1
ISLAM INDONESIA: KONTRIBUSI PADA PERADABAN GLOBAL Oleh Azyumardi Azra*
Kian banyak kalangan Barat merasa semakin perlu memahami Islam di Indonesia, atau yang juga sering disebut sebagai „Islam Indonesia‟. Dorongan dan keperluan itu banyak disebabkan kian dikenalnya Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di muka bumi. Sering juga Indonesia disebut sebagai „negara Muslim terbesar‟ di Dunia Islam karena sekitar 88,7 persen dari total 235 juta penduduk Indonesia beragama Islam. Kenyataan bahwa Indonesia dalam 10 tahun terakhir juga merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di muka bumi setelah India dan AS hanya memperkuat dorongan untuk lebih memahami Islam di negeri ini.1 Dalam konteks upaya lebih memahami, sementara kalangan menggunakan istilah „Islam di Indonesia‟. Jika ada orang memilih istilah „Islam Indonesia‟, alasannya sederhana, Islam di Indonesia—meski kaum Musliminnya mengimani rukun Iman yang sama dan menjalankan Rukun Islam dan banyak ibadah lainnya yang sama—tetapi dalam pengejawantahan kehidupan sosial budaya Islaminya memiliki distingsi tersendiri, yang tidak ditemukan di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Kaum Muslimin Indonesia memang memiliki sistem dan tradisi sosial budaya yang khas dan distingtif jika dibandingkan dengan umat Islam di tempattempat lain. Karena itulahlah Islam Indonesia memiliki wilayah budaya Islamnya sendiri—dari delapan Islamic cultural spheres yang ada di muka bumi. Sebenarnya, banyak orang asing baik akademisi, diplomat dan masyarakat umumnya, dan juga kalangan masyarakat Indonesia sendiri tidak memahami Islam 1
Untuk contoh terakhir, lihat Robert Pringle, Understanding Islam in Indonesia: Politics and Diversity (Singapore: Editions Didier Millet, 2010).
2
Indonesia dengan baik dan akurat. Seperti disimpulkan Pringle; “Persepsi-persepsi populer tentang Islam di negara mayoritas Muslim terbesar [di muka bumi] mencerminkan stereo-types yang saling bertentangan. Sebagian orang melihatnya sebagai mistikal dan jinak, sebagian lainnya ketakutan karena [bagi mereka] para ekstrimis Islam telah berada pada jalan untuk mendominasi demokrasi Indonesia yang tengah bergulat”2. Hemat saya, orang harus melangkah keluar dari persepsi-persepsi stereotypical tentang Islam Indonesia; dan kemudian berusaha memahami apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia dewasa ini, khususnya dalam kaitan dengan Islam. Untuk itu, orang perlu mengetahui tentang berbagai aspek masyarakat Muslim Indonesia, dan posisi serta peran mereka dalam peristiwa-peristiwa historis tertentu yang dapat memiliki kekuatan penjelasan amat kuat untuk memahami dinamika dan interplay di antara kaum Muslimin Indonesia pada satu pihak dengan lingkungan lebih luas pada pihak lain. Untuk kepentingan itu, peneliti dan pengkaji Islam Indonesia yang serius seyogyanya berusaha mengkaji secara lebih cermat perjalanan historis Islam Indonesia yang begitu panjang, sejak kedatangan dan penyebaran Islam di kawasan ini, masa penjajahan Belanda dan Jepang sampai kepada masa Presiden Soekarno, Soeharto dan dinamika terkini, masa pascaSoeharto. Dalam kurun begitu panjang, perjalanan Islam Indonesia dalam politik penuh berbagai peristiwa tidak selalu menyenangkan dan traumatik, yang mempengaruhi secara signifikan aktualisasi Islam politik. Pengalaman traumatik itu terjadi tidak hanya pada masa Belanda, tetapi juga di masa menjelang dan pasca-kemerdekaan. Memang dalam waktu relatif pendek di masa Jepang, para pemimpin Muslim terekrut ke dalam pergumulan politik, tetapi kemudian terkesampingkan para pemimpin lain yang biasa disebut sebagai „nasionalis‟ yang 2
Ibid, hal 7.
3
secara tipikal diwakili Soekarno. Pada masa terakhir ini, bisa ditemukan akar-akar „majinalisasi Islam‟ sejak dari penghapusan „Piagam Jakarta‟ dari Pembukaan UUD 1945, tersudutnya Islam karena pemberontakan DI/TII, sampai kegagalan partai-partai Islam mendapatkan suara mayoritas dalam Pemilu 1955; [partai] NU, Masyumi, dan PSII hanya mampu mendapatkan suara 42 persen. Dalam masa Presiden Soeharto, Islam politik bukan hanya mengalami marjinalisasi. Banyak kalangan Muslim sendiri lebih jauh lagi menggunakan ungkapan „Islam ditindas‟, yang berujung pada „lenyapnya‟ Islam politik. Tetapi, justru di tengah situasi ini, sisi lain Islam yang biasa disebut sebagai „Islam kultural‟ mengalami kebangkitan; Islam mengalami ekspansi luarbiasa berkat pertumbuhan ekonomi, yang menimbulkan perubahan sangat cepat dan berdampak panjang dalam bidang sosial, kultural, dan keagamaan. Hasilnya, menjelang jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto berbagai lembaga baru Islam lengkap dengan gaya dan praktek baru Islam pun juga merebak sampai ke tingkat yang tidak bisa dimundurkan lagi. Maka, kerangka Gertzian3—sangat disukai banyak kalangan Indonesianis— yang membelah kaum Muslimin menjadi „santri‟ dan „abangan‟ menjadi tidak relevan lagi. Kerangka ini justru bertanggungjawab atas terjadinya distorsi dalam memahami Islam Indonesia. Kategori Muslim abangan yang misalnya dilekatkan kepada para petani Jawa tidak lagi eksis dalam kehidupan keagamaan. Mereka telah tersapu peningkatan kesalehan Islam yang terus meningkat sejak dasawarsa 1990an sampai sekarang ini.
Ummatan Washatan dan Islam Washatiyah
3
Untuk kerangka Geertzian, lihat Clifford Geertz, Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1976); dan tentang kemerosotan trikotomi abangan, santri dan priyayi, lihat M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet, 2009).
4
Islam Indonesia umumnya termasuk ke dalam kelompok besar umat Islam yang disebut sebagai „ummatan washatan‟. Gagasan dan konsep tentang ummatan washatan‟ sebenarnya tidak terlalu baru di Indonesia. Jauh sebelum terjadinya Peristiwa 11 September 2001 di AS, Menteri Agama Tarmizi Taher (1992-97) misalnya sangat getol mengkampanyekan Islam Indonesia sebagai contoh aktualisasi „ummatan washatan‟ dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam pada masa kontemporer. Ini dapat dilihat dari karya Tarmizi Taher tentang „ummatan washatan‟ yang diterbitkan dalam tiga bahasa; Indonesia, Arab, dan Inggris4. Gagasan dan konsep „ummatan washatan‟ secara normatif berasal dari alQur‟an surat al-Baqarah ayat 143: “Dan dengan demikian Kami [Allah SWT] telah menciptakan kamu [kaum Muslimin] sebagai ummatan washatan agar kamu sekalian dapat menjadi saksi bagi manusia lain; dan sesungguhnyalah Rasul [utusan Allah] menjadi saksi atas diri kamu sekalian”. Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, konsep ummatan washatan sering juga disejajarkan dan diidentikkan dengan „Islam washatiyyah‟, yakni umat atau Islam yang berada di tengah, seimbang, tidak berdiri pada kutub ekstrim, baik dalam pemahaman dan pengamalan Islam. Harus diakui, gagasan „ummatan washatan‟ atau washatiyyah kembali menemukan momentumnya setelah Peristiwa 11 September 2001 di Amerika, ketika kaum Muslimin dan Islam menjadi terdakwa dalam aksi-aksi kekerasan dan terorisme yang dilakukan individu dan kelompok Muslim tertentu. Padahal jelas, Islam mengecam kekerasan, apalagi terorisme; dan jika pelaku kekerasan dan terorisme adalah orang Muslim, maka itu tidak bisa diidentikkan dengan Islam dan Muslim secara keseluruhan. Di sini terdapat urgensi mendesak untuk memberikan
4
Lihat Tarmizi Taher, Aspiring for the Middle Path Islam: Religious Harmony in Indonesia (Jakarta: Center for the Study of Islam and Society IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997)
5
penjelasan-penjelasan kepada publik internasional tentang Islam dan kaum Muslimin sebagai entitas washatiyyah yang menjalankan Islam washatiyah. Dalam pandangan penulis, aktualisasi ummatan washatan di Indonesia sudah bermula sejak awal penyebaran Islam, khususnya sejak akhir abad 12 dan 13, yang berlangsung secara damai, yang dalam bahasa TW Arnold dalam karya klasiknya, The Preaching of Islam5, merupakan „penetration pacifique‟. Dalam penyebaran secara damai tersebut memang sulit dielakkan terjadinya percampuran antara Islam dengan kepercayaan dan praktek keagamaan dan budaya lokal. Tetapi, gelombang-gelombang pembaharuan dan pemurnian Islam sejak abad 17 terus berlangsung, yang pada satu segi mengorientasikan Islam di kawasan ini ke arah skripturalisme; tetapi pada saat yang sama, dalam proses-proses ini juga berlangsung kontekstualisasi Islam dengan realitas-realitas lokal di Indonesia. Salah satu aktualisasi penting washatiyyah di Indonesia terlihat dalam watak negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Para pendiri (founding fathers) dari kalangan nasionalis dan Islam pada akhirnya bersepakat menjadikan Indonesia bukan sebagai negara sekuler sekaligus juga bukan sebagai negara agama berdasarkan Islam. Washatiyyah ini terpatri dalam Pancasila sebagai „kalimatun sawa‟, prinsip-prinsip yang sama atau common platform di antara anakanak bangsa yang majemuk dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Pada level kemasyarakatan, Islam Washtiyyah terwujud dalam berbagai organisasi besar Islam, yang umumnya berdiri jauh sebelum kemerdekaan RI. Daftar organisasi Islam Washatiyyah itu bisa sangat panjang mulai dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al-Washliyah, Perti, Mathla‟ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, Al-Khairat, DIII, dan banyak lagi. Organisasi-
5
Lihat TW Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith (London: Constable, 1913).
6
organisasi ini mengambil „jalan tengah‟ bukan hanya dalam pemahaman dan praksis keagamaannya, tetapi juga dalam sikap sosial, budaya dan politiknya. Organisasi-organisasi
Islam
ini
memainkan
peran
penting
dalam
kebangkitan „Islam kultural‟ sejak paroan kedua masa Orde Baru, yang pada gilirannya memunculkan fenonema „kebangkitan Islam‟ atau renaisans Islam Indonesia. Apa yang disebut sebagai „kebangkitan Islam‟ itu biasanya secara lahiriah ditandai dengan kian meluasnya pemakaian jilbab di kalangan wanita; munculnya lembaga-lembaga baru Islam semacam Bank Muamalat, bank syariah dan lembaga filantropy Islam; terus meningkatnya jumlah jamaah haji; kian banyaknya jumlah masjid yang bagus; meningkatnya popularitas lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya sekolah Islam, madrasah dan pesantren; sampai kepada munculnya aspirasi di kalangan Muslim untuk penegakan „syari‟ah‟. Dalam konteks itu, menarik menyimak Giora Eliraz yang berpendapat, watak kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik, terutama jika dibandingkan dengan Islam Timur Tengah. Jika di Timur Tengah umumnya „kebangkitan Islam‟ itu ditandai dengan peningkatan kesalehan dan konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi fundamentalis—dan bahkan militansi dan radikalisme-„kebangkitan Islam‟ di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan6. Dalam penelitian Eliraz, meningkatnya minat banyak kalangan Muslim Indonesia terhadap Islam—sebagai bagian dari “kebangkitan Islam sejak 1980an— justru mendorong banyak di antara mereka—khususnya kelas menengah urban— untuk memahami Islam secara progresif. Proses santrinisasi yang terjadi mempercepat dan memperkuat penyebaran pemahaman Islam progresif, yang pada segi-segi tertentu didukung dengan meningkatnya minat terhadap Sufisme yang inklusif. Karena itu, 6
Giora Eliraz Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension (Brighton: Sussex Academic Press, 2004). Eliraz adalah gurubesar pada Hebrew University Yerusalem dan dosen tamu pada ANU Canberra, Australia.
7
jika kebangkitan Islam di Timur Tengah sebagian besarnya cenderung skripturalis dan mengabaikan tasawuf, sebaliknya di Indonesia Sufisme kian popular melewati batasbatas tradisionalnya di kalangan pedesaan dengan menyebar di kalangan kelas menengah urban. Watak kebangkitan Islam Indonesia yang unik dan khas itu, menurut Eliraz, bahkan diperkuat „mediating role’ yang dimainkan organisasi-organisasi besar Islam, khususnya NU, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam Washatiyah lainnya. Semua organisasi ini—di tengah perubahan-perubahan politik yang begitu cepat dan dramatis di Indonesia, termasuk Pemilu 1999, Pemilu dan Pilpres 2004 dan 2009— tetap dalam komitmen mereka, setia kepada Pancasila sebagai dasar negara RI dan „common platform‟ sekaligus landasan utama pluralisme masyarakat di negara-bangsa Indonesia. Memang ada segelintir orang di dalam NU, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam Washatiyah lain yang berusaha memperbesar peran Islam dalam tatanan politik Indonesia; tetapi mereka umumnya tetap secara esensial moderat. Yang tidak kurang pentingnya, organisasi-organisasi Islam Washatiyah merupakan tulang punggung civil society dalam pengembangan civic culture yang esensial bagi demokrasi. Sebagai Islamic-based civil society, mereka tidak hanya melakukan berbagai program untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi juga dalam memelihara tumbuh suburnya demokrasi bahkan sejak masa Orde Baru dan selanjutnya. Bahkan, tulis Eliraz, di tengah kegalauan Indonesia dalam perubahan politik lebih satu dasawarsa terakhir organisasi Islamic-based civil society ini memberikan “the stabilizing effect…with their intensive national networks and strong sense of community”.
Islam Indonesia, Demokrasi dan Radikalisme
8
Faktor Islam, khususnya melalui Islamic-based civil society, hampir tidak diragukan sangat krusial dalam penerapan demokrasi di Indonesia sejak masa Pasca-Soeharto. Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Pileg 1999, Pileg dan Pilpres 2004 dan 2009 secara damai merupakan bukti tentang kompatibilitas Islam dan demokrasi di Indonesia karena kaum Muslimin menjadi partisipan aktif dalam proses-proses politik demokrasi, termasuk khususnya melalui parpol-parpol Islam dan parpol non-Islamic oriented. Jika sementara kalangan asing khususnya mungkin meragukan apakah kaum Muslim bisa berdemokrasi, Indonesia yang merupakan bangsa-negara Muslim terbesar di dunia menunjukkan kepada dunia, bahwa tidak ada masalah antara Islam dan demokrasi di bumi ini. Karena itu, tidak heran kalau pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia menjadi titik perhatian banyak sarjana dan peneliti. Sebagai contoh saja adalah Vali Nasr yang menyatakan, Indonesia kini semakin menjadi model yang sangat baik dalam hal hubungan antara Islam dan demokrasi. Menurut dia, model Indonesia dapat menjadi alternatif bagi model Turki yang kian tidak menarik bagi banyak kaum Muslimin. Karena itu, ia menyimpulkan, Indonesia telah memberikan contoh kepada dunia Muslim lainnya tentang bagaimana demokrasi relevan bagi Islam7. Berbagai penelitian dan survei tentang demokrasi di Dunia Islam umumnya menyimpulkan, bahwa terdapat defisit demokrasi (democracy deficit) di banyak negara Muslim. Meski banyak negara Muslim menyatakan diri sebagai „negara demokrasi‟, dalam prakteknya mereka jauh dari demokrasi; bisa saja karena rejimrejim yang berkuasa adalah rejim-rejim diktatorial dan otokratik, dan bisa juga karena sistem politik yang berlaku adalah one single party system, dan lebih parah
7
Pernyataan Vali Nasr, gurubesar pada Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Angkatan Laut Amerika dalam lokakarya bertajuk “Asian Islam at a Crossroads”, yang diselenggarakan East-West Center, University of Hawaii dan ISEAS Singapura pada 23-24 September 2004 di mana penulis juga menyampaikan makalah.
9
lagi, bisa jadi karena sistem politiknya adalah monarki yang meski konstitusional hanya memberikan sangat sedikit ruang bagi ekspresi demokrasi. Tetapi tidak ada defisit demokrasi di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Memang dalam berbagai penelitian tersebut, Indonesia sudah disebut sebagai sebuah negara Muslim di mana demokrasi dalam masa Pasca-Soeharto terlihat tumbuh dengan cepat. Memang awalnya, terlihat tanda-tanda yang kurang meyakinkan bagi pertumbuhan demokrasi di negeri ini, yang menunjukkan gejala too much democracy. Tetapi hanya dalam waktu sekitar satu dasawarsa, konsolidasi dan pendalaman demokrasi terus berlanjut di Indonesia8. Harus diakui, tidak mudah mengembangkan demokrasi di Dunia Muslim. Banyak prasyarat yang menunjang pertumbuhan demokrasi tidak terdapat secara memadai di Dunia Muslim umumnya, mulai dari kondisi ekonomi yang lemah, pendidikan yang terkebelakang, sampai kepada kelemahan dalam modal-modal sosial lainnya. Selain itu, faktor eksternal, seperti dukungan kalangan negara Barat kepada rejim-rejim otokratik, otoriter, dan diktatorial membuat banyak Muslim Timur Tengah skeptis terhadap demokrasi. Lebih jauh, tidak atau belum ada model ideal demokrasi di negara Muslim. Yang pernah sering disebut adalah Turki. Tetapi, negara ini adalah negara demokrasi sekuler yang cenderung bermusuhan (hostile) terhadap agama. Karena itu, Indonesia sejak masa reformasi, khususnya setelah berhasil melakukan transisi secara damai dari otoritarianisme kepada demokrasi semakin sering disebut sebagai model. Berbeda dengan Turki, demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang tidak bermusuhan terhadap agama karena sila pertama dasar negara (Pancasila) adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi pada saat yang sama, 8
Lihat Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore: ICIP, TAF, Equinox-Solstice, 2006). Juga Azyumardi Azra & Wayne Hudson (contributing editors), Islam beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (Hampshire, UK & Burlington, VT, USA: Ashgate, 2008).
10
Indonesia bukanlah negara agama, atau persisnya negara Islam. Dan, bahkan Islam tidak menjadi agama resmi negara, meski penganut Islam merupakan mayoritas terbesar mutlak di negara ini; Islam hanyalah salah satu dari enam agama yang „diakui‟ negara. Tarik menarik di kalangan masyarakat-masyarakat Muslim menyangkut posisi Islam dalam negara memang masih berlanjut di banyak bagian Dunia Islam. Menurut penulis tarik menarik tersebut dapat dilihat dari keragaman bentuk-bentuk negara yang ada di Dunia Muslim. Pertama, adalah model negara sekuler model Turki; kedua, negara moderen yang tidak menjadikan Islam sebagai agama negara, tetapi mengakomodasi agama, seperti Indonesia; ketiga, model dawlah Islamiyah tradisional yang menjadikan al-Qur‟an sebagai konstitusi, semacam Arab Saudi; keempat, negara Islam moderen, yang menjadikan Islam sebagai agama resmi, seperti Malaysia atau Iran; kelima, model khilafah, yang pada masa kontemporer belum ada, tetapi menjadi orientasi bagi organisasi atau kelompok Muslim tertentu semacam Hizbut Tahrir. Bisa dipastikan, tarik menarik tentang posisi Islam dalam negara—sehingga menentukan bentuk negara itu sendiri—akan terus berlanjut. Jelas, mencari model yang seragam dan tunggal boleh dikatakan mustahil. Hal ini, karena memang masyarakat Muslim sendiri beragam dalam tradisi dan realitas sosio-kultural, politik dan pengalaman sejarahnya. Apalagi pemahaman dan penafsiran di kalangan ulama dan pemikir Islam tentang hubungan Islam dan politik, dan bentuk-bentuk kenegaraan juga beragam. Karena itu, pengembangan model-model, khususnya model Indonesia, menjadi tantangan sejarah bagi kaum Muslimin Indonesia dalam rangka memberikan kontribusi kepada penguatan demokrasi secara global. Dan, lebih khusus lagi bagi kaum Muslimin negeri ini sebagai bangsa-negara Muslim terbesar, tantangan dan tanggungjawab itu bisa bahkan lebih berat lagi. Tetapi
11
tanggungjawab besar itu bukan tanpa harapan; proses-proses politik demokrasi yang telah berjalan selama ini cukup memberikan harapan. Meski, masih banyak agenda perlu segera dilakukan, agar demokrasi tidak hanya menjadi the only game in town, tetapi juga dapat bermakna bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Islam Indonesia dengan segala perkembangannya dalam beberapa dasawarsa terakhir bagi sementara pengamat asing, kadang-kadang membingungkan. Pada satu pihak, Islam Indonesia kelihatan terus mengalami religio-cultural renaissance yang menjanjikan, tetapi pada pihak lain terlihat juga gejala radikalisme yang mengkhawatirkan. Dalam konteks terakhir ini, Islam Indonesia bagi kalangan pengamat asing tertentu, sejak Bom Bali I, Oktober 2002 sampai sekarang ini tak jarang juga dilihat sebagai „security issues‟; dan karena itu harus dihadapi dengan pendekatan keamanan (security approach). Pendekatan keamanan seperti itu jelas bisa kontra-produktif, dan dapat justru berujung pada peningkatan ketegangan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Lebih jauh lagi, pendekatan keamanan terhadap Islam, jelas mengaburkan dinamika Islam Indonesia, yang sangat kompleks dan multi-facetted. Gejala radikalisme di kalangan sementara Muslim sejak terjadinya bom Bali I pada Oktober 2002 yang kelihatan masih berlanjut, hanyalah bagian kecil dari dinamika Islam Indonesia secara keseluruhan. Bagian terbesar Muslim Indonesia tetap seperti dulu; mereka adalah orang-orang yang damai, toleran, dan tidak mau menjerumuskan diri ke dalam tindakan-tindakan yang bukan hanya mencemarkan nama baik, harkat dan martabat kaum Muslimin, tapi juga Islam yang mereka percayai sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Karena itulah para peneliti dan pengambil kebijakan, baik pada tingkat domestik, maupun internasional seharusnya tidak melihat Islam sebagai masalah keamanan, tetapi sebagai sebuah ekspresi keagamaan, sosial, dan kultural yang sangat kompleks.
12
Peran dan Kontribusi Internasional Sekali lagi, sejak masa pasca-Soeharto, Indonesia semakin dikenal dunia tidak sekedar negara Muslim terbesar, tetapi juga sebagai negara demokrasi ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Dengan posisi dan status seperti itu, tidak heran kalau banyak kalangan baik di Dunia Barat maupun di Dunia Muslim berharap agar Indonesia dapat memainkan peran lebih besar di tingkat internasional. Peran yang diharapkan itu antara lain menyebarkan Islam washatiyyah yang oleh sebagian kalangan diidentikkan dengan Islam moderat; dan sekaligus juga memberdayakan demokrasi di Dunia Muslim. Penulis sendiri dalam beberapa tahun terakhir diundang berbagai pihak di Timur Tengah sejak dari Mesir, Qatar dan Yordania untuk berbicara tentang pengalaman Indonesia dalam mengembangkan Islam washatiyyah, demokrasi, dan organisasi-organisasi civil society atau masyarakat madani. Hal ini menunjukkan mulai tumbuhnya minat di Timur Tengah untuk melihat pengalaman Indonesia dengan kaum Musliminnya dalam kehidupan keagamaan, sosial-budaya dan politiknya agar mereka dapat mengambil manfaat daripadanya. Meski
demikian,
tetap
saja
tidak
mudah
bagi
Indonesia
untuk
mendiseminasikan Islam washatiyyah dalam kancah internasional. Bahkan sebelum dapat melakukan diseminasi pada tingkat internasional, Islam washatiyyah di negeri ini perlu lebih dahulu terkonsolidasi dan lebih berdaya. Terdapat kalangan yang mengritik, bahwa para pemimpin dan masyarakat Muslim washatiyyah sering terlambat dalam meresponi berbagai perkembangan yang terjadi menyangkut Islam dan kaum Muslimin baik pada tingkat nasional dan internasional. Konsolidasi dan pemberdayaan Islam washatiyyah di Indonesia menyangkut penguatan sikap inklusif dan rekonsiliatif dalam menghadapi berbagai gejala keagamaan yang muncul di kalangan umat Islam sendiri, yang tidak selalu
13
menguntungkan. Hal ini terutama benar ketika terlihat adanya kecenderungan menguatnya pemahaman keislaman yang „hitam-putih‟, yang literal dan bahkan keras. Dalam kaitan itu, penguatan jaringan (networks) Islam washatiyyah baik pada tingkat nasional, regional dan internasional menjadi kebutuhan prioritas. Penguatan jaringan ini berarti memfasilitasi proses yang memungkinkan Islam washatiyyah Indonesia dapat memiliki jaringan yang padu secara internal, dan pada saat yang sama mempunyai hubungan dengan organisasi, kelompok civil society dan LSM lain di Dunia Muslim maupun lingkungan internasional lebih luas. Dengan demikian, Islam washatiyyah di negeri ini dapat menjadi gerakan yang memiliki dimensi internasional. Pemerintah Indonesia sendiri, melalui Kementerian Luarnegeri bekerjasama dengan organisasi-organisasi Islam dapat memperluas ekspose Islam washatiyyah di tanahair ke dunia internasional. Dalam beberapa tahun terakhir hal ini sudah mulai dilakukan dengan mensponsori berbagai konperensi internasional yang melibatkan NU dan Muhammadiyah, Konperensi-konperensi ini menghadirkan banyak pemimpin, ulama dan pemikir Muslim yang dilengkapi para ahli dari kalangan non-Muslim, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya pertukaran keilmuan dan terjalinnya jaringan lebih kuat. Peluang bagi Islam Indonesia untuk memainkan peran lebih besar pada kancah internasional kelihatan kian terbuka. Di kalangan Dunia Arab, mulai terbuka keinginan untuk belajar dari pengalaman Muslim non-Arab. Sebagai contoh saja, penulis pernah mempresentasikan makalah pada sebuah konperensi di Alexandria, Mesir, yang secara eksplisit membahas tema: “Human Rights and Renewal of the Religious Discourse: How Would the Arab World Benefits from the
14
Non-Arab Islamic Experience”.9 Hemat penulis ini adalah konperensi pertama— sepanjang saya ketahui—yang menunjukkan keinginan kalangan Dunia Arab untuk mengambil manfaat atau belajar dari pengalaman-pengalaman keislaman kaum Muslimin non-Arab. Bukan rahasia lagi, telah lama Dunia Arab umumnya tidak atau kurang memandang penting pengalaman Islam di kawasan-kawasan non-Arab. Bahkan bukan tidak banyak kalangan Muslim Arab yang memandang, bahwa Islam di tempat-tempat lain seperti kawasan Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara— khususnya Indonesia—bukanlah „Islam yang sebenarnya‟, atau bukan „Islam yang murni‟, dan anggapan-anggapan pejoratif dan merendahkan lainnya. Bukan tidak sering pula penulis mendengar komplain dari ulama Indonesia yang sangat pakar dalam berbagai bidang ilmu keislaman seperti tafsir, fiqh dan semacamnya, yang cenderung dipandang „sebelah mata‟ oleh ulama-ulama Timur Tengah. Padahal ulama-ulama Indonesia tersebut bukan hanya sekadar lulusan universitas terbaik dan terunggul di Timur Tengah, tetapi juga telah menghasilkan karya-karya monumental dan terbaik dalam bidangnya. Tetapi seperti diakui Markaz al-Qahirah, Dunia Arab mengalami kekurangan pengetahuan tentang bagaimana sesungguhnya Islam di kawasan non-Arab; pengalaman dan prestasi apa yang dicapai kaum Muslimin non-Arab. Padahal, dinamika pembaruan wacana keagamaan umumnya—tidak hanya tentang HAM— di kawasan non-Arab patut menjadi bahan pemikiran bagi para pemikir di Dunia Arab dalam rangka dinamisasi dan keberlangsungan pembaruan wacana Islam di kawasan mereka. Lebih jauh, Markaz al-Qahirah, dalam kritik diri menyatakan, Dunia Arab dan para pemikir Muslim di kawasan ini memerlukan peninjauan ulang dan revisi 9
Tegasnya, Konperensi tentang “HAM dan Pembaruan Wacana Keagamaan: Bagaimana Dunia Arab akan Mendapat Manfaat dari Pengalaman Keislaman non-Arab”, diselenggarakan Markaz al-Qahirah li al-Dirasat alHuquq al-Insaniyyah (Pusat Kairo untuk Kajian HAM), di Alexandria, Mesir, 18-20 April, 2006,
15
terhadap wacana Islam yang mereka kembangkan selama ini; yang menganggap bahwa hanya wacana Muslim Arab saja yang paling sahih dan, karena itu, harus diikuti kaum Muslimin di kawasan lain Dunia Muslim. Menurut Markaz alQahirah, pemikiran dan gerakan Muslim Arab seyogyanya tidak lagi mengabaikan dinamika wacana Islam di kawasan-kawasan Muslim non-Arab. Sejauh ini, menurut Markaz al-Qahirah, sebagian pemikir dan gerakan Muslim Arab hanya mengambil wacana Islam dari Abu al-A‟la al-Mawdudi, pemikir dan pemimpin organisasi Jama‟at Islami, Pakistan. Pemikiran al-Mawdudi, pada gilirannya mempengaruhi Sayyid Qutb, yang dalam penilaian Markaz alQahirah, mendorong radikalisasi gerakan Islam di berbagai tempat di Dunia Arab. Sebagai respon terhadap radikalisasi tersebut, rejim-rejim penguasa di Dunia Arab tidak hanya menerapkan kebijakan-kebijakan yang melanggar HAM, tetapi lebih jauh lagi melakukan penindasan dan kekerasan terhadap gerakan Islam. Hasilnya adalah terciptanya lingkaran kekerasan dan teror antara negara pada satu pihak melawan gerakan-gerakan radikal Islam pada pihak lain, dan sebaliknya. Jelas, agar Islam Indonesia dapat memainkan peran lebih besar pada kancah internasional dan sekaligus memberikan kontribusi bagi peradaban dunia perlu kebijakan dan langkah pro-aktif pemerintah Indonesia dalam politik luarnegerinya. Tidak hanya kalangan Dunia Arab yang mengharapkan peran Indonesia lebih besar, tetapi juga banyak pemerintah dan masyarakat Barat. Hal ini tidak lain karena dunia yang masih diwarnai banyak konflik yang terus berkelanjutan sejak dari Palestina-Israel; Iraq; Afghanistan; Mindanau, Filipina Selatan; Patani, Thailand Selatan misalnya. Di tengah konflik bersenjata, yang melibatkan kaum Muslimin setempat, yang telah menewaskan jutaan orang, Indonesia diharapkan banyak kalangan dunia untuk menjadi kekuatan „penengah dan pendamai‟ (mediating and bridging) di antara berbagai pihak yang terlibat konflik.
16
Sepanjang periode 2005-2009 Indonesia pernah sangat aktif memainkan peran tersebut. Kementerian Luarnegeri Indonesia bekerjasama dengan organisasiorganisasi Islam dan figur-figur terkemuka Islam Indonesia mengambil inisiatif dalam berbagai konperensi antar-agama dan antar-peradaban yang diselenggarakan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan Asia-Pasifik dan Eropa. Pada periode ini pemerintah Indonesia juga mengundang para pimpinan Hamas dan Fatah; para pimpinan Muslim Thailand Selatan (Patani) dalam usaha menyelesaikan konflik di antara pihak-pihak bertikai secara damai. Pada saat yang sama juga ada banyak harapan tentang peran Indonesia untuk „menjembatani‟ tensi di antara Barat dengan Dunia Muslim. Dan dalam batas tertentu, ketegangan itu bahkan meningkat dengan menguatnya sikap anti imigran Muslim dan anti Islam dari kalangan sayap kanan di Eropa dan juga Amerika Utara. Semua harapan masyarakat internasional ini, selaras dengan amanat konstitusional yang kuat di dalam Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan Indonesia harus memainkan peran aktif dalam turut membangun perdamaian internasional. Pelaksanaan amanat ini jelas terletak terutama di pundak pemerintah—yang juga dapat melibatkan masyarakat dalam kerangka „total diplomacy‟. Adanya harapan masyarakat dunia itu sebenarnya tidak berlebihan. Ini terkait dengan kenyataan, Indonesia sebagai salah satu negara dengan wilayah geografis terbesar di dunia. Juga bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di muka bumi ini, dan sekaligus sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbanyak di Dunia Muslim. Dan, juga bahwa kaum Muslimin Indonesia menempuh Islam Washatiyah.
Penutup
17
Islam Indonesia memiliki warisan, kekayaan dan potensi besar untuk memberikan kontribusi lebih besar kepada penguatan demokrasi secara global— khususnya di Dunia Muslim lain—dan sekaligus juga kepada peradaban dunia. Islam Indonesia tidak terbebani ironi-ironi sejarah seperti yang dialami masyarakat-masyarakat Muslim di Timur Tengah. Karena itu, Islam Indonesia bisa lebih terfokus untuk dapat membangun Islam Indonesia yang dapat menjadi model bagi masyarakat-masyarakat Muslim lainnya dalam mewujudkan kehidupan lokal, regional dan internasional lebih baik hari ini dan masa depan.
*Azyumardi Azra, lahir 4 Maret 1955, adalah Gurubesar sejarah; dan Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Ia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006). Memperoleh gelar MA, MPhil dan PhD dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-2010). Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005sekarang). Juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 19992001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-sekarang); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-sekarang); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007sekarang); anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008). Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004-sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-7); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World Economic Forum‟s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang). Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (Jakarta, 1994-sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London,
18 2006-sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies (International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); Majalah Prisma (2009-sekarang) dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2010-sekarang). Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010). Lebih 30 artikelnya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional. Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada September 2010, ia mendapat penghargaan Honorary Commander of the Order of British Empire (CBE) dari Ratu Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban.