BAB II HUKUM JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli Sebelum penulis mengemukakan jual beli secara luas maka terlebih dahulu penulis akan mengemukakan jual beli secara etimologi. Dalam kitab fikih, kata jual beli biasanya disebut dengan bentuk jama’ ( ﺒﻴﻭﻉbuyu’). Buyu’ berasal dari mufrad ﺒﻴﻊmerupakan bentuk masdar dari masing-masing fi’il madhi ﺒﺎﻉ – ﻴﺒﻴﻊ – ﺒﻴﻌﺎyang mempunyai arti menjual.1 Ada juga yang mengartikan ﺒﻴﻊberarti saling menukar harta sesuatu dengan sesuatu yang lain.2 Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah, menjelaskan bahwa secara lughowi jual beli diartikan dengan saling menukar (pertukaran), kata ﺒﻴﻊyang berarti menjual dan ﺍﻟﺸﺭﺍﺀberarti membeli dipergunakan dalam arti yang sama.3 Pemahaman atas pengertian semacam ini juga diungkapkan oleh Zakariyya al-Anshory dalam Kitab Fathul Wahhab dimana beliau memberikan definisi jual beli secara lughowi sebagai berikut:
1
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Ponpes Al Munawwir, 1984, hlm. 134 2
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 293 3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Kuwait: Darul Bayan, Juz 12, hlm. 45
10
11
4
ﻫﻮ ﻟﻐﺔ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﺷﻴﺊ ﺑﺸﻴﺊ
Artinya: “Dia (jual beli) menurut arti bahasa adalah menghadapkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Abbas Al Maliky dalam Kitab Nail Al Maraam Syarh Umrah al Ahkam memberikan pengertian jual beli secara lughawi, yaitu sebagai berikut: 5
ﻫﻮ ﻟﻐﺔ ﻣﻄﻠﻖ ﺍﳌﺒﺎﺩﻟﺔ
Artinya: “Dia (jual beli) menurut bahasa adalah pergantian secara mutlak”. Adapun
pengertian
jual
beli
secara
istilah/terminologi,
sebagaimana dikemukakan oleh para Fuqaha adalah sebagai berikut: 1. Imam Zakariyya Al-Anshory, memberikan pengertian jual beli sebagai berikut: 6
ﻣﺒﺎﺩﻟﺔ ﻣﺎﻝ ﲟﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﳐﺼﻮﺹ
Artinya: “Secara syara’ (jual beli) adalah suatu pertukaran harta dengan harta (yang lain) melalui cara tertentu” 2. Jual beli secara syara’ menurut Abbas Al Maliky dalam kitabnya Nail Al Maraam adalah: 7
ﻣﺒﺎﺩﻟﺔ ﺍﳌﺎﻝ ﺑﺎﳌﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﺘﺮﺍﺿﻰ
Artinya: “Secara syara’ (jual beli) adalah pertukaran harta dengan harta (yang lain) dengan jalan saling ridho”
4
Zakariyya al-Anshory, Fathu Al Wahhab bi Syarh Manhaj Ath Thullab, Semarang: CV. Toha Putra, Semarang, Juz I, hlm. 157 5
Abbas Al Maliky, Nail Al-Maraam Syarh Umdah Al-Ahkam, Makkah Asy-Syabiikah: CV. Al-Iqtishaad, Cet. IV, Juz II, hlm. 4 6
Fathu Al Wahhab, op.cit., hlm. 157
7
Nail Al Maraam Syarh, op.cit., hlm. 4
12 Ungkapan senada juga terdapat dalam Kitab Al Fatawa Al Hindiyah walaupun diungkapkan dengan lafadz yang sedikit berbeda tetapi maksudnya sama: 8
ﺍﻣﺎ ﺗﻌﺮﻳﻔﻪ ﻓﻤﺒﺎﺩﻟﺔ ﺍﳌﺎﻝ ﺑﺎﳌﺎﻝ ﺑﺎﻟﺘﺮﺿﻰ
Artinya: “Mengganti harta dengan harta dengan saling ridho”. 3. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa jual beli adalah:
ﻣﺒﺎﺩﻟﺔ ﻣﺎﻝ ﲟﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﺘﺮﺍﺿﻰ ﺍﻭ ﻧﻘﻞ ﻣﻠﻚ ﺑﻌﻮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺟﻪ 9 ﺍﳌﺄﺫﻭﻥ ﻓﻴﻪ Artinya: “Pertukaran harta dengan harta yang lain dengan jalan saling rela atau pemindahan hak milik dengan sesuatu penggantian atas dasar saling kerelaan” Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jual beli adalah pertukaran suatu macam harta tertentu dengan jenis harta lain secara seimbang menurut nilainya, disertai akad yang mengarah pada pemilikan hak milik terhadap masingmasing harta itu dengan asas saling ridho/rela sesuai dengan aturan dan ketentuan hukum.
B. Dasar Hukum Jual Beli Pada prinsipnya berusaha dan berikhtiar mencari rizki adalah wajib. Namun agama tidaklah mewajibkan memilih satu bidang usaha
8
Hammam Maulana, Al-Fatawa Al-Hindiyyah Fi Madzhab Al Imam Al-A’dham Abi Hanifah an-Nu’maan, Lebanon: Dar al-Fikr, 1991, Juz III, hlm. 2 9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, loc.cit., hlm. 45
13 dan pekerjaan. Setiap orang dapat memilih usaha dan pekerjaan sesuai dengan bakat dan ketrampilan masing-masing. Salah satu usaha yang boleh dipilih adalah berdagang. Pada prinsipnya jual beli dalam Islam hukumnya adalah halal. Prinsip hukum itu ditegaskan dalam Al Qur’an, Hadits dan Ijma’ ulama, diantaranya: 1. Al Qur’an a. Surat Al Baqarah ayat 275 10
ﺇِﻧﱠﻤَﺎ ﺍﻟﹾﺒَﻴْﻊُ ﻣِﺜﹾﻞﹸ ﺍﻟﺮﱢﺑَﺎ ﻭَﺃﹶﺣَﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﺍﻟﹾﺒَﻴْﻊَ ﻭَﺣَﺮﱠﻡَ ﺍﻟﺮﱢﺑَﺎ
Artinya: “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” b. Surat An-Nisa ayat 29
ﻳَﺎﺃﹶﻳﱡﻬَﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻻﹶ ﺗَﺄﹾﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﺃﹶﻣْﻮَﺍﻟﹶﻜﹸﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻜﹸﻢْ ﺑِﺎﻟﹾﺒَﺎﻃِﻞِ ﺇِﻻﱠ ﺃﹶﻥﹾ ﺗَﻜﹸﻮﻥﹶ 11
ْﺗِﺠَﺎﺭَﺓﹰ ﻋَﻦْ ﺗَﺮَﺍﺽٍ ﻣِﻨْﻜﹸﻢ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan, yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” c. Surat Al Baqarah ayat 282:
10
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al Qur’an, Pelita IV, 1984/1985, hlm. 69 11
Ibid., hlm. 122
14
12
ُﻰ ﻓﹶﺎﻛﹾﺘُﺒُﻮﻩﻳَﺎﺃﹶﻳﱡﻬَﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫﹶﺍ ﺗَﺪَﺍﻳَﻨْﺘُﻢْ ﺑِﺪَﻳْﻦٍ ﺇِﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟَﻞٍ ﻣُﺴَﻤ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” Dari beberapa firman Allah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dan kita diharamkan untuk mencari harta dengan cara yang bathil seperti menipu, mencuri, riba atau dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Allah. Jika kita bermuamalah secara kredit, pesan barang dan sejenisnya hendaklah menuliskannya.
2. Al Hadits a. Sebuah hadits yang ditakhrij oleh Bukhari:
ﺲ َﻋ ْﻦ ﹶﺛ ْﻮ ٍﺭ َﻋ ْﻦ ﺧَﺎِﻟ ِﺪ ْﺑ ِﻦ َ َُﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ِﺇْﺑﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ْﺑ ُﻦ ﻣُﻮﺳَﻰ ﹶﺃ ْﺧَﺒ َﺮﻧَﺎ ﻋِﻴﺴَﻰ ْﺑ ُﻦ ﻳُﻮﻧ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َ ﺿ َﻲ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋْﻨﻪُ َﻋ ْﻦ َﺭﺳُﻮ ِﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ِ َﻣ ْﻌﺪَﺍ ﹶﻥ َﻋ ْﻦ ﺍﹾﻟ ِﻤ ﹾﻘﺪَﺍ ِﻡ َﺭ ﻣَﺎ ﹶﺃ ﹶﻛ ﹶﻞ ﹶﺃ َﺣ ٌﺪ ﹶﻃﻌَﺎﻣًﺎ ﹶﻗﻂﱡ َﺧْﻴﺮًﺍ ِﻣ ْﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ َﻳ ﹾﺄﻛﹸ ﹶﻞ ِﻣ ْﻦ َﻋ َﻤ ِﻞ َﻳ ِﺪ ِﻩ َﻭِﺇﻥﱠ َﻧِﺒ ﱠﻲ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺩَﺍﻭُ َﺩ 13
(ﺴﻼﹶﻡ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ َﻳ ﹾﺄﻛﹸﻞﹸ ِﻣ ْﻦ َﻋ َﻤ ِﻞ َﻳ ِﺪ ِﻩ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ ﺍﻟ ﱠ
Artinya: “Abdullah bin Sa’id menceritakan kepada kami dari Isa bin Yunus dari Ysaur dari Kholid bin Ma’dan dari Miqdam r.a. dari Rasulullah saw telah bersabda: Tidaklah seseorang makan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud as makan dari hasil pekerjaannya sendiri” (HR. Bukhari)
12 13
Ibid., hlm. 70
Abdullah Muhammad Ibnu Ismail Al Bukhori, Matan Masykul Al Bukhori, Juz III, Beirut: Dar al Fikri, Lebanon, 1994, hlm. 17
15 b. Sebuah hadits yang telah ditakhrij oleh An-Nasa’i
ﺏ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ َﻋ ْﻤﺮُﻭ ْﺑ ُﻦ ُ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﹶﺃ ْﺣ َﻤ ُﺪ ْﺑ ُﻦ َﻣﻨِﻴ ٍﻊ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ِﺇ ْﺳ َﻤﻌِﻴ ﹸﻞ ْﺑ ُﻦ ِﺇْﺑﺮَﺍﻫِﻴ َﻢ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﹶﺃﻳﱡﻮ ﺐ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨِﻲ ﹶﺃﺑِﻲ َﻋ ْﻦ ﹶﺃﺑِﻴ ِﻪ َﺣﺘﱠﻰ ﹶﺫ ﹶﻛ َﺮ َﻋْﺒ َﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ْﺑ َﻦ َﻋ ْﻤﺮٍﻭ ﹶﺃﻥﱠ َﺭﺳُﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ٍ ﺷُ َﻌْﻴ ﻒ َﻭَﺑْﻴ ٌﻊ َﻭ ﹶﻻ َﺷ ْﺮﻃﹶﺎ ِﻥ ﻓِﻲ َﺑْﻴ ٍﻊ َﻭﻻﹶﺍ ِﺭْﺑﺢُ ﻣَﺎ ٌ ﺤﻞﱡ َﺳﹶﻠ ِ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻻ َﻳ َ 14
(ﺲ ِﻋْﻨ َﺪ َﻙ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ َ ﻀ َﻤﻦُ َﻭ ﹶﻻ َﺑْﻴﻊُ ﻣَﺎ ﹶﻟْﻴ ْ ُﹶﻟ ْﻢ ﻳ
Artinya: “Ahmad bin Mani’ menceritakan kepada kami dari Isma’il bin Ibrahim dari Ayub dari Amr bin Syu’aib dia berkata: saya menerima hadits dari ayahku dari kakeknya dan Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak halal pinjaman, jual beli, dua syarat dalam satu jual beli, dan keuntungan yang tidak dijamin dan menjual sesuatu yang tidak ada” (HR. Tirmidzi) 3. Ijma’ Dasar
kebolehan
berjual
beli
menurut
ijma’
adalah
sebagaimana yang telah diterangkan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, sebagai berikut:
.ﻡ. ﺍﻟﺘﻌﺎﻣﻞ ﻣﻦ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ,ﻭﻗﺪ ﺍﲨﻌﺖ ﺍﻻﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻟﺒﻴﻊ 15
ﺍﱃ ﻳﻮﻡ ﻫﺬﺍ
Artinya: “Umat telah sepakat atas kebolehan jual beli, ia adalah transaksi yang sudah berlaku (dibenarkan) sejak zaman Rasulullah saw hingga hari ini”.
14
At Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Beirut: Dar al Fikri, Lebanon, 1994, Juz III, hlm. 17
15
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 46
16 Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, maka jelaslah bahwa hukum jual beli adalah jaiz (boleh) akan tetapi di sana tidak menutup kemungkinan pada perubahan status hukum jual beli itu sendiri, seperti makruh, haram, sunnah, semua tergantung pada terpenuhinya rukun dan syarat jual beli.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli Adapun syarat dan rukun jual beli yang dipenuhi dalam hal berjual beli adalah sebagai berikut:16 1. Shighat/akad yang bisa lagi menjadi dua, yaitu: a. Ijab b. Qabul 2. Aqid/orang yang melakukan akad, yaitu: a. Penjual b. Pembeli 3. Ma’qud alaihi/barang yang menjadi obyek dari jual beli, yaitu: a. Harga b. Barang yang dihargai Dalam perbuatan jual beli, ketiga hukum itu hendaklah dipenuhi, sebab jika ada salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.17
16
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 129-130
17
Ibid.
17 1. Shighat atau akad Jual beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab qabul dilakukan. Hal ini dikarenakan ijab qabul menunjukkan kerelaan kedua belah pihak. Hadits Rasulullah mengatakan:
ﺠِﻠ ﱡﻲ ﺍﹾﻟﻜﹸﻮِﻓ ﱡﻲ َ ﺏ َﻭﻫُ َﻮ ﺍﹾﻟَﺒ َ ﺤﻴَﻰ ْﺑ ُﻦ ﹶﺃﻳﱡﻮ ْ ﺼﺮُ ْﺑ ُﻦ َﻋِﻠ ﱟﻲ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﹶﺃﺑُﻮ ﹶﺃ ْﺣ َﻤ َﺪ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ َﻳ ْ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ َﻧ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﺙ َﻋ ْﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻫُ َﺮْﻳ َﺮ ﹶﺓ َﻋ ْﻦ ﺍﻟﱠﻨِﺒ ﱢﻲ ﺤﺪﱢ ﹸ َ ﻗﹶﺎﻝ َﺳ ِﻤ ْﻌﺖُ ﹶﺃﺑَﺎ ﺯُ ْﺭ َﻋ ﹶﺔ ْﺑ َﻦ َﻋ ْﻤﺮِﻭ ْﺑ ِﻦ َﺟﺮِﻳ ٍﺮ ُﻳ 18
(ﺽ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ ٍ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻻ َﻳَﺘ ﹶﻔ ﱠﺮﹶﻗ ﱠﻦ َﻋ ْﻦ َﺑْﻴ ٍﻊ ِﺇﻻﱠ َﻋ ْﻦ َﺗﺮَﺍ
Artinya: “Nasr bin Ali menceritakan kepada kami dari Abu Ahmad dari Yahya bin Ayyub Al Bajalli Al Kuti bahwa dia mendengar Abu Zur’ah bin ‘Amr menerima hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda: Janganlah orang yang melakukan jual beli berpisah sebelum mereka saling ridho” (HR. At-Tirmidzi) Pada dasarnya ijab qabul itu tidak harus dilakukan dengan lisan, namun akad dalam jual beli dapat juga dilakukan dengan sesuatu yang menunjukkan pemilikan dan pemahaman dengan apa yang dimaksud. Dengan kata lain, bahwa ijab qabul tadi tidak harus dengan kata-kata yang jelas. Akan tetapi yang dinamakan akad dalam ijab qabul itu dapat juga dengan maksud dan makna yang dilontarkan antara penjual dan pembeli dengan sindiran/kata kiasan. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah bahwa sighat ijab qabul yang merupakan jual beli harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:19 18
At-Tirmidzi, op.cit., hlm. 26
19
Sayyid Sabiq, loc.cit., hlm. 48-49
18 a. Satu sama lainnya berhubungan di satu tempat tanpa ada satu pemisahan yang merusak b. Ada kesepakatan ijab dan qabul pada orang yang saling relamerelakan berupa barang yang dijual dan harga barang c. Ungkapan
harus
menunjukkan
masa
lalu
(madhi)
seperti
perkataan penjual: ‘Aku telah beli’, dan perkataan pembeli: ‘Aku telah terima, atau masa sekarang (mudhori’) jika yang diinginkan pada waktu itu. 2. Akid atau orang yang melakukan akad Aqid adalah orang-orang yang melakukan akad transaksi baik itu penjual maupun pembeli. Adapun orang yang melakukan akad dalam jual beli haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Berakal yaitu orang yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya. Apabila salah satu pihak tidak berakal, maka jual beli yang dilakukan adalah tidak sah. b. Dengan
kehendaknya
sendiri.
Maksudnya
bahwa
dalam
melakukan jual beli, salah satu pihak tidak boleh memaksakan kehendaknya terhadap pihak yang lainnya sehingga pihak lain tersebut melakukan jual beli bukan disebabkan kemauannya sendiri, tapi ada unsur paksaan. Sedangkan jual beli yang dilakukan bukan atas kemauan sendiri/paksaan orang lain adalah tidak sah.
19 c. Keduanya tidak mubazir, maksudnya orang yang mubazir adalah orang yang boros, sebab orang yang boros di dalam hukun dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap dalam bertindak. d. Baligh, yaitu orang yang telah dewasa, yang dalam hukum Islam adalah apabila telah berumur 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi anak laki-laki) dan haid (bagi anak perempuan). Namun menurut pendapat
sebagian,
anak-anak
boleh
melakukan
jual
beli
khususnya untuk barang-barang kecil yang tidak bernilai tinggi. 3. Ma’qud alaih atau orang yang menjadi obyek dari jual beli Untuk sahnya jual beli, harus ada ma’qud alaihi, yaitu orang yang menjadi obyek jual beli atau yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli. Benda yang menjadi obyek jual beli ini harus memenuhi syarat-syarat yaitu sebagai berikut: a. Barang harus suci/bersih Barang yang diperdagangkan harus terjaga dari najis dan keharaman. Maka tidak sah jika seseorang memperdagangkan khamr (minuman keras), bangkai (walaupun dari hewan yang halal, seperti ayam, kerbau, sapi, dll), babi, anjing dan berhala, karena
memperdagangkan
barang-barang
tersebut
dapat
menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat, dapat membawa
20 orang berbuat maksiat/mempermudah dan mendekatkan manusia untuk menjalankan maksiat,20 sebagaimana sabda Rasulullah saw:
ﺐ َﻋ ْﻦ َﻋﻄﹶﺎ ِﺀ ْﺑ ِﻦ ٍ ﺚ َﻋ ْﻦ َﻳﺰِﻳ َﺪ ْﺑ ِﻦ ﹶﺃﺑِﻲ َﺣﺒِﻴ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﻗﹸَﺘْﻴَﺒﺔﹸ ْﺑ ُﻦ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﺍﻟﱠﻠْﻴ ﹸ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ َ ﺡ َﻋ ْﻦ ﺟَﺎِﺑ ِﺮ ْﺑ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺃﻧﱠ ُﻪ َﺳ ِﻤ َﻊ َﺭﺳُﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ٍ ﹶﺃﺑِﻲ َﺭﺑَﺎ ﺨْﻨﺰِﻳ َﺮ ِ ﺨ ْﻤ ِﺮ ﻭَﺍﹾﻟ َﻤْﻴَﺘ ﹶﺔ ﻭَﺍﹾﻟ َ َﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻋَﺎ َﻡ ﺍﹾﻟ ﹶﻔْﺘ ِﺢ َﻭﻫُ َﻮ ِﺑ َﻤﻜﱠ ﹶﺔ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ َﺣ ﱠﺮ َﻡ َﺑْﻴ َﻊ ﺍﹾﻟ 21
(ﺍﳊﺪﻳﺚ )ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮﺍ ﺩﺍﻭﺩ...ﺻﻨَﺎ َﻡ ْ ﻭَﺍﹾﻟﹶﺄ
Artinya: “Qutaibah bin Zaid menceritakan kepada kami dari Laits dari Yazīd bin Abu Habib dari Atho’ bin Abu Rabah dari Jabir bin Abdullah sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah saw telah bersabda pada Fath Mekkah, “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung (berhala…)” (HR. Abu Dawud) b. Barang dapat dimanfaatkan Yaitu barang yang diperjualbelikan haruslah yang punya manfaat. Apabila barang yang diperdagangkan tidak bermanfaat, maka tidaklah sah jual beli. Contohnya antara lain kalajengking, ular dan sejenisnya. c. Barang merupakan hak milik/hak dari wakil yang diserahi wewenang untuk menjualnya
20
Syekh M. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Alih Bahasa H. Mu’ammal Hamidiy, Surabaya: Bina Ilmu, 1993, hlm. 349 21
279
Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz III, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th., hlm.
21
ﺡ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ َﻋْﺒﺪُ ﺍﹾﻟ َﻌﺰِﻳ ِﺰ ِ ﺼﺒﱠﺎ ﺴِﻠﻢُ ْﺑ ُﻦ ِﺇْﺑﺮَﺍﻫِﻴ َﻢ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ِﻫﺸَﺎ ٌﻡ ﺡ ﻭ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﺍْﺑ ُﻦ ﺍﻟ ﱠ ْ َُﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﻣ ﺐ َﻋ ْﻦ ﹶﺃﺑِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ َﺟ ﱢﺪ ِﻩ ٍ ﻕ َﻋ ْﻦ َﻋ ْﻤﺮِﻭ ْﺑ ِﻦ ﺷُ َﻌْﻴ ُ ﺼ َﻤ ِﺪ ﻗﹶﺎ ﹶﻻ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ َﻣ ﹶﻄ ٌﺮ ﺍﹾﻟ َﻮﺭﱠﺍ ْﺑ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ ﺍﻟ ﱠ ﻕ ِﺇﻻﱠ ﻓِﻴﻤَﺎ َﺗ ْﻤِﻠﻚُ َﻭ ﹶﻻ ِﻋْﺘ َﻖ ِﺇ ِﻻﱠ ﻓِﻴﻤَﺎ َﻼ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻻ ﹶﻃ ﹶ َ ﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟﱠﻨِﺒ ﱠﻲ 22
(َﺗ ْﻤِﻠﻚُ َﻭ ﹶﻻ َﺑْﻴ َﻊ ِﺇﻻﱠ ﻓِﻴﻤَﺎ َﺗ ْﻤِﻠﻚُ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮﺍ ﺩﺍﻭﺩ
Artinya: “Muslim bin Ibrahim menceritakan kepada kami dari Hisyam dari Ibnu as-Shabah dari Abdul Azis bin Abdus Shamad, dari Mathar Al Warraq dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Tidak ada thalaq kecuali pada isteri yang dimiliki, tidak ada memerdekaan budak kecuali budak yang dimilikinya dan tidak ada jual beli kecuali terhadap benda yang dimiliki” (HR. Abu Dawud) d. Barang memungkinkan untuk diserahkan Maksudnya adalah barang dagangan haruslah dapat diserahterimakan. Sehubungan dengan ini maka tidaklah dapat diperjualbelikan
barang
yang tidak
ada
dalam
kekuasaan
sekalipun milik sendiri, seperti burung yang keluar dari sangkarnya, ikan yang sukar ditangkap dan lain sebagainya. e. Barang dapat diketahui Maksudnya barang yang akan diperjualbelikan dapat diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas baik zat, bentuk maupun sifat-sifatnya sehingga terjadi kekecewaan diantara kedua belah pihak. Begitu juga dengan harganya harus diketahui sehingga dapat menghindarkan terjadinya pertentangan. Barang
22
Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz II, Darul Kitab Al ‘Amaliyah, hlm. 124
22 yang tidak dapat dihadirkan dalam majlis, transaksi diisyaratkan agar penjual menerangkan segala sesuatu yang menyangkut barang tersebut sampai jelas bentuk, ukuran sifat dan kualitasnya. Jadi pada saat penyerahan barang cocok dengan yang diterangkan. f. Barang yang diakadkan ada di tangan Yaitu dalam perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang belum jelas ada di tangan, (tidak berada di dalam kekuasaan penjual) adalah dilarang, sebab bisa jadi barang tersebut sudah rusak/tidak dapat diserahterimakan. Nabi saw bersabda:
ﺤﻤﱠﺪُ ْﺑ ُﻦ ﺭَﺍِﻓ ٍﻊ َﻭ َﻋْﺒﺪُ ْﺑ ُﻦ ﺣُ َﻤْﻴ ٍﺪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺍْﺑ ُﻦ ﺭَﺍِﻓ ٍﻊ َ ُﺤﻖُ ْﺑ ُﻦ ِﺇْﺑﺮَﺍﻫِﻴ َﻢ َﻭﻣ َ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ِﺇ ْﺳ ﺱ َﻋ ْﻦ ٍ ُﻕ ﹶﺃ ْﺧَﺒ َﺮﻧَﺎ َﻣ ْﻌ َﻤ ٌﺮ َﻋ ْﻦ ﺍْﺑ ِﻦ ﻃﹶﺎﻭ ِ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﻭ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﹾﻵ َﺧﺮَﺍ ِﻥ ﹶﺃ ْﺧَﺒ َﺮﻧَﺎ َﻋْﺒﺪُ ﺍﻟ ﱠﺮﺯﱠﺍ ﻉ َ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ َﻣ ْﻦ ﺍْﺑﺘَﺎ َ ﺱ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َﺭﺳُﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ٍ ﹶﺃﺑِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ ﺍْﺑ ِﻦ َﻋﺒﱠﺎ 23
(ﻀﻪُ )ﺭﻭﺍﻩ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ َ ﹶﻃﻌَﺎﻣًﺎ ﹶﻓﻼﹶﺍ َﻳِﺒ ْﻌﻪُ َﺣﺘﱠﻰ َﻳ ﹾﻘِﺒ
Artinya: “Ishaq bin Ibrahim Muhammad bin Rafi’ dan Abd bin Humaid menceritakan kepada kami dari Abdu; Razzaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa membeli makanan, janganlah menjualnya sehingga ia menerimanya” (HR. Muslim)
23
Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, Juz II, hlm. 8
23 D. Pendapat Ulama’ tentang Jual Beli Air Menurut Imam Abu Hanifah, macam air ada 4 yaitu:24 1. Air laut Setiap orang berhak memanfaatkan untuk kebutuhan apapun sebagaimana mereka mengambil manfaat dari matahari, bulan dan udara. Diperbolehkan juga memanfaatkannya untuk kebutuhan-kebutuhan yang khusus, seperti mengairi tanah, minum, menyirami tumbuhan dan pepohonan. 2. Air bengawan Setiap orang berhak memiliki secara mutlak dan berhak mengairi tanah apabila siraman itu tidak membahayakan kemaslahatan suatu golongan. Apabila siraman itu membahayakan maka tidak boleh karena menolak kemadhorotan umum hukumnya wajib. 3. Air yang dimiliki sekelompok orang Contoh: Sungai kecil, sumber mata air/air sumur. Diantaranya air yang diambil dari sungai-sungai umum yang dialirkan di beberapa bagian air yang dimiliki. 4. Air yang disimpan dalam tabung/tangki Yang berhak memiliki adalah orang yang menyimpannya. Orang lain tidak berhak memilikinya dan memanfaatkannya, kecuali dengan izin pemiliknya.
24
451
Dr. Wahab Az-Zuhauli, Al Fiqhul Islamiyya Wafadilatuha, Juz IV, Dar al-Fikr, hlm. 450-
24 Dalam Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali air itu dibagi 2; air yang khusus dan umum. 1. Khusus, yaitu air yang dimiliki pada daerah/wilayah yang dimilikinya, seperti sumur 2. Umum, yaitu air yang berada pada wilayah yang tidak dimilikinya, seperti sungai. Jumhur ulama’ membolehkan menjual air yang bukan dimiliki umum, seperti air sumur/air yang disimpan dalam tabung dan sejenisnya, yang pemiliknya mempunyai hak untuk mengambil manfaatnya dan orang lain tidak mempunyai hak. Pendapat Jumhur ulama’ tersebut didasarkan atas 2 dalil: 1. Sesungguhnya Utsman bin Affan r.a. membeli sumur dari orang Yahudi di Madinah. Lalu dia membagi-bagikan air kepada orang-orang Islam. Hal itu ia lakukan setelah dia mendengar Rasulullah saw bersabda:
ﺝ َﻋ ْﻦ ِ ﺤﺠﱠﺎ َ ﺤﻴَﻰ ْﺑ ِﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺍﹾﻟ ْ ﺏ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ َﺳﻌِﻴ ُﺪ ْﺑ ُﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ َﻋ ْﻦ َﻳ َ ﹶﺃ ْﺧَﺒ َﺮﻧِﻲ ِﺯﻳَﺎ ُﺩ ْﺑ ُﻦ ﹶﺃﻳﱡﻮ ﻑ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻬ ْﻢ َ ﲔ ﹶﺃ ْﺷ َﺮ َ ﻱ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َﺷ ِﻬ ْﺪﺕُ ﺍﻟﺪﱠﺍ َﺭ ِﺣ ﺸْﻴ ِﺮ ﱢ َ ﻱ َﻋ ْﻦ ﹸﺛﻤَﺎ َﻣ ﹶﺔ ْﺑ ِﻦ َﺣ ْﺰ ٍﻥ ﺍﹾﻟﻘﹸ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ ﺍﹾﻟﺠُ َﺮْﻳ ِﺮ ﱢ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َ ﻼ ِﻡ َﻫ ﹾﻞ َﺗ ْﻌﹶﻠﻤُﻮ ﹶﻥ ﹶﺃﻥﱠ َﺭﺳُﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ُﻋﹾﺜﻤَﺎ ﹸﻥ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃْﻧﺸُﺪُﻛﹸ ْﻢ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ َﻭِﺑ ﹾﺎ ِﻹ ْﺳ ﹶ ﺸَﺘﺮِﻱ ِﺑﹾﺌ َﺮ ﺭُﻭ َﻣ ﹶﺔ ْ ﺴَﺘ ْﻌ ﹶﺬﺏُ ﹶﻏْﻴ َﺮ ِﺑﹾﺌ ِﺮ ﺭُﻭ َﻣ ﹶﺔ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ َﻣ ْﻦ َﻳ ْ ُﺲ ِﺑﻬَﺎ ﻣَﺎ ٌﺀ ﻳ َ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﹶﻗ ِﺪ َﻡ ﺍﹾﻟ َﻤﺪِﻳَﻨ ﹶﺔ َﻭﹶﻟْﻴ 25
(ﺠﱠﻨ ِﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻨﺴﺎﺉ َ ﺨْﻴ ٍﺮ ﹶﻟﻪُ ِﻣْﻨﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ َ ﲔ ِﺑ َ ﺴِﻠ ِﻤ ْ ُﺠ َﻌﻞﹸ ﻓِﻴﻬَﺎ َﺩﹾﻟ َﻮﻩُ َﻣ َﻊ ِﺩ ﹶﻻ ِﺀ ﺍﹾﻟﻤ ْ ﹶﻓَﻴ
Artinya: “Dari Ziyad bin Ayub menceriakan kepada kami dari Zaid bin Amir dari Yahya bin Abi Hajjaj dari Sa’id al Jurairi, dari 25
Ibid., hlm. 453
25 Tsumamah bin Hajr al Qusyairi berkata; saya melihat kampung ketika dikuasai oleh Usman. Dia berkata, “Sya berjanji dengan nama Allah dan Islam. Apakah kamu mengetahui bahwa Rasulullah saw datang ke Madinah dan di sana tidak air untuk minum kecuali sumur rumah. Nabi bersabda, “Barangsiapa membeli sumur Raumah, kemudian memperluasnya pada orangorang Islam, maka (hak) bagiannya adalah surga” (HR. An Nasa’i) Sedang pada saat itu orang Yahudi menjual airnya pada manusia (secara umum). Hadits ini juga berlaku sebagai dasar kebolehan untuk menjual sumur dan mata air, dan kebolehan menjual air. 2. Diqiyaskan pada jual beli kayu bakar, dengan ketetapan Rasulullah saw:
ﺙ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﹶﺃﺑِﻲ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﹾﺍ َﻷ ْﻋ َﻤﺶُ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﹶﺃﺑُﻮ ﺻَﺎِﻟ ٍﺢ َﻋ ْﻦ ٍ ﺺ ْﺑ ِﻦ ِﻏﻴَﺎ ِ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﻋُ َﻤﺮُ ْﺑ ُﻦ َﺣ ﹾﻔ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َﻷ ﹾﻥ َﻳ ﹾﺄﺧُ ﹶﺬ ﹶﺃ َﺣﺪُﻛﹸ ْﻢ َﺣْﺒﹶﻠﻪُ ﹸﺛﻢﱠ َﻳ ْﻐﺪُ َﻭ َ ﹶﺃﺑِﻲ ﻫُ َﺮْﻳ َﺮ ﹶﺓ َﻋ ْﻦ ﺍﻟﱠﻨِﺒ ﱢﻲ ﺱ َ ﺴﹶﺄ ﹶﻝ ﺍﻟﻨﱠﺎ ْ ﻕ َﺧْﻴ ٌﺮ ﹶﻟﻪُ ِﻣ ْﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ َﻳ َ ﺼ ﱠﺪ َ ﺐ ﹶﻓَﻴﺒِﻴ َﻊ ﹶﻓَﻴ ﹾﺄﻛﹸ ﹶﻞ َﻭَﻳَﺘ َ ﺤَﺘ ِﻄ ْ ﺠَﺒ ِﻞ ﹶﻓَﻴ َ ﺴﺒُﻪُ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟ ِ ﹶﺃ ْﺣ 26
()ﺭﻭﺍﻩ ﺻﺤﻴﺢ ﲞﺎﺭﻯ
Artinya: “Umar bin Hafs bin Giyats menceritakan kepada kami dari ayahnya dari A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda: Jika seseorang dari kalian mengambil tali kemudian pergi ke gunung, mengambil kayu bakar, menjual kemudian makan dan sedekah (dari uang hasil tersebut) itu lebih baik daripada meminta-minta” (HR. Shohih Bukhari) Sedang menurut Dhahiriyah, penjualan air mutlak tidak boleh, baik itu air sumur, mata air, dan lainnya, kecuali jika yang dijual adalah sumurnya. Hal ini didasarkan atas 2 dasar:
26
Ibid., hlm. 151-153
26 1. Sabda Rasulullah
َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﻗﹸَﺘْﻴَﺒﺔﹸ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﺩَﺍ ُﻭ ُﺩ ْﺑ ُﻦ َﻋْﺒ ِﺪ ﺍﻟ ﱠﺮ ْﺣ َﻤ ِﻦ ﺍﹾﻟ َﻌﻄﱠﺎ ُﺭ َﻋ ْﻦ َﻋ ْﻤﺮِﻭ ْﺑ ِﻦ ﺩِﻳﻨَﺎ ٍﺭ َﻋ ْﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋ ْﻦ َﺑْﻴ ِﻊ ﺍﹾﻟﻤَﺎ ِﺀ َ ﺱ ْﺑ ِﻦ َﻋْﺒ ٍﺪ ﺍﹾﻟﻤُ َﺰِﻧ ﱢﻲ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َﻧﻬَﻰ ﺍﻟﱠﻨِﺒ ﱡﻲ ِ ﺍﹾﻟ ِﻤْﻨﻬَﺎ ِﻝ َﻋ ْﻦ ِﺇﻳَﺎ 27
()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ
Artinya: “(Tirmidzi berkata) kami menerima hadits dari Qutaibah (Qutaibah berkata), kami menerima hadits dari Dawud bin Abdul Rahman Al-Athor daro Amr bin Dinar dari Abi Minhal dari Iyas bin Abdul Muzani dia berkata: Nabi saw melarang dari menjual air ” 2. Sabda Rasulullah saw:
ﺻﻠﱠﻰ َ ﺝ َﻋ ْﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻫُ َﺮْﻳ َﺮ ﹶﺓ ﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟﱠﻨِﺒ ﱠﻲ ِ ﺚ َﻋ ْﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺍﻟ ﱢﺰﻧَﺎ ِﺩ َﻋ ْﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄ ْﻋ َﺮ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﻗﹸَﺘْﻴَﺒﺔﹸ َﺣ ﱠﺪﹶﺛﻨَﺎ ﺍﻟﱠﻠْﻴ ﹸ 28
(ﻀﻞﹸ ﺍﹾﻟﻤَﺎ ِﺀ ِﻟﻴُ ْﻤَﻨ َﻊ ِﺑ ِﻪ ﺍﹾﻟ َﹶﻜﻸُ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ ْ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻻ ﻳُ ْﻤَﻨﻊُ ﹶﻓ
Artinya: “(Tirmidzi berkata), kami menerima hadits dari Qutaibah (Qutabiah berkata), kami menerima hadits dari Laits dari Abi Zinad dari Al-A’raj dari Abi Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi saw bersabda: Tidak boleh dilarang kelebihan air, agar ia dapat menghalang-halang rumput”. Hadits ini mengandung hukum yang jelas tentang keharaman menjual kelebihan air. Ia (Abu Bakar) mengatakan: Tidak dilarang jika berupa sumur dan tidak dilarang menjual air. Para ulama berselisih pendapat dalam mentafsirkan larangan menjual air. Sebagian ulama mengartikan kepada keumumannya,
27
At-Tirmidzi, op.cit., hlm. 37
28
Ibid.
27 bahwasanya tidak boleh menjual air secara mutlak baik dari sumber, kolam atau mata air dan baik di tanah milik sendiri, maka si pemilik lebih berhak terhadap kadar kebutuhan daripadanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Yahya bin Yahya, ia mengatakan: “Saya berpendapat, ada 4 perkara yang tidak boleh dilarang, yaitu: Air, api, kayu bakar dan padang rumput”.29 Sebagian fuqaha mentakhsiskan hadits-hadits tersebut karena alasan berlawanan dengan aturan-aturan dasar. Yakni bahwa seseorang itu tidak halal bagi orang lain, kecuali dengan keikhlasan darinya. Mereka (fuqaha) mentakhsiskan pengertian tersebut juga berselisih pendapat tentang segi pentakhsisannya. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa, jika sumber air berada dalam penguasaan dua orang bersama-sama. Sehari untuk seorang dan sehari untuk lainnya, lalu ia menyirami tanamannya pada hari gilirannya dan tidak menyirami pada hari giliran kawannya. Karena itu, ia tidak boleh menghalangi air terhadap kawannya pada waktu selebihnya dari hari-hari gilirannya. Sedang sebagian fuqaha lainnya mengatakan, bahwa penafsiran tersebut hanya bagi tanaman yang ditanam berdasarkan air sendiri. Kemudian, ketika sumber airnya itu rusak, padahal tetangganya mempunyai kelebihan air, maka tetangganya itu tidak boleh menghalanghalangi kelebihan air, sehingga sumber air yang pertama menjadi baik.
29
Ibnu Rusyd, Bidayatu ‘l-Mujtahid, diterjemahkan oleh M.A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah, Semarang: Asy-Syifa’, 1990, hlm. 89
28 Kedua
penafsiran
tersebut
saling
berdekatan,
dan
segi
penafsirannya adalah, bahwa membawa kemutlakan kata-kata pada kedua hadits tersebut kepada arti muqayyad (terikat). Sebab Nabi Muhammad saw, melarang menjual air secara mutlak, kemudian melarang menahan kelebihan air. Dengan mengartikan kata mutlak dalam hadits tersebut kepada kata muqayyad, maka mereka mengatakan bahwa yang dilarang dalam kedua hadits tersebut adalah kelebihan semata. Imam Malik berpendapat bahwa, jika air tersebut berada pada tanah yang sumbernya dimiliki olehnya, maka sumber air tersebut menjadi miliki si pemiliki tanah. Ia boleh menjual/menahan air, kecuali jika ia didatangi oleh orang-orang yang tidak memiliki uang (untuk membeli air tersebut) dan dikhawatirkan mereka akan mengalami kebinasaan. Imam Malik menafsirkan hadits tersebut kepada sumber-sumber air di padang sahara yang dibuat di tanah-tanah tak bertuan. Karenanya, ia berpendapat bahwa pemiliknya, yakni orang yang menggali sumber tersebut, lebih utama ketimbang lainnya dalam menggunakan sumber tersebut. Jika ternaknya sudah diberi minum, maka selebihnya boleh digunakan orang lain. Hal ini berarti bahwa sumber air ( di tanah-tanah tak bertuan) tidak dapat dimiliki oleh seseorang, meski ia sendiri yang mengusahakannya.30
30
Ibid., hlm. 90-91