1 MAQÂSHID AL-SYARÎ AH IMÂM AL-SYÂTHIBIY DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencap...
MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH IMÂM AL-SYÂTHIBIY DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I.)
Oleh: Firdaus Agung (04210037)
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2008
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Firdaus Agung, NIM 04210037, mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul: MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH IMÂM AL-SYÂTHIBIY DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis dewan penguji.
Malang, 7 September 2008 Pembimbing,
Dra. Hj. Tutik Hamidah M.Ag. NIP 150224886
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul: MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH IMÂM AL-SYÂTHIBIY DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Malang, 7 September 2008 Penulis,
Firdaus Agung NIM 04210037
iii
... [“…sesungguhnya legislasi hukum-hukum syara’ tidak lain adalah demi kemaslahatan hamba baik dalam kehidupan di dunia saat ini maupun di akhirat yang akan datang.” ] Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Lakhmiy al-Gharnâthiy al-Syâthibiy dalam al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm.
“Laws are like metals in the crucible of time and circumstance; they melt, they gradually solidify into different shapes; they re-melt and assume different forms. This process of evolution is coterminous with human society. Nothing is static except that wich is dead and lifeless. Laws can never be static.” [“Hukum ibarat logam dalam sebuah wadah peleburan masa dan keadaan; logam itu meleleh, [lalu] perlahan membeku menjadi bentuk yang berbeda; meleleh lagi, dan mengambil bentuk yang berbeda [lagi]. Proses evolusi ini [terjadi] seiring dengan [perkembangan] umat manusia. Tidak ada yang statis selain sesuatu yang mati dan tak bernyawa Hukum tidak pernah dapat bersifat statis.” ] Asaf A.A. Fyzee dalam The Reinterpretation of Islam.
iv
v
KATA PENGANTAR
!"#"$ 6
78
!%&
' 9"
<. 3 9. = => F &
9"
( )*+, % :
;&
!.
/0 ($.
1 ( 1
78 <
<"@AB C - = 2 7 F 7
F"
9"&E
1 , 2% 3 45 =&> ? )8 <%&>
=&> ? *
(&"&D ( " * ( E0 ? > 6 F"
G 8 =&> HI%B L9"
9" &K
6"E JI% 9"&
Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan taufiq serta hidayah-Nya sehingga tugas akhir pada Fakultas Syari’ah Jurusan alAhwal al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang ini dapat terselesaikan dengan lancar. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, serta anak-cucunya, yang karena petunjuk dan bimbingannya umat manusia dapat terbebas dari masa kejahiliahan menuju zaman yang berperikeadaban. Skripsi yang mengangkat judul “Maqâshid al-Syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia” ini kami sadari masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis bersyukur karena proses pengerjaannya yang memakan tidak sedikit tenaga, waktu, serta biaya, dapat terselesaikan tanpa menemui aral yang cukup berarti. Di samping itu, berkat bantuan dari berbagai pihak pula skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada: 1. Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang; 2. Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang; 3. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar dan telaten telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tidak ternilai kepada penulis; 4. Dr. Roibin M.H.I, selaku dosen matakuliah Tarikh Tasyri', Sosiologi, dan
vi
Antropologi Hukum Islam yang turut membuka mata penulis tentang Islam yang "apa adanya", Islam yang “hidup” dan tidak terbebas dari tangan-tangan sejarah; 5. Segenap Dosen dan Staf Karyawan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang; 6. Ibu, yang telah banyak memberikan doa, semangat, dan dorongan agar skripsi ini dapat penulis kerjakan dengan baik dan segera terselesaikan; 7. K.H. M.S. Abdul Wahab, selaku pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda, Kepanjen-Malang dan K.H. Muhammad Badruddin Anwar Noor selaku pengasuh Pondok Pesantren An-Nur II (al-Murtadlo), Bululawang-Malang; 8. Keluarga saya, terutama mereka yang telah menjadi “bapak-ibu-bapak-ibu” bagi saya; 9. Enjang Burhanuddin Yusuf, seorang sahabat diskusi yang selalu antusias dan teman berbagi yang menyenangkan; 10. Sahabat-sahabat “sepermainan”: Umi’, Vita, Lely, Atik, Basit, Mbak Iza, Bagus, Amri, Yani, dan Malik; teman-teman el-Giant; teman-teman di LSIS Iqra’; temanteman penerima beasiswa Gudang Garam dan BI; teman-teman PKPBA; serta teman-teman satu angkatan di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Semoga segala dukungan baik materiil maupun spirituil yang telah diberikan kepada penulis diterima oleh Allah SWT dan dicatat sebagai amal saleh di sisinya. Last but not least, semoga skripsi yang sangat sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan dunia keilmuan, sekecil apapun itu. Amin.
Malang, 1 September 2008.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………..………………...i HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………….…ii HALAMAN PENGESAHAN…………...…………………………………………..iii HALAMAN PERNYATAAN …………..…………………..…………………...….iv HALAMAN MOTTO…………………………….…………………………………..v HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………..…vi KATA PENGANTAR………………...…………………………………………….vii DAFTAR ISI…………………………………..………………………………….....ix TRANSLITERASI…………………………………………………………...….….xii ABSTRAK……………………………………………………………………...…..xiii BAB I PENDAHULUAN……………...……………….……..……...……………..1 A. Latar Belakang Masalah………………………………..…………..…...………..1 B. Batasan Masalah…………………………………………..……………...……....9 C. Rumusan Masalah……………………………………………….………………10 D. Tujuan Penelitian………..………………………………………….…………...10 E. Manfaat Penelitian……………..………………………..……………….……...10 F. Penelitian Terdahulu………………………...…………………………………..11 G. Metode Penelitian:………………………..…...………………………………...14 1. Jenis Penelitian……………………………….……………………………..14 2. Pendekatan Penelitian…...…………………..………………………………15 3. Sumber Data…..…………………………..…...……………………………15 4. Metode Pengumpulan Data...……………………...……..…………………17 5. Metode Analisis Data…..……...………………………..…………………..18 H. Sistematika Pembahasan…………………………………….…………………..19
viii
BAB II IMÂM AL-SYÂTHIBIY DAN PEMIKIRANNYA TENTANG MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH ………………………………………...21 A. Biografi Singkat Imâm al-Syâthibiy……...……………………………………..21 1. Latar Belakang Sosial Imâm al-Syâthibiy…….………………...……...…...21 2. Latar Belakang Intelektual Imâm al-Syâthibiy…….…………..……………29 3. Karir dan Karya Tulis Imâm al-Syâthibiy……………….………………….32 B. Maqâshid al-Syarî’ah (Tujuan-tujuan Syari’at).…………...………….………..33 1. Definisi Maqâshid al-Syarî’ah dan Sekilas Perdebatan tentangnya...............33 2. Landasan Epistemologis Maqâshid al-Syarî’ah……………………...……..36 3. Metode Penalaran Istiqrâ’iy (Induktif)………………………………...……42 4. Klasifikasi Maqâshid al-Syarî’ah………………………………………...…48 5. Mashlahah (Kemaslahatan) dan Pembagiannya………..…...………………51 6. Metode Identifikasi Maqâshid al-Syarî’ah.....................................................55 C. Maqâshid al-Syarî’ah Menurut Para Ulama…….…………..…..…….………...58 1. Pengertian dan Sejarah Maqâshid al-Syarî’ah...............................................58 2. Dasar Hukum Maqâshid al-Syarî’ah..............................................................60 3. Klasifikasi Mashlahah....................................................................................61 4. Maqâshid al-Syarî’ah Pada Masa Sahabat, Tâbi’în, dan Ulama Madzhab.......................................................................................63 BAB III PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA…….……….……..69 A. Sejarah Pemikiran Pembaruan Hukum Islam di Indonesia……………...…...…69 B. Faktor Pendorong Pembaruan Hukum Islam di Indonesia……….………..……85 1. Faktor Sosial-Budaya……………………………………..…………….......88 2. Faktor Politik……………………………………….………….....................89 3. Faktor Ekonomi…………………………………………...…………...........93 4. Faktor Pendidikan……………………………………..………………….…94 5. Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi……………….....………………..95 C. Landasan Yuridis Pembaruan Hukum Islam di Indonesia………….…..………97 D. Peta Pemikiran Pembaruan Hukum Islam di Indonesia…………...……..……102 E. Ragam Produk Pembaruan Hukum Islam di Indonesia……………….….……107
ix
1. Hukum Perkawinan……………………………………………..….………107 2. Hukum Kewarisan………………………………………………….……...111 3. Hukum Perwakafan…………………………………….....................…….112 BAB IV MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH IMÂM AL-SYÂTHIBIY DAN UPAYA PEMBARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA.............................................114 A. Maqâshid al-Syarî’ah Sebagai Dalil Qath’iy (Definitif)....................................114 B. Kelebihan Teori Maqâshid al-Syarî’ah Imâm al-Syâthibiy Dibandingkan dengan Teori Maqâshid al-Syarî’ah Ulama Lain.......................118 C. Maqashid al-Syari’ah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia.........................................................................................................120 BAB V PENUTUP…………...……………………………………………………126 A. Kesimpulan………………...………………………………………………126 B. Refleksi……………………………………………………………….……127 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..……129
x
TRANSLITERASI
A. Konsonan C :
th
Tidak dilambangkan
Y :
dh
M :
b
' :
‘
N :
t
Z :
gh
O :
ts
G :
f
P :
j
[ :
q
Q :
h
\ :
k
R :
kh
] :
l
:
d
H
S
:
0 T
:
:
m
dz
:
n
:
r
:
w
:
z
?
:
h
U :
s
4 :
y
V :
sy
W :
sh
X :
dl
xi
B. Vokal Panjang Vokal (a) panjang = â
misalnya
]3
menjadi qâla;
Vokal (i) panjang =
î
misalnya
"3
menjadi qîla;
Vokal (u) panjang = û
misalnya
menjadi dûna.
C. Ta’ Marbûthah Ta’ marbûthah ditransliterasikan dengan “t” jika berada di tengah-tengah kalimat, akan tetapi apabila ta’ marbûthah tersebut berada di akhir kalimat, maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h”, misalnya ! E li al-mudarrisah.
!E0 & ditulis al-risâlat
13
Abstrak Agung, Firdaus, 04210037, Maqâshid al-Syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Skripsi, Jurusan alAhwal al-Syakhshiyyah, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: Dra. Hj. Tutik Hamidah M.Ag. Kata kunci: Maqâshid al-syarî’ah, kemaslahatan, istiqrâ’, pembaruan hukum Islam. Maqâshid al-syarî’ah merupakan salah satu tema yang cukup signifikan dalam kajian metodologi hukum Islam (ushûl al-fiqh). Dalam literatur ushul fiqh banyak ditemui pendapat yang menyatakan bahwa Imâm al-Syâthibiy adalah tokoh penting di balik teori yang banyak mengakomodasi pertimbangan-pertimbangan kontekstual tersebut. Melalui pemikirannya tentang maqâshid al-syarî’ah Imâm alSyâthibiy menginginkan agar kemaslahatan makhluk dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama ketika seorang mujtahid berupaya melakukan inferensi hukum (istinbâth al-hukm). Maqâshid al-syarî’ah dirumuskan oleh al-Syâthibiy dengan menggunakan metode penalaran istiqrâ’iy. Metode istiqrâ’ atau juga dikenal dengan induksi (induction) merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para ulama mantiq dan ushul fiqh dalam berbagai kajian. Metode penalaran tersebut banyak dikembangkan oleh para pemikir Yunani dan ditransfer masuk ke dunia Islam semasa terjadinya pembebasan daerah-daerah (futuhât) yang dilakukan oleh otoritas muslim. Ketika Pemerintah Indonesia berinisiatif untuk mengadakan pembinaan hukum nasional agar hukum yang ada di Indonesia dapat secara lebih nyata memberikan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia, yang salah satu agendanya adalah dengan melakukan pembaruan dalam bidang hukum Islam, maka isu seputar relevansi ide-ide Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah menjadi bahan diskusi yang menarik. Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya pemikiran maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan bagaimana pula relevansi antara maqâshid al-syarî’ah tersebut dengan agenda pembaruan hukum Islam di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah serta relevansinya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif (dari segi metode analisa datanya) dan ushul fiqh (dari segi ranah disiplin keilmuannya), penelitian yuridisnormatif ini menggunakan buku karangan Imâm al-Syâthibiy, yakni al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Ahkâm sebagai bahan rujukan utama. Pembahasan dalam penelitian ini penulis batasi pada relevansi teori maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dengan beberapa metode pembaruan hukum Islam yang digunakan oleh lembaga negara dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam di Indonesia, yakni Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dirumuskan oleh DPR dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dirumuskan oleh Presiden.
13
14
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teori maqâshid al-syarî’ah Imâm alSyâthibiy memiliki relevansi dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia terutama jika dilihat dari sudut metode pembaruan hukum Islam yang digunakan oleh DPR ketika merumuskan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Presiden ketika merumuskan Kompilasi Hukum Islam. Relevansi tersebut terletak pada adanya kesamaan pada teori maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan pembaruan hukum Islam di Indonesia yang menempatkan kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan sekaligus pertimbangan utamanya. []
14
15
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan beserta fitrah untuk cenderung mencintai kebaikan. Termasuk dalam kebaikan itu adalah kemaslahatan diri manusia sendiri sebagai makhluk yang, di satu sisi, memiliki berbagai kepentingan individual, namun di sisi lain memainkan peran sebagai bagian dari suatu komunitas sosial. Oleh sebab itu, setiap amal perbuatan manusia semestinya lahir karena latar belakang (because motive) dan bertujuan untuk (in order to motive) suatu kemaslahatan, baik kemaslahatan bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya.
15
16
Syari’at diturunkan bagi umat manusia dalam rangka mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) mereka, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat1. Dengan demikian kemaslahatan, yang diartikan sebagai upaya untuk meraih keuntungan dan menghindari kemadlaratan (jalb al-manfa’at wa daf’ al-madlarrah)2, tidak lain merupakan muara yang menjadi tujuan syari’at (maqâshid al-syarî’ah).3 Karena syari’at Islam merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits –dua sumber ajaran yang telah terbukukan, maka metode istinbâth (inferensi) hukum (termasuk di dalamnya kaidah-kaidah penafsiran bahasa) berperan sangat besar dalam menjelaskan makna ayat serta merumuskan hukum dari kedua sumber tersebut agar sedapat mungkin sesuai dengan maqâshid al-syarî’ah sehingga dapat mewujudkan kemaslahatan yang diinginkan.4 Pembahasan tentang maqâshid al-syarî’ah pada dasarnya telah dilakukan oleh para ulama sejak masa-masa awal perkembangan ushul fiqh5, akan tetapi Imâm
1
Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Lakhmiy al-Gharnâthiy al-Syâthibiy (selanjutnya disebut alSyâthibiy), al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm (Jilid I, Juz II, t.t., Dâr al-Rasyâd al-Hadîtsah, t.th.), 2. 2 ’Alî Hasaballâh, Ushûl al-Tasyrî' al-Islâmî, (t.t.: Dâr al-Ma'ârif, t.th.), 161. 3 ‘Abd al-Hamîd Abû al-Makârim Ismâ’îl (selanjutnya disebut Ismâ’îl), Al-Adillat al-Mukhtalaf fîhâ wa Atsaruhâ fi al-Fiqh al-Islâmî. (Kairo: Dâr Mâjid li al-Thibâ’ah, t.th.), 7. 4 Abdullahi Ahmed an-Naim dalam Islam, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law menguraikan pendapatnya bahwa: “Ketika suatu prinsip atau aturan syari’ah didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari suatu teks al-Qur’an dan Sunnah, berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan terinci, maka teks dan prinsip (aturan) syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum. Bagaimana pun juga sulit dibayangkan suatu teks al-Qur’an dan Sunnah, betapa pun jelas dan rincinya, tidak memerlukan ijtihad untuk interpretasi dan penerapannya dalam situasi yang konkret.” Lihat: Abdullahi Ahmed an-Naim (selanjutnya disebut an-Naim), ”Islam, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law”, diterjemahkan Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam (Cet. IV; Yogyakarta: LKiS, 2004), 45. 5 Bahkan sebelum Ushul Fiqh lahir, yakni pada masa Sahabat dan Tabi’in, maqâshid al-syarî’ah telah dijadikan sebagai sebuah pertimbangan hukum dalam merumuskan fatwa-fatwa dan pendapat hukum. Misalnya, diriwayatkan bahwa ‘Aisyah dan Ibn ’Abbas pernah menolak kesimpulan hukum dari hadits-hadits Âhâd yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menyatakan tentang keharusan membasuh kedua tangan sampai tiga kali bagi seseorang yang baru bangun tidur sebelum memasukkannya ke dalam wadah. ‘Aisyah dan Ibn ’Abbas menilai bahwa hadits tersebut tidak selaras dengan tujuan syari’at karena bertentangan dengan kaidah tentang penghindaran kesulitan (limukhâlafatih liqâ’idat raf’ al-haraj). Atau keputusan Umar yang tidak lagi menyalurkan zakat
16
17
al-Syâthibiy (w. 790 H./1388 M.), seorang yuris Islam dari Andalusia, agaknya merupakan ulama yang paling berjasa dalam membuat prinsip maqâshid al-syarî’ah tersebut menjadi sebuah rumusan yang lebih komprehensif dan sistematis.6 Pemikiran al-Syâthibiy yang menguraikan maqâshid al-syarî’ah secara panjang lebar dapat ditemukan dalam karya monumentalnya, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm (Beberapa Konsensus dalam Dasar-dasar Hukum).7 Imâm al-Syâthibiy menyatakan bahwa syari’at dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk.8 Kemaslahatan makhluk dapat tercapai apabila lima hal primer dalam hidupnya telah terjamin. Lima hal tersebut antara lain agama (dîn), jiwa (nafs), akal (’aql), keturunan (nasl), dan harta benda (mâl).9 Bagi al-Syâthibiy, upaya melindungi lima hal inilah yang menjadi tujuan (maqâshid) diturunkannya syariat Islam. Dalam kitabnya itu pula, al-Syâthibiy membagi kemaslahatan makhluk menjadi tiga, yakni mashlahat dlarûriyyah (kemaslahatan primer), mashlahat hâjiyyah (kemaslahatan sekunder), dan mashlahat tahsîniyyah (kemaslahatan suplementer). Masing-masing klasifikasi bergantung kepada peran dan urgensinya bagi kehidupan manusia. Jika suatu kemaslahatan sangat menentukan keberlangsungan hidup manusia dan jika tanpanya akan terjadi ketimpangan dan kepada para muallaf oleh karena ketentuan tersebut dianggap tidak relevan lagi dengan tujuan syari’ah (yang dalam hal ini adalah ta’lîf atau mengambil hati orang-orang yang baru masuk Islam), sekalipun keputusan itu bertentangan dengan nash al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 60. Lihat: Khalîfat Bâ Bikr alHasan (selanjutnya disebut al-Hasan), Falsafat Maqâshid al-Tasyrî’ fî al-Fiqh al-Islâmiy (Cet. I; Kairo: Maktabat Wahbah, 2000), 29-36. 6 Ibid., 4; Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought (New Delhi, International Islamic Publishers, 1989), 2; Aep Saepulloh Darusmanwiati (selanjutnya disebut Darusmanwiati), “Imam Syathibi: Bapak Maqasid al-Syari’ah Pertama”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=309 (diakses pada 17 Desember 2007), 1. 7 Terdapat perbedaan di kalangan sarjana tentang nama kitab al-Syâthibiy tersebut. Ahmad Bâba alTanabkatiy menyebutnya al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Fiqh, sementara Dâr al-Rasyâd al-Hadîtsah – penerbit kitab tersebut– menulis al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Namun demikian, nama yang paling populer agaknya adalah al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syari’ah. 8 Al-Syâthibiy, Op. Cit. 9 Ibid., 3-5.
17
18
ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan sosial (ikhtilâl al-nidhâm fî al-ummah), maka kemaslahatan itu termasuk dalam kategori mashlahat dlarûriyyah. Jika suatu kemaslahatan berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder bagi manusia, dalam arti memberikan kelapangan (al-tawsi’at wa daf’ al-dlîq) dalam pelaksanaan hukum, maka kemaslahatan itu termasuk dalam kategori mashlahat hâjiyyah. Dan jika suatu kemaslahatan memberikan perhatian kepada masalah etika (makârim al-akhlâq) dan estetika (mahâsin al-’âdât), maka kemaslahatan tersebut masuk dalam kategori mashlahat tahsîniyyah.10 Al-Syâthibiy, dalam kitab dan tema pembahasan yang sama juga menganjurkan agar metodologi hukum Islam (ushûl al-fiqh) yang telah ada ditelaah ulang dengan lebih mengacu kepada maqâshid al-syarî’ah agar dapat menghasilkan produk-produk hukum yang lebih mampu mengakomodasi kemaslahatan umat manusia.11 Hal tersebut perlu dilakukan mengingat rumusan ushul fiqh klasik, seperti juga dikatakan oleh Hasan Turabi, seorang pemikir muslim terkemuka asal Sudan, masih bersifat abstrak dan berupa wacana teoritis yang tidak mampu menuntaskan perdebatan yang tak kunjung selesai,12 terlebih ketika harus berhadapan dengan permasalahan-permasalahan hukum yang muncul sebagai imbas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Persoalan seputar demokrasi, konsep negara-bangsa, kesetaraan gender, Hak Asasi Manusia (HAM), hak atas kekayaan intelektual, transplantasi organ tubuh manusia, serta persoalan-persoalan hukum manusia modern
10
Ibid.; Al-Hasan, Op. Cit.,12-20; Ismâ’îl, Op. Cit., 71-72; Mun’im A. Sirry (ed.) (selanjutnya disebut Sirry), Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004), 10-1. 11 Ibid., 6. 12 Ibid., 11; Imam Syaukani (selanjutnya disebut Syaukani), Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan hukum Nasional (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 106.
18
19
yang lain membutuhkan sarana pemecahan yang berupa kerangka metodologis yang relevan dengan kepentingan umat Islam saat ini. Penelaahan ulang terhadap metodologi hukum Islam tersebut semakin sulit untuk diabaikan mengingat di antara sekian banyak disiplin ilmu yang berkembang dalam agama Islam, fiqh merupakan salah satu bidang keilmuan yang paling banyak diminati oleh masyarakat muslim di dunia. Hal tersebut dikarenakan fiqh, sebagai suatu bidang ilmu yang membahas tentang permasalahan hukum dalam Islam (yang tentunya juga dilengkapi dengan penjelasan tentang konsekuensi hukum yang bersifat konkret), bukan hanya mengatur kepentingan umat Islam dalam ranah publik saja, namun juga ranah privat. Oleh sebab itu bisa dimengerti jika fiqh kemudian menjadi suatu disiplin ilmu yang paling banyak mempengaruhi cara berpikir serta mendominasi pemahaman masyarakat muslim terhadap agama mereka.13 Fiqh merupakan disiplin keilmuan yang telah mendapatkan tempat di hati umat Islam, termasuk umat Islam di Indonesia. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarahnya fiqh tidak jarang disalahartikan bahkan diidentikkan dengan wahyu dalam hal universalitas dan sakralitasnya. Sebagai konsekuensi dari anggapan tersebut, fiqh lantas diasumsikan bukan hanya sebagai suatu disiplin ilmu yang serba meliputi (syâmil) dan tidak terjamah oleh pengaruh masa (zamân) dan lokalitas tempat (makân), namun juga sebagai suatu tata aturan yang tidak boleh didebat dan dipersoalkan. Namun demikian, seiring munculnya berbagai permasalahan hukum yang ditemui oleh umat Islam pada zaman modern, baik karena faktor internal
13
Nurcholish Madjid (selanjutnya disebut Madjid), Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. II; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), 235.
19
20
maupun eksternal, maka pemahaman seperti di atas sedikit demi sedikit mengalami pergeseran. Modernisasi dan globalisasi memang menawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat, namun keduanya juga telah membawa pada munculnya berbagai kebutuhan baru yang menuntut untuk dipenuhi. Cara yang digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan barunya itulah yang acapkali melahirkan berbagai permasalahan yang belum pernah ditemui oleh umat Islam pada masa-masa sebelumnya.14 Dalam upaya mencari jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan tersebut sebagian pemikir muslim menilai bahwa melakukan interpretasi ulang (reinterpretation)
terhadap nas-nas suci (al-nushûsh
al-muqaddasah)
serta
merumuskan aturan metodologis dalam bidang hukum yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman –sekalipun tidak sepenuhnya baru– adalah lebih relevan dan solutif daripada mengikuti tanpa disertai nalar kritis pendapat kebanyakan ushûliyyûn dan fuqahâ’ klasik.15 Fiqh merupakan hasil ijtihad ulama yang tidak terlepas dari konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi ketika ulama tersebut hidup, selain tentunya juga dari
14
Tentang dampak modernisasi dan globalisasi serta respon umat Islam terhadapnya, lihat: A. Qodri Azizi, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Cet. V; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 5-10; 18-40. 15 Abdullahi Ahmed an-Naim misalnya menyatakan: ”...bahwa selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak supaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang.” An-Naim, Op. Cit., 57. Senada dengan an-Naim, Muhammad Shahrur dalam Dirâsât Islâmiyyat Mu’âshirat fî al-Daulat wa al-Ijtimâ’ mengatakan: ”...akan tetapi kemungkinan ijtihad yang merujuk pada kerangka yang telah kokoh (terbentuk) sejak abad ke-2 dan ke-3 H. dianggap telah sempurna. Padahal ijtihad tidak mungkin dilakukan kecuali melampaui kerangka ini dengan tuntas, sembari membaca kembali Tanzîl Hakîm dengan asas keilmuan (epistemologi) masa kini, dan berpegangan pada dasar-dasar (ushûl) fiqh baru.” Muhammad Shahrur, ”Dirâsât Islâmiyyah Mu’âshirah fi al-Daulah wa al-Ijtimâ’”, diterjemahkan Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara (Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2003), 245.
20
21
metode istinbâth hukum yang mereka gunakan.16 Oleh karenanya tidak mengherankan jika hasil ijtihad seorang ulama pada suatu masa dan tempat tertentu terkadang menjadi kurang sesuai untuk diterapkan pada masa atau tempat yang berbeda. Memaksakan diri untuk menerapkan seluruh ketentuan fiqh hasil ijtihad ulama terdahulu dan mengabaikan kontekstualitas serta aktualitasnya bagi umat manusia zaman sekarang justru dapat membawa akibat yang kontraproduktif dan mengancam kemaslahatan umat manusia yang menjadi tujuan syari’at. Upaya pembaruan hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad yang telah disesuaikan dengan kebutuhan dan problematika masyarakat modern serta konteks sosial-budaya umat Islam Indonesia adalah cara yang dapat ditempuh untuk menjaga kemaslahatan umat Islam di Indonesia dari ancaman yang bisa ditimbulkan dari penerapan fiqh klasik yang dilakukan secara rigid. Pembaruan hukum (tajdîd al-hukm) telah dikenal baik dalam doktrinitas maupun dalam sejarah agama Islam. Terdapat sebuah Hadits Nabi yang memberikan justifikasi akan hal tersebut.17 Hal ini menunjukkan bahwa upaya pembaruan hukum Islam yang tengah digalakkan oleh para pendukungnya di zaman modern ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang ilegal dan sama sekali baru, betapa pun gagasan pembaruan hukum Islam seringkali mendapatkan perlawanan dan memicu perdebatan yang berkepanjangan.
16
Cik Hasan Bisri (selanjutnya disebut Bisri), Model Penelitian Fiqh: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), 198. 17 Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda:
. 7$. 7
^. 9 !$E JF
/ U 0 =&> !
?S 7 _ .
(Sesungguhnya Allah akan membangkitkan bagi umat ini –pada setiap seratus tahun– orang yang memperbarui keberagaman mereka. [pen.]) Lihat: Abû Dâwûd Sulaiman ibn al-Asy’ab al-Sijistâniy, Sunan Abî Dâwûd (Juz II, Beirut, Dâr al-Fikr, 2003), 318.
21
22
Pembaruan
hukum
Islam
di
mana
ijtihad
menjadi
sarana
yang
menyebabkannnya tidak mustahil untuk dilakukan merupakan suatu keniscayaan di tengah problem kemanusiaan yang begitu kompleks. Akan tetapi, problem kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik ini tentu saja membutuhkan sebuah metode ijtihad yang progresif dan brilian agar mampu mengakomodasi segala kebutuhan serta mewujudkan kemaslahatan masyarakat modern saat ini.18 Dalam kerangka pembaruan hukum Islam dengan menggunakan metode istinbath hukum yang dimaksud, seperti dikatakan oleh A. Qodri Azizi, selanjutnya hukum Islam tidak sekadar diarahkan pada upaya pencarian legitimasi legal formal an sich, namun juga pada seberapa banyak hukum Islam mampu menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka kemajuan, keteraturan, ketentraman, dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.19 Sebagai upaya untuk memperbarui hukum Islam dan menjadikannya lebih responsif dan solutif bagi umat Islam di Indonesia, maka proyek pembaruan hukum Islam yang tengah digalakkan tentu memerlukan landasan hukum dan basis teoritik yang kokoh. Oleh karena pembaruan hukum Islam tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menghasilkan produk hukum yang mampu memberikan perlindungan bagi kemaslahatan umat manusia, maka rumusan al-Syâthibiy tentang tujuan-tujuan syari’at (maqâshid al-syarî’ah) sebagaimana sekilas telah dikemukakan di atas terlihat memiliki korelasi dan keselarasan dengan agenda pembaruan hukum Islam tersebut. Di samping itu, rumusan al-Syâthibiy tersebut juga tampak sesuai dengan mekanisme pembaruan hukum Islam di Indonesia yang, seperti dikatakan oleh Abdul 18
Abdul Moqsith Ghazali, “Ijtihad, Upaya Menembus Batas”, dalam Abdul Moqsith Ghazali (ed.) Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis (Cet. I; Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), ix. 19 Syaukani, Op. Cit., 97.
22
23
Moqsith Ghazali dan Musoffa Basyir-Rasyad, dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat saat ini serta tetap merujuk kepada teks-teks suci dan tujuan utama syari’at.20 Oleh karena latar belakang di atas, peneliti melihat bahwa penelitian dengan fokus pembahasan tentang relevansi antara maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan upaya pembaruan hukum Islam di Indonesia ini layak untuk dikaji.
B. Batasan Masalah Fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah relevansi antara pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia. Terkait pembaruan hukum Islam di Indonesia dibatasi hanya pada metode pembaruan hukum Islam yang dilakukan melalui lembaga negara21, dalam hal ini adalah lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ketika merumuskan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan lembaga eksekutif yaitu Presiden ketika merumuskan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 20
Lebih lanjut keduanya mengatakan: ”Bahwa pembentukan suatu ketentuan hukum atau ajaran harus selalu dirujukkan atau mempertimbangkan kondisi-kondisi lokal dan tingkat peradaban yang dicapai manusia, itu kebutuhan pokok yang tidak bisa diingkari. Sebab itulah, maka sebagian ulama mempersyaratkan bagi seorang mufassir atau mujtahid untuk mengetahui sabab al-nuzûl dari sebuah ayat. Memahami sebuah ayat yang hanya berjangkar pada argumen-argumen gramatikal dengan menepikan peristiwa-peristiwa lokal yang menyertainya telah terjebak pada logosentrisme bahasa secara penuh-penuh. Padahal, dalam kehidupan ini, pada awalnya bukanlah kata, melainkan realitas. Sebuah realitas dilaporkan dengan meminjam perangkat bahasa.” Lihat: Abdul Moqsith Ghazali dan Musoffa Basyir-Rasyad, ”Islam Pribumi: Mencari Model Keberislaman ala Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Cet. I; Jakarta: Mizan, 2006), 684-685. 21 Seperti dikatakan oleh Cik Hasan Bisri, pengembangan hukum Islam dapat dilakukan melalui tiga jalur, yakni melalui pranata sosial (pranata kekerabatan, ekonomi, pendidikan, keilmuan, keindahan dan rekreasi, keagamaan, politik, dan kebutuhan jasmaniah), organisasi kemasyarakatan (Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dll), dan kekuasaan negara (Pemerintah, DPR, MA, dll). Lihat: Cik Hasan Bisri (selanjutnya disebut Bisri), “Aspek-aspek Sosiologis Hukum Islam di Indonesia”, dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia (Cet. I; Jakarta: Logos, 1998), 113. Pembaruan hukum Islam melalui lembaga negara, dalam hal ini DPR dan Presiden, dipilih karena produk hukum yang dihasilkan memiliki daya ikat dan dapat menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas.
23
24
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah? 2. Bagaimanakah relevansi maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia?
D. Tujuan Penelitian Tujuan mengadakan penelitian ini antara lain: 1. Memahami pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang maqâshid al-syarî’ah; 2. Mengetahui relevansi maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia.
E. Manfaat Penelitian Penelitian yang mengambil tema tentang maqâshid al-syarî’ah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kalangan luas, baik secara teoritis maupun praktis. Dengan demikian hasil yang nantinya diperoleh melalui penelitian ini tidak hanya dapat memberikan sumbangan positif bagi pihak-pihak dalam skala yang terbatas atau dalam tataran normatif saja. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai sebuah kajian ilmiah yang diharapkan dapat menghadirkan penjelasan yang memadai tentang relevansi antara pemikiran maqâshid al-syarî’ah hasil rumusan Imâm al-Syâthibiy dengan pembaruan hukum Islam yang dilakukan di Indonesia. Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai pijakan bagi penelitian selanjutnya dalam hal maqâshid al-syarî’ah maupun relevansinya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia sekaligus sebagai bekal, baik bagi peneliti
24
25
sendiri maupun kalangan lain, dalam menganalisa berbagai persoalan terkait hukum Islam yang kemungkinan muncul di sekitar mereka serta dalam mencermati dan mengkritisi ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah ditetapkan oleh para ulama, terlebih yang berkaitan dengan pembaruan hukum Islam dan permasalahan umat manusia modern.
F. Penelitian Terdahulu Penelitian yang mengangkat tema pemikiran Imâm al-Syâthibiy tentang filsafat hukum Islam dan bisa dikatakan sebagai penelitian yang cukup komprehensif dalam hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Khalid Masud. Penelitian dengan judul ”Sh tibi’s Philosophy of Islamic Law –An Analytical Study of Sh tibi’s Concept of Maslaha in Relation to His Doctrin of Maq sid al-Shari’a with Particular Reference to the Problem of Adaptability of Islamic Legal Theory of Social Change” tersebut merupakan disertasi doktoral pada Program Post-Graduate McGill University, Montreal, Canada. Dalam penelitiannya itu Muhammad Khalid Masud membagi pembahasan ke dalam tiga bab. Bab pertama (terdiri dari tiga sub-bab) menguraikan tentang latar sejarah kerajaan Islam yang memerintah ketika al-Syâthibiy hidup dan beberapa aspek yang berkaitan, kehidupan dan pekerjaan al-Syâthibiy, serta fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkan olehnya. Bab kedua (terdiri dari dua sub-bab) membahas tentang konsep mashlahah sebelum masa al-Syâthibiy dan mashlahah pada era modern. Dan bab terakhir (terdiri dari sepuluh sub-bab) menjelaskan tentang kitab al-Syâthibiy yang banyak membahas tentang filsafat hukum Islam (al-Muwâfaqât fi Ushûl alAhkâm), sifat dasar hukum Islam, maqâshid al-syarî’ah, mashlahah, aspek-aspek
25
26
kebahasaan dalam hukum, kewajiban-kewajiban hukum, ketaatan terhadap hukum, kesinambungan dan perubahan (continuity and change), dan terakhir kesimpulan. Berdasarkan penelitiannya itu Masud menilai bahwa pemikiran al-Syâthibiy tentang mashlahah tidak sesederhana konsep mashlahah yang umum dikenal dalam kajian ushul fiqh. Pengaruh-pengaruh teologi, etika, methodologi, dan mistisisme membuat konsep tersebut terlihat sebagai sebuah konsep yang rumit. Komponenkomponen utama dalam konsep mashlahah al-Syâthibiy menurut Masud adalah: pertama, pertimbangan kebutuhan manusia; kedua, rasionalitas perintah-perintah dalam hukum; ketiga, perlindungan dari kerusakan; dan keempat, kesesuaian dengan maksud atau tujuan Pemberi hukum (Law-giver; Allah). Penelitian lain yang mengkaji tentang pemikiran al-Syâthibiy dilakukan oleh Asafri Jaya Bakri dengan judul Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syathibi. Setelah menguraikan tentang riwayat hidup al-Syâthibiy dan sejarah perkembangan ushul fiqh, Asafri menjelaskan tentang arti dan dasar maqâshid al-syarî’ah, pembagian maqâshid al-syarî’ah, serta syarat-syarat dalam memahami maqâshid alsyarî’ah menurut Imâm al-Syâthibiy. Pada bagian selanjutnya diuraikan tentang urgensi maqâshid al-syarî’ah dalam ijtihad hukum Islam dewasa ini. Dari penelitiannya itu Asafri menyimpulkan beberapa hal, antara lain: 1. Maqâshid al-syarî’ah menurut Imâm al-Syâthibiy adalah tujuan-tujuan disyariatkannya hukum oleh Allah SWT yang berintikan kemaslahatan umat manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat. 2. Menurut Imâm al-Syâthibiy maqâshid al-syarî’ah terbagi menjadi tiga tingkatan, yakni dlarûriyyah, hâjiyyah, dan tahsîniyyah.
26
27
3. Analisis terhadap sumber-sumber hukum dalam Islam dalam kaitannya dengan maqâshid al-syarî’ah dalam perspektif Imâm al-Syâthibiy adalah dengan memperhatikan aspek lafdhiy (kebahasaan) dan ma’nawiy (makna). 4. Konsep maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy sangat penting artinya dalam mengembangkan metode-metode ijtihad yang telah dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh baik dalam metode ijtihad talî’liy maupun istishlâhiy. 5. Ijtihad yang dilakukan pada masa ketika perubahan sosial telah terjadi dengan sedemikian pesat seperti saat ini harus dilakukan dengan memberi titik tekan terhadap aspek maqâshid al-syarî’ah. Sementara itu penelitian yang mengkaji tentang tema pembaruan hukum Islam di Indonesia di antaranya dilakukan oleh Mahsun Fuad. Penelitian yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris itu memfokuskan kajian pada masalah bagaimana keragaman pemikiran hukum Islam di Indonesia muncul bersamaan dengan diterapkannya kebijakan modernisasi-pembangunan oleh Pemerintah, dan bagaimana tipologi yang bisa dibangun dari tema-tema pemikiran hukum Islam di Indonesia pada rentang waktu 1970-2000 jika dihubungkan dengan implementasi modernisasi-pembangunan Pemerintah tersebut. Sebagai kesimpulan dari penelitiannya itu Fuad menilai bahwa dilihat dari latar belakang dan kandungan maknanya, kerangka dasar dan metode yang dipakai, serta sejumlah aplikasi pemikiran yang ada di dalamnya, kehadiran tema-tema pemikiran hukum Islam dalam rentang waktu 1970-2000 secara umum dimaksudkan oleh penggagasnya sebagai respon atas modernisasi-pembangunan. Setting sosialpolitik negara, terutama dengan dijadikannya modernisasi-pembangunan sebagai
27
28
pola umum kebijakan dan ”madzhab” resmi pembangunan Pemerintah Orde Baru telah mendorong beberapa pemikir muslim (Prof. Dr. Teuku Muhammad Hasbi ashShiddieqy, Prof. Dr. Hazairin, Prof. KH. Ibrahim Hosen L.M.L., Prof. Dr. Munawir Sjadzali, Masdar Farid Mas’udi, K.H. Ali Yafie, dan K.H. M.A. Sahal Mahfudh) untuk bereksperimen dalam membangun wacana pemikiran dan konsep hukum Islam baru yang mampu mengatasi perubahan sosial secara empiris. Secara substantif, kandungan makna zahir tema-tema pemikiran hukum Islam tersebut juga menunjukkan sisi-sisi dinamis-reaktif dan progresif-rekonstruktif, yang kesemuanya mencerminkan makna dan pola umum modernisasi-pembangunan sebagai kebijakan yang diambil Pemerintah saat itu. Tipologi yang kemudian dibuat oleh Fuad terkait pemikiran-pemikiran tersebut adalah: 1. Kontekstualisasi-Madzhabi, Responsi-Simpatis, Partisipatoris; 2. Rekonstruksi-Interpretatif, Responsi-Simpatis, Partisipatoris; 3. Rekonstruksi-Interpretatif, Responsi-Kritis, Emansipatoris; 4. Kontekstualisasi-Madzhabi, Responsi-Kritis, Emansipatoris. Penelitian yang mengkaji tentang tema pembaruan hukum Islam di Indonesia juga dilakukan oleh Nasrun Rusli. Penelitian yang kemudian juga diangkat menjadi sebuah buku berjudul Konsep Ijtihad al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia itu membahas tentang masalah sekitar bagaimana konsep dasar ijtihad dalam pandangan al-Syaukani dan bagaimana relevansi konsep ijtihad itu dengan pengembangan dan pembaruan hukum Islam di Indonesia, terutama dalam bidang mu’amalah. Sebagai kesimpulan dari pembahasannya Rusli menyimpulkan bahwa konsep dasar ijtihad dalam pandangan al-Syaukani adalah bahwa ijtihad dalam fiqh berarti
28
29
upaya optimal seorang ahli fiqh dalam menggali hukum syara’ yang bersifat praktis pada peringkat dhanniy dengan menggunakan metode istinbâth. Upaya tersebut senantiasa lestari dan setiap orang yang telah memenuhi persyaratan melakukan ijtihad dituntut untuk melakukannya. Seandainya upaya tersebut tidak dilakukan niscaya ia berdosa. Akan tetapi bagi kalangan awam cukup hanya dengan ittibâ’, atau mengikuti mujtahid dengan disertai pengetahuan tentang alasan-alasan hukumnya. Prinsip dan metode ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani dirasakan relevan untuk diterapkan di Indonesia karena: pertama, prinsip dan metode tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia; kedua, prinsip dan metode yang dikemukakan oleh al-Syaukani berpijak atas dasar kemaslahatan umum, yang diakui pula sebagai landasan hukum yang berlaku di Indonesia; dan ketiga, prinsip ijtihad yang dianjurkan oleh al-Syaukani bersifat adil, luwes, dinamis, elastis, dan komprehensif serta dapat diterapkan untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang mengangkat tema tentang maqâshid al-syarî’ah ini jika dilihat dari bentuk sumber datanya yang berupa buku-buku atau karya tulis lainnya maka termasuk dalam penelitian yuridis-normatif atau penelitian hukum doktrinal. Dalam penelitian hukum jenis ini, hukum acapkali dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)
29
30
atau sebagai kaidah yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.22 2. Pendekatan Penelitian Berdasarkan analisa datanya yang bersifat deskriptif, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.23 Penelitian dengan pendekatan kualitatif menghasilkan data-data yang bersifat deskriptif24 karena penelitian dengan pendekatan tersebut sangat kaya dan sarat dengan deskripsi.25 Sementara itu, berdasarkan disiplin ilmu yang dipakai yakni ushul fiqh, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis-logis
karena
tema
yang
diangkat
berkisar
pada
pemikiran
fuqahâ’/ulama.26 3. Sumber Data Dalam penelitian hukum yang selalu diawali dengan premis normatif, maka datanya diawali dengan data sekunder. Bagi penelitian hukum normatif yang
22
Amiruddin & Zainal Asikin (selanjutnya disebut Asikin), Pengantar Metode Penelitian Hukum (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 118. 23 Ibid., 6. 24 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Cet. IV; Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 15-6. 25 Cik Hasan Bisri (selanjutnya disebut Bisri), Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 272; Saifullah, Buku Panduan Metodologi Penelitian (Malang: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang (UIN), 2006), 30. 26 Bisri, Op. Cit., 17-8.
30
31
hanya mengenal data sekunder saja, jenis datanya adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.27 a. Bahan Hukum Primer, yaitu tulisan ulama yang bersangkutan, dalam hal ini al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Ahkâm karya Imâm al-Syâthibiy. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, atau bahan pustaka yang mengacu atau mengutip bahan hukum primer.28 Dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum sekunder antara lain: 1) Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought karya Muhammad Khalid Masud; 2) Falsafat Maqâshid al-Tasyrî’ fî al-Fiqh al-Islâmiy karya Khalîfat Bâ Bikr al-Hasan; 3) Al-Istiqrâ’ wa Atsaruh fi al-Qawâ’id al-Ushûliyyat wa al-Fiqhiyyat, Dirâsat Nadhariyyat Tathbîqiyyah karya al-Thayyib al-Sanûsiy Ahmad; 4) Al-Syâthibî: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab alMuwafaqat karya Hamka Haq; 5) Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia karya Prof. Dr. Amir Syarifuddin. 6) Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional karya Imam Syaukani; 7) Ijtihad dalam Sorotan karya Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed.);
8) Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris karya Mahsun Fuad; 9) Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia karya Ahmad Rofiq; 10) Aspek-aspek Pengubah Hukum karya Abdul Manan. c. Sumber Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.29 Dalam penelitian ini bahan hukum tersier antara lain: 1) Encyclopædia Britannica karya Jacob E. Safra et. al. (ed.), 2) Kamus al-Munawwir (Arab-Indonesia) karya Ahmad Warson Munawwir; 3) Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily; 4) Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelaahan naskah atau studi kepustakaan. Dalam penelitian ini, karena masuk dalam kategori penelitian pemikiran ulama seperti dikatakan oleh Cik Hasan Bisri, data-data yang dikumpulkan terutama berkenaan dengan sumber dan dalil hukum yang digunakan, metode ijtihad yang diunggulkan, dan produk pemikiran ulama yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Imâm al-Syâtibiy. Sementara itu aspek-aspek eksternal dari pemikiran tersebut berkenaan dengan tradisi intelektual, matarantai intelektual, dan entitas kehidupan yang menjadi perhatian
29
Asikin, Op. Cit.
32
33
dan pengkajian Imâm al-Syâtibiy.30 Data-data dalam penelitian ini terutama diperoleh dari buku-buku yang menjadi bahan hukum primer sebagaimana telah disebutkan di atas, diikuti kemudian dengan data dari buku-buku pendukung (sekunder) yang menjelaskan tentang tema maqâshid al-syarî’ah dan pembaruan hukum Islam di Indonesia atau literatur lain yang terkait dengannya. Dan sebagai pelengkap peneliti juga menggunakan data-data tersier dari kamus dan ensiklopedia. 5. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis (analisis isi). Dalam analisis data jenis ini dokumen yang dianalisis disebut dengan istilah “teks” atau wujud dari representasi simbolik yang direkam atau didokumentasikan. Content analysis menunjuk kepada metode analisis yang integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis dokumen untuk memahami makna, signifikansi, dan relevansinya.31 Dalam penelitian ini tahapan analisis data adalah sebagai berikut: a. Data yang telah terkumpul diedit dan diseleksi sesuai dengan ragam pengumpulan data; b. Berdasarkan hasil kerja pada tahapan pertama, dilakukan klasifikasi data; c. Data yang telah diklasifikasikan diberi kode, kemudian antara data satu dengan yang lainnya disusun dan dihubungkan; d. Data yang sudah disusun dan dihubungkan kemudian ditafsirkan; 30
e. Dilakukan penarikan kesimpulan setelah jawaban atas pertanyaan penelitian ditemukan pada tahap sebelumnya.32
H. Sistematika Pembahasan BAB I
:Merupakan pendahuluan dan landasan pemikiran dari karya ilmiah ini. Bagian ini memuat latar belakang masalah; batasan masalah; rumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat penelitian; penelitian terdahulu; metode penelitian (jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data); dan sistematika pembahasan.
BAB II
:Bagian ini menjelaskan tentang biografi singkat Imâm al-Syâthibiy (latar belakang sosial, latar belakang intelektual, serta karir dan karya tulisnya); pemikirannya tentang maqâshid al-syarî’ah (definisi dan sekilas perdebatan tentangnya, landasan epistemologis maqâshid alsyarî’ah, metode penalaran istiqrâ’iy [induktif], klasifikasi maqâshid al-syarî’ah, dan mashlahah serta pembagiannya); dan maqâshid alsyarî’ah menurut para ulama (pengertian maqâshid al-syarî’ah, dasar hukum maqâshid al-syarî’ah, klasifikasi mashlahah, dan maqâshid al-syarî’ah pada masa sahabat, tâbi’în, dan ulama madzhab).
BAB III
:Pada bagian ini akan diterangkan tentang pembaruan hukum Islam di Indonesia, meliputi antara lain sejarah; faktor pendorong pembaruan hukum Islam di Indonesia yang mencakup faktor sosial-budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan ilmu pengetahuan dan teknologi;
32
Bisri, Op. Cit., 229-30.
34
35
landasan yuridis pembaruan hukum Islam di Indonesia; peta pemikiran pembaruan hukum Islam di Indonesia; serta ragam produk pembaruan hukum Islam di Indonesia. BAB IV
:Memaparkan analisis data tentang pemikiran maqâshid al-syarî’ah Imâm al-Syâthibiy dan pembaruan hukum Islam di Indonesia, meliputi antara lain maqâshid al-syarî’ah sebagai dalil qath’iy (definitif), keistimewaan teori maqâshid al-syarî’ah Imâm alSyâthibiy dibandingkan dengan teori maqâshid al-syarî’ah ulama lain, dan maqâshid al-syarî’ah dan relevansinya dengan pembaruan hukum Islam di Indonesia.
BAB V
:Adalah bagian yang memaparkan tentang kesimpulan dan refleksi. Bab ini merupakan bagian terakhir dari karya ilmiah ini. Kesimpulan ditarik dari analisa data dan pembahasan yang telah dilakukan, sementara refleksi menyesuaikan dengan hasil dari analisa dan pembahasan penelitian.
35
36
BAB II IMÂM AL-SYÂTHIBIY DAN PEMIKIRANNYA TENTANG MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH
A. Biografi Singkat Imâm al-Syâthibiy 1. Latar Belakang Sosial Imâm al-Syâthibiy Nama lengkap Imâm al-Syâthibiy adalah Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Muhammad al-Lakhmiy al-Syâthibiy al-Gharnâthiy.33 Tidak banyak catatan yang memberikan informasi tentang awal kehidupannya. Tahun kelahirannya tidak
33 Nama “al-Syâthibiy” atau “Imâm al-Syâthibiy” sebenarnya tidak hanya digunakan untuk menyebut Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Muhammad saja, namun juga ulama lain yang kebetulan berasal dari kota yang sama. Ulama lain yang memiliki nama populer ”al-Syâthibiy” atau ”Imâm al-Syâthibiy” adalah Abû Muhammad ’Abd Allâh ibn Silfir al-Syâthibiy, Abû ’Abd Allâh Muhammad ibn Yarbû’ al-Syâthibiy (keduanya adalah penyair kenamaan di Andalusia), dan al-Qâsim ibn Firruh ibn Khalaf ibn Ahmad al-Ra’îniy al-Syâthibiy (538-590 H). Ulama yang terakhir hidup ketika terjadi transisi kekuasaan dari Dinasti Murâbithûn (Almoravid) ke Dinasti Muwahhidûn (Almohad). Selain tinggal di Andalusia, ulama tersebut juga pernah menetap di Mesir. Lihat: ’Abd al-Hakîm al-Wâ’ily, Mausû’at Syu’arâ’ al-Andalûs (Cet. I; Amman: Dâr Usâmah, ), 162 & 354; Ibrâhîm Muhammad al-Jaramiy, alImâm al-Syâthibî: Sayyid al-Qurrâ’ (Damaskus: Dâr al-’Ilm, 2000), 11.
36
37
diketahui, namun beberapa literatur menyebutkan bahwa ia wafat sekitar tahun 790 H./1388 M. Demikian juga keterangan tentang latar belakang keluarganya, kecuali hanya melalui nama nisbah-nya sendiri, yakni al-Lakhmiy, al-Syâthibiy, dan alGharnâthiy. Al-Lakhmiy adalah nama salah satu suku dari bangsa Arab Yaman yang merupakan anak cucu ’Amr ibn ’Âdy ibn Nashr al-Lakhmiy.34 Nama tersebut mengindikasikan bahwa al-Syâthibiy adalah seorang ulama berdarah Arab. Syâthiba (Xativa atau Jativa), kota industri kertas di Andalusia saat itu, merupakan daerah tempat keluarga al-Syâthibiy berasal, sementara Gharnâtha (Granada) adalah daerah tempat al-Syâthibiy menetap.35 Al-Syâthibiy tumbuh besar dan menjalani kehidupannya di Granada, salah satu di antara tiga kota paling penting di kerajaan Banû Nashr (631-893 H./12301492 M.), kerajaan penerus Dinasti Muwahhidûn (548-613 H./1147-1212 M.) di Spanyol.36 Dua kota lainnya adalah al-Mariyyah (Almeria) dan Malaqa (Malaga).37 Banû Nashr dikenal juga dengan sebutan Banû Ahmar, yang merupakan julukan untuk keturunan Sa’d ibn ’Ubâdat al-Anshârîy38, salah seorang sahabat Anshar. Nama laqab Ahmar dialamatkan kepada salah seorang keturunannya yang menjadi raja yaitu Abû Sa’îd Muhammad VI (memerintah: 761-763 H./1368-1370 M.) karena 34
Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân al-Syaqîr (selanjutnya disebut al-Syaqîr), “Muqaddimah”, dalam Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Muhammad al-Lakhmiy al-Syâthîbiy al-Gharnâthiy, al-I’tishâm (Juz I, Cet. I; Kairo: Dâr al-Jauzi, 2008) , 32. 35 Masud. Op. Cit., 99. 36 Ibid.; Dinasti Muwahhidûn merupakan pemegang tampuk kekuasaan Andalusia setelah dinasti sebelumnya, Murâbithûn, hancur pada 1147 M setelah lebih dari setengah abad berkuasa. Pusat pemerintahan dinasti ini berada di Maroko. Seperti halnya Murâbithûn, Muwahhidûn semula merupakan gerakan politik-keagamaan. Gerakan ini didirikan oleh seorang Berber, Muhammad ibn Thumar (479-531 H./1078-1130 M.). Dinasti Muwahhidûn adalah dinasti terbesar yang pernah lahir di Maroko, dan merupakan imperium yang tidak ada bandingannya dalam sejarah Afrika. Lihat: Philip K. Hitti (selanjutnya disebut Hitti), “History of the Arabs: from The Earliest Time to The Present”, diterjemahkan R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, History of The Arabs (Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), 693-6. 37 Masud, Op. Cit., 66. 38 Al-Syaqîr, Op. Cit., 22.
37
38
memiliki warna kulit yang kemerah-merahan. Orang Spanyol menyebut Abû Sa’îd dengan ”el-Barmekho” yang dalam bahasa Spanyol berarti warna jeruk yang kemerah-merahan.39 Kerajaan Banû Nashr berada di sekitar gunung Sierra Nevada dan dilintasi oleh sungai el-Derro dan sungai Genil (Shanil), anak sungai Guadalquivir. Granada yang merupakan ibukota kerajaan Banu Nashr berada di sebelah utara gunung Sierra Nevada dan dikelilingi sekitar 300 kota-kota kecil (kûrah). Secara geografis, di sebelah selatan Granada berbatasan dengan Laut Mediterania dan Selat Gibraltar; sebelah utara berbatasan dengan Jaen, Cordova, dan Seville; sebelah timur berbatasan dengan Murcia dan Laut Mediterania; dan di sebelah barat berbatasan dengan Cadiz dan La Frontera.40 Granada pada saat itu memiliki populasi yang cukup besar, terutama karena banyaknya imigran yang terus berdatangan. Orang-orang Islam yang sebelumnya tinggal di belahan Andalusia yang lain menjadikan Granada sebagai kota tujuan ketika kerajaan mereka ditaklukan oleh penguasa-penguasa Kristen. Selain itu imigran Berber dari Afrika juga terus berdatangan, baik sebagai guru-guru sufi, pedagang, pelajar, atau sekadar mengadu nasib. Imamuddin dalam A Political History of Spain memperkirakan jumlah penduduk Granada pada masa pemerintahan al-Ghâlib bi Allâh (memerintah: 633-674 H./1232-1273 M.) mencapai 150.000 jiwa, sementara menurut G.F. Seybold penduduk Granada saat itu mencapai setengah juta jiwa.41
39
Ahmad As’ad, “Imam al-Syathibi: Sang Penentang Ta’ashub”, [http://nulibya.wordpress.com/2007/11/04/imam-al-syathibi-sang-penentang-taashub/], diposting pada 4 November 2007 pukul 14:26:59, diakses pada 20 April 2008, 1. 40 Masud, Op. Cit. 66. 41 Ibid., 67.
38
39
Masyarakat Granada terdiri dari beberapa macam etnis. Masyarakat Arab umumnya lebih sejahtera dibandingkan etnis lainnya. Penduduk asli Granada (Spaniard) kebanyakan merupakan petani, sedangkan kaum Berber Afrika adalah prajurit perang.42 Kaum Berber kurang mendapatkan tempat yang layak dalam kehidupan politik maupun sosial masyarakat Andalusia karena dianggap memiliki kebudayaan yang masih terbelakang.43 Masa hidup al-Syâthibiy bersamaan dengan kekuasaan Sultan Yûsuf Abû alHajjâj (memerintah: 734-755 H./1333-1354 M.) dan Sultan Muhammad V al-Ghânîy bi Allâh (memerintah: 755-792 H./1354-1391 M.). Raja yang kedua naik tahta pada usia enam belas tahun namun kelak berhasil menjadikan masa pemerintahannya sebagai zaman keemasan bagi Granada.44 Granada pada saat itu merupakan pusat kegiatan intelektual Islam baik di Timur maupun di Barat.45 Para sarjana dan cendekiawan dari Afrika Utara dan daerah lainnya banyak yang tertarik dan berdatangan ke Granada. Di antara para sarjana tersebut yang paling terkenal adalah Ibn Khaldûn (w. 808 H./1406 M.) dan Ibn al-Khathîb (w. 775 H./1374 M.).46 Keduanya menetap beberapa waktu di Granada dan menduduki jabatan penting
42
Bangsa Berber, yang dikenal juga dengan sebutan Masmudah, Sanhaja, dan Zenata, terdiri dari kelompok petani dan masyarakat nomad yang menggembala ternak. Meskipun mereka memiliki kultur yang seragam namun jarang sekali mereka membentuk rezim yang menyerupai sebuah negara. Berber nomadik adalah kelompok yang banyak bergabung dengan kekuatan perang Islam. Ketika ekspansi wilayah dilakukan di Aljazair, Maroko, dan Spanyol, mereka adalah kelompok yang ikut membantu. Lihat: Ira M. Lapidus, “A History of Islamic Societies”, diterjemahkan Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 563. Menarik dicatat bahwa Thâriq ibn Ziyâd, panglima pasukan Islam yang mencari jalan ke Eropa melalui semenanjung Iberia pada tahun 711 M dengan 7.000 tentaranya, konon juga berasal dari bangsa Berber. Lihat: Akbar S. Ahmed, (tanpa keterangan), diterjemahkan Amru Nst., Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban (Cet. 2; Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), 103; Hitti, Op. Cit., 627-8. 43 Masud, Op. Cit. 44 Ibid., 39; Hamka Haq (selanjutnya disebut Haq), al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Erlangga, 2007), 18. 45 Al-Syaqîr, Op. Cit., 29. 46 Masud, Op. Cit., 99.
39
40
dalam birokrasi pemerintahan Banû Nashr. Ibn al-Khathîb bahkan mendapatkan gelar kehormatan dari Muhammad V sebagai ”Dzû al-Wizâratain” (Yang Memegang Dua Kementrian).47 Granada pada abad ke-14 M tengah mengalami perkembangan yang cukup signifikan di segala bidang. Konsolidasi politik dengan kerajaan-kerajaan tetangga yang banyak dilakukan oleh Sultan Muhammad V memberikan keuntungan yang cukup besar bagi pembangunan pada hampir seluruh institusi sosial di kota itu.48 Pakta gencatan senjata dengan kerajaan Banû Marîn, kerajaan penerus Dinasti Muwahhidûn di Afrika Utara, serta dengan beberapa kerajaan Kristen Spanyol terutama dua kerajaan yang paling kuat saat itu yakni Castille dan Aragon adalah salah satu contohnya.49 Mulai dikenalnya sistem pendidikan dan struktur peradilan yang baru, meluasnya pengaruh guru-guru sufi melalui kegiatan tarekat, serta merebaknya corak pemikiran liberal di antara para sarjana adalah beberapa akibat yang berakar pada kebijakan politik penguasanya. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada masa ini juga cukup signifikan. Semakin ramainya perdagangan di pesisir Pantai Mediterania, perpindahan masyarakat pedesaan (rural) yang bercorak agraris ke daerah perkotaan (urban) yang ramai dengan aktivitas perniagaan, dan digunakannya logam dinar yang terbuat dari tembaga (dînâr ’ayniy), selain dinar emas dan perak, termasuk juga faktor-faktor yang ikut mempengaruhi perubahan pola hidup masyarakat Granada saat itu.50
Adanya perubahan sosial yang terjadi di Granada juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi aktivitas intelektual waktu itu. Pada masa tersebut secara hampir bersamaan muncul ulama-ulama dengan produk pemikiran yang relatif baru yang ditujukan untuk melakukan re-evaluasi, re-sistematisasi, dan penyesuaian kembali (readjustment) tradisi yang telah ada. Di Afrika Utara ada Ibn Khaldûn yang banyak membahas tentang filsafat dan sejarah, di Siria ada Ibn Taymiyyah (w. 728 H./1328 M.) yang mengkaji ulang teori-teori politik dan hukum Islam, di Persia ada al-Jîliy (w. 825 H./1424 M.) yang mensistematisasi kembali doktrin teologi Sunni, dan di Andalusia ada al-Syâthibiy yang membahas tentang filsafat dan hukum Islam.51 Hal lain yang juga perlu diperhatikan berkenaan dengan kondisi sosial kerajaan-kerajaan Islam di Andalusia, seperti dicatat oleh Muhammad Khalid Ma’sud, adalah bahwa fuqahâ’ memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan kebijakan politik para penguasanya, tidak terkecuali dalam kerajaan Banû Nashr di Granada. Ada beberapa pendapat yang mencoba untuk menjelaskan penyebab hal tersebut. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Khaldûn dan diikuti oleh Ignaz Goldziher yang menyatakan bahwa madzhab resmi kerajaan, yaitu Mâlikiyyah, serta masyarakat Spanyol Islam yang mayoritas menganut madzhab yang sama52 menyebabkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
51
Ibid., 37. Masyarakat Andalus menganut madzhab Mâlikiyyyah sejak raja mereka, Hisyâm al-Awwal ibn ‘Abdurrahmân al-Dâkhil (memerintah: 173-180 H.) menjadikan madzhab tersebut sebagai madzhab resmi negara. Menurut salah satu riwayat, kecenderungan Hisyâm al-Awwal untuk mengambil madzhab Mâlikiyyah adalah ketika dia bertanya kepada dua orang ulama, yang satu bermadzhab Hanafiyyah sedangkan yang lain bermadzhab Mâlikiyyah. Hisyâm al-Awwal saat itu bertanya: “Dari mana asalnya Abû Hanîfah itu?” Ulama Hanafiyyah menjawab: “Dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulama Mâlikiyyah: “Dari mana asal Imâm Mâlik?” Ulama Mâlikiyyah itu menjawab: “Dari Madinah”. Hisyâm lalu berkata: “Imâm yang berasal dari tempat hijrah Rasulullah SAW cukup bagi kami”. Lihat: Darusmanwiati, Op. Cit. 52
41
42
penguasa saat itu harus banyak mempertimbangkan ketentuan fiqh Mâlikiyyah. Kenyataan tersebut menjadikan fuqahâ’ Mâlikiyyah memiliki peran yang sangat besar –tidak terbatas pada masalah hukum saja namun juga politik– oleh karena mereka adalah orang-orang yang dianggap paling memahami fiqh Mâlikiyyah. Kedua, seperti dikatakan oleh Lopez Ortiz dan Hussain Monez, bahwa saat itu fuqahâ’ Mâlikiyyah dinilai memiliki otoritas yang dibutuhkan oleh penguasa Andalusia dalam memberikan legitimasi terhadap kekuasaan dan undang-undang yang mereka buat karena telah memerdekakan diri dari kekhalifahan ’Abbâsiyyah di Timur. 53 Dan Mâlik ibn Anas54, seorang tokoh sentral dalam madzhab Mâlikiyyah yang merupakan figur antagonis dalam kekhalifahan ’Abbâsiyyah dianggap sebagai pilihan yang tepat.55
53
Sebagaimana terlihat dalam sejarah perpolitikan bangsa-bangsa, seperti diungkapkan antropolog Katherine Verdery, dalam suatu pemerintahan yang otoriter, kelompok intelektual umumnya memiliki peran dan kuasa dalam suatu domain yang disebut dengan “wilayah legitimasi” (the space of legitimation), suatu domain yang secara vital berkaitan erat dengan birokrasi. Lihat: Miriam Cooke, “Performing Ibn Khaldun in Syria: The Role of The Intellectual in Troubled Times,” Indo-Islamika: Journal of Islamic Science, 1 (November, 2007), 30. Dalam amatan Lopez Ortiz dan Hussain Monez, saat itu agaknya fuqahâ’ Mâlikiyyah memainkan peranan ini. 54 Mâlik ibn Anas ibn Abî ‘Amr al-Asbâhi, pendiri madzhab Mâlikiyyah, lahir di Madinah pada 93 H./711 M. Ia tumbuh besar dan menuntut ilmu di kota kelahirannya. Wafat pada tahun 179 H./795 M. dan disemayamkan di pemakaman al-Bâqi’. Masa hidupnya bersamaan dengan transisi kekuasaan dari Dinasti ’Umayyah ke Dinasti ’Abbâsiyyah. Keluarga Mâlik bukan penduduk asli Madinah, mereka berasal dari Yaman. Guru yang paling banyak mempengaruhinya adalah Nâfi’ dan ‘Abd Allâh ibn Hurmûz. Kitab karangannya yang paling terkenal adalah al-Muwaththa’, sebuah kitab yang memuat 822 riwayat Hadits. Pada masa hidupnya Imâm Mâlik menyaksikan kedzaliman penguasa dan berbagai macam pemberontakan yang diakibatkannya. Namun demikian ia berusaha untuk tidak terlibat atau mendukung pihak manapun. Lihat: Yasin Dutton, “The Origin of Islamic Law: The Qur’an, The Muwatta’, and Madinan ‘Amal”, diterjemahkan M. Maufur, Asal Mula Hukum Islam: alQur’an, Muwatta’, dan Praktik Madinah (Cet. I; Yogyakarta: Islamika, 2003), 17-21; Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), 79. 55 Imâm Mâlik merupakan tokoh yang mengalami inkuisisi (mihnah) pada masa kekuasaan Abû Ja’far al-Manshûr (754-775 M.). Sejarawan berbeda pendapat tentang penyebab dijatuhkannya hukuman tersebut. Sebagian berpendapat bahwa hukuman tersebut dijatuhkan karena Imâm Mâlik telah memprovokasi masyarakat dengan menyatakan bahwa kesediaan mereka membaiat al-Manshûr muncul karena adanya tekanan atau paksaan (ikrâh) sehingga kekuasaannya tidak sah dan umat tidak perlu tunduk kepada pemerintahannya. Namun, sebagian sarjana lain menyatakan bahwa sebab hukuman tersebut adalah karena Imâm Mâlik mengeluarkan fatwa bahwa nikah mut’ah (pernikahan berjangka [mu’aqqah]) adalah haram, padahal Ibn ‘Abbâs (kakek buyut keluarga besar ‘Abbâsiyyah) berpendapat sebaliknya. Lihat: Ahmad al-Syarbâshiy, al-A’immat al-Arba’ah (Beirut; Dâr al-Jayl, t.th.), 87-8.
42
43
Ketiga, menurut L.E. Provencal dan Roger Idris, fuqahâ’ dan ulama merupakan elit sosial tersendiri dalam masyarakat Andalusia, atau semacam religious aristocracy di dalam strata sosial saat itu. Ketika Hakam I (memerintah: 180-206 H./796-822 M.) mencoba menekan pengaruh mereka, mereka mengadakan dua kali pemberontakan di Cordova. Pemberontakan tersebut mendapat dukungan dari masyarakat di daerah pinggiran Cordova dan bahkan sebagian elit di pemerintahan. Sekalipun pemberontakan tersebut gagal namun Hakam I terpaksa harus mengakui bahwa kelompok fuqahâ’ memang memiliki kekuatan dan pengaruh yang relatif besar dalam memobilisasi massa untuk menentangnya.56 Selain memainkan peran penting dalam administrasi politik saat itu, kewenangan fuqahâ’ dalam perkembangannya melebar hingga dapat memberikan kontrol terhadap institusi pendidikan yang ada, termasuk menentukan kebijakan yang represif terhadap gerakan rasionalisme murni dan tarekat sufi.57 Akan tetapi keadaan tersebut perlahan berubah ketika pengaruh pemikiran al-Râziy –yang karenanya pula pemikiran kalam menjadi lebih dekat dengan filsafat– meresap ke dalam pemikiran ushul fiqh Mâlikiyyah.58
56
Masud, Op. Cit., 49-50; 76. Ibid., 53. 58 Ibid., 57. Abû Bakr Muhammad ibn Zakariyyâ al-Râziy lahir di Ray, Teheran, pada tahun 863 M. Di Barat ia dikenal dengan nama Rhazez melalui buku-bukunya dalam masalah kedokteran. Karangannya yang paling terkenal membahas tentang penyakit campak dan cacar. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Pada tahun 1866, untuk yang ke-40 kalinya, buku tersebut dicetak ulang. Filsafat al-Râziy terkenal dengan ”Doktrin Lima yang Kekal”, yakni Tuhan, jiwa universal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut. Al-Râziy adalah seorang rasionalis yang percaya bahwa akal secara mandiri dapat mengetahui yang baik dan buruk. Ia juga meyakini bahwa dengan akalnya manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang Tuhan. Lihat: Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 15-8. 57
43
44
2. Latar Belakang Intelektual Imâm al-Syâthibiy Tidak jauh berbeda dengan latar belakang keluarganya, latar belakang intelektual al-Syâthibiy juga tidak terlalu banyak diketahui. Namun demikian satu hal yang pasti adalah bahwa pengembaraan intelektual telah ia jalani sejak masa mudanya. Al-Syâthibiy mengenal ilmu tata bahasa dan sastra Arab dari dua orang guru, yakni Abû ’Abd Allâh Muhammad ibn ’Ali al-Fakhkhâr al-Ibiriy (w. 754 H./ 1353 M.) yang terkenal dengan julukan Syaikh al-Nuhât (Maha Guru Para Ulama Nahwu [Tata Bahasa Arab]) di seantero Andalusia. Al-Syâthibiy menghabiskan waktunya untuk belajar kepada al-Ibiriy sampai sang guru wafat pada tahun 754 H./1353 M. Guru Bahasa Arab-nya yang kedua adalah Abû al-Qâsim al-Syarîf alSabtiy (w. 760 H./ 1358 M), seorang ketua kadi di Granada yang juga penulis syarh (l_école de l_éxegèse) kitab Maqshûrah karya Ibn Hazm al-Andalûsiy (w. 456 H./1064 M).59 Dalam bidang hukum Islam al-Syâthibiy memperdalam pengetahuannya kepada Abû Sa’îd Farj ibn Qâsim ibn Ahmad ibn Lubb di Madrasat Nashriyyah (atau al-Jâmi’ al-A’dham [?])60 mulai tahun 754 H./1353 M., tahun yang sama dengan wafatnya al-Ibiriy. Ibn Lubb adalah orang yang paling berjasa dalam mengajarkan fiqh kepada al-Syâthibiy, sekalipun dalam beberapa persoalan alSyâthibiy acapkali terlibat polemik dengannya.61
59
Masud, Op. Cit., 99-100. Madrasat Nashriyyah dan al-Jâmi’ al-A’dham adalah lembaga pendidikan terbesar di kerajaan Banû Nashr. Tidak jelas di universitas yang mana tepatnya Ibn Lubb mengajar. Ahmad Bâba al-Tanabkatiy (w. 1036 H./1626 M.), pengarang kitab Nayl al-Ibtihâj mencatat Ibn Lubb sebagai salah satu pengajar di Madrasat Nashriyyah, sementara Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân al-Syaqîr dalam pengantar kitab al-I’tishâm menyebutnya sebagai pengajar di al-Jâmi’ al-A’dham. Sebagai figur ulama yang berpengaruh dan cukup terkenal, besar kemungkinan Ibn Lubb mengajar di kedua tempat. Ibid.; alSyaqîr, Op. Cit., 30. 61 Masud, Op. Cit. 60
44
45
Guru al-Syhâtibiy yang lain adalah Abû ’Abd Allâh al-Maqqâriy, seorang ulama asal Maghribi (Maroko) yang datang ke Granada pada 757 H./1356 M. untuk suatu keperluan diplomatik kerajaan Banû Marîn yang saat itu dipimpin oleh Sultan Abû ’Inân (w. 759 H./1358 M.). Al-Maqqâriy adalah seorang kadi di kerajaan Banû Marîn yang juga memiliki kecakapan akademik di berbagai bidang. Ia bahkan dikenal sebagai al-Muhaqqiq, sebutan untuk para ahli hukum madzhab Mâlikiyyah yang memiliki otoritas dalam menerapkan prinsip-prinsip fiqh yang kulliy (universal) untuk masalah-masalah yang juz’iy (partikular).62 Al-Maqqâriy berjasa dalam mengenalkan al-Syâthibiy dengan sufisme dan pemikiran rasional secara bersamaan. Dalam bidang sufisme ia terkenal lewat karangannya yang berjudul al-Haqâ’iq wa al-Raqâ’iq fi al-Tashawwuf, di samping karena ia juga merupakan mursyîd tarekat Syâdziliyyah.63 Sedangkan dalam bidang pemikiran rasional al-Maqqâriy dikenal lewat hasil karyanya yang merupakan ringkasan dari kitab karangan Fakhr al-Dîn al-Râziy (313 H./925 M.) yang berjudul al-Muhashshal dan tulisannya yang merupakan komentar atas kitab Mukhtashar karya Ibn Hâjib (w. 646 H./1221 M.) yang memperkenalkan Razisme kepada ushul fiqh Mâlikiyyah. Dari al-Maqqâriy itu pulalah al-Syâthibiy mengenal pemikiran rasional al-Râziy, terutama dalam bidang ushul fiqh.64 Dalam bidang filsafat dan kalam (khususnya teologi Mu’tazilah) al-Syâthibiy memperdalam pengetahuannya kepada Abû ’Alî Manshûr al-Zawâwiy (w. 770 H./1369 M.) dan al-Syarîf al-Tilimsâniy (w. 765 H./1369 M.). Al-Zawâwiy adalah seorang ulama yang terkemuka dalam ilmu-ilmu Islam tradisional dan rasional yang 62
Ibid., 61. Ibid. 64 Ibid., 100. 63
45
46
datang ke Granada pada tahun 753 H./1352 M. Ibn al-Khathîb, wazir Granada saat itu,
bahkan
pernah
memberikan
penghargaan
yang
sangat
besar
atas
kecendekiawanan al-Zawâwiy. Namun demikian, al-Zawâwiy memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan penguasa saat itu, terlihat dari seringnya ia terlibat polemik dengan kadi di Granada. Sebab inilah yang pada akhirnya membuat ia tidak bisa tinggal lebih lama di Granada. Pada tahun 765 H./1363 M., genap dua belas tahun berada di Granada, ia diusir dari Andalusia.65 Dari al-Zawâwiy al-Syâthibiy mempelajari Kitâb al-Dalâil (teologi) dan alMu’tamad (ushul fiqh), dua kitab karangan Abû al-Husain al-Bashriy (w. 413 H./1012 M.); Kitâb al-Tafsîr karya Qâdli ’Abd al-Jabbâr (415 H./1023 M.); dan tafsir al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyâriy (w. 545 H./1144 M.). Dari al-Tilimsâniy alSyâthibiy mengenal filsafat Ibn Sîna (w. 438 H./1037 M.) dan Ibn Rusyd (w. 599 H./1198 M.).66 Ketertarikan al-Syâthibiy kepada ilmu ushul fiqh bermula dari penilaiannya bahwa fiqh memiliki kelemahan yang sangat serius dalam merespon tantangan perubahan sosial yang disebabkan oleh tidak memadainya aspek metodologi dan filosofi yang digunakan. Selain itu, keragaman pendapat di antara para yuris Islam dari berbagai madzhab serta dalam berbagai masalah juga cukup membingungkan alSyâthibiy. Bagi al-Syâthibiy, menggunakan prinsip murâ’ât al-khilâf (melestarikan keragaman pendapat) sebagai argumen untuk menyatakan bahwa tiap-tiap pendapat sama benarnya adalah usaha yang semakin memperumit masalah dan tidak dapat diterima. Di sisi lain al-Syâthibiy juga menilai bahwa bangunan fiqh yang ada saat
65 66
Ibid.; Haq, Op. Cit., 18-9. Masud, Op. Cit., 101.
46
47
itu telah kehilangan spirit. Sebagai konsekuensinya, fiqh yang telah mengalami formalisasi itu sama sekali tidak menampakkan aspeknya yang dinamis.67
3. Karir dan Karya Tulis Imâm al-Syâthibiy Al-Syâthibiy adalah seorang imâm dan khâthib di beberapa masjid di Granada. Selain itu ia juga seorang tenaga pengajar di madrasah dan universitas di kota yang sama. Jika melihat adanya fatwa-fatwa yang pernah ia keluarkan, besar kemungkinan ia pernah menjabat sebagai mufti kerajaan.68 Murid-muridnya yang cukup terkenal adalah Abû ’Abd Allâh al-Bayâniy, Abû Bakr ibn ’Âshim, dan saudaranya, Abû Yahyâ ibn ’Âshim. Abû Bakr ibn ’Âshim (w. 849 H./1426 M.) – kemudian populer dengan nama Ibn ’Âshim– menjadi kadi di Granada dan menulis kitab yang berjudul Tuhfat al-Hukkâm, sebuah kompilasi hukum yang menjadi pegangan para kadi kerajaan serta kitab ringkasan (mukhtashar) al-Muwâfaqât karangan al-Syâthibiy.69 Kitab-kitab karangan al-Syâthibiy terbagi menjadi dua, yakni kitab-kitab tentang tata bahasa Arab dan kitab-kitab tentang masalah hukum Islam. Kitab-kitab tersebut –baik kitab-kitab yang sampai ke tangan umat Islam saat ini maupun yang hanya diketahui melalui penelusuran literatur– antara lain: a. Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah/al-Ahkâm/al-Fiqh; b. Al-I’tishâm; c. Al-Ifâdat wa al-Insyâdah/al-Insyâ’ah;
d. Kitâb al-Majâlis, syarh bab perniagaan (al-buyû’) dalam kitab Shahîh alBukhâri; e. ’Unwân al-Ittifâq fi ’Ilm al-Istihqâq; f. Syarh al-Jalîl ’alâ al-Khulâshat fî al-Nahw, sebuah kitab komentar terhadap kitab nahwu karangan Ibn Mâlik, Alfiyyat Ibn Mâlik; g. Kitâb Ushûl al-Nahw.
Selain dalam kitab-kitab di atas pemikiran al-Syâthibiy juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab karangan sarjana lain, misalnya fatwa-fatwa yang dirumuskannya semasa menjadi mufti dapat ditemukan dalam karya Abû al-’Abbâs Ahmad alWanshârîsiy (w. 914 H./1506 M.), al-Mi’yâr al-Mughrib ’an Fatâwâ ’Ulamâ’ Ifrîqiyyat wa al-Andalus wa al-Maghrîb dan dalam karya Caisiri, Bibliotheca Arabica Hispana Escuralenisis. Di samping itu terdapat satu manuskrip yang tersimpan di Universitas Leiden Belanda tentang ilmu pengobatan yang dinisbahkan kepada al-Syâthibiy. Namun ada dugaan bahwa naskah tersebut tidak ditulis oleh alSyâthibiy, melainkan oleh muridnya yang bernama Ibn al-Khathîb.70
B. Maqâshid al-Syarî’ah (Tujuan-tujuan Syari’ah) 1. Definisi Maqâshid al-Syarî’ah dan Sekilas Perdebatan Tentangnya Imâm al-Syâthibiy tidak memberikan definisi yang eksplisit dan ketat berkenaan dengan istilah maqâshid al-syarî’ah.71 Pada berbagai tempat dalam kitab tersebut istilah maqâshid al-syarî’ah dapat dipahami dengan mengacu kepada makna
70 71
Masud, Op. Cit., 110-2; Haq, Op. Cit., 21. Lihat: Al-Syâthibiy, Op. Cit., pada juz kedua bagian al-Maqâshid.
48
49
etimologisnya saja, yakni maksud/tujuan dan sasaran syari’at (goal and objective of Islamic law). Teori
maqâshid
al-Syâthibiy
al-syarî’ah
tampaknya
merupakan
pengembangan konsep mashlahah yang telah ada sebelumnya.72 Terma maqâshid alsyarî’ah
pada
banyak
tempat
tampak
digunakan
secara
bertukar
(used
interchangeably) dengan terma mashlahah. Hal tersebut terjadi karena adanya kedekatan maksud dari masing-masing terma. Ketentuan yang ditetapkan oleh Syâri’ erat kaitannya dengan perlindungan terhadap tujuan-tujuan syari’at (maqâshid alsyarî’ah), dan tujuan syari’at yang dimaksud tidak lain adalah pemeliharaan terhadap mashlahah makhluk.73 Al-Syâthibiy mengulas tema maqâshid al-syarî’ah dalam juz dua dari kitabnya, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Ahkâm (Beberapa Konsensus dalam Dasar-dasar Hukum). Sedikitnya terdapat 286 permasalahan yang dibahas dalam bab tersebut. Jika dalam kitab dan karangan-karangan ushul fiqh pembahasan seputar maqâshid al-syarî’ah sangat ringkas dan terbatas, maka al-Syâthibiy menguraikan maqâshid al-syarî’ah secara komprehensif bahkan mencapai seperempat bagian dan membentuk inti dari kitab tersebut.74 Sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, al-Syâthibiy mengemukakan pendapat bahwa Syâri’ memiliki tujuan-tujuan (maqâshid) tertentu ketika menurunkan syari’at melalui para utusan-Nya. Tujuan-tujuan yang dimaksud adalah mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) hamba-Nya dalam kehidupan
72
Hal ini juga dapat dilihat pada beberapa tempat di bagian yang sama terutama pada sub-bagian yang membahas tentang mashlahah (kemaslahatan), seperti pada sub-bagian ke-5 hingga ke-11. Ibid., 1537. 73 Ibid., 2. 74 Lihat: Ibid., pada juz kedua bagian al-Maqâshid.
49
50
mereka, baik di alam dunia saat ini (‘âjil) maupun di alam akhirat yang akan datang (âjil).75 Pendapat al-Syâthibiy tersebut sedikit banyak bersentuhan dengan tema-tema khas ilmu kalam. Sekalipun selaras dengan pandangan kelompok Mu’tazilah dan mayoritas fuqahâ’, namun pendapat tersebut berseberangan dengan pandangan Fakhr al-Dîn al-Râziy yang menyatakan sebaliknya, yakni bahwa hukum-hukum Allah (ahkâm Allâh) –sebagaimana perbuatan-perbuatan (af’âl)-Nya– tidak lahir karena sebab apapun (laysat mu’allalat bi ’illat al-battah). Meski demikian, al-Syâthibiy yakin bahwa sekalipun al-Râziy memiliki pandangan yang berbeda dengannya, ia tidak akan membantah keabsahan metode penalaran yang digunakan oleh alSyâthibiy hingga ia sampai pada kesimpulan tersebut. Metode penalaran yang dimaksud oleh al-Syâthibiy adalah metode penalaran istiqrâ’iy (induktif). Metode penalaran istiqrâ’iy merupakan salah satu jenis metode penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan mencermati kandungan dalil-dalil juz’iy (partikular) untuk mendapatkan suatu kesimpulan kulliy (universal).76 Argumentasi al-Syâthibiy bahwa mashlahah merupakan ’illah (effective cause) atau hikmah (motive) bagi perbuatan (af’âl) Tuhan juga dibantah oleh teolog Asy’âriyyah yang –seperti halnya al-Râziy– menafikan apapun sebagai sebab bagi perbuatan-Nya. Premis yang menyatakan bahwa Tuhan menurunkan syari’at karena adanya ’illah tertentu mengandung arti bahwa Tuhan –karena pertimbangan akan adanya ’illah tersebut (yang dalam hal ini adalah mashlahah makhluk)– harus (obliged) melakukan perbuatan-Nya melalui mekanisme tertentu. Logika tersebut
75 76
Ibid., 2-3. Ibid.
50
51
sama sekali tidak dapat diterima oleh kalangan Asy’ariyyah karena menunjukkan reduksi bahkan negasi sifat kemahakuasaan (qudrah; omnipotence) Tuhan. Bagi ulama Asy’âriyyah, mashlahah lebih tepat jika ditafsirkan sebagai karunia Tuhan dan bukan ’illah atau hikmah perbuatan-Nya. Berbeda dengan Asy’âriyyah, Mu’tazilah, sekalipun setuju dengan doktrin kemahakuasaan Tuhan, namun mereka tetap bertahan dengan pendapat bahwa Tuhan memiliki keharusan untuk melakukan suatu hal dengan berdasar pada kemaslahatan makhluk.77 Silang pendapat yang juga melibatkan dua kelompok aliran kalam tersebut – Asy’âriyyah dan Mu’tazilah– dapat ditelusuri dalam tema-tema pemikiran kalam. Perdebatan antara keduanya semula hanya berkisar tentang masalah perbuatan (af’âl) Allah, namun dalam perkembangannya hal tersebut meluas hingga meliputi perintahperintah-Nya. Dengan demikian terlihat –salah satunya dari gagasan maqâshid alsyarî’ah al-Syâthibiy– bahwa perdebatan teologis dalam sejarah keilmuan tradisional Islam juga turut mempengaruhi disiplin ilmu ushul fiqh. Hal tersebut didukung pula oleh kenyataan bahwa sebagian ushûliyyûn (ulama ushul fiqh) juga merupakan mutakallimûn (ulama kalam).78
2. Landasan Epistemologis Maqâshid al-Syarî’ah Dalam merumuskan maqâshid al-syarî’ah, analisa yang digunakan oleh alSyâthibiy terhadap nas-nas syara’ secara tidak terpisahkan berkaitan dengan salah satu pembagian biner atas makna nas-nas tersebut, yakni juz’iy (partikular) dan kulliy (universal). Pada dasarnya, menurut al-Syâthibiy, setiap dalil dapat digunakan dari
77 78
Ibid.; Masud, Op. Cit., 221-2. Ibid.
51
52
sudut maknanya yang kulliy kecuali terdapat indikasi yang menunjukkan penggunaan makna juz’iy-nya secara khusus, seperti ditunjukkan dalam potongan ayat ”khâlishat lak min dûn al-mukminîn”.79 Baik dalil juz’iy maupun kulliy keduanya dapat dijadikan sebagai dasar hukum, hanya bedanya untuk dalil juz’iy terbatas pada juz’iyyah (partikularitas) yang dibicarakan oleh dalil tersebut dan bukan pada keseluruhan juz’iyyah. Dalil juz’iy bisa dinilai absah penggunaannya jika tidak mengabaikan konteks suatu juz’iyyah yang menjadi obyek pembahasan ketika dalil tersebut turun (bihasb al-nâzilat, ay wadzâlik bi adillat ayy kawn juz’iyyâtuh) dan bukan semata-mata karena alasan historisitas tasyrî’ atau legislasi hukum.80 Ketentuan yang bersifat juz’iy tidak dapat berdiri secara mandiri (mustaghniyah) tanpa memiliki landasan berupa ketentuan kulliy. Oleh karenanya, membahas suatu persoalan dengan hanya berjangkar pada ketentuan juz’iy suatu nas dan mengabaikan ketentuannya yang bersifat kulliy –atau sebaliknya– dapat berujung pada sebuah kesimpulan yang keliru. Maqâshid al-syarî’ah merupakan ketentuan kulliy yang diperoleh melalui penelitian yang mendalam terhadap ketentuanketentuan juz’iy yang terdapat dalam nas syara’ serta menggunakan metode 79
Potongan ayat tersebut terdapat dalam Surat al-Ahzab ayat 50 berikut ini:
N $, ;A% > N $, ;% > N $, ;"&> F % ;$" . `)& 9 % 0 `"a F A% ; T ; $&&* % % $% 7. . 9 ; ! D 7 )$AB. $% 0 $% & 7B# ` !$ b J ; A% ;a1 D N $, ; D "*0 0 #c / P * ;"&> ). I") <7 . `)& <7 T <7"&> $ $ &> 3 9"$ b “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 80 Al-Syâthibiy, Op. Cit., 27-8.
52
53
penalaran istiqrâ’iy. Metode tersebut dipilih oleh al-Syâthibiy karena maqâshid alsyarî’ah –sebagai suatu ketentuan kulliy dan sebab wujudnya yang tersirat dan tersebar dalam berbagai ketentuan juz’iy– tidak dapat diketahui secara pasti tanpa terlebih dahulu mencermati sekaligus memahami kandungan dari dalil-dalil yang bersifat juz’iy. Ketentuan yang bersifat kulliy tidak mewujud secara tersurat (laysa bi maujûd fi al-khârij), namun terkandung (mudlamman) di dalam nas.81 Dalam al-Muwafâqât, al-Syâthibiy memberikan contoh bahwa dari beberapa ayat yang menguraikan tentang ketentuan-ketentuan juz’iy berikut ini bisa diketahui bahwa masing-masing ayat menyiratkan titik temu dan kesamaan visi. Ayat-ayat tersebut antara lain: 1) Surat al-Mulk ayat 2:
I > 9B* <).%
N
:&D 25%
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” 2) Surat al-Ma’idah ayat 6: