PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PERSPEKTIF AZYUMARDI AZRA TAHUN 1983-2016
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjanan Pendidikan (S.Pd)
Oleh: MAFTUKHIN NIM: 111 12 142
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
MOTTO
َّس ِه ْم َّ ََّّإِن ِ ُّللاهَّالَّيُ هغيِّ َُّرَّ هماَّبِقه ْىمََّّ هحتىَّيُ هغيِّ ُرواَّ هماَّبِأ ه ْنف Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka. (Firman Allah)
Selalu belajar hidup berkarya untuk diri sendiri, keluarga, agama, bangsa, dan negara (Penulis).
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibuku yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, do‟a yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk putra-putrinya, motivasi yang tak ternilai, baik dari segi materil atau non materil sehingga skripsi ini bisa penulis selesaikan. Kakakku tercinta Mbak Zakiyatul Fakhiroh dan Mbak Fasikhah yang tak pernah lelah memberikan motivasi dan nasehat kepada penulis. Segenap Keluarga besar Yayasan Al Furqon Pesantren Hidayatullah Kendal, khususnya kepada Almarhum Ustadz Abi Hamzah Ar dan Umi Rofi‟ah dengan ikhlasnya mendidik penulis serta adik-adik. Segenap Keluarga besar Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kendal, khususnya Bapak Ustadz Sunardi, M.Ag., Bapak K.H. Misbakhul Fuad, M.Pd, dan guru-guru lainnya dengan ikhlas dan kesabarannya mendidik dan mengarahkan penulis, sehingga penulis bisa merasakan betapa pentingnya pendidikan. Segenap Keluarga besar Pondok Pesantren Sunan Giri Krasak Ledok Salatiga, khususnya K.H. Maslikhuddin Yazid, K.H. Muslimin Al Asy‟ari, Kyai Sa‟dullah dengan ikhlas dan sabar membimbing penulis yang nakal ini. Segenap Keluarga Yayasan Wakaf Literasi Islam Indonesia (WALI), khususnya K.H Anis Maftukhin yang selalu mengajarkan menjadi manusia yang benar manusia, yakni hidup berkarya dan hidup bermanfaat. Segenap Keluarga besar TMI Pondok Pesantren Darul Amanah, para masyayikh, para asatidz dan asatidzah yang dengan ikhlas mendidik. Meski hanya tiga tahun merasakan kebersamaan tapi tidak akan saya lupakan anugrah pertemuannya. Segenap guru-guru aktivis petani di Aliansi Petani Indonesia (API), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Maafkan penulis belum bisa apa-apa, tapi pengalaman dan ilmunya itu adalah harta yang tak ternilai, terima kasih atas ilmunya. Segenap sahabat dan teman seperjuangan di Pondok Pesantren Sunan Giri, Banyak suka duka yang kita lalui, semoga ilmu yang kita dapatkan bermanfaat dan berkah. Maafkan penulis dengan segala kekurangan. Segenap keluarga besar LPM Dinamika IAIN Salatiga yang telah menjadi kelas kuliah sebenarnya, LPM Dinamika tidak akan bisa penulis lupakan, terima kasih wacana, diskusi, dan jaringannya.
Teman-teman PPL, KKL, dan KKN yang berjuang bersama dalam suka dan duka untuk menyelesaikan tugas Negara. Teman-teman seperjuangan di Kampus IAIN Salatiga. Almamaterku tercinta IAIN Salatiga Pendamping hidup kelak InsyaAllah, yang namanya masih dirahasiakan Allah dan namanya terlukis di Lauhil Mahfudz.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PERSPEKTIF AZYUMARDI AZRA TAHUN 1983-2016”. Sholawat dan Salam Allah SWT, semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi suri teladan bagi umatnya hingga hari kiamat. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai phak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. Selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd. Selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam. 4. Bapak Dr. H. Muh. Saerozi, M.Ag. Selaku pembimbing yang telah membimbing dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibu Dra. Ulfah Susilowati, M.SI. Selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan mengarahkan selama kuliah. 6. Bapak/ Ibu dosen dan seluruh karyawan IAIN Salatiga yang telah memberikan pelayanan kepada penulis. 7. Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. yang telah bersedia diwawancarai secara khusus oleh penulis.
ABSTRAK Maftukhin. 2016. Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Perspektif Azyumardi Azra Tahun 1983-2016. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Muh. Saerozi, M. Ag. Kata kunci: Pembaruan, Pendidikan Islam, Azyumardi Azra. Salah satu tokoh pembaru Pendidikan Islam di Indonesia yang berjasa mengkonversikan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN adalah Azyumardi Azra. Penulis tertarik mengetahui pemikirannya tentang pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana biografi Azyumardi Azra? (2) Bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra? (3) Bagaimana strategi pembaruan pendidikan Islam (perguruan tinggi Islam dan pesantren) menurut Azyumardi Azra? (4) Bagaimana relevansi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia menurut Azyumardi Azra? Metode penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Sumber data primer, dari buku-buku karangan Azyumardi Azra yang berkaitan dengan pembaruan pendidikan Islam serta wawancara langsung dengannya. Sumber data skundernya, dari buku-buku lain yang berhubungan dengan penelitian. Analisa data yang digunakan adalah metode Analisis Isi. Temuan penulis bahwa Azyumardi Azra adalah akademisi Muslim asal Indonesia yang dikenal juga cendekiawan Muslim. Pada masa kepemimpinannya berhasil mengkonversikan IAIN Syarif Hidayatullah menjadi UIN sebagai kampus pembaru Islam di Indonesia. Pembaruan pendidikan Islam adalah proses pemindahan nilai budaya dan pembentukan individu berdasarkan ajaran Islam supaya dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di bumi dan tercapai kebahagiaan dunia akhirat. Strategi pembaruan Pendidikan Islam ada dua, (1) Strategi di Perguruan Tinggi Islam dengan cara penataan organisasi, penyempurnaan sistem pendidikan dan kurikulum, peningkatan personal, reformulasi tujuan, simplifikasi beban perkuliahan, dekompartementalisasi, liberalisasi sistem sks, dan penguatan akhlakul karimah. (2) Strategi di Pondok Pesantren dengan cara pembaruan subtansi, metodologi, kelembagaan, fungsi, penguatan Islam wasatiyah dan penguatan jaringan pondok pesantren. Pemikiran pembaruan Azyumardi Azra sangat relevan dengan kondisi pendidikan di Indonesia supaya tidak ada dikotomi ilmu, tercapainya akhlakul karimah, kuatnya Islam wasatiyah dan jaringan pesantren, serta terbentuknya kurikulum yang ideal.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................
i
LEMBAR BERLOGO ..........................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................
iii
PENGESAHAN KELULUSAN ..........................................................
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................
v
MOTTO .................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN .................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..........................................................................
ix
ABSTRAK .............................................................................................
x
DAFTAR ISI .........................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. B. C. D. E. F. G. H.
Latar Belakang ......................................................................... Rumusan Masalah .................................................................... Tujuan Penelitian ..................................................................... Kegunaan Penelitian ................................................................ Telaah Pustaka ......................................................................... Metode Penelitian ..................................................................... Teknik Analisis ......................................................................... Sistematika Penulisan ...............................................................
1 5 5 6 6 9 12 13
BAB II BIOGRAFI AZYUMARDI AZRA .........................................
14
A. B. C. D. E.
Latar Belakang Keluarga ......................................................... Latar Belakang Pendidikan ..................................................... Karir ............................ ............................................................. Karya ....................................................................................... Pengalaman Keagamaan ..........................................................
14 15 17 20 24
BAB III PEMIKIRAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM AZYUMARDI AZRA .....................................................................
26
A. Pemikiran Pendidikan Islam ..................................................... 1. Arti dan Tujuan Pendidikan Islam .....................................
26 26
2. Sumber Pendidikan Islam ................................................... 3. Karakteristik Pendidikan Islam .......................................... 4. Kurikulum Pendidikan Islam .............................................. 5. Metode Pendidikan Islam ................................................... B. Strategi Pembaruan Pendidikan Islam .................................... 1. Pembaruan Perguruan Tinggi Islam ................................... 2. Pembaruan Pondok Pesaantren ..........................................
30 30 32 34 36 36 48
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM AZYUMARDI AZRA .......................................................
56
A. Relevansi Pemikiran Pembaruan Pendidikn Islam ................. 1. Relevansi Arti dan Tujuan Pendidikan Islam .................... 2. Relevansi Sumber Pendidikan Islam .................................. 3. Relevansi Karakteristik Pendidikan Islam ........................ 4. Relevansi Kurikulum Pendidikan Islam ............................ 5. Relevansi Metode Pendidikan Islam ................................... B. Relevansi Strategi Pembaruan Pendidikan Islam .................. 1. Relevansi Strategi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam.... 2. Relevansi Strategi Pembaruan Pondok Pesantren ............
56 56 59 61 63 65 68 68 82
BAB V PENUTUP ...................................................................................
95
A. Kesimpulan .................................................................................. 95 B. Saran ............................................................................................. 97 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semangat pendidikan menjadi suatu keharusan bagi seluruh anggota masyarakat,
karena berawal dari pendidikan, kemajuan suatu
bangsa dan negara dapat dilihat. Mulyana (2002: 4) menyatakan bahwa pendidikan dalam proses pembangunan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, karena pendidikan merupakan sarana dalam membangun watak bangsa. Aktivitas kependidikan Islam di Indonesia pada dasarnya sudah berlangsung dan berkembang sejak sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuhkembangnya program dan praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan di Nusantara, baik berupa pendidikan Pondok Pesantren, pendidikan Madrasah, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja, maupun pendidikan agama Islam yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tertentu di Masyarakat, serta di tempat-tempat ibadah dan media massa (Muhaimin: 2003: 1). Menurut Azyumardi Azra dalam Kurniawan dan Mahrus (2013: 295-296), bahwa pendidikan Islam di era global dihadapkan pada masalah yang kompleks, baik internal maupun eksternal. Beberapa persoalan yang
memang secara rill dihadapi oleh sistem pemikiran Islam dan pendidikan Islam pada umumnya antara lain: Pertama, pendidikan Islam krisis konseptual. Krisis ini berkaitan dengan definisi dan pembatasan ilmu-ilmu didalam sistem pendidikan Islam. Krisis konseptual yang dimaksud adalah terjadinya pembagian ilmu-ilmu didalam keilmuan itu sendiri, yang menyebabkan pengkotakan pada bidang kelembagaan. Kedua, pendidikan Islam krisis kelembagaan. Krisis ini adalah akibat adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan kepada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, yaitu diantara ilmu agama atau ilmu umum. Ketiga, adanya konflik antara tradisi pemikiran Islam dan pendidikan Islam dengan modernisasi. Keempat, pendidikan Islam krisis metodologi. Yang terjadi dikalangan lembaga pendidikan Islam sekarang adalah lebih merupakan proses pengajaran dibandingkan dengan proses pendidikan. Kelima, Krisis Orientasi. Lembaga pendidikan Islam pada umumnya lebih berorientasi ke masa silam ketimbang masa depan dalam batas-batas tertentu. Melihat kenyataan ini, maka tak ayal lagi bahwa pendidikan Islam perlu mendapat perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama di Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan zaman (Sanaky, 2008: 2).
Langkah konkrit pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, pernah dilakukan oleh Azyumardi Azra, Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari tahun 1998-2006, dengan cara mengkonversikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Langkah konversi ini mulai diintensifkan pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dengan dibukanya Jurusan Psikologi dan Pendidikan Matematika pada Fakultas Tarbiyah, serta Jurusan Ekonomi dan Perbankan Islam pada Fakultas Syariah pada tahun akademik 1998/1999. Untuk lebih memantapkan langkah konversi ini, pada tahun 2000 dibuka Program Studi Agribisnis dan Teknik Informatika bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Program Studi Manajemen dan Akuntansi. Pada tahun 2001 diresmikan Fakultas Psikologi dan Dirasat Islamiyah bekerja sama dengan Al-Azhar, Mesir (https://id.wikipedia.org. Diakses 25 Oktober 2016). Dengan keluarnya keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 031 tanggal 20 Mei 2002, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta resmi berubah menjadi UIN. Peresmiannya dilakukan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia pada 8 Juni 2002 bersamaan dengan upacara Dies Natalis ke-45 dan Lustrum ke-9 serta pemancangan tiang pertama pembangunan Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui dana Islamic Development
Bank
(IDB).
(https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Syarif_Hidayatul lah_Jakarta. Diakses 02 Januari 2017). Perjuangan panjang itu membuahkan hasil dengan berbagai penghargaan yang didapat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, antara lain, (1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menempati peringkat 3 universitas di Indonesia versi Google Scholar Citations Januari 2017, dan berada di ranking pertama perguruan tinggi Islam di Indonesia (2) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia yang mendapatkan sertifikasi ASEAN University Network-Quality Assurance (AUN-QA) pada tanggal 26 April 2016 (3) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menempati peringkat 20 universitas di Indonesia versi Webometrics Januari 2015, dan berada di ranking pertama perguruan tinggi Islam di Indonesia (4) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menempati peringkat 36 universitas di Indonesia versi 4icu.org Januari 2015, dan berada di ranking pertama perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia (https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Syarif_Hidayatul lah_Jakarta. Diakses 02 Januari 2017). Berangkat dari persoalan pendidikan Islam di atas serta apa yang dilakukan
Azyumardi
Azra,
maka
penulis
tertarik
mengangkat
pemikirannya sebagai bahan penulisan skripsi dengan sebuah judul “Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Perspektif Azyumardi Azra Tahun 1983-2016” artinya, bagaimana penjelasan Azyumardi Azra
mengenai pembaruan pendidikan Islam di Indonesia sebagai sebuah jawaban atas berbagai persoalan yang sedang terjadi. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra? 2. Bagaimana strategi pembaruan pendidikan Islam (Pergurun Tinggi Islam dan Pondok Pesantren) menurut Azyumardi Azra? 3. Bagaimana relevansi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia menurut Azyumardi Azra ? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan objek pokok permasalahan maka tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. Mengetahui pemikiran pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra. 2. Mengetahui strategi pembaruan pendidikan Islam (Pergurun Tinggi Islam dan Pondok Pesantren) menurut Azyumardi Azra. 3. Mengetahui relevansi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia menurut Azyumardi Azra.
D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis Penelitian ini dapat berrmanfaat dan memperkaya khazanah teori pendidikan Islam di Indonesia. Selain itu, dapat menjadi dorongan bagi peneliti lainnya untuk mengkaji lebih dalam dan berkelanjutan, sehingga proses pengembangan pemikiran pendidikan Islam akan terus berlanjut. 2. Secara Praktis Dapat bermanfaat bagi civitas akademika Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam. E. Telaah Pustaka Sejauh pengamatan yang penulis ketahui terkait dengan penelitian pemikiran Azyumardi Azra yang berhubungan dengan pendidikan Islam antara lain: 1. Skripsi yang ditulis Ilham Arif, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2015 yang berjudul Modernisasi Pondok Pesantren (Studi Pemikiran Azyumardi Azra). Jenis penelitiannya adalah menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini disimpulkan: Pertama, modernisasi yang dilakukan pesantren dalam bentuk kelembagaan seperti pertanian, perikanan, atau sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren telah menimbulkan kemerosotan identitas pesantren. Kedua, adanya gagasan modernisasi
pesantren yaitu memasukkan ilmu-ilmu sekuler (umum) kedalam kurikulum pesantren telah menimbulkan permasalahan. Oleh karena itu menurut Azyumardi Azra pesantren harus mengkaji ulang secara cermat dan hati-hati berbagai gagasan modernisasi tersebut dan pesantren harus lebih mengorientasikan peningkatan kualitas para santrinya kearah penguasaaan ilmu-ilmu agama. Adapun model pembelajaran metode sorogan dan bandongan tetap relevan namun perlu dikembangkan dengan
dialogis.
Azyumardi
Azra
juga
mengharapkan
bahwa
metodologi pesantren harus dipertahankan, yaitu proses pengajaran yang berlangsung itu lebih merupakan learning, ta‟lim dari pada tarbiyah yang terlihat formal. 2. Skripsi yang ditulis Neneng
Siti Fatimah Nurul Aini, mahasiswa
Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2012 dengan judul “Pendidikan Karakter dalam Pandangan Azyumardi Azra”. Penelitian yang dilakukan tersebut merupakan penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa pendidikan karakter dalam pandangan Azyumardi Azra adalah proses suatu bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan sebagai khalifah dan memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien berdasarkan sumber-sumber Islam. Implikasi pendidikan karakter Azyumardi Azra dalam pendidikan Islam yakni dengan pendidikan karakter seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
3. Skripsi yang ditulis Ulfi Maslakhah, Jurusan Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2013 dengan judul “Konsep Modernisasi Pendidikan Islam dan Relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam (Telaah Pemikiran Azyumardi Azra)”. Penelitian yang dilakukan tersebut merupakan penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian tersebut meliputi pemikiran tentang modernisme tujuan, kurikulum, dan lembaga Pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam sekarang ini harus ada keseimbangan yakni bahagia dunia dan akhirat, serta peningkatan kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum Pendidikan Islam perlu dimasuki ilmu pengetahuan dan teknologi agar nantinya tercipta sumber daya manusia yang unggul dan tidak hanya dalam bidang agama namun juga ilmu pengetahuan dan teknologi. Lembaga pendidikan Islam perlu juga dikelola secara profesional dan terarah guna pencapaian hasil yang memuaskan dalam pengembangan potensi peserta didik. Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa skripsi yang penulis angkat mempunyai persamaan dan perbedaan dengan beberapa penelitian yang sudah ada. Letak persamaan dapat dilihat dari objek yang diteliti, yakni sama-sama meneliti pemikiran Azyumardi Azra dalam pendidikan Islam. Sedangkan perbedaan terletak pada fokus kajian yang diteliti. Pada penelitian pertama lebih fokus kepada modernisasi kelembagaan dan kurikulum. Penelitian kedua fokus pada konsep
pendidikan karakter menurut Azyumardi Azra, dan penelitian ketiga lebih fokus pada konsep (hakikat) modernisasi Pendidikan Islam. Fokus penelitian yang diangkat penulis ini berbeda dengan sebelumnya, yakni fokusnya lebih menitikberatkan pada strategi pembaruan (modernisasi) pendidikan Islam perguruan tinggi Islam dan pondok pesantren. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah penelitian studi tokoh. Sebagai jenis penelitian kualitatif, studi tokoh juga menggunakan metode sebagaimana lazimnya dalam penelitian kualitatif, yakni wawancara, observasi, dokumentasi, dan catatan-catatan perjalanan hidup sang tokoh. Dengan demikian penyusunan karya ilmiah ini didasarkan pada hasil studi terhadap bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan pemikiran pendidikan Islam Azyumardi Azra serta wawancara langsung. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian mengungkap suatu masalah atau peristiwa sebagaimana adanya. Hasil penelitian ditekankan pada gambaran secara objektif mengenai keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti (Nawawi,1993 31). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan factual-historis. Pendekatan factual-historis yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan historisitas faktual mengenai tokoh (Bekker & Zubair, 1990: 61).
Pendekatan ini penulis gunakan untuk mengungkapkan selukbeluk perkembangan pemikiran Azyumardi Azra sampai pada pemikirannya tentang pembaruan pendidikan Islam. 3. Pengumpulan data a. Dokumentasi. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan
metode
dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274). Pengumpulan
data
dalam
penelitian
ini
dengan
cara
pengumpulan dokumen buku-buku karya Azyumardi Azra, dan bukubuku lain yang ada kaitannya dengan permasalahan ini. Metode ini disebut dengan metode dokumentasi. Data yang dikumpulkan menjadi data primer dan data sekunder: 1) Sumber data primer, yaitu data yang diambil dari tokoh yang sedang diteliti dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini meliputi karya tulis Azyumardi Azra dan wawancara. Data primer pertama adalah dari hasil karya-karya Azyumardi Azra, meliputi: (1) Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Raja Grafindo, 1999 (2) Esei-esei Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Data primer kedua, Wawancara. yaitu proses percakapan dengan maksud untuk mengkontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak
yaitu
pewawancara
(interviewer)
yang
mengajukan
pertanyaan dengan orang yang diwawancarai (interviewee). (Bungin, 2011: 155.) Metode ini digunakan untuk mendapatkan informasi tentang konsep pembaruan pendidikan Islam perspektif Azyumardi Azra. Sedangkan yang menjadi narasumber dalam wawancara penelitian ini adalah Azyumardi Azra yang dilakukan pada pukul 10.00 tanggal 06 September 2016 di Universitas Airlangga Surabaya. 2) Sumber data sekunder, yaitu data penunjang yang berkaitan dengan tema pokok bahasan penelitian. Buku-buku penunjang sebagian masih karya Azyumardi Azra yaitu (1) Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih. Bandung: Mizan, 2000 (2) Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2012 (3) Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999 (4) Dari Harvard sampai Makkah. Jakarta: Penerbit Republika, 2005. Tidak ketinggalan juga diperoleh dari skripsi, tesis, disertasi, jurnal, catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dokumen peraturan, agenda, dan lain-lain.
G. Teknik Analisis Data Weber dalam Moleong (2002: 163) mengatakan bahwa kajian isi adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Penulis menggunakan metode ini untuk menentukan arti atau maksud dokumen yang diteliti. Analisis dalam penelitian ini menggunakan model content analysis, yakni suatu analisis tekstual dalam studi pustaka melalui investigasi tekstual terhadap isi pesan atau suatu komunikasi sebagaimana terungkap dalam literatur-literatur yang memiliki relevansi dengan tema penelitian ini yang berorientasi pada upaya membangun sebuah konsep atau memformulasikan suatu ide pemikiran melalui langkah-langkah penafsiran terhadap teks. Penelitian ini akan
mengkaji dan menafsirkan pemikiran
pembaruan pendidikan Islam yang terdapat dalam buku, teks, atau data lainnya yang berhubungan dengan pemikiran Azyumardi Azra secara komprehensif. Satuan makna dan kategori dianalisis, dicari hubungan satu dan lainnya untuk menemukan makna, arti, tujuan, dan isi dari kata yang secara eksplisit maupun implisit berhubungan dengan pemikiran pembaruan pendidikan Islam Azyumardi Azra. Hasil analisis ini kemudian dideskripsikan dalam bentuk laporan penelitian sebagaimana pada umumnya.
H. Sistematika Penulisan Bagian awal, meliputi: sampul, lembar berlogo, judul (sama dengan
sampul),
persetujuan
pembimbing,
pengesahan
kelulusan,
pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, dan daftar lampiran. Bagian inti berisi: BAB I: Pendahuluan berisi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kajian Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II: Biografi Azyumardi Azra berisi: Biografi Azyumardi Azra yang membahas tentang latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, karir, pengalaman keagamaan, dan karyanya. BAB III: Pemikiran Azyumardi Azra tentang pendidikan Islam di Indonesia serta strategi pembaruan pendidikan Islam (Perguruan Tinggi Islam dan Pondok Pesantren). BAB IV: Relevansi Pemikiran Azyumardi Azra tentang pendidikan Islam di Indonesia serta strategi pembaruan pendidikan Islam (Perguruan Tinggi Islam dan Pondok Pesantren). BAB V: Penutup berisi: Kesimpulan dan Saran. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II BIOGRAFI AZYUMARDI AZRA A. Latar Belakang Keluarga Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., adalah seorang akademisi Muslim asal Indonesia. Ia juga dikenal sebagai cendekiawan Muslim (Kompas, 22 November 2009 dalam www.kompas.com dikutip 20 Desember 2016). Azyumardi Azra dilahirkan di Lubuk Alung, Sumatra Barat pada 4 Maret 1955 dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis. Ia besar di lingkungan Islam modernis , tetapi justru merasa asyik dalam tradisi Islam tradisional (Masruroh dan Umiarso, 2011: 151). Azyumardi Azra menyatakan bahwa pengalaman keislaman yang lebih intens justru ia dapatkan setelah mempelajari tradisi ulama dan intelektual mereka (Azra, 2000: 19). Ayah Azyumardi Azra seorang tukang kayu, pedagang kopra dan cengkih, dan ibunya adalah seorang Guru Agama. Ia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya bercita-cita keras agar semua anakanaknya bisa sekolah meskipun kondisi ekonomi tak memungkinkan untuk membiayai. Azra menyatakan bahwa ia tahu, betapa sulitnya bagi ayahnya, akan tetapi anak-anaknya selalu didorong agar belajar dan balajar (Azra, 2000: 19). Azyumardi Azra menyatakan bahwa meskipun orang tuanya tidak sekolah tinggi tetapi selalu mengajarkan bahwa ilmu itu sangat penting, oleh karena itu meskipun susah dalam kehidupan, semua anak-anak
sekolah dan semua menjadi sarjana. Orang tuanya sadar bahwa ilmu sangat bermanfaat bagi kehidupan anak-anak kelak maka orang tuanya selalu
berusaha
mendorong
untuk
selalu
menuntut
ilmu
(www.tokohindonesia.com. Dikutip 21 September 2016). B. Latar Belakang Pendidikan Azyumardi Azra memulai pendidikan formalnya pada umur 9 tahun di Sekolah Dasar (SD) disekitar rumahnya. Kemudian meneruskan pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Padang. (Masruroh dan Umiarso, 2011: 151). Setamat PGAN pada tahun 1975, Azyumardi Azra sempat bersilang pendapat dengan kedua orangtuanya. Pada awalnya, Azyumardi Azra tidak bercita-cita menggeluti studi keislaman. Sebab, ia lebih berminat memasuki bidang pendidikan umum, yakni Jurusan Sejarah di Universitas Andalas atau IKIP Padang karena salah seorang gurunya gurunya menyarankan demikian. Akan tetapi, orang tuanya menginginkan ia kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Padang. Pada akhirnya Azyumardi lebih memilih kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah (Azra, 2000; 20). Ia kuliah di Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif dalam beberapa organisasi intra dan ekstra institut. Ia pernah menjadi ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah (1979-1982). Lalu, ia juga pernah duduk sebagai ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (1981-1982). Dengan kecerdasannya, setelah menyelesaikan kuliah S1 (1982), Azyumardi Azra memperoleh beasiswa Fullbright Foundation untuk
melanjutkan program S2 di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat dan pada tahun 1988 ia memperoleh gelar Master of Art (MA) dari Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah. Sebenarnya usai S2, seharusnya ia pulang ke tanah air karena tidak ada biaya untuk program selanjutnya tapi karena memperoleh beasiswa Columbia University President Fellowship, ia melanjutkan pada Departemen Sejarah. Dari jurusan ini ia memperoleh gelar M.Phil pada tahun 1990. Pada tahun yang sama (tahun 1990), Azyumardi Azra melanjutkan studi program S3 di UCLA di bidang Sejarah dan memperoleh gelar Ph.D (Doktor) pada tahun 1992 dengan disertasinya berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (Syamsul Kurniawan dan Ewin Mahrus, 2013: 286). Kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” yang diterbitkan oleh Mizan Bandung pada tahun 1998. Disertasi doktor yang relatif berat itu merupakah hasil penelitian di beberapa tempat, antara lain di Mesir, Belanda, dan Saudi Arabia. Penelitian itu, atas biaya Ford Foundation yang menghabiskan waktu setahun. Modal pengalamannya sebagai wartawan memudahkan ia untuk menganalisis data dan mengorganisirnya menjadi tulisan disertasi sehingga setelah mengumpulkan data, ia menulis disertasi yang tebal 600 halaman, dengan waktu relatif cepat, yakni dari September 1991 sampai
Juni 1992 (Triyadi, 2009: 60). Setelah menyelesaikan program Doctoral (S3), Azyumardi Azra terpilih lagi mengikuti program post doctoral di Oxford University selama setahun (Ninik Masruroh dan Umiarso, 2011: 153). C. Karir Azyumardi Azra Di tengah kesibukan belajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra menyempatkan diri menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat tahun 1979-1985. Pada media rintisan HAMKA ini, ia sangat produktif menulis untuk mempertajam pemikiranpemikirannya. Azyumardi Azra juga menempuh karir sebagai peneliti di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI tahun 1982-1983 (Masruroh dan Umiarso, 2011: 155). Belum genap satu tahun di PPIM, Prof. Dr. H. M. Qurais Shihab Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat itu, pada tanggal 1 Februari 1998, menunjuk Azyumardi Azra sebagai pembantu Rektor I. Banyak langkah yang dilakukan Azyumardi Azra selama menjabat sebagai pembantu Rektor I, salah satunya adalah mengeluarkan keputusan untuk tamatan pesantren, walaupun hanya berbekal ijazah lokal tapi bisa diterima menjadi mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah. Menurut Azyumardi Azra, tamatan pesantren sangat memiliki potensi, khususnya di bidang bahasa dan pengetahuan agama. Selain itu, alasan yang lain adalah untuk menjalin hubungan dengan umat Islam khususnya dengan kalangan pesantren (Wachidah, 2016: 55)
Selanjutnya sejak tanggal 14 Oktober 1998 menjadi tahun yang cukup bersejarah bagi Azyumardi Azra. Pada saat itulah Azyumardi Azra dikukuhkan
menjadi
Rektor
IAIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta,
menggantikan Qurais Shihab yang bertugas sebagai Duta Besar RI di Mesir (Asnawan, 2010: 65). Selama menjabat menjadi Rektor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra mempunyai perhatian terhadap peningkatan kualitas dosen dan mahasiswa dengan menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi luar negeri, seperti Mesir dan Leiden serta merintis kerjasama
dengan
Universitas
Aligarh
India,
Australia
National
University, dan Universitas di Philipina dan Malaysia (Azra, 2000: 18). Pemegang
jabatan
tertinggi
di
lingkungan
IAIN
Jakarta,
Azyumardi Azra membawa misi mengembangkan IAIN menjadi perguruan tinggi yang tidak hanya mengajarkan dan menjadi pusat pengembangan ilmu agama, tetapi juga ilmu humaniora, ilmu sosial, dan ilmu eksakta. Melalui konsep transformasi atau konvensi, IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), diharapkan ketiga bidang ilmu tersebut akan dikembangkan di IAIN secara seimbang. Pada masa kepemimpinan, status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tanggal 20 Mei 2002 (Kurniawan & Mahrus, 2013: 287). Untuk kedua kalinya, Azyumardi Azra terpilih kembali menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 2002, ia juga
ditugasi menjadi Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, yang sebelumnya dijabat oleh Prof. Dr. Nurcholis Madjid. Dipilihnya Azyumardi Azra menjadi Rektor, dikarenakan ia dikenal sebagai akademisi yang memiliki integritas keilmuwan yang mumpuni (Wachidah, 2016: 56). Disamping sibuk menjadi dosen dan mengurusi kampus, Azra juga aktif menjadi anggota dewan redaksi jurnal: Ulumul Qur‟an, Islamika, editor chief Studia Islamika, dan Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta (Azra, 2002: 284). Ia juga dipercaya menjadi dosen tamu di University of Philipines dan University Malaya pada 1997. Azra juga aktif sebagai anggota SC SEASREO (Southeast Asian Studies Regional Exchange Program) Toyota Foundation & The Japan Foundation sejak ahun 1998 sampai sekarang. Selain itu, Azra juga termasuk salah seorang pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) (Azra, 2000: 26). Dari berbagai daftar riwayat hidup Azyumardi Azra dalam setiap buku yang diterbitkannya, dapat diketahui bahwa karir Azyumardi Azra sebagai berikut: 1. Wartawan majalah Panji Masyarakat(1979 sampai 1985). 2. Lembaga Riset Kebudayaan Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LRKN LIPI (1982-1983). 3. Wakil direktur Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM) di Jakarta.
4. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran, Islamika, dan EditorinChief Studia Islamika 5. Dosen tamu di University of Philippines (1997) 6. Dosen tamu di Universiti Malaya (1997). 7. Anggota pada SC SEASREO (Souhteast Asian Studies Regional Exchange Program) Toyota Foundation & The Japan Foundation (1998 sampai sekarang). 8. Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) 9. Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS). 10. Guru Besar Sejarah pada Fakultas Adab. 11. Pembantu Rektor I pada 1998 dan Rektor IAIN syarif Hidayatullah Jakarta sejak 14 Oktober 1998. 12. Tahun 2002 , Azyumardi Azra juga ditugasi untuk menjadi Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, yang sebelumnya dipegang oleh Nurcholish Madjid. D. Karya-Karya Azyumardi Azra Hingga kini lebih dari 15 buku yang telah Azra tulis, tidak termasuk makalah dan jurnal-jurnal berbahasa Indonesia dan Inggris. Oleh sebab itu, Azra tergolong penulis paling produktif, khususnya sejarah dan kajian
keislaman
(Harian
Kompas,
25
Maret
2004
dalam
www.kompas.com. Dikutip 20 Desember 2016). Buku-buku yang ditulis dan diterbitkannya antara lain, buku berjudul: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII Dan XVIII
terbitan Mizan tahun 1994. Lalu, buku Pergolakan
Politik Islam: Dari Fundamentalis, Modernis, hingga Post Modernisme terbitan Paramadina tahun 1996. Kemudian buku-buku Editannya seperti Islam dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan terbitan Pustaka Panjimas tahun 1984, Perkembangan Modern dalam Islam terbitan Yayasan Obor Indonesia tahun 1984,
Agama di Tengah Sekulerasi Politik
terbitan
Pusaka Panjimas tahun 1985 (Azra, 2003: 174). Pada tahun 1999, Azra menerbitkan enam buku terbarunya dan meluncurkannya pada tanggal 21 September 1999. Buku-buku tersebut yaitu: Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam terbitan Logos Wacana Ilmu Ciputat, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan terbitan Paramadina Jakarta, Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan, dan Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan terbitan Rosda Karya Bandung (Azra, 2000: 30). Pada tahun 2000 Azra menerbitkan dan meluncurkan buku kumpulan wawancaranya yaitu Islam Subtantif: Agar Umat Islam Tidak Jadi Buih terbitan Mizan Bandung, Azra juga telah menyiapkan tiga manuskrip bukunya berbahasa Inggris yang penerbitnya di Singapura, ketiganya berjudul Islam In Indonesia: Continuity And Changes In Modern World. Islam in Malay-Indonesia World dan Islam, dan Ulama and the State System (Azra, 2003: 134).
Pada tahun 2002, Azra kembali menerbitkan dan meluncuran bukubuku terbarunya, antara lain: Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktifitas dan Aktor Sejarah terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi terbitan Kompas Jakarta, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat terbitan Kompas Jakarta, Menggapai Solidaritas: Tensi Antara Demokrasi, Fundamentalisme dan Humanisme terbitan Pustaka
Panjimas,
Konflik
Baru
Antar
Peradaban:
Globalisasi,
Radikalisme dan Pluralitas terbitan Mizan Bandung, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal terbitan Mizan Bandung (Azra, 2003: 134). Bulan April tahun 2004, Azra meluncurkan bukunya yang berjudul The Origins of Islamic in Reformation in South East Asia, buku tersebut setebal 300 halaman dan disponsori oleh Studies Australian Association (SAA) yang diterbitkan oleh penerbit komersial Allen dan Unwin Australia, kemudian Hawai University Press dan KITLV Leiden, Belanda (Harian Kompas, 25 Maret 2004 dalam www.kompas.com. Dikutip 20 Desember 2016). Dari sekian banyak karya-karya Azra dikarenakan ia sudah mengenal tulis menulis sejak mahasiswa. Sebelum lulus dari IAIN Jakarta ia telah terjun dalam dunia jurnalistik (Azra, 2000: 38). Dari berbagai daftar riwayat hidup Azyumardi Azra dalam setiap bukunya yang diterbitkan dapat diketahui bahwa karya-karyanya berupa buku antara lain:
1.
Islam dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan (Pustaka Panjimas, 1984).
2.
Perkembangan Modern dalam Islam (Yayasan Obor Indonesia, 1984).
3.
Agama di Tengah Sekulerasi Politik (Pusaka Panjimas, 1985).
4.
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII Dan XVIII (Mizan, 1994) yaitu berasal dari desertasinya.
5.
Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalis, Modernis, hingga Post Modernisme (Paramadina, 1996).
6.
Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, (Logos Wacana Ilmu, 1999).
7.
Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Logos Wacana Ilmu, 1999).
8.
Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Paramadina, 1999)
9.
Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan, (Rosda Karya, 1999).
10. Renaisans Islam Asia Tenggara : Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Rosda Karya, 1999 ). 11. Islam Subtantif: Agar Umat Islam Tidak Jadi Buih (Mizan, 2000). 12. Historiografi Islam Kontemporer; Wacana, Aktifitas dan Aktor Sejarah (PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002) 13. Paradigma
Baru
Pendidikan
Demokratisasi (Kompas, 2002).
Nasional:
Rekonstruksi
dan
14. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat (Kompas, 2002) 15. Menggapai Solidaritas: Tensi Antara Demokrasi, Fundamentalisme dan Humanisme (Pustaka Panjimas, 2002) 16. Konflik Baru Antar Peadaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas (Mizan, 2002). 17. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Mizan, 2002) (Azra, 2003: 134). E. Pengalaman Keagamaan Pendidikan keagamaan Azyumardi Azra yang diterimanya dimasa kecil hingga dewasa begitu berkesan dihatinya. Namun, ia merasakan ada perubahan yang cukup besar dalam pengalaman keagamaannya saat menempuh pendidikan pasca sarjana, untuk meraih gelar MA dan Ph.D dinegeri Barat. Konsentrasi studi saat itu memang sejarah Islam, lebih khusus lagi mengenai tradisi ulama. Ia sangat tertarik dengan kecenderungan para ulama yang sufistis. Sejak itulah mulai banyak mempelajari ilmu tasawuf dan menemukan keasyikan tersendiri baginya, dan meyakini betapa pentingnya tasawuf bagi kehidupan ini (Wachidah, 2016: 57). Azyumardi Azra menjelaskan perubahan yang cukup besar dalam pengalaman keagamaannya ketika ia mendalami Islam bukan dengan pendekatan dogmatis, tetapi historis (Triyadi, 2009: 80). Azyumardi Azra kini merasa lebih bisa mengapresiasi tasawuf beserta amalan-amalannya yang sangat berwarna. Ia bahkan meyakini
betapa pentingnya tasawuf itu bagi kehidupan ini (Triyadi, 2009: 80). Dengan pemahaman keagamaan seperti itu, pada 1991, Azyumardi Azra berkesempatan mengunjungi Arab Saudi. Satu hal yang sangat berkesan ketika sampai di sana yakni munculnya keharuan dalam dirinya. Ia menyadari di tempat yang diinjak itulah Rasulullah pernah bersusah payah menegakkan Islam. Semua kenangan itu seolah menjelma menjadi sebuah buku, film, atau video, memperlihatkan bagaimana Rasulullah dan para sahabat berjuang mengadakan pencerahan di tengah-tengah masyarakat jahiliyah (Triyadi, 2009: 80).
BAB III PEMIKIRAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM AZYUMARDI AZRA A. Pemikiran Pendidikan Islam Azyumardi Azra 1. Arti dan Tujuan Pendidikan Islam Pengertian pendidikan Islam telah didefinisikan secara berbedabeda oleh orang-orang yang berlainan sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi, semua pendapat itu bertemu dalam pandangan, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien (Azra, 1998: 3). Azyumardi Azra merumuskan, bahwa pendidikan secara umum adalah proses pemindahan nilai-nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya (Azra, 1998: 5). Menurut Azyumardi Azra pendidikan
Islam
adalah
suatu proses
pembentukan individu
berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, agar dapat mencapai derajat yang tinggi supaya ia mampu menunaikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, dan berhasil mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat (Azra, 1998: 5). Jika sistem pendidikan Barat sekarang ini sering disebut-sebut mengalami krisis yang akut, itu tak lain karena proses yang terjadi dalam pendidikan tak lain dari pada sekedar pengajaran. Pendidikan yang berlangsung dalam schooling system tak lebih dari suatu proses transfer ilmu dan keahlian dalam kerangka tekno-struktur yang ada.
Akibatnya, katakanlah pengajaran menjadi suatu komoditi belaka dengan
berbagai
implikasinya
terhadap
kehidupan
sosial
kemasyarakatan. (Azra, 1999: 3). Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan antara pendidikan pada umumnya dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Lebih dari itu, pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam, sehingga pribadi-pribadi yang terbentuk itu tidak terlepas dari nilai-nilai agama.(Azra, 1998: 6). Tujuan pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra (1999: 8) ada dua, yaitu tujuan umum/akhir dan tujuan khusus. Bagi Azra, pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa, dan negara maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan hidup Muslim sebagaimana difirmankan Allah SWT, dalam al Qur‟an yaitu:
﴾٦٥﴿ ون َ ٱْل ِ وس إِّل لِيَعْبد ِ ْ َو َما خَ لَ ْقت ْٱل ِجه َو “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Q.S. Al Dhariyat: 56)
﴾٢٠١﴿ َيََٰٓأَيُّهَا ٱل ِذيهَ َءا َمىىا ٱتقىا ٱّللَ َحق تقَاتِِۦه َو َّل تَمىته إِّل َوأَوتم ُّم ْسلِمىن “Wahai orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS. Ali „Imran: 102) Tujuan hidup Muslim atau tujuan akhir pendidikan Islam sesuai ayat diatas adalah untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Tuhan yang selalu taqwa dan mengabdi kepadaNya. Sebagai hamba Allah yang bertaqwa, maka segala sesuatu yang diperoleh dalam proses pendidikan Islam itu tidak lain termasuk dalam bagian perwujudan pengabdian kepada Allah SWT. (Azra, 1998: 8) Selain tujuan umum itu, tentu terdapat pula tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Tujuan khusus ini lebih praxis sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya, tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan yang lebih praxis itu dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin didalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai. (Azra, 1999:8).
Tujuan-tujuan khusus itu tahap-tahap penguasaan anak didik terhadap bimbingan yang diberikan dalam berbagai aspeknya, pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, ketrampilan, atau dengan istilah lain kognitif, efektif, dan motorik. Dari tahapan-tahapan inilah kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap dengan materi, metode dan sistem evaluasi. (Azra, 1999: 9). Kaitannya dalam menjelaskan tujuan pendidikan Islam, Azyumardi Azra (1998: 7) mengutip dari keterangannya Omar Mohammad al Toumy al Syaibani, yaitu: a. Tujuan
individual
yang berkaitan
dengan
individu-individu,
pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat. b. Tujuan-tujuan sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diingini.
c. Tujuan
prefesional
yang berkaitan
dengan
pendidikan
dan
pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat. Menururt Azyumardi Azra (1999: 7) proses pendidikan Islam berusaha mencapai ketiga tujuan itu, yakni tujuan individual, tujuan sosial, tujuan profesional. Ketiga tujuan itu secara terpadu dan terarah diusahakan agar tercapai dalam proses pendidikan Islam. Dengan tujuan ini pula, jelas kemana pendidikan Islam diarahkan. 2. Sumber Pendidikan Islam Selanjutnya sumber pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra (1998: 9-11) secara singkat adalah sebagai berikut: a.
Al Qur‟an
b.
Sunnah
c.
Kata-Kata Sahabat
d.
Kemaslahatan Masyarakat
e.
Nilai-nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial.
f.
Hasil pemikiran-pemikiran dalam Islam
3. Karakteristik Pendidikan Islam Menurut Azyumardi Azra (1998: 12-13), dari dasar-dasar pendidikan Islam itulah kemudian dikembangkan suatu sitem pendidikan yang mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda
dengan sistem-sistem pendidikan lainnya. Secara singkat karakteristik pendidikan Islam sebagai berikut: Pertama.
Penguasaan
ilmu
pengetahuan.
Ajaran
dasar
Islam
mewajibkan mencari ilmu pengetahuan bagi setiap Muslim dan Muslimat. Setiap Rasul yang diutus Allah lebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan, dan mereka diperintahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu. Kedua. Pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan kepada orang lain. Ketiga. Penekanan pada nilai-nilai akhlak (karakter) dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapat dari pendidikan Islam terikat oleh nilai-nilai akhlak. Keempat, Penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum. Kelima, Penyesuaian kepada perkembangan anak. Pendidikan Islam diberikan
kepada
anak
sesuai
dengan
umur,
kemampuan,
perkembangan jiwa dan bakat anak. Keenam, Pengembangan kepribadian. Bakat alami dan kemampuan pribadi tiap-tiap anak didik diberikan kesempatan berkembang sehingga bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Pengembangan kepribadian itu berkaitan dengan seluruh nilai dan sistem Islam, sehingga setiap anak dapat diarahkan untuk mencapai tujuan Islam.
Ketujuh, Penekanan pada amal saleh dan tanggung jawab. Setiap anak didorong untuk mengamalkan ilmu pengetahuan sehingga benar-benar bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat keseluruhan.
Amal
saleh
dan
tanggung
jawab
Islam secara itulah
yang
menghantarkannya kepada kebahagiaan di hari kemudian kelak. 4. Kurikulum Pendidikan Islam Azyumardi Azra (2012: 9) menyatakan, bahwa kurikulum merupakan pencapaian tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap dengan materi, metode, dan sistem evaluasi melalui tahap-tahap penguasaan peserta didik terhadap berbagai aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Perencanaan pendidikan Islam harus berlandaskan dua nilai pokok dan permanen, yakni persatuan fundamental masyarakat Islam tanpa dibatasi ruang dan waktu dan persatuan masyarakat internasional berdasarkan kepentingan teknologi dan kebudayaan bersama atas nilainilai kemanusiaan (Azra, 1998: 25). Azra menegaskan, bahwa kurikulum pendidikan Islam jelas selain mesti berorientasi kepada pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta didik, kini harus pula memberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya dengan cara ini, pendidikan Islam bisa fungsional dalam menyiapkan dan membina SDM seutuhnya, yang menguasai iptek dan berkeimanan dalam mengamalkan agama. Hanya dengan cara ini pula, secara
sistematis dan programatis dapat melakukan pengentasan kemiskinan secara bertahap namun pasti (Azra, 2012: 66).) Materi pendidikan Islam dalam pandangannya Azyumardi Azra sangat luas, meliputi semua ilmu. Ilmu dalam Islam yang ada di alam (dunia) dengan landasan kemanfaatannya, keperluannya dan bagi bangsa Indonesia. Pandangannya tentang materi pendidikan Islam sebagaimana para filosof terdahulu, seperti al Farabi, Ibnu Khaldun, Ibn Sina juga al Ghazali, bahwa Ilmu dalam Islam ada dua sumber. Pertama ayat kauniyah, ilmu yang diambil atau berasal dari alam semesta, antara lain fisika, biologi, matematika, kedokteran, humaniora dan lain sebagainya. Kedua ayat kauliyah, yakni ilmu yang diambil dari al Qur‟an dan hadis Nabi, seperti tafsir, fikih, ushul fikih dan lain sebagainya (Wawancara Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra, selasa 21 Februari 2012). Menurut Azyumardi Azra, semua ilmu yang bermanfaaat bagi manusia itulah Islam, sampai keilmuan farmasi dan kedokteran, demikian juga teknologi sehingga lulusannya dapat membuat alat-alat untuk pemenuhan kebutuhan manusia, seperti transportasi, pesawat boing, sehingga ketika ke Arab untuk menunaikan haji bisa digunakan tanpa memakai dari orang lain selain Islam. Ia menjelaskan bahwa matematika, IPA (fisika-biologi), IPS adalah ilmu-ilmu Islam yang diambil dari ayat-ayat kauniyah. Sedangkan al Qur‟an, hadits, tafsir, ilmu-ilmu Islam dari ayat-ayat qauliyah. Dalam pendidikan harus
memperhatikan aspek kognisi sehingga dengan pengetahuan dapat diinternalisasikan dalam aspek afektif, lebih lanjut ilmu yang didapat mampu diamalkan (psikomotorik) (Wawancara Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra, selasa 21 Februari 2012). 5. Metode Pendidikan Islam Menurut Azyumardi Azra, metode dan strategi harus meliputi tiga aspek kepribadian peserta didik, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Semua metode digunakan agar terjadi proses pembelajaran yang
efektif
dan
efesien
sehingga
mampu
mencapai
tujuan
pembelajaran nasional. Metode dalam pendidikan Islam harus partisipasi, peserta didik dilibatkan ikut serta secara langsung dalam memperoleh pengetahuan. Adapun dalam penggunaan metode Azra mengingatkan agar disesuaikan dengan perkembangan peserta didik. Penggunaan metode yang sesuai sangat ditekankan, karena akan dapat dengan mudah diterima dan diamalkan oleh peserta didik (Wawancara Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra, selasa 21 Februari 2012). Metode pendidikan saat ini hanya menitikberatkan pada kemampuan hafalan daripada kekuatan logika. Dengan kata lain, menggunakan metode-metode pendidikan yang tidak layak bagi pemikiran
peserta
didik
sehingga
kecenderungan
seperti
ini
menghasilkan sikap tidak kritis dan patuh terhadap dogma-dogma (Azra, 1999: 29).
Menurut Azra, proses pembelajaran membutuhkan metode yang bervariasi, sehingga tidak menimbulkan kejemuan dan kebosanan bagi peserta didik. Peserta didik jangan hanya dijejali atau diceramahi, tetapi anak beri ruang untuk berpikir, mencari sendiri dari buku-buku bacaan dan melaporkan hasilnya, mengakses internet dan lain sebagainya (Wawancara Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra, selasa 21 Februari 2012). Penekanan pendidikan Islam pada bimbingan, bukan pengajaran yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. (Azra, 1999: 6). Disini sang guru, lebih berfungsi sebagai fasilitator atau penunjuk jalan kearah penggalian potensi anak didik. Dengan kerangka dasar pengertian ini, maka guru menghormati anak didik sebagai individu yang memiliki berbagai potensi. Dari kerangka pengertian dan hubungan antara pendidik dengan anak didik semacam ini, dapat pula sekaligus dihindari apa yang disebut banking concept dalam pendidikan (Azra, 1999: 6). Azyumardi Azra mengatakan bahwa untuk metode pendidikan sholat, peserta didik langsung diajak praktek sholat di Musholla atau Masjid. Pendidikan Islam harus ada ilmu dan juga amal. Keseimbangan
antara teoritis dan praktis. Dengan demikian akan memberikan manfaat baik di Dunia sampai Akhirat (Wawancara Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra, selasa Februari 2012). B. Strategi Pembaruan Azyumardi Azra terhadap Pendidikan Islam 1. Pembaruan Perguruan Tinggi Islam a. Kritik terhadap Perguruan Tinggi Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah lembaga pendidikan tinggi Islam milik negara Republik Indonesia yang dikelola oleh Departemen Agama. IAIN merupakan institut yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam tingkat universitas, dan pusat pengembangan dan pendalaman ilmu pengetahuan Islam (Azra, 1998: 124). Azyumardi Azra (1998: 125) menjelaskan bahwa sampai sekarang ini masih terdapat keluhan-keluhan baik dari IAIN sendiri maupun dari kalangan masyarakat umumnya berkenaan dengan proses pendidikan dan out put IAIN. Dari satu segi, keluhan atau tepatnya kritik itu merupakan hal yang wajar, dan bahkan diperlukan untuk mendorong proses inovasi dan penyempurnaan eksistensi IAIN secara terus menerus, sehingga kehadirannya menjadi lebih bermakna. Kelemahan-Kelemahan IAIN menurut Azyumardi Azra (1998: 125) adalah:
1) Kelemahan kemampuan bahasa. Bahasa Arab merupakan alat pokok untuk memahami AlQur‟an dan Hadits serta kitab-kitab keagamaan klasik (kitab kuning), tetapi penguasaan bahasa Arab mahasiswa IAIN pada umumnya sangat lemah, karena metode pengajaran bahasa yang diterapkan relatif masih tradisional. Apa yang diberikan bukan “pelajaran bahasa”, tetapi “pelajaran tentang bahasa”. Hal ini bukan hanya pada bahasa Arab, tetapi juga pada bahasa inggris. Sebagaimana perkataan Azyumardi Azra, ”Jadi itu harus diperkuat, Jadi kalau bisa perguruan tinggi Islam di Indonesia diwajibkan menggunkan bahasa Arab Inggris, seperti yang ada dipesantren, bahasanya harus digenjot, karena zaman sekarang zaman globalalisasi, ada MEA dan macammacam. jadi bahasa itu yang diperkuat” (Wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016). 2) Kelemahan sistem dan metode Sistem dan metode di IAIN sampai sekarang ini umumnya kurang memberikan kesempatan kepada pengembangan kualitas mahasiswa
secara
maksimal.
Sistem
dan
metode
yang
berlangsung lebih bersifat satu arah, artinya lebih banyak berada di tangan dosen. Sistem pendidikan dan perkuliahan tepatnya lebih mengikut apa yang disebut Freire sebagai The Banking Concept of Education (Pendidikan ala Bank), yaitu bahwa dalam proses belajar mengajar dosen menganggap diri atau dianggap
mahasiswa sebagai pemilik tunggal ilmu sedangkan mahasiswa adalah wadah kosong yang harus di isi. Jadi dosen lebih banyak berperan sebagai subyek yang aktif, sementara mahasiswa menjadi obyek yang pasif. Sistem dan situasi pendidikan semacam itu pada giliranya menghalangi munculnya daya kritis dan kreativitas mahasiswa. Akhirnya tidak mampu menguak realitas, dan memberikan respon guna mengubah realitas yang dapat menghadirkan dirinya secara lebih fungsional. 3) Kelemahan sikap mental ilmiah Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap mental ilmiah belum terbentuk di IAIN, baik dikalangan dosen, apalagi dikalangan mahasiswa. Suasana dikampus sampai sekarang ini belum dikatakan ilmiah akademis, yang terlihat lebih merupakan suasana rutinitas civitas akademika yang menyelenggarakan proses pendidikan dari hari ke hari. Azyumardi Azra dalam Zainal Abidin Bagir dkk. (2005: 203-205)
mengemukakan
bahwa
lemahnya
riset
dan
pengembangan ilmiah di sebagian besar negara-negara Islam terkait realitas institusi-institusi sains yang dimiliki kebanyakan negara-negara Islam belum berfungsi optimal untuk mendorong penemuan-penemuan ilmiah. Di Barat dan negara-negara lain,
institusi sains terus tumbuh untuk mengantisipasi era globalisasi, sementara di hampir kebanyakan negara Islam pertumbuhannya sangat lambat. Di kebanyakan negara Islam, jumlah institusiinstitusi riset sains masih sangat rendah, anggaran yang dialokasikan untuk program-program ilmiah hampir tidak memadai, jumlah komunitas ilmiah dan produktivitas ilmuwan juga masih rendah. 4) Kekurangan piranti keras Sampai sekarang lembaga ini pada umumnya masih menghadapi kekurangan piranti keras. Ini dapat dilihat dari kurangnya sarana-sarana fisik yang memadai untuk menciptakan lingkungan kampus ideal, karena yang disebut kampus hanyalah ruang
perkuliahan
memadainya
dan
perumahan
perkantoran. dosen,
Begitu
pula
mengakibatkan
tidak
intensitas
interaksi dosen-mahasiswa menjadi sangat terbatas. Selain itu kekurangan tenaga dosen juga merupakan hal yang dihadapi. Ratio dosen yang ada terus menjadi tak seimbang karena semakin meningkatnya jumlah mahasiswa sehingga pada giliranya bimbingan yang baik dan intensif tidak bisa dilaksanakan. b. Strategi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam Menghadapi berbagai masalah di atas, terlihat betapa kompleksnya problem yang dihadapi IAIN. Menurut Azyumardi
Azra (1998:128), untuk mengatasi masalah-masalah itu berbagai alternatif dan langkah telah dilakukan, yaitu: 1) Penataan organisasi Banyaknya
IAIN
dengan
fakultas-fakultasnya
yang
tersebar di berbagai kota besar dan kecil menimbulkan perbedaan sarana, fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lain yang pada giliranya juga mempengaruhi pengorganisasian. Berhadapan dengan kenyataan itu maka dilakukan langkah-langkah rasionalisasi sehingga lembaga ini hanya terdapat di ibukota-ibukota propinsi. Dengan begitu sarana-sarana yang diperlakukan dapat dimiliki secara lebih memadai, yang dalam perkembangan selanjutnya akan mendukung langkahlangkah ke arah penyempurnaan. 2) Penyempurnaan sistem pendidikan dan kurikulum Dalam orientasi ini, struktur kurikulum IAIN diperbaiki. Jumlah mata kuliah dikurangi, tetapi lebih terarah dan relevan dengan tujuan yang ingin dicapai. Kurikulum diarahkan untuk memberikan
keahlian
kepada
mahasiswa
sesuai
dengan
kebutuhan masyarakat masa kini dan masa depan. Dalam hal sistem pendidikan diterapkan program yang dikenal dengan S1, S2, dan S3. Dengan program S1, mahasiswa dimungkinkan untuk mendapatkan gelar sarjana dalam waktu 4 tahun.
Kenyataan yang demikian menurut Azyumardi Azra perlu segera dicarikan solusi berupa pembaruan sistem dalam pendidikan Islam sebab, pendidikan Islam merupakan suatu usaha untuk mempersiapkan Muslim agar dapat menghadapi dan menjawab tuntutan perkembangan zaman (Fita Purisna Ardianti, 2015: 21). 3) Peningkatan personal Dari segi kuantitas, ratio dosen tidak berimbang dengan jumlah mahasiswa. Untuk itu, dalam setiap tahun anggaran dilakukan pengangkatan tenaga pengajar baru. Untuk peningkatan kualitas tenaga pengajar juga telah dilakukan berbagai langkah, yaitu dengan diberikan kesempatan mengikuti program pelatihan, penelitian, dan pengembangan agama departemen agama, serta mengikuti program latihan penelitian ilmu-ilmu sosial dan program-program lain semisal S2, S3, dan lain-lain. Pendidik dan tenaga kependidikan juga harus ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya dengan cara pengiriman ke universitas-universitas besar di Barat dimana mereka akan mendapat pelatihan dalam pengajaran dan metodologi penelitian, interpretasi dan analisis. Setelah menggali ilmu di negara-negara yang pengetahuannya lebih maju maka dapat memberikan atau membagikan ilmu yang telah didapat ke dunia pendidikan
Indonesia
(https://anggaariskaa.blogspot.co.id.
Diakses
28
Desember 2016). Azyumardi
Azra
menambahkan
strategi
pembaruan
perguruan tinggi Islam didalam buku Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (1999: 167-168), perlunya meninjau kembali sistem pendidikan dan kurikulum yang selama ini diterapkan di IAIN. Berdasarkan pengamatan dan analisis yang dikemukakan, ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan untuk pengembangan IAIN, yaitu: 1) Reformulasi Tujuan IAIN Meskipun IAIN diharapkan menjadi pusat pengembangan pemikiran Islam, sampai saat ini lebih berfungsi sebagai wadah pembinaan calon pegawai dan guru ketimbang pemikir dan intelektual Islam. Dalam hubungan ini, IAIN lebih berfungsi sebagai training center ketimbang center of learning and research (pusat pembelajaran dan penelitian) atau center of Islamic thought (pusat pemikiran Islam). Dalam hal ini, sebaiknya yang ada dipertahankan, sedang cita-cita tetap dilanjutkan. Artinya ide-ide baru untuk berkembang maju tetap diusahakan. Jika IAIN karena faktor-faktor tertentu tetap tidak bisa melepaskan diri seyogyanya
juga
dari
fungsinya sebagai
melakukan
training center,
langkah-langkah
yang
lebih
konsisten dan konkret untuk lebih memfungsikan diri sebagai pusat penelitian dan pengembangan pembaruan pemikiran Islam. 2) Rekonstruksi kurikulum Perguruan tingg Islam sebagai pusat keilmuwan penelitian Islam, seyogyanya jurusan-jurusan di IAIN yang berkenaan dengan disiplin-dispilin keagamaan selain lebih menekuni bidangbidang Islamic studies hendaknya juga memberikan kesempatan bagi penguasaan prinsip-prinsip dari kerangka teori ilmu-ilmu umum. Ini sekaligus berarti peninjauan ulang terhadap mata-mata kuliah umum, yang tidak atau sedikit sekali relevansinya dengan Islamic studies. Mata kuliah hanya menjadi beban yang cukup berat bagi mahasiswa, yang pada gilirannya menghalangi terjadinya studi dan penelitian yang intensif terhadap subjeksubjek Islamic studies yang justru pokok itu. Kenyataan ini bukan hanya terjadi pada progran S1, tetapi juga pada program S2 dan S3 yang justru diharapkan sebagai wadah pengkajian lebih intensif dan mendalam atas subjek-subjek Islamic Studies. Ini tak berarti bahwa subjek-subjek umum tak penting,
hendaknya diciptakan sistem dan mekanisme sendiri
dalam kurikulum yang memberikan peluang bagi pemberian subjek-subjek umum. Sekarang ini terlihat kecenderungan
terjadinya tumpang tindih subjek-subjek umum dalam strata pendidikan yang dilaksanakan. 3) Simplifikasi beban perkuliahan Penetrasi subjek-subjek yang tidak terlalu relevan dengan Islamic studies maka beban perkuliahan menjadi amat berat. Beban kuliah per-semester berkisar antara 8-10 mata kuliah. Overloaded ini juga terjadi pada program Pasca Sarjana. Idealnya beban mahasiswa setiap semester tidak lebih dari 5 mata kuliah saja. Hanya dengan tingkat beban seperti ini bisa dilakukan studi yang lebih intensif dengan mata kuliah yang diambil. Azyumardi Azra mengatakan, ”Pembaharuan di perguruan tinggi Islam hampis sudah terpenuhi dengan gagasan-gagasan di buku saya, cuma yang belum terlaksana adalah penyederhanaan kurikulum, sekarang beban kurikulum masih banyak, mata kuliah masih banyak, kalau bagi saya mata kuliah cukup empat selama satu semester, 4 SKS atau 5 SKS atau 6 SKS. Sekarang ini yang terjadi SKS-nya besarbesar, sekarang terlalu banyak 1 semester dengan 12 mata kuliah. Seharusnya mata kuliah yang cabang-cabang ranting dikembalikan ke induknya. Misalnya di Tarbiyah itu ada fiqih tarbawi, fiqih tarbawi sampai beberapa semester, jika mau dikasih cukup satu semester, tidak usah fiqih tarbawi satu, dua, sampai, empat, cukup satu saja!” (wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016). “Kurikulum menurut Saya kurikulum dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi harus disederhanakan. kadang anak-anak sekolah itu banyak mata pelajarannya, sehari berapa mata pelajaran, mungkin 7 atau 8, karena itu mereka jadi mumet. mumet jadi akhrirnya panas, dan karena itu mudah tawuran, menurut saya sehari paling banyak belajar 3-4 mata pelajaran” (wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016).
4) Dekompartementalisasi Dewasa ini terjadi kompartementalisasi yang cukup parah di IAIN dalam bentuk fakultas dan jurusan sejak mahasiswa melangkahkan kaki ke gerbang perguruan tinggi ini. Akibat kompartementalisasi ini, mahasiswa cenderung mempunyai pemahaman yang terpilah-pilah tentang Islam. Memasuki Fakultas Ushuluddin misalnya, kurang apresiatif terhadap syari‟ah. Memasuki Fakultas Tarbiyah, sangat lemah dalam bidang pemikiran kalam atau filsafat Islam, dan seterusnya. Untuk penguasaan yang komprehensif dan integral terhadap Islam, seyogyanyalah tidak ada pembagian kefakultasan dan jurusan, setidak-tidaknya dalam dua tahun pertama program S1. Pada tingkat ini, semua mahasiswa mengambil mata kuliah yang sama. Masa-masa ini diberikan mata kuliah umum yang berguna untuk melihat dan mendekati Islam sebagai suatu objek studi. Fakultas dan jurusan baru hadir pada tahun ketiga atau keempat (antara semeter 5 samapi 8). Pada semester kelima mahasiswa yang memang mempunyai minat-minat tertentu dapat mengarahkan diri kedalam bidang-bidang khusus.
5) Liberalisasi Sistem SKS IAIN telah cukup lama menerapkan sistem sks, tetapi apa yang dijalankan lebih merupakan sistem sks paket. Mahasiswa tidak cukup bebas menentukan sendiri program dan memilih dosen sesuai dengan kecenderungannya masing-masing. Dosen hendaklah diberikan peluang untuk menawarkan mata kuliah baru, sesuai dengan keahliannya dan tuntutan perkembangan zaman. Dengan adanya kebebasan ini setidak-tidaknya mulai pada tahun ketiga (semester 5), dampaknya akan mendorong pertumbuhan
minat
dan
kreativitas
mahasiswa
dalam
mengembangkan diri mereka sendiri, tetapi juga merangsang dosen untuk terus meningkatkan kualitas mereka. Dengan demikian, akan terciptalah suatu komunitas intelektual, di mana setiap individu yang terlibat di dalamnya berusaha secara kontinyu mengembangkan minat dan kualitasnya. c. Penguatan Akhlakul Karimah Dalam wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, (06 September 2016). Ia
menambahkan dalam proses pembaruan
perguruan tinggi Islam, perlu adanya penguatan akhlakul karimah. Azyumardi Azra mengatakan,
”Kita melihat gejala mahasiswa saat ini kecenderungan lebih aktif dalam isu-isu internal kampus. Saya tidak tahu kalau di UIN malang dan di UIN surabaya ini. Mahasiswanya suka mendemo Rektor, kadang-kadang kelakuannya mahasiswanya juga gak bener, seperi tidak ada akhlaknya, mengatakan Tuhan membusuk dan macam-macam, saya tidak tahu kalau di UIN malang.” “Jadi mereka sibuk kedalam, aksi-aksi mereka secara moral dan akhlak tidak selalu cocok dan tidak sesuai. Kalau mahasiswa tamat tidak memiliki akhlak yang baik, tidak pas lah. Saya kira sekarang tugas prioritas utama saat ini adalah penguatan akhlak mulia, akhlakul karimah,budi pekerti, integritas, itu yang penting sekarang.” ”Saya kira memang, aktivisme mahasiswa berkurang, aktivisme dalam arti aktivis sosial politik. Mungkin karena politik di Indonesia lebih stabil, tapi kan dulu zaman-zaman Gus Dur jadi presiden politik belum juga stabil, ya banyak gejolak. Tapi semenjak masa SBY berkurang, politik Indonesia lebih stabil. Kareba stabil sehingga membuat aktivis jadi berkurang”. Disisi
lain,
Azyumardi
Azra
melihat
perkembangan
perguruan tinggi Islam hari ini. Ia mengatakan, ”Perguruan tinggi Islam saat ini baik negeri maupun swasta maju sekali, dulu kita cuma punya IAIN dan STAIN, tapi sejak tahun 2002 mulai dengan IAIN Jakarta, 20 mei 2002, berubah menjadi UIN, sejak itu terus beberapa IAIN menjadi UIN, termasuk STAIN Malang, hingga sekarang jumlahnya sampai 11”. ”Saya kira perguruan tinggi Islam negeri, UIN IAIN sudah maju, gedungnya juga sudah bagus-bagus. Dosennya juga sudah mulai banyak, banyak doktor, banyak profesor”. ”Mahasiswa harus bisa mandiri, mahasiswa untuk didorong untuk lebih banyak belajar sendiri, karena abad kita saat ini adalah abad informasi”. ”Sekarang tidak masalah ijazah IAIN STAIN itu bisa dipakai, yang penting mahasiswa itu harus punya kemampuan beradaptasi dengan dunia yang riil setelah tamat dan kembali ke masyarakat. Mereka harus siap melakukan penyesuaian-penyesuaian”.
2. Pembaruan Pondok Pesantren a. Analisis Historis Mengapa pesantren bisa survive sampai hari ini? Pertanyaan ini mungkin kedengarannya mengada-ada. Tetapi terus terang, pertanyaan ini sering menggoda Azyumardi Azra dan mungkin juga banyak pengamat pendidikan Islam Indonesia lainnya. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum (untuk tidak menyebut sistem pendidikan sekuler), atau mengalami transformasi menjadi
lembaga
pendidikan
umum,
atau
setidak-tidaknya
menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum (Azra, 1999: 95). Sebenarnya gagasan pembaharuan pesantren di Indonesia diperkenalkan oleh kaum modernis dengan gagasan sekolah model Belanda pada tahun 1924. Pembaharuan pada waktu itu ditentang banyak oleh kaum konservatif (kyai) dikarenakan model sekolahsekolah itu dapat memukul akar kekuasaan kyai yang terdalam. Namun semangat kaum modernis tidak dapat dibendung, mereka dengan hati-hati dalam programnya mendesak perlunya pengajaran mata
pelajaran
modern
dengan
cara-cara
modern,
mereka
memasukkan Islam sebagai suatu mata pelajaran modern dan
membuatnya sebagai bagian yang yang tak terpisahkan dari kurikulum sekolah. Adanya gagasan untuk mengembangkan pesantren merupakan pengaruh
program
modernisasi
pendidikan
Islam.
Program
modernisasi tersebut berakar pada modernisasi pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Modernisasi pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan kebangkitan kaum muslimin di masa modern maka pemikiran dan kelembagan Islam termasuk pendidikan pesantren haruslah dimodernisasi yaitu diperbaharui sesuai dengan kerangka modernitas (Azra, 2000: 31). Modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui, tidak bersumber dari kalangan kaum Muslim sendiri. Sistem pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Ini bermula dengan perluasan
kesempatan bagi pribumi dalam paruh kedua abad ke-19 untuk mendapatkan pendidikan (Azra, 1999: 97). Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren. Merevisi kurikulumnya dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran umum, atau bahkan ketrampilan umum. Cara pertama seperti dikemukakan di atas, telah dimulai kalangan pesantren sejak masa Belanda, meski dengan skala yang sangat terbatas tetapi dalam masa kemerdekaan,
pembaruan
kurikulum
itu
terus
menemukan
momentumnya. Namun perlu ditegaskan bahwa pembaruan kurikulum ini tidak berjalan merata diseluruh pesantren, bahkan pesantrenpesantren yang menerima pembaruan tersebut hanya menerapkannya secara terbatas. Termasuk, terdapat banyak pesantren yang dipimpin oleh kyai lebih konservatif yang umumnya cenderung sangat resistan terhadap pembaruan kurikulum atau substansi pendidikan pesantren (Azra, 1999: 102). Kedua,
membuka
kelembagaan
dan
fasilitas-fasilitas
pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Sebenarnya telah mulai dikembangkan beberapa pesantren sejak masa Belanda. Tetapi dalam masa kemerdekaan, cara kedua ini semakin menemukan momentumnya, khususnya karena persaingan pesantren dengan sistem kelembagaan madrasah modern yang ditempatkan dibawah tanggung jawab dan pengawasan Departemen Agama, yang sejak 1950-an melancarkan pembaruan madrasah setelah sebelumnya menegerikan banyak madrasah swasta (Azra, 1999: 103). Semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah didalam komplek pesantren masing-masing. Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para santri (umumnya mukim) yang ingin memperoleh pengetahuan Islam secara mendalam, dan sekaligus merupakan madrasah bagi anak-anak di lingkungan pesantren (Azra, 1999: 103).
Sesuai dengan ideologi developmentalism pemerintah orde baru, pembaruan pesantren pada masa itu mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan subtansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman. Selain itu, pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi pesantren sebagai salah satu pusat penting
bagi pembangunan masyarakat secara
keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukan yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (peopole centered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development) (Azra, 1999: 105). Respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia mencakup: 1) Pembaruan subtansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subjek-subjek umum dan vocational. 2) Pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan. 3) Pembaruan
kelembagaan,
seperti
kepemimpinan
pesantren,
diversifikasi lembaga pendidikan. 4) Pembaruan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial-ekonomi (Azra, 1999: 105).
b. Pemikiran Keislaman Munculnya kesadaran di kalangan pesantren dalam mengambil langkah-langkah
pembaruan
untuk
menjawab
tantangan
dan
kebutuhan transformasi sosial. Berakibat pondok pesantren harus menumbuhkan
apresiasi
yang
sepatutnya
terhadap
semua
perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang, sehingga dapat memproduksi ulama yang berwawasan luas (Azra, 2000: 51). Pembaruan pondok pesantren bagi Azyumardi Azra juga harus ada penguatan pemahaman keagamaan yakni penguatan Islam wasatiyah. Azra mengatakan, “Yang dibutuhkan untuk saat ini bagaimana penguatan pemahaman keagamaan. Yaitu pemahaman keagamaan Islam washatiyah atau Islam moderat. Perkembangan yang terjadi, banyak pemahaman keagamaan yang radikal” (wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016). Gagasan dan konsep “ummatan wasatan” secara normatif berasal dari Al Quran. Sebagaimana firmanNya yang artinya, “Dan dengan demikian Kami (Allah SWT) telah menciptakan kamu (kaum Muslimin) sebagai ummatan washatan agar kamu sekalian dapat menjadi saksi bagi manusia lain dan sesungguhnyalah Rasul (utusan Allah) menjadi saksi atas diri kamu sekalian” (QS alBaqarah/2: 143). Harus diakui, gagasan “ummatan wasatan”atau wasatiyyah kembali menemukan momentumnya setelah peristiwa 11 September, ketika kalangan Muslim dan Islam menjadi terdakwa dalam aksi-aksi kekerasan. Padahal jelas, Islam mengecam kekerasan, apalagi terorisme sehingga terdapat urgensi mendesak untuk memberikan
penjelasan-penjelasan kepada publik internasional tentang Islam dan kaum Muslimin sebagai entitas wasathiyyah (Azra, 2005: 146). Bagi Azyumardi Azra pengaruhnya radikalisme tidak mainmain. Ia mengatakan, “Yang sedang terjadi adalah penyebaran paham-paham Islam yang tidak sesuai. Mereka itu gigih dalam penyebaran. Berkembangnya mereka dapat pengikut dari satu-satu akhirnya menjadi banyak. Ini perlu dilakukan kenangkalan melalui sistem yang sistematis dengan cara penguatan Islam wasatiyah. Ini penting dilakukan” (wawancara penuls dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016). Dalam masa kontemporer, wasatiyyah menurut Azzam Tamimi, relevan dan kontekstual dengan modernitas dan demokrasi. Relevansi dan kontekstualisasi itu bisa dicapai dengan pemahaman yang benar atas Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Pemahaman yang tidak kontekstual pada gilirannya hanya
akan menghasilkan
ekstrimisme, yang tentu saja tidak selaras dengan kerangka wasathiyah, dimana akhirnya menimbulkan
ekses-ekses
yang
merugikan Islam dan kaum Muslimin secara kesuluruhan (Azra, 2005: 147). Konflik sekte-sekte di Indonesia terbilang baru dan tidak separah di negara-negara seperti Irak atau Pakistan. Islam di negaranegara Timur Tengah, Jazirah Arab, hingga Asia Selatan kurang toleran
dan
inklusivitasnya
rendah,
tapi
menonjol
justru
sektarianismenya. Karena itu, Ia merasa bahwa Islam wasathiyah itu harus diperkuat (http://fah.uinjkt.ac.id. Diakses 2 Januari 2017).
Dalam konteks masyarakat plural, menurut Azyumardi Azra seharusnya ditemukan berbagai kesamaan yang mesti ditonjolkan, bukan malah mencari perbedaan-perbedaannya. Apalagi di antara sekte-sekte itu lebih banyak kesamaan-kesamaannya ketimbang perbedaannya. Sayangnya, sekarang ini banyak kelompok, terlebih kelompok radikal, lebih melihat perbedaan-perbedaan. Apabila perbedaan-perbedaan yang muncul, konflik menjadi hal yang tak terelakkan. Apalagi konflik berbasis agama memiliki implikasi yang amat
dahsyat
dan
daya
destruktifnya
sangat
kuat
(http://fah.uinjkt.ac.id. Diakses 2 Januari 2017). c. Penguatan Jaringan Pesantren Pembaruan pondok pesantren terkini bagi Azyumardi Azra adalah melalui penguatan jaringan pesantren. Azra mengatakan, “Di Indonesia pesantren, terutama dimiliki kyai-kyai NU, tapi juga sudah mulai banyak pesantren muhammadiyah, pesantren persis juga sudah ada dijawa timur, semua itu harus bikin jaringan, saling membantu mana yang masih tradisional, dimordenisasi diperbaharui, dalam 3 tadi hal itu, fisik, kelembagaannya, substansinya pendidikannya, dan metode pembelajarannya, jadi empat itu” (wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016). Azyumardi Azra mengarahkan agar pesantren bersatu, Ia mengatakan, ”Sekarang ini saya kira pesantren-pesantren besar itu harus membantu pesantren-pesantren kecil dalam modernisasinya, caranya dengan membangun jaringan pesantren seluruh Indonesia, tidak hanya di Indonesia tapi di Filipina, Thailand, Malaysia” (wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016).
Azyumardi Azra melihat sebagian pesantren masih perlu dibantu dan didukung, ia mengatakan, ”Masih ada pesantren yang pembelajarannya ketinggalan, substansi pendidikan juga masih ketinggalan, khususnya pesantren kecil” (wawancara penulis dengan Azyumardi Azra, 06 September 2016).
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM AZYUMARDI AZRA DI INDONESIA A. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Azyumardi Azra 1. Relevansi Arti dan Tujuan Pendidikan Islam Disini penulis mencoba memahami hakikat dari pendidikan Islam perspektif Azyumardi Azra. Menarik dikaji karena tidak sedikit tulisannya yang telah diterbitkan, baik media cetak maupun media elektronik yang membahas pendidikan Islam. Apalagi kehadirannya dalam keilmuwan Islam, menambah dari sekian rentetan cendekiawan Muslim yang ada di Indonesia. Baginya, pendidikan Islam adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien (Azra, 1998: 3). Pendidikan adalah proses pemindahan nilai-nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya (Azra, 1998: 5). Menurutnya, pendidikan Islam juga merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam supaya ia mampu menunaikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, dan berhasil mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat (Azra, 1998: 5). Ungkapan ini bila ditelusuri lebih jauh akan memiliki implikasi dan cakupan yang cukup luas. Disini Azyumardi Azra memberikan penjelaskan pendidikan Islam secara panjang lebar, ada
proses, ada tujuan, ada nilai-nilai keislaman, ada pelakunya yakni generasi muda atau peserta didik. Penjelasan pendidikan Islam Azyumardi Azra seperti yang disebutkan memiliki korelasi dengan pendidikan Indonesia. Kesesuaian konsep pendidikan Islam Azyumardi Azra dengan pendidikan Indonesia bisa dilihat dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap
tuntutan perubahan
zaman
(http://hukum.
unsrat.ac.id/uu/uu_20_03.htm. Diakses 28 Desember 2016). Baginya, pendidikan Islam mempunyai tujuan yang jelas dan tegas yang ia kerucutkan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Menurut Azra, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks sosialmasyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertakwa ini menjadi rahmatan lil „alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan umum atau akhir pendidikan Islam (Azra, 2012: 8). Tujuan pendidikan Islam Azyumardi Azra ini hampir sama dengan tujuan Pendidikan Nasional yang
lebih menekankan pada aspek kecerdasan intelektual dan pengembangan manusia seutuhnya, termasuk rasa tanggung jawab yang dikembangkan mengarah pada masyarakat, bangsa, Negara, dan Tuhan yang maha Esa, yang tiada lain adalah Allah SWT. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (http://hukum. unsrat.ac.id/uu/uu_20_03.htm. Diakses 28 Desember 2016). Tujuan akhir merupakan kristalisasi nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam pribadi peserta didik. Tujuan akhir harus lengkap mencakup semua aspek, serta terintegrasi dalam pola kepribadian ideal yang bulat dan utuh. Tujuan akhir mengandung nilai-nilai islami dalam segala aspeknya, yaitu aspek normatif, aspek fungsional, dan aspek operasional. Dalam pencapaian tujuan pendidikan tersebut tidak mudah, bahkan sangat kompleks dan mengandung resiko mental-spritual, lebihlebih lagi menyangkut internalisasi nilai-nilai islami, yang didalamnya terdapat Iman, Islam, dan Ihsan, serta ilmu pengetahuan yang menjadi pilar-pilar utamanya (Abdul Mujib, 2006: 75).
Berbicara mengenai tujuan memang sangat penting, tujuan umum ini menjadi arah pendidikan Islam kedepan. Untuk keperluan pelaksanaan pendidikan, tujuan ini harus dirinci menjadi tujuan khusus. Hasan Langgulung (1986: 57) menjelaskan tujuan khusus pendidikan Islam ini tergantung pada institusi pendidikan tertentu, pada tahap pendidikan tertentu, pada jenis pendidikan tertentu, serta tergantung pada masa dan umur tertentu. Bila tujuan akhir pendidikan Islam adalah bersifat mutlak dan tidak bisa berubah, maka dalam tujuan khusus pendidikan Islam masih dapat berubah. 2. Relevansi Sumber Pendidikan Islam Azyumardi Azra dalam membahas sumber pendidikan Islam, memiliki kesamaan dengan tokoh-tokoh lain, seperti Hasan Langgulung dan Sa‟id Ismail Ali, yakni sumber pendidikan Islam berasal dari AlQur‟an, As-Sunnah, kata-kata sahabat, kemaslahatan masyarakat, Nilainilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial, dan hasil pemikiranpemikiran dalam Islam. Dari kesamaan ini menunjukkan bahwa sumber pendidikan yang disampaikan Azyumardi Azra memang relevan. Setiap usaha, kegiatan, tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan haruslah mempunyai dasar atau landasan sebagai tempat berpijak yang baik dan kuat. Demikian juga dengan proses pendidikan, sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, tentunya pendidikan Islam memerlukan landasan kerja yang
berfungsi sebagai pegangan langkah pelaksanaan dan langkah menentukan arah usaha tersebut. Maka pendidikan Islam memerlukan landasan kerja untuk
memberikan
arah
bagi
programnya.
(https://rusmanhaji.wordpress.com. Diakses 20 Desember 2016). Landasan atau dasar yang digunakan merupakan sumber dari pada pendidikan Islam. Lebih jelasnya, sumber pendidikan Islam yang disampaikan oleh Azyumardi Azra (1998: 8-10) adalah sebagai berikut: a. Al-Qur‟an, sebagai kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
menjadi sumber pendidikan Islam yang pertama dan
utama. b. Sunnah Nabi Muhammad, segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan perjalanan hidup, baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Oleh sebab sunnah mencerminkan prinsip, manifestasi wahyu dalam segala perbuatan, perkataan dan taqriri Nabi. c. Kata-Kata Sahabat Nabi Saw. Para sahabat nabi bergaul dengan Nabi dan banyak mengetahui sunnahnya yang menjadi sumber kedua pendidika Islam. d. Kemaslahatan Masyarakat. Maslahat artinya membawa manfaat dan menjauhkan mudharat. Tegaknya manusia dalam agama, kehidupan dunia dan akhiratnya adalah
dengan berlakunya kebaikan dan
terhindarnya dari keburukan. Kemaslahatan manusia tidak mempunyai
batas dimana harus berbakti. Ia berkembang dan berubah dengan perubahan zaman dan berbeda menurut tempat. e. Nilai-Nilai Adat dan Kebiasaaan-Kebiasan Sosial. Adat dan kebiasaan tersebut tentunya yang positif. Hal ini sesuai dengan pandangan, bahwa pendidikan adalah usaha pemeliharaan, pengembangan dan pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat yang positif. f. Hasil Pemikiran-Pemikiran dalam Islam. Pemikiran yang dimaksud adalah pemikiran para filosof, pemikiran pemimpin, dan intelektual muslim khususnya dalam bidang pendidikan yang dapat dijadikan referensi (sumber) bagi pengembangan pendidikan Islam. Sumber pendidikan Islam yang dimaksudkan disini adalah semua acuan atau rujukan yang darinya memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Sumber ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam menghantar aktivitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu ke waktu. Sumber pendidikan Islam terkadang disebut dengan dasar ideal pendidikan Islam (Abdul Mujib (2006: 31). 3. Relevansi Karakteristik Pendidikan Islam Selanjutnya, Azyumardi Azra juga menjelaskan karakteristik pendidikan Islam, yakni bisa menguasai dan mengembangan ilmu pengetahuan, menekankan pada akhlak, bagian dari pengabdian pada
Allah, menyesuaikan perkembangan anak, menekankan pada amal saleh dan tanggung jawab. Bagi Azra karakteristik yang khas dari pendidikan Islam menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, karena ada perbedaaan tajam dengan karakteristik pendidikan umum. Menurut Winata Putra, Udin Saripuddin, Ardiwinata
Rustana
(http://arifinhamz.blogspot.co.id.
Diakses
02
Desember 2016), Ciri-ciri umum pengajaran agama dibandingkan dengan pengajaran umum, anatara lain: a. Pengajaran agama mempunyai dua sisi kandungan, dunia dan akhirat. b. Pengajaran agama yang memihak, tidak netral c. Pengajaran agama mengarah kepada pembentukan akhlakul karimah. d. Pengajaran agama amat fungsional, terpakai sepanjang hayat. e. Pengajaran agama sudah terisi sejak dari rumah. f. Pengajaran agama tidak diberikan sebagian. Karakteristik pendidikan Islam yang dikemukakan Azyumardi Azra berbeda dengan yang sampaikan Abdurrahman An-Nahlawi. Menurut AnNahlawi yang dikutip A. Majid dan Dian Andayani (2006: 78-80) karakteristik pendidikan Islam meliputi: a. Memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia. b. Harus mewujudkan tujuan pendidikan Islam. c. Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan. d. Memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis.
e. Tidak bertentangan dengan konsep-konsep Islam. f. Harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan Negara. g. Harus memilih metode yang realistis sehingga dapat diadaptasi ke dalam berbagai kondisi. h. Harus efektif dan dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik i. Harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia anak didik. j. Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung. Bila dipahami dengan seksama, karakteristik Pendidikan Islam menggambarkan dengan jelas keunggulannya dibandingkan dengan karakteristik pendidikan lainnya, karena pendidikan Islam mempunyai ikatan langsung dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sehingga menjadi jelas bahwa konsep Pendidikan Islam Azyumardi Azra dalam pandangan penulis menyesuaikan dan tidak menutup mata terhadap perkembangan yang ada ditengah masyarakat. 4. Relevansi Kurikulum Pendidikan Islam Konsep kurikulum merupakan pencapaian tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap dengan materi, metode, dan sistem evaluasi melalui tahap-tahap penguasaan peserta didik terhadap berbagai aspek; kognitif, afektif, dan psikomotorik (Azra, 2012: 9). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran
yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu (Abuddin Nata, 2003: 70). Dalam Presentasi makalah oleh Yeni Oktarina yang berjudul Pemikiran Azyumardi Azra: Demokrastisasi Pendidikan Islam, di UII Program Magister Studi Islam. Ia menjelaskan bahwa bagi Azyumardi Azra dalam kurikulum pendidikan Islam harus jelas selain mesti berorientasi kepada pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta didik, kini harus pula memberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya dengan cara ini, pendidikan Islam bisa fungsional dalam menyiapkan dan membina SDM seutuhnya, yang menguasai iptek dan berkeimanan dalam mengamalkan agama. Hanya dengan cara ini pula, secara sistematis dan programatis dapat melakukan pengentasan kemiskinan secara bertahap namun pasti (hasthutibaharuddin.blogspot.com. Diakses 02 Januari 2017). Sehingga dikotomi ilmu akan hilang dengan sendirinya karena penekanan kurikulum yang dijalankan berdasarkan kepada nilai agama, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kurikulum pendidikan Islam Azyumardi Azra tidak mengenal istilah dikotomi ilmu. Istilah tersebut muncul dari hasil warisan penjajah Belanda yang berusaha untuk memisahkan secara tegas antara ilmu agama dan ilmu modern (umum). Seperti yang disampaikan oleh Ahmad Tafsir (1994: 98-99) bahwa kurikulum pendidikan Islam harus
mencakup seluruh dimensi manusia. Hal ini tidak hanya memperhatikan akidah, ibadah, maupun akhlak saja. Akan tetapi termasuk semua aspek kehidupan yang ada. Azyumardi Azra menjelaskan perencanaan pendidikan bagi peserta didik muslim baik di negara mayoritas Islam maupun minoritas memerlukan perombakan radikal dalam bidang kurikulum menyangkut struktur dan mata pelajaran (subject matter). Oleh karena itu, perencanaan pendidikan Islam harus berlandaskan dua nilai pokok dan permanen, yakni persatuan fundamental masyarakat Islam tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan persatuan masyarakat internasional berdasarkan kepentingan teknologi dan kebudayaan bersama atas nilai-nilai kemanusiaan (1998: 8). Dengan kata lain, setiap materi yang diberikan kepada peserta didik harus memenuhi dua tantangan pokok. Pertama, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, pengalaman ajaran agama. 5. Relevansi Metode Pendidikan Islam Masalah pendidikan yang begitu kompleks menghendaki perlunya pembaruan dalam metode pendidikan Islam. Menurut Azyumardi Azra metode pendidikan Islam saat ini hanya menitikberatkan pada kemampuan hafalan dari pada kekuatan logika sehingga kecenderungan seperti ini menghasilkan sikap tidak kritis dan patuh terhadap dogma-dogma. Hasil wawancara Ahmad Halawi dengan Azyumardi Azra (selasa, 21 februari 2012) menjelaskan bahwa proses pembelajaran membutuhkan metode yang bervariasi, sehingga tidak menimbulkan kejemuan dan kebosanan
bagi peserta didik. Peserta didik jangan hanya dijejali atau diceramahi, tetapi anak beri ruang untuk berpikir, mencari sendiri dari buku-buku bacaan dan melaporkan hasilnya. Menurut Ibnu Khaldun yang dikutip Muhammad Kosim (2012: 83) bahwa metode-metode pendidikan Islam antara lain: a. Metode Hafalan Metode hafalan telah dikenal sejak awal perkembangan Islam. Hal ini bisa dilihat dari upaya para sahabat dalam menghafal Al Qur‟an dan Hadits. Selanjutnya, generasi-generasi sesudahnya pun tetap mengembangkan hafalan ini. Memang diakui adanya metode hafalan dalam pendidikan Islam, namun metode ini hanya digunakan dalam bidang-bidang tertentu saja. b. Metode dialog Metode yang paling tepat untuk menguasai suatu disiplin ilmu ialah dialog. Pemahaman yang diperoleh melalui hafalan tentang suatu masalah yang termasuk bagian dari ilmu pengetahuan, bisa saja diperoleh oleh orang awam, siswa baru, maupun sarjana pandai. Sementara kebiasaan atau kemampuan yang diperoleh melalui metode diskusi yang bersifat eksklusif hanya dimiliki oleh sarjana atau orang yang benar-benar mendalami disiplin ilmu pengetahuan. c. Metode Widya Wisata Metode widya wisata adalah bagian dari metode pendidikan dengan melakukan perjalanan (rihlah) untuk menuntut ilmu, karena
dengan cara ini peserta didik akan mudah mendapatkan sumber-sumber pengetahuan yang banyak sesuai dengan karakteristik eksploratif anak. Pengetahuan
yang
berdasarkan
observasi
langsung
itu
akan
berpengaruh besar dalam memperjelas pemahaman lewat indrawinya. d. Metode keteladanan Secara psikologis, manusia cenderung meniru karakter orang lain, terutama orang yang difigurkannya. Peniruan tersebut biasanya bersumber dari kondisi mental seeorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan kelompok lain sehingga dalam peniruan ini anak-anak yang sedang mencari identitas diri, cenderung meniru orang dewasa. e. Metode pengulangan (al-Tikrar) dan bertahap (al-Tadrij) Pada dasarnya metode ini perlu diterapkan berdasarkan asumsi kemampuan menerima ilmu pengetahuan pada anak yang sedang berproses. Hal ini karena anak masih mempunyai kekuatan otak yang minim sekali, sehingga kesiapan anak memahami ilmu pengetahuan harus berlangsung secara bertahap. Nana Sudjana (1989: 78-86) juga menjelaskan bahwa terdapat bermacam-macam metode dalam pembelajaran, yaitu metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode resitasi, metode kerja kelompok, metode demonstrasi dan eksperimen, metode sosiodrama (roleplaying), metode problem solving, metode sistem regu (team teaching),
metode latihan (drill), metode karyawisata (Field-trip), metode survei masyarakat, dan metode simulasi. B. Relevansi Strategi Pembaruan Pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra 1. Relevansi Strategi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam a. Urgensi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam Memasuki abad ke-21 bangsa Indonesia dihadapkan pada pelbagai tantangan besar berskala global. Sebagian besar tantangan itu muncul dari proses globalisasi yang terjadi sejak paruhan kedua abad ke-20 dan diperkirakan semakin intensif pada abad mendatang. Lebih dari itu juga akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa-bangsa dunia, termasuk Indonesia. Berkaitan dengan perubahan-perubahan itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, perlu mengambil langkah-langkah strategis agar dapat melakukan antisipasi (Rahim, 2000: 409). Azyumardi Azra sebagai pemikir pendidikan Islam di Indonesia dan juga praktisi di Perguruan Tinggi Islam menganggap gagasan modernisasi pendidikan Islam tidak hanya menjadi wacana, melainkan juga harus menjadi kenyataan dan dipraktekan. Baginya ide dan kenyataan harus dibangun bersama-sama, karena dengan cara inilah sebuah ide dapat dirasakan manfaatnya (Ariefuzzaman, 2007: 69).
Persaingan bebas akan menuntut IAIN untuk dapat memberikan andil bagi pemenuhan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Paling tidak, dikemudian hari akan muncul dua tuntutan besar. Pertama,
tuntutan kualitas disiplin ilmu yang selama ini
diajarkan. Kedua, tuntutan untuk bersaing bebas dengan perguruan tinggi lain untuk mempersiapkan sumber daya masusia yang mampu menghadapi kehidupan yang majemuk (plural). Yang dimaksud tuntutan kualitas adalah keinginan untuk meningkatkan kualitas disiplin ilmu yang diajarkan di IAIN. Penekanannya meliputi tiga hal, yaitu (a) sasaran pembinaan karakter (b) pembinaan akademik, dan (c) pembinaan profesional (Azizy, 2000: 28). Langkah konversi dari
IAIN menuju UIN memang
diintensifkan pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., dengan dibukanya Jurusan Psikologi dan Pendidikan Matematika pada Fakultas Tarbiyah, serta Jurusan Ekonomi dan Perbankan Islam pada Fakultas Syariah pada tahun akademik 1998/1999. Untuk lebih memantapkan langkah konversi ini, pada tahun 2000 dibuka Program Studi Agribisnis dan Teknik Informatika bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Program Studi Manajemen dan Akuntansi. Pada tahun 2001 diresmikan Fakultas Psikologi dan Dirasat Islamiyah bekerja sama dengan Al-Azhar, Mesir. Selain itu dilakukan pula upaya kerja sama dengan Islamic
Development Bank (IDB) sebagai penyandang dana pembangunan kampus yang modern, McGill University melalui Canadian International Development Agencis (CIDA), Leiden University (INIS), Universitas Al-Azhar (Kairo), King Saud University (Riyadh), Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Ohio University, Lembaga Indonesia Amerika (LIA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Bank Negara Indonesia, Bank Muamalat Indonesia, dan universitas-universitas serta
lembaga-lembaga
lainnya
(https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Syarif_Hid ayatullah_Jakarta. Diakses 02 Januari 2017). Hasilnya tanggal 20 Mei 2002, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta resmi berubah menjadi UIN. b. Relevansi Strategi Pembaruan Perguruan Tinggi Islam Dalam perjalanan IAIN, Masykuri Abdullah (2000: 77) menjelaskan, menyadari perlunya revisi kurikulum secara periodik, maka pada 30 Juni 1997 Menteri Agama, H. Tarmizi Taher, telah meresmikan kurikulum nasional baru IAIN/STAIN. Peresmian kurikulum baru ini dimaksudkan untuk menyempurnakan kurikulum 1995 yang dinilai sudah kurang relevan dengan perkembangan dan pembangunan nasional yang cukup dinamis. Ada beberapa hal baru yang terdapat dalam kurikulum 1997 ini. Terutama yang terpenting
adalah dekompartementalisasi, bahasa Inggris, serta penekanan kurikulum lokal yang berkaitan dengan dunia ketenagakerjaan. Proses
penyempurnaan
perguruan
tinggi
Islam
yang
dilakukan Tarmizi Taher diperjelas juga oleh Azyumardi Azra meliputi: Pertama, Relevansi Penataan Organisasi. Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan langkah-langkah dalam proses pembaruan perguruan tinggi perspektif Azyumardi Azra yaitu dengan penataan organisasi. Saat itu penataan organisasi terfokus pada fakultas-fakultas yang tersebar di berbagai kota yang dampaknya menimbulkan perbedaan sarana, fasilitas, dan faktorfaktor pendukung lain antar perguruan tinggi Islam. Pada giliranya pengelolaan tidak bisa berjalan dengan baik dan teratur. Bagi Azra, seharusnya perguruan tinggi Islam hanya berada di ibukota-ibukota provinsi saja karena dengan begitu sarana-sarana yang diperlakukan dapat dimiliki secara lebih memadai. Ditangan
Mukti
Ali,
IAIN
mulai
memasuki
proses
rasionalisasi dengan cara menutup fakultas-fakultas daerah yang secara akademik tidak bermutu. Langkah ini dimaksudkan agar kinerja administrasi IAIN dapat terselenggara secara lebih efisien (Hidayat, 2000: xxiii).
Kelas-kelas jauh IAIN dihapuskan atau
digabungkan dengan yang lain, jumlah fakultas diupayakan tidak bertambah lagi, atau bahkan kalau dapat dikurangi, jumlah mahasiswa juga dikendalikan. Puncak dari kegiatan rasionalisasi
organisasi ini ialah dilepaskannya sekitar 40 fakultas cabang IAIN menjadi 36 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang berdiri sendiri pada 1997, diluar 14 IAIN yang ada (Mudzhar, 2000: 67). Dengan terbentuknya 36 buah STAIN maka pengembangan IAIN mengalami babak baru lagi. Dengan pendirian STAIN, studi Islam di daerah perkembangannya akan lebih mandiri seperti yang dialami STAIN Salatiga ini, dan sekarang sudah berubah menjadi IAIN. Kedua, Relevansi Rekontruksi Kurikulum. Sistem pendidikan dan kurikulum pun menurut Azyumardi Azra harus disempurnakan, terutama berkaitan mata kuliah. Kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia dinilai terlalu kompleks. Hal itu pula yang menyebabkan banyak siswa di Indonesia merasa dipaksa untuk menguasai materi/ketrampilan yang sebenarnya tidak sesuai dengan bakat mereka. Karena beban kurikulum yang berat, tak hanya siswa yang terbebani, tetapi juga guru dalam mentransfer ilmu juga terbebani. Hasilnya, siswa tidak bisa menguasai materi-materi, begitu pula gurunya (http://www.pikiran-rakyat.com/. Diakses 02 Januari 2017). Gagasan penyederhanaan kurikulum Azyumardi Azra sama dengan yang
disampaikan Masykuri Abdullah (2000: 80) yaitu
pengembalian beberapa bidang studi “pecahan” ke “ilmu induknya”. Misalnya, kalau dalam mata kuliah tafsir I, II, III, VI pada Jurusan Tafsir Hadits dengan bobot 8 sks. Ini cukup disebutkan tafsir dengan
jumlah sks yang agak besar (6 sks). Contoh lain adalah tafsir ahkam pada semua jurusan di Fakultas Syari‟ah. Menurut kurikulum lama terdiri atas tafsir ahkam I, II, III dengan bobot 6 sks atau tiga semester, tapi dalam kurikulum baru hanya diberikan bobot 3 SKS atau satu semester. Dosenlah yang menerjemahkan mata kuliah ini dan membagi-bagi materi perkuliahan secara rinci dengan mengacu kepada silabus nasional. Pemadatan memang bisa membawa pengaruh berkurangnya materi yang diberikan jika dosen kurang mampu melakukan pemadatan isi. Ketiga,
Relevansi
Dekompartementalisasi.
Menurut
Azyumardi Azra, dewasa ini terjadi kompartementalisasi yang cukup parah di IAIN dalam bentuk fakultas dan jurusan sejak mahasiswa melangkahkan kaki ke gerbang perguruan tinggi Islam. Akibat kompartementalisasi
ini,
mahasiswa
cenderung
mempunyai
pemahaman yang terpilah-pilah tentang Islam. Mereka yang memasuki Fakultas Ushuluddin misalnya, kurang apresiatif terhadap syari‟ah, mereka yang memasuki Fakultas Tarbiyah, sangat lemah dalam bidang pemikiran kalam atau filsafat Islam, dan seterusnya. Seharusnya, pada semester-semester awal mahasiswa belum didaftarkan di fakultas dan jurusan, sebagaimana terjadi selama ini. Baru pada tahun kedua atau ketiga mahasiswa dipersilahkan memilih fakultas dan jurusan masing-masing, sesuai dengan minat mereka setelah
mengikuti
perkuliahan
selama
setahun.
Memang
pengaturannya rumit, tetapi mahasiswa dapat memilih bidang studi yang diminatinya setelah mereka mengetahui secara jelas arah masing-masing fakultas atau jurusan. Secara teknis hal ini menyulitkan, maka bisa dicarikan jalan keluar, misalnya mahasiswa diberi hak pindah fakultas atau jurusan, meskipun disertai juga dengan persyaratan tertentu (Abdullah, 2000: 81). Pada masa-masa inilah mahasiswa yang memang mempunyai minat-minat tertentu dapat mengarahkan diri ke dalam bidang-bidang khusus. Keempat, Relevansi Peningkatan Personal. Bagi Azyumardi Azra dalam pembaruan perguruan tinggi Islam juga harus melakukan peningkatan
personal.
Baginya
dalam
peningkatan
personal
dilakukan berbagai langkah, yaitu dengan diberikan kesempatan mengikuti program pelatihan, penelitian, dan pengembangan agama departemen agama, serta mengikuti program latihan penelitian ilmuilmu sosial, dan program-program lain semisal S2, S3, dan lain-lain (Azra, 1998: 128). Pengembangan perguruan tinggi Islam tidak boleh dianggap remeh, tapi perlu melibatkan para ahli. Termasuk tidak kalah penting adalah peranan dosen yang berkualitas dan profesional dalam menentukan efektivitas kurikulum. Menurut Johan Hendrik Meuleman, salah satu indikator paling jelas tentang orientasi majemuk IAIN adalah kerjasama Internasional. Sebagaimana dijelaskan diatas, pada masa sebelumnya hubungan luar negeri Indonesia dalam bidang kajian Islam lebih
berorientasi ke Timur Tengah. Bahkan sampai sekarang sejumlah lulusan dan dosen IAIN masih belajar di Timur Tengah. Akan tetapi belakangan semakin banyak tenaga pengajar dan atau lulusan IAIN yang melanjutkan studi di dunia Barat. Gejala itu sudah ada sejak 1960-an, tapi semakin kuat sejak akhir 1980-an. Kebanyakan mahasiswa dan peneliti ini dikirim ke Universitas McGill dan Leiden, sedangkan jumlah lebih kecil dikirim ke berbagai universitas di Amerika Serikat, Australia, dan negara Barat lain (Meuleman, 2000: 45). Strategi ini merupakan bagian dari proses peningkatan personal. Kelima, Relevansi Reformulasi Tujuan. Menurut penjelasan M. Atho Mudzhar (2000: 69), sejak paruh kedua dekade 1970-an, almarhum Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar, Guru Besar jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, seringkali menyatakan bahwa IAIN harus mengambil sikap yang tegas antara sebagai lembaga dakwah atau lembaga pendidikan tinggi. Hal itu juga beliau kemukakan dalam berbagai seminar atau lokakarya yang membahas masalahmasalah pengembangan IAIN. Relevan sekali apa yang disampaikan Azyumardi Azra, yaitu mencanangkan agar ada reformulasi tujuan dalam tubuh IAIN. IAIN dalam arah tujuan seharusnya sebagai pusat pengembangan pemikiran Islam, tapi sampai saat ini masih terasa hanya sebagai
wadah pembinaan calon pegawai dan guru ketimbang pemikir dan intelektual. Pengembangan IAIN dimasa depan, setelah kita tahu adanya tuntutan dan tantangan sebagai konsekuensi terjadinya reformasi, liberalisasi, dan globalisasi serta konsekuensi desentralisasi dan pemberian otonomisasi, IAIN yang akan datang bisa dikembangkan dengan beberapa pola sebagai berikut: (1) mencetak ulama‟ abad 21. Pola pertama tetap menjadikan IAIN sebagai lembaga pendidikan untuk mencetak tenaga ahli dalam ilmu-ilmu keislaman (ilmu Islam) atau ulama‟ dan sekaligus pemimpin agama. Dengan kata lain, mencetak ulama abad 21, ini berarti menempatkan IAIN sebagai pengembangan atau tingkatan lebih tinggi dari institusi pesantren. (2) Menjadi perguruan tinggi yang Islami. Jika pola pertama bertujuan mempertahankan IAIN sebagai lembaga yang mencetak ulama abad 21, maka pola kedua menjadikan IAIN sebagai perguruan tinggi yang akan menanggapi tuntutan pasar dengan orientasi pada lapangan kerja di pasar bebas. Umumnya universitasuniversitas ini tidak memiliki perbedaan dengan universitas negeri atau swasta murni yang ada di Indonesia. Mereka membuka fakultas dan jurusan ilmu-ilmu yang biasa disebut sekuler, hanya saja, selain ilmu sekuler, universitas jenis ini memiliki fakultas Agama. (3) Ulama dan Pasar bebas. Pola ketiga untuk pengembangan IAIN merupakan penggabungan kedua pola di atas dengan cara bertahap.
Langkah
awal
adalah
menciptakan
IAIN
sebagai
lembaga
pendidikan untuk mencetak ulama 21. Setelah mapan dan tampak hasilnya baru dikembangkan untuk menerapkan pola kedua. Pola kedua belum akan ditempuh jika pola pertama belum mapan (Azizy, 2000: 34-38). Ini menjadi penting untuk arah perguruan tinggi Islam di masa akan datang dengan disertai visi-misinya. Keenam, Azyumardi Azra melihat perguruan tinggi Islam, secara umum belum terbentuk sikap mental ilmiah, baik dikalangan dosen, apalagi dikalangan mahasiswa. Suasana dikampus sampai sekarang ini belum dikatakan ilmiah akademis, yang terlihat lebih merupakan
suasana
rutinitas
civitas
akademika
yang
menyelenggarakan proses pendidikan dari hari ke hari. Berdasarkan keterangan Dadi Darmadi (2000: 348), salah satu indikator paling kuat dari tumbuhnya tradisi intelektual di kalangan IAIN adalah semakin berkembangnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, publikasi karya-karya kalangan terpelajar IAIN. Sejak awal 1980-an, terjadi peningkatan yang cukup signifikan di dalam penerbitan buku-buku keislaman. Lebih dari itu, setidaknya dalam lima tahun terakhir, terdapat jumlah yang signifikan dari karya-karya tulis kalangan IAIN, utamanya dalam bentuk koran, artikel di jurnal ilmiah dan buku-buku ilmiah tentang Islam.
Pemikiran baru dan riset merupakan dua hal yang dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Banyak isu-isu yang bisa diangkat untuk dijadikan sebuah pemikiran baru dan pengembangan ilmu pengetahuan. Bentuk kontribusi ini pun bisa dilakukan dengan cara pembuatan karya ilmiah. Karya ilmiah inilah yang nantinya dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat
mengenai
pemikiran
atau
gagasan
baru
(http://www.umy.ac.id/. Diakses 28 Desember 2016). Setidaknya terdapat lima indikator yang diperkuat dengan beberapa bukti empiris mengenai peranan IAIN di dalam pengembangan wacana pemikiran keislaman dan intelektual Indonesia. Kelima indikator tersebut adalah: (1) Beragamnya wacana keagamaan yang dikembangkan (2) Peningkatan jumlah sarjana, khususnya yang bergelar doktor dan master (3) peningkatan jumlah publikasi berupa artikel koran, jurnal ilmiah, dan buku yang diterbitkan (4) Semakin menjamurnya kelompok-kelompok studi (5) kemunculan berbagai kelompok-kelompok kajian keagamaan dan keislaman (Darmadi, 2000: 348). c. Relevansi Penguatan Akhlakul Karimah Untuk pembinaan karakter dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan iman, taqwa, dan etika. Seharusnya IAIN mempunyai seperangkat yang paling siap dibandingkan perguruan tinggi lain. Sebab dengan menawarkan ilmu agama yang
salah satu intinya adalah untuk memperbaiki kehidupan moral, IAIN semestinya bisa berada di barisan depan. Akan tetapi yang terjadi tidak demikian. Meskipun disiplin yang diajarkan sarat dengan pesan moral, sering dalam praktiknya hanya muncul sebagai ilmu pengetahuan. Kritik pun muncul bahwa IAIN hanya mengajarkan Islam secara keilmuwan dan miskin praktik serta contoh kehidupan beragama yang baik dalam keseharian. lebih dari itu, selain IAIN tidak saja kering dari praktik keberagaman, lembaga ini juga tidak mampu menjangkau etika sosial, baik dalam tataran konseptual maupun praktik di tengah masyarakat (Azizy, 2000: 28). Ini sesuai dengan kegelisahan yang dirasakan Azyumardi Azra melihat perilaku mahasiswa akhir-akhir ini. Berbagai aksi menjadi
sorotan
publik
karena
tindakannya
yang
tidak
mencerminkan sebagai mahasiswa Islam. Penguatan akhlakul karimah Azyumardi Azra menjadi sangat penting karena merupakan bagian dari strategi pencegahan aksi-aksi yang keluar dari jalur norma agama. Berbagai aksi atau perilaku jauh dari norma agama dari mahasiswa Islam yang penulis temukan antara lain: Pertama, Rabu 1 September 2010, sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Islam Makassar membubarkan mahasiswa baru yang mengikuti kuliah perdana, serta
merusak dan membakar fasilitas kampus dengan
alasan tidak dilibatkan dalam penyambutan mahasiswa baru
(https://m.tempo.com. Diakses 1 Januari 2017). Kedua, Rabu, 11 Desember 2013, puluhan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga berunjuk rasa mempermasalahkan uang kuliah tunggal atau UKT. Karena merasa dihalang-halangi satpam, mereka marah. Awalnya, aksi berlangsung di pertigaan kampus UIN. Setelah membakar ban bekas dan berorasi, mahasiswa masuk kampus dan melanjutkan aksi di dalam gedung. Aksi baku pukul terjadi saat mahasiswa hendak masuk ke gedung rektorat. Suasana ricuh, terlihat sandal dan kayu beterbangan ke arah barikade satpam (http://news.detik.com. Diakses 1 Januari 2017). Ketiga, Kegiatan Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater Mahasiswa Baru 2014 di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, pada 28 hingga 30 Agustus, mendadak ramai diperbincangkan. Sebabnya adalah mereka mengusung tema "Tuhan Membusuk" dalam kegiatan itu, dan menjadi buah bibir seluruh warga kampus yang dulu bernama IAIN Sunan Ampel itu (https://www.merdeka.com. Diakses 1 Januari 2017). Keempat, Kasus ucapan mahasiswa IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung dalam ta‟aruf dengan mahasiswa baru September 2004 cukup menyentak. Di antaranya perkataan, “Selamat bergabung di area bebas Tuhan”. Malah ada seorang mahasiswa dari jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin mengepalkan tangan dan meneriakkan, “Kita berzikir bersama anjing
hu akbar” ( https://pikirancerah.wordpress.com. Diakses 1 Januari 2017). Azyumardi Azra sangat menyayangkan perilaku mahasiswa Islam yang megatakan “Tuhan membusuk”. Benar yang disampaikan Zakiah Daradjat (1995:72), bahwa pentingnya pendidikan moral bagi anak-anak kita, khususnya bagi para generasi penerus bangsa serta betapa pula bahaya-bahaya yang terjadi akibat kurangnya atau merosotnya nilai-nilai moral tersebut. Atho' Mudzhar
yang dikutip Muhaimin (2005: 26) juga
mengemukakan bahwa merosotnya moral dan akhlak peserta didik disebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan agama yang terlampau pada materi, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagaman yang utuh, selain itu metodologi pendidikan agama kurang mendorong
penjiwaan
terhadap
nilai-nilai
keagamaan
serta
terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan. Tim Dosen PAI Universitas Brawijaya
(2005: 10-11)
mengatakan bahwa pentingnya agama dalam kehidupan disebabkan oleh sangat diperlukannya moral dari manusia, padahal moral bersumber dari agama. Agama menjadi sumber moral, karena agama mengajarkan iman kepada Tuhan dan kehidupan akhirat, serta karena adanya perintah dan larangan dalam agama.
Posisi pendidikan agama, sebagaimana dikemukakan diatas, dalam pendidikan di Indonesia semakin penting. Akan tetapi, pendidikan agama yang ada di sekolah-sekolah, madrasah dan pendidikan tinggi
cenderung berupa transformasi
informasi,
pengetahuan dan bukan transformasi pengalaman, pembiasaan, dan pembentukan sikap dan perilaku. Oleh karena itu yang menjadi ukurannya adalah angka atau indeks prestasi (IP), bukan sikap dan tingkah laku. Para siswa yang mendapat nilai baik dalam bidang agama belum tentu berperilaku jujur. Malah di sekolah sendiri terkadang menjadi tempat bersemainya nilai-nilai ketidakjujuran. nyontek, pendongkrakan NEM, IP, sera KKN (Syafrudin, 2000: 142). 2. Relevansi Strategi Pembaruan Pondok Pesantren a. Relevansi Analisis Historis Pada era globalisasi, pondok pesantren dihadapkan pada beberapa perubahan sosial budaya yang tidak terelakkan, pondok pesantren tidak dapat melepaskan diri dari perubahan-perubahan. Kemajuan teknologi informasi dapat menembus benteng budaya pondok pesantren. Dinamika sosial ekonomi telah mengharuskan pondok pesantren untuk tampil dalam persaingan dunia pasar bebas (free market), belum lagi sejumlah perkembangan lain yang terbungkus dalam dinamika masyarakat yang juga berujung pada pertanyaan tentang resistensi (ketahanan), responsibilitas (tanggung
jawab),
kapabilitas
(kemampuan),
dan
kecanggihan
pondok
pesantren dalam tuntutan perubahan besar. Apakah pesantren mampu menghadapi konsekuensi logis dari perubahan-perubahan tersebut? (Suwendi, 2004:118). Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sebagian masyarakat memandang tidak pernah mengalami perubahan secara sistemik dan mendasar. Bahkan sebagian masyarakat terkesan pesantren simbol keterbelakangan dan ketertutupan. Perubahan yang terjadi pada pesantren dipahami hampir-hampir suatu kemunduran atau dianggap sebagai suatu pengingkaran terhadap jati diri dan watak pesantren (Ali, 2007: 39). Banyak pesantren yang tidak mampu bertahan ditengah arus perubahan zaman dan dinamika masyarakat. Setelah dilancarkannya ekspansi pendidikan umum kebanyakan pesantren mengalami kemunduran
karena
tidak
mampu
menyesuaikan
diri
dan
mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan umum. Akibatnya minat orang tua untuk memilih pesantren sebagai lembaga pendidikan bagi putra-putrinya menjadi kian surut. Pada kondisi seperti ini pesantren mulai mengalami krisis santri (Ali, 2007: 40). Azyumardi
Azra
memiliki
pandangan
berbeda.
Ia
memandang bahwa pesantren bisa survive sampai hari ini. Bahkan sejak dilancarkannya modernisasi pendidikan Islam diberbagai
kawasan dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Pemikiran Azyumardi Azra tentang pembaruan pondok pesantren menurut penulis berangkat dari pendekatan historis, bukan pada hal strategi yang memerlukan step by step, karena memang Azyumardi Azra dikenal juga sebagai profesor yang ahli sejarah. Pembaruan pesantren bagi Azyumardi Azra mengalami perjalanan panjang sehingga muncul konsep atau istilah modernisasi. Pengalaman pesantren dari sistem pendidikan Belanda dan juga dari kaum reformis Muslim memicu munculnya gagasan-gagasan baru dari pihak pesantren. Dalam penjelasan Karel Steenbrink yang dikutip Huda Ali tentang respon pesantren bahwa dalam konteks surau tradisional menyebutnya sebagai “menolak dan mencontoh”, sementara dalam konteks pesantren jawa sebagai “menolak sambil mengikuti”. Dalam konteks ini pesantren melakukan sejumlah akomodasi, dan adaptasi sekedar untuk mendukung kontinuitasnya. Sejumlah penyesuaian dan adaptasi bahkan eksperimentasi terus dilakukan dalam dimensi waktu: kemerdekaan, pasca kemerdekaan, masa pemerintahan ORBA sehingga masa kini (2007: 41). Azyumardi
Azra
menjelaskan
modernisasi
pesantren
sudah
dilakukan jauh sebelum kemerdekaan seperti yang dilakukan pesantren Tebuireng, pesantren Rejoso di Jombang, pesantren
Mambaul Ulum Surakarta, pondok modern Gontor, “Sekolah Diniyah” Zainuddin Labay al-Yunusi, ataupun Sumatera Thawalib. Azyumardi Azra menjelaskan sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren yaitu pertama, merevisi kurikulumnya dengan
memasukkan
semakin
banyak
mata
pelajaran
dan
ketrampilan umum. Kedua, membuka kelembagaan dan fasilitasfasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Pada awal berdirinya, pesantren hanya menerapkan sistem pendidikan salafiyah, yakni menerapkan metode sorogan dan bandongan atau wetonan dalam proses belajar mengajar, sehingga pesantren pada waktu itu lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional. Tetapi setelah kira-kira sekitar abad ke-19, terjadi perubahan penting, antara lain pada tahun 1920 pesantren Denanyar Jombang mulai memberikan kesempatan bagi santri-santri wanita, dan pada tahun 1920-an pesantren Tebuireng Jombang dan pesantren Singosari Malang mulai mengajarkan mata pelajaran umum (Thaha, 2007: 66). Perubahan tersebut diikuti pula oleh beberapa pesantren yang lain, tetapi masih sangat terbatas, setidaknya karena dua alasan: (1) Para pengasuh (kyai) masih tetap mempertahankan tujuan awal dari pesantren, yakni penyebaran Islam (2) Belum memiliki tenaga sesuai dengan tuntutan pembaharuan (Thaha, 2007: 66).
Secara kuantitatif perkembangan pesantren tetap bertambah termasuk jumlah santrinya dan bahkan pengaruhnya sangat dominan, tetapi pengaruh tersebut mulai menurun setelah penyerahan kedaulatan pada bulam Desember 1949. Pada saat itu pemerintah mulai membangun sekolah-sekolah umum secara luas serta jabatanjabatan dalam administrasi modern terbuka luas bagi bangsa Indonesia yang terdidik di sekolah-sekolah umum tersebut. Hal ini berdampak luas pada menurunnya jumlah santri di pesantrenpesantren jika dibandingkan dengan jumlah mereka yang mengikuti pendidikan umum, sehingga pada tahun 1950-an banyak pesantren kecil yang dengan terpaksa harus bubar (Thaha, 2007: 67). Antisipasi terhadap fenomena diatas dilakukan oleh beberapa pesantren besar dengan cara membuka atau mendirikan sekolahsekolah umum seperti SMP dan SMA, bahkan ada pula yang membuka universitas yang memiliki berbagai fakultas dalam cabang ilmu-ilmu umum. Namun harus diakui bahwa tidak semua pesantren mengalami perubahan yang sama, atau bahkan masih ada pesantren yang tetap mempertahankan keasliannya, sehingga ada macammacam tipe pesantren, yang pada umumnya dapat dikelompokkan pada dua kelompok besar yakni, pesantren salafi dan pesantren khalafi (Thaha, 2007: 67). Menurut Azyumardi Azra, respon yang dilakukan pondok pesantren.
Pertama,
respon
pesantren
terhadap
pembaruan
pendidikan Islam mencakup pembaruan substansi atau isi, serta metodologi.
Menurut
Anik
Farida
(2007:
10)
pembaruan
(modernisasi) kurikulum dilakukan dengan cara tetap memberikan pengajaran agama Islam, sekaligus memasukkan subjek (pelajaran) umum sebagai substansi pendidikan. pembaharuan metodologi dilakukan dengan menerapkan sistem klasikal atau penjenjangan. Dari kedua unsur tersebut, maka bentuk lembaga pendidikan madrasah atau sekolah umum serta kelembagaan atau fasilitasfasilititas bagi kepentingan pendidikan umum menjadi sebuah keniscayaan. Dari segi metode pengajaran, tidak lagi menerapkan sorogan atau bandongan, tetapi telah mulai menggunakan berbagai metode pengajaran yang diterapkan pada sekolah umum seperti, tanya jawab, hafalan, sosio-drama, widyawisata, ceramah, hingga sistem modul. Kedua, Bagi Azyumardi Azra, pembaruan pesantren juga terjadi pada sistem kelembagaannya, seperti sistem kepemimpinan. Kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua orang kyai. Tetapi dalam perkembangannya, pola kepemimpinan mengarah pada pengelolaan yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif. Salah satu contoh yang dikemukakan Azyumardi Azra dalam pengantarnya buku Nurcholish Madjid berjudul Bilik-Bilik Pesantren adalah transisi kepemimpinan pesantren Maskumambang di Gresik, yang sejak didirikan pada tahun 1859 dipimpin oleh
keturunan pendirinya, KH Abdul Jabbar. Tetapi pada tahun 1958 kepemimpinan
pesantren
ini
diserahkan
kepada
Yayasan
Kebangkitan Umat Islam (Azra, 1997: xx). Dengan perubahan pola kepemimpinan dan manajemen ini, maka ketergantungan kepada seorang kyai seperti pada pesantren-pesantren zaman dulu jarang terjadi lagi. Kenyataan ini merupakan salah satu faktor penting yang membuat pesantren tetap bertahan dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Ketiga, Aspek pembaruan fungsionalisasi pada pondok pesantren juga terjadi menurut Azyumardi Azra. Awalnya pondok pesantren
hanya
berfungsi
dalam
hal
kependidikan,
tapi
bertambahnya tahun sebagai respon terhadap modernitas, lembaga pendidikan ini juga terlibat aktif dalam kepentingan sosial dan ekonomi. Dalam posisi dan kedudukannya yang khas, pesantren memiliki peran sebagai lembaga alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri dan sekaligus sebagai pusat pengembangan Setidaknya
pembangunan
juga
menjadi
yang
pusat
berorientasi
penyuluh
pada
nilai.
kesehatan,
pusat
pengembangan teknologi, dan usaha penyelamat lingkungan hidup, dan yang lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masayarakat (Farida, 2007: 12).
Konsekuensi pembaruan fungsi pesantren dengan cakupan kegiatan yang sangat luas ini, meliputi fungsi kependidikan, sosial dan ekonomi maka pengembangan jaringan kerja dengan lembaga lain merupakan salah satu prasyarat yang tidak boleh ditinggalkan. Ini sangat sesuai dengan gagasan Azyumardi Azra yaitu pentingnya penguatan jaringan pesantren. b. Relevansi Pemikiran Keislaman Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme Islam sebagai fenomena historissosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, fundamentalisme sampai terrorisme. Bahkan negara-negara Barat pasca hancurnya komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan peradaban yang menakutkan (Madjid, 1995: 270). Menurut
Edi
Susanto
dalam
Jurnal
Tadris
(2007)
menjelaskan bahwa adanya kemungkinan munculnya radikalisme Islam komunitas “pondok pesantren” bukan suatu hal yang mustahil.
Namun demikian, penting dicatat bahwa tingkat kemungkinan munculnya gerakan radikalisme Islam dari lingkungan pesantren tidak dapat dipukul rata (arbitrer), terutama karena dunia pesantren sangatlah heterogen. Secara sederhana tingkat kemungkinan tersebut dapat dikategorikan dengan kemungkinan tinggi dan kemungkinan rendah. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingkat kemungkinan tersebut tidak bisa dipukul rata. Pertama, latar belakang pengetahuan agama dan faham keagamaan para pimpinan pesantren, antar pesantren satu dengan yang lain berbeda-berbeda. Kedua, sistem pendidikan, termasuk kualitas tenaga pengajar, bahan ajar, kurikulum tersembunyi dan literatur pesantren antar satu dengan yang lain berbeda-berbeda. Ketiga, lingkungan sosial pesantren, termasuk jaringan sosial dan politik unsur pesantren (pimpinan, ustadz, dan santri) berbeda-beda. Keempat, pengalaman perjuangan kehidupan sosial dan politik pimpinan pesantren berbeda-beda (ejournal.stainpamekasan.ac.id. Diakses 25 Desember 2016). Bagi Azyumardi Azra tidak mudah memperkuat dan memberdayakan Islam wasatiyah. Keterbelakangan umat dalam ekonomi dan pendidikan khususnya, menciptakan suasana yang tidak cukup kondusif, berujung pada ketiadaan harapan dan keputusasaan bagi masa depan maka bagi Azra pemberdayaan ekonomi dan pendidikan menjadi sangat penting. Jika semua itu bisa
diwujudkan, barulah dalam ummatan wasathan betul-betul kuat dan tangguh ditengah berbagai gejolak zaman (Azra, 2005: 148). Di tengah pergulatan masyarakat Islam menghadapi berbagai persoalan yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan dan aliran, membutuhkan pengembalian dan rekonstruksi pendidikan Islam yang berbasis moderatisme. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan untuk mengkontruksi pendidikan Islam berbasis moderatisme: 1) Tasamuh (toleransi). Menurut bahasa tasamuh berarti toleransi atau tenggang rasa, sedangkan menurut istilah tasamuh adalah sifat dan sikap tenggang rasa atau saling menghargai antar sesama manusia,
walaupun
pendirian
atau
pendapatnya
berbeda
(bertentangan) dengan pendiriannya sendiri. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada (Misrawi, 2010: 1). 2) I‟tidal (keadilan). Secara umum pengertian adil mencakup, tidak berat sebelah, berpihak kepada kebenaran, obyektif dan tidak sewenang-wenang. Cakupan makna ini menjadi ajaran setiap agama, menjadi paradigma dakwah dan juga menjadi rujukan hubungan sosialnya (Hasan, 2005: 280). 3) Tawazzun (keseimbangan). Prinsip tawazun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan
pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang (Muhammad, 1999: 41). 4) Persamaan.
Prinsip
persamaan
menurut
konsep
modern
merupakan gagasan tentang persamaan dalam kesempatan. Menurut doktrin ini, tuntutan persamaan adalah adanya persamaan di muka hukum (equality before the law) dan penghapusan terhadap hak-hak istimewa lain yang tidak dibenarkan, yang hanya menyediakan posisi sosial, ekonomi, dan politik bagi kelas, golongan, ras atau jenis kelamin tertentu (Abdilah, 1999: 113-114). c. Relevansi Penguatan Jaringan Pondok Pesantren Pondok Pesantren jumlahnya cukup besar yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Jumlah para santri dari pondok pesantren kecil sampai pondok pesantren besar mencapai jutaan orang dengan jumlah kelembagaan puluhan ribu, dan jika ditambah dengan diniyah yang melakukan kegiatan proses belajar mengajar seperti pondok pesantren, jumlahnya dapat mencapai ratusan ribu (Marwan Saridjo, 2011: 117). Data Kementerian Agama tahun 2012 misalnya, menunjukkan jumlah pesantren yang tercatat di Kemenag sebanyak 27.230. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data tercatat
baru
sebanyak
1997, yang
4.196
(http://ditpdpontren.kemenag.go.id. Diakses 5 Februari 2017).
buah
Lebih jelasnya, berdasarkan analisis statistik pendidikan Islam, Pendataan Pondok Pesantren tahun 2011-2012 berhasil mendata 27.230 Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, hasilnya yaitu: Pertama, Lembaga. Dari seluruh pondok pesantren yang ada, berdasarkan tipologi pondok pesantren, terdapat sebanyak 14.459 (53,10%) pondok pesantren salafiyah, dan 7.727 (28,38%) khalafiyah/ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai pondok pesantren kombinasi. Kedua, Santri/Siswa. Jumlah santri pondok pesantren secara keseluruhan adalah 3.759.198 orang santri, terdiri dari 1.886.748 orang santri laki-laki (50,19%), dan 1.872.450 orang santri perempuan (49,81%). Ketiga, Tenaga Pengajar. Tenaga pengajar pondok pesantren seluruhnya berjumlah 153.276 orang pengajar, terdiri dari 102.459 orang (66,87%) pengajar laki-laki dan 50.781 orang (33,13%) pengajar perempuan. Data diatas menunjukkan pondok pesantren menduduki tempat yang sangat strategis dan memiliki kuatan besar, yang tersebar diseluruh Indonesia. Ini yang membuat Azyumardi Azra merasa penting bagi pesantren untuk melakukan penguatan jaringan. Ia mengatakan bahwa sekarang ini pesantren-pesantren besar harus membantu pesantren-pesantren kecil dalam modernisasinya, caranya dengan membangun jaringan pesantren seluruh Indonesia. Melalui kerjasama antar pondok pesantren akan mempermudah dalam proses pembaruan. Dampaknya dari kerjasama, kemajuan pada hal
substansi, metodologi, kelembagaan, dan fungsi akan mudah tercapai. Melalui jaringan pesantren, pemikiran penguatan Islam wasatiyah
Azyumardi
terimplementasikan.
Azra Fenomena
juga
akan gerakan
lebih
mudah
radikalisme-
fundamentalisme yang mengatasnamakan agama mulai marak dengan segala isu dan pemberitaannya akhir-akhir ini. Kasus-kasus terkait dengan konflik Ahmadiyah, peledakan bom di Masjid Polres Cirebon, peledakan bom Gereja di Surakarta, bom buku, perekrutan anggota NII dengan cara cuci otak dan lain-lain adalah terkait dengan agama (https://jurnalsrigunting.wordpress.com. Diakses 4 Januari 2017). Perlu penanganan radikalisme-fundamentalisme secara bersama-sama melalui jaringan pesantren agar pesantrenpesantren saling bekerjasama dalam penguatan Islam wasatiyah.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis dari bab I sampai dengan bab IV guna menjawab fokus masalah dalam penelitian yang dilakukan dan telah disesuaikan dengan tujuan penulisan skripsi di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi titik tekan sebagai kesimpulan dalam skripsi ini, yaitu: 1. Pemikiran pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra antara lain adalah: (a) pendidikan Islam adalah proses pemindahan nilai-nilai budaya serta pembentukan individu dari suatu generasi ke generasi berikutnya berdasarkan ajaran Islam supaya dapat menunaikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, dan berhasil mewujudkan kebahagiaan di dunia akhirat (b) Tujuan pendidikan Islam ada dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pendidikan Islam adalah menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertakwa ini menjadi rahmatan lil „alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Adapun tujuan khusus pendidikan Islam ini tergantung pada institusi pendidikan tertentu, pada tahap pendidikan tertentu, pada jenis pendidikan tertentu, serta tergantung pada masa dan umur tertentu. Bila tujuan akhir pendidikan Islam adalah bersifat mutlak dan tidak bisa berubah, maka dalam tujuan khusus pendidikan Islam masih dapat berubah (c) Dalam kurikulum, pendidikan Islam harus jelas selain mesti berorientasi kepada pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta didik, kini harus pula memberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (d) Sumber pendidikan Islam antara lain:
Al-Qur‟an, As-Sunnah, kata-kata sahabat, kemaslahatan masyarakat, Nilai-nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial, dan hasil pemikiran-pemikiran
dalam
Islam
(e)
Proses
pembelajaran
membutuhkan metode yang bervariasi, sehingga tidak menimbulkan kejemuan dan kebosanan bagi peserta didik. Macam-macam metode pendidikan Islam antara lain, metode hafalan, dialog, widya wisata, keteladanan, pengulangan (al-tikrar) dan bertahap (al-tadrij) (6) Karakteristik
pendidikan
Islam,
yakni
bisa
menguasai
dan
mengembangan ilmu pengetahuan, menekankan pada akhlak, bagian dari pengabdian pada Allah, menyesuaikan perkembangan anak, menekankan pada amal saleh dan tanggung jawab. 2. Strategi pembaruan pendidikan Islam Azyumardi Azra ada dua, (1) Pembaruan Pondok Pesantren dengan cara pembaruan subtansi atau isi, pembaruan metodologi, pembaruan kelembagaan, pembaruan fungsi, dan perlunya penguatan Islam Wasatiyah. (2) Pembaruan Perguruan
Tinggi
Islam
dengan
cara
penataan
organisasi,
penyempurnaan sistem pendidikan dan kurikulum, peningkatan personal,
reformulasi
tujuan,
simplifikasi
beban
perkuliahan,
dekompartementalisasi, liberalisasi sistem sks, penguatan akhlakul karimah, dan penguatan jaringan pesantren. 3. Pemikiran Azyumardi Azra tentang pembaruan pendidikan Islam (perguruan tinggi Islam dan pondok pesantren), jika dikaitkan dengan sistem pendidikan nasional yang berbunyi pada Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 memiliki korelasi karena saling menekankan aspek kecerdasan inteletual dan pengembangan manusia seutuhnya disertai internalisasi nilai-nilai spritual. Pemikiran Azyumardi Azra sangat relevan dengan kondisi pendidikan di Indonesia supaya tidak ada lagi dikotomi ilmu, tercapainya akhlakul karimah, kuatnya Islam wasatiyah dan jaringan pesantren, serta terbentuknya kurikulum yang ideal. Pemikirann Azyumardi Azra yang belum tercapai adalah penyederhanaan kurikulum.
B. Saran Dari hasil kesimpulan diatas, perlu kiranya penulis memberikan saran konstruktif bagi dunia pendidikan Islam yaitu: 1. Bagi Pendidik Berusaha semaksimal mungkin untuk selalu kreatif dan berinovasi dalam proses pembelajaran dengan berbagai metode yang digunakan, bukan hanya menggunakan metode ceramah, akan tetapi dapat menggunakan berbagai metode yang kekinian sehingga peserta didik atau mahasiswa dapat menerima pelajaran dengan baik dan maksimal. 2. Bagi Instansi Pendidikan Islam Telah
disebutkan
dalam
pembahasan
sebelumnya
bahwa
pembaruan pendidikan Islam adalah suatu keniscayaan. Maka perguruan tinggi Islam maupun pondok pesantren agar selalu berfikir kreatif dan cerdas untuk melakukan modernisasi pendidikan Islam secara berkelanjutan dan berkualitas. 3. Bagi Pemerintah Diharapkan semaksimal mungkin mendorong dan mendukung perguruan
tinggi
Islam
dan
pondok
pesantren
dalam
memodernisasinya, baik materil maupun moril. Karena tanpa dukungan dari pemerintah mustahil pendidikan Islam akan maju.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid dan Dian Andayani. 2006. Pendidikan Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Agama
Islam
Abdul Mujib. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Arikunto. 2010. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta : Rineka Cipta. Azyumardi Azra. 1998. Esei-Esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. ______________, 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. ______________. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. ______________. 1999. Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. ______________. 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih. Bandung: Mizan. ______________. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekontruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ______________. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. ______________. 2005. Dari Harvard sampai Makkah. Jakarta: Penerbit Republika. Burhan Bungin. 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: kencana. Deddy Mulyana. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hasan Langgulung. 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: al Ma‟arif. Hujair Sanaky. 2008. Mata Kuliah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta : Fakultas FIAI dan Kedokteran Universitas Islam Indonesia. Komaruddin Hidayat dan Hendro, Prasetyo. 2000. Problem & Prospek IAIN (Antologi Pendidikan Tinggi Islam). Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Lexy Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Masykuri Abdilah. 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Moeliono A.M. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Mohammad Tholhah Hasan. 2005. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta: Lanta bora Press. Muhaimin. 2003. Paradigma Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya. Munawir A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir (Arab-Indonesia Surabaya: Pustaka Progressif.
Terlengkap).
Nasution. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nata Abuddin. 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan LembagaLembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo. Nawawi Hadari. 1993. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada Universiti Perss. Nurcholis Madjid. 1997. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina. Slamet Triyadi. 2009. Modernisasi Pendidikan Islam Perspektif Prof. Dr. Azyumardi Azra. Tesis (Online). Tersedia: http://digilib.uinsby.ac.id/7324/. 21 Juli 2016. Syamsul Kurniawan, Erwin, dan Mahrus. 2013. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikn Islam. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media. Yulianto. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: M2s. Zakiah Daradjat. 1993. Ilmu Jiwa Agama. Jakarata : Bulan Bintang. Zuhairi Misrawi. 2010. Membumikan Toleransi al-Quran; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta: Moslem Moderate Society. https://m.tempo.com. Diakses 1 Januari 2017. http://news.detik.com. Diakses 1 Januari 2017. https://www.merdeka.com. Diakses 1 Januari 2017. ejournal.stainpamekasan.ac.id. Diakses 25 Desember 2016.
https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Syarif_Hidayatullah_Jaka rta. Diakses 02 Januari 2017 http://www.umy.ac.id. Diakses 28 Desember 2016. http://ditpdpontren.kemenag.go.id. Diakses Diakses 5 Februari 2016 www.tokohindonesia.com. Diakses 21 Juli 2016. Harian Kompas, 25 Maret 2004.
LAMPIRAN-LAMPIRAN TRANSKRIP WAWANCARA Narasumber Hari/Tanggal Waktu Tempat
: Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. : 06 September 2016 : 10.00 WIB : Universitas Airlangga Surabaya
Keterangan P I
: Penulis : Nara Sumber
P : Assalamualaikum Prof ! I : Waalaikumsalam Wr. Wb. P : Saya Maftukhin mahasiswa IAIN Salatiga yang ingin mengadakan wawancara dengan Prof untuk penelitian skripsi. I : Oh ya, ya. Silahkan. Ya sudah langsung aja apa pertanyaannya? P : Bagaimana keadaan pondok pesantren saat ini menurut pandangan Prof? I : Saya melihat bahwa pondok-pondok pesantren sudah maju, seperti Lirboyo, Tebuireng itu sudah maju. Substansi, kelembagaan madrasah sudah berubah. Sistem sebelumnya hanya sorogan dan bandongan, sekarang sudah sistem klasikal. Bangunan-bangunan pun juga sudah megah, tidak seperti dulu lagi. P : Apa yang diperbaharui atau dimodernisasi Prof? I : Kurikulum, metode pengajaran, bangunan dan yang lain sudah bagus. Yang dibutuhkan untuk saat ini bagaimana penguatan pemahaman keagamaan, yaitu pemahaman keagamaan Islam washatiyah atau Islam moderat. Perkembangan yang terjadi dalam beberapa terakhir ini, banyak penyebaran pemahaman keagamaan yang radikal. P : Seberapa besar pengaruhnya Prof? I : Yang sedang terjadi adalah penyebaran paham-paham Islam yang tidak sesuai. Mereka itu gigih dalam penyebaran. Berkembangnya mereka dapat pengikut dari satu-satu akhirnya menjadi banyak. Ini perlu dilakukan kenangkalan melalui sistem yang sistematis dengan cara penguatan islam wasatiyah. ini penting dilakukan.
P : Bagaimana caranya Prof? I : Sekarang ini saya kira pesantren-pesantren besar itu harus membantu pesantren-pesantren kecil dalam modernisasinya, karena masih ada pesantren yang pembelajarannya ketinggalan, substansi pendidikan juga masih ketinggalan, nah pesantren-pesantren yang besar ini harus membantu, caranya dengan membangun jaringan pesantren seluruh Indonesia, tidak hanya di Indonesia tapi di Filipina, Thailand, Malaysia. Kita harus mengekspor pesantren kita ini ketempat-tempat lain. Dari sudut substansi, pembelajarannya, paham keagamaannya yakni wasatiyah-nya itu, harus diekspor kenegara-negara lain. Itu gagasan yang baru. Pesantren Muhammadiyah sudah mulai banyak, pesantren PERSIS sudah ada di Jawa Timur, pesantren Nahdlatul Wathon juga banyak. Semua itu harus bikin jaringan, saling membantu mana yang masih tradisional, dimodernisasi dalam tiga hal itu tadi, fisik, kelembagaan, substansi pendidikan, dan metode pembelajarannya, jadi empat. P : Berkaitan kyai konservatif bagaimana Prof? I : Sekarang kyai sudah lebih terbuka, kalau pesantren-pesantren besar terbuka, kepemimpinannya lebih kolektif. Jadi kalau di Pesantren besar itu, kyai utamanya wafat maka pesantrennya tidak bubar karena ada menejemennya, menejemennya sudah cukup kuat. P : Pandangan Perguruan Tnggi Islam saat ini menurut Prof Bagaimana? I : Perguruan tinggi Islam saat ini, baik negeri maupun swasta maju sekali. Dulu kita cuma punya IAIN dan STAIN, tapi sejak 20 Mei 2002 IAIN Jakarta berubah menjadi UIN. Sejak itu terus beberapa IAIN menjadi UIN, termasuk STaIN Malang. Hingga sekarang jumlahnya sampai 11. Saya kira perguruan tinggi Islam Negeri, UIN, IAIN, dan STAIN sudah maju, gedungnya juga sudah bagus-bagus, Dosennya juga sudah mulai banyak, banyak Doktor, banyak Profesor. P : Kemudian yang perlu dimodernisasi apanya Prof? I : Saya kira sekarang tugas prioritas utama saat ini adalah penguatan akhlakul karimah, budi pekerti, integritas, itu semua yang penting sekarang. Karena kalau Mahasiswa tamat tidak memiliki akhlak yang baik itu, gak pas lah. Pembaruan di perguruan tinggi Islam hampis sudah terpenuhi dengan gagasan-gagasan di buku saya, cuma yang belum terlaksana adalah penyederhanaan kurikulum. Sekarang beban kurikulum masih banyak, mata kuliah masih banyak, kalau bagi saya mata kuliah cukup empat selama satu semester, tapi sks nya besar-besar 4 sks tau 5 sks atau 6 sks. Sekarang terlalu banyak 1 semester 12 mata kuliah. Jadi itu agenda kedepan, penyederhanaan kurikulum. Mata kuliah yang cabang-cabang dikembalikan ke induknya. Misalnya di Tarbiyah itu ada fiqih tarbawi, Fiqih Tarbawi sampai beberapa semester, cukup jika mau dikasih cukup satu semester, tidak usah fiqih
tarbawi satu, dua, sampai berapa itu empat, cukup satu saja. Mahasiswa didorong untuk lebih banyak belajar sendiri, karena abad kita saat ini adalah abad informasi. P : Berkaitan mahasiswa saat ini, pandangan prof bagaimana? I : Saya kira memang, aktivisme mahasiswa berkurang, aktivisme dalam arti aktivis sosial politik. Mungkin karena politik di Indonesia lebih stabil. Tapi dulu zaman-zaman Gus Dur jadi presiden, politik belum stabil dan banyak gejolak tapi semenjak masa SBY berkurang. Mahasiswa saat ini kecenderungan lebih aktif dalam isu-isu internal kampus. Misalnya saya gak tahu di UIN Malang, di UIN Surabaya ini mahasiswanya suka mendemo Rektor, kadang-kadang kelakuan mahasiswanya juga gak bener, kaya tidak ada akhlaknya, mengatakan Tuhan membusuk dan macam-macam, saya tidak tau kalau di UIN Malang. Jadi mereka sibuk kedalam. Aksi-aksi mereka secara moral dan akhlak tidak selalu cocok. P : Baiklah Prof. Itu aja sepertinya yang mau saya tanyakan. Jika nanti ada pertanyaan lagi boleh ya Prof? I : Iya. Boleh. P : Terima kasih banyak ya Prof atas waktunya. I : Iya, sama-sama. Hati-hati pulangnya. Kan jauh.
DOKUMENTASI WAWANCARA