladesh Institute of Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh (2002). Pada 1985, mulai ia bekerja sebagai Dosen Luar Biasa di IAIN Alauddin dan di Universitas Muslim Indonesia, Makassar, di samping menjadi peneliti pada Balai Penelitian Lektur Agama, Makassar. Sejak 1990, pindah ke Jakarta menjadi peneliti pada Balitbang Departemen Agama Pusat, dan menjadi dosen di beberapa tempat, seperti Institut Ilmu-Ilmu al-Quran, dan Program Pascasarjana UIN Jakarta. Musdah pernah menjabat sebagai Kepala Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Departemen Agama; Staf Ahli Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia, Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas; Anggota Tim Ahli Menteri Tenaga Kerja RI; dan Sekarang Staf Ahli Menteri Agama, Bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional. Ia menjadi pembicara di berbagai seminar, baik di dalam dan luar negeri. Menulis sejumlah makalah dan buku. Buku yang terpublikasi secara luas diantaranya adalah Negara Islam: Pemikiran Politik Haikal (Paramadina, 2001), Islam Menggugat Poligami (Gramedia, 2004); Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam (2001) dan Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Mizan, 2005) (Ditulis oleh: Neng Dara Affiah), lihat; Profil: Musdah Mulia, “Perempuan Pembaru Keagamaan dari Fatayat NU” dalam http://www.Fatayat.or.id(http://www.khilafah1924.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=22 9, di akses tanggal 3 April 2007). 8 Counter Legal Draft (CLD) tersebut terdiri dari 3 RUU, yaitu RUU Hukum Perkawinan Islam terdiri dari 19 bab dan 116 pasal, RUU Hukum Kewarisan Islam yang terdiri dari 8 Bab dan 42 pasal, terakhir adalah RUU Hukum Perwakafan Islam yang terdiri dari 5 bab dan 20 pasal. Lihat: “Kompilasi Hukum Islam Revisi yang Dikoreksi" dalam Republika Online (http--www_republika_co_id3.htm, di akses tanggal 4 April 2007). 9 Salahuddin, “Perkawinan”. 7
5 Hingga sampai di sini penulis memandang bahwa Kontroversi CLD atas KHI tersebut sangat menarik untuk diteliti secara lebih dalam, mengingat CLD merupakan salah satu upaya pembaruan hukum Islam yang cenderung memunculkan arus pemikiran lain di luar mainstream (arus utama). Selain itu, yang juga sangat menarik untuk diteliti, dan ini belum banyak dilirik oleh peneliti yang lain, adalah keterkaitan tim penggagas CLD-KHI dengan gagasan CLD atas KHI itu sendiri –dan inilah posisi penelitian yang hendak diambil oleh penulis.
A. METODE Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.10 Sedangkan dalam penelitian ini penulis sengaja menggunakan sumber data primer, yakni semua yang diperoleh dari penelitian lapangan dan beberapa teks-teks yang berkaitan dengan CLD atas KHI. Sedangkan sumber data sekunder penulis ambil dari buku-buku atau tulisan-tulisan lainnya yang secara langsung maupun tidak berhubungan dengan obyek penelitian.11 Penelitian ini menggunakan beberapa metode pengumpulan data antara lain, menggunakan metode wawancara,12 yaitu komunikasi langsung dengan informan dan responden untuk mendapatkan data terkait yang sesuai dengan tujuan penelitian. Jenis wawancara yang di gunakan oleh penulis ialah wawancara semi terstruktur (semi
10
Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci. Basuki, "Pengantar Metodologi Penelitian",2. Naskah tidak diterbitkan; Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), 1. 11 Ibid. 12 Seperti yang dijelaskan lebih rinci oleh Suharsimi Arikunto, dalam Suharsimi Arikunto, Prosedur, 201.
6 structure interview)13 –yang mana wawancara ini termasuk dalam kategori in-dept interview (wawancara secara mendalam). Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara secara mendalam dengan tim penggagas serta kontributor aktif CLD atas KHI –penulis sengaja menggunakan informan, yakni a. Siti Musdah Mulia –Ketua Tim b. Marzuki Wahid –Anggota Tim c. Moqsith Ghozali –Anggota Tim d. Ahmad Suaedy –Anggota Tim e. Hamim Ilyas –Akademisi UIN Yogjakarta (Kontributor Aktif) f. Fatmah Amelia –Akademisi UIN Yogjakarta (Kontributor Aktif) Penulis juga melakukan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama14, ulama15 serta akademisi16 guna untuk melengkapi penelitian ini. Di samping wawancara, penulis juga menggunakan metode dokumentasi17 yang diambil dari berbagai sumber yang mempunyai keterkaitan dengan studi penulis. Dalam metode analisis data, seperti yang dikatakan oleh Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman bahwa dalam analisis data kualitatif selalu terdiri 3 (tiga) alur
13
Sebagaimana “Esterberg” mengemukakan macam macam wawancara yakni, wawancara terstruktur (structured interview), wawancara semiterstruktur (semi structure interview),dan wawancara tak berstruktur (unstructured interview), lihat, Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), 73. 14 Penulis melakukan interview dengan Muklas, hakim di Pengandilan Agama Magetan Jawa Timur dan Mohammad Toha, hakim di Pengadilan Agama Ponorogo Jawa Timur. 15 Penulis melakukan Interview dengan Sholahuddin Wahid. 16 Penulis melakukan interview dengan Satria Abdi, dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (FHUAD) Yogyakarta. 17 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif ,73.
7 kegiatan yang dilakukan secara bertahap: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.18 –yang niscaya bagi penelitian ini.
B. PEMBAHASAN CLD-KHI muncul pada ruang perdebatan pemikiran Islam sudah dapat dipastikan memiliki keterkaitan sejarah dengan KHI. Kemunculan CLD-KHI tidak terlepas dari pandangan para penggagasanya terhadap KHI itu sendiri, yang secara implisit menjadi spirit bagi kontruksi CLD-KHI. Meskipun para penggagas tergabung menjadi satu tim, namun memiliki pandagan yang berbeda-beda terhadap KHI. Misalnya Musdah Mulia menganggap KHI memiliki posisi yang amat strategis untuk dijadikan pintu perubahan bagi pembaruan hukum Islam yang lebih bisa mewadahi nilai-nilai universal kemanusiaan. Pertama, karena KHI dipandang sebagai jantung syariat Islam di Indonesia. Dimana seluruh lapisan masyarakat merujuk kepadanya. Kedua, KHI dalam putusan peradilan di pengadilan agama menjadi rujukan yang benar-benar dianjurkan kepada para hakim. Ketiga, KHI yang secara keseluruhan mengatur hukum keluarga sangat potensial untuk menjadi justifikasi bagi tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Keempat, secara legal-formal pasal-pasal dalam KHI bertentangan dengan undangundang yang lain (dan kebanyakan memiliki posisi lebih tinggi dibanding KHI). Selain itu Musdah juga berpandangan bahwa jika KHI tidak berubah sedangkan masyarakat Indonesia seiring dengan perkembangan teknologi informasi telah benar-benar mengalami perubahan, maka jangan berharap banyak akan legitimasi KHI di mata publik. KHI sebagai teks hukum harus bisa mengakomodasi prinsip pembelaan dan perlindungan
18
Matthew B. Miles dan Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj, Tjetjep Rohandi Rohadi (Jakarta: UIP, 1992), 16.
8 yang berada dalam UUD 1945 amandemen terakhir dan beberapa undang-undang yang lain. Musdah juga menyatakan bahwa revisi terhadap KHI (yang kemudian dikenal sebagai CLD-KHI) adalah sebagai implementasi dari ratifikasi konfensi internasional tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Secara garis besar tampak pemikiran Musdah memandang perubahan terhadap KHI adalah niscaya meskipun memiliki konstruksi epistemologis yang cenderung legal-formal, artinya mendekati KHI dalam sinaran Tata Hukum di Indonesia. Selanjutnya berbeda dengan Marzuki Wahid yang memandang bahwa perubahan masyarakat menuju civil society mutlak diperlukan sebuah rekayasa bersama, dan salah satu bentuk strateginya adalah melalui perubahan struktur hukum yang berlaku dalam sebuah masyarakat. KHI sebagai sebuah produk hukum yang benar-benar dapat dipertanyakan legitimasinya perspektif etika politik. Karena bagi Marzuki dari inisiatif, proses penelitian, penyusunan laporan dan finalisasi teks hukum dikerjakan oleh tim yang hampir keseluruhannya perwakilan dari “negara.” Dan secara otomatis logika hukum yang digunakan adalah berdasarkan kepentingan negara yang pada saat itu –menurut terminologi Athoillah Shohibul (AS) Hikam– otoriter birokratik.19 Bagi Marzuki KHI lahir juga pada budaya hukum yang elek dimana minimnya budaya riset dan analisis yang mendalam terhadap realitas sosial. Selain itu, sama seperti Musdah ia berpandangan bahwa KHI telah mengabaikan prinsip-prinsip universal kemanusiaan. Dari sini dapat dilihat bahwa Marzuki lebih memandang kecatatan KHI dari sudut proses legislasinya. 19
Dalam sebuah obrolan ringan penulis dengan Sholahuddin Wahid (mantan Komnas HAM RI) dalam perjalanan dari Ponorogo-Jombang, menyindir apa yang telah dilakukan oleh Tim Penggagas CLDKHI sebagai sebuah ketidakkonsistensian gerakan, bahkan mungkin pemikiran mereka. Sebab mengapa dahulu ketika awal-awal kemunculan KHI mereka gusar, bahwa negara tidak selayaknya mengurusi wilayah agama. Lantas mengapa pada akhirnya mereka (tim penggagas) mengusulkan sebuah aturan yang mengatur urusan agama, meskipun lebih terlihat memiliki semangat liberal? Wawancara penulis dengan Sholahuddin Wahid, Senin 05 April 2008 Pukul 14.00-15.15 WIB.
9 Sedangkan Moqsith Ghozali memilih untuk melihat kecacatan KHI dari kacamata akomodasi madzhab yang terlalu simplitis pada madzhab Syafi’i dengan mengabaikan madzhab yang lainnya, padahal di Indonesia umat Islam tidak hanya diwakili oleh pemeluk madzhab Syafi’i saja, melainkan misalnya juga madzhab Hanafi. Selian itu dalam KHI lebih banyak memfotokopi fikih Timur Tengah dan Arab dari pada menghadirkan suatu fikih lokal yang khas Indonesia. Artinya di sini dapat dipahami Moqsith lebih menitikberatkan kontektualitas KHI dalam ranah keindoensiaan. Terakhir, tampaknya Suaedy memandang bahwa KHI yang seharusnya menjadi alat bagi negara untuk melakukan penegakan HAM, namun dikarenakan KHI tidak mengikuti perkembangan nilai-nilai kemanusiaan, semacam penegakan HAM, maka negara benar-benar tidak mampu berbuat banyak. Bahkan, ada kecenderungan KHI menjadi alat bagi negara untuk melakukan pelanggaran HAM. Di sini Suaedy benarbenar berdiri di atas diskursus HAM dan negara. Dari berbagai pandangan terhadap KHI yang telah coba dipetakan di atas yang menjadi –sekali lagi– landasan epistemologi untuk mengkontruksi argumentasi mereka dalam konteks CLD-KHI, kita akan melihat (berdasarkan dari eksplorasi dari bab sebelumnya) pluralitas kontruksi argumentasi yang dibangun oleh para penggagas CLDKHI. Musdah menyatakan bahwa CLD-KHI merupakan respon yang konkret atas maraknya seruan penegakan syariat Islam di Indoensia, yang tampaknya di sini Musdah tidak mau “kecolongan” jika penegakan yang dimaksud jauh dari nilai-nilai universal kemanusiaan. CLD-KHI lahir sebagi revisi atas KHI dengan membawa semangat model baru hukum perkawinan Islam model baru yang lebih humanis, sensitif gender dan membawa nilai-nilai Islam seperti keadilan, kesamaan kemajemukan dan kemashlahatan.
10 Berbeda degan Musdah, menurut Marzuki Wahid CLD-KHI adalah jawaban dari ketidakrelevanan KHI. Moqsith dalam hal ini menyatakan CLD-KHI adalah hasil kritik metodologis terhadap KHI, misalnya dalam hal ini Moqsith berlindung di bawah teorinya Hassan Hanafi, yang memiliki kaki pijakan pada epistemologi eksistensialis dan fenomenologis, untuk menyerang kaum literalis yang berada di balik perumusan KHI. Suaedy menyatakan bahwa CLD-KHI sebenarnya merupakan konstribusi bagi pengembangan pemikiran Islam di Indonesia. Hingga di sini tampak bahwa bangunan pandangan terhadap KHI dan argumentasi yang dibangun untuk mengukuhkan CLD-KHI antara satu tim penggagas dengan yang lainnya terlihat ekletik dan saling menguatkan, mungkin fenomena inilah, baik disadari oleh para penggagas ataupun tidak, secara laten menjadi penuntun pada munculnya istilah ijtihad jama’i dalam proses penggagasan CLD-KHI. Dalam hal ini mengingatkan kita dengan apa yang didefinisikan oleh Louis Althusser –salah seorang pemikir neo-marxis– sebagai ideologi, yaitu “tanda-tanda permukaan sebagai simtom-simtom bagi kenyataan yang lain, sesuatu keteraturan (orders) maupun kekacauan (disorders) yang letaknya lebih
mendalam.”
Selain
itu
Althusser
juga
menyinggung
ideologi
sebagai
overdetermination, yakni “bahwa sesuatu yang kebetulan atau kontingen pada kenyataannya dapat menyebabkan atau setidaknya mewakili sesuatu yang tampak fundamental; salah ucap model Freudian (Freudian slip) bukanlah semata-mata keseleo lidah tetapi mewakili sesuatu yang lebih bermakna.”20 Dari basis pemahaman akan “pluralitas” yang dimiliki oleh para penggagas di atas memberi sangu bagi kita untuk menyingkap secara lebih serius aspek metodologis dan epistemologis yang sudah “disatukan” dalam teks CLD-KHI. Dengan bertolak pada kritik 20
M. Arwan Hamidi, “Ideologi Pluralisme NU,” Duta Masyarakat, Jum’at 4 Juni 2004.
11 terhadap fikih-fikih klasik, yang dianggap sudah tidak relevan lagi. Bahkan, disinyalir bahwa fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut materialnya, melainkan juga bermasalah dari ranah metodologisnya.21 Metodologi dan pandangan literalistik ini belakangan diasumsikan oleh para Tim Penggagas CLD-KHI –dan hal ini tertuang dalam CLD-KHI– terus mendapatkan pengukuhan dari kalangan Islam fundamentalis-idealis. Mereka selalu berupaya untuk menundukkan realitas ke dalam kebenaran dogmatik nash, dengan pengabaian yang nyaris sempurna terhadap kenyataan konkret di lapangan. Bahkan, seringkali terjadi, mereka telah melakukan tindakan eisegese, yakni membawa masuk pikiran atau ideologinya sendiri ke dalam nash, lalu menariknya ke luar dan mengklaimnya sebagai maksud Tuhan. Klaim kebenaran ini sangat berbahaya. Ia hanya akan membuat umat Islam menjadi semakin eksklusif dalam tata pergaulan yang multireligius dan multikultural. Telah terbukti, klaim-klaim seperti itu tidak memberikan pengaruh positif apapun dalam usaha-usaha membangun kehidupan bersama yang toleran dalam masyarakat yang majemuk.22 Berdasar pada kritik di atas dalam CLD-KHI merumuskan bangunan metodologi (ushul fikih) alternatif dengan memperhatikan prinsip-prinsip berikut: Pertama, bahwa reaktualisasi hukum Islam sangat mungkin terjadi dikarenakan dinamika dan perkembangan zaman yang melahirkan berbagai bentuk perubahan sosial. Kedua, reaktualisasi hukum Islam hanya terkait pada masalah-masalah furû’ yang bersifat parsial dan substansial (hasil pemikiran atau interpretasi ulama terhadap syari’ah Islam yang tentunya masih bersifat insâniyyah dan temporal) dan bukan pada hal-hal yang
21 22
Untuk lebih jelasnya lihat bab III. Lihat bab III.
12 menyangkut ushûl al-kulliyat (prinsip-prinsip dasar yang universal). Ketiga, reaktualisasi hukum Islam didasarkan pada prinsip “menjaga yang lama yang masih relevan dan merumuskan serta menawarkan yang baru yang lebih baik”. Keempat, reaktualisasi hukum Islam harus diikuti dengan sikap kritis terhadap khazanah ulama klasik dengan tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap mereka. Kelima, rasionalisasi dan reaktualisasi terhadap hukum Islam berarti pemahaman dan pengkajian kembali terhadap seluruh
tradisi
Islam,
termasuk
penafsiran
al-Qur’ân
dan
al-Hadits,
dengan
memahaminya secara moral, intelektual, kontekstual, dan tidak terpaku pada legalformalnya hukum yang cenderung parsial dan lokal. Keenam, reaktualisasi terhadap hukum Islam tetap berpegang kepada maqâshid al-ahkâm al-syar’iyyah dan kemashlahatan umat atau rakyat.23 Dalam CLD-KHI, dikatakan keenam prinsip di atas harus ditopang pula dengan usaha sistematis untuk mengeluarkan aturan-aturan spesifik lalu menggeneralisasikannya sebagai hukum-hukum moralitas dan etika dengan memperhatikan situasi saat ini, yang dalam hal-hal penting tertentu (terutama di sektor sosial) berbeda dengan zaman Nabi SAW serta ulama-ulama klasik. Hal ini bukan saja karena rentang waktu yang cukup panjang, tetapi juga karena struktur sosialnya telah berubah dan akan selalu berubah. Sesuatu yang baru harus memiliki hukum yang baru. Namun, bila sesuatu yang baru tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan kasus sebelumnya, maka hukumnya tetap menginduk kepada hukum yang lama. Dengan demikian, perubahan waktu dan tempat pun memiliki posisi penting dalam proses penetapan hukum (taghayyirul ahkâm bi taghayyir al-azminah wa al-amkinah). Perubahan hukum yang disebabkan oleh perubahan waktu dan tempat memiliki tiga kemungkinan berubahnya hukum yaitu: (1) 23
Ibid.
13 pada hukum itu sendiri, (2) pada muta’allaq al-hukm (obyek hukum), dan (3) pada mawdhû’ al-hukm (subyek hukum).24 Di samping memperhatikan prinsip-prinsip dan usaha sistematisasi di atas, hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam istinbâth al-ahkâm adalah penggunaan rasionalitas. CLD-KHI memandang rasionalitas menempati posisi yang amat penting dalam hukum Islam karena ia berada pada hirarki tertinggi dalam sistem keilmuan. Posisi penting rasionalitas tersebut didukung pula oleh kaidah ushul fiqh yang berbunyi, "Kullu mâ hakama al-'aqlu bi husnihi aw qubhihi, hakama al-syâri'u bi wujûbihi aw hurmatihi" (Sesungguhnya apa yang menurut hukum akal baik atau buruk, maka syariat pun memberikan hukum terhadap hal tersebut dengan wajib atau haram). CLD-KHI memandang bahwa dengan menggunakan pendekatan di atas, bangunan metodologi ushul fiqh akan menjadi dinamis dan aplikatif serta mampu menjawab setiap persoalan kontemporer yang muncul setiap saat. Pada tataran ini dapat dipastikan bahwa syariat tidak lagi menjadi "masalah", tetapi secara meyakinkan akan menjadi "mashlahah" di setiap waktu dan tempat (shâlih-un li kulli zamân-in wa makânin). Bertolak dari asumsi epistemologis dan metodologis di atas, ke depan rumusan KHI diharapkan dapat mencerminkan visi dan landasan sebagai berikut: Pluralisme (alTa'addudiyyah), Nasionalitas (Muwâthanah), Penegakan HAM (Iqâmat al-Huqûq alInsâniyyah), Demokratis (al-Dîmûqrathiyyah), Kemaslahatan (al-Mashlahat), Kesetaraan Gender (al-Musâwah al-Jinsiyyah). Sampai di sini dapat kita raba sebenarnya CLD-KHI dalam kesarjanaan hukum Islam kontemporer lebih dekat, meminjam analisisnya Hallaq, kepada aliran liberalisme
24
Ibid.
14 religius.25 Dimana Hallaq mengatakan untuk aliran ini yang masih tetap marjinal sama sekali, menurut Hallaq “karena keasingan teori-teori mereka dari sistem-sistem hukum yang ada dan karena pengasingan mereka dari pusat-pusat kekuatan politik yang sangat diperlukan untuk implementasi praktis ide tertentu.” Selain itu Hallaq juga mengatakan: ”Tujuan utama kaum liberalis adalah memahami wahyu secara teks dan konteks. Hubungan antara teks dan masyarakat modern tidak tergantung pada suatu penafsiran literalis tetapi lebih kepada penafsira terhadap semangat dan tujuan yang ada di balik bahasa teks-teks wahyu. Pendekatan liberalis ini dipandang sebagai prinsip-prinsip yang bermanfaat karena kebutuhan dan keperluan, yang dipandang oleh liberalis sebagai prinsip yang pembaharu mengadopsi pendekatan ini, metodologi mereka jelas berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.” Jadi, apa yang digagas dalam CLD-KHI merupakan horizon baru dalam pengembangan teori hukum Islam dalam peta perkembangan teori hukum Islam secara internasional. Hal ini sebenarnya mengingatkan kita bahwa fenomena CLD-KHI semakin meneruskan sejarah pluralitas hukum Islam di Indonesia, yang memang sebuah keniscayaan sejarah, seperti yang diuraikan secara agak panjang pada bab II. Dan sebenarnya jika mau jujur CLD-KHI memiliki tambatan sejarah yang tidak main-main dalam dinamika hukum Islam di Indonesia, lihat misalnya kasus Muhammad Arsyad alBanjari pada abad ke 18 yang telah mengembangkan hukum Islam dengan menyantuni aspek lokalitas (terutama masalah mawarits). Meskipun CLD-KHI telah gagal menjadi satu undang-undang yang mengikat bagi warga negara, namun ada baiknya melihat fenomena itu dari kaca mata Tata Hukum di Indonesia. CLD-KHI adalah hasil kajian dan penelitian yang dilakukan oleh Tim Kajian
25
Sebagai bukti, tim penggagas mengusung prinsip Pluralisme (al-Ta'addudiyyah), Nasionalitas (Muwâthanah), Penegakan HAM (Iqâmat al-Huqûq al-Insâniyyah), Demokratis (al-Dîmûqrathiyyah), Kemaslahatan (al-Mashlahat), Kesetaraan Gender (al-Musâwah al-Jinsiyyah), sedangkan prinsip tersebut masih terasa asing bagi telinga masyarakat muslim Indonesia. Terlebih jika dimasukkan ke dalam tawaran revisi KHI, dan ini menyebabkan ide yang diusung oleh tim penggagas CLD-KHI semakin termarjinalkan.
15 KHI terhadap naskah KHI (di bawah naungan Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI) yang dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: 1.
Mengumpulkan seluruh hasil penelitian terdahulu mengenai KHI, baik dalam bentuk tesis, disertasi, dan laporan ilmiah lainnya.
2. Melakukan
survei
lapangan
di
lima
wilayah
yang
dikenal
gigih
memperjuangkan formalisasi syariat Islam, yakni Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. 3. Melakukan kajian perbandingan dengan hukum keluarga Islam yang dipakai di beberapa negara Islam, seperti Tunisia, Irak, Syiria, Yordan, dan Mesir. 4. Melakukan kajian kritis dan komprehensif terhadap literatur fiqih klasik menyangkut isu perkawinan, waris, dan wakaf. 5. Merumuskan kesimpulan penelitian dalam bahasa hukum dengan mengambil formal counter legal draft. 6. Melakukan verifikasi (uji shahih) argumentasi teologis, hukum, sosiologis, dan politis terhadap draft yang disusun. Hal ini dilakukan beberapa kali dengan mengundang sejumlah pakar agama, hukum, sosiologis, dan politik. 7. Merumuskan ulang counter legal draft tersebut dengan melakukan revisi berdasarkan input dan masukan yang diperoleh dari beberapa kali workshop. 8. Me-launching counter legal draft kepada publik untuk diketahui secara luas dengan maksud memberikan bekal dan pencerahan kepada publik agar mereka dapat mendorong dan mengkritisi perubahan KHI.
16 9. Merevisi kembali hal-hal yang sulit diterima publik, di antaranya soal perjanjian perkawinan. Karena isu ini menimbulkan kesalahpahaman yang besar di masyarakat, sehingga tim memutuskan untuk dihilangkan dari rumusan.26
Dalam konteks ini sebenarnya merujuk apa yang dikatakan Jimly bahwa pada dasarnya, ide pembentukan suatu undang-undang dapat diprakarsai oleh siapa saja. Organisasi politik, organisasi kemsyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, ataupun kelompok-kelompok masyarakat dan warga Negara dapat dengan bebas menjadi pengusung ide untuk pembentukan suatu undang-undang yang mengatur mengenai halhal tertentu. Namun, prakarsa resmi hanya dapat dilakukan melalui prosedur tertentu yang telah ditentukan secara konstitusional dalam UUD 1945, yang teknisnya diatur lebih lanjut dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.27 Hal ini berarti proses pengajuan CLD-KHI menjadi undang-undang yang merevisi KHI (yang hanya Inpres) sudah sangat tepat dan sistematis. Bahkan jika kita melihat Tim Penggagas yang ada adalah bentukan dari salah satu Departemen (Agama), berarti secara struktural mereka dapat secara langsung meneruskannya kepada Menteri Agama, selanjutnya kepada Presiden. Kemudian, seperti yang dikatakan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Artinya pemerintah dapat memprakarsai atau mengambil
26
Kompilasi Hukum Islam dan Perempuan, Naskah Tim Penggagas CLD-KHI, naskah tidak dipublikasikan. 27 Dalam hubungan ini, yang dapat mengambil inisiatif atau prakarsa resmi adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri sebagai lembaga pembentuk undang-undang, (ii) Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif, dan (iii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lihat, Jimly Asshiddiqie, Perihal, 281.
17 inisiatif lebih dulu untuk merancang sesuatu kebijakan yang akan dituangkan menjadi undang-undang.28 Dari sini dapat dimengerti proses pembentukan undang-undang bagi CLD-KHI untuk menjadi undang-undang, hanya berkutat hingga pada tim penggagas (pokja PUG Depag) tidak bisa diteruskan kepada struktur yang lebih atas, Menteri Agama untuk diteruskan kepada Presiden. Karena secara mentah-mentah Menteri Agama menolaknya dan bahkan membubarkan Tim tersebut. Jika sekarang usaha untuk merevisi KHI diteruskan menurut hemat penulis masih ada celah, yaitu dengan mengajukan judicial review atas materi KHI kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Celah inipun sebenarnya juga bisa bermasalah, karena secara konstitusional KHI hanyalah Inpres bukan undangundang, sedangkan otoritas MK kemungkinan besar tidak bisa menjamahnya. Mandeg-nya proses “yang seharusnya” ditempuh oleh Tim CLD-KHI dalam mengusung CLD-KHI menjadi suatu bentuk hukum positif pada dasarnya tidak terlepas dari “pertikaian” antar bangunan paradigma hukum Islam dalam konteks Indonesia. Jika di atas telah disebutkan bahwa para penggagas tim CLD-KHI –meminjam pemikiran Wael B. Hallaq– termasuk dalam aliran liberalisme religius, maka para pihak yang lebih otoritatif dalam struktur kenegaraan (misalnya dalam hal ini adalah Menteri Agama dengan didukung oleh fatwa MUI dan beberapa organisasi keagamaan yang lain) dan kemudian melakukan pembekuan dan penghadangan terhadap proses CLD-KHI, dalam hal ini dengan tetap merujuk pada Hallaq, kelompok yang terakhir ini bisa kita masukkan ke dalam aliran utilitarianisme religius (yang miskin metodologi?). Hal ini berbeda dengan kasus proses KHI, yang terkesan “begitu mulus” berevolusi dari suatu hasil ijtihad sekelompok Ulama menjadi satu bentuk hukum positif (meskipun hanya berupa 28
Lihat Bab II.
18 Inpres). Karena peta paradigma hukum Islam pada saat itu cenderung dalam nada dan suaru yang sama, baik dari tingkat bawah hingga tingkat lebih lanjut memiliki paradigma yang sama, yaitu aliran utilitarianisme religius, walaupun di dalamnya tetap memiliki keberagaman. Jadi, kemandegan proses CLD-KHI tidak terlepas dari konflik antar aliran di atas. Andaikan para pemegang otoritas kenegaraan lebih banyak dikuasai oleh para penganut aliran liberalisme religius, mungkin akan berbeda jadinya dalam kasus CLDKHI.
C. KESIMPULAN Dalam peta kecenderungan pembaruan hukum Islam, pemikiran tim penggagas CLD-KHI memiliki tipologi yang beragam. Namun demikian, keragaman tersebut tampak eklektik dan saling menguatkan. Selain itu, jika kita menggunakan pemetaan Wael B. Hallaq, maka pelbagai tipologi yang beragam di atas sebenarnya bermuara pada arah dan kecenderungan yang sama dalam aliran liberalisme religius yang kaya metodologi dan merupakan horizon baru pengembangan teori hukum Islam kontemporer. Mungkin fenomena inilah, baik disadari oleh para penggagas ataupun tidak, secara laten menjadi penuntun pada munculnya istilah ijtihad jama’i dalam proses penggagasan CLDKHI. Dalam hal ini mengingatkan kita dengan apa yang didefinisikan oleh Louis Althusser sebagai “ideologi.” Posisi CLD-KHI dalam tata hukum di Indonesia baru pada tahap sumbangan pemikiran saja, meskipun sudah dalam bentuk draft rancangan perundang-undangan.
19 D. SARAN Secara lebih luas, sebenarnya studi ini dapat dilanjutkan oleh peneliti yang lain, misalnya bagaimana keterkaitan CLD-KHI dengan para praktisi hukum di pengadilan agama atau keterkaitannya dengan masyarakat Muslim Indonesia secara lebih luas. Atau mungkin juga diskusi mengenai CLD-KHI dikaitkan dengan perubahan struktur masyarakat dunia yang “diklaim” mengarah pada globalisasi dalam segala aspek kehidupan.