TEORI RESPONSIBILITAS DAN PRIORITAS DALAM PENALARAN FIQH UNTUK MEREALISASIKAN MAQȂSID AL-SYARI`AH (Studi Komparatif Pemikiran Ali Abdul Halim Mahmud dan Yusuf al-Qardhawi) Toha Andiko, dkk* Abstrak Fenomena gaya hidup masyarakat modern yang cendrung pada pragmatisme dan hedonisme tidak jarang menciptakan berbagai instabilitas dan kacaunya timbangan proritas dan rendahnya rensponsibilitas umat. Salah satu konsep yang menarik untuk dicermati yang dapat dijadikan solusi adalah implementasi teori responsibilitas Ali Abdul Halim dan teori prioritas yang digulirkan Yusuf al-Qardhawi. Tulisan ini akan meneliti lebih jauh bagaimana pemikiran keduanya dan aplikasi teori dalam dinamika hukum Islam di era modern. Hasil penelitian menemukan bahwa konsep Ali Abdul Halim Mahmud tentang teori responsibilitas meliputi sumber utamanya adalah ayat-ayat Alquran dan sunnah. Responsibilitas berarti tanggung jawab manusia kepada khaliq dan makhluq yang bersifat moral dan sosial meliputi individu, jamaah terbats, masyarakat sekitar, dan umat dalam amal praktis. Sedangkan konsep Yusuf al-Qardhawi tentang fiqh prioritas meliputi landasan utamanya yang berpijak pada prinsip utama hukum Islam dan tujuan utama hukum Islam (maqasid al-syariah). Kata Kunci: Teori Responsibilitas, Prioritas, Fiqh, Maqasid al-Syariah
LATAR BELAKANG Fenomena gaya hidup masyarakat modern yang cenderung pada pragmatisme dan hedonisme tidak jarang menciptakan berbagai instabilitas dan kacaunya timbangan prioritas dan rendahnya responsibilitas umat. Ini tampak dari apresiasi masyarakat yang lebih tinggi kepada seniman daripada ilmuwan, lebih peduli kepada olahragawan daripada rohaniawan, lebih mementingkan ibadah individual daripada ibadah sosial, dan lebih mengutamakan kepentingan sesaat daripada kepentingan jangka panjang. Anomali dan ironi yang terjadi di mayoritas masyarakat tersebut telah mendorong berbagai pihak melakukan pencarian metode yang tepat dalam perumusan solusi kreatif untuk menyikapi dinamika masyarakat modern dan problematika kontemporer yang terus berkembang, sehingga melahirkan banyak gagasan dan teori baru. Salah satu konsep yang menarik untuk dicermati dari sekian banyak konsep yang ditawarkan adalah teori responsibilitas Ali Abdul Halim Mahmud dan teori prioritas yang digulirkan Yusuf al-Qardhawi. Kedua tokoh di atas, berasal dari negara yang sama (Mesir), namun memiliki latar belakang pendidikan yang agak berbeda. Tapi keduanya sangat peduli terhadap kebutuhan umat dan responsif menyikapi perubahan yang terjadi di masyarakatnya secara khusus dan di dunia Islam pada umumnya. Sehingga keduanya pun banyak melahirkan karya tulis dan terus melakukan pencarian intelektual untuk memperoleh solusi terhadap permasalahan yang dihadapi umat kini dan masa mendatang.
Sebagai putra mantan rektor Universitas alAzhar, pada tahun 1932, setelah lulus dari Universitas al-Azhar, Ali Abdul Halim Mahmud pergi ke Perancis melanjutkan pendidikannya. Berkat usahanya yang gigih, tanpa mengenal lelah akhirnya ia memperolehi gelar Doktor dalam bidang Falsafah dari Universite de Paris - La Sorbonne pada tahun 1940. Sekembalinya di tanah air (Mesir), ia memulai karirnya sebagai seorang Profesor di Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar Al-Syarif. Ia kemudian dipindahkan ke Fakultas Agama pada tahun 1951 dan diangkat menjadi dekan pada tahun 1964. Pada tahun 1969, ia diangkat sebagai Sekretaris Umum Majlis Penyelidikan Islam (al-Buhuts al Majma’ alIslamiyah). Tahun 1970 ia dilantik sebagai wakil alAzhar (Imam). Lalu tahun 1971 ia menjadi Menteri Waqaf dan kemudian puncaknya dilantik sebagai Imam besar al-Azhar pada tahun 1973 (hasnul hadiahmad.blogspot.com, 2012, Diakses tanggal 17 Februari 2013). Ali Abdul Halim Mahmud tidak hanya berdakwah lewat politik, tapi juga melalui tulisantulisan yang banyak mencerahkan umat. Beberapa di antara karya tulisnya lintas disiplin ilmu yang sangat berpengaruh misalnya al-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam, Al-Ri’ayat lihuquqillȃh li al- Mahasibi, Qadhiyyat alTasawuf al-Munqidzu min la dhalal li al ghazali, AlIslam wa al-`Aql, Asrar al-Ibadat fi al Islam, dan terakhir Fiqh al-Mas’uliyah fi al-Islam. Karya tulisnya yang terakhir ini agak unik karena membahas tentang fiqh, padahal spesialisasi disiplin ilmunya adalah filsafat dan tasawuf. Begitu juga dengan nama Yusuf al-Qardhawi (ada yang menulisnya dengan Yusuf al-Qaradhawi),
* Penelitian ini dilakukan oleh Toha Andiko, Khairiah el-Wardah, dan Fauzan. Ketiganya adalah Dosen tetap IAIN Bengkulu
Manhaj, Vol. 3, Nomor 1, Januari - April 2015
tak kalah poluler dengan Ali Abdul Halim Mahmud. Qardhawi dikenal sebagai ulama yang berani dan kritis. Pandangannya sangat luas dan tajam. Karena itu, banyak pihak yang merasa 'gerah' dengan berbagai pemikirannya yang seringkali dianggap menyudutkan pihak tertentu, termasuk pemerintah Mesir. Akibat pandangan-pandangannya itu pula, tak jarang pria kelahiran Shafth Turȃb, Mesir pada 9 September 1926 ini harus mendekam dibalik jeruji besi. Namun demikian, ia tak pernah berhenti menyuarakan dan menyampaikan pandangannya, dalam membuka cakrawala umat. Hingga saat ini, ratusan buku telah ia tulis dan sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Buku-buku Qardhawi membahas berbagai hal terkait kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mulai dari urusan rumah tangga hingga negara dan demokrasi. Selain masalah diatas, masih banyak sikap Qardhawi yang dianggap menyimpang oleh sebagian yang lain dan menempatkannya sebagai ahlul bid`ah, namun sebagian lagi menganggap sikap Qardhawi itu sebagai sikap yang berani dalam membahas sebuah persoalan secara lebih jelas. Karena itu, di Mesir terdapat sekelompok orang yang menamakan dirinya Qaradhawiyyȃn (pengikut Qardhawi). Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Ali Abdul Halim Mahmud dan Yusuf al-Qardawi adalah dua tokoh fenomenal yang istimewa dan banyak mendapat perhatian publik terhadap sikap mereka yang kritis tapi toleran, pemikiran yang cemerlang, dan berani menyatakan pendapat. Ide-ide mereka cepat tersosialisasi seiring banyaknya karya-karya tulis yang telah mereka hasilkan. Karena itu, penelitian terhadap pemikiran kedua tokoh ini perlu didalami lebih lanjut, terutama tentang teori responsibilitas dan prioritas yang diyakini sebagai pijakan utama dari paradigma berpikir keduanya. , 1070: 442), dan secara terminologi berarti mengetahui hukum-hukum syara` yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terperinci."(Muhammad Abû Zahrah, t.th: 6). Jadi kalau syarî`ah adalah hukum-hukum yang telah jelas nashnya atau qath`i dan tidak bisa berubah, maka fiqh adalah hukum-hukum yang zhanni hasil pemahaman para mujtahid terhadap nash dan maqâsid al-syarî`ah yang bisa saja berubah sesuai dengan perkembangan kemashlahatan manusia. Dengan demikian, hukum Islam tidak bisa berarti syarî`ah saja, karena nash yang qath`i al-dilâlah jumlahnya tidak seberapa dibanding yang zhanni aldilâlah, dan kalau hanya berpegang pada yang qath`i saja tentulah hukum Islam akan terasa kaku dan statis. Nash secara etimologis berarti segala sesuatu yang jelas, baik ucapan maupun tulisan (Sayyid Ali 90
Muhammad ibn Ali al-Jurjani, 1988: 241). Sedang secara terminologis, nash dapat diartikulasikan menjadikan dua makna. Pertama, suatu perkataan yang sama sekali tidak mengandung kemungkinan ta’wil, seperti perkataan ”khamsah’ (lima) yang tidak mengandung pengertian selain dari itu dan bersifat pasti (Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, 1317 63). Kedua, nash berarti teks hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dari berbagai bentuk lafaznya (Jalaluddin al-Mahalli, 1315: 22). Teori ini digunakan untuk memverifikasi pola penafsiran kedua tokoh terhadap ayat-ayat dan hadis Nabi saw. Secara garis besar, penalaran fiqh terbagi dalam tiga aliran. Pertama, aliran tradisional yang merumuskan kaidah kulli dengan melakukan kajian induktif terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, lalu secara deduktif kaedah-kaedah tersebut diterapkan dalam pengkajian hukum, kelompok ini juga banyak melakukan ta`lȋl terhadap ayat-ayat non ibadah agar banyak menyerap furȗ`. (Kaedah yang sudah dibakukan hanya tinggal diterapkan saja oleh pengikut-pengikutnya). Kedua, aliran rasionalis atau dikenal juga sebagai aliran fuqaha’. Kelompok ini lebih memperhatikan karakter furu` yang bermacammacam dan memberi porsi lebih pada kepentingan kehidupan mukallaf dengan melihat substansi pesanpesan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. (Kaedahkaedah gurunya hanya dijadikan rujukan dan mereka bebas membuat kaedah baru jika memang dibutuhkan dengan tetap berpegang pada azas-azas yang yang dianut ulama mazhabnya). Ketiga, aliran gabungan (konvergensi) yaitu memadukan dua kecendrungan besar yang ada dengan menempuh tarȋqah al-jam`ȃn. Terkadang tradisional, dan pada kesempatan lain cenderung pada rasionalisme (Dede Rosyada, 1999: 105-110). Teori tiga aliran besar ini digunakan untuk melihat kecendrungan pemikiran dari Ali Abdul Halim Mahmud dan Yusuf alQardhawi Dalam prakteknya, penalaran fiqh bisa ditempuh dengan tiga cara. Pertama, melalui ijtihad bayâni yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang tersurat dalam nash, namun sifatnya zhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Kedua, melalui ijtihad qiyâsi yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tersirat dalam nash, sebab tidak ada nash maupun ijmâ` yang telah menetapkan hukumnya. Ketiga, melalui ijtihad ishtishlâhi yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang tersuruk, dengan menerapkan kaedah kulli (umum) untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash dan ijmâ`, dan dasarnya hanyalah jiwa hukum syara` yang bertujuan untuk kemashlahatan umat (Amir Syarifuddin, 1999: 267-268). Dalam hal ini, teori tentang 3 macam penalaran fiqh tersebut
Toha Andiko, dkk: Teori Responsibilitas
untuk menganalisa apakah aplikasi teori responsibilitas dan prioritas menggunakan salah satu metode saja atau ketiga-tiganya sekaligus. Maqâsid al-syarî`ah dari segi bahasa berarti maksud atau tujuan disyari`atkan hukum Islam. Tujuan utama disyari`atkannya kepada orang-orang mukallaf adalah untuk mewujudkan mashlahat dan menolak mudharat. Dimana terdapat kemashalahatan, maka di sanalah hukum Allah yang selalu memberi petunjuk bagi masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan mereka (Ahmad al-Raisuni, 1991: 67). Prioritas dalam merealisasikan mashlahat tersebut harus melalui tahapan ketentuan-ketentuan yang dharûriy, hâjiy, atau tahsîniy. Ketentuan dharûriy itu ialah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial, bermaksud untuk menjaga eksistensi agama, jiwa, akal, harta benda, dan keturunan manusia. Ketentuan hâjiy ialah memelihara kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Sedang ketentuan tahsîniy ialah memelihara kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan (Al-Syâthibi, t.th: 4-5). Teori tentang maqâsid al-syarî`ah ini digunakan sebagai acuan untuk menilai kesesuaian teori responsibilitas dan prioritas yang diungkapkan Ali Abdul Halim Mahmud dan Yusuf al-Qardhawi dengan maqâsid alsyarî`ah. di STAIN Ponorogo tahun 2011. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa makna etika ekonomi Islam menurut pemikiran Yusuf al-Qardhawi adalah lebih dipahami sebagai akhlaq, karena akhlaq merupakan sebuah terma yang maknanya dekat dengan etika. Sedangkan etika produksi yang paling utama menurut Yusuf Qardhawi adalah alam dan bekerja. Adapun tujuan diwajibkannya produksi yaitu untuk mencukupi kebutuhan hidup, untuk kemaslahatan keluarga, untuk kemaslahatan masyarakat, untuk semua yang hidup, dan untuk memakmurkan bumi. Dan dalam perlindungan kekayaan alam, setiap muslim wajib mensyukurinya. Salah satu cara mensyukurinya adalah dengan menjaga sumber daya alam dari polusi, kehancuran, atau kerusakan. Dari berbagai kajian di atas, bahasan tentang Ali Abdul Halim Mahmud masih sangat terbatas, hanya pemikirannya di bidang dakwah fardiyah. Sedangkan kajian tentang Yusuf al-Qardhawi lebih banyak membahas tentang mashlahah secara umum, fiqh zakat, dan ekonomi, namun belum satupun yang fokus membahas teori prioritasnya dalam penalaran fiqh. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk kategori penelitian hukum Islam normatif pada ranah pemikiran (doktrin). Pemikiran di sini tidak mungkin lepas dari sumber primernya yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, sebab hal inilah yang membedakan hukum Islam dengan hukum konvensional yang bersumberkan dari doktrin atau pendapat ahli hukum yang menggali pendapat hukum tanpa harus menisbahkannya kepada sebuah kitab suci. Maka ahli hukum Islam wajib berpikir dalam alur kerangka kedua sumber di atas (Faisar Ananda Arfa, 2010: 58-59). Oleh sebab itu, jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Deskriptif dimaksud untuk memberikan dan memaparkan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, pemikiran atau gejala-gejala lainnya. Karena penelitian ini adalah bagian dari ragam pemikiran fuqaha, maka penelitian ini difokuskan pada model pemikiran internal, yakni satuan pemikiran mencakup unsur rujukan, kerangka pemikiran, cara kerja, dan substansi pemikiran. Secara konkrit rujukannya adalah dalil normatif yang dijadikan titik tolak. Kerangka pemikiran berpangkal dari rujukan yang berakumulasi dengan daya berpikir kreatif. Cara kerja merupakan aktualisasi dari daya yang dikerangkakan menjadi cara berpikir logis. Sedangkan substansi produk pemikiran mencakup aspek filosofis, yuridis, historis, dan sosiologis (Cik Hasan Bisri, 2003: 198-200). Metode penelitian yang dimaksud di sini menyangkut metode pengumpulan data dan metode pengolahan data. Dalam metode pengumpulan data, penelitian ini akan berusaha mengumpulkan informasi-informasi yang berhubungan dengan permasalahan yang ada melalui penelusuran kepustakaan (library research). Sumber-sumber informasi yang dijadikan referensi utama dalam penelitian ini adalah Fiqh al-Mas’ȗliyah fi al-Islȃm sebagai karya masterpiecenya Ali Abdul Halim Mahmud dan Fi Fiqh al-Awlawiyyȃt, Dirȃsah Jadȋdah fi Dhau’i al-Qur’ȃn wa al-Sunnah karya Yusuf al-Qardhawi. Meskipun demikian, penelitian ini juga tidak menafikan karya-karya Ali Abdul Halim Mahmud dan Yusuf al-Qardhawi yang lainnya. Sebab, untuk dapat mengenal dan memahami pemikiran-pemikiran keduanya secara utuh, maka pemahaman terhadap keseluruhan karyanya secara garis besar menjadi suatu keharusan. Di samping itu, sumber-sumber informasi yang berasal dari karya-karya para pemikir lainnya sangat diperlukan demi kesempurnaan penelitian ini. Untuk pengolahan data dalam penelitian ini, data-data yang telah dikumpulkan melalui berbagai macam sumber akan dikaji melalui melalui analisis 91
Manhaj, Vol. 3, Nomor 1, Januari - April 2015
isi (content analysis) dengan analisis kritis dan analisis komparatif. Analisis kritis dimaksudkan sebagai upaya kritis untuk memahami bagian-bagian penting yang merupakan indikator-indikator konsepsi teoritis Ali Abdul Halim Mahmud dan yusuf al-Qardhawi, baik mengenai biografinya, perjalanan intelektualnya, maupun hasil pemikirannya. Sedang analisis komparatif dimaksudkan untuk membandingkan data-data, konsep-konsep, dan indikator-indikator yang ditemukan dalam pemikiran tentang teori responsibilitas dan prioritas dengan teori-teori lainnya, baik yang sebelum maupun yang sezaman dengannya. Dari sini, diharapkan akan dapat diketahui kemungkinan ada atau tidaknya keterkaitan mempengaruhi atau dipengaruhi antara Ali Abdul Halim Mahmud, Yusuf al-Qardhawi, dan pemikir lainnya.
TEMUAN PENELITIAN A. Latar Belakang pemikiran Ali Abdul Halim Mahmud dan Yusuf al-qardhawi Pada bentang waktu antara abad XVIII dan XIX seperti yang diungkapkan oelh Elizabeth Sirriyeh merupakan masa yang suram bagi gerakat tasawuf di Mesir. Sikap-sikap and sufi semakin meningkat berupa kritik-kritik tajam yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembaharu maupun dari kalangan sufi sendiri terhadapinstitusi tasawuf atau tarekat-tarekat yang bobrok (Elizabet Sirriyeh, 2003: 2). Penolakan yang keras terhadap sufisme pada peride ini dilakukan oleh para pembaharu semisal Jamaluddin al-afghani dan Muhammad Abduh. Gerkan ini, disamping ingin mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang otentik, juga dirangsang oleh kemunduran dan keterbelakangan umat Islam. Karena itu, yang juga menjadi pokok permasalahan bagi para pembaharu adalah bagaimana membuat paradigma berfikir masyarakat Islam agar bisa menguasai ilmu pengetahuan modern dan teknologi seperti halnya bangsa barat. Caranya adalah membangkitkan kembali aspek rasional dan penalaran yang kritis yang merupakan sendi dan dasar bagi pengembangan pemikiran ilmiah. Bahkan, boleh dikatakan sejak awal Muhammad Abduh telah berusaha membangkitkan kembali pemikiran-pemikiran rasional Mu’tazilah dan para filosof (Harun Nasution, 1989: 35). Dalam kondisi keterpurukan tasawuf ini, terutama dalam institusi tarekatnya, Abdul halim Mahmud menekankan pentingnya reformasi terhadap 92
pemahaman tentang dunia tasawuf, terutama dlam bentuk ritualnya (tarekat). Abdul Halim Mahmud seperti yang dikatakan oleh Elizabeth Siriyyeh, melihat tarekat-tarekat terutama di Mewsir, mengalami kemunduran, kalau tidak dikatakan mengalami penyelewengan. Karena itu, ia menganjurnkan untuk kembali kepada bentuk sufisme yang otentik dan benar yang menekankan pada tanggung jawab sosial dan hidup dalam ketaatan kepada syariat. Begitu juga dengan pemikiran Yusuf alQardhawi sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh situasi kultural dan politik di negara Mesir, tempat alQardhawi lahir dan dibesarkan. Dalam literatur sejarah, dapat ditemukan bahwa Mesir terlah tercatat sebagai salah satu negara yang pernah diwarnai secara silh berganti oelh berbagi suku bangsa dan budaya semenjak berpuluh-puluh abad yang lalu. Mulai sememjak penguasaan bangsa Romawi, Bizantoum, Arab yang membawa misi Islam, sampai kepada pengaruh Barat, yang akhirnya membawa Mesir dalam bentuk negara modern seperti sekarang ini. Agaknya karena dorongan ketaatan dalam mengamalkan ajaran agama, dan adanya keinginan yang besar untuk menegakkan dan memperjuangkan tegak kukuh dan berkembangnya Islam, serta sarna lembaga pendidikan yang kondusif untuk kemajuan, akhirnya membawa Mesir khususnya kepada pintu kecerdasan, alim dalam ilmu keislaman. Dinamika penggalian ilmu pengetahuan di kalangan rakyat Mesir, semakin kelihatan setelah adanya interkasi dengan bangsa Eropa. Ekspedisi Napoleon ke Mesir pada akhir abad ke-18 M, telah memberikan akses positif yang tidak dapat dimungkiri. Sebab, ekspedisi ini tidak hanya untuk kepentingan militer, tapi juga untuk keperluan pengembangan ilmiah. Interkasi Mesir dengan Barat ini, tidak hanya karena kedatangan para ekpedisior tersebut,melainkan juga terwujud karena kunjungan para pemerhati ilmu pengetahuan Mesir kenegaranegara Eropa, seperti Perancis, Inggris, dan Itali. Kunjungan ini dimaksudkan untuk mempelajari dan mendalami perkembangan peradaban barat, yang nantinya akan disosialisasikan dan dikembangkan di dalam negeri sendiri. Konsekuensi logis dari intraksi ini, semkin memperlengkap pemikiran bangsa Mesir terhasap ilmuan-ilmuan, baik ilmuan yang disinyalir tradisional ataupun modernis. Maka dikenallah tokoh-tokoh seperti Jamaluddin Al-Afghani, dengan ide Pan- Islamisnya, Muhammad abduh dengan konsep rasionalitas ajaran Islam, Rasyid Ridha dengan slogan anti kefanatikan dan taqlid buta serta pemurnian ajaran Islam, Thaha Husein dengan ide
Toha Andiko, dkk: Teori Responsibilitas
sekulerisme, Ali Abd al-Raziq dengan konsep negara dan sebagainya. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa di antara tokoh-tokoh tersebut, ada yang dinyatakan oleh alQardhawi sebagai fiqur yang berpengaruh terhadap pemikirannya. Di samping itu, kejayaan peradaban Mesir masa lalu tersebut, yang tetap berpengaruh sampai saat ini, dapat dinyatakan sebagi ilmu yang kondusif bagi ketokohan Yusuf al-Qardhawi. Pengaruh sosio kultural dan politik terhadap figur alQrdhawi, sebagaimana penuangan di atas, tentunya bukan dengan maksud mengurangi arti kemampuan individua dan ketinggian intelegensia yang dimilikinya. Sebab hal ini telah dibuktikannya melalui perjalanan pendidikan yang dia jalani.
peserta haji dari suatu negara) yang ditetapkan oleh pemerintha. Akhirnya bukan manfaat lagi ynag mereka dapatkan, melainkan justru sebaliknya, kemudharatan dan kesusahanlah yang mereka hadapi, baik yang menimpa din mereka taupun orang lain. C. Urgensi Fiqh al-Awliyyat sebagai Solusi Problematika Umat Prolematika umat sepeti sekarang ini telah memancing semangat para ulama untuk menyatakn bahwa semuanya itu dalah tanggung jwab mereka, diantaranya Yusuf al-Qardhawi. Bentuk dan corak urgensi konsep fiqh al-aulawiyyat ini dalam mengantisipasi problem sosial masyarakat Islam, akan terlihat melalui ilustrasi diantaranya : a)
B. Konsep dan Metode Fiqh Al-Aulawiyyat Yusuf al-Qardhawi Diantara pesepsi yang berkembang di sebagian kalangan umat Islam terhadap ajaran agamanya sendiri adalah sesuatu yang sunnat yang sering ditempatkan pada posisi wajib, atau sesuatu yang tidak utama menjadi diutamakan, atau juga memahami Islam itu secara parsial dan kasuistis. Sehingga benturan-benturan dan kesulitan-kesulitan atau keruwetan mereka dalam mencari titik temu antara syariat islam dengan berbagai persoalan kontemporer yang sarat dengan bermunculan pada dekade ini, tidak dapat terantisipasi dan teratasi secara lebih mudah dan terang. Penyebab kondisi seperti itu, tentunya bukan Islam sebetulnya yang tidak mampu hadir dan menjawab kemajuan dan perkembangan peradaban umat manusia. Melainkan umat Islamlah yang belum atau tidak mampu memahami esensi dan substansi dari ajaran Islam tersebut.Di antara solusi yang diajukan al-Qardhawi adalah apa yang ditulis dengan term “fiqh alAulawiyyat”. Fiqh al-Aulawiyyat dijadikan solusi alternatif ditengah realitas sosial umat Islam. Betapa banyaknya diantara umat Islam yang melaksanakan umrah atau melakukan ibadah haji tathawwu (lebih dari sekali), disaat begitu gencarnya arus kristenisasi dan komunisme di Asia dan Afrika terhadap umat Islam. Atau masih banyak di antara saudar mereka yang seiman dan seagma, masih mencicipi dan dililit kemiskinan dan kelaparan serta pendidikan yang rendah, yang itu hanya menjadikan mereka sebagai korban kebodohan. Ironisnya,kondisi yang memilukan itu terlihat jelas di hadapan orang-orang kaya tersebut. Di sisi lain, kepergian mereka untuk melaksanakan haji sunnat tersebit, secara tidak langsung hanya akan mengganggu kekhusukan ibadah haji wajib orang selain mereka. Mereka tidak menghiraukan kelebihan quota (batasan maksimal
Problem antara haji dan sedekah
Banyak di antara umat Islam yang melakukan ibdah haji tathawwu’ dan umrah sampai beberapa kali. Padahal, pada sisi lain, pelaksanaan haji sunnat umrah seperti ini, lebih banyak didorong oleh kesenangan didri dan prestice pribadi belaka. Bahkan menurut al-Qardhawi dala tulisannya yang lain, pelaku-pelaku haji sunnat itu memiliki potensi besar untuk terjadinya desakan-desakan dan injakan-injakan sesama jamaat haji karena saran dan prasarana yang amat terbatas. Kondisi seperti itu, tentunya akan menimbulkan kemudaratan dan gangguan terhadap peserta lain yang tengah menjalani ibdah haji wajib. b)
Efektifitas penyaluran zakat
Zakat sebagai salah satu prinsip dasar bagi serang muslim yang telah digariskan oleh Allah Swt, telah disadari oleh umat Islam . Ini berkat dorongan dan semangat para ulama dalam mengantisipasi kesuksesan umat dalam prestasi duniawi, perkembangan ekonomi dan kesejahteraan. Bahkan al-Qardhawi pun, ikut di antara ulama mujtahid yang ada, melahirkan pemikiran zakat profesi, suatu term baru bagi kaidah zakat, yang telah mengiringi kemajuan umat manusia dewasa ini. Akan tetapi, semangat berzakat bagi sebagian kalangan Islam, disinyalir oelh al-Qardhawi, penyalurannya kurang efektif. Padahal, satu prinsip yang harus disadari oleh para penyalur zakat ini bahwa yang amat penting itu bukan sekedar menzakatkan hartanya, tetapi ke mana dan untuk apa harta itu dizakatkan. Padahal yang lebih efektif untuk diperhatikan, yaitu membangun manusianya. Secara logika, untuk apa membangun masjid banyak-banyak, di saat manusia-manusia yang diharapkan akan memanfaatkan bangunan tersebut, dari hari kehari masih bergelut dengan dinamika kehidupan dalam kemiskinan, lembaga-lembaga sosial sperti sekolah dan rumah sakit tidak bersahabat dan tidak 93
Manhaj, Vol. 3, Nomor 1, Januari - April 2015
memberikan tempat bagi mereka. Atau beberapa banyak lembaga dakwah yang diharapkan berperan banyak dalam mengantisipai umat dari pengaruh kristenisasi dan sekulerisasi, terpaksa harus merangkak karena keterbatasan dana. Bahkan lembaga itu sampai tidak dihiraukan oleh sebagian objek dakwah, karena harta dan kekayaan kaum misionaris Kristen lebih menggiurkan dan menjanjikan masa depan bagi mereka.
tujuan atas penampilan luar, prioritas amal, perkara pokok atas perkara cabang, pelaksanaan yang fardhu daari yang sunnah, serat prioritas hak hamba atas hak Allah semata-mata. SARAN 1.
Kepada umat Islam secara umum hendaknya memperhatikan secara serius tentang pentingnya penerpan fiqh prioritas dan responsibilitas dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Kepada para akademisi khusunya diharapkan penelitian ini bisa dikembangkan lebih lanjut.
3.
Kepada para pimpinan mulai level yang terendah hingga tertinggi kiranya fiqh prioritas dan responsibilitas ini bisa dijadikan acuan dalam mengambil keputusan sehingga tercapai keadilan dan kemakmuran yang diredhoi Allah Swt.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
94
Alasan dan latar belakang pemikiran Ali Abdul Halim Mahmud melahirkan teori rensponsibilitas dikarenakan 1) adanya keraguan umat Islam kini dalam menjalankan ajaran Islam yang sesungguhnya dan kurangnya kepedulian sebagian orang Islam terhadap nasib saudaranya seiman yang terpisah oleh sekat profesi, kesukuan, organisasi, dan negara. 2) Masalah rensponsibilitas saat ini banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, terutama para aktivis dakwah, kelompok, kelompok harakah, dan penggiat pendidikan Islam.3)Banyak terjadi polemik di kalangan akademisi terkait isu-isu aktual seperti tentang syura dan demokrasi, hukum Tuhan dan hukum manusia, taqdir dan daya manusia, dan lainnya. Sedangkan alasan dan latar belakang pemikiran yusuf al-Qardhawi melahirkan teori fiqh prioritas: 1) Kacaunya timbangan prioritas pada umat Islam kini dalam menjalankan aktivitas agama. 2) Adanya penyimpangan orang mukallaf dewasa ini dalam implementasi fiqh prioritas sehingga ajaran Islam terkesan sempit, kaku, dan tidak mampu merenspon perkembangan zaman.3) Banyaknya konflik bernuansa agama yang bermaksud baik memurnikan ajaran agama tapi justru kontra produktif yang berakibat mudharat. Konsep Ali Abd Halim Mahmud tentang teori responsibilitas meliputi kesadaran setiap muslim bahwa ketundukannya kepada hukum-hukum syariat dengan sengang hati atas kemauan sendiri sebagaikonsekuensi dari iman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menjalankan perintah dan larangan-Nya. Sedangkan konsep Yusuf al- Qardhawi tentang tori fiqh prioritas berpijak pada prinsip utama hukum Islam dan tujuan utama hukum Islam (maqasid al-Syariah). Aplikasi teori responsibilitas Ali Abdul Halim tercermin dari membebaskan diri dari tindakan tercela, persaudaraan dalam Islam, bersikap moderar, mewujudkan keadilan,syuro, ihsan dalam bidang politik, termasuk dari pendidikan Islam. Sedangkan aplikasi teori fiqh prioritas Yusuf al-Qardhawi tercermin dari prioritas pemahaman dalam hafalan, prioritas maksud dan
DAFTAR PUSTAKA Arfa, Faisar Ananda, Metodologi Penelitian Hukum Islam, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010, Cet. ke-1 Asfahani, Al-Râghib al-, al-Mufradât fi Gharîb alQur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, t. th. Asqalani, Ahmad ibn Ali ibn Hajar Abu al-Fadhl al-, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1379 H, Juz XIII Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet. ke-1, Jilid I. Ghazali, Muhammad ibn Muhammad al-, AlMustashfâ Min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Dâr al Fikr, t.th., Jilid II http://ahlussunnahjakarta.com/artikel_detil.php?id=10 Diakses tanggal 28 Februari 2013 http://biografi.rumus.web.id/biografi-dr-yusuf-alqaradhawi/. Diakses tanggal 20 Desember 2012. http://hasnulhadiahmad.blogspot.com/2010/12/kenali -syeikh-abdul-halim-mahmud.html Diakses tanggal 17 Februari 2013 http://www.darussalaf.or.id/hizbiyyahaliran/di-balikpopularitas-dr-yusuf-al-qardhawi-bagian-1dr-yusuf-al-qardhawi-dan-non-muslim/ Diakses tanggal 11 Januari 2013
Toha Andiko, dkk: Teori Responsibilitas
Jurjani, Sayyid Ali Muhammad ibn Ali al-, AlTa`rȋfȃt, Beirut: Dar al-Kutub al-`ilmiyyah, 1988. Mahalli, Jalaluddin al-, al-Waraqȃt fȋ Ushȗl al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-`Arabi, 1315 H. Mahmud, Ali abdul Halim, Fiqh al-Mas’uliyah fi alIslam, Kairo: Dar Tauzi` wa al-Nasyr alislamiyah, 1995. Qardhawi, Yusuf al-, Fi Fiqh al-Awlawiyyȃt Dirasah Jadidah fi Dhau’i al-Qur’an wa al-Sunnah, Kairo: Maktabah Wahbah, t.th. Qardhawi, Yusuf al-, Fatâwa Mu`âshirah, Kairo: Dâr al-Âfaq al-Ghad, 1981, Cet. ke-2 Qardhawi, Yusuf al-, Ijtihad Dalam Syariat Islam, Penerjemah Achmad Syathori, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, Cet. ke-1. Raisuni, Ahmad al-, Nazhariyȃt al-Maqȃshid `inda al-Syȃthibi, Rabath: Dar al-Aman, 1991.
Syâthibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-, alMuwâfaqât fi Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, t. th., Jilid II
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 1999, Cet. ke-5
“Yusuf al-Qardhawi Motor Islam Moderat”, dalam Suara Hidayatullah, Oktober 1999 Jumadil Akhir-Rajab 1420H.
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman al-, Al-Itqȃn fȋ `Ulȗm al -Qur’ȃn, Kairo: Dar al-Fikr al`Arabi, 1317, Jilid II
Zahrah Muhammad Abû, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t. th.
Syarifuddin, Amir, Ushûl Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, Cet. ke-1, Jilid I dan II.
Zakariya, Abu al-Hasan Ahmad Faris ibn, Mu`jam Maqâyis al-Lughah, Mesir: Musthafâ alBâbi al-Halabi, 1070, Jilid m.
95