BAB II JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Sebelum penulis mengemukakan pengertian jual beli secara luas, maka terlebih dahulu akan penulis kemukakan pengertian jual beli secara etimologis. Dalam beberapa kitab fikih, kata jual beli biasanya disebut dengan bentuk jama’ (
) buyu’. Hal ini didasarkan karena pada dataran realitas
jual beli tidak hanya terdiri atas satu macam saja melainkan bermacammacam. Adapun mufrad dari lafad buyu’ adalah yang dalam kamus bahasa arab diartikan menjual.1 Pada tempat yang lain kata jual beli disebut dengan istilah bai’ dan asy-syara, sebagaimana dikemukakan oleh Syeikh Abi Zakariyya Al Anshari dalam Fathul Wahab sebagai berikut :
2
Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnahnya menjelaskan bahwa secara lughawi jual beli diartikan dengan saling menukar (pertukaran). Dan kata al-bai’ (jual) dan asy-syira’ (beli) dipergunakan dalam pengertian yang sama, menurutnya kedua kata ini masing-masing mempunyai makna dua, yang pengertiannya saling bertolak belakang.3 Argumentasi sebagaimana
1
Prof. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penafsiran Al-Qur’an, tt, hlm. 75. 2 Abi Yahya Zakariyya Al Anshari, Fathul Wahab, Juz I, tt, Darul Ihya’ wal Kitab al ‘Arabiyyah, hlm. 157. 3 Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah, Jilid III, Beirut, Libanon : Darul Fikr, 1992, hlm.126.
penulis deskripsikan di atas nampaknya mereka dasarkan pada Firman Allah SWT :
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka ….” (QS. At-Taubah : 111)4 Demikian juga didasar kan pada Firman Allah SWT :
Artinya : “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mendapat petunjuk”. (QS. Al Baqarah : 16)5 Kalau kita coba cermati dari ayat tersebut di atas tampak jelas lafaz “asysyira” mempunyai pengertian membeli, namun demikian sebagaimana penulis kemukakan di atas bahwa lafaz ini adalah merupakan lafad musytaraq yang mempunyai banyak arti. Hal ini dapat kita lihat pada salah satu Firman Allah SWT. di mana lafaz Asy-Syira di situ mempunyai pengertian menjual :
Artinya : “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yakni beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf”. (QS. Yusuf : 20).6
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : C.V. Toha Putra, 1989, hlm. 299. 5 Ibid, hlm. 10. 6 Ibid, hlm. 351.
16
Pemahaman
atas
pengertian
semacam
ini
juga
sebagaimana
diungkapkan oleh Imam Taqyuddin dalam buah karyanya Kifayatul Akhyar dimana beliau memberikan definisi jual beli sebagai berikut : 7
Artinya : “Memberikan sesuatu untuk ditukar dengan sesuatu yang lain”. Syeikh Muhammad Syarbini memberikan batasan jual beli secara lughah yakni sebagai berikut : 8
Artinya : “Menukar sesuatu dengan sesuau yang lain”. Adapun pengertian jual beli secara istilah atau terminologi sebagaimana dikemukakan oleh para fuqaha adalah sebagai berikut : 1. Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan’ani memberikan batasan : 9
Artinya : “Suatu pemilikan harta dengan harta yang lain atas dasar saling rela”. 2. Imam Taqyuddin memberikan pengertian :
10
Artinya : “Pemberian harta karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan menjawab penerimaan dengan cara yang diizinkan”. 3. Sayyid Sabiq :
7
Imam Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz I, Bandung : Al-Ma’arif, tth, hlm. 239 Syiekh Muhammad Syarbini Al-Khatib, Al-Iqna’, Juz II, Beirut, Libanon : DarulKitab Al-Ilmiyyah, 1994, hlm. 2. 9 Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani, Subulus-Salam, Juz III, Beirut, Libanon : Darul-Kitab Al-Ilmiyyah, tt, hlm. 3. 10 Imam Taqyuddin, loc. cit. 8
17
11
Artinya : “Tukar-menukar harta dengan harta yang lain dengan jalan saling rela atau pemindahan hak milik dengan sesuatu ganti atas dasar kerelaan.” Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jual beli adalah suatu proses di mana seseorang penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli (orang lain) setelah mendapatkan persetujuan mengenai barang tersebut, yang kemudian barang tersebut diterima oleh si pembeli dari si penjual sebagai imbalan uang yang diserahkan. Dengan demikian secara otomatis pada proses di mana transaksi jual beli berlangsung, telah melibatkan dua pihak, di mana pihak yang satu menyerahkan uang (harga) sebagai pembayaran barang yang diterimanya dan pihak yang lain menyerahkan barangnya sebagai ganti dari uang yang telah diterimanya, dan proses tersebut dilakukan atas dasar rela sama rela antara kedua pihak, artinya tidak ada unsur keterpaksaan atau pemaksaan pada keduanya, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah engkau memakan harta sesamamu dengan cara batal, melainkan dengan cara perdagangan (jual beli) yang rela merelakan diantara sesamamu……”(QS. An-Nisa’ : 29) 12
11 12
Sayyid Sabiq, loc. cit. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 122
18
B. Lndasan Hukum Jual Beli Pada prinsipnya hukum jual beli dalam Islam adalah halal. Adapun prinsip hukum ini sebagaimana ditegaskan di dalam himpunan firman-firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan dijadikan konstitusi dasar yang abadi serta mengemukakan kaidah-kaidah kulliyah yang mendasar dan mempunyai daya nalar sepanjang zaman juga mampu ditetapkan dalam setiap suasana di lingkungan masyarakat yakni Al-Qur’an. Adapun ayat yang secara spesifik ke dalam permasalahan jual beli adalah antara lain Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. (QS. Al-Baqarah : 275)13 Pada ayat lain ditegaskan :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu”. (QS. An-Nisa’ : 29)14 Demikian juga ditegaskan dalam Sunnah Rasulullah sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Rif’ah bin Rafi’ ia mewartakan :
15
13
Ibid, hlm. 69. Ibid, hlm. 122. 15 Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani, op. cit..hlm. 4 14
19
Artinya : “Diriwayatkan dari Rif’ah Ibnu Rafi’ bahwa Rasulullah SAW. ditanya : Mata pencaharian apakah yang paling baik ? Rasulullah SAW menjawab : “Seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih”. (H.R. AlBazar) Dalam para itu para ulama telah sepakat melalui hasil kolaborasinya mengenai kebolehan jual beli sebagai aktifitas yang pernah dipraktekkan sejak zaman Nabi hingga masa kini, bahkan dalam rangka menggalakkan jual beli Rasul memberikan suatu support melalui Hadisnya :
16
Artinya :
“Dari Abi Said, Nabi SAW. bersabda : Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama para Nabi, orang yang benar dan para syuhada”. (H.R. Turmuzi dan Hakim)
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat penulis tarik sebuah kesimpulan, bahwa keterangan tersebut mengungkapkan kepada kita bahwa pada prinsipnya jual beli bukan saja halal melainkan juga mulia, apabila dilakukan dengan jujur dan benar berdasarkan prinsip-prinsip agama. C. Rukun Dan Syarat sahnya Jual Beli Setiap aktifitas apapun namanya baik yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah dikatakan sah, apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Hal ini sebagaimana dikatakan Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Dr. Fathurrahman : “Setiap sesuatu yang telah ditetapkan oleh syara’ akan adanya beberapa persyaratan maka ia tidak akan berwujud jika tidak ada
16
Imam Turmuzi, Sunan Turmuzi, Juz II, Semarang : Maktabah Toha Putra, tth, hlm.
341
20
syarat-syarat tersebut, sebagaimana tidak akan berwujud jika tidak terwujud rukun-rukunnya”.17 Pernyataan senada sebagaimana dikemukakan Abdul Wahab Khallaf sebagai berikut :
18
Dari beberapa pernyataan para pakar tersebut di atas, maka menurut penulis pada prinsipnya jual beli dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun dari jual beli itu sendiri. Adapun yang menjadi syarat dan rukun dari jual beli adalah sebagaimana dikemukakan para fuqaha sebagai berikut : 1. Adanya Sighat (aqad) dari dua belah pihak, yakni perikatan atau kesepakatan pemilikan yang diperoleh melalui transaksi jual beli, tukarmenukar barang, hibah dan sebagainya.19 Sedangkan pengertian aqad menurut fuqaha adalah :
20
Artinya
: “Perikatan adalah ijab dan qabul (serah terima) menurut bentuk yang disyari’atkan agama, nampak bekasnya pada yang diaqadkan itu”.
17
Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Prof. Dr. Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam, Bandung : Al-Ma’arif, Cet. ke-2, 1992, hlm. 71. 18 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, tt, Darul Qalam, tth, hlm. 119 19 Dr. H. Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung : Diponegoro, Cet. ke-2, 1992, hlm. 71. 20 Ibid.,
21
Dalam hal yang berkaitan dengan aqad atau ijab qabul menurut para fuqaha terjadi perselisihan pendapat, yang pada garis besarnya dapat digolomgkan menjadi tiga golongan, yakni : a. Pendapat pertama mengatakan tidak sah akad kecuali dengan sighat yakni suatu bentuk perakadan yang diucapkan oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Menurut golongan ini bagi orang yang terhalang melakukan ijab qabul dengan sighat, misalnya orang tersebut bisu maka dapat pula melakukannya dengan isyarat atau melalui katabah.21 Dapat pula dilakukan dengan cara lain yaitu dengan kinayah, sebagaimana dikemukakan oleh Abi Yahya Zakariyya al Anshari : 22
Adapun kinayah sebagaimana dimaksud disini adalah sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Al Jaziri sebagai berikut : 23
Prinsip ini dipegang oleh Asy-Syafi’i pada lahirnya dan suatu pendapat dari mazhab Hambali, karena menurutnya asal uqud ialah Taradli sebagaimana difirmankan Allah SWT :
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta sesama kalian dengan batil kecuali atas dasar 21
Ibid. Abi Yahya Zakariyya Al-Anshari, loc. cit 23 Abdur-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Ala Al-Mazahibil ‘Arba’ah, Juz II, Beirut, Libanon : Darul Kitab Al-Ilmiyyah, tth, hlm. 143 22
22
perdagangan dengan ridla diantara kalian…… ”.(QS. AnNisa : 29) 24 b. Pendapat kedua mengatakan bahwa akad itu sah dilakukan dengan perbuatan bagi hal-hal yang biasanya dilakukn dengan perbuatan jual beli. Prinsip ini merupakan pegangan dasar Abu Hanifah, juga merupakan suatu pendapat Mazhab Ahmad dan Syafi’i.25 c. Pendapat ketiga mengatakan, akad itu sah dilakukan dengan cara apa saja asal menunjukkan kepada maksudnya baik perkataan maupun perbuatan. Prinsip ini di pegangi oleh Imam Malik dan Mazhab Ahmad pada lahirnya.26 Dengan menilik pada beberapa pendapat golongan-golongan tersebut di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa pada prinsipnya akad jual beli dapat dilakukan dalam segala macam pernyataan, asalkan dapat dipahami maksudnya oleh kedua belah pihak yang melakukan aqad, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun isyarat bagi yang bisu atau berupa tulisan bagi yang jauh, bisa juga dapat dilakukan melalui kinayah. Adapun dengan syarat yang harus dipenuhi pada saat ijab qabul dilangsunglan antara lain : a. Satu sama lain berhubungan dalam satu tempat tanpa pemisahan yang merusak.
24
Departemen Agama RI, loc. cit. Dr. H. Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 73 26 Ibid . 25
23
b. Ada kesepakatan antara ijab dan qabul pada barang, berupa barang yang dijual dan harga barang, jika keduanya tidak sepakat maka jual beli tersebut tidak sah. c. Ungkapan harus menunjukkan masa lalu sebagaimana yang berlaku, seperti perkataan penjual : “Aku telah menjual” atau kalimat itu menunjukkan masa sekarang, jika yang diinginkan waktu itu juga, dan jika yang diinginkan masa yang akan datang dan yang semisalnya, maka hal itu merupakan janji untuk aqad, janji berakad itu tidak merupakan akad yang sah.27 2. Adanya Akid (orang yang melakukan akad) Termasuk rukun jual beli adalah adanya akid, dalam hal ini yang dimaksud adalah penjual dan pembeli atau dengan bahasa lain jual beli tidak akan terlaksana kalau tidak ada keduanya. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh akid antara lain : a. Hendaknya orang yang melakukan transaksi tersebut sudah mumayyiz yakni dapat membedakan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.Dengan demikian tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak yang belum mumayyiz. b. Hendaknya dilakukan oleh orang yang berakal atau tidak hilang kesadarannya, karena hanya orang yang sadar dan berakallah yang sanggup melngsungkan transaksi jual beli secara sempurna, ia mampu
27
Sayyid Sabiq, op. cit., Jilid III,. hlm.128
24
berfikir logis. Oleh karena itu anak kecil yang belum tahu apa-apa dan orang gila tidak dibenarkan melakukan transaksi jual beli tanpa pengawasan dari walinya, dikarenakan akan menimbulkan berbagai kesulitan dam akibat-akibat buruk seperti penipuan dan sebagainya. c. Hendaknya transaksi ini didasarkan pada prinsip-prinsip taradli, yang di dalamnya tersirat makna muhtar, yakni bebas melakukan transaksi jual beli dan terbebas dari paksaan dan tekanan. Prinsip ini menjadi pegangan para fuqaha, dengan mengambil sandaran dari Firman Allah:
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa’ : 29)28 3. Adanya Ma’qud ‘alaih yaitu barang yang dijadikan obyek dari jual beli itu sendiri. Sebelum penulis simpulkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pada saat jual beli dilangsungkan, maka tidak ada salahnya penulis kemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pada saat transaksi dilangsungkan, sehingga jual beli tersebut dinyatakan sah dan boleh menurut syara’ a. Manurut golongan Syafi’iyyah syarat barang yang sah di transaksikan harus : 1. Suci bendanya
28
Departemen Agama RI, loc. cit.
25
2. Memberikan nilai manfaat 3. Dapat diserah terimakan barangnya 4. Barang yang akan diserah terimakan ada dalam kekuasaan si penjual 5. Barang tersebut jelas sifat, zat dan ukurannya.29 b. Menurut Hanafiyah : 1. Barangnya berwujud 2. Barang tersebut milik si penjual atau mendapat kuasa dari si pemilik 3. Barang berhubungan dengan milik 4. Barang tersebut harus berguna menurut syara’ 5. Barang tersebut dapat diserahkan oleh si penjual 30 c. Menurut Malikiyah : 1. Suci bendanya 2. Bermanfaat menurut syara’ tidak sah menjual alat-alat perjudian 3. Tidak terlarang diperjual belikan 4. Barangnya dapat diserahkan 5. Barang dan harganya jelas bagi keduanya baik sifat, zat maupun ukurannya.31 d. Hanabilah berpendapat: “Barang yang sah diperjual belikan harus memenuhi syarat” :
29
Abdur-Rahman Al-Jaziri, op. cit.,Juz II, hlm. 150. Ibid., hlm. 151 31 Ibid., hlm. 153. 30
26
1. Berguna dan halal 2. Barang tersebut mutlak menjadi miliknya 3. Dapat diserahkan 4. Barang dan harganya harus jelas bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi.32 Sedangkan Sayyid Sabiq menambahkan dari syarat-syarat yang sudah ada sehingga menjadi enam,33 yakni : 1. Suci zatnya 2. Bermanfaat 3. Milik penjual 4. Barang dapat diserahkan 5. Barang dan harganya diketahui 6. Barangnya terpegang Adapun yang dijadikan sandaran oleh para ulama tentang persyaratan-persyaratan tersebut, hampir semuanya disandarkan pada AlQur’an dan Hadis Rasul seperti : tentang harus suci barangnya, mereka sandarkan pada hadis :
34
Artinya : “Dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang dari jual beli barang najis”. (H.R. Muslim)
32
Ibid. Sayyid Sabiq, op. cit., Jilid III, hlm. 129. 34 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, tt, Darul Fikr, tth, hlm. 5 33
27
Dengan demikian memperjualbelikan bangkai, darah, khamer, dan sebagainya yang dikategorikan najis adalah tidak boleh, sedangkan persyaratan barang tersebut harus manfaat, adalah pertimbangan sisi pendayagunaan dari barang tersebut sehingga tidak tergolong ke dalam kategori menyia-nyiakan harta atau pemubadiran, sebab terhadap yang demikian Allah SWT. telah melarang dengan tegas sebagaimana FirmanNya :
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menyia-nyiakan harta itu adalah saudara setan dan setan adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra : 27) 35 Adapun yang menjadi alasan bahwa barang yang diperjualbelikan harus milik sendiri atau mandapatkan kuasa dari pemiliknya untuk menjualkan, didasarkan pada kaidah “Tidak boleh memakan harta dengan jalan batil”. Sedangkan menurut pendapat Dr. Hamzah Ya’qub, ketidakbolehan menjualbelikan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya, hal itu merupakan perbuatan batil yang dapat dituntut oleh pemilik36. Pada sisi lain perbuatan menjual milik orang lain dapat pula dikategorikan mermpas milik orang lain, padahal merampas milik orang lain menurut Dr. Muhammad Yahya dan Dr. Fathurrahman adalah manjadikan sebab terlarangnya perbuatan tersebut.37 Menurut penulis selain alasan yang telah disebutkan, hal itu akan membuka peluang timbulnya mafsadat jika 35
Departemen Agama RI, op. cit., hlm 428 Dr. H. Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 90 37 Dr. Muhtar Yahya, Dr. Fathurrahman, op.cit., hlm. 214 36
28
tidak mendapatkan restu dari si pemiliknya, padahal sebagaimana kita sama maklum bahwa menolak suatu kerusakan adalah lebih baik daripada mengambil nilai manfaatnya, sebagaimana ditandaskan dalam kaidah usuliyyah : 38
Artinya :“Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil nilai manfaat”. Dengan demikian menjual milik orang lain atau membeli untuk orang lain tanpa penguasaan adalah tidak sah hukumnya. Adapun alasan para ulama menjadikan dapat diserah terimakannya barang dalam transaksi jual beli adalah berkaitan dengan ketentuan tidak bolehnya barang gharar (kesamaran atau ketidakpastian) yang bisa menimbulkan kerumitan dan mengundang persengketaan di kemudian hari. Larangan jual beli gharar adalah sebagaimana ditegaskan melalui Hadis Nabi:
39
Artinya : “Dari Abi Hurairah berkata Rasulullah Saw. melarang jual beli kerikil dan jual beli yang ada unsur menipu”. (HR. Muslim) Dengan demikian barang yang tidak dapat dihadirkan dalam majlis transaksi agar penual menerangkan sejelas-jelasnya sehingga dapat dialihkan ke dalam sistem khiyar. Sedangkan dalil yang dijadikan alasan
38 39
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Jakarta : Sa’diyyah Putra, tth., hlm. 33 Imam Muslim, Jilid II, op. cit., hlm. 4.
29
tentang disyari’atkannya barang yang akan diperjual belikan harus di tangan adalah sebagaimana Hadis :
40
Artinya : “Dari Ibnu Abbas Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Barang siapa menjual makanan, maka tidak boleh membelinya sehingga ia menerima barang tersebut”. (HR. Muslim) D. Jual Beli Yang Dilarang Sebagai refleksi dari prinsip ta’awun yang dilakukan oleh umat manusia, jual beli mengambil bagian yang tidak kalah pentingnya dengan bentuk tolong-menolong yang lain. Jual beli sebagaimana penulis kemukakan di atas harus memenuhi beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga jual beli tersebut sah secara syar’i, akan tetapi yang perlu penulis tegaskan tidak semua jual beli yang sudah memenuhi syarat dan rukun lantas dilaksanakan, tetapi sebaliknya justru dilarang oleh syari’at. Adapun larangan syara’ dalam perdagangan pada garis besarnya dapat penulis klasifikasikan menjadi dua komponen. Komponen yang Pertama, meliputi barang atau zat yang terlarang diperjualbelikan, dan yang termasuk kategori ini telah tegas dan jelas keharamannya sebagaimana dijelaskan dalam ayat :
40
Ibid, hlm. 9
30
Artinya : ” Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, babi dan apa saja yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, tetapi barang siapa terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An- Nahl : 115)41 Sedangkan dalam Hadis Nabi dijelaskan :
42
Artinya : “Dari Jabir bin Abdillah r.a.: Sesungguhnya dia telah mendengar apa yang telah dikatakan oleh Rasul SAW. Pada waktu tahun terbukanya Makkah : “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan khamer, jual beli arak, bangkai, babi dan patung, kemudian seseorang menanyakan dengan lemak bangkai yang digunakan untuk melabur perahu, meminyaki kulit-kulit dan lampu-lampu penerang. Nabi bersabda : Tidak boleh, yang demikian itu haram. Allah mengutuk orang-orang Yahudi, karena sesungguhnya Allah SWT. telah mengharamkan lemaklemak bangkai itu kepada mereka, tetapi mereka mengolahnya dan menjualbelikannya lalu memakan hasil penjualannya”. (HR. Bukhari ) Dengan demikian menjual barang berupa jual beli babi, minuman keras, berhala/patung yang disembah, alat-alat maksiat dan barang yang masih samar adalah haram hukumnya, sebagaimana ditegaskan dalam hadis tersebut di atas. Hal lain yang perlu penulis kemukakan di sini adalah, ketidakbolehan
41
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 419. Imam Bukhari, Shahih Bukhari Masykul, Jilid II, Indonesia : Darul Ihya’ Kitabil ‘Arabiyyah, tth, hlm.29 42
31
terhadap sesuatu tersebut adalah haram juga untuk memperjualbelikannya sebagaimana Hadis Nabi SAW. :
43
Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a. Rasulullah SAW. bersabda : Sesungguhnya apabila Allah mengharamkan sesuatu maka Ia mengharamkan pula atas harganya”. (H.R. Abu Daud) Lebih tegas lagi keharaman memberikan harga (jual beli) sesuatu yang diharamkan Allah seperti khamer, bangkai dan khinzir adalah sebagaimana digambarkan dalam Hadis :
44
Artinya : “Dari Abi Hurairah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda : “ Sesungguhnya Allah mengharamkan khamer dan menjualbelikannya, mengharamkan bangkai dan menjualbelikannya, serta mengharamkan babi dan menjualbelikannya”. (H.R. Abi Daud) Dari beberapa dalil yang penulis kemukakan baik yang bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadis, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada prinsipnya sesuatu yang apabila haram dimakan, maka haram pula diperjualbelikannya. Dan apabila halal untuk dimanfaatkan menurut syara’ maka halal pula diperjualbelikannya, selama maksud penjualannya tetap pada jalan yang halal. Menurut Hamzah Yaqub, larangan Nabi menjual
43
Imam Abi Daud,, Sunan Abi Daud, Juz II, Beirut-Libanon : Darul Kitab Al Ilmiyyah, tt, hlm. 280 44 Ibid.
32
bangkai dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud adalah larangan untuk keperluan dimakan.45 Selain yang penulis sebutkan di atas menurut para ulama masih terdapat jual beli yang diharamkan yakni jual beli buah-buahan yang nyatanyata tidak ada manfaatnya, serta jual beli sesuatu yang masih samar seperti masih dalam perut, belum dalam pegangan dan sebagainya yang sekiranya memberikan peluang besar bagi tumbuh atau berkembangnya madharat yang lebih besar. Sedangkan komponen yang Kedua, yakni meliputi segala usaha atau obyek jual beli yang terlarang, seperti usaha pelacuran, perjudian, pertenungan, pengangkutan barang-barang haram dan sebagainya, yang pada akhirnya akan berlawanan dengan Syari’at Islam. Dan komponen yang terakhir adalah komponen larangan syara’ dalam perdagangan yang ditekankan pada sisi cara jual beli itu sendiri, seperti terjadinya persaingan sesama muslim, jual beli yang banyak menggunakan sumpah, menjagal kawan sendiri, penimbunan barang dan sebagainya. Sehingga akhirnya sampailah pada kesimpulan bahwa pada dasarya jual beli itu halal, kecuali jika di dalamnya terdapat beberapa anasir yang menjadikan haramnya jual beli itu sendiri, baik karena secara nyata-nyata barang itu diharamkan menurut syari’ maupun karena prosesnya. Hal ini sebagaimana pendapat Sulaiman Rasyid, : “…Bahwa binatang itu ada yang diharamkan karena nash Al-Qur’an, ada yang haram karena kita dilarang membunuhnya dan ada pula yang haram
45
Dr. H. Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 115.
33
karena kotor dan keji…”.46 Atau dapat penulis bahasakan bahwa keharaman dalam jual beli disebabkan bukan hanya karena satu aspek saja melainkan dapat dilihat dari berbagai aspek.
46
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Terj., Jakarta : Ath-Thahiriyyah, 1996, hlm. 440-
441.
34