Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem
TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN PADA BERBAGAI EKOSISTEM Agricultural Development Challenges: Poverty in Many Agroecosystems 1
2
Maman H. Karmana , Ivonne Ayesha , dan Sri Hery Susilowati
3
1
Universitas Padjadjaran, Bandung, Kampus Jatinangor, Bandung 40600 Universitas Ekasakti, Padang, Jl. Veteran Dalam 26 B, Padang, Sumatera Barat 3 Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
2
ABSTRACT Eventhough agricultural development has been conducted continually but issues related with rural poverty, limited access on land and agriculture infrastructure, and inadequate income are still becoming prominent issues on rural and agriculture development. This paper aims to review trend of poverty level and poverty condition in some areas based on different agro ecosystem and to analyze the correlation between incident of poverty and agriculture land ownership. The trend of poverty level in 1984-2009 reflected a persistent poverty, that is, percentage of poverty tends to decrease but level of poverty in absolute number is still high. In wetland agro ecosystem, level of poverty highly correlated with gestation period of rice planting, while level of poverty in dry land agro ecosystem is higher in areas based on palawija commodities, related with the inadequate farm environment, mainly on unproductive agriculture land. The correlation between level of poverty with wetland holding indicate that the less land household land holding, the more the level of poverty. Key words : poverty, rural area, land ownership ABSTRAK Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus, namun isu yang berkaitan dengan kemiskinan di perdesaan, terbatasnya akses lahan dan prasarana pertanian, serta pendapatan yang tidak memadai masih tetap menjadi isu utama pembangunan pertanian dan perdesaan. Tulisan ini bertujuan untuk mereview perkembangan tingkat kemiskinan dan kondisi kemiskinan di berbagai agroekosistem serta keterkaitan antara tingkat kemiskinan dengan penguasaan lahan rumah tangga. Perkembangan tingkat kemiskinan selama tahun 1984-2009 menunjukkan kemiskinan yang persisten (persistent poverty), secara prosentis menurun tetapi secara absolut masih cukup tinggi. Di agroekosistem lahan sawah, tingkat kemiskinan berhubungan dengan musim paceklik (gestation period masa tanam padi), sedangkan kemiskinan di agroekosistem lahan kering lebih banyak terjadi pada lahan kering berbasis komoditas palawija karena terkait dengan kondisi lingkungan yang kurang mendukung seperti kondisi lahan yang kurang produktif. Hubungan antara kemiskinan dengan kepemilikan lahan sawah mengindikasikan meningkatnya kemiskinan dengan makin sempitnya rata-rata pemilikan lahan. Kata kunci : kemiskinan, wilayah perdesaan, pemilikan lahan
219
Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati
PENDAHULUAN
Berbagai isu dalam pembangunan perdesaan berkaitan dengan penurunan kualitas hidup, terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana, ketidakmampuan institusi ekonomi menyediakan kesempatan usaha, lapangan kerja terbatas, serta pendapatan yang tidak memadai. Ujung dari ke semua itu bermuara pada kemiskinan, baik secara relatif maupun absolut. Bahkan sering ditemukan keterkaitan dari berbagai isu tersebut yang menambah rumitnya permasalahan yang dihadapi. Sementara itu, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perdesaan sebagian besar masih tertumpu pada usaha pertanian dengan berbagai kelemahan struktural yang terkandung di dalamnya. Lahan kepemilikan pertanian yang semakin menyempit dan tersebar tidak terhindarkan akibat sistem pewarisan membagi tanah tanpa ada pembatasan serta masalah kawin cerai yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Agricultural ladder bukan mengarah pada hasil surplus yang dapat diinvestasikan kembali pada pemilikan atau penguasaan lahan pertanian yang lebih luas, malahan yang terjadi justru sebaliknya. Banyak di antara petani yang sebelumnya memiliki lahan, karena desakan kebutuhan hidup terpaksa menjual lahan yang menjadi tumpuan kehidupannya. Mereka beralih menjadi penyewa atau bahkan penyakap atau sebatas menjadi buruh tani dan akibat dari seluruh permasalahan tersebut adalah kemiskinan. Proses munculnya kemiskinan struktural di kalangan masyarakat tani semacam itu tidak jarang dilatarbelakangi pula oleh kelemahan kultural lemah karsa dan atau tuna mentalitas produktif. Sutomo (1997) dalam bukunya “Kekalahan Manusia Petani”, mengungkapkan massa petani adalah bagian dari kaum yang kalah. Kekalahan petani tercermin antara lain dari kualitas hidupnya yang tidak beranjak naik dari generasi ke generasi, serta dari nilai tukar produk pertaniannya yang makin menurun terhadap barang-barang kebutuhan lain, seperti sembako dan sarana produksi pertanian pupuk, benih, atau alat/mesin pertanian. Kekalahan yang paling mengenaskan tercermin dari harapan petani, agar anaknya jangan bekerja sebagai petani seperti dirinya. Di tengah kekalahan itu, petani (peasant) cenderung bersikap “diam”, mengeluh dan tak berdaya. Situasi ketidakberdayaan ini berakar dari persoalan struktural (sistemik). Dalam sistem sosial misalnya, petani cenderung menjadi elemen yang (dibuat) tak berdaya, bergantung pada kekuatankekuatan di luar dirinya. Bahkan, petani dibuat tersisihkan dari jaringan atau akses atas organisasi, informasi, permodalan, serta sistem transportasi. Dalam interaksi di pasar pun, petani selalu berada dalam posisi lemah.
Historis Kemiskinan di Indonesia Kemiskinan di Indonesia, berdasarkan pendekatan historis, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, sejak diintroduksikannya tanam paksa (cultuurstelsel) tahun 1830, yaitu dilakukannya remisi pajak terhadap petani, tetapi mereka harus bekerja di lahan pemerintah kolonial waktu itu, di mana seperlima bagian harus ditanami dengan tanaman ekspor atau mereka harus bekerja selama
220
Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem
66 hari setiap tahun pada perkebunan yang dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya pulau Jawa berubah menjadi wilayah perkebunan raksasa. Khusus untuk daerah yang petaninya terbiasa menanam padi sawah, yang ditandai oleh kondisi involusi pertanian (Geertz, 1964), pemerintah kolonial waktu itu secara jeli melihat peluang besar dikembangkannya tanaman tebu yang persis memerlukan basis ekologi seperti yang dibutuhkan padi sawah. Lahan-lahan yang dimiliki oleh petani yang diperlukan untuk penanaman tebu dikuasai melalui bentuk penyewaan atau melalui sistem sewa. Agar nilai sewanya rendah, pabrik gula yang dikuasai oleh penguasa Belanda berusaha untuk memberikan komisi tertentu kepada pejabat setempat dari sejak lurah sampai dengan bupati, sehingga pergiliran wilayah penanaman tebu melalui glebagan dapat dilakukan lebih leluasa dengan harga sewa yang relatif sangat murah. Pada gilirannya petani-petani yang lahannya disewakan ke pabrik gula bekerja sebagai kuli kebun juga dengan upah yang rendah. Upaya ini sejalan dengan upaya pabrik gula untuk mensubstitusi kebutuhan capital dengan tenaga kerja. Tingkat kehidupan masyarakat yang rendah lebih diarahkan pada sebatas pemenuhan kebutuhan subsisten memungkinkan perusahaan gula memperoleh keuntungan yang sangat tinggi. Tingkat upah yang rendah maupun hasil menyewakan lahan yang juga murah menyebabkan ketergantungan petani di wilayah itu terhadap keberadaan pabrik gula menjadi sangat tinggi. Tetapi di lain pihak potensi dan kemampuan usaha petani menjadi tertekan, tidak berkembang. Pola kehidupan yang berkembang dalam kondisi yang semacam itu menurut Mackie (1963), mengarah pada pola-pola konservatif, baik dalam aspek sosial, politik maupun ekonomi. Dari sudut sosial, penanaman tebu cenderung mempertahankan sistem hak milik secara komunal, tidak ada dorongan untuk memperluas atau mengkonsolidasikan lahan miliknya. Dari sisi politik, yaitu adanya pengaruh konservatif atas organisasi masyarakat yang mempertahankan dan memperkuat kekuasaan kepala desa. Sementara dari segi ekonomi, karena ketergantungan petani terhadap pabrik gula semakin besar. Ikatan hutang ke pihak pabrik menyulitkan petani memperoleh sumber kehidupan lain, misalnya menjadi pedagang di desa. Menurut Geertz (1966), pada masyarakat padi sawah yang terinvolusi sudah ditandai dengan kondisi mekanisme kalahkan diri (self defeating mechanism) yang mengarah pada bentuk kehidupan yang statis dengan beban kemiskinan yang dipikul bersama (shared poverty). Dikembangkannya pabrik gula pada kondisi masyarakat semacam itu menyebabkan kondisi petani padi sawah semakin tertekan lagi kehidupannya dan Herman Suwardi “memandang sebagai pengembangan industri gula yang dihimpitkan di atas pola sawah”. Mackie (1963) menyimpulkan bahwa di antara tanaman perkebunan yang paling jelek pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat petani adalah perkebunan tebu yang bukan hanya menyebabkan masyarakatnya miskin, tetapi juga konservatif. Mengingat pengembangan pola sawah di P. Jawa ini banyak bersinggungan, bahkan sebagian dihimpitkan dengan perkebunan tebu serta berlangsung dalam kurun waktu lama – lebih dari dua abad, maka dampak negatifnya menyebar ke seluruh persawahan Jawa.
221
Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati
Masyarakat di sekitar perkebunan, apakah di dataran rendah padi sawah maupun perkebunan di dataran tinggi yang dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda, merupakan bentuk enclave dimana masyarakat di sekitar perkebunan hanya memiliki fungsi sebagai pemasok kuli dan tidak ada jalinan fungsional bisnis apapun. Akibatnya sementara perusahaan perkebunan memiliki watak korporasi mencari keuntungan yang setinggi mungkin, masyarakat di sekitarnya berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan subsisten. Kesenjangan semacam inilah yang mengundang pemikiran Boeke memandang fenomena itu sebagai dualisme ekonomi yang sulit dipertautkan. Kesenjangan ekonomi yang terjadi di antara dua kelompok masyarakat itu diperberat lagi tingkatannya, karena pertambahan penduduk di kalangan masyarakat, sehingga tingkat kemiskinan semakin tinggi. Gambaran kemiskinan seperti yang telah berkembang dalam 3,5 abad masa penjajahan itu ternyata masih berlanjut sampai setelah kemerdekaan bahkan sampai saat ini. Kemiskinan di Indonesia yang berkembang dalam abad ke 18 ini oleh Geertz (1966) dipandang seiring dengan era kapitalisme petualangan, dalam abad 19 dengan kapitalisme negara, dan dalam abad 20 seiring dengan kapitalisme birokrat. Dalam era pasca kemerdekaan diungkapkan oleh Ellis (1994), penyakit-penyakit yang terkait dengan kegagalan suatu negara (state failure) seperti motivasi kerja yang rendah karena upah tidak memadai, atau pemburu rente (rent seeking) yang membatasi pelayanan terkecuali dengan imbalan, menimbulkan akibat timbulnya suap menyuap dan korupsi yang sangat merugikan, bahkan memiskinkan masyarakat paling bawah. Dalam hubungan ini Soemarwoto (1994) mengaitkan pandangannya dengan hukum ekologi atas barang, siapa yang menguasai arus informasi, dialah yang menguasai arus materi dan energi. Jika dua sistem dihubungkan, seperti antara desa dan kota atau antara rakyat (yang dikuasai) dengan pejabat (yang menguasai), terjadilah pertukaran informasi, materi dan energi. Tetapi jika di antara kedua sistem tersebut tidak sama tingkat perkembangannya, maka sistem yang memperoleh informasi, energi dan materi yang lebih banyak dan lebih berkembang akan mengeksploitasi sistem yang kurang berkembang. Atas dasar itu, keberadaan jalan yang menghubungkan desa – kota, maka desa yang notabene didominasi pertanian akan dieksploitasi kota. Demikian pula hubungan pejabat – rakyat, karena pejabat – penguasa lebih menguasai informasi, energi dan materi maka merekalah yang akan menguasai dan mengeksploitasi rakyatnya. Soewardi (2004) menandaskan mereka itu menjadi miskin karena dimiskinkan, yaitu terjadinya proses perenggutan (depreviation) dari mereka yang ingin menang dan kaya terhadap kelompok atau orang lain yang lemah.
Fakta Empiris Kemiskinan di Indonesia Gambaran kemiskinan dalam kurun waktu sangat lama itu menurut istilah Beckford (1972) digambarkan sebagai kemiskinan yang persisten (persistent poverty), serara prosentis menurun, tetapi secara absolut masih cukup tinggi. Hal ini dapat diketahui dari trend angka kemiskinan Indonesia dari tahun 1984-2009, seperti pada Gambar 1. Bahkan yang memprihatinkan, menurut Cervantes et al. (2010), bahwa gambaran kemiskinan Indonesia antara tahun 1984-2005,
222
Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem
pengurangannya justru minus 1,47 (Perhitungan OECD berdasarkan data Povcalnet, 2009).
Sumber: BPS, 1998 dan BPS, 2009
Gambar 1. Tren Angka Kemiskinan Indonesia Tahun 1984-2009
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan keberhasilan proses industrialisasi belum menjamin peningkatan kesejahteraan petani (peasant). Hal ini terlihat dari perbandingan pendapatan per kapita buruh tani terhadap rumah tangga bukan pertanian golongan atas di kota pada tahun 1985 sebesar 1: 3,7 meningkat menjadi 1: 9,5 pada saat krisis ekonomi tahun 1998 (BPS, 2002). Dari sisi lahan, penguasaannya yang sempit pada lahan padi sawah mengakibatkan return on investment di kalangan para petani tidak menghasilkan surplus yang memadai dan masyarakatnya terperangkap hanya untuk bertahan hidup (bare of survival). Permasalahan yang muncul lebih diwarnai oleh semakin besarnya kebutuhan akan garapan untuk memenuhi pertambahan kebutuhan akibat pertambahan penduduk, sehingga kalaupun perluasan itu terjadi bersifat perluasan statis dan kehidupan petaninya tetap miskin. Menurut Witoro (2005), sistem pertanian masyarakat desa yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence) secara berlanjut - berabad-abad menjadi basis kehidupan mereka. Manakala kemudian dilenyapkan oleh konsentrasi pemilikan tanah, penguasaan benih, dan alat-alat produksi lainnya ke tangan segelintir perusahaan transnasional maka petani tidak lagi memiliki lahan untuk berproduksi, tidak punya pekerjaan, tidak punya uang untuk membeli makanan bahkan bila harga pangan impor itu murah sekalipun. Sehubungan dengan munculnya kemiskinan di kalangan masyarakat tani seperti yang telah diuraikan terdahulu dan sebagian besar dari mereka itu berada di perdesaan maka tidak mengherankan kalau kantung-kantung kemiskinan itupun
223
Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati
sebagian besar adanya di perdesaan. Angka-angka statistik yang mendukung hal itu banyak diungkapkan oleh BPS. Informasi mengenai profil kemiskinan di perdesaan sangat diperlukan oleh para penentu kebijakan di tingkat pusat dan utamanya di daerah. Mereka perlu memahami akar permasalahan yang dihadapi penduduk miskin agar dapat dibuat perencanaan dan program-program pengentasan kemiskinan yang tepat dan terarah sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh penduduk miskin tersebut. Berdasarkan data BPS 2009 kondisi kemiskinan di Indonesia diungkapkan pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, 1996-2008 Jumlah penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa 1976 10.0 44,2 54,2 38,8 40,4 40,1 1978 8.3 38,9 47,2 30,8 33,4 33,3 1980 9.5 32,8 42,3 29,8 28,4 28,6 1981 9.3 31,3 40,6 28,1 26,5 26,9 1984 9.3 25,7 35,0 23,1 21,2 21,6 1987 9.7 20,3 30.0 20,1 16,4 17,4 1990 9.4 17,8 27,2 16,8 14,3 15,1 1993 8.7 17,3 34,5 13,4 13,8 13,7 1996 9,42 24,59 34,01 13’39 19,78 17,47 1998 17,60 31,90 49,50 21,92 25,72 24,23 1999 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43 2000 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14 2001 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41 2002 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20 2003 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42 2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66 2005 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97 2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75 2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58 2008 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42 2009 11,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14,15 Sumber: BPS (1999) dalam Wiranto (2007) dan BPS (2009). Tahun
Profil Kemiskinan pada Basis Ekosistem Sawah Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan diversifikasi di lahan sawah di Jawa Barat, memberi gambaran bahwa kalau diurut dari strata utara ke selatan polanya adalah monokultur di utara, 2 sampai 3 variasi komoditas tanaman di bagian tengah dan variasi yang lebih banyak lagi di bagian selatan. Fenomena rawan pangan cerminan kemiskinan yang sering muncul justru dari kantungkantung kemiskinan di utara. Mengapa di wilayah monokultur padi yang notabene penghasil makanan pokok justru sebagian penduduknya sering mengalami masalah rawan pangan? Beberapa argumentasi yang dapat mengklarifikasikan hal itu disebabkan oleh berbagai alasan yang mungkin satu dan lainnya berkaitan: a) Usaha tani padi di wilayah monokultur padi, variasi kegiatan dan perolehan hasil serta pendapatan terkait dengan gestation period padi dan terjadi lebih
224
Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem
seragam terkait dengan ketersediaan air irigasi ke wilayah itu. Dengan demikian musim panen dan paceklik di wilayah ini terjadinya seragam pula. Informasi dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Indramayu mengemukakan bahwa dalam musim panen saat petani seharusnya memperoleh pendapatan yang tinggi, tetapi tidak terjadi karena over supply panen raya yang mengakibatkan harga padi jatuh. Jatuhnya harga saat panen raya juga diakibatkan oleh perilaku para penderep yang sesaat setelah mereka memperoleh bawon upah memanen langsung menjual padinya dengan harga murah karena ingin segera memperoleh uang tunai. Harga pembelian padi yang murah ini berpengaruh pula kepada harga padi bagi petani lainnya yang juga menjual padinya sesaat setelah panen. b) Bagi petani yang lahannya relatif luas, padi yang dijual saat panen raya mungkin hanya sebagian saja sebatas kebutuhan akan uang tunai dan masih menyisakan padi yang biasa dijual saat harga padi beranjak lebih tinggi. Namun bagi petani kecil hal seperti itu sulit dilakukan karena desakan kebutuhan akan uang tunai dapat menyita seluruh hasil padinya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan saat padi masih muda menghijau sudah dijual hijauan ijon. Hasil panen yang mereka peroleh terkadang tidak cukup sampai masa panen berikutnya, apalagi untuk menyisihkan uang hasil penjualan gabah sebagai modal usaha tani pada musim tanam berikutnya. Akibatnya petani terpaksa meminjam uang kepada para pelepas uang/rentenir atau berhutang kepada pedagang/tengkulak yang menjual input-input pertanian dan menciptakan interlocking market, karena peluang petani untuk menjual hasil usaha tani kepada pihak-pihak lainnya menjadi terkunci. Kondisi ini selalu terjadi berulang kali setiap musim dan ujung-ujungnya petani terjebak dalam lingkaran hutang yang berkelanjutan dan kemiskinan. c) Hal yang menimpa petani kecil seperti pada butir b) terjadi pula pada kelompok petani penyakap. Hasil padi dari lahan sakapan yang relatif sempit, hanya sebagian yang diterimanya sebab sebagian lagi diberikan kepada pemilik lahan. Bahkan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah diperoleh informasi bahwa bagian panen yang diterima oleh penyakap hanya sepertiga, sementara penyakap menanggung semua biaya produksi usaha tani. Masalah yang banyak ditemukan di kalangan para penyakap karena sharing arrangement yang mendasarinya sering tidak terwujud. Hal ini banyak ditemukan di wilayah yang lahan pertaniannya guntai dimiliki oleh orang-orang kota yang sering tidak mampu sharing dalam usaha tani penyakap ataupun menjenguk karena kesibukannya (absentee landowner). Alhasil pengusahaan lahan sakapan itu tergantung seluruhnya pada keputusan dan kemampuan penyakap itu sendiri. Kalau kemampuan dari sisi permodalan atau teknologi terbatas, sebatas itu pulalah aplikasi budidaya yang diterapkannya. Fenomenanya penyakap yang semakin membengkak jumlahnya justru merupakan kelompok yang kurang atau mungkin tidak tersentuh oleh berbagai bentuk pelayanan modal dan teknologi yang dibutuhkannya. d) Bagi petani kecil dengan status penguasaan menyewa, kondisi harga murah saat panen dapat berakibat sama seperti pada petani kecil lainnya dengan status penguasaan lahan yang berbeda. Karena dalam sistem penyewaan,
225
Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati
baik dalam uang tunai yang dibayarkan di muka atau bentuk natura, hasil komoditas yang diusahakan pertaruhannya sama, yaitu harus mampu menutupi nilai sewa yang telah atau akan dibayarkan. Karena di kalangan petani kecil jarang yang memiliki modal yang dapat dipertaruhkan, maka petani yang menyewa lahan juga relatif kecil jumlahnya. e) Kelompok buruh tani hanya memperoleh selama tenaga mereka dibutuhkan, biasanya dari saat pengolahan tanah persiapan tanam, saat penanaman sampai dua kali penyiangan. Setelah itu ada waktu jeda kesibukan menunggu panen, disebut musim paceklik. Saat-saat paceklik inilah yang rawan bagi buruh tani karena tidak ada kesempatan kerja berburuh yang ditawarkan dan ini berarti kehilangan sumber pendapatan harian mereka. Berdasarkan kasus yang diperoleh dari Klaten, upah yang diterima buruh tani juga relatif rendah. Untuk saat ini, rata-rata upah buruh tani laki-laki adalah Rp 25.000,- per beduk- dzuhur (setengah hari) ditambah natura, dan Rp 15.000,- untuk buruh tani perempuan per beduk dzuhur ditambah natura. Apabila dalam satu musim tanam seorang buruh tani laki-laki dapat bekerja efektif selama 20 hari, maka upah riil yang diterimanya dalam bulan itu dari berburuh adalah Rp. 500.000,-. Nilai ini jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan upah UMR rata-rata provinsi yang kisarannya antara Rp 900.000,- sampai Rp 1.500.000,-. Dari gambaran tersebut, dapat diperkirakan, bagaimana sulitnya buruh tani memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan pendapatan Rp 16.667,- per hari atau Rp 500.010,- per bulan. Dari beberapa argumen yang dikemukakan di atas sudah jelas tergambar hal-hal yang terkait dengan kondisi kemiskinan masyarakat petani di lahan sawah. Walau dianggap memegang peran penting sebagai penyedia kebutuhan pangan (beras) bagi rakyat, petani tetap berada dalam posisi lemah. Bahkan, yang lebih parah, petani --secara sistemik- terjerat dalam kendali dan dominasi negara. Dalam terminology Gramsci dalam Damastuti dan Demang (1998), keadaan ini disebut hegemoni atas petani oleh kelompok-kelompok sosial di luar dirinya. Nuansa hegemonik --dalam konteks petani Indonesia-- sebagai misal tercermin dari tingkah laku dan suasana mental dalam diri petani yang lekat dengan tanaman padi. Meski terbukti bahwa hasil dari tanaman padi pada umumnya tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani tetapi mereka tetap menanamnya. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh rasa takut (yang sudah mengendap di alam bawah sadar petani) karena “anjuran” menanam padi datang dari “atas”. Atau, mungkin kegiatan menanam padi sudah menjadi aktivitas yang mekanis belaka, menjadi pola kerja yang tidak pernah direfleksikan lagi. Sebagai misal, suatu kebijakan pemerintah -agar petani menerapkan suatu metode atau teknologi tertentu-- akhirnya “diterima” petani bukan karena kebijakan itu disadari sebagai hal yang baik, melainkan karena petani tidak mempunyai perangkat intelektual yang cukup untuk memahami secara kritis “kebijakan” tersebut.
Kondisi Kemiskinan pada Basis Ekosistem Lahan Kering Lahan kering yang diusahakan untuk tanaman semusim palawija atau sayuran biasanya diusahakan pada musim penghujan, terkecuali di wilayah yang
226
Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem
sumber airnya tersedia bisa diusahakan sepanjang tahun. Jenis tanaman yang diusahakan umumnya terkait dengan ketinggian lokasinya dan di kalangan petani kecil orientasinya sering mengarah pada tanaman subsisten dan diusahakan kurang intensif karena keterbatasan modal dan teknologi. Sementara di kalangan petani yang lahan kepemilikannya luas lebih berorientasi pada tanaman komersial, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan dan pengusahaannya lebih intensif. Khusus untuk petani kecil, berbagai pola tanam spesifik lokasi banyak diintroduksikan, akan tetapi karena keterbatasan modal dan pemahaman teknologi dari petaninya, maka perkembangannya tidak sepesat seperti yang berada pada ekosistem sawah. Khusus untuk kasus Jawa Barat, lahan kering ini dominannya di wilayah bagian tengah dan Selatan dengan karaktristik umum yang tidak mudah terjangkau karena infrastruktur jalannya, terutama di bagian Selatan, yang belum memadai, padahal transportasi menurut Mosher (1966) mutlak keberadaannya dalam memajukan pertanian. Terkait dengan infrastruktur jalan ini dengan berbagai statusnya seperti jalan provinsi, kabupaten, dan desa, justru jalan desalah yang nasibnya paling tidak terurus karena keterbatasan dana yang dimiliki desa. Padahal justru jalan desa inilah yang paling diperlukan untuk menjangkau petani dan lahan pertaniannya. Lahan kering sering dipandang sebagai tumpuan kehidupan masyarakat miskin yang termarjinalkan. Kebutuhan mereka akan lahan pertanian tidak jarang mendorong mereka untuk merambah lahan-lahan milik kehutanan, seperti yang banyak ditemukan di daerah Jawa Barat bagian tengah dan selatan. Tidak jarang perambahan hutan ini justru disponsori oleh mereka dari perkotaan yang memiliki banyak uang dan berusaha mengembangkan tanaman komersial yang akan diusahakannya di lahan yang masih subur-perawan bekas hutan. Jadi kalau petani kecil dan mereka yang tuna lahan terlibat di dalamnya karena dorongan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Di wilayah ini banyak ditemukan lahanlahan yang kemiringannya curam dipaksakan diolah untuk tanaman kentang khususnya, guludannya justru menjulur dari atas ke bawah untuk menghindari genangan air sehingga terhindar pula tanaman kentangnya dari serangan Phytoptora infestan. Akan tetapi, di pihak lain bahaya erosi atau bahkan longsor tidak jarang terjadi. Dari gambaran ini kelihatan bahwa di kalangan petani kecil lahan kering yang notabene petani miskin, dorongan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek sangat menonjol, walaupun harus ditempuh dengan menghadapi konsekuensi yang paling jelek dan fatal seperti tingkat erosi yang tinggi dan atau tanah longsor.
Kemiskinan Rumah Tangga dan Penguasaan Lahan Kemiskinan pada rumah tangga petani seperti yang telah dipaparkan di atas berkaitan dengan penguasaan petani atas lahan yang diusahakannya. Hasil penelitian Susilowati et al. (2010) menunjukkan bahwa penguasaan lahan oleh petani di Jawa dan di luar Jawa pada umumnya di bawah 1 ha, dan persentase terbanyak adalah antara 1,25 ha – 0,499 ha. Persentase kepemilikan lahan antara 1,25 ha – 0,499 ha tersebut di Jawa mencapai 19,7 persen pada tahun 2007 dan 27,50 persen pada tahun 2010, sementara di luar Jawa mencapai 17,5 persen
227
Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati
pada tahun 2007 dan 25,34 persen pada tahun 2010. Angka ini mengindikasikan bahwa kepemilikan lahan oleh petani memang sangat sempit yang dikenal dengan petani gurem. Pada kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh rumah tangga petani tersebut merupakan kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Akibatnya muncul kemiskinan kultural, dimana masyarakat menjadi fatalistis, semakin pasrah, menganggap kemiskinan sebagai nasib dan garis hidup. Bukan tidak ada upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia, namun sepertinya upaya itu tidak memberikan hasil yang menggembirakan. Dilihat dari bagian sejarah kebijakan yang dilakukan pemerintah pada saat pemerintahan Orde Baru, yang mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan menghapus masalah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru. Adanya pinjaman luar negeri ini menyebabkan tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri, dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut. Kondisi ini ternyata tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya segelintir orang yang sudah kaya. Bukan hanya itu, langkah kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil pemerintah pada waktu itu juga menciptakan kemiskinan sumber daya alam, yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan masyarakat kecil di perdesaan. Tanah pertanian menjadi kurus dan tandus akibat penerapan teknologi yang tidak memikirkan dampak jangka panjang. Lahan pertanian banyak yang kehilangan sumber air, sehingga petani tergantung sepenuhnya kepada air irigasi yang kapasitasnya sudah sangat terbatas. Keterbatasan kapasitas air irigasi ini, menyebabkan peralihan jenis lahan dari lahan irigasi teknis/semi teknis menjadi lahan irigasi desa/sederhana, irigasi pompa, atau lahan tadah hujan. Kondisi ini terjadi di lahan sawah Jawa maupun Luar Jawa. Persentase pengurangan lahan sawah irigasi teknis/semi teknis di daerah Jawa mencapai 65,91 persen dari total luas sawah dalam kurun waktu 2007 – 2010, sementara di luar Jawa mencapai 53,83 persen dari total luas sawah (Patanas, 2007 dan 2010). Gambaran perobahan jenis lahan ini terlihat nyata pada data hasil survei Patanas tahun 2007 dan tahun 2010 pada Lampiran 1. Seyogyanya kebijakan pengentasan kemiskinan harus didasari pemahaman menyeluruh mengenai karakteristik sosial demografi dan dimensi ekonomi penduduk miskin dapat membantu perencanaan, pelaksanaan, dan hasil target yang baik karena salah satu prasyarat keberhasilan program-program
228
Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem
pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area. Dalam program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya “si miskin” tersebut dan di mana si miskin itu berada. Kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat profil kemiskinan. Profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik ekonominya seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/ pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain lain. Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari karakteristik sosial-budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dan sebagainya (Wiranto, 2007). Misalnya: permasalahan yang dihadapi penduduk miskin dari segmen petani gurem bisa berakar dari asetnya yang justru terlalu kecil, atau dari persoalan alam dan infrastruktur dalam bentuk irigasi yang tidak mendukung, dan sebagainya. Jika permasalahan yang membuat mereka sulit keluar dari kemiskinan itu dapat diidentifikasi dengan baik, maka program yang tepat akan dapat dirumuskan. Akar permasalahan seperti itu, entah itu berasal dari orangnya, masalah infrastruktur/struktural atau masalah ketrampilan, dan sebagainya, mestinya tersaji dalam profil kemiskinan di perdesaan. Tabel 2. Persentase Petani Penyakap dengan Persentase Kemiskinan di Wilayah Survei Tahun 2007 dan 2010 No
Kabupaten
Desa
Jawa Barat Indramayu Tugu Subang Simpar Karawang Sindangsari Jawa Tengah 4 Cilacap Padangsari 5 Klaten Demangan 6 Sragen Mojorejo 7 Pati Tambahmulyo Jawa Timur 8 Jember Padomasan 9 Banyuwangi Kaligondo 10 Lamongan Sungegeneng Sulawesi Selatan 11 Sidrap Carawali 12 Luwu Salu Jambu Sumatera Utara 13 Asahan Kwala Gunung 14 Serdang Bedagai Lidah Tanah Sumber. Hasil survei Patanas 2010. (diolah) 1 2 3
2007 1,2 6,4 0
2010 0,0 5,0 45,0
Kemiskinan (%) 2010 2,5 5 5
0,6 10,9 5,6 3,4
5,0 17,5 5,5 20,5
22,5 12,5 17,5 15
1,7 1,6 0,0
5,0 0,0 10,0
10 17,5 7,5
69,1 0
65,0 15,0
10 15
1,4 0,5
0,0 0,0
15 7,5
Penyakapan (%)
Bila persentase kemiskinan ini dikaitkan dengan data persentase penyakapan, berdasarkan hasil survei Patanas 2010, ternyata tidak menunjukkan korelasi. Kondisi penyakapan dengan kemiskinan pada masing-masing daerah survei, baik di Jawa maupun luar Jawa, dapat dijelaskan melalui Gambar 2.
229
Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati
Gambar 2. Persentase Penyakapan dan Kemiskinan pada Wilayah Survei
Apabila dilihat korelasi antara persentase kepemilikan sawah, kemiskinan dengan persentase kepemilikan lahan sawah, pada tahun 2010, menunjukkan korelasi negatif (minus 0,471). Angka ini mengindikasikan bahwa bila persentase kepemilikan sawah makin sempit/kecil maka persentase penduduk yang miskin semakin tinggi. Dengan demikian maka salah satu kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi persentase penduduk miskin terutama di wilayah-wilayah yang disurvei adalah dengan mengusahakan agar tidak terjadi pengurangan luas sawah.
KESIMPULAN
Kemiskinan di Indonesia yang terjadi dalam kurun waktu sangat lama merupakan kemiskinan yang persisten, yaitu secara persentase menurun namun secara absolut masih cukup tinggi. Fenomena rawan pangan cerminan kemiskinan di agroekosistem sawah terkait dengan gestation period tanam padi yang terjadi pada waktu dan lokasi yang relatif seragam; fenomena ijon yang menciptakan interlocking market; sharing arrangement yang adil pada sistem sakap yang sering tidak terwujud; dan kesempatan berburuh pada kelompok buruh tani yang hanya periode singkat selama tenaga mereka dibutuhkan. Pada agroekosistem lahan kering, fenomena kemiskinan di kalangan petani kecil mengarah pada tanaman subsisten yang diusahakan kurang intensif karena keterbatasan modal dan teknologi. Penguasaan lahan yang sempit pada lahan padi sawah mengakibatkan return on investment tidak menghasilkan surplus yang memadai sehingga kehidupan petani tetap miskin. Keterkaitan antara persentase kepemilikan sawah
230
Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem
dengan kemiskinan menunjukkan korelasi negatif yang mengindikasikan menyempitnya kepemilikan sawah maka persentase penduduk miskin semakin tinggi. Dengan demikian maka salah satu kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi persentase penduduk miskin terutama di wilayah-wilayah berbasis usaha tani lahan adalah dengan mengusahakan agar tidak terjadi pengurangan luas sawah.
DAFTAR PUSTAKA
Beckford, G. 1972. Persistent Poverty. Underdevelopment in Plantation of the Third World. Oxford University Press. New York. BPS. 2009. Profil Kemiskinan Indonesia Maret 2009. No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009. Cervantes, D. Godoy dan J. Dewbre. 2010. Economic Importance of Agriculture for Poverty Reduction. OECD Food, Agriculture and Fisherries. Working Papers No. 23. OECD Publishing. France. Damastuti, A.P. dan K. Demang. 1998. Pendidikan Bagi Sang Kalah. Jurnal Wacana No 12/Juli-Agustus 1998. Ellis, F. 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge University Press. Geertz, C. 1963. Agricultural Involution. The Process of Ecological Change in Indonesia. Mosher, AT. 1966. Gatting Agriculture Moving. Agricultural Development Centre. Frederick A. Praeger. New York. Soetomo, G. 1997. Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta, 1997. Soewardi, H. 2004. Apa Sebabnya Timbul Kemiskinan. Nasib Sektor Pertanian Sebagai Tumpuan Pembangunan. Bakti Mandiri. Bandung. Wiranto, T. 2007. Profil Kemiskinan di Pedesaan. Info URDI Vol. 14. Direktur Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas. Witoro. 2005. Pengurangan Kemiskinan dan Kelaparan Sebagai Agenda Utama Pembaharuan Desa. http://www.forumdesa.orq.
231