AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009
ISSN: 1979 – 8245X
Membernaskan Pembangunan Pertanian Sebagai Solusi Mengakar dalam Mengatasi Kemiskinan Oleh: Munajat Abstract Nationally, base layer og Indonesian population pyramid consists of farmer and fisherman aho live in rural area. Because of that, if we want to fix Indonesian economy structure, we have to transform from traditional agriculture to modern economy (agriculture business). Poverty in rural agriculture community is an accumlation of various characteristic attached to agriculture community. Small business, remote, traditional, low access to capital, technology and market are the factors of countinuity poverty. In short and long term the basic factor of poverty has to be found out. To achieve the goal need sradical change whisch is realization of agriculture development and it is expected to be the core of national development. Key words: development, farmer, fisherman, poverty, agriculture business
PENDAHULUAN Yudhoyono (2004), mengemukakan bahwa kemiskinan merupakan masalah kritis yang harus ditanggani dalam pembangunan nasional. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah sejauhmana kemiskinan dapat dikendalikan dan diupayakan untuk dikurangi secara nyata dari waktu-kewaktu. Tujuan akhirnya jelas, yaitu tercapainya keadilan dan kemakmuran bersama. Berbicara masalah kemiskinan pada era krisis global saat ini, merupakan sesuatu yang sangat menarik ditengah menurunnya beberapa nilai tukar produk pertanian dan bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang diikuti PHK besar-besaran. Secara makro, kondisi ini sangat kental menghantui perekonomian nasional. Sesungguhnya satu dari dua penyakit ekonomi tersebut (kedua pengangguran) cenderung tetap tinggi dalam hal jumlah maupun persentasenya, sehingga (Nuhung, 2006), menyatakan bahwa pemerintah terpaksa membagikan dana kompensasi kepada 15,7 juta rumah tangga miskin pada tahun 2005. Melor (1976); Yasin et al (2004), telah mensinyalir bahwa inti persoalan mass poverty di dunia adalah “ distribusi pendapatan yang tidak merata” atau terjadi jurang ekonomi antar pelaku yang berbeda skala usahanya. Secara nasional lapisan terbawah dari piramid penduduk Indonesia adalah petani dan nelayan yang tinggal di pedesaan. Oleh karena itu, jika kita ingin memperbaiki struktur perekonomian nasional, maka perlu dilakukan transformasi budaya ekonomi pertanian tradisional, yang selama ini melekat pada pertani kita, ke arah budaya ekonomi modern (agribisnis). Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat pertanian pedesaan, merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik yang melekat pada masyarakat pertanian yang subsistem dan sudah
Rektor Universitas Baturaja dan Kandidat Doktor Agribisnis UNSRI
Munajat, Hal; 12 – 18
12
AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009
ISSN: 1979 – 8245X
berlangsung sangat lama. Dengan usaha yang kecil, terpencil, tradisional, aksesibilitas yang rendah pada modal, teknologi dan pasar merupakan penyebab kemiskinan yang berkelanjutan. Menurut catatan BPS (2003), tergambar bahwa dari jumlah penduduk miskin di Indonesia, sebesar 56,84% berada di pulau jawa dan 43,11% di luar jawa, sekitar 80% penduduk miskin tersebut berada di kawasan barat Indonesia (KBI) dan 20% di kawasan Timur Indonesia (KTI). Domisili terbanyak penduduk miskin ada di pedesaan yaitu 64,3 dan selebihnya di perkotaan. Dari beberapa studi empiris menunjukan bahwa memang banyak faktor penyebab kemiskinan, yang saling berhubungan dan tergantung satu dengan yang lainnya (lingkaran setan), laksana antara telur dan ayam dari mana harus dimulai upaya penganggulangganya karena terkait masalah teknis, sosial budaya, ekonomi, infrastruktur bahkan mungkin perundang-undangan. Tindakan kuratif melalui bantuan langsung tunai, pemberian pangan tambahan dan lain sebagainya, sesungguhnya hanya membantu dalam jangka pendek, tapi dalam jangka panjang harus ditemukan secara mendasar apa sebab penduduk itu miskin? Tanpa mengetahui akar permasalahan dari kemiskinan, maka upaya yang dilakukan hanyalah penyelesaian sementara dan tidak permanen. Untuk itu pada tulisan ini, penulis akan mengkontruksikan butir-butir pikiran akademis strategis dari alternatif solusi berupa membernaskan pembangunan pertanian dalam mengatasi kemiskinan. Pembangunan Sektor Pertanian Pertanian di negara tercinta ini adalah bidang pembangunan yang menurut banyak pakar sangat penting bagi perekonomian dan kehidupan sosial bagian terbesar masyarakat kita. Dianggap penting karena beberapa alasan: bahwa potensi bagian besar wilayah nusantara pada dasarnya berbasis sumberdaya pertanian dalam pengertian yang luas, tempat bergantungnya mata pencaharian dan kehidupan petani yang populasinya cukup besar, memberikan dukungan nyata dalam perekonomian nasiona, penyedia pangan, dan sebagainya. Ironisnya, potret pembangunan sejak zaman kemerdekaan jusru menunjukan dinamika tidak sesuai harapan dan tidak difungsikan dan diberdayakan sesuai potensinya. Tanpa berkehendak melupakan success story dari pembangunan sektor pertanian yang telah dilakukan. Halaman buram sektor pertanian tetap akan dihadapi jika bangsa ini tidak pembangunan secara terpadu dari sektor pertanian itu sendiri mulai dari hulu, proses hinga hilir dalam konsep agribisnis. Hal ini sejalan dengan pendapat Arifin (2004), menyatakan bahwa pembangunan pertanian bukan semata proses peletakan pondasi dan pembenahan struktur sektor pertanian dalam peta perekonomian, namun upaya serius dan sistematis untuk menterjemahkan paradigma keberpihakan kedalam langkah nyata yang dapat dimengerti dan dilaksanakan masyarakat banyak. Kekeliruan yang mendasar selama ini menurut Wibowo (2004), adalah berpangkal pada persepsi bahwa pertanian hanya dipandang sebagai suatu “sektor” dalam pembangunan dan “hanya diposisikan sebagai pendukung (buffer sector) bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya (industri dan jasa-jasa) dalam pembangunan wilayah. Pandangan tersebut telah mengakibatkan dan mendorong terjadinya berbagai paradoks dalam pembangunan. Peningkatan produktivitas sektor pertanian berjalan sangat lambat dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya sementara proprsi tenaga kerja pada berbagai kegiatan produktif di sektor pertanian masih cukup besar, sehingga sisi negatif yang sangat tampak dominan adalah masih rendahnya tingkat pendapatan riil petani, lambatnya pertumbuhan kegiatan Munajat, Hal; 12 – 18
13
AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009
ISSN: 1979 – 8245X
ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan, dan kesenjangan produktivitas tenaga kerja dan learning capacity sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lain. Ilustrasi di atas pada dasarnya ingin mengungkapkan bahwa, tanpa melakukan perubahan radikal berupa pembernasan pada pembagunan sektor pertanian, diyakini masa depan pertanian hanya akan menjadi kehidupan suram bagi petani dan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mimpi buruk tersebut dapat dihindari, jika dan hanya jika bangsa ini melandasi filosofi pembangunan pertaniannya sebagai core dalam rangka pembangunan nasional, mengingat sumberdaya dasar negara adalah pertanian atau dengan kalimat yang lain dapat diungkapkan bahwa harus ada strategi cerdas, kemauan, ketegasan dan implementasi dari bangsa ini bahwa pembangunan pertanian adalah hidup dan matinya bangsa ini. Kemiskinan pada Masyarakat Petani Kemiskinan adalah suatu keadaan ketika seorang kehilangan harga diri dan kemartabatan, terbentur pada ketergantungan, terpaksa menerima perlakuan kasar dan hinaan, serta tidak dipedulikan ketika sedang mencari pertolongan (Krisnamurthi, 2004). Sementara Wiranto (2003) dalam Yudoyono (2005), menerangkan bahwa secara garis besar, kemiskinan dapat dibagi kedalam dua katagori, yaitu kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural sering disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty), baik langsung maupun tidak langsung kemiskinan kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup aturan permaian yang diterapkan. Dalam teori hegemoni struktural (Mehretu, 1989), kemiskinan struktural lahir karena hegemonic force dari berbagai kebijakan yang tidak menginternalisasikan nilai keadilan. Sedangkan kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Pada kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lemah/terbatas, peluang produksi relatif kecil atau tingkat efisiensinya relatif rendah. Dalam kerangka teori di atas, kemiskinan alamiah lahir karena perbedaan comparative advantage yang lahir karena competitive forces. Berbicara masalah jumlah penduduk miskin di Indonesia dikatagorikan masih cukup banyak. Secara kuantitatif hal ini ditandai dengan masih adanya kerentanan, ketidakberdayan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan). Dalam hal kemiskinan Irawan (2009), mengemukakan bahwa jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 36,1 juta jiwa atau sekitar 16,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Secara empiris, menurut Krisnamurthy (2003), pembangunan pertanian memiliki peran sentral dalam usaha pengurangan kemiskinan Indonesia, sebagai ilustrasi 66% dari penuruanan kemiskinan antara 1984-1996 merupakan kontribusi pertumbuhan sektor pertanian. Peran strategis pengurangan kemiskinan yang terkait dengan pembangunan pertanian juga didasarkan pada argumentasi bahwa sekitar 65% kemiskinan terdapat di pedesaan, dan sekitar 75% dari kemiskinan di pedesaan tersebut terkait dengan pertanian. Artinya jika kemiskinan yang terkait pertanian dapat diatasi maka lebih dari separuh masalah kemiskinan Indonesia dapat diatasi. Oleh karena itu, pembangunan pertanian dan pedesaan selalu dan harus menjadi perhatian utama dalam strategi penganggulangan kemiskinan Indonesia dengan catatan pembanguan sektor pertanian tersebut yang yang telah dilakukan mulai Indonesia merdeka sampai saat ini perlu tambahan instrumen yakni “dibernaskan”.
Munajat, Hal; 12 – 18
14
AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009
ISSN: 1979 – 8245X
Solusi Mengakar Sadar atau tidak sadar terjadinya kemiskinan sesungguhnya tidak lepas dari pembangunan sektor pertanian dan pedesaan. Karena kelompok masyarakat miskin di perkotaan juga berasal dari pedesaan, seperti misalnya penduduk miskin di Jakarta yang sebagian besar merupakan masyarakat pedesaan dari sekitar DKI Jakarta yang mencoba berjuang mengadu nasib mencari nafkah di kota. Oleh karena itu, mengatasi masalah kemiskinan harus dimulai dari akar masalahnya, yaitu pada pembangunan sektor pertanian seperti pendapat Kasrino dan Stepanek (1985); Krisnamurthi (2003); dan Nuhung (2006), meskipun sesungguhnya Nuhung (2006) menambahkan bahwa disamping masalahnya bersumber dari sektor pertanian juga bersumber dari sektor industri dan jasa karena dua sumber terakhir tidak mampu menyerap kelebihan tenaga kerja pertanian secara proporsional dan dalam tingkat ekuilibrium yang tinggi. Dari sisi internal pertanian sesungguhnya dapat diidentifikasi beberapa penyelesaian masalah kemiskinan yang bersumber dari sektor pertanian: 1. Melalui Coorporate Farming (CF), Yaitu penyatuan fisik lahan milik keluarga petani yang kemudian dikelola secara bisnis agar terpenuhi sekala ekonomi. Hal ini bertujuan untuk menciptakan skala ekonomi usaha pertanian sehingga selain efektif juga memenuhi skala industri pengolahan serta dapat dikelola secara profesionaldan memungkinkan penyerapan tekhnologi moderen dan tenaga kerja dalam usahatani. Kelemahan dari sektor pertanian selama ini salah satunya adalah tidak efektif dan efisienya pengelolaan lahan dari sisi luas, karena petani Indonesia ratarata hanya memiliki lahan yang terbatas/sempit kurang lebih 1-1,5 ha. Sementara di luar negeri seperti Australia, Amerika, Jepang petaninya rata-rata memiliki lahan di atas 50 ha. Oleh karena itu perlunya CF yang dikelola dalam suatu manajemen profesional sehingga pemilik lahan (petani) dapat diupayakan pekerjaan dari kegiatan lain sehingga memperoleh pendapatan diluar usahataninya atau bekerja di lahan tersebut dalam sutu manajemen dan dibayar secara profesional. Di samping itu, mereka akan memperoleh bagi hasil yang di atur dan disepakati dari CF tersebut. Model ini awalnya akan mengalami kendala yakni berupa adat budaya masyarakat Indonesia yang memandang lahan sebagai bagian kehidupan mereka sehingga sulit untuk mengajak mereka untuk menggabungkan lahanlahan mereka dalam suatu manajemen, meskipun sesungguhnya lahan tersebut tetap menjadi milik mereka. 2. Peningkatan Produktivitas Petani dan Pertanian Hampir semua komoditas pertanian Indonesia terutama komoditas perkebunan produktivitasnya masih jauh di bawah produktivitas normal, misalnya Kopi, Indonesia 500 kg per ha, sementara vietnam 3.500 kg per ha, karet rata-rata 500 kg per ha, sedangkan optimal 1.500-2.000 kg per ha, sawit sekitar 18 ton per ha sementara malaysia 25-30 ton. Di samping itu produktivitas per petani Indonesia jauh lebih rendah di banding petani beberapa negara tetangga. Produktivitas petani ini dilihat dari sisi peningkatan kualitas dalam hal pertanian, penerapan tekhnologi dan lain sebagainya. Peningkatan produktivitas akan meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petaniyang cukup signifikan. Hitunganhitungan kasar yang pernah dilakukan, kerugian disektor pertanian karena produktivitas rendah mencapai sekitar 200 triliun rupiah per tahun, suatu angka yang cukup besar. Hal ini dapat diterjemahkan sebagai pendapatan petani yang hilang. Angka ini akan lebih besar manakala juga terjadi peningkatan produktivitas per petani dalam hal kemampuan petani Munajat, Hal; 12 – 18
15
AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009
ISSN: 1979 – 8245X
untuk meningkatkan mutu serta pengolahan hasil yang dapat memberikan nilai tambah. Nilai tambah produk pertanian olahan menurut Nuhung (2006), umumnya lebih dari 50% bahkan ada yang mencapai lebih dari 1000% (seribu persen). 3. Pengembangan Industri Pengolahan di Pedesaan Nilai tambah hasil pertanian berada pada kegiatan industri pengolahan dan perdagangan, sehingga petani tetap miskin, para pelaku industri dan perdagangan yang akan menikmati keuntungan yang besar. Untuk itu perlu adanya gerakan industrialisasi pertanian pedesaan yang dapat mengakselerasi pendapatan keluarga petani. Sesungguhnya usaha seperti ini sudah banyak dikembangkan, sehingga yang diperlukan adalah stimulasi untuk percepatan pengembangan industri pertanian pedesaan tersebut. Sejatinya dalam rangka akselerasi pengembangan industri pengolahan hasil pertanian tersebut, pemerintah selayaknya melakukan suatu gerakan nasional agar kegiatan di sektor ini secara nasional fokus pada tujuan dari gerakan ini berupa gerakan industrialisasi pertanian pedesaan. Hal ini tiada lain tujuannya adalah meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. 4. Intervensi Pemerintah Pada Sub Sistem Hulu dan Sub sistem Hilir Politik pertanian sangat menentukan nasib para petani untuk sejaktera atau tidak sejahtera. Politik pertanian ini menyangkut kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam hal interpensi pemerintah pada sisi hulu uasahatani seperti penyediaan saprodi (sarana produksi pertanian) seperti benih unggul, pupuk, modal dan lain sebagainya maupun sisi hilir berupa pemasaran dari hasil produk pertanian, seyagyanya pemerintah membuat “Badan Penyangga” komoditas pertanian yang berfungsi membeli produk pertanian pada tingkat harga yang wajar ketika musim panen. Di Thailand misalnya pemerintah membeli karet petani dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasarsehingga petani termotivasi untuk menanam karet. Hal yang sama dikembangkan oleh jepang untuk komoditas beras. Untuk Indonesia baru pemerintah Propinsi Gorontalo yang melakukan, melalui pengembangan agropolitan berbasis jagung, dimana pemerintah Provinsi Gorontalo melakukan intervensi dengan melakukan kebijakan yang menurut Muhammad (2008), dikenal dengan “sembilan pilar menuju pembangunan pertanian modern” diantaranya penyedia dana penjaminan bagi petani dan saprodi lainnya di samping itu juga pemerintah diantaranya ikut memperlancar pemasaran melalui pembinaan dan koordinasi pengusaha pedagang pengumpul, pedagang besar dalam mempertahankan tingkat harga yang layak bagi petani, disamping itu pemerintah Gorontalo juga melakukan inisiasi dalam promosi dan kerjasama dengan pengusaha di luar daerah maupun luar negeri baik komoditas jagung maupun komoditas pertanian lainnya sehingga petani merasa adanya keterjaminnan dalam pembelian hasil pertanian dengan harga yang wajar. Sesungguhnya, pemerintah disini punya peran yang sangat strategis dalam peningkatan kesejahteraan petani, dengan catatan bahwa pemerintah tidak hanya terfokus pada kegiatan usahatani sub sistem budidaya tetapi rangsangan ini akan tercipta manakala pemerintah merubah paradigma dalam pembangunan pertanian yakni yang dilakukan adalah konsep agribisnis, dimana pembangunan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah adalah dilakukan secara holistik yakni adanya keterpaduan, keterkaitan dan kesinambungan dalam pembanguan pertanian mulai dari subsistem pertanian hulu, subdistem budidaya, sub sistem pengolahan hasil an sub sistem pemasaran. Jadi bukan pembangunan yang dilakukan sepotong-sepotong. Munajat, Hal; 12 – 18
16
AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009
ISSN: 1979 – 8245X
5. Peningkatan SDM Pertanian Pada akhirnya petanilah yang menjadi subjek dari setiap pembangunan pertanian yang merupakan tujua akhir dari kegiatan ini. Oleh karena itu perlu adanya perubahanperubahan mindset petani dengan melakukan suatu gerakan membangun pengetahuan bersama untuk petani yang berbasis kawasan. Gerakan ini adalah gerakan transfer knowledge yang dilakukan secara informal sesuai engan potensi komoditi daerah. Transfer knowledge disini tidak hanya pengetahuan dalam hal budidaya tetapi juga menyangkut tekhnologi, perkreditan, pemasaran bahkan kewirausahaan yang saat ini menjadi tuntutan bagi petani agar terjadi nilai tambah dari komoditi yang dihasilkan petani, disamping itu petani juga diharapkan menjadi penentu harga (price maker) bukan penerima harga (price taker) dari produk yang dihasilkannya. Penutup Pengentasan kemiskinan sebagai sutu keputusan memerlukan waktu dan mebutuhkan kesungguhan, keseriusan, kemauan yang kuat ditunjang dengan ketajaman strategi yang kesemuanya sebagai implementasi dari pembernasan pembanguan pertanian yang telah dilakukan selama ini dengan mengedepankan instrumen kesinambungan, keutuhan dan keterpaduan dari kebijakan pembanguna nasional. Pembangunan pertanian bukan semata proses peletakan pondasi dan pembenahan struktur sektor pertanian dalam peta perekonomian, namun upaya serius dan sistematis untuk menterjemahkan paradigma keberpihakan kedalam langkah nyata yang dapat dimengerti dan dilaksanakan masyarakat banyak. Oleh karena itu diperlukan beberapa langka mendasar dalam pembanguna pertanian untuk menanggulangi kemiskinan nasional, diantaranya: melalui kooporate farming, peningkatan produktivitas pertanian dan petani, pengembangan industri pengolahan di pedesaan, intervensi pemerintah pada sub sistem hulu dan sub sistem hilir, dan peningkatan SDM pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keperpihakan Terhadap Sektor Pertanian; Suatu Telaah Ekonomi Poltik. Jakarta: Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Irawan, A. 2008. Membernaskan Strategi Revitalisasi Pertanian. http://www.iei.or.id/publication.php?q=nfo$id=21. Diakses 24 Januari 2009.
Dalam
Krinamurthi, B. 2004. Strategi Pengembangan Pembiayaan Untuk Pengurangan Kemiskinan di Pertanian. Jakarta: Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Mehretu, A. 1989. Regional Disparities in Sub-Saharan Africa: Structural Readjustment of Univen Development. Anals of the Assosciation of American Geographers. Muhammad, F. 2008. Reinventing Local Goverment, Pengalaman Dari Daerah. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Munajat, Hal; 12 – 18
17
AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009
ISSN: 1979 – 8245X
Nuhung, I. A. 2006. Bedah Terapi Pertanian Nasional. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Yudoyono, S.B. 2005. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. Bogor: Agricon. Wibowo, R. 2004. Rekontruksi Perencanaan Pembangunan Pertanian Mendatang: Beberapa Catatan Kritis. Jakarta: Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia.
Munajat, Hal; 12 – 18
18