PEMIKIRAN DAN KODIFIKASI PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA M. Fahimul Fuad Direktur Utama YPP Minhajul Thullab Lampung Timur E-mail :
[email protected] Abstrak Hukum Islam sebagai salah satu norma yang mengikat umat Islam selalu mengalami perkembangan dan pembaruan seiring dengan perkembangan zaman. Pembaruan tersebut umumnya merupakan respon terhadap perkembangan masyarakat. Pembaruan hukum Islam di Indonesia juga demikian. Perkembangan ini merupakan sebagai respon terhadap perkembangan kehidupan sosial masyarakat dan perkembangan pemikiran intelektual muslim Indonesia. Tulisan ini membahas tentang pembaruan hukum Islam di Indonesia. Tulisan ini berdasarkan data kepustakaan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis dan yuridis. Berdasarkan pembahasan dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa pembaruan hukum Islam di Indonesia berangkat dari wacana yang berkembang di kalangan intelektual muslim atau ulama. Wacana pembaruan hukum Islam ini ada yang berlanjut sampai formalisasi atau lagislasi hukum Islam. Kata kunci : Pembaruan, Hukum Islam, Pemikiran, dan kodifikasi. Abstract The renewal of Islamic law in Indonesia is undoubtedly due to the consideration of two things: (i) the existence of a legal Islamic syncretisation with local culture, that it took the efforts of ' purification, and (ii) the need for connecting Islamic law with the needs of the contemporary law. Also, the renewal of Islamic law in Indonesia is manifested itself in two forms. First, individual, namely the renewal that comes from thinking individuals who try initiated the concept of a ' new ' Islamic law which is considered more relevant. From this group such as POPs 5 name and Hasbi Ash-Shiddieqy. Second, the institutional reforms, namely in the form of Islamic law and similar legislation produced by the many experts of Islamic law in the country's institutional umbrella. Keywords : Islamic law, renewal, Hasbi Ash-Shiddieqy Pendahuluan Sejarah keberadaan Islam di Indonesia menurut banyak kalangan memiliki akar sejarah yang terkait erat dengan wilayah kelahiran Islam di Timur Tengah. Ada banyak teori yang mengungkapkan kedatangan Islam ke Nusantara. Sebagian menyimpulkan bahwa Islam datang ke Nusantara langsung dari Arabia pada abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7 Masehi1. Sebagian
1 Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: MIZAN, 1994), h. 24-36
1
lain menyimpulkan, meski dengan merujuk kepada asal yang sama yaitu Arabia, bahwa Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke-11 atau 13 Masehi2. Menurut Ratno, pembawa ajaran Islam ke Indonesia adalah para pedagang yang corak keberagamaannya lebih didominasi oleh paham tasawuf. Mereka dengan paham tasawufnya bertemu dengan beragam aliran kepercayaan Nusantara yang sedikit banyak memiliki kesamaan terutama dalam aspek spiritualitasnya. Oleh karena itu, mereka cenderung bersikap longgar terhadap sistem kepercayaan dan tradisi lokal. Sikap ini menimbulkan dampak positif berupa penerimaan yang hangat dari kalangan „pribumi‟ hingga Islam mudah tersebar di Nusantara. Hal yang demikian memunculkan sinkretisme dalam corak keagamaan Islam di Nusantara, termasuk ranah hukum-nya.3 Ranah hukum memang tidak begitu menjadi persoalan bagi kalangan sufi, setidaknya ini yang ditunjukkan oleh para pembawa ajaran Islam fase awal. Hukum dalam konteks Nusantara awal selalu berupaya disinergikan dengan teologi dan berbaur dengan kepercayaan-kepercayaan lokal. Bagi mereka hal terpenting dan mendasar adalah bagaimana mendekatkan diri kepada Tuhan, dan tidak terlalu detail mengusung tema kewajiban syari‟ah karena dinilai kurang memiliki spiritualitas. Dengan demikian, pendekatan-pendekatan normatif dalam sudut pandang hukum tidak begitu kentara, dan dalam banyak hal tidak dijadikan sebagai satu-satunya pertimbangan dalam ber-hukum4. Kondisi ini pada gilirannya membawa konsekwensi berupa lemahnya kajian hukum, dan tentu saja bercampurnya konsepsi hukum Islam dengan aturanaturan
lokal-tradisional.
Inilah
–diantaranya-
yang memicu
munculnya
pembaharuan hukum Islam, disamping karena kebutuhan praktis untuk merelevansikan hukum Islam dengan kondisi kekinian. Pembahsan Lihat penjelasan ini dalam Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Jogjakarta: TERAS, 2008), cet. ke- 1, h. 125 3 Ibid., h. 126-129 4 Ibid., h. 132; Sinkretisme hukum dapat pula dilihat dalam beragam slogan daerah di Indonesia yang menggambarkan adanya „perkawinan‟ antara hukum Islam dengan budaya setempat. Misalnya, di Minagkabau dikenal pepatah Adat besandi syarak, syarak besandi kitabulloh. Aceh mengenal pepatah Hukum ngon adat hanton ore, lagee zat ngon sifeut (Hukum adat dan Islam tidak dapat dipisahkan, seperti hubungan zat dan sifat pada suatu benda), dan lain-lain. Lihat, Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani, Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: LOGOS, 1999), cet. ke- 1, h. 162-163 2
2
A. Wacana Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Wacana tentang pembaharuan hukum Islam di Indonesia, mulai bergulir setidaknya pada awal abad ke-20, yang dimotori terutama oleh kalangan modernis. Menurut Nasrun Rusli, pembaharuan hukum Islam dapat dilihat dengan dua sudut pandang, yaitu pembaharuan melalui pendekatan analisa tekstual, dan pembaharuan dengan pendekatan sosio-historis. Pendekatan pertama, menurut Nasrun, dengan merujuk kepada pendapat Busthami Muhammad Sa‟id, terdapat beberapa poin penting sebagai elemen dasarnya, yang meliputi upaya menghidupkan ajaran agama, menjaga kemurnian dan otentifikasi teks agar tidak tercampur dengan hal-hal diluar teks, melakukan kajian intensif untuk memahami warisan klasik, dan melakukan upaya ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer5. Sedangkan pendekatan kedua berupaya melihat pembaharuan sebagai sebuah keniscayaan yang harus dilakukan sebagai bagian dari perjalanan sejarah umat Manusia. Ini dapat dipahami oleh karena perjalanan manusia
tidak
stagnan pada satu titik tertentu, namun terus berjalan seiring perjalanan waktu. Di dalamnya kemudian dijumpai berbagai macam perkembangan yang memunculkan berbagai macam persoalan termasuk pada ranah hukum Islam. Oleh karena itu, upaya kontekstualisasi hukum agama menjadi tak terelakkan, dan dari posisi inilah pembaharuan hukum Islam dilakukan6. Secara teknis, menurut Yudian Wahyudi, wacana pembaharuan hukum Islam ini diarahkan kepada beberapa hal sebagai titik tekan yang hendak disorot, yaitu7: 1. Memurnikan praktek-praktek keagamaan umat dari pengaruh ajaran non-Islam. 2. Membuka kembali pintu ijtihad yang selama ini dianggap tertutup. 3. Mengendorkan fanatisme mazhab yang kerapkali menjadi belenggu bagi pengembangan sebuah konsep hukum, oleh karena hanya terfokus pada satu mazhab dan pada saat yang sama menolak mazhab yang lain. 4. Memperluas kajian hukum Islam secara akademis, dan
5Ibid.,
h. 168. Ibid., h. 169; Lihat pula Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah pemikiran dan gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), cet. ke- 7, h. 11-12 6
7
Yudian Wahyudi, Usul Fikih versus Hermeneutika, (Jogjakarta: Nawasea, 2006), cet. ke- 3, h. 28
3
5. Melakukan pengenalan metodologi penetepan hukum Islam yang diaplikasikan untuk membaca kasus-kasus hukum dengan melibatkan pembacaan yang komprehensif dan lintas mazhab. Dalam kerangka dan desain inilah lantas muncul pembaharuan hukum Islam yang secara garis besar dapat dipilah menjadi dua, yaitu pembaharuan secara individual, dan pembaharuan dalam tataran institusional. Untuk jenis pertama, misalnya dapat dilihat dari munculnya tokoh-tokoh Indonesia yang menyuarakan perlunya pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Hal ini karena adanya kesadaran bahwa hukum Islam yang ada dan tersuguh sebagai pedoman umat Islam sesungguhnya merupakan hasil bacaan dan interpretasi para ulama terhadap teks-teks hukum. Sebagai sebuah hasil baca, tak pelak hal itu bersifat relatif-temporal. Sebab, proses pembacaan yang dilakukan tentu sangat sarat dengan pengaruh-pengaruh ekstra-teks. Sebuah teks hukum tentu akan berbicara dan mendedah makna sesuai dengan siapa yang membacanya, sehingga muncullah ragam pendapat dalam satu persoalan oleh karena pembacanya berbeda. Warisan klasik berupa korpus-korpus hukum, dengan demikian, layak untuk dibaca ulang dalam rangka menghasilkan konsepsi hukum yang up to date. Jika tidak, konsepsi hukum tersebut akan terpinggirkan seiring dinamika masyarakat hukum yang kian maju dan berkembang. Disinilah upaya untuk membaca ulang teks-teks hukum dan direlevansikan dengan kondisi sosial masyarakat perlu diapresiasi. Pembacaan ini misalnya dilakukan oleh Hazairin dengan “Mazhab Nasional”-nya, Hasbi ash-Shiddieqy dengan “Fiqih Indonesia”nya, Munawir Sadzali dengan “Reaktualisasi Ajaran Islam”-nya, Abdurrahman Wahid dengan “Pribumisasi Islam”-nya, dan Masdar Farid dengan “Agama Keadilan”-nya. Secara kronologis Hooker memaparkan fase perkembangan dan pembaharuan Islam di Indonesia dengan menempatkan Hazairin sebagai tokoh utama dan pertama. Pembaharuan dalam konteks yang dimaksud Hooker merambah berbagai wilayah, tidak hanya hukum. Meskipun, jika menilik tema kajiannya, wilayah hukum yang hendak ia bidik8. 8 Ini terlihat dari kajiannya yang memfokuskan pada kajian tentang fatwa di Indonesia. Fatwasendiri adalah bagian tak terpisahkan dari kajian hukum Islam. Dalam melihat fatwa ini, Hooker mwnggunakan fatwa dari empat lembaga besar di Indonesia, yaitu MUI, NU,
4
Menurutnya, Hazairin mempunyai jasa besar dalam meletakkan pondasi wacana pembaharuan hukum Islam untuk „dinasionalisasikan‟ agar lebih sesuai dengan kontek keindonesiaan. Hanya saja, usulan dan gagasan ini pada awal kemunculannya tidak mendapatkan respon yang memadai. Namun bagaimanapun usulan itu menjadi pemantik yang menghidupkan api semangat pembaharuan hukum, termasuk dalam wilayah institusi hingga lahirnya KHI9. Agak mengherankan, dalam tulisannya Hooker tidak secara khusus mencantumkan Hasbi ash-Shiddieqy. Padahal ditengarai dalam beberapa tulisan tentang pembaharuan hukum Islam di Indonesia, Hasbi memiliki peran yang tidak kecil. Ia dengan ide fikih Indonesia-nya mencoba memberikan pemahaman tentang perlunya pemahaman fikih dengan mempertimbangkan aspek lokalitas Indonesia yang tentu berbeda dengan Timur Tengah sebagai wilayah penafsiran Islam awal. Untuk merealisasikan idenya ini, Hasbi menawarkan pembacaan hukum yang lintas mazhab. Dari sini diupayakan sebuah model komparasi untuk melihat pemahaman-pemahaman hukum dari berbagai Mazhab yang ada. Pada gilirannya ini diharapkan akan mampu mengikis sikap fanatisme berlabihan terhadap mazhab tertentu dan antipati terhadap mazhab lain10. Pemahaman yang dihasilkan dari berbagai mazhab ini, diharapkan akan memberi pencerahan bahwa hukum Islam dalam konteks fikih adalah produk ijtihad dan karenanya dapat berubah dan diperbaharui. Melanjutkan kajiannya, Hooker menyebut Harun Nasution sebagai tokoh pembaharu berikutnya. Hanya saja, ia menegaskan bahwa dalam konteks pembaharuan hukum islam, Harun tidak banyak berperan. Ia adalah seorang ahli teologi yang berupaya menghembuskan angin pembaharuan terutama dalam wilayah teologi dengan mengenalkan dan memasukkan teologi Mu‟tazilah dalam wacana keilmuan muslim Indonesia11. Karenanya, ia banyak berkiprah dalam ranah pembaharuan melalui pendidikan12. Muhammadiyyah, dan Persis. Lihat, MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, Pen. Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002). cet. ke- 1 9 Ibid., h. 56-57 Lihat Yudian Wahyudi, Op. Cit., h. 28-31; Bandingkan dengan Hooker yang hanya mengutip Hasbi sepintas dengan tanpa penjelasan, itupun melalui sebuah sumber sekunder. Lihat, Hooker, Op. Cit., h. 58 10
11 Hooker sendiri menyebutnya ahli filsafat. Jika dilihat dari karya-karyanya, tampak bahwa Harun Nasution memang lebih sebagai teolog dan ahli filsafat, tentu dengan ide pembaharuannya.
5
Munawir Sadzali adalah tokoh yang juga mempunyai peran penting dalam wacana pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Seruannya untuk „reaktualisasi‟ ajaran Islam menempatkannya sebagai tokoh yang cukup kontraversial. Hanya saja, berbeda dengan Hazairin, respon terhadap Munawir lebih positif dan menggema. Ini disebabkan oleh setidaknya dua hal, pertama posisi politik Munawir yang Menteri Agama menjadi semacam bumper bagi ideidenya, dan kedua ia memiliki basis pemahaman hukum Islam yang cukup mapan bila dibanding Hazairin. Isu kesetaraan gender dengan kasus spesifik pada hukum waris, menurutnya, dalam konteks Indonesia bisa saja berbeda dengan ketentuan teks, karena faktor sosio-kultur yang berbeda. Adalah hal yang
mungkin
jika
ketentuan
konsepsional
ini
berubah
dengan
mempertimbangkan aspek konteks masyarakat yang berbeda. Menjelaskan hal ini, Atho‟ Mudzhar mengatakan bahwa sesungguhnya perubahan proporsi hukum waris bukanlah hal baru. Sebab nyatanya di Negara-negara Muslim lain hal ini telah terjadi, misalnya di Negara Afrika Muslim13. Selanjutnya, Hooker menyebut nama Abdur Rahman Wahid sebagai jajaran tokoh pembaharu. Meski ia –setidaknya menurut Hooker- bukan seorang yang concern- dengan persoalan hukum, namun kontribusi pemikirannya telah memberikan sumbangan yang yang tidak kecil bagi pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Dalam catatan Hooker, Wahid menekankan adanya pembaharuan metodologi hukum Islam agar lebih mampu mendialogkan antara teks dengan konteks keindonesiaan. Karya-karya metodologis masa lalu, seperti karya asySyafi‟i, sudah semestinya dipahami ulang agar lebih mampu menjawab persoalan
kekinian.
Karena
pada
prinsipnya,
kehadiran
agama
dan
kebenarannya harus mampu menjadi payung bagi kehidupan manusia dan kehidupan sosial pada umumnya. Kehadiran hukum islam yang dikenal sebagai fikih, meskipun bersumber dari teks, namun sesungguhnya ia adalah hasil pemknaan dan produksi pemahaman dari satu wilayah tertentu. Oleh karena itu,
Karya itu misalnya, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Islam ditinjau dari berbagi aspeknya, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Lihat, Ibid., h. 59; Lihat misalnya, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet. ke- 1 12
Hooker, Op. Cit., 59-61
13 Ibid., h. 59; Bandingkan dengan Atho‟ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, (Jogjakarta:Titian Ilahi Press, 1997), cet. ke- 2, h. 157-159
6
dalam batasan ini, sesungguhnya hukum Islam mengideakan pemaknaan ulang ketika berada pada wilayah yang berbeda.14 Potret kronologis dari perjalanan pembaharuan hukum Islam Indonesia tersebut, menurut Ratno Lukito, tersimpul ke dalam dua kelompok dengan corak metodologi yang berbeda. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki latar belakang keilmuan Islam yang cukup mapan. Menurut kelompok ini –yang tokohnya mentornya adalah Hasbi- pembaharuan berarti penataan ulang hukum Islam dengan tetap menghormati dan berpijak kepada warisan klasik, dengan menjadikannya rujukan dan pertimbangan, namun dengan disertai upaya untuk mereaktualisasikannya sehingga dapat sesuai dengan konteks kemodernan15. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka kaum terpelajar yang tidak memiliki dasar pemahaman hukum Islam dengan baik sebagaimana kelompok pertama. Nama Hazairin masuk dalam kelompok ini. Menurut kelompok ini, pembaharuan Hukum Islam merupakan proyek yang dilakukan sesuai dengan pemahaman hukum pribumi, meski sumber-sumber sakral hukum Islam dalam batas tertentu tetap digunakan. Model pendekatan yang dipakai, mulai memberikan warna metodologis baru semisal etnografi untuk memahami hukum Islam melalui sudut pandang kondisi sosial budaya dimana hukum Islam lahir, dan selanjutnya melakukan pengamatan terhadap wilayah dimana hukum Islam akan diterapkan16. Dua model pendekatan semacam ini, dalam perkembangannya, tidaklah berada pada posisi yang dikotomis. Justru antara keduanya mesti terjalin
pola
interaksi
yang
saling
mengisi
dan
melengkapi.
Sebab,
bagaimanapun sebuah pembaharuan tidak boleh melupakan akar geneologis keilmuannya dan pada waktu yang sama harus dilengkapi dengan analisa yang komprehansif berdasarkan keilmuan kontemporer yang ada. Dengan demikian,
Hooker., Op. Cit., h. 66; Lihat pula misalnya mengenai ide-ide demokratisasi hukum Islam di Indonesia sebagaimana diusulkan Wa hid serta pandangannya tentang penerapan syari‟at di Indonesia dalam Abdul Ghafur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, Studi atas pemikiran Gus Dur, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet. ke- 1, h. 161-167; Sementara mengenai ide Wahid yeng terkait dengan etika sosial dan implementasinya dalam kehidupan di Indonesia, baca Ahmad Baso, NU Studies, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 287-291 14
15
Ratno Lukito, Op. Cit., h. 140
16
Ibid., h. 141
7
diharapkan pembaharuan yang muncul merupakan upaya kontekstualisai hukum Islam yang tidak tercerabut dari akar geneologisnya.
B. Formalisasi dan Kodifikasi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia Bagian kedua dari pembaharuan hukum Islam di Indonesia dilakukan secara institusional. Pembaharuan dengan model ini dimaksudkan untuk membawa hukum Islam turut memberi andil dalam legislasi di Indonesia. Sebagai Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, menjadi sebuah kewajaran jika hukum yang berlaku diantaranya bersumber dari ajaran Islam17. Melalui cara ini, hukum Islam dan pranata konkret yang dibangunnya diaharapkan mampu berkiprah lebih riil dan memiliki daya ikat hukum, sehingga keberadaannya menjadi efektif. Pada posisi ini lantas lahir UU tentang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk kajian dalam Tesis ini, contoh „formalisasi‟ hukum Islam yang disorot adalah KHI. Lahirnya Undang-undang atau apapun bentuknya dalam kaitan upaya formalisasi hukum Islam dalam wilayah peraturan Negara, sesungguhnya merupakan bagian dari pembaharuan. Menurut N.J. Coulson, sebagaimana dikutip Nasrun Rusli, upaya pembaharuan hukum Islam dapat dilihat dalam berbagai indikator dan bentuk, yaitu: 1. Adanya kodifikasi hukum Islam menjadi bagain perundang-undangan Negara, dimana sejumlah hukum secara formal menjadi bagian secara integral dari perundang-undangan yang karenanya memiliki kekuatan hukum mengikat. 2. Munculnya kembali prinsip takhayyur (eklektik), dimana kaum Muslim bebas memilih pendapat para Imam Mazhab untuk dipegangnya dalam
17 Secara umum, wacana tentang masuknya ajaran Islam secara formal ke dalam „wilayah‟ Negara telah mengemuka sejak lahirnya Negeri ini. Awal pembentukan Negara yang diwarnai tarik ulur kepentingan mengenai bentuk dan dasar Negara menunjukkan adanya upaya-upaya formalisasi Islam dalam ranah Negara. Jika kemudian pilihan jatuh kepada bentuk Negara Pancasilan , hal ini tidaklah berarti memadamkan semangat kelompok formalisme agama. Mereka terus berjuang dengan caranya, terutama pasca Reformasi. Namun demikian, kelahiran KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 tidak berarti merupakan upaya formalisme sebagaimana tuntutan kelompok fundamnentalis. Hal ini karena dalam beberapa hal terdapat perbedaan fundamental antara kelahiran aturan normatif ini, dengan tuntutan dan mindset mereka. Baca, M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1998), cet. ke- 2, h. 37; Marzuki Wahid dan Nurrohman, Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syari‟at Islam, Kasus NAD, dalam Taswirul Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2002, h. 34-37; Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), cet. ke- 5, h. 2-4
8
dalam kehidupan beragama secara individual, bahkan dalam kodifikasi tersebut para perumus undang-undang dapat melakukan seleksi terhadap aturan-turan hukum Islam yang ada untuk disesuaikan dengan aspek kemaslahatan masyarakat. 3. Munculnya upaya
untuk mengantisipasi perkembangan peristiwa
hukum yang baru dengan mencarai alternatif-alternatif hukum dengan menggunakan prinsip-prinsip metodologis hukum Islam yang luwes dan fleksibel. 4. Timbulnya upaya perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis.18 Upaya kodifikasi hukum Islam dalam format KHI maupun aturan normatif Negara lainnya, jika merujuk pada pendapat di atas, merupakan bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam. Sedangkan upaya yang lain, merupakan satu upaya yang sifatnuya individual dan menjadi cikal bakal pembaharuan dalam skala institusional ini, sebagaimana telah diuraikan. Menurut Hooker, KHI yang lahir tahun 1991 merupakan dokumen paling penting mengenai Syari‟at yang tersebar luas di Indonesia sekarang ini. KHI sendiri sesungguhnya bukanlah Undang-undang, tetapi merupakan petunjuk terhadap Undang-undang yang dapat diterapkan oleh para hakim dalam yuridiksi peradilan agama dalam memecahkan perkara-perkara yang mereka hadapi19. Kelahiran KHI sendiri, menurut Bustanul Arifin, melalui empat jalur yang semuanya dipakai dalam rangka mencari format hukum yang paling ideal dan relistis. Keempatnya adalah: 1. Jalur kitab-kitab fikih. Ini dilakukan dengan cara menginventarisir kitabkitab fikih yang mu‟tabar di dunia Islam, terlebih di Indonesia untuk kemudian diadakan kajian yang mendalam dalam rangka mencari format hukum yang ideal20.
18
19
Nasrun Rusli, Op. Cit., h. 170 MB. Hooker, Op. Cit., h. 45
20 Untuk jalur ini diadakan kaian terhadap 38 buah kitab yang dibagi kajiaannya oleh 7 (tujuh) IAIN di Indonesia. Kitab-kitab itu adalah: Al-Bajuri, Fathul Mu’in, Syarqawi ‘ala at-tahrir, Mugni alMuhtaj, Nihayatu al-Muhtaj, asy-Syarqawi (IAIN Arraniri Aceh), ‘Ianat at-Talibin, Tuhfah, Targib alMusytag, Bulgat as-Salik, Syamsuri fi al-Faraid, Al-Mudawanah (IAIN Syahid Jakarta), Mahalli, Fath al-
9
2. Jalur wawancara dengan Ulama. Ini dilakukan dengan mewawancarai para tokoh Islam yang dipandang memiliki kapabilitas memadai dalam bidang fikih Islam, dan dilakukan secara merata di sepuluh wilayah daerah di Indoseia. Sedangkan bahan wawancara adalah hal-hal yang telah disusun oleh pihak Mahkamah Agung. 3. Jalur yurisprudensi peradilan. Ini dilakukan dengan menginventarisir putusan-putusan pengadilan yang telah ada dan dianggap relevan dengan kondisi kekinian. hasil putusan ini menjadi satu bahan yang dipertimbangkan untuk masuk dalam KHI. 4. Jalur studi banding. Ini dilakukan dengan melakukan lawatan ke berbagai Negara Islam, dan melakukan studi perbandingan mengenai pemahaman terhadap Islam sekaligus bentuk aplikasinya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat21. Di sisi lain, Kelahiran aturan legal formal hukum Islam berupa KHI ini sesungguhnya menjadi semacam jembatan yang mempersatukan arus pemikiran hukum yang satu sama lain saling berseberangan. Banyaknya tawaran hukum secara konsepsional terhadap satu persoalan, pada gilirannya membuka pilihanpilihan yang sama-sama absah. Varian-varian hukum ini22, disamping menjadi tanda terbukanya penalaran dalam hukum Islam, pada sisi lain tak jarang menimbulkan efek berupa tidak adanya kepastian hukum. Oleh karena masingWahhab, Bidayatu al-Mujtahid, Al-Umm, Bugyatu al-Mustarsydin, ‘Aqidah wa Syari’ah (IAIN Antasari Banjarmasin), Al-Muhalla, Al-Wajiz, Fath al-Qadir, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Ba’ah, Fiqh as-Sunnah (IAIN Sunan Kalija Jogja), Kasyf al-Qina’, Majmu’atu Fatawa Ibn Taimiyyah, Qawaninu asy-Syari’ah li asSayyid ‘Usman bin Yahya, Al-Mugni, Al-Hidayah Syarh Bidayah Ibn Taimiyyah Mubtadi (IAIN Sunan Ampel Surabaya), Qawaninu asy-Syari’ah li as-Sayyid Sudaqah Dahlan, Nawab al-Jalil, Syahrhu Ibn ‘Abidin, Al-Muwatta’, Hasyiyah Syamsuddin Muh Irfat Dasuki (IAIN Alauddin Ujung Pandang), Badai’u as-Sana’I, Tibyan al-Haqaiq, Al-Fatawi al-Hindiyyah, Fathu al-Qadir, Nihayah (IAIN Imam Bonjol Padang). Jika dicermati, kitab-kitab rujukan yang dipakai tidak hanya dari satu mazhab, namun sudah lintas-mazhab, bahkan ada yang merupakan karya generasi akhir. Hanya sayangnya, dalam kaian ini tidak dilibatkan karya „abak negeri‟ semisal karya Hasbi atau Hazairin atau A. Hassan. Lihat, Abdurrahman, Op. Cit., 39-41. 21Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), cet. ke- 1, h. 59-60 ; Lihat pula Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 296 22 Munculnya varian hukum Islam adalah fenomena umum dari hukum Islam, dan bukan merupakan sesuatu yang khas Indonesia. Kanyataannya, di semua Negara Islam, hukum Islam meimliki varian , baik karena faktor internal hukum Islam, atau juga karena faktor pertemuan dengan budaya lokal maupun kontak dengan budaya Barat. Untuk kajia secara luas, baca JND. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Pen. Machnun Husein, (Surabaya: Amae Pers, 1991), cet. ke- 1, h. 17-41
10
masing memiliki tingkat legitimasi yang sama, maka apapun pilihan hukumnya menjadi sah dan legitimate. Dari sini perlu adanya unifikasi hukum untuk kemudian dijadikan pedoman praktis dalam ber-hukum, terutama pada level pengadilan.
Diharapkan para hakim sebagai pemutus persoalan hukum,
memiliki wawasan yang sama dan rujukan yang sama dalam memecahkan kasus-kaus hukum yang ada. Menurut
Wasit
Aulawi,
sebagaimana
dikutip
oleh
Daud
Ali,
pemberlakuan KHI diharapkan mampu memenuhi tiga hal pokok, yaitu: 1. Memenuhi asas manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat dalam hukum Islam 2. Mengatasi berbagai masalah khilafiyyah untuk menjamin kepastian hukum. 3. Mampu menjadi bahan baku dan mampu berperan aktif dalam pembinaan hukum Nasional23. Sebagai sebuah „kitab hukum‟ kehadiran KHI, dengan demikian butuh disosialisasikan dan dimasyarakat. Kaitannya dengan ini, menurut Qori Azizi, ada dua strategi yang dapat digunakan. Pertama, melalui strategi kultural. Strategi ini berupaya membidik kesadaran masyarakat untuk melaksanakan apa yang telah dirumuskan dalam Undang-undang. Ia mengideakan adanya penyerapan nilai-nilai Islam secara sadar dalam ranah afeksi masyarakat. Harapannya akan muncul pola prilaku masyarakat yang didasari atas pengetahuan dan kesadaran hukum. Sedangkan strategi kedua adalah formal. Dalam hal ini sarana yang dipakai adalah „media resmi‟ berupa instrumen birokrasi. Pendekatan ini menggariskan bahwa setiap orang yang masuk dalam bagia sebuah aturan, maka ia wajib mematuhinya, dan keuatan hukum yang ditonjolkan adalah daya ikatnya. Yang terpentig dalam strategi ini adalah bagaimana sebuah aturan hukum bisa dipatuhi, tanpa harus mempertimbangkan apakah kepatuhan itu merupakan sebentuk ketulusan ataukah keterpaksaan24. Gambaran mengenai pembaharuan hukum Islam di Indonesia baik pada level individual maupun institusional sebagaimana yang telah diuraikan,
Mohammad Daud Ali, Op. Cit., h. 297 A. Qori Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Yogyakarta: Gema Insani Pers, 2004), h. 194 23 24
11
sesungguhnya memuat dua tema sentral. Pertama, kembali kepada al-Qur‟an dan Sunnah dengan segala pemaknaannya, dan kedua pertimbangan aspek keIndonesiaan25. Yang pertama merupakan hal yang mendasar dan menjadi pokok yang melandasi segenap pembahruan yang ada, sementara yang kedua merupakan upaya „kreatif‟ yang mencoba meng-kontekstualisasikan tema pertama dalam horizon ke-Indonesiaan. Di sini beragam faktor muncul dan turut mempengaruhi. Simpulan Dari pemaparan di atas, dapat diambil beberapa poin sebagai kesimpulan, yaitu: 1.
Pembaharuan hukum Islam di Indonesia merupakan hal yang niscaya karena pertimbangan dua hal: (i) adanya sinkretisasi hukum Islam dengan budaya lokal, sehingga butuh upaya „purifikasi, dan (ii) adanya kebutuhan untuk
merelevansikan
hukum
Islam
dengan
kebutuhan
hukum
kontemporer. 2.
Pembaharuan hukum Islam di Indonesia mewujud dalam dua bentuk: (i) individual, yaitu pembaharuan yang berasal dari pemikiran perseorangan yang mencoba menggagas konsep hukum Islam „baru‟ yang dirasa lebih relevan. Dari kelompok ini misalnya muncul nama Hazairin dan Hasbi Ash-Shiddieqy. (ii) institusional, yaitu pembaharuan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan dan yang sejenis yang dihasilkan oleh sekian banyak pakar hukum Islam dalam payung kelembagaan Negara.
Daftar Pustaka A. Qori Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Nasional, Yogyakarta: Gema Insani Pers, 2004 Abdul Ghafur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, Studi atas pemikiran Gus Dur, cet. ke- 1, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, cet. ke- 5, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, cet. ke- 1, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996 25
Yudian Wahyudi, Op. Cit., h. 36
12
Ahmad Baso, NU Studies, Jakarta: Erlangga, 2008 Atho‟ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, cet. ke- 2, Jogjakarta:Titian Ilahi Press, 1997 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: MIZAN, 1994 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. ke- 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1999 -------, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah pemikiran dan gerakan, cet. ke- 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1990) JND. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Pen. Machnun Husein, cet. ke- 1, Surabaya: Amar Pers, 1991 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik, cet. ke- 2, Jakarta: Gramedia, 1998 Marzuki Wahid dan Nurrohman, Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syari‟at Islam, Kasus NAD, dalam Taswirul Afkar, Edisi No. 13 Tahun 2002 MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, Pen. Iding Rosyidin Hasan, cet. ke- 1, Jakarta: Teraju, 2002 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani, Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: LOGOS, 1999 Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, cet. ke- 1, Jogjakarta: TERAS, 2008 Yudian Wahyudi, Usul Fikih versus Hermeneutika, cet. ke- 3, Jogjakarta: Nawasea, 2006.
13