PEMBARUAN HUKUM ISLAM (Upaya Aktualisasi Pembaruan Fiqh Islam) Dulsukmi Kasim1
Abstract: The writer try to describe about reformation of Islamic law is considered on the epistemology, story,and methodology. The reformation of Islamic law seriously which is done by the scientist in valid method to deliver Islam fiqih for the based on the science progress. Whether to make to criate new (modern) law and to the society. Knowledge about law tex, which in the book and sunah and it’s content. So far, actualization of Islam fiqih reform movement had road in many countries, whether as individual or collect (group). The end, many results which have contributed, like recommendations, and or decisions are able to be treasure to think Islam go to new Islam fiqh creation.
Key Words: Reformer, Fiqh Islam, Aktualisation Pendahuluan Salah satu pertimbangan yang dapat meyakinkan pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menilai pengetahuan yang ada dalam Islam sebagai sesuatu yang patut diakui sebagai sebuah ilmu pegetahuan (science) adalah adanya kajian tentang pembaruan dalam Islam. Aspek inilah yang sangat memungkinkan adanya perkembangan dan kedinamisan dalam ilmu-ilmu agama Islam. Dengan adanya bidang ini memungkinkan seluruh cabang keilmuan dalam Islam mengalami revisi, rekonstruksi, penemuan baru, dan keterbukaan terhadap berbagai kemajuan yang dicapai oleh iptek secara umum. Bahkan di saat yang sama sangat memungkinkan adanya penolakan terhadap paham keagamaan lama kemudian lahirnya paham baru yang ashlah dan sesuai dengan tuntutan zaman dan hajat kekinian umat manusia. Sebagai sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an dan Sunnah merupakan teks-teks suci yang tidak akan pernah mengalami perubahan secara kuantitas dan isi redaksi. Di dalamnya terkandung ajaran dasar tentang Islam yang masih senantiasa membutuhkan penjelasan dan pemahaman dari para ulama dan cendekiawan muslim 1 Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam di IAIN Sultan Amai Gorontalo Jurusan Ahwal Syakhshiyah. E-mail:
[email protected]
yang memiliki qudrah, malakah, atau kafa’ah untuk selanjutnya dapat ditransfer kepada masyarakat luas dalam bentuk ajaran dan doktrin pemahaman sesuai titik akhir kemampuan berfikir, kondisi, dan situasi di mana para ulama tersebut berada. Tugas mulia itu pada mulanya dijalankan oleh Sahabat Nabi kemudian para Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in sampai sekarang oleh para ulama Islam. Upaya mereka tersebut kemudian dikenal dengan ijtihad, dan kumpulan hasil pemikiran mereka kemudian dikenal dengan nama fiqh atau kodifikasi hukum-hukum Islam. Sejak Rasulullah wafat, para ahli di setiap generasi tidak pernah berhenti melakukan penggalian dan pengkajian atas hukum Allah yang terkandung dalam AlQur’an dan Sunnah. Seiring dengan itu lahirlah para pembaharu dan para mujtahid di setiap masa. Walaupun dalam beberapa fase intensitas penggalian hukum mereka mengalami pasang surut, bukan berarti gerakan ijtihad para ulama berhenti. Menurut Huzaimah Tahido Yanggo, sesungguhnya pada periode kelesuan ijtihad (Abad XXIX M./IV-XIII Hijriyah) kegiatan ijtihad tetap muncul dan bergeliat. Artinya, tetap dijumpai beberapa ahli yang melakukan ijtihad untuk mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat khususnya pada persoalan-persoalan furu’iyah. Sebut saja di antaranya Imam al-Shuyuthy (w. 911 H.), Imam al-Dahlawy (w. 1176 H.), dan Imam al-Syaukany (w. 1250 H.) pada abad XII Masehi. Serta Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah masing-masing pada abad XIV Masehi.2 Para mujaddid tersebut memiliki kemampuan yang tidak kalah dibanding generasi sebelum mereka atau bahkan sesudahnya, hanya saja mereka kurang mengalami kebebasan berfikir dan berijtihad, walaupun tidak juga dapat dikatakan bahwa mereka hanya taklid semata. Itu terbukti bahwa di dalam masa kelesuan ijtihad itu mereka justeru tampil melakukan bentuk ijtihad yang lain yaitu mentakhrij, mentarjih, serta menyusun karya-karya tentang al-khilaf atau fiqh Ikhtilaf.3 Olehnya itu, Yusuf al-Qardhawy mengatakan bahwa setiap zaman tidak pernah kosong dari pembaharu atau mujtahid, dan tajdid yang sesungguhnya diperlukan dalam segala hal, baik dalam urusan dunia, urusan agama, sampai kepada urusan iman
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1999), h. 44. Said Aqil Husein al-Munawar, dalam Abuddin Nata, Masail al-Fiqhiyah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16. 2 3
sekalipun.4 Bahkan, M. Quraish Shihab mengklaim bahwa semua ulama dan pemikir mengakui perlunya penyegaran ajaran agama atau apa yang diistilahkan dengan tajdid. Makanya, adalah suatu kekeliruan besar dari ulama dan cendekiawan kontemporer bila mereka bertaqlid atau meniru secara utuh dan rinci semua pendapat para ulama terdahulu, sebab objek yang mereka temui dan kacamata yang mereka gunakan kemungkinan besar telah berbeda dari segi konteks dan rinciannya dengan apa yang kita lihat dewasa ini.5 Berangkat dari dua opini tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa tajdid atau “pembaruan” merupakan tuntutan zaman dan akan selalu ada mengiringi persoalan kehidupan manusia. Pembaruan dalam Islam ini tidak hanya berkonotasi mengembalikan ajaran agama sebagaimana keadaannya pada masa salaf, sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abduh dan Sahl as-Sa’luki, atau difahami sebagai penyebaran ilmu semata, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, tetapi lebih luas dari itu. Tajdid dapat mencakup penjelasan ulang dalam bentuk membuat kemasan yang lebih baik dan sesuai kondisi mutakhir terkait ajaran-ajaran agama yang pernah diungkap oleh para pendahulu dan masih tetap relevan hingga kini, namun telah disalah fahami oleh masyarakat. Demikian pula pembaruan juga bisa berarti mempersembahkan sesuatu yang benar-benar baru, baik karena belum dikenal pada masa lalu maupun telah dibahas tapi tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Oleh karena itu, hajat akan adanya pembaruan dalam ilmu-ilmu keislaman merupakan sutu hal yang mendesak dan amat dibutuhkan dewasa ini, tidak terkecuali khususnya pada masalah fiqh dan ushul fiqh (Hukum Islam).6 Sebab fiqh dan ushul fiqh merupakan hasil ijtihad dan usaha berfikir yang tentunya dapat dipengaruhi banyak hal, seperti kondisi sosial, perkembangan iptek, kecenderungan dan tingkat intektualitas masing-masing mujtahid. Apalagi setiap masyarakat mempunyai ciri dan budayanya yang dapat berkembang dari satu waktu ke waktu yang lain, sehingga
Yusuf al-Qardhawy, Fatawa Mu’ashirah, Jilid 2, (Mansourah: Dar al-Wafa, 1994), h. 141. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Jilid 2,(Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 456. 6 Yusuf al-Qardhawy, Fatawa Mu’ashirah, op. cit., h. 142. 4 5
masing-masing dapat memakai tolok ukur yang berbeda tentang suatu perkara, sehingga otomatis dapat memunculkan hasil ijtihad yang berbeda-beda pula.7 Di sisi lain, kehidupan masa kini yang terus menerus berkembang justeru telah menimbulkan banyak problematika dan persoalan yang menanti respon Islam dalam menerapkan hukum-hukumnya baik yang tsabit (tetap) maupun yang mutagayyir (menerima perubahan). Pada saat yang sama, ada banyak pula persoalan di masa lalu yang tertera pembahasannya dalam literatur fiqh klasik sudah tidak ditemukan lagi pada masa sekarang karena masanya sudah berlalu, katakanlah seperti masalah perbudakan (memerdekakan hamba), tukang menyusui bayi, dan lainnya. Sebaliknya, ada banyak pula persoalan baru yang belakangan telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan umat Islam modern namun belum terintegrasi ke dalam pembahasan fiqh atau ensiklopedi hukum Islam. Misalnya, persoalan Hak Azasi Manusia (HAM), praktek kedokteran modern seperti: Transplantasi organ tubuh, rekayasa genetika, dan cloning. Serta beberapa bentuk perusahaan modern seperti waralaba, yayasan, transaksi perbankan, asuransi, bursa efek, dan sebagainya. Memang beberapa persoalan baru tersebut di atas memang telah dapat ditemui di beberapa karya ulama kontemporer melalui hasil ijtihad mereka masing-masing, misalnya buku Fatawa Mu’ashirah karya Yusuf al-Qardhawy, buku Ahsanul Kalam fil Fatawa wa al-Ahkam karya Athiyyah Shaqar, dan lainnya yang banyak mengangkat persoalan kontemporer dalam dunia Islam. Namun persoalannya buku-buku tersebut baru sebatas fatwa dan belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat. Justeru bukubuku fiqh yang masih banyak digunakan oleh masyarakat umum sebagai rujukan dan bahan bacaan sehari-hari adalah masih kitab-kitab klasik karena bagaimanapun juga kitab-kitab fiqh klasik inilah yang lebih mudah didapat serta banyak tersedia di tokotoko buku, pameran-pameran, dan perpustakaan. Selain itu, kajian atas problematika baru tersebut tidak lebih hanya berupa ijtihad fardi atau ijtihad kolektif yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fiqh, atau forum-forum ilmiah, serta melalui tesistesis akademis yang sifatnya masih berserakan di sana-sini. Sehingga dengan begitu sudah saatnya dibutuhkan sebuah susunan kompilasi fiqh yang lebih komprehensif dan mengakomodir tema-tema kontemporer di dalamnya yang mudah dirujuk dan
7
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, op. cit., h. 459.
menjadi acuan bersama baik dalam dunia akademik maupun dalam kehidupan social dalam dunia Islam. Fakta yang ada menunjukkan bahwa sejak beberapa tahun terakhir beberapa Negara telah memulai proyek penyusunan ensiklopedi fiqh-nya, seperti Mesir yang membuat Mausu’ah al-Fiqhiyyah yang dinahkodai oleh al-Majelis al-A’la li al-syu’un aldiniyyah Kairo. Kemudian “al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah” oleh Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah Kuwait, yang kesemuanya belum juga rampung. Bahkan menurut Jamal Athiyyah, Mausu’ah al-Fiqhiyyah Kairo bahkan telah melewati kurun waktu 40 tahun dan itupun baru menuntaskan kurang lebih 200 materi dari 1790 materi yang direncanakan. Serta baru mencetak 22 jilid dari 64 jilid yang sudah siap cetak. Sedangkan Ensiklopedi Fiqh Kuwait telah memakan waktu 30 tahun dan baru menyelesaikan 38 jilid.8 Olehnya itu tema ini menarik untuk dikaji lebih jauh mengingat persoalan pembaruan fiqh masih merupakan perbincangan hangat dalam dunia Islam khususnya
oleh para pakar hukum Islam. Lewat tulisan ini penulis mencoba
mendeskripsikan seperti apa metode pembaruan hukum Islam yang ingin diwujudkan dalam dunia Islam? Kemudian siapakah yang berhak melakukan pembaruan tersebut? serta sudah sejauh mana progres aktualisasi pembaruan fiqh Islam saat ini? Makna Pembaruan Hukum Islam dan Sejarahnya Dalam bahasa sehari-hari, dijumpai beberapa istilah kata yang sering dikonotasikan semakna dengan pembaruan, seperti istilah: reformulasi, modernisasi, reaktualisasi, rekonstruksi, tarjih, ishlah dan tajdid. Di antara kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformulasi, ishlah, dan tajdid. Reformulasi sendiri berasal dari bahasa Inggris “re” berarti kembali dan “formulation” yang berarti perumusan.9 Sehingga makna reformulation ialah perumusan kembali. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “formulasi” berarti perumusan atau merumuskan dan
Wahbah Zuhaily dan Jamaluddin Athiyyah, Tajdid al-Fiqh al-Islamy, diterjemahkan oleh Ahmad Mulyadi dengan judul “Kontroversi Pembaruan Fiqh; Debat Intelektual Dr. Wahbah Zuhaily versus Dr. Jamal Athiyyah”, Indonesia: Erlangga, 2002, h. 4. 9 Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Edisi III; (Jakarta: Modern English Press, 1987), h. 737. 8
menyusun dalam bentuk yang tepat. Dengan kata lain, reformulasi artinya merumuskan dan menyusun kembali sesuatu dalam bentuk yang lebih tepat.10 Kata “tajdid” berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata jaddada yujaddidu, yang berarti “memperbarui” sehingga tajdid artinya “pembaruan”. Dalam Kamus
al-Munjid,
kata
“tajdid”
mengandung
arti
membangun
kembali,
menghidupakan kembali, menyusun kembali atau memperbaikinya agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan.11 Sedangkan kata “ishlah”, terambil dari bentuk masdar ashlaha-yushlihu-ishlah, yang artinya memperbaiki atau perbaikan.12 Dua istilah terakhir (tajdid dan ishlah), dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, sering dipakai secara berdampingan dengan pengertian yang sama, yaitu “pembaruan”.13 Ketiga kata tersebut memiliki kedekatan makna, bahkan bisa juga kesamaan makna, yaitu sama-sama bermuara pada pengertian “perbaikan dan pembaruan”. Namun demikian, ada juga pendapat yang berbeda yang menyatakan bahwa kata “tajdid” lebih tepat digunakan untuk membahas pembaruan hukum. Alasannya, kata “tajdid” mempunyai arti pembaruan, sedangkan kata “ishlah” pengertiannya lebih cenderung kepada pemurnian. 14 Olehnya itu, kata tajdid lebih komprehensif untuk diartikan sebagai pembaruan. Sementara itu, kata Hukum Islam atau al-Hukm al-Islamy tidak pernah dijumpai dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Justeru terminologi yang paling sering digunakan adalah al-Fiqh al-Islamy atau al-Syari’at al-Islamiyyah.15 Untuk itu ketika T. M. Hasbi ashShiddieqy mendefinisikan hukum Islam, beliau menyatakan bahwa hukum Islam merupakan hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.16 Sepintas pengertian ini lebih dekat pada pengertian fiqh, di mana salah satu terminologinya difahami sebagai aktualisasi dari syari’ah atau formula yang dipahami dari syari’ah, dan syari’ah tidak dapat dijalankan dengan baik
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 320. 11 Lois Ma’luf, Al-Munjid al-Abjady, (Bairut, Libanon: Dar al-Masyriq, 1986), h. 229. 12 Ibid. 13Ahmad Munif Suratmaputra dalam Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Mashlahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 154-155. 14 Abdul Manan, Reformasi hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 146-147. 15 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 3. 16 Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.th.), h. 29. 10
tanpa dipahami melalui fiqh atau pemahaman yang memadai dan diformulasikan secara baku. 17 Olehnya itu, dalam kajian sejarah hukum Islam, pengertian hukum Islam lebih diarahkan kepada fiqh, karena fiqhlah yang memiliki karakter dinamis sebagai refleksi dari dinamika sejarah.18Dengan demikian, pembaruan hukum Islam dalam kajian ini cenderung difahami sebagai pembaruan fiqh Islam yaitu upaya dan perbuatan yang melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (mujtahid) dengan cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat hukum yang dibenarkan sehingga menjadikan fikih Islam dapat tampil lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman, dan inilah yang dalam bahasa usul fikih disebut dengan ijtihad. Pembaruan fiqh Islam berarti gerakan ijtihad dalam menetapkan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang. Bila fikih Islam tidak dikembangkan dan tidak diperbaharui, fikih Islam akan ketinggalan zaman, tidak sesuai dengan masyarakat modern. Bahkan bisa jadi fikih Islam akan ditinggalkan oleh masyarakat karena hukum tersebut tidak mampu menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal itu berarti fikih Islam tidak lagi mampu menjamin kemaslahatan hidup manusia dan tidak mampu memberikan kebahagaiaan bagi mereka. Dengan demikian, pembaruan fikih Islam sebenarnya adalah tuntutan dari fikih Islam itu sendiri, yang menyebut dirinya sebagai rahmat bagi sekalian alam di setiap waktu dan tempat, karena fikih Islam memang diciptakan untuk merealisasikan kemaslahatan umat dan untuk menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Jadi, pembaruan fikih Islam itu bukanlah berarti usaha menetapkan fikih Islam secara sembarangan tanpa pedoman dan batasan. Akan tetapi pembaruan fikih Islam itu sesungguhnya merupakan usaha menetapkan suatu ketentuan hukum yang sesuai 17 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, diterjemahkan oleh Agah Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka Setia, 1994), h. 6. 18 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), h. 59.
dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran Islam yang di dalam pemahamannya dibantu oleh perkembangan baru sebagai suatu pertimbangan dalam menjabarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar tersebut.19 Secara historis, gerakan pembaruan hukum Islam telah dimulai pada periode keemasan hukum Islam yakni sekitar awal abad II H. sampai pertengahan abad IV H. Periode ini disebut juga periode kematangan dan kesempurnaan fiqh. 20 atau masa pembukuan sunnah dan munculnya Imam-imam Madzhab (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Hambali) yang telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi bagi kajian hukum yang amat luas dan komprehensif sehingga memberikan peluang dan kemudahan kepada generasi muslim berikutnya untuk lebih mengembangkan kajian-kajian hukum dan menjalankan ketentuan-ketentuan syari’ah secara lebih baik. Lahirnya madzhab-madzhab tersebut membuat hukum Islam lebih fleksibel dan dinamis karena kehadiran mereka memunculkan berbagai alternatif hukum untuk dijalankan, yang pada akhirnya hukum Islam akan lebih adaptif dan akomodatif terhadap setiap perubahan yang terjadi di masyarakat. 21 Perkembangan selanjutnya, hukum Islam menemui titik anti klimaksnya di mana aktivitas berijtihad berhenti. Periode ini kemudian disebut dengan periode taqlid (keterpakuan tekstual). 22 Era taqlid berlangsung mulai abad IV sampai runtuhnya Kota Bagdad. Ditandai dengan munculnya iklim penjelasan permasalahan yang telah dikaji sebelumnya tanpa memberikan pemikiran baru, merumuskan kembali metode para pendiri madzhab dan melakukan pembelaan fanatik terhadap pendapat para imam madzhab.23 Walaupun begitu, para ahli hukum Islam di era taqlid ini tetap eksis mengembangkan kajian hukum Islam dengan melakukan ta’lil (pencarian illat hukum) serta tarjih (melakukan pentarjihan pendapat-pendapat yang bertentangan dalam madzhab).
19 20
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 187. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1975),
h. 18. 21 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), h. 100. 22 Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 128. 23 Syafiq Mahmadah Hanafi dan Fatma Amilia, Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid dalam Ainurrofiq, (ed.), Madzhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), h. 82
Setelah mengalami kelesuan dan kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran hukum Islam bangkit kembali pada abad ke-19 M/13H. Periode kebangkitan kembali pemikiran hukum Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut di atas yang telah membawa kemunduran pada hukum Islam. Gerakan ini dikenal dengan nama gerakan salaf (salafiyah) yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyyah (1263-1328 M) bersama dengan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (1292-1356 M). Ia mengatakan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dan tidak pernah tertutup.24 Seruan kedua tokoh tersebut untuk menghidupkan kembali tradisi ijtihad atau kembali kepada ajaran Islam yang murni menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan pembaruan hukum Islam di masa selanjutnya.25 Seperti Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1707-1787 M.) yang terkenal dengan sebutan gerakan Wahabi. Kemudian dilanjutkan oleh Jamaluddin alAfghani (1839-1897 M.) bersama dengan Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyhid Ridha di Mesir.26 Setelah dunia Islam mendapatkan kembali kemerdekaannya dari Barat, tampak upaya-upaya yang semakin intensif untuk mengangkat kembali hukum Islam dan mengadopsinya ke dalam skema hukum nasional mereka masing-masing.27 Kodifikasi hukum Islam, untuk pertama kalinya baru terealisasi dan diberlakukan secara resmi dalam kehidupan bernegara oleh pemerintahan Turki Usmani pada tahun 1876 M dengan lahirnya “Majallah al-Ahkam al-Adliyyah” yang diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani ketika itu, sampai dasawarsa ketiga abad ke-20. 28 Setelah perang Dunia II tepatnya pada tahun 1883 M. muncul kodifikasi Mesir, disusul kemudian Yordania dan Irak masing-masing pada tahun 1951 M. Kemudian Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. X; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, h. 178. 25 Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 119-120. 26 H.M. Rasjidi, Hendak Dibawa Ke Mana Umat Ini, (Jakarta: Media Dakwah, t.th.) h. 26-27. Untuk lebih jelas tentang gerakan pembaruan Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha, lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987). 27 Noel J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence, diterjemahkan oleh. H. Fuad dengan judul “Konflik Dalam Yurisprudensi Islam”, (Yogyakarta: IKAPI, 2001), h. 2. 28 Kodifikasi ini memuat 1.851 pasal yang tersebar dalam 16 bab. Kodifikasi ini mencakup masalah mu’amalah dan berasal dari satu mazhab yaitu Mazhab Hanafi. Menurut J.N.D Anderson, walaupun secara umum Majallah ini didominasi atas Mazhab Hanafi, tetapi juga di dalamnya terdapat banyak pandangan dari mazhab lain yang diakui kebenarannya oleh beberapa kelompok dalam Mazhab Hanafi. Oleh sebab itu, Majallah ini memiliki makna yang vital sehingga dalam sejarah ia dikenal sebagai kodifikasi hukum pertama yang bersumber pada syari’ah. Lihat, J.N.D. Anderson, Hukum Islam Di Dunia Modern. Penerjemah, Machnun Husein, Ed. I; (Surabaya: Amarpres, 1990), h. 25. 24
berturut-turut oleh Maroko pada tahun 1959 M., Malaysia pada tahun 1983, dan Indonesia pada tahun 1989 M yang diikuti dengan lahirnya KHI pada tahun 1991 M. Kualifikasi Seorang Pembaharu di Bidang Hukum Islam Pembaruan atau ijtihad merupakan salah satu tugas spesifik yang membutuhkan kecermatan dan ketajaman analisa di dalamnya. Ia tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang betapapun tinggi kedudukannya. Pembaruan di bidang fiqh Islam menuntut adanya kemampuan dan keahlian tertentu dalam berijtihad. Maka dari itu, kegiatan pembaruan ini hanyalah dapat dilakukan oleh para mujtahid atau orangorang yang ahli di bidangnya. Imam al-Gazali dalam kitab “al-Mustashfa” mengajukan dua syarat bagi seorang mujtahid yang layak melakukan pembaruan, yakni: memahami prinsip syariat dengan baik, dan bersikap adil. 29 Senada dengan itu, Imam al-Syathiby dalam kitab “alMuwafaqat” juga mengajukan dua syarat, yaitu: menguasai dan memahami tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah) secara utuh, serta mampu melakukan penggalian hukum berdasarkan pemahaman maqashid yang matang.30 Jika diperhatikan dengan seksama, poin utama yang amat ditekankan oleh kedua ulama di atas adalah pemahaman mendalam mengenai maqashid syariah. Hal itu dimaklumi sebab seorang pembaru yang akan melakukan pemahaman terhadap nas dan penerapannya dalam realitas yang ada akan sangat bergantung pada sejauh mana pengetahuan serta kemampuannya dalam menangkap pesan serta tujuan syari’ah dibalik penetapan hukum tersebut. Selain syarat tersebut di atas, menurut Yusuf alQardhawy hendaklah seorang mujtahid mengenal dan memahami dengan baik kebudayaan masyarakat yang ada di sekitarnya agar rumusan hukum yang akan ditetapkannya berjalan sesuai kondisi kekinian. 31 Quraish Shihab berasumsi bahwa yang berhak melakukan pembaruan khususnya pada masalah kontemporer hanyalah mereka yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Sebab dengan begitu ia mempunyai kepekaan sosial serta mengenal ciri dan budaya masyarakatnya yang bisa Abu Hamid al-Gazali, Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, Jilid: 2, (Mesir: Maktabah al-Jundiy, 1971), h. 102. 30 Abu Ishaq al-Syathiby, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid: 2, (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, t.th.), h. 105. 31 Yusuf al-Qardhawy, al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Achmad Syathori dengan judul “Ijtihad Dalam Syari’ah Islam” , (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 64. 29
saja berkembang atau berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain sehingga dapat dilahirkan tolok ukur yang berbeda. 32 Skill lain yang juga harus dimiliki oleh para pembaharu tersebut adalah: 1. Mengetahui ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, baik secara makna bahasa maupun menurut istilah syara’. 2. Mengetahui hadis-hadis hukum berikut kualitas sanad dan matannya. 3. Mengetahui nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dan Hadis. 4. Mengetahui persoalan-persoalan yang terjadi ijmak di dalamnya. 5. Mengetahui cara-cara qiyas. 6. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab. 7. Menguasai metodologi perumusan hukum Islam (Ushul Fiqh). 8. Memahami tujuan-tujuan umum dari syariah.33 Berdasarkan persyaratan kualifikasi-kualifikasi di atas, para ahli hukum Islam sepakat bahwa untuk menjadi mujtahid tidaklah sulit diwujudkan, khususnya di masa sekarang. Bila dibandingkan pada abad terdahulu, sepertinya menjadi mujtahid di abad sekarang semakin mudah untuk diraih. Hal itu terlihat dengan tersedianya berbagai macam percetakan buku, perpustakaan-perpustakaan dari manual sampai digital, pameran buku, sampai kepada program komputerisasi naskah-naskah kuno yang terinventarisir di berbagai universitas, hingga lembaga pendidikan tinggi untuk menempa kompetensi meneliti dan meningkatkan kemampuan berfikir. Di sisi lain, seorang mujtahid yang hidup di zaman ini dituntut aktif serta punya kemampuan membaca realitas yang berkembang untuk dapat berijtihad dengan baik. Tugasnya tidak hanya melakukan ijtihad pada permasalahan baru, juga tidak hanya melakukan ijtihad pada persoalan lama melalui ijtihad intiqa’i, tapi juga mencoba merumuskan metodologi baru untuk bisa melahirkan hukum agar tidak terjadi stagnasi dalam pemikiran hukum Islam.34
32 33
220. 34
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, op. cit., h. 466. Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq al-Haq Min Ilmil Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. Wahbah Zuhaily dan Jamaluddin Athiyyah, Tajdid al-Fiqh al-Islamy, op.cit., h. 6.
Bentuk Reformulasi Fiqh Islam Seruan untuk melakukan pembaruan fiqh Islam menjadi topik perbincangan menarik sejak tahun 1965, kala muncul ide proyek ensiklopedi fiqh di Departemen Waqaf dan Urusan Keislaman Kuwait. Salah satu tokoh yang paling intens mendalami gagasan ini adalah Jamaluddin Athiyah.35 Dalam pemikiran beliau ada dua macam pembaruan di bidang fiqh yang harus dilakukan, yaitu pembaruan yang berkaitan dengan bentuk dan pembaruan yang berkaitan dengan tema yang dibangun di atas sebuah metodologi berfikir yang jelas. Pembaruan tematik metodologis ini dapat muncul dari luar tatanan Islam atau dari dalam tatanan Islam. Tetapi yang harus difokuskan adalah yang bersumber dari dalam tatanan hidup umat Islam.36 Pada kontkes lain, ahli fikih kontemporer, Yusuf al-Qardhawi menambahkan bahwa fikih haruslah berkaitan dengan realitas umat dan menjelaskan hikmah hukumnya. Bahkan seyogyanya fikih kontemporer memanfaatkan hasil istinbat hukum para fuqaha yang bersifat umum dan kaidah kekinian dalam rangka bergiat fikih kontemporer. Contohnya, pembahasan zakat ternak seperti unta, kambing dan sapi masih berpedoman pada kitab-kitab klasik yang belum menyentuh ranah perusahaan seperti perbankan, perusahaan sekurites, pasar saham, pasar uang, indeks saham dan sejenisnya yang membuat kaum muslimin bertanya tentang hukumnya di manamana.37 Searah dengan pendapat tersebut, reformasi serta renovasi bahasa kitab-kitab klasik yang dikemas ke dalam bahasa modern agar cepat dipahami dengan bahasa masa kini juga merupakan bentuk reformulasi fiqh Islam yang amat dibutuhkan sekarang, seperti mereformasi kata qullah, hasta, bintu labun, mud
dan sejenisnya
dengan ukuran standar masa kini seperti kilogram, meter kubik, dollar dan lain-lain. Rekomendasi yang paling tepat untuk melakukan reformulasi fiqh Islam di masa sekarang adalah melalui kelompok kerja yang dalam bahasa ushul fiqh disebut ijtihad
35 Beliau lahir di Mesir tahun 1928. Meraih Doktor di bidang hukum dari Universite de Geneve, Swiss. Bekerja sebagai Pengacara di Mesir dan Kuwait. Pernah memangku berbagai jabatan ilmiah, di antaranya: Konsultan Perundang-undangan dan Hukum Islam bidang transaksi keuangan dan perbankan, Penasehat Akademik pada Ma’had al-Alami li al-Fikr al-Islamy, Dosen dan Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Universitas Qatar, Sekretaris Umum proyek Penyusunan Ensiklopedi Fiqh Kuwait, dan Chief Executif Bank Islam Internasional di Luxembourg. Kini menjadi Pemimpin Redaksi majalah al-Muslim al-Mu’ashir. Ibid., h. 178. 36 Ibid., h. 3-4. 37 Ibid.
jama’i (usaha kolektif).38 Mengingat era yang kita hadapi dewasa ini adalah era iptek yang telah melahirkan spesialis-spesialis dalam aneka bidang yang luas, sehingga disiplin ilmu agama tidak lagi dapat berdiri sendiri untuk menyelesaikan persoalan umat. Itulah sebabnya selain kemampuan ijtihad juga diperlukan petunjuk atau masukan dari para ahli di setiap bidang yang akan dibicarakan agar lahir pandangan dan formulasi hukum Islam yang tepat, sejalan dengan jiwa dan tujuan ajaran Islam. Aktualisasi Pembaruan Fiqh Islam Berdasarkan konsep metodologis pembaruan fiqh Islam di atas, maka pada tataran aktual di lapangan dijumpai berbagai upaya yang telah dan sedang berjalan untuk melahirkan reformulasi fiqh Islam. Pada sisi pembaruan tema fiqh Islam, Jamaluddin Athiyah membuat konsep yang garis besarnya sebagai berikut: 1. Syari’ah: Sejarah dan Teori, 2. Iman, 3.khlak, 4. Tujuan dan Kaidah-kaidah Umum Syariah, 5. Hak-hak dan Kewajiban Manusia, 6. Aturan-aturan Syariah bagi Ilmu Pengetahuan, 7. Ritual Peribadatan, 8. Ahwal Syakhshiyah, 9. Mauamalah Sipil (ekonomi), 10. Hukum Pidana, 11. Sistem Pemerintahan, 12. Pengadilan: Tuntutan dan Pembuktian, 13. Administrasi Publik, 14. Ekonomi Publik, 15. Hubungan Internasional, dan 16. Hukum Khusus Internasional.39 Sepintas tema-tema di atas masih terkesan rancu akibat dimasukkannya persoalan iman dan akhlak ke dalam pembahasan fiqh. Padahal telah dimaklumi dalam kajian keislaman bahwa kedua persoalan tersebut memiliki objek kajian yang berbeda dengan fiqh. Tapi meski demikian persoalan lainnya dalam tema tersebut cukup signifikan, apalagi beliau memasukkan persoalan-persoalan teknis yang sifatnya baru dan belum terbahas dalam fiqh klasik. Misalnya persoalan HAM, sistem pemerintahan, dan hukum administrasi publik. Selanjutnya, aktualisasi reformulasi fiqh juga menyentuh pada tataran dunia akademik dengan lahirnya berbagai tesis dan disertasi di bidang syari’ah berupa riset ilmiah yang telah diuji di hadapan para ahli dan pakar yang ada di perguruan tinggi lewat sebuah sidang munaqasyah. Seperti di Mesir, Arab Saudi, Suriah, Irak, dan Negara-negara arab dan muslim lainnya juga telah turut membantu membahas sebagian dari persoalan hukum Islam kontemporer. Di antara mereka ada yang 38 39
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, op. cit., h. 474. Wahbah Zuhaily dan Jamaluddin Athiyah, …, h. 42.
berhasil menelorkan suatu pendapat yang bijaksana dan tepat, seperti dalam masalah transaksi-transaksi syar’i yang dilakukan oleh bank-bank syariah, sampai pada persoalan kedokteran. Karya-karya ini patut untuk dimasukkan dalam khazanah pembaruan pemikiran fiqh Islam. Di samping itu, lahir pula karya-karya berupa fatwa ulama Islam kontemporer yang di dalamnya berisi pembaruan, seperti fatwa mantan syaikh al-Azhar, Mahmud Syaltut, fatwa Syaikh Musthafa al-Zarqa’, Muhammad Sayyid Thanthawy, Ahmad alSyarbashi, Athiyyah Shaqar, Syaikh Sya’rawy, Syaikh Yusuf al-Qardhawy, Wahbah alZuhaily, dan lain sebagainya. Karya-karya mereka semua walaupun sifatnya ijtihad fardi, tapi paling tidak, hasil ijtihad mereka tersebut telah turut andil mendorong fiqh Islam untuk tampil lebih responsif dan aktual dalam menjawab tuntutan zaman. Apalagi, sosok-sosok para ulama tersebut merupakan para mujtahid yang sudah tidak diragukan lagi dari sisi kapabilitas keilmuan dan ketaqwaannya. Gerakan lain yang tidak kalah progresnya adalah munculnya berbagai macam lembaga fiqh Islam Internasional yang secara berkala melakukan seminar dan kajian persoalan hukum Islam kontemporer dengan menghadirkan para pakar dan ulama Islam dari berbagai latarbelakang spesifikasi keilmuan dan madzhab. Di antaranya: 1. Lembaga Fiqh Islam Internasional (Organisasi Konferensi Islam di Jeddah Arab Saudi) Lembaga ini sudah bersidang lebih dari sepuluh kali dan telah berhasil melahirkan beberapa ketetapan dan rekomendasi, yang pada umumnya terkait dengan persoalan kedokteran dan perekonomian. Di antaranya: a. Ekonomi: zakat hutang, asuransi dan pengembaliannya, hokum transaksi perbankan dengan bunga, zakat saham dalam perusahaan, dan pemungutan zakat pada proyek-proyek yang memiliki pendapatan tanpa ada kepemilikan individu bagi para mustahiq, persoalan diskon, pasar islami, kartu kredit, pasar uang, biro jasa, dan lain sebagainya. b. Kedokteran: bayi tabung, bank susu, alat bius, pencangkokan sel otak dan sistem saraf, injeksi sel telur, penggunaan janin untuk pencangkokan anggota badan, pencangkokan kelenjar kelamin, pencangkokan anggota
badan yang dipotong karena qisas/had, terapi pengobatan bagi penyakit yang tidak punya harapan sembuh, dan lain-lain.40 2. Lembaga Fiqh Islam Rabithah ‘Alam al-Islamy (Liga Dunia Islam) Mekah Lembaga ini juga memiliki agenda tahunan untuk bersidang membicarakan berbagai persoalan umat Islam dan telah menghasilkan banyak ketetapan, di antaranya berkaitan dengan masalah fiqh. Seperti: persoalan asuransi, penyatuan hilal, berihram dari Jeddah bagi calon haji via udara, vaksinasi dan bayi tabung, persoalan uang kertas, mengubur mayat menggunakan peti, melukis nabi, pembedahan jasad (otopsi), penyembelihan dengan cara diestrum, perekaman AlQur’an dalam bentuk kaset dan CD, operasi kelamin, menulis ayat Al-Qur’an dalam bentuk burung atau lainnya, pembuatan dan pemasaran miniature ka’bah, dan lain sebagainya.41 3. Lembaga Fiqh Islam India Berbagai rekomendasi dan ketetapan yang telah dilahirkan oleh lembaga ini setelah melakukan seminar sebanyak sembilan kali, di antaranya: persoalan profesi advokat, kertas berharga, riba dan bunga bank, zakat batu mulia, terminologi “fisabilillah” dalam sasaran zakat, pembelian saham perusahaan, persoalan tanah yang terkena pajak, cara pembayaran pajak, nisbah sepersepuluh bagi produk pertanian dan budidaya ikan, produk perairan, dan lainnya.42 Selanjutnya, aktualisasi pembaruan fiqh Islam dapat dijumpai pula pada fatwa-fatwa dan rekomendasi-rekomendasi dari berbagai seminar serta konferensi di berbagai Negara, yang telah menghasilkan berbagai ketetapan yang berorientasi pada pembaruan. Seperti, ketetapan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah yang dibawahi oleh al-Azhar Kairo, konferensi perbankan Islam Kuwait, seminar-seminar Baituttamwil Kuwait, seminar-seminar Bank al-Barakah di Jeddah yang sudah 16 kali menyelenggarakan pertemuan, terakhir pada tanggal 8 juni 1999. Di samping
Ibid., h. 139. Ibid., h. 140. 42 Ibid., h. 141. 40 41
itu hadir pula berbagai konferensi pemikiran hukum Islam, seperti di Aljazair, Bahrain, Istambul, dan Negara-negara lainnya.43 Terakhir, pada masa sekarang kita bisa melihat berbagai gerakan pembaruan bagi fiqh Islam dalam bentuk legislasi fiqh Islam ke dalam tatanan hidup bernegara sebagai hukum positif yang tentunya turut membantu bagi pembaruan penerapan fiqh Islam. Seperti yang telah dilakukan oleh Sudan, Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Kuwait, Maroko, Malaysia, dan Indonesia. Mulai dari persoalan Ahwal Syakhshiyah, Jinayah, hingga persoalan Ekonomi. Dan yang paling terkini adalah rancangan undang-undang tunggal di Liga Arab dalam bidang hukum keluarga, hukum sipil, dan hukum pidana. Kemudian berbagai proyek kodifikasi fiqh yang telah dikerjakan oleh berbagai institusi perguruan tinggi terkemuka yang disusun secara ilmiah dan lebih modern dalam penyusunan materi-materinya, seperti yang dilakukan oleh Universitas al-Azhar Mesir, serta beberapa lembaga resmi negara, seperti Departemen Waqaf Kuwait, dan Hai’ah Kibar al-Ulama melalui al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’ di Arab Saudi. Berbagai gerakan dan kiprah di atas, baik yang sifatnya individu, lembaga, maupun institusi resmi Negara merupakan fakta riil yang menunjukkan progres fiqh Islam untuk tampil lebih modern, aktual, dan responsif dari tahun ke tahun seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan umat yang selalu dinamis. Walaupun tidak dapat dikatakan gerakan ini sudah efektif dan sudah maksimal, sebab dalam kenyataannya masih banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi. Misalnya ijtihad kolektif yang sudah mulai tumbuh subur, ketetapan-ketetapannya belum sepenuhnya dihormati oleh pihak Negara, lembaga, maupun individuindividu. Demikian pula berbagai hasil seminar, konferensi, dan karya ilmiah belum tersosialisasi dengan baik ke masyarakat, selain belum ada sebuah karya yang mencoba menyusun dan mengumpulkan hasil-hasil penelitian dan rekomendasi-rekomendasi dari berbagai seminar dan konferensi tersebut untuk selanjutnya dapat dibukukan atau dibuat dalam bentuk ensiklopedi lalu disebarkan ke seluruh dunia Islam.
43
Ibid., h. 143.
Penutup Pembaruan hukum Islam sebagai upaya serius yang dilakukan oleh mujtahid dengan cara yang valid mengantarkan fikih Islam agar bisa tampil lebih segar dan modern
merupakan
sebuah
gerakan
untuk
menjawab
permasalahan
dan
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya maupun menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang, atau membuat formulasi baru bagi fiqh dari sisi tema, redaksi teks, maupun gerakan ijtihad dan aktualisasinya, mengingat pembaruan sebenarnya adalah tuntutan dari syariah itu sendiri yang menyebut dirinya sebagai ajaran yang shalih li kulli zaman wa makan. Seorang pembaharu di bidang hukum Islam saat ini semakin mudah seiring dengan kemajuan IPTEK, tersedianya berbagai media, munculnya banyak wadah dan sarana untuk meningkatkan kompetensi keilmuan, dan sebagainya. Ulama mengajukan syarat kualifikasi yang harus dimiliki seorang mujtahid (pembaharu), antara lain: pengetahuan tentang teks hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah berikut kandungannya, menguasai ushul fiqh, memahami maqashid syari’ah, adil dan punya kemampuan membaca realitas berkembang di sekitarnya. Tugasnya tidak hanya melakukan ijtihad pada permasalahan baru atau lama melalui ijtihad intiqa’i, tapi juga mencoba merumuskan metodologi baru dalam perumusan hukum Islam, lebih tepat lagi bila melakukan ijtihad jama’i dengan menghadirkan para spesialis dan ahli di berbagai bidang agar lahir suatu ketetapan hukum yang berkeadilan dan adaptif. Aktualisasi gerakan pembaruan fiqh Islam telah berjalan di berbagai Negara, mulai dari yang sifatnya individu, kelompok, sampai kepada institusi resmi Negara. Hal ini mencerminkan langkah maju untuk pembaruan hukum Islam, walaupun masih belum maksimal, tapi paling tidak berbagai hasil yang sudah ada berupa rekomendasi, ketetapan dan testimoni haruslah diperhitungkan sebagai bagian dari khazanah berfikir umat Islam menuju terciptanya fiqh Islam yang baru dan ideal. Tinggal yang dibutuhkan adalah sosialisasi intensif, dukungan political will, serta mendorong upaya kodifikasi dalam bentuk kompilasi atau ensiklopedi atas semua karya ijtihad tersebut tanpa terkecuali.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahan Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos, 1999. Said Aqil Husein al-Munawar, dalam Abuddin Nata, Masail al-Fiqhiyah, Cet. II; Jakarta: Kencana, 2006. Yusuf al-Qardhawy, Fatawa Mu’ashirah, Jilid 2, Cet. III; Mansourah: Dar al-Wafa, 1994. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Jilid 2, Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2011. Wahbah Zuhaily dan Jamaluddin Athiyyah, Tajdid al-Fiqh al-Islamy, diterjemahkan oleh Ahmad Mulyadi dengan judul “Kontroversi Pembaruan Fiqh; Debat Intelektual Dr. Wahbah Zuhaily versus Dr. Jamal Athiyyah”, Indonesia: Erlangga, 2002. Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Edisi III; Jakarta: Modern English Press, 1987. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Lois Ma’luf, Al-Munjid al-Abjady, Bairut, Libanon: Dar al-Masyriq, 1986. Ahmad Munif Suratmaputra dalam Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Mashlahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2006. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.th. Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, diterjemahkan oleh Agah Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 1994. Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1975. Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah (Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam), Semarang: Aneka Ilmu, 2000. Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Syafiq Mahmadah Hanafi dan Fatma Amilia, Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid dalam Ainurrofiq, (ed.), Madzhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. X; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1997. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang.