473
PENALARAN ILMIAH DALAM PEMBELAJARAN FISIKA Nia Erlina Pendidikan sains, S3 Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya E-mail:
[email protected] Supeno Pendidikan sains, S3 Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya Iwan Wicaksono Pendidikan sains, S3 Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya
ABSTRAK Literasi sains saat ini dianggap sebagai tujuan utama untuk meningkatkan sumber daya manusia di abad ke-21, kemampuan penalaran ilmiah ditentukan sebagai faktor penting untuk mendorong kinerja siswa dalam pembelajaran fisika. Kajian ini ditulis sebagai hasil interpretasi literatur tentang penalaran ilmiah dalam pembelajaran fisika. Keterampilan penalaran ilmiah dapat dilatihkan dan ditransfer dan merupakan faktor penting yang dapat memungkinkan bagi siswa untuk mampu menangani tugas-tugas dunia nyata dalam karir masa depan. Pembelajaran inkuiri pada siswa SMA sesuai untuk mendukung keterampilan penalaran ilmiah siswa. Lawson Classroom Test of Scientific Reasoning (LCTSR) merupakan instrumen penilaian untuk mempelajari hubungan antara kemampuan penalaran ilmiah siswa dan pembelajaran fisika SMA. Domain kemampuan penalaran ilmiah termasuk: 1) Conservation of Mass and Volume (CMV); 2) Proportional Thinking (PPT), 3) Control of Variables (CV), 4) Probabilistic Thinking (PBT), 5) Correlational Thinking (CT), dan 6) Hypothetical-deductive Reasoning (HDR). Keterampilan penalaran ilmiah melibatkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika. Penalaran ilmiah merupakan cara untuk berfikir kritis. Multi representasi bermanfaat sebagai penalaran kualitatif dan penalaran kuantitatif Penalaran ilmiah melibatkan kegiatan menghasilkan, menguji dan merevisi hipotesis serta membantu pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah. Kata Kunci: keterampilan penalaran ilmiah, multi representasi, pembelajaran fisika.
ABSTRACT Scientific literacy is currently regarded as the main objective to increase human resources in the 21st century, scientific reasoning skill is determined as an important factor to boost the performance of students in physics learning. This study was written because of interpretation of literature on scientific reasoning in physics learning. Scientific reasoning skills can be trained and transferred and is an important factor that can make it possible for students to be able to handle real-world tasks in future careers. Inquiry learning at high school students appropriate to support scientific reasoning skills of students. Lawson Classroom Test of Scientific Reasoning (LCTSR) is an assessment instrument to study the relationship between scientific reasoning abilities of students and teaching high school physics. Domain scientific reasoning skills including: 1) Conservation of Mass and Volume (CMV); 2) Proportional Thinking (PPT), 3) Control of Variables (CV), 4) Probabilistic Thinking (PBT), 5) correlational Thinking (CT), and 6) Hypotheticaldeductive reasoning (HDR). Scientific reasoning skills involves the ability to think of inductive and deductive analysis using the concepts and principles of physics. Scientific reasoning is how to think critically. Multirepresentation useful as a qualitative reasoning and quantitative reasoning. Scientific reasoning involves activities generate, test and revise the hypothesis and help make decisions in problem solving. Keywords: scientific reasoning skill, multirepresentation, physics learning.
ISBN: 978-602-72071-1-0 Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016 “Mengubah Karya Akademik Menjadi Karya Bernilai Ekonomi Tinggi” Surabaya, 23 Januari 2016 Pascasarjana Pendidikan Sains Universitas Negeri Surabaya
474 PENDAHULUAN Kehidupan tidak terlepas dengan perkembangan dunia. Perubahan aspek globalisasi, sosial, keilmuan, sumber daya manusia, dan alat hidup merupakan pemicu transformasi dalam pendidikan dan tingkat keterampilan seseorang. Akibatnya, semakin banyak pendidik, pemimpin bisnis dan politisi menyerukan keterampilan abad ke-21 yang diajarkan sebagai bagian dari pendidikan semua orang untuk keberhasilan ekonomi suatu negara. Pendidik dituntut memiliki pemahaman tentang paradigma pembelajaran abad ke-21 menjadi hal yang penting dan diterapkan sebagai kerangka pedagogis dalam proses pembelajaran. Sekolah harus mengimplementasikan kompetensi tidak hanya fokus pada penguasaan mata pelajaran utama, tetapi juga tentang konten akademik di tingkat yang lebih tinggi. Siswa perlu mengembangkan kompetensi penting hasil belajar abad 21 melalui berbagai jenis penalaran (induktif, deduktif, dll) sesuai dengan situasi. Fisika memiliki banyak kegunaan. Arsitek, mekanik, pembangun, tukang kayu, tukang listrik, tukang pipa, dan insinyur menggunakan fisika setiap hari dalam pekerjaan atau profesi mereka. Fisika sering didefinisikan sebagai kajian tentang materi, energi, dan transformasinya. Fisikawan menggunakan metode ilmiah untuk mengamati, mengukur, dan memprediksi peristiwa fisik dan sifatnya (Ewen, et al. 2012). Sains/fisika adalah istilah yang menggambarkan dua hal utama yaitu dasar pengetahuan dan proses pengetahuan (Zimmerman, 2007). Hakikat fisika meliputi rasa ingin tahu tentang benda dan fenomena alam yang menimbulkan masalah baru yang dapat diselesaikan melalui metode ilmiah yang meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan. Produk fisika berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum yang aplikasi melalui perencanaan metode ilmiah dan konsep sains dalam kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur tersebut diharapkan dapat muncul dalam proses pembelajaran fisika, sehingga siswa dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh, memahami fenomena alam melalui metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru (Wati dkk. 2012). Menurut Vernon dan Donal dalam Arsyad (2011) mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan perilaku. Slameto (2010) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru sebagai hasil pengalaman dalam interaksi dengan lingkungan. Pembelajaran dapat diartikan sebagai perubahan dalam kemampuan, sikap, atau perilaku siswa sebagai akibat dari pengalaman atau pelatihan (Bukhori, 2012). Mengajar yang mengacu pada proses perubahan tingkah laku menuntut metode pembelajaran yang tepat. Metode saintifik sangat relevan dengan tiga teori belajar, yaitu teori belajar penemuan oleh Bruner, teori perkembangan struktur kognitif oleh Piaget dan zone of proximal development oleh vygotsky (Hosnan, 2014). Menurut Shermer (2002) penalaran ilmiah adalah seperangkat metode yang dirancang untuk
ISBN: 978-602-72071-1-0
menggambarkan dan menginterpretasikan pengamatan atau menyimpulkan fenomena, masa lalu atau sekarang, dan bertujuan menguji bidang pengetahuan sebagai penolakan atau konfirmasi. Penalaran adalah proses menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip dan bukti untuk membuat kesimpulan baru (Lee & She, 2010). Zimmerman (2005) mengemukakan bahwa penalaran ilmiah meliputi kemampuan berpikir yang terlibat dalam penyelidikan, eksperimen, evaluasi bukti, inferensi, dan argumentasi. Penalaran ilmiah terdiri dari keseluruhan pola penalaran biasanya meliputi sub-pola hipotetikodeduktif dan beberapa bagian pola, yang dapat dicirikan sebagai skema operasional formal seperti proporsi kombinasi dan korelasi (Lawson, 2004; Piajet, 1985). Selain itu, Weld, Stier, dan Birren (2011) melaporkan bahwa penalaran ilmiah sebagai kemampuan untuk menentukan pertanyaan sains, merencanakan cara untuk menjawab pertanyaan, menganalisis data, dan menginterpretasikan hasil. Penalaran ilmiah memberikan kontribusi dalam keterampilan kognitif siswa. Namun, penelitian pengembangan penalaran ilmiah, terutama dalam hal ilmu alam jarang dilakukan di Indonesia. Informasi yang terkait dengan penalaran ilmiah menunjukkan bahwa upaya pelaksaannya melalui penerapan strategi pembelajaran tertentu. Penelitian yang berkaitan dengan pemetaan dan karakterisasi penalaran dalam aspek kognitif dan struktur semantik terbatas secara kualitatif. Oleh karena itu, perlu untuk melakukan kajian komprehensif, untuk menganalisis secara kognitif dan menjelaskan struktur semantik yang didasari oleh proses penalaran. Zimmerman (2007) menemukan bahwa anakanak lebih mampu dalam pemikiran ilmiah sejak awal pemikirannya, dan bahwa orang dewasa yang kurang. Dia juga menyatakan bahwa pemikiran ilmiah membutuhkan satu set kompleks keterampilan kognitif yang dikembangkan melalui banyak latihan dan kesabaran. Hal ini penting bagi pendidik untuk memahami bagaimana kemampuan penalaran ilmiah berkembang. Cara di mana para ilmuwan mengembangkan kemampuan berpikir mereka, mempertahankan kesimpulan mereka, dan terlibat dengan penjelasan alternatif (Hogan & Maglienti, 2001; Nersessian, 1995) sering tidak muncul di dalam pembelajaran sains. Boudreaux, Shaffer, Heron, dan McDermott (2008) mempelajari pemahaman siswa terkait dengan variabel kontrol, dan menunjukkan beberapa tantangan pendidikan yang serius. Banyak guru sains menganggap bahwa cara mengajar mereka akan memunculkan penalaran ilmiah dengan sendirinya tanpa adanya partisipasi pribadi siswa dalam proses ilmiah (Hogan & Maglienti, 2001). Dalam proses kegiatan di laboratorium, guru berpikir bahwa proses pembelajaran siswa terhadap fakta-fakta ilmiah dan konsep atau mengarahkan siswa untuk mengingat peralatan laboratorium akan mengembangkan penalaran ilmiah mereka. Kemudian guru-guru yang sama terkejut ketika siswa mengalami kesulitan dalam menulis laporan hasil kegiatan di laboratorium atau menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk situasi eksperimental baru. Dengan demikian akan terlihat bahwa peningkatan
475 keterampilan penalaran ilmiah harus menjadi tujuan spesifik dan eksplisit pengajaran ilmu pengetahuan. Keterampilan penalaran sangat penting bagi orang yang membutuhkan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang dipenuhi dengan banyak masalah kompleks. Bahkan, penalaran ilmiah merupakan keterampilan penting yang mendorong keberadaan masyarakat literasi sains. Hal ini dijelaskan oleh Galyam & Le Grange (2005); Dunbar & Fugelsang (2004) bahwa kemampuan adaptasi terhadap perubahan yang cepat sangat bergantung pada kemampuan untuk berpikir dan membuat keputusan berdasarkan penalaran, menganalisis, dan sintesis informasi. Masalah yang kompleks dengan dasar permasalahan yang berbeda dan banyak konsekuensi menuntut siswa untuk berlatih keterampilan penalaran ilmiah, seperti pemahaman, berpikir, meneliti, dan mengkritik (Rebich & Gautier, 2005). Pentingnya kesadaran penalaran sebagai tujuan utama belajar ilmu alam telah meningkat. Penelitian yang ada telah menyarankan bahwa keterampilan penalaran ilmiah dapat dilatih dan ditransfer. Pelatihan penalaran ilmiah juga dapat memiliki dampak jangka panjang pada prestasi akademik siswa. Kajian ini ditulis sebagai hasil interpretasi literatur tentang penalaran ilmiah. Penulis berusaha untuk menjelaskan pengertian, karakteristis, proses pembelajaran, dan implikasinya yang mungkin bisa dilakukan agar penalaran ilmiah dapat diketahui sehingga berpotensi terhadap pengembangan penalaran ilmiah sesuai dengan paradigma pembelajaran abad ke-21 sebagai kerangka pedagogis dalam proses pembelajaran sains. Dalam menawarkan argumentasi berikut, sebelumnya penulis memberi apresiasi atas pemikiran para peneliti yang dapat memberikan kontribusi dan acuan untuk memperkuat hasil deskripsi, interpretasi, analisis dan evaluasi yang telah dilakukan yang berkaitan dengan penalaran ilmiah, khususnya dalam pendidikan fisika. PEMBAHASAN Pengertian Penalaran Ilmiah Penalaran adalah proses menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip dan bukti untuk membuat kesimpulan baru atau mengevaluasi kesimpulan yang diajukan (Lee & She, 2010). Dari perspektif literasi sains (Giere, 2006), penalaran ilmiah merupakan keterampilan kognitif yang diperlukan untuk memahami dan mengevaluasi informasi ilmiah, yang sering melibatkan pemahaman dan mengevaluasi teoritis, hipotesis statistik, dan kausal. Dari sudut pandang penelitian (Zimmerman, 2005), penalaran ilmiah, didefinisikan secara luas, termasuk keterampilan berfikir dan bernalar yang melibatkan penyelidikan, eksperimen, evaluasi bukti, inferensi, dan argumentasi. Aktifitas tersebut mendukung pembentukan dan modifikasi konsep dan teori tentang pengetahuan alam dan sosial. Selain itu, Weld, Stier, dan Birren (2011) melaporkan bahwa penalaran ilmiah sebagai kemampuan untuk menentukan pertanyaan sains, merencanakan cara untuk menjawab pertanyaan, menganalisis data, dan menginterpretasikan hasil.
ISBN: 978-602-72071-1-0
Mengacu pada penalaran sebagai proses mental yang menghasilkan dan mengevaluasi argumen logis, keterampilan penalaran meliputi klarifikasi, dasar, inferensi dan evaluasi (Ennis, 1987). Klarifikasi membutuhkan mengidentifikasi dan merumuskan pertanyaan, menganalisis unsur, dan mendefinisikan istilah. Dasar mengacu pada kesimpulan tentang masalah yang didukung oleh informasi dari pengamatan pribadi, pernyataan oleh orang lain, dan kesimpulan sebelumnya. Perbedaan dengan Keterampilan inferensi adalah keterlibatan penalaran ilmiah sebagai hasil induktif atau deduktif. Proses penalaran induktif dari fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum, dan itu adalah proses penalaran utama yang digunakan oleh para ilmuwan untuk sampai pada generalisasi atau hukum ilmiah. Penalaran deduktif adalah proses penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum tentang apa yang diketahui kemudian mencapai kesimpulan logis tertentu (Lee & She, 2010). Dari perspektif yang lebih operasional, penalaran ilmiah merupakan seperangkat keterampilan penalaran dasar yang diperlukan bagi siswa untuk melakukan penyelidikan ilmiah, yang meliputi mengeksplorasi masalah, merumuskan dan menguji hipotesis, memanipulasi dan mengisolasi variabel, dan mengamati dan mengevaluasi konsekuensi. Uji Lawson Ilmiah Penalaran (LTSR) menyediakan titik awal yang solid untuk menilai keterampilan penalaran ilmiah (Lawson, 1978, 2000). Tes ini dirancang untuk memeriksa satu set kecil dimensi termasuk: 1) konservasi materi dan volume; 2) penalaran proporsional; 3) kontrol variabel; 4) penalaran probabilitas; 5) penalaran korelasi; dan 6) penalaran hipotetis-deduktif. Keterampilan ini merupakan komponen penting yang mendukung kemampuan penalaran ilmiah yang didefinisikan secara luas. Pentingnya Penalaran Ilmiah Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran secara umum dalam pendidikan Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM) tidak hanya mencakup pengembangan pengetahuan konten materi tetapi juga pengembangan kemampuan ilmiah umum yang dapat memungkinkan bagi siswa untuk mampu menangani tugas-tugas dunia nyata dalam karir masa depan. Salah satu kemampuan tersebut adalah penalaran ilmiah yang berkaitan erat dengan berbagai kemampuan kognitif umum seperti berpikir kritis dan penalaran. Penelitian yang ada telah menyarankan bahwa keterampilan penalaran ilmiah dapat dilatih dan ditransfer. Pelatihan penalaran ilmiah juga dapat memiliki dampak jangka panjang pada prestasi akademik siswa. Oleh karena itu, penting untuk menyelidiki bagaimana menerapkan program pendidikan STEM yang dapat membantu siswa mengembangkan kedua STEM pengetahuan konten dan penalaran ilmiah. Untuk tujuan tersebut, hasil analisis perkembangan kemampuan penalaran ilmiah untuk siswa AS dan Cina diukur menggunakan tes Lawson. Parameter keseluruhan kemampuan penalaran ilmiah dan keterampilan individu telah di ketahui secara kuantitatif. Hasil penelitian
476 menunjukkan bahwa skor total siswa Cina dan AS pada tes Lawson adalah sama, tetapi berbeda dalam lima dari enam dimensi keterampilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem budaya dan pendidikan kedua negara tersebut berkontribusi pada perbedaan skor yang didapatkan. Literasi sains saat ini dianggap sebagai tujuan utama untuk meningkatkan sumber daya manusia di abad ke-21, kemampuan penalaran ilmiah ditentukan sebagai faktor penting untuk mendorong kinerja siswa dalam pembelajaran sains. Banyak peneliti ilmu pendidikan telah melaporkan bahwa gender berpengaruh terhadap pemahaman siswa dan sikap mereka terhadap ilmu pengetahuan. Namun, tidak ada banyak penyelidikan di bidang interaksi antara gender dan kemampuan penalaran ilmiah. Dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tentang masalah tersebut, pengaruh gender pada kemampuan penalaran ilmiah siswa. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa tidak ada interaksi antara gender dan kemampuan untuk berpikir secara ilmiah, yaitu efek kemampuan penalaran ilmiah tidak tergantung pada jenis kelamin. Sebuah penalaran ilmiah memiliki implikasi instruksional yang signifikan untuk meningkatkan kemampuan penalaran ilmiah siswa (Zeineddin & Abd-El-Khalick, 2010). Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa keterampilan penalaran ilmiah dapat dilatihkan dan ditransfer. Keterampilan penalaran ilmiah merupakan literasi sains yang saat ini dianggap sebagai tujuan utama untuk meningkatkan sumber daya manusia di abad ke-21. Dapat disimpulkan bahwa keterampilan penalaran ilmiah dapat dilatihkan dan ditransfer dan merupakan faktor penting yang dapat memungkinkan bagi siswa untuk mampu menangani tugas-tugas dunia nyata dalam karir masa depan. Proses Pembelajaran Penalaran Ilmiah Kerangka kerja untuk penelitian pengembangan penalaran ilmiah anak-anak, Zimmerman menyatakan bahwa pemikiran ilmiah melibatkan pemikiran dan keterampilan penalaran yang mendukung pembentukan dan modifikasi konsep dan teori tentang pengetahuan alam dan sosial (Zimmerman, 2005) dan mengklaim bahwa penalaran ilmiah mencakup keterampilan yang terlibat dalam penyelidikan, eksperimen, bukti evaluasi, dan kesimpulan yang dilakukan untuk mencapai perubahan konseptual atau pemahaman ilmiah (Zimmerman, 2007). pengaruh dua metode yang berbeda pada siswa SMA yaitu belajar fisika dengan membaca (by reading) dan melakukan (by doing) pada peningkatan tingkat pemikiran ilmiah menggunakan tes Lawson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pertama (belajar fisika dengan membaca) mencapai N-gain 0,16, sedangkan kelompok lainnya mencapai N-gain 0.31. Hal tersebut memberikan kesadaran perlunya implementasi berbagai model atau metode pembelajaran fisika yang tepat untuk meningkatkan tingkat kognitif siswa. Menurut model perkembangan kognitif Piaget, individu akan melalui fase dan waktu tertentu terhadap pengembangan kemampuan penalaran ilmiah. Siswa melalui tahapan perkembangan yang berbeda hingga
ISBN: 978-602-72071-1-0
mencapai tingkat penalaran ilmiah tertinggi yaitu penalaran operasional formal. Antara usia 6 dan 11 tahun, siswa mencapai tingkat operasional konkret. Pada tahap itu, siswa dapat mengklasifikasikan benda dan memahami konservasi (jumlah, berat dan nilai-nilai yang berkelanjutan), tetapi mereka masih belum mampu berpikir dalam hal hipotesis. Siswa pada usia antara 11 dan 15 dapat mengisolasi dan mengontrol variabel dan mengamati hubungan timbal balik antara variabel melalui penalaran proporsional. Sehingga, siswa mampu melakukan penalaran hipotetis dalam tahap terakhir pengembangan penalaran yaitu penalaran operasional formal. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa penalaran ilmiah mencakup keterampilan yang terlibat dalam penyelidikan untuk mendukung eksperimen, bukti evaluasi, dan kesimpulan. Siswa ditingkat Sekolah menengah atas (SMA) telah mencapai usia antara 11 dan 15 yang telah mampu melakukan penalaran hipotetis dalam tahap terakhir pengembangan penalaran yaitu penalaran operasional formal. Pembelajaran inkuiri pada siswa SMA sesuai untuk mendukung keterampilan penalaran ilmiah siswa. Evaluasi Penalaran Ilmiah Selain penggunaan bukti yang optimal oleh siswa dalam berbagai cara yang produktif dan berguna bagi guru dan peneliti, penilaian penalaran ilmiah juga penting untuk dilakukan. Lawson Classroom Test of Scientific Reasoning (LCTSR) (Lawson, 1978, 2000) merupakan instrumen penilaian yang banyak digunakan untuk menyelidiki kemampuan penalaran ilmiah siswa (Lee and She, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tes ini adalah dioptimalkan untuk menilai siswa SMA. The Lawson pertama kali dikembangkan pada tahun 1978 dan direvisi pada tahun 2000 yang terdiri dari 12 dua pertanyaan bertingkat sehingga total seluruh pertanyaan terdiri dari 24 item. Setiap pertanyaan memiliki pertanyaan lapis kedua yang dirancang untuk mengukur secara mendalam proses pemahaman ilmiah siswa. 12 item tes tersebut masing-masing berisi dua tingkatan yaitu tingkat pertama mengharuskan siswa untuk memilih jawaban, dan tingkat kedua menuntut siswa untuk menggunakan pemikiran atas jawaban tersebut. Siswa yang mendapat skor 0-2 diklasifikasikan pada tingkat yang lebih rendah secara umum berhubungan dengan tingkat pre-concrete operational Piaget. Skor 3-4 diklasifikasikan pada tingkat yang lebih rendah secara umum berhubungan dengan tingkat post-concrete operational Piaget. Skor 5-8 diklasifikasikan sebagai Seseorang yang berada tingkat transisi dan mereka yang mencapai skor 9-12 diklasifikasikan sebagai tingkat yang lebih tinggi yang sesuai umumnya untuk tahap operasional formal Piaget (Lawson 1978). Tes Lawson memiliki desain yang unik dengan menggunakan struktur dua tingkat, yang dapat menghasilkan kekayaan informasi tentang kemampuan siswa dalam mengkoordinasikan kesimpulan dan penjelasan. Pola penalaran ilmiah sebagai domain kemampuan penalaran ilmiah termasuk: 1) Conservation of Mass and Volume (CMV); 2) Proportional Thinking
477 (PPT), 3) Control of Variables (CV), 4) Probabilistic Thinking (PBT), 5) Correlational Thinking (CT), dan 6) Hypothetical-deductive Reasoning (HDR). Berpikir proporsional dapat dikonseptualisasikan dengan cara menemukan satu variabel luas sebagai masalah perbandingan dengan variabel intensif. Pengendalian variabel meliputi mengendalikan variabel dependen dan independen yang berpengaruh dalam uji hipotesis. Berpikir probabilistik sebagai situasi di mana menghasilkan hasil tertentu ketika diulang dalam keadaan yang sama dalam konteks yang lebih besar. Berpikir korelasional untuk menentukan kekuatan hubungan timbal balik antara variabel. Penalaran hipotetis-deduktif sebagai karakteristik dari proses penalaran yang menghasilkan pengembangan dan pengorganisasian solusi yang mungkin untuk menangani masalah dalam setiap langkah dan domain dari kehidupan. Dalam fisika, banyak peneliti pendidikan yang menggunakan uji Lawson untuk mempelajari hubungan antara kemampuan penalaran ilmiah siswa dan pembelajaran fisika. Coletta dan Phillips (2005) melaporkan korelasi yang signifikan (r ≈ 0,5) antara prepost normalized gain pada konsep gaya dan kemampuan penalaran siswa diukur dengan tes Lawson. Instrumen ini telah diukur validitas dan reliabilitasnya. Misalnya, Lawson, Bank, dan Logvin (2007) menunjukkan nilai α cronbach posttest adalah 0,79. She dan Lee (2010) menunjukkan α cronbach adalah 0,71 untuk pretest, 0,61 untuk post-test, dan 0,76 untuk retensi-test. Reliabilitas tes ditemukan 0,71 dengan menghitung konsistensi internal menggunakan alpha Cronbach yang dianggap sesuai digunakan dalam penelitian. Salah satu bentuk tes LCTSR yaitu pengendalian variabel dapat dilihat pada contoh berikut.
Berikut ini merupakan hasil penelitian tentang kemampuan penalaran ilmiah menggunakan Lawson Classroom Test of Scientific Reasoning (LCTSR)
ISBN: 978-602-72071-1-0
Gambar 1. Persentase Kelas 3-12 pada Enam Tingkat Tes Lawson.
Tingkat 1 dan 2 menunjukkan tingkat keterampilan yang relatif rendah, persentase tingkat ini menurun seiring semakin bertambahnya usia. Level 3 menunjukkan bahwa persentase relatif tetap stabil hingga terjadi kenaikan yang tajam pada kelas 7 ke kelas 8, setelah itu terjadi penurunan terus-menerus. Secara umum terjadi peningkatan nilai persentase seiring bertambahnya usia, namun terjadi penurunan dari kelas 11 ke kelas 12. Tingkat 5 menunjukkan bahwa persentase meningkat seiring peningkatan kelas. Persentase tingkat 6 meningkat seiring besarnya kelas. Hal ini menunjukkan bahwa siswa memerlukan keterampilan penalaran yang kuat untuk menjawab semua empat item dengan benar. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa Lawson Classroom Test of Scientific Reasoning (LCTSR) merupakan instrumen penilaian yang banyak digunakan untuk menyelidiki kemampuan penalaran ilmiah siswa. Tes ini adalah dioptimalkan untuk menilai siswa SMA. uji Lawson digunakan untuk mempelajari hubungan antara kemampuan penalaran ilmiah siswa dan pembelajaran fisika. Domain kemampuan penalaran ilmiah termasuk: 1) Conservation of Mass and Volume (CMV); 2) Proportional Thinking (PPT), 3) Control of Variables (CV), 4) Probabilistic Thinking (PBT), 5) Correlational Thinking (CT), dan 6) Hypothetical-deductive Reasoning (HDR). Instrumen ini telah terukur validitas dan reliabilitasnya. Dapat disimpulkan bahwa Lawson Classroom Test of Scientific Reasoning (LCTSR) merupakan instrumen penilaian untuk mempelajari hubungan antara kemampuan penalaran ilmiah siswa dan pembelajaran fisika SMA. Penalaran Ilmiah dalam Pembelajaran Fisika Fisika merupakan ilmu pengetahuan dasar yang berhubungan dengan perilaku dan struktur benda. Tujuan utama semua sains termasuk fisika adalah usaha untuk mencari keteraturan dalam pengamatan manusia pada alam sekitar (Giancoli, 2005). Fisika bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan peristiwa yang terkait dengan konsep dan prinsip tersebut dan menyelesaikan masalah baik secara kualitatif dan kuantitatif (Erlina et al. 2015). Fisikawan menggunakan metode ilmiah untuk mengamati, mengukur, dan memprediksi peristiwa fisik dan sifatnya (Ewen, et al. 2012). Mata pelajaran fisika berhubungan erat dengan berbagai gejala alam dalam kehidupan sehari-hari dan ditujukan untuk mengembangkan keterampilan bernalar, berpikir analitik,
478 induktif, dan deduktif menggunakan konsep dan prinsip fisika. Keterampilan penalaran meliputi klarifikasi, dasar, inferensi dan evaluasi (Ennis, 1987). Penalaran ilmiah melibatkan proses induktif untuk mencapai kesimpulan umum atau deduktif untuk mencapai kesimpulan logis tertentu atau keduanya. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa fisika merupakan ilmu pengetahuan dasar yang berhubungan dengan perilaku dan struktur benda. Fisika bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika. Mata pelajaran fisika berhubungan erat dengan berbagai gejala alam dalam kehidupan sehari-hari dan ditujukan untuk mengembangkan keterampilan bernalar, berpikir analitik, induktif, dan deduktif menggunakan konsep dan prinsip fisika. Dapat disimpulkan bahwa keterampilan penalaran ilmiah melibatkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika. Seorang siswa yang memiliki kemampuan dalam penalaran ilmiah diantaranya mampu menyimpulkan informasi yang valid dari data kuantitatif yang disajikan dalam bentuk grafik. Keterampilan yang diukur dalam representasi data yaitu membaca grafik, interpretasi plot pencar, dan interpretasi informasi yang disajikan dalam tabel, diagram, dan angka. Penalaran ilmiah melibatkan penyajikan beberapa hipotesis atau pandangan yang saling tidak konsisten karena interpretasi data yang berbeda. Hal ini mungkin disebabkan penyajian diagram, grafik, tabel, diagram, atau gambar yang dapat mengukur keterampilan umum siswa dalam memahami, menganalisis, dan membandingkan sudut pandang atau hipotesis alternatif. Kompetensi siswa dibentuk ketika siswa terlibat aktif dalam aktivitas mental, fisik, dan sosialnya. Proses pembelajaran pelajaran fisika mengisyaratkan pembelajaran harus bersifat student centered berbasis kegiatan ilmiah. Pembelajaran inkuiri terbimbing memberi kesempatan para siswa membangun pengetahuan secara multi representasi dan membantu siswa mengembangkan pemahaman konsep (Pandey, et al., 2011). Siswa memerlukan penghayatan dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang mereka dapat dari pembelajaran kemudian menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka melalui multi representasi. Peserta didik akan belajar lebih efektif dan efisien ketika mereka aktif untuk mengolah informasi dengan multi representasi (David, et al., 2013). Beberapa alasan pentingnya menggunakan multi representasi dalam pembelajaran diantaranya, yaitu representasi bermanfaat bagi penalaran kualitatif, representasi matematik digunakan untuk penalaran kuantitatif dan multi representasi bermanfaat dalam kegiatan penyelidikan (inkuiri). (Acevedo, et al., 2010) menyatakan bentuk dari kemampuan multi repesentasi fisika adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalahmasalah fisika dengan proses representasi yang bermacam cara yaitu matematis, verbal (tulisan atau oral), dan visual (simbol/notasi, gambar, dan grafik).
ISBN: 978-602-72071-1-0
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa penalaran ilmiah melibatkan penyajikan beberapa hipotesis atau pandangan yang saling tidak konsisten karena interpretasi data yang berbeda. Siswa akan belajar lebih efektif dan efisien ketika mereka aktif untuk mengolah informasi dengan multi representasi. Representasi bermanfaat sebagai penalaran kualitatif dan penalaran kuantitatif. Dapat disimpulkan bahwa multi representasi bermanfaat sebagai penalaran kualitatif dan penalaran kuantitatif. Penalaran ilmiah meliputi penalaran dan keterampilan yang terlibat dalam menghasilkan, menguji dan merevisi hipotesis atau teori, dan dalam masalah yang mengembangkan keterampilan secara penuh, merefleksi pemahaman pengetahuan dan perubahan pengetahuan yang dihasilkan dari kegiatan penyelidikan. Para ilmuwan tidak satu-satunya orang yang menggunakan keterampilan penalaran ilmiah dalam bidang pekerjaan. Dalam domain kerja, seorang majikan mencari orang yang dapat mempelajari tugas baru dengan memanfaatkan kemampuan memecahkan masalah. Keterampilan penalaran tertentu dapat membantu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan rasio dapat digunakan dalam menentukan jarak tempuh atau menemukan merek termurah di toko. Penalaran induktif digunakan untuk membuat kesimpulan dari pengamatan dan informasi yang terbatas. Penalaran kausal dan probabilitas digunakan dalam memprediksi cuaca dan menilai tingkat asuransi. Hipotetis keterampilan penalaran deduktif digunakan dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang telah menjadi bagian kemampuan yang bersifat otomatis. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penalaran ilmiah melibatkan kegiatan menghasilkan, menguji dan merevisi hipotesis serta membantu pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah. Awal mulanya, penalaran ilmiah disebut sebagai penalaran formal oleh Piaget atau berpikir kritis oleh Hawkins. Penalaran ilmiah berkaitan erat dengan berbagai kemampuan kognitif umum seperti berpikir kritis dan penalaran. Keterampilan penalaran ilmiah adalah alat yang memungkinkan seseorang untuk memperoleh pengetahuan baru dan berpikir kritis. Penalaran ilmiah dan keterampilan berpikir kritis merupakan landasan penting dari skeptisisme dan penalaran berbasis bukti yang merupakan dasar untuk ilmu pengetahuan. Menurut Komite Nasional Dewan Penelitian tentang Pendidikan Sarjana Sains (Franz and Green, 2013), berfikir kritis disebut dengan istilah penalaran ilmiah yang menggabungkan aspek analisis dengan keterampilan khusus yang terkait dengan desain eksperimental. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penalaran ilmiah merupakan cara untuk berfikir kritis. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil kajian dari berbagai literatur diatas dapat disimpulkan bahwa:
479 1. Keterampilan penalaran ilmiah dapat dilatihkan dan ditransfer dan merupakan faktor penting yang dapat memungkinkan bagi siswa untuk mampu menangani tugas-tugas dunia nyata dalam karir masa depan. 2. Pembelajaran inkuiri pada siswa SMA sesuai untuk mendukung keterampilan penalaran ilmiah siswa. 3. Lawson Classroom Test of Scientific Reasoning (LCTSR) merupakan instrumen penilaian untuk mempelajari hubungan antara kemampuan penalaran ilmiah siswa dan pembelajaran fisika SMA. 4. Domain kemampuan penalaran ilmiah termasuk: 1) Conservation of Mass and Volume (CMV); 2) Proportional Thinking (PPT), 3) Control of Variables (CV), 4) Probabilistic Thinking (PBT), 5) Correlational Thinking (CT), dan 6) Hypotheticaldeductive Reasoning (HDR). 5. Keterampilan penalaran ilmiah melibatkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika. 6. Multi representasi bermanfaat sebagai penalaran kualitatif dan penalaran kuantitatif. 7. Penalaran ilmiah melibatkan kegiatan menghasilkan, menguji dan merevisi hipotesis serta membantu pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah. 8. Penalaran ilmiah merupakan cara untuk berfikir kritis. Saran Penalaran ilmiah menjadi hal yang penting dan diterapkan sebagai kerangka pedagogis dalam proses pembelajaran. Perlunya pengembangan model pembelajaran fisika yang mengintegrasikan multirepresentasi dan penalaran ilmiah dalam menyelesaiakan masalah.
DAFTAR PUSTAKA Acevedo, N. A. Van Dooren, W. Clarebout, G. Elen, J. and Verschaffel, L. (2010). “Representational flexibility in linear-function problems: a choice/no-choice study”. In L. Verschaffel, E. De Corte, T. de Jong and J. Elen (Eds.) Use or representations in reasoning and problem solving: Analysis and improvement, 74-79. Milton Park, UK: Routledge. Arsyad, A. (2011). Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. Boudreaux, A., Shaffer, P., Heron, P., & McDermott, L. (2008). Student understanding of control of variables: Deciding whether or not a variable influences the behavior of a system. American Journal of Physics, 76(2), 163 - 170. Bukhori, F. (2012). Pembelajaran Berbasis Inkuiri untuk Optimalisasi Pemahaman Konsep Fisika pada Siswa Di SMA Negeri 4 Magelang, Jawa Tengah. Jurnal Berkala Fisika Indonesia 4 (1 dan 2)11-21. David, M. J. Christophe, D. J. Norma, A. J. (2013). “The effect of representations on difficulty perception and learning of the physical concept of pressure”. Themes in science and technology education. Vol.6 No.2, pp. 91-108.
ISBN: 978-602-72071-1-0
Erlina,
Nia. (2013). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Fisika Menggunakan Model Learning Cycle 7E untuk Meningkatkan Keterampilan Penyelesaian Masalah. Tesis: Magister Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya. Erlina. N, Jatmiko. B, and Wicaksono. I. (2015). Problem Solving Skills in Learning Physics. Proceeding International Conference (2015): 427-445. ISSN: 2443-2768 Mei 2015. Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Indonesia. Ewen, D., Schurter, N & Gundersen, P.E (2012). Applied Physics (10 th ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Franz and Green. (2013). The impact of an interdisciplinary learning community course on pseudoscientific reasoning in first-year science students. Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 13, No. 5, December 2013, pp. 90 – 105. Giancoli D.C. (2005). Physics: Principles with Aplication, Sixth Edition. New Jersey: Printice Hall. Giere, J., Bickle and R. F. Mauldin. (2006). Understanding Scientific Reasoning, 5th edition, Belmont, CA: Thomson/Wadsworth Hogan, K.., & Maglienti, M. (2001). Comparing the epistemological underpinnings of students‟ and scientists‟ reasoning about conclusions. Journal of Research in Science Teaching, 38 (6), 663 687. Hosnan. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21. Jakarta: Ghalia Indonesia. Lawson, A. E. (1978). The development and validation of a classroom test of formal reasoning. Journal of Research in Science Teaching, 15(1), 11-24. Lawson, A. E. (2000). The generality of hypotheticodeductive reasoning: making scientific thinking explicit. The American Biology Teacher, 62(7), 482-495. Lawson, A. E. (2004). The Nature and Development of Scientific Reasoning: A Synthetic View. International Journal of Science and Mathematics Education, 2(3), 307-338. doi:10.1007/s10763-004-3224-2. Lee, C.-Q., & She, H.-C. (2010). Facilitating Students‟ Conceptual Change and Scientific Reasoning Involving the Unit of Combustion. Research Science Education, 40, 479-504. Nersessian, N. J. (1995). Should physicists preach what they practice? Constructive modeling in doing and learning physics. Science & Education, 4 (3), 203 - 226. Pandey1, G. K. Nanda, and Ranjan, V. (2011). “Effectiveness of inquiry training model over conventional teaching method on academic achievement of science students in India”.
480 Journal of innovative research in education. Vol.1 No.1, pp. 7-20. Piajet, J. (1985). The Equilibration of Cognitive Structures: The Central Problem of Intellectual Development. Chicago and London: University of Chicago Press. Rebich, S., & Gautier, C. (2005). Concept mapping to reveal prior knowledge and conceptual change in a mock summit course on global climate change. Journal of Science Education, 53, 355365. Shermer, M. (2002). Why people believe weird things: Pseudo-science, superstition, and bogus notions of our time. New York, NY: Henry Holt and Company, LLC. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta. Wati, S. C., Sulastri, dan Riastini, N. (2012). Pengaruh Model Pembelajaran Tps Berbantuan Media Permainan Tradisional Bali Terhadap Pemahaman Konsep IPA Siswa Kelas IV SD Gugus IV Sawan. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi PGSD 3 (4) 1-9. Weld, J., Stier, M., & Birren, J. M. (2011). The Development of a Novel Measure of Scientific Reasoning Growth Among College Freshmen: The Constructive Inquiry Science Reasoning Skills Test. Research and teaching, 40(4), 101107. World Economic Forum. (2015). New Vision for Education Unlocking the Potential of Technology http://www3.weforum.org/docs/WEFUSA_New VisionforEducation_Report2015.pdf Zimmerman, C. (2005). The development of scientific reasoning: what psychologists contribute to an understanding of elementary science learning. Paper commissioned by the Academies of Science (National Research Council‟s Board of Science Education, Consensus Study on Learning Science, Kindergarten through Eighth Grade). http://www7.nationalacademies.org/bose/Corinn e_Zimmerman_Final_Paper.pdf Zimmerman, C. (2007). The development of scientiWc thinking skills in elementary and middle school. Developmental Review, 27, 172-223. Zeineddin, A., & Abd-El-Khalick, F. (2010). Scientific Reasoning and Epistemological Commitments: Coordination of Theory and Evidence Among College Science Students. Journal of research in science teaching, 47(9), 1064-1093. doi:10.1002/tea.20368
ISBN: 978-602-72071-1-0