Edisi Oktober-Desember 2013 KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah www.kppod.org
Pembangunan Ekonomi Daerah berbasis Kewilayahan dan Sektor Unggulan
P
embangunan ekonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal, seperti masalah kesenjangan dan iklim globalisasi. Yang disebut belakangan ini menuntut tiap daerah untuk mampu bersaing di dalam dan luar negeri. Kesenjangan dan globalisasi berimplikasi kepada propinsi dan kabupaten/kota, untuk melaksanakan percepatan pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan dan produk andalannya. Dalam hal ini kemampuan pemerintah Pemda dalam merumuskan strategi pembangunan menentukan kemajuan daerah.
Perlu diingat adanya “Fenomena Kutukan Sumber Daya”, yakni kebanyakan daerah kaya sumber daya ternyata berkembang menjadi daerah terbelakang. Sebaliknya daerah miskin sumber daya justru berkembang menjadi daerah maju. Keterbelakangan bukan karena kurangnya sumber daya alam, tetapi karena kekurangmampuan atau ketidakberdayaan dalam pengelolaan oleh pengusaha dan Pemda. Hal tersebut terjadi karena daerah tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyerap modal dan teknologi karena kurang ketrampilan dan sikap entrepreneurship yang mendukung perubahan. Seluruh stakeholders di daerah memiliki peran dalam mengisi pembangunan ekonomi dan harus bekerjasama melalui bentuk pengelolaan keterkaitan antar sektor, antar program, antar pelaku, dan antar daerah. Dengan kata lain pembangunan ekonomi daerah harus berbasis pada wilayah, yang setidaknya didasarkan pada prinsip: (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah; (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi. Pengembangan suatu wilayah harus melihat kondisi internal, dan mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor internal meliputi pola-pola pengembangan SDM, informasi pasar, sumber daya investasi, kebħakan investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan kelembagaan lokal, dan tata kelola pemerintahan, serta kerjasama dan kemitraan. Faktor eksternal meliputi kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah, serta perdagangan bebas. Intinya adalah meningkatkan daya saing kawasan dan produk unggulan. Idealnya pengelolaan kawasan dimulai dengan menentukan visi dan misi pengembangan, kemudian disusun strategi pengembangan, serta mengembangkan hubungan pemerintah dan dunia usaha. Beberapa kebħakan yang diperlukan meliputi: (1) kebħakan investasi, yang terkait dengan produk unggulan, insentif, dan promosi; (2) kebħakan pengembangan kawasan, melalui identiękasi faktor penentu dan identiękasi strategi pendukung yang sesuai; (3) kebħakan perdagangan, yang mengatur perdagangan antar daerah dan sektor, serta minimalisasi hambatannya; (4) kebħakan pengembangan infrastruktur ęsik dan non ęsik (SDM); (5) kebħakan pengembangan kelembagaan, mencakup mekanisme pengambilan keputusan di pemerintah, penciptaan regulasi, dan sosial dan budaya masyarakat. Fungsi pengembangan Pemda harus sesuai dengan kompetensi inti daerah yang dapat menciptakan trickledown eěect yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Perekonomian daerah yang tangguh pada dasarnya mencakup pengembangan sektor/komoditas unggulan yang memanfaatkan potensi dan sumber daya yang dimiliki baik dalam skala kabupaten maupun skala perdesaan. Sektor/komoditas unggulan yang dikembangkan suatu daerah umumnya bergerak di sektor pertanian, tetapi dapat juga sektor non pertanian, seperti industri, perdagangan dan jasa serta pariwisata. Perlu diingat keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun jaminan pasokan bahan baku dengan jenis/varitas, jumlah produksi dan harga yang stabil dan layak secara ekonomi. Permasalahan yang juga dihadapi oleh daerah saat ini, karena konsep kompetensi inti (beserta manfaat-manfaatnya) belum diterapkan secara benar dalam perencanaan perekonomian daerah dan belum menjadi komitmen yang kuat dari pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
EDITORIAL Potensi Daerah dan Dukungan Kebħakan Pemda
DAFTAR ISI Artikel ......................................... 3 Review Regulasi .......................... 8 Dari Daerah .............................. 11 Opini .......................................... 15 Laporan Diskusi Publik ........... 17 Seputar Otonomi ...................... 19 Agenda KPPOD........................ 21 Sekilas KPPOD ......................... 23
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito Staě Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda Distribusi: Regina Retno Budiastuti Kurniawaty Septiani Agus Salim Design dan Layout: Rizqiah D Winantyo
Alamat Redaksi: Permata Kuningan Building 10th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
2
Sejatinya tidak ada negara/daerah yang miskin. Yang ada adalah Negara/ daerah yang tidak dikelola secara baik. Ujaran terkenal dari guru manejemen, Peter Drucker, ini menemukan relevansinya saat kita membincangkan manajemen pembangunan lokal di era desentralisasi ini. Semua daerah, tanpa kecuali, memiliki potensi dan modal ekonominya masing-masing: entah berupa kekayaan alam, sumber daya manusia, lokasi strategis, dsb. Tantangannya adalah: mampu tidak pemangku otoritas setempat, Pemda, mengenal betul kekuatan potensial mereka dan pada gilirannya menjadikan potensi tersebut sebagai titik ungkit membangun daerahnya? Bagaimana kualitas tata kelola kebħakan dan persiapan kapasitas implementasi yang dimiliki agar potensi tersebut terkapaitalisasi secara produktif, tidak malah menjadi dead-capital? Dalam KPPODBrief ini, sejumlah rubrik utama berisikan aneka pandangan peneliti KPPOD seputar masalah tersebut. Kerangka isu besarnya adalah bagaimana daerah membangun perekonomiannya berbasis potensi unggulan setempat. Kasus yang diangkat--berdasarkan hasil olahan atas sebagian materi hasil projek bersama Ford Foundation--prihal keberadaan (kontribusi?) komoditi kakao dalam pembangunan di Kabupaten SikkaNTT dan Kabupaten Majene-Sulbar. Membaca tulisan-tulisan tersebut segera kita tahu bahwa kakao strategis bagi kedua kabupaten tersebut. Strategis bagi rakyat, bagi lapangan kerja, bagi sumber penghidupan petani, dll. Namun, ironisnya, semua itu berjalan apa adanya, taken for granted, menjadi keseharian yang berjalan begitu saja. Perhatian dan dukungan riil berupa program dari Pemda terasa minim. Bahkan, sebuah gugatan layak diajukan, adakah Pemda menyadari bahwa kakao memang unggulan di daerahnya? Pertanyaan retoris tersebut jelas serius. Kalau titik tolak menilai peran dan program pemerintah itu adalah pada sisi kebħakan, maka kita patutu memeriksa wujud kebħakan tersebut baik dalam instrumen regulasi maupun instrumen ęskal. Faktanya, dari temuan di dua daeraah lokasi projek tersebut, kedua instrument tersebut nyaris absen. Jika regulasinya lemah, maka resonansinya jelas: alokasi ęskal (APBD) bagi kakao juga lemah. Jika uang minim, bagaimana Pemda mengembangan program dan kegiatan untuk mendukung peningkatan produktiętas kakao di daerahnya? Akhirnya, kami berharap, tulisan-tulisan yang dihadirkan dalam rubrik utama mampu menggugah para pemangku otoritas di seantero negeri ini, dengan variasi sektor potensial dan komoditi unggulan yang ada. Bahwa, keberpihakan dan dukungan nyata Pemda itu harus terlihat dalam membangun potensi dan modal yang dimiliki. Bahwa, mengingat keterbatasan dalam hampir smeua lini, Pemda wajib memiliki manajemen fokus untuk berkonsentrasi pada sejumlah potensi dan modal pilihan yang memang strategis bagi pembangunan daerahnya.
Selamat membaca.
Artikel
Perumusan Kebħakan Perekonomian Daerah Berbasis Sektor Unggulan Daerah melalui Pendekatan Regulatory Impact Assessment (RIA)
D
alam upaya meningkatkan perekonomian daerah, Pemda sejatinya mendasarkan program kebħakannya pada sektor unggulan yang menjadi potensi daerah terkait. Melalui identiękasi potensi daerah, Pemda diharapkan dapat menghasilkan program kebħakan yang tepat dengan kondisi daerah dan dapat menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Dengan begitu pemerintah dapat memutuskan strategi pengembangan yang sesuai, apakah melalui regulasi tertulis yang mengikat semua pihak (memiliki kekuatan hukum) ataukah cukup dengan kebħakan yang bersifat program kegiatan. Keberadaan suatu regulasi (Perda, Perbup, dll) dapat dibuat dengan melihat kebutuhan daerah, jangan sampai adanya regulasi justru semakin membebani dan mempersulit berkembangnya sektor usaha di daerah.
Sri Mulyati *
Dalam konteks Kabupaten Sikka, kakao menjadi salah satu sumber penghasilan utama bagi 33.278 kepala keluarga di Sikka. Pengelolaannya yang masih dalam skala tradisional dan semakin berkurangnya lahan perkebunan kakao menjadi salah satu penyebab menurunnya produktivitas kakao Sikka. Sejak 2004, produktivitas kakao terus menurun hingga 54% atau hanya sebesar 7.739,93 ton (14.333,2 ton pada 2003). Padahal jika dilihat dari luas lahan perkebunan yang mencapai 22.257 ha (2012), kakao Sikka memiliki potensi besar untuk berkembang. Dilihat dari produktivitas keseluruhan di NTT, produktivitas kakao Sikka menyumbangkan hampir 55,1% kakao NTT dengan luas lahan Sikka mencapai 48,1% dari luas lahan NTT. Meskipun luas lahan kakao di Sikka masih luas, secara nasional, kakao Sikka hanya mampu menghasilkan 321kg/ha/tahun jauh dibawah rata-rata nasional yang mencapai 900kg/ha/tahun.
melibatkan stakeholders yang berasal dari dinas-dinas terkait Melalui RIA, dirumuskan akar permasalahan berdasarkan fakta dan kondisi yang terjadi, dan selanjutnya dirumuskan alternatif tindakan dan bagaimana memutuskan suatu pilihan kebħakan yang tepat berdasarkan pada analisis biaya dan manfaat yang ditimbulkan dari masing-masing alternatif tindakan yang diambil. Dengan melakukan perumusan masalah yang tepat, maka pemda dapat memutuskan bentuk intervensi apa yang tepat dilakukan.
Penurunan produksi kakao tersebut setara dengan kehilangan PDRB Rp.201,2 Milyar per tahun. Kehilangan PDRB sebesar itu mengakibatkan penurunan aktivitas multiplier eěect roda perekonomian di Sikka berupa penurunan konsumsi barang dan jasa, produksi menurun, serapan tenga kerja dan bahan baku menurun, distribusi pendapatan masyarakat dan akhirnya masyarakat di sentra kakao terpuruk. Pengaruh penurunan produktivitas kakao di Sikka sangat besar karena kontribusi komoditi ini terhadap PDRB Sikka mencapai 8,46% (bersama dengan komoditi perkebunan lainnya).
2. Identiękasi Tujuan 3. Alternatif Tindakan 4. Analisis Biaya & Manfaat 5. Pemilihan Tindakan
Pendekatan RIA untuk Peningkatan Produktivitas Kakao Dalam rangka merumuskan bentuk intervensi yang tepat guna meningkatkan produktivitas kakao dan sekaligus upaya mengembangkan sektor unggulan daerah di Sikka dilakukan dengan pendekatan RIA (Regulatori Impact Assessment). Kekuatan utama dari pendekatan RIA adalah dilakukan secara multistakholders dan adanya konsultasi public serta dilakukan berdasarkan kerangka berękir yang logis dan rasional. Dalam rangka perumusan kebħakan tersebut, dilakukan dengan * Peneliti KPPOD
Metodologi Regulatory Impact Assessment (RIA) Kerangka berpikir logis untuk membantu menyusun kebħakan baru maupun kebħakan yang sudah diimplementasikan untuk melihat manfaat keberadaan suatu kebħakan. Metodologi RIA dilakukan melalui tahapan berikut: 1. Perumusan Masalah
6. Strategi Implementasi
Perumusan Masalah Sebagai Identiękasi Awal Penyusunan alternatif Kebħakan yang Akan Dipilih Dari hasil studi rantai nilai usaha kakao yang telah dilaksanakan oleh KPPOD, ditemukan bahwa penurunan produktivitas kakao di Sikka disebabkan oleh umur tanaman kakao yang sudah tua (umumnya 30-45 tahun), adanya serangan hama penyakit, dan pola tanam yang belum mengadopsi cara bercocok tanam yang baik (Good Agricultural Practices-GAP). Minimnya program pembinaan dan pelatihan kepada petani juga menjadi salah satu bukti masih kurangnya komitmen Pemda Sikka dalam mengembangkan sektor usaha kakao di Sikka. Belum optimalnya koordinasi antar instansi Pemda maupun dengan pihak non pemda (lembaga keuangan, lsm, dll) menjadikan upaya pengembangan sektor kakao di Sikka belum dilaksanakan secara terpadu.
3
Artikel Secara umum permasalahan utama yang dihadapi petani di Sikka adalah rendahnya produktivitas kakao yang disebabkan oleh tanaman kakao tua dan serangan hama penyakit. Melalui pendekatan RIA, perumusan masalah diidentiękasi secara lebih menyeluruh sehingga didapatkan akar masalah yang menjadi penyebab dan perilaku siapa yang menyumbang terjadinya kondisi tersebut.
Akar permasalahan yang menyebabkan rendahnya produktivitas kakao di Sikka dapat digambarkan melalui pohon masalah dihalaman berikutnya. Melalui identiękasi akar masalah tersebut, terlihat bahwa permasalahan yang muncul tidak hanya dikarenakan dari satu faktor saja namun dari beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain. Dalam perumusan tindakan berikutnya harus melibatkan semua pihak terkait, mengidentiękasi perilaku siapa yang diharapkan berubah, mengidentiękasi hambatan dan faktor pendukung sehingga dalam merumuskan alternatif tindakan dapat dilakukan secara tepat, sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, dapat dilaksanakan dan dipatuhi semua pihak. Pemilihan Alternatif Tindakan yang Tepat untuk menjawab permasalahan
Pohon kakao yang mengalami busuk buah & Pohon kakao yang tua dan tidak terawat.
Akar permasalahan yang menjadi penyebab turunnya produktivitas tersebut disumbang oleh perilaku yang dilakukan baik oleh petani itu sendiri maupun stakeholder terkait lain. Kurangnya pengetahuan petani menyebabkan kegiatan budi daya selama ini dilakukan secara tradisional, petani tidak melakukan pola tanam yang baik dan petani tidak melakukan perawatan serta pemupukan pada kebun kakao sehingga kebun kakao rentan akan serangan hama penyakit. Sedangkan perilaku merugikan lainnya disumbang oleh para stakeholder terkait, dimana upaya pembinaan dan pelatihan kepada petani belum dilaksanakan secara optimal. Stakeholder terkait tersebut diantaranya dari pihak Pemda maupun Non Pemda. Pemda dalam hal ini khususnya Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) dan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh (BKP2) serta stakeholder lain di luar Pemda seperti lembaga keuangan, LSM, tokoh masyarakat, dll. Dalam konteks Sikka, minimnya koordinasi antara Dinas pertanian dan Perkebunan (Distanbun) dan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh (BKP2) menyebabkan pelaksanaan program pembinaan dan pendampingan yang dilakukan keduanya belum berjalan secara optimal. Keterbatasan kapasitas dan jumlah PPL yang dimiliki oleh Distanbun dan BKP2 membuat program pendampingan kepada petani masih minim. Kendala lain terlihat dari belum efektifnya kinerja Dewan Kerjasama Ekonomi Daerah (DKED) dalam mengkoordinasikan semua stakeholder terkait kakao untuk mengembangkan kakao secara bersama-sama. DKED dengan fungsinya sebagai forum komunikasi stakeholder belum berperan secara optimal dalam mengupayakan kerjasama antar berbagai stakeholder terkait baik Pemda, LSM, lembaga keuangan, maupun stakeholder terkait sehingga program bantuan dan pembinaan kepada petani saat ini masih belum dilaksanakan secara terpadu. Salah satunya dapat dicontohkan dengan belum terserapnya dana program bantuan kredit dari lembaga keuangan dikarenakan kurangnya sosialisasi kepada petani dari lembaga keuangan dan pihak Pemda.
4
Dengan mendasarkan pada akar masalah dan tujuan yang akan dicapai, yakni peningkatan produktivitas kakao, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan berbagai alternatif tindakan. Penentuan alternatif tindakan dapat berupa regulasi maupun non regulasi. Alternatif tindakan yang bersifat regulasi dapat dilakukan melalui penyusunan atau penguatan payung hukum dari keberlanjutan setiap program pengembangan kakao maupun memperkuat kapasitas institusi DKED agar lebih optimal dalam menjalankan peran dan fungsinya. Sedangkan alternative tindakan yang bersifat non regulasi dapat dilakukan melalui upaya penyusunan program-program kegiatan untuk meningkatkan kapasitas petani dan kelompok petani, peningkatan kapasitas petani dan jumlah petugas penyuluh lapangan, dan optimalisasi koordinasi berbagai instansi terkait melalui DKED. Berikut beberapa alternatif tindakan yang disusun berdasarkan pada rumusan akar masalah dan tujuan yang akan dicapai yakni peningkatan produktivitas kakao di Kabupaten Sikka. I. Do Nothing/Membiarkan kondisi yang ada Alternatif tindakan ini merupakan bentuk kebħakan yang diambil oleh Pemda dengan membiarkan kondisi yang saat ini terjadi dan tidak melakukan intervensi apapun pada pengembangan sektor kakao. Dengan tindakan ini Pemda tidak mendapatkan manfaat apapun dari sektor kakao, pun Pemda tidak harus menambah alokasi anggaran untuk sektor perkebunan. Dari opsi ini, dampak negatif dirasakan paling besar oleh petani, produktivitas kakao yang semakin menurun, berdampak langsung pada menurunnya pendapatan petani dan sekaligus menurunkan kesejahteraan petani. Menurunnya kesejahteraan petani secara tidak langsung mengindikasikan gagalnya pemda dalam meningkatkan aktivitas perekonomian di daerahnya, sehingga dalam hal Pemda juga mendapatkan dampak negatif. Dampak negatif lainnya dirasakan oleh para pengusaha yang akan kesulitan mendapatkan bahan baku bħi kakao dari petani sehingga pengusaha sulit untuk mengembangkan industrinya.
Artikel
PRODUKTIVITAS KAKAO RENDAH Umur Tanaman Kakao
Serangan Hama Penyakit
Pola Tanam yang Kurang Baik (Jarak tanam; Pemangkasan; Peremajaan; Teknik sambung; Pemupukan, dll)
Keterbatasan bibit yang sesuai kondisi daerah
Kurangnya Pengetahuan
Tidak ada insentif bagi petani
Kurang Pendampingan
Kurang Keterlibatan Lembaga
Keterbatasan Program Pemerintah
Kurang Keterlibatan Swasta
Kurangnya Jumlah PPL Pemda
Kurangnya Sosialisasi Bersama Program/Produk Jasa Keuangan
Kurangnya Keterlibatan Penyuluh Swasta
Kurangnya Kapasitas Penyuluh
Keterbatasan Modal Produksi
Lemahnya Koordinasi & Sinergi Program Lintas Sektor Kurang Optimalnya Peran & Fungsi DKED II. Penguatan Kapasitas Petani dan Kelembagaan Petani Rendahnya pengetahuan petani dan pola tanam yang kurang baik menjadi salah satu penyebab utama rendahnya produktivitas tanaman kakao. Melalui upaya peningkatan kapasitas dan kelembagaan petani, diharapkan akan dapat merubah pola pikir petani dari yang tradisional menjadi lebih modern. Dengan meningkatnya pengetahuan, petani akan lebih memahami pentingnya merawat kebun, dan melakukan pola tanam yang baik sehingga dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas tanaman kakao. Sedangkan melalui peningkatan kelembagaan petani baik melalui poktan maupun gapoktan, petani akan dapat meningkatkan status legalitasnya sehingga dapat mempermudah akses permodalan kepada lembaga keuangan. Disamping itu, melalui penguatan kelembagan petani dapat diupayakan program-program pembinaan seperti kegiatan pemasaran bersama, pelatihan pupuk organik, maupun mempermudah akses petani dalam mengajukan bantuan kepada Pemda. Dengan opsi ini, dampak positif dirasakan paling besar oleh petani. Petani menjadi aktor utama pelaksana budidaya kakao mendapatkan pembinaan dan pelatihan secara maksimal sehingga dapat berswadaya dan mampu mengurangi
ketergantungan dari bantuan yang diberikan baik oleh pemda maupun pihak lain. Hal tersebut menjadi salah satu dampak positif juga bagi Pemda, meskipun ada konsekuensi penambahan alokasi anggaran yang harus dikeluarkan. Meningkatnya kapasitas petani dalam budidaya kakao, akan dapat meningkatkan produktivitas kakao, mutu bħi kakao yang dihasilkan lebih baik, harga yang didapat petani menjadi lebih tinggi sehingga kesejahteraan petani meningkat. Manfaat lain didapatkan oleh pengusaha yakni jaminan kepastian tersedianya bħi kakao dalam jumlah dan kualitas yang baik untuk memenuhi kebutuhan industri. III. Penguatan Kapasitas dan Jumlah PPL Alternatif tindakan ini menjadi salah satu opsi dalam upayanya meningkatkan produktivitas tanaman kakao. Kondisi yang selama ini terjadi, program pendampingan dan pembinaan dari PPL belum optimal karena adanya keterbatasan baik dari sisi kualitas maupun kuantitas PPL yang dimiliki Distanbun maupun BKP2. PPL yang dimiliki Pemda umumnya bersifat polivalen dengan beragam latar belakang sehingga dalam menjalankan tugasnya tidak hanya fokus pada kakao tetapi pada tanaman pangan lainnya. Disamping itu keterbatasan anggaran juga menjadi sebab minimnya jumlah dan kapasitas PPL yang dimiliki pemda.
5
Artikel Melalui peningkatan kapasitas dan jumlah PPL ini diharapkan akan mampu memberikan transfer pengetahuan secara maksimal kepada petani, sehingga pelaksanaan pembinaan dan pelatihan petani dapat dilakukan secara maksimal. Pelaksanaan alternatif ketiga ini akan membantu kinerja Pemda dalam hal ini Distanbun dan BKP2 dalam hal melaksanakan pembinaan dan pelatihan kepada petani. Meskipun akan berdampak pada penambahan alokasi anggaran pemda, namun melalui opsi ini target kerja dari pemda akan lebih mudah tercapai. Adanya penguatan kapasitas dan peningkatan jumlah PPL akan memperluas jangkauan kerja dari petugas PPL. Semakin luas jangkauan kerjanya, maka manfaatnya akan semakin besar diterima oleh petani. Semakin banyak petani mendapatkan pembinaan dan pelatihan, maka akan semakin meningkat kapasitas petani dalam pengembangan usaha kakao. IV. Revitalisasi DKED melalui Perubahan Dasar Hukum Dewan Kerja sama Ekonomi Daerah (DKED) merupakan wadah bersama bagi semua stakeholder baik unsur Pemda maupun Non Pemda untuk mendiskusikan berbagai hal terkait pengembangan ekonomi daerah salah satunya forum kakao Sikka. DKED ini disahkan melalui SK Bupati No. 245/ HK/2012 tentang Pembentukan Dewan Kerja sama Ekonomi Daerah (DKED). Tugas utama dari DKED ini adalah mengkoordinasikan stakeholder baik dari unsur pemda, swasta, petani, LSM dan sebagainya dalam rangka pembangunan ekonomi. Dengan pemilihan opsi ini manfaat yang diterima jangkauannya akan lebih besar diterima oleh semua stakeholder kakao. Bagi petani, manfaat yang diterima akan lebih komprehensif dari hilir sampai hulu. Dari mulai pembinaan budidaya kakao, akses kepada lembaga keuangan hingga aspek pemasaran, semuanya berada dalam ruang lingkup DKED. Manfaat lain juga diterima oleh stakeholder lainnya, melalui optimalisasi peran DKED ini akan dapat menggerakkan semua stakeholder untuk bersinergi dan bekerjasama dalam mengembangkan sektor usaha kakao di Kabupaten Sikka. Dengan adanya sinergi program antar stakeholder terkait, diharapkan program pengembangan kakao dapat berjalan secara terpadu, tidak tumpang tindih dan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Analisis Manfaat-Biaya Dilakukan untuk Menentukan Pilihan Kebħakan Terbaik Tahapan ini merupakan tahapan penting untuk menentukan alternatif tindakan mana yang dipilih. Penentuan tersebut dilakukan melalui analisis biaya dan manfaat atas masing-masing alternatif tindakan yang sudah ditentukan sebelumnya. Analisis manfaat ditujukan untuk melihat berbagai keuntungan/kebaikan
6
yang didapat dari diterapkannya suatu tindakan. Sedangkan analisis biaya dilakukan untuk menghitung komponen biaya/kerugian apa saja yang dikeluarkan sebagai dampak dari diterapkannya suatu tindakan. Penghitungan analisis manfaat dan biaya diawali dengan menentukan indikator manfaat dan biaya yang diterima oleh masing-masing stakeholder yang terlibat. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan indikator pengukuran yang sama untuk setiap alternatif tindakan. Alternatif tindakan yang memiliki manfaat paling besar dengan biaya yang kecil merupakan alternatif tindakan yang terbaik. Berdasarkan analisis manfaat dan biaya yang dilakukan pada empat alternatif tindakan yang ditetapkan, diputuskan bahwa alternatif ke empat (4) yaitu revitalisasi peran dan fungsi DKED memberikan manfaat bersih yang paling besar dibandingkan dengan tiga alternatif lain. Dalam hal ini, DKED menjadi wadah berkumpulnya semua stakeholder baik dari pihak pemda maupun non Pemda sehingga upaya intervensi melalui penentuan alternatif tindakan ke empat ini akan dapat mensinergikan program pengembangan kakao yang telah ditetapkan. Dengan pelibatan semua stakeholder terkait, upaya pengembangan kakao akan dapat berjalan secara terpadu dan lebih optimal dalam pelaksanaannya. Manfaat yang diterima dari pelaksanaan opsi ke empat ini dapat menjangkau semua stakeholder. Dengan koordinasi yang efektif dari semua stakeholder terkait, program intervensi yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder dapat dilakukan dengan baik, tidak tumpang tindih, dan dapat bersinergi satu sama lain sehingga hasil yang dicapai lebih optimal. Sedangkan pihak yang paling mendapat kerugian dengan diterapkannya alternatif tindakan ke 4 (empat) adalah para pedagang tengkulak, karena dengan adanya peningkatan kapasitas dan pengetahuan petani, adanya koordinasi yang baik antar semua stakeholder melalui DKED, maka diharapkan kedepannya petani tidak lagi menjual hasil kebunnya pada pedagang tengkulak namun menjualnya langsung pada pedagang besar, atau melalui UPH sehingga dapat memutus rantai nilai perdagangan dan dapat meningkatkan harga bħi kakao yang diterima petani. Meskipun bagi Pemda pemilihan alternatif ke empat ini berimplikasi pada penambahan alokasi dana dalam rangka optimalisasi peran dan fungsi DKED, namun manfaatnya masih lebih besar, dan jangakauan manfaatnya lebih luas dan bersifat jangka panjang. Eksternalitas positif yang dapat dihasilkan dapat berupa: 1)
2)
Peningkatan produktivitas kakao akan meningkatkan nilai dan volume perdagangan sehingga akan terjadi peningkatan PDRB Kabupaten Sikka; Akivitas ekonomi yang meningkat sehingga menciptakan multiplier eěect tehadap aktivitas sosial ekonomi;
Artikel 3) 4) 5)
Pendapatan masyarakat meningkat, sehingga daya beli masyarakat yang meningkat; PDRB meningkat; Peningkatan pendapatan masyarakat meningkat, berdampak pada pembayaran pajak yang merupakan penerimaan pemerintah.
Kombinasi dari tindakan alternatif 2, 3, dan 4 tentunya akan semakin memaksimalkan manfaat dan tercapainya tujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman kakao di Sikka. Dalam proses implementasi kegiatan perlu dipikirkan untuk mengkombinasi atau melaksanakan program secara simultan dari tiga opsi yang telah dirumuskan. Strategi Implementasi Pelaksanaan Kebħakan sebagai Upaya Mendorong Kepatuhan Guna menjamin efektiętas pelaksanaan pilihan kebħakan yang sudah ditetapkan, perlu diupayakan strategi implementasi yang tepat. Untuk mengidentiękasi tingkat kepatuhan, para pelaksana kebħakan sebelumnya dapat melakukan analisis persespsi tingkat kepatuhan, mekanisme dan sanksi yang dapat mendorong kepatuhan. Strategi lainnya dengan mengidentiękasi kelompok pendukung dan kelompok yang kontra, sehingga dengan begitu dapat menentukan pendekatan yang tepat dalam melakukan sosialisasi kegiatan sekaligus pada saat pelaksanaan dari pilihan kebħakan tersebut. Dalam upaya optimalisasi pelaksanaan upaya revitalisasi dan penguatan DKED Kab. Sikka, strategi implementasi dilakukan melalui beberapa langkah seperti sosialisasi melalui kegiatan FGD yang dilakukan kepada semua pihak terkait, audiensi dengan Bupati Sikka dan publikasi melalui media massa dan elektronik. Sedangkan upaya untuk mendorong kepatuhan terlaksananya opsi ke empat ini adalah dengan merekomendasikan hasil RIA menjadi salah satu materi dalam RPJMD yang disusun oleh Pemda, memperkuat legitimasi Tim RIA melalui SK Bupati sebagai pihak yang akan mengawal terlaksananya pilihan kebħakan yang telah ditetapkan,
MOU antar pihak terkait, serta pendekatan lainnya yang bersifat persuasif hingga penetapan sanksi administrasi. Konsultasi Publik sebagai Sarana Masyarakat Dalam Penyusunan Kebħakan
Pelibatan
Dalam metode RIA, idealnya pada setiap tahapan RIA dilakukan konsultasi publik kepada stakeholder terkait. Hal tersebut untuk memastikan bahwa produk kebħakan nantinya benar-benar mencerminkan kenyataan di lapangan dan mewakili aspirasi dari semua stakeholder terkait. Konsultasi publik yang telah dilakukan dalam upaya penyusunan kebħakan pengembangan kakao di Sikka ini telah dilakukan melalui berbagai media seperti diskusi kelompok terarah (FGD), wawancara dengan stakeholder terkait untuk veriękasi asumsi yang digunakan, publikasi melalui media cetak (koran lokal) dan dialog interaktif di radio. Melalui berbagai upaya konsultasi publik yang telah dilakukan tersebut, harapannya hasil kebħakan yang telah disusun dapat mencerminkan aspirasi bersama dan mendapat dukungan dari semua pihak dalam pelaksanaannya. Catatan Akhir Mengacu pada upaya pemda dalam menyusun program pengembangan usaha kakao di Kabupaten Sikka, untuk menghasilkan kebħakan yang baik dan tepat, maka proses perumusan kebħakan tersebut harus mendasarkan diri pada kebutuhan masyarakat yang akan akan terkena dampak dari kebħakan tersebut. Dengan mendasarkan pada kebutuhan dan kondisi fakta yang terjadi diharapkan akan dapat menghasilkan kebħakan yang efektif, dan dapat menjawab permasalahan yang dihadapi di daerah terkait. Dimulai dari tahap perumusan akar masalah yang didasarkan pada fakta yang dirasakan oleh masyarakat, dan diikuti dengan serangkaian konsultasi publik untuk menjaring aspirasi masyarakat. Dengan membuka seluas-luasnya ruang keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebħakan diharapkan penerimaan masyarakat akan kebħakan yang dihasilkan juga akan besar, sehingga tingkat kepatuhan masyarakat akan suatu kebħakan akan lebih tinggi. --o0o--
Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar 20.000 Perda dalam versi elektronik menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll). Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses http://perda.kppod.org. Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan submenu pemesanan perda.
Terima kasih Bagian Keperpustakaan
7
Review Regulasi
Perda No. 3 tahun 2008 Kalimantan Timur tentang KEMITRAAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN di PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
U
ntuk mengembangkan sektor unggulan, maka upaya-upaya terorganisir dan terstruktur harus dilakukan. Para stakeholder yang bergerak di sektor unggulan tersebut juga selayaknya turut berperan, bukan hanya pemda ataupun stakeholder kunci di sebuah sektor unggulan. Salah satu upaya yang dilakukan agar sektor unggulan ini dapat berkembang adalah membentuk program kemitraan antar para stakeholder, baik pemda, privat maupun masyarakat.
Boedi Rheza*
Sektor perkebunan merupakan salah satu sektor unggulan di Indonesia. Beberapa contoh komoditas yang termasuk dalam sektor perkebunan adalah kakao, kelapa sawit, dan karet. Umumnya peran kunci dalam sektor perkebunan dipegang oleh petani. Banyak petani yang melakukan usaha perkebunan di daerah. Sedikit berbeda dengan komoditas kelapa sawit, sebagian usaha perkebunan dilakukan oleh perusahaan, meskipun ada yang dikelola oleh masyarakat melalui perkebunan inti rakyat (PIR). Beberapa jenis komoditas yang perkebunannya dikelola oleh masyarakat, umumnya memiliki permasalahan yang sama. Kurangnya modal untuk mengelola kebun, belum adanya akses pasar yang memadai dan juga perawatan kebun yang tidak memadai. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, dapat dilakukan salah satu upaya yaitu melakukan kemitraan antara pengusaha dengan petani yang melakukan usaha tani. Peran pemda sebagai pemangku kewenangan dalam pengembangan sektor unggulan, juga dapat melakukan upaya mengeluarkan paying hukum bagi program kemitraan agar program kemitraan tersebut memiliki aturan yang jelas dan terstruktur. Upaya untuk memayungi pelaksanaan kegiatan kemitraan tersebut diperlihatkan oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur, melalui Perda Propinsi Kaltim No. 3 tahun 2008 tentang kemitraan pembangunan perkebunan di propinsi Kalimantan timur. Perda ini dibuat untuk mengamankan program kemitraan pembangunan perkebunan sehingga dapat berjalan tertib, lancer dan mencapai asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta berkeadilan, serta mencegah terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan program kemitraan pembangunan perkebunan (pasal 3).
lancar dan berkelanjutan. Kemitraan pembangunan perkebunan yang dimaksudkan dalam Perda ini adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pembangunan kebun binaan serta jaringan jalan kebun/jalan usaha tani dan fasilitas lainnya yang berkaitan dengan pengembangan usaha tani perkebunan binaan. Tujuan dari program kemitraan ini adalah untuk menumbuhkembangkan sinergi antara perkebunan besar dan pekebun rakyat agar tercapai peningkatan pendapatan masyarakat, lapangan kerja, produktiętas lahan, nilai tambah dan daya saing. Selain itu juga dengan penerapan perda ini diharapkan dapat mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan lestari serta meningkatkan penerimaan negara, dan devisa Negara (Pasal 3). Hal lain yang diatur dalam perda ini adalah bentuk kemitraan itu sendiri. Terdapat 3 bentuk kemitraan yang diatur dalam perda ini yaitu: a.
Petani pekebun rakyat bekerjasama dengan Perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang perkebunan.
b.
Petani pekebun rakyat bekerjasama dengan Perusahaan Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak dalam bidang perkebunan.
c.
Petani pekebun rakyat bekerjasama dengan Perusahaan Badan Usaha Milik Swasta dalam negeri maupun asing yang bergerak dalam bidang perkebunan.
Terdapat juga beberapa program yang merupakan bagian dari bentuk kemitraan tersebut yaitu: a. b.
Ringkasan Isi Seperti yang telah disebutkan diatas, maksud dari penerbitan perda ini adalah untuk mengamankan dan menjamin pelaksanaan kemitraan menjadi tertib,
* Peneliti KPPOD
8
c.
Pembangunan kebun dilaksanakan penuh oleh perusahaan perkebunan pembina; Perusahaan perkebunan pebina memberikan bibit unggul berlabel dan sarana produksi (pupuk dan pestisida) dengan pola kredit; Perusahaan perkebunan pembina membantu proses pelaksanaan pengembalian kredit petani peserta;
Review Regulasi d.
Perusahaan perkebunan pembina membantu pembinaan dan pengembangan Koperasi petani peserta di sekitar wilayah perkebunan pembina; e. Perusahaan perkebunan pembina membantu pelaksanaan kegiatan peremajaan pada kebun petani peserta yang telah memasuki masa peremajaan. Dari beberapa bentuk dan program kemitraan yang dilakukan, secara garis besar perusahaan perkebunan Pembina mempunyai tugas dan kewajiban antara lain membangun perkebunan yang dilakukan perusahaan perkebunan Pembina seluas 20 persen dari total luas usaha perkebunan lengkap dengan fasilitas pengolahan
yang dilaksanakan oleh instansi terkait (stakeholder) yang telah ditetapkan oleh Gubernur, sekurangkurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan. Potensi masalah: 1. Perda ini belum memasukkan PP No. 44 tahun 1997 tentang Kemitraan. PP ini menjabarkan teknis yang mengatur kemitraan antara perusahaan dengan petani atau pekebun. Dengan tidak adanya PP ini, dapat dikatakan perda ini tidak memiliki landasan yuridis yang lengkap. 2. Petani yang ikut ikut haruslah bebas dari
sumber: http://wisataindonesia.biz
(pabrik) yang dapat menampung hasil kebun pembina dan kebun binaan sesuai dengan tata ruang yang berlaku, dengan penerapan teknologi yang ramah lingkungan, serta memfasilitasi aksesibilitas usaha tani, alih teknologi serta informasi bagi para petani peserta. Selain itu, juga menampung dan membeli seluruh hasil kebun binaan berdasarkan standar mutu dan harga yang ditetapkan pemerintah dengan pembayaran tepat waktu dan lainnya. Sedangkan hak yang didapat oleh perusahaan perkebunan Pembina adalah mendapatkan informasi yang diperlukan dalam pengembangan usaha, fasilitas proses perizinan dan fasilitasi penanaman modal. Untuk dapat mengikuti program kemitraan ini, terdapat beberapa syarat bagi petani yaitu petani merupakan penduduk setempat, petani peladang berpindah dari kawasan hutan terdekat, masyarakat pemilik lahan atau transmigran di sekitar areal perusahaan perkebunan Pembina. Selain persyaratan tersebut, juga terdapat persyaratan lain seperti batasan umur, sehat jasmani dan rohani, serta tidak memiliki tunggakan pinjaman. Petani yang berhak mengikuti kemitraan juga merupakan petani yang lolos seleksi yang dilakukan oleh Pemda dan ditetapkan oleh Pemda. Pemda juga berperan untuk menetapkan harga jual atas produksi yang dilakukan. Penetapan Harga jual atau harga pembelian atas hasil penjualan produksi kebun binaan petani ditetapkan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh pemerintah
tunggakan pinjaman lain dari perbankan pada waktu konversi diadakan, kecuali ada pertimbangan lain. Disini tidak jelas apa yang dimaksud dengan pertimbangan lain dan 3.
melalui mekanisme apa pertimbangan tersebut dilakukan. Hal ini dapat menimbulkan multi interpretasi bagi para pihak terutama bagi
4.
petani maupun pemda sebagai pihak yang melakukan penetapan peserta program kemitraan.
5.
Keharusan petani menjual produknya kepada perusahaan pembina perkebunan pada saat petani belum lunas kreditnya. Hal ini dapat mengakibatkan posisi tawar petani menjadi tidak kuat, karena akan menjadikan petani hanya sebagai penerima harga ketika masih memiliki tanggungan kredit.
6.
Perda ini mengatur tentang hak yang didapat oleh perusahaan, berupa fasilitas perizinan dan fasilitas penanaman modal. Namun perda ini tidak menjelaskan sejauh mana fasilitas ini diberikan atau dalam tingkatan apa fasilitas perħinan maupun penanaman modal diberikan kepada perusahaan.
7.
Penetapan
harga
jual
atas
produksi
9
Review Regulasi perkebunan yang dilakukan oleh gubernur sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan juga dapat menimbulkan permasalahan. Potensi permasalahan yang terjadi ketika penetapan harga ini adalah terdapatnya ketimpangan harga antara pasar dengan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, tidak dħelaskan mekanisme yang dilakukan untuk mengantisipasi Ěuktuasi harga komoditas perkebunan. Karena ada komoditas, seperti kakao, yang memiliki tingkat harga berĚuktuasi setiap harinya, karena mengacu pada pasar di luar negeri. 8.
10
Kewajiban pemda dalam pola kemitraan sudah ada beberapa hal namun belum mencakup peran sebagai bapak asuh bagi para petani peserta. Memang dalam beberapa hal, Pemda bertugas menyediakan lahan, pendampingan bagi petani, namun pemda tidak ikut serta dalam menjamin ketersediaan lahan untuk pembinaan. Keseluruhan kewajiban untuk menyediakan lahan ditanggung oleh perusahaan. Seharusnya, pemda ikut menjamin ketersediaan lahan untuk pembinaan dengan
membantu perusahaan dalam menyediakan lahan binaan. 9.
Tidak adanya mekanisme penyelesaian konĚik yang terjadi dalam kemitraan di dalam perda ini. Hal ini berpotensi menyebabkan berlarutlarutnya konĚik ataupun permasalahan dalam kemitraan itu sendiri.
Rekomendasi Upaya Pemprop Kaltim dalam memayungi program kemitraan melalui sebuah peraturan daerah layak untuk dihargai. Beberapa tujuan dari perda ini adalah untuk mengamankan program kemitraan dan mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan program kemitraan antara petani dan pengusaha. Namun dari hasil analisis yang dilakukan, masih terdapat beberapa potensi permasalahan yang timbul dari perda ini, antara lain adanya aturan tentang calon peserta yang masih multitafsir, hak perusahaan yang belum disebutkan secara jelas dalam hal apa, maupun peran pemda yang belum begitu nampak dalam program kemitraan yang diatur melalui perda ini. --o0o--
Dari Daerah
Kakao Majene: Butuh Komitmen Pemda dalam Mengembangan Kakao Sebagai Komoditas Utama
K
akao merupakan komoditas strategis minimalnya karena dua hal. Pertama, Indonesia merupakan produsen kakao nomor dua di dunia setelah Pantai Gading, dengan produksi 809.586 tahun 2012. Dengan produksi sebesar itu, komoditas ini telah menyumbang devisa
sebesar US $ 1,1 Milyar pada tahun 2012 yang merupakan perolehan devisa ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet. Kedua, kegiatan usaha ini melibatkan petani kecil dengan tingkat kepemilikan lahan 0,5 -2 ha. Dengan demikian, perkembangan usaha kakao secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap ekonomi kerakyatan.
Elizabeth Karlinda*
Dari keseluruhan total produksi kakao Indonesia, kontribusi terbesar (60 %) berasal dari Pulau Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Khusus di Sulawesi Barat, perkebunan kakao tersebar di hampir seluruh daerah, salah satunya adalah Kabupaten Majene. Kabupaten Majene merupakan salah satu dari lima kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang menjadi sentra produksi kakao. Komoditas tersebut memberikan kontribusi terbesar dalam pendapatan masyarakat Majene. Dari data BPS menunjukkan, pada tahun 2010 subsektor perkebunan menyumbang kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Majene yakni sebesar 40 %, dimana kakao mejadi komoditas utama di subsektor tersebut (Majene Dalam Angka 2012).
di Majene adalah Kecamatan Tammerodo Sendana, Kecamatan Malunda dan Kecamatan Ulumanda. Luas areal kakao di tiga kecamatan tersebut berturut-turut pada tahun 2011 adalah 3.346 ha, 2.284 ha, dan 796 ha. Total produksi ketiga kecamatan tersebut mencapai 91 % dari total produksi kakao di Kabupaten Majene. Dari areal lahan kakao di Majene tersebut, seluruhnya (100%) merupakan perkebunan rakyat. Belum ada perkebunan swasta besar yang melakukan budidaya kakao di Majene. Sementara luas kepemilikan lahan rata-rata 1 ha/KK. Dari hasil observasi lapangan juga menunjukkan sangat jarang ada petani yang memiliki luas lahan kakao lebih dari 3 ha/KK. Di lihat dari faktor eksternal, budidaya kakao masih dilakukan secara tradisional. Usaha ini telah dilakukan
Faktor internal dan faktor eksternal Usaha Kakao Majene
turun temurun sejak berpuluh tahun silam. Meskipun begitu, mayoritas petani kakao masih berada di bawah
Budidaya kakao di Kabupaten Majene melibatkan 10.289 KK. Jika satu keluarga di Majene memiliki empat orang
Nilai budaya kebersamaan di tingkat petani masih
anggota (ayah, ibu dan dua anak), artinya terdapat lebih dari 40.000 petani di Kabupaten Majene. Total produksinya di tahun 2011 mencapai 9.024 ton dengan produktivitas mencapai 880 kg/ha/tahun meningkat menjadi 950 ha/kg/tahun pada tahun 2013. Meskipun produktivitasnya sedikit lebih tinggi dari produktivitas nasional (821 ka/ha/tahun), namun nilai tersebut masih jauh produktivitas optimal kakao Majene yang sebesar 3.000 kg/ha/tahun (Bappeda Majene 2013). Luas areal lahan kakao di Majene sebesar 12.412 ha. Tiga kecamatan yang menjadi sentra produksi kakao * Peneliti KPPOD
garis kemiskinan.
ada, namun mulai berkurang. Contohnya adalah beudaya gotong royong bersama dalam merawat kebun kakao milik petani. Namun, kini tidak semua poktan melakukan budaya tersebut., hanya sedikit yang masih menjalankannya. Hingga kini belum ada LSM maupun perusahaan yang berperan dalam pengingkatan usaha kakao di Majene. Pembinaan dan pendampingan petani Majene beberapa kali pernah dilakukan LSM Wasiat yang berpusat di Kabupaten Polewali Mandar. Kerjasama antar petani (poktan) dengan perusahaan dalam bentuk jual beli maupun bantuan penyuluhan dan
11
Dari Daerah FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
Jumlah petani kakao
10.289 KK (2011)
• Budidaya masih tradisional
Total Produksi
9.024 ton (2011)
• Usaha kakao dilakukan turun
Total Luas Lahan
12.412 ha (2011) TBM : 1.700 ha TM: 10.254 ha TTM/TR : 458 ha
Produktivitas
880 kg/ha/tahun (2011)
Lingkungan Sosial Budaya
• Petani masih miskin
Modal Sosial Kepemilikan lahan
• Kemerosotan modal sosial secara kolektif ->Tidak memiliki rencana hidup sepanjang tahun
1 ha/KK Tidak ada kebħakan dari pemerintah untuk mempertahankan luas usaha kakao, atau menyediakan lahan untuk pengembanan usaha kakao
• Nilai budaya kebersamaan di tingkat petani masih ada, namun mulai berkurang
Peran NGO dan Perusahaan
NGO lokal yang berperan dalam peningkatan kakao di Majene hanya WASIAT, sementara belum ada perusahaan yang bekerja sama dengan petani
Ket: TBM: Tanaman Belum Menghasilkan TM: Tanaman Menghasilkan TTM/TR: Tanaman Tidak Menghasilkan/Tanaman Rusak
pendampingan dari perusahaan pun pun masing sangat jarang di Kabupaten Majene.
Beberapa hal yang menyebabkan kondisi rendahnya kapasitas petani, diantaranya adalah sebagai berikut:
Kapasitas petani sebagai aktor utama usaha kakao
¾Minimnya pelatihan bagi petani kakao Majene
masih rendah Maju tidaknya usaha ini dipengaruhi oleh beberapa hal,
Hingga kini, pelatihan yang diselenggarakan guna meningkatkan kapasitas petani di Kab. Majene
terutama kapasitas SDM petani. Namun, kenyataannya kapasitas petani di Kabupaten Majene masih rendah
masih minim. Hal ini dikarenakan anggaran yang digunakan untuk kegiatan tersebut masih terbatas.
dari aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan modal. Hal tersebut salah satunya ditunjukkan oleh kesadaran
Minimnya anggaran pelatihan bagi para petani ini disebabkan oleh Tim Penyusun Anggaran
merawat kebun kakao yang masih rendah. Budidaya
Daerah (TPAD) tidak memprioritaskan program pengembangan kakao di Majene, khususnya di
kakao yang kurang optimal tersebut mengakibatkan produktivitas dan kualitas bħi kakao rendah. Terlebih hama dan penyakit yang banyak menyerang tanaman
bidang penyuluhan. Padahal, ini tidak sesuai dengan
kakao semakin menyebabkan penurunan produktivitas
misi Kabupaten Majene yakni Meningkatkan Kesejahteraan dan Taraf Hidup Masyarakat, dimana
dan kualitas tersebut.
mayoritas petani kakao termasuk masyarakat
Tidak hanya itu, kesadaran petani dalam melakukan proses pengolahan secara sempurna juga masih rendah. Akibatnya, pengeringan hanya dilakukan dalam waktu singkat (satu hari) dan prosesnya pun masih belum memerhatikan faktor kebersihan (sanitasi). Proses fermentasi pun masih sangat jarang dilakukan oleh para petani. Beberapa hal tersebut mengakibatkan kualitas bħi kakao yang dihasilkan oleh petani semakin rendah. Kapasitas petani yang rendah juga menyebabkan
miskin yang kesejahteraannya perlu ditingkatkan. Tidak hanya pemda, sesungguhnya progam pelatihan maupun pendampingan juga dilakukan oleh asosiasi kakao maupun perusahaan. Biasanya program tersebut dilakukan di daerah-daerah sentra produksi kakao. Namun, hal tersebut masih sangat jarang dilakukan di Majene. Akibatnya, kapasitas petani masih sulit ditingkatkan. ¾Kinerja penyuluh kurang optimal
mereka tidak memiliki posisi tawar terutama dalam
Dilihat dari
sistem pemasaran. Justru peranan pengepul masih lebih menonjol ketimbang petani kakao di dalam rantai
Kabupaten Majene masih kurang memadai. Masih
perdagangan kakao.
12
kuantitasnya, jumlah penyuluh di
ada penyuluh yang menangani lebih dari satu
Dari Daerah
sumber: KPPOD
desa. Idealnya setiap penyuluh maksimal hanya menangani satu desa. Tidak hanya dari kuantitas, penyuluh pun masih memiliki kualitas rendah. Latar belakang penyuluh yang berbeda-beda menyebabkan tidak semua penyuluh memahami teknik budidaya kakao dengan baik. Faktor lain yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah status tenaga penyuluh yang merupakan tenaga kontrak non PNS. Dalam hal ini, tenaga kontrak merupakan tenaga yang dikontrak oleh Kementerian Pertanian dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan dan belum tentu dapat diperpanjang. Tenaga kontrak penyuluh pun hanya mendapatkan honor tenaga penyuluh, namun tidak mendapatkan biaya operasional. Sementara tunjangan operasional tersebut hanya ditujukan untuk tenaga penyuluh PNS. Status yang belum pasti tersebut dan pembiyaan tenaga kontrak penyuluh yang masih minim mengakibatkan kinerja penyuluh rendah
¾Kelembagaan petani masih lemah Hingga tahun 2012, terdapat 1.018 poktan di Majene. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 10% atau sekitar 100 poktan yang dapat menerapkan fungsi kelompok tani dengan baik yakni tempat belajar, tempat bekerjasama dan unit produksi. Sedikitnya poktan yang belum berfungsi optimal dikarenakan banyak poktan yang dibentuk bukan berdasarkan kepentingan petani yang sesungguhnya (boĴom up). Namun, seringkali poktan tersebut dibentuk untuk kepentingan politik, seperti mendapatkan suara pilih dari para petani. Akibatnya, banyak poktan yang mendapatkan bantuan dari pemda namun tidak melaksanakan fungsinya sebagai kelompok tani sehingga petani anggota tidak banyak menerima manfaat dari keberadaan poktan tersebut. ¾Kesulitan dalam mengakses kredit
dalam melakukan penyuluhan dan pendampingan
Petani masih mengalami kesulitan dalam mengakses
kepada para petani. Motivasi mereka pun rendah
kredit perbankan. Padahal, terdapat dana revitalisasi yang merupakan paket program gernas
karena tidak ditunjang oleh fasilitas yang memadai. dalam
dimana dana ini dapat dikredit dengan bunga yang rendah. Tujuan penyaluran kredit ini adalah untuk
melaksanakan penyuluhan, pembinaan maupun
membiayai usaha budidaya kakao petani. Namun,
pendampingan kepada para petani. Akibatnya, petani kakao masih mengalami kesulitan dalam menambah pengetahuan dan keterampilan
hingga kini petani tidak dapat membiayai usaha
Beberapa hal tersebut utamanya menyebabkan kinerja
penyuluh
kurang
optimal
kakaonya dengan dana tersebut. Faktor yang menyebabkan sulitnya petani dalam
budidaya.
13
Dari Daerah mengakses dana revitalisasi tersebut adalah tidak adanya petugas bank yang secara khusus untuk
petani masih sangat sedikit. Di tahun 2009, ada 253 orang dari 2.832 petani. Artinya 8,9% petani yang mengikuti
menangani administrasi penyaluran kredit untuk para petani. Selain itu, persyaratan yang diberikan
pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Bahkan di tahun 2012, proporsi petani yang mendapat pelatihan tersebut menurun menjadi 2,7%, dimana
oleh perbankan di Majene pun lebih banyak dan berbelit-belit dibandingkan dengan syarat yang telah ditentukan pusat berdasarkan pedoman pelaksanaan dana revitalisasi.
dari 12.289 dari total petani kakao, hanya 282 petani yang mengikuti kegiataan pemberdayaan tersebut (Dishutbun 2013). Adanya bantuan berupa sarana produksi (pupuk,
Capaian Program Gernas belum optimal, masih ada kendala dalam pelaksanaannya
benih, peralatan) masih belum cukup sebagai upaya peningkatan produktivitas. Pada implementasinya,
Sebagai upaya peningkatan produktivitas, mutu dan
masih banyak petani yang belum memahami tata cara pelaksanaan kegiatan Gernas, misalnya kegiatan
pendapatan petani kakao, program gerakan nasional (gernas) ini telah dilakukan di Kabupaten Majene dari tahun 2009 hingga 2013. Capaian program ini pun mulai terlihat. Berdasarkan data BPS, terjadi peningkatan produksi kakao dari 5.717 ton pada tahun 2008 menjadi 9.024 ton pada tahun 2011. Produktivitas juga meningkat dari 568 kg/ha/tahun pada tahun 2008 menjadi 880 kg/ha/tahun pada tahun 2011 serta 950 kg/ha/tahun pada tahun 2013. Tidak hanya itu, pendapatan petani meningkat jumlah petani pun meningkat sebesar Rp
rehabilitasi yang menggunakan teknik sambung samping serta perawatan setelahnya. Akibatnya, banyak tanaman hasil program Gernas yang tidak dirawat dengan baik oleh para petani. Hal inilah yang menghambat tercapainya tujuan Gernas. Catatan akhir: Butuh peran pemda dalam upaya peningkatan usaha kakao di Kabupaten Majene Hingga saat ini, program-program yang diselenggarakan
2.716.319 selama tahun 2008 hingga 2011. Peningkatan pendapatan tersebut menjadi insentif bagi petani untuk
salam rangka peningkatan kesejahteraan petani yang diselenggarakan oleh pemerintah belum menyentuh
berkebun kakao sehingga jumlah petani pun meningkat.
substansi permasalahan yang dialami para petani di Kabupaten Majene. Oleh karena itu dibutuhkan
Namun, beberapa kendala terjadi dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah lemahnya koordinasi dan sinkronisasi
komitmen yang kuat dari Pemda, tidak hanya dari program-program yang diselenggarakan, namun juga
antar pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan dari tidak
dalam bentuk dukungan regulasi. Program-program permda utamanya didorong untuk peningkatan kapasitas petani sebagai aktor kunci. Koordinasi yang
sinkronnya kebħakan di pusat dengan kondisi di daerah, misalnya dalam pengadaan benih. Dalam kegiatan tersebut, pengadaan benih seluruhnya dilakukan oleh pusat penelitian kopi dan kakao (puslit koka) di Jember. Padahal, benih tersebut
baik antar SKPD akan dapat mengarahkan pencapaian program yang tepat sasaran secara efektif dan eęsien. Dukungan regulasi juga penting diberikan dalam upaya mengembangkan sektor unggulan daerah sehingga
seringkali kurang cocok dengan kondisi iklim dan tanah yang ada di daerah. Akibatnya, banyak benih
dapat
yang kemudian mati dan tidak dapat tumbuh.
utama di Kabupaten Majene.
Ketidaksinkronan tersebut juga terlihat dari keterlambatan distribusi sarana produksi baik pupuk maupun benih.
Tidak hanya Pemda, stakeholders lain pun seperti asosiasi, perusahaan, LSM, akademisi dan perbankan
Antar pemda masih kurang koordinasi dalam jadwal pelaksanaan kegiatan utama (intensiękasi, rehabilitasi
juga memiliki peran penting dalam pengembangan usaha kakao. Tanpa dukungan stakeholders lain,
dan
program dari Pemda belum cukup memadai dalam menyelesaikan berbagai masalah pada pengembangan
peremajaan)
sehingga
terjadi
keterlambatan
pembagian dan distribusi pupuk dan benih. Akibatnya, pelaksanaan Gernas mejadi terhambat. Kendala lainnya dalam pelaksanaan Gernas adalah minimnya peserta yang diikutsertakan dalam berbagai pelatihan. jumlah peserta pelatihan pemberdayaan
14
meningkatkan
perekonomian
masyarakat
setempat, mengingat kakao merupakan komoditas
komoditas kakao. Sinergitas program dan koordinasi Pemda dengan para pihak sangat dibutuhkan guna mencapai keberhasilan kakao di Kabupaten Majene. --o0o--
Opini
Penentuan Kebħakan Sektor Unggulan dinarasikan dari power point presentation dalam Diskusi KPPOD tentang “Penguatan Kapasitas Legislasi” di Maumere NTT tanggal 18 September 2013.
M
engapa diperlukan Kebħakan? Jawaban atas pertanyaan itu dapat didekati dari berbagai cara. Diantaranya dengan melihat efek kebħakan, bahwa ketidakpuasan atas kebħakan yang dinilai keliru dapat menimbulkan sinisme masyarakat. Misal: cibiran ‘negara auto-pilot’ yang merujuk banyak hal, diantaranya soal kinerja perekonomian dengan pertumbuhan yang tidak memuaskan – yang dinilai akibat buruknya kualitas kebħakan dan implementasinya sehingga seolah Negara berjalan dengan sendirinya. Contoh lain, kebħakan desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah dinilai telah membawa perubahan mendasar tata kelola pemerintahan dalam berbagai hal, diantaranya dalam hal keuangan negara karena desentralisasi menyebabkan lebih dari 30% APBN berada dalam kontrol Pemerintah Daerah. Agung Pambudhi*
Kebħakan yang secara tegas fokus dalam pembangunan daerah di sejumlah daerah di Indonesia mampu menggerakkan perekonomian daerah secara signiękan. Di beberapa daerah di Indonesia, kualitas kebħakan – dan implementasinya, jelas menentukan kinerja suatu pemerintahan. Bali, tumpuan fokus kebħakan sebagai daerah parawisata, mampu mendinamisir aktivitas perekonomian secara positif. Pemanfaatan keunggulan Bali yang mampu memadukan harmoni nilai-nilai spiritual, karya seni, keindahan alam dan kehidupan modern dalam kebħakan pembangunan daerahnya, mampu menempatkan Bali sebagai daerah yang dikenal para wisatawan tidak saja wisatawan nusantara (wisnus) namun juga wisatawan mancanegara (wisman). Salah satu capaian kinerja perekonomian dari aktivitas parawisata Bali adalah jumlah PAD (pendapatan asli daerah) Kabupaten Badung sekitar 40% dari total pendapatan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) – yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional daerah daerah di Indonesia yang hanya mencapai 7%. Contoh lain, Kota Batam, yang perekonomiannya dikembangkan sebagai free-trade zone dengan memanfaatkan kedekatan geograęsnya dengan Singapura sebagai salah satu pusat perekonomian dunia. Kontribusi ekonominya cukup signiękan dalam pembentukan PDRB Nasional. Demikain pula halnya dengan Kota Surakarta yang memfokuskan pengembangan perekonomian rakyat kecil dengan basis kota budaya melalui melalui pembenahan pasarpasar tradisional dan revitalisasi sarana dan prasarana seni-budaya. Selain contoh-contoh di atas, masih dapat ditambahkan sejumlah contoh lainnya seperti Kabupaten Manggarai Barat dengan kapitalisasi endowment yang dimilikinya: Komodo, sebagai penghela aktivitas perekonomiannya – yang berkembang pesat 2-3 tahun belakangan ini, ditandai dengan maraknya pertumbuhan fasilitas pariwisata seperti hotel, transportasi, dan lonjakan kunjungan wisman dan wisnus. Kota Sawahlunto sebagai contoh lain yang fokus kebħakan perekonomiannya dengan tumpuan parawisata kota tambang memberi kontribusi positif. *)
Direktur Eksekutif DPN APINDO
Menentukan Sektor/Produk Unggulan Uraian di atas secara sederhana memberikan gambaran mengenai peran penting suatu kebħakan – yang lebih lanjut diterjemahkan dalam peraturan perundangundangan pendukungnya. Pertanyaan lanjut adalah bagaimana (caranya) menentukan fokus kebħakan tersebut. Ilmu ekonomi menawarkan sejumlah pilihan strategi pencapaian pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, dari pendekatan pengembangan industri berbasis ekspor (staple theory), pengembangan berbasis kutub pertumbuhan yang mengarah pada aglomerasi ekonomi (growth pole theory), maupun pertumbuhan berbasis pilihan spesięk industri unggulan (regional concentration theory). Dalam pembahasan ini, kita mencoba mendekatinya dari pilihan spesięk industri/sektor unggulan. Tabel Input – Output acapkali digunakan para ekonom dalam menentukan sektor unggulan suatu daerah/negara. Secara ringkas pendekatan ini mampu menunjukkan peta kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian suatu wilayah. Dari analisis yang dihasilkannya mampu memberikan arahan untuk pilihan sektor ekonomi unggulan yang perlu dikembangkan, bahkan sampai pada sub-sektor usaha, dan produk. Pada umumnya, penentuan sektor unggulan didasarkan pada pertimbangan penciptaan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, keterkaitan lintas sektor (backward & forward linkages), pertimbangan aspek strategis (keamanan nasional, iptek, tradisi & budaya), ataupun keunggulan absolut seperti karunia alam, populasi, dan potensi pariwisata. Menarik untuk disimak rumusan Kadin-Indonesia dalam“Revitalisasi Industri dan Investasi”(2004) yang mengelompokkan 2 kategori: ‘sektor yang perlu didukung’ untuk peningkatan nilai tambah ekonomi dalam pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), dan ‘sektor-sektor yang perlu dibantu’ yang meskipun tidak memberi sumbangan besar dalam pembentukan nilai tambah namun memberikan kontribusi sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja (padat karya).
15
Opini
POHON MASALAH
PERIZINAN/ PENDAFTARAN
KEMITRAAN STRATEGIS
Opsi 1. Kondisi Saat ini Jenis Perħinan
Prosedur Perħinan
Opsi 2. Menyatukan menjadi ħin khusus Ěorikultura
Opsi 1. Kondisi Saat ini Opsi 2. Ijin Florikultura masuk dalam UPTSP
PENETAPAN LOKASI
Opsi 1. Mewajibkan Investor untuk Bermitra
Opsi 1. Dalam Kawasan Peruntukan
Opsi 2. Memberikan Insentif kepada Investor yang Bermitra
Opsi 2. Di Luar Kawasan Peruntukan
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN
Perlindungan Tanaman
Opsi 1. Pengaturan Opsi 2. Do Nothing Opsi 1. Pengaturan
Budidaya Tanaman
Opsi 2. Do Nothing
Opsi 3. Memberikan Subsidi kepada UKM dan Koperasi
Opsi 3.Ijin Florikultura di Dinas Tabunakan
Regulasi versus Deregulasi
publik dengan berbagai stakeholder.
Ketika sektor unggulan sudah ditentukan, tantangan berikut adalah bagaimana mengelolanya. Apakah diperlukan tambahan regulasi, dibiarkan seperti apa adanya dari kondisi saat ini, atau justru dilakukan deregulasi.
Cost and Beneęt analysis dalam kerangka kerja RIA yang dapat dilakukan terhadap regulasi yang sudah ada maupun untuk pembuatan suatu regulasi baru sangat penting mengingat banyaknya tumpang tindih kebħakan nasional maupun daerah. Banyak contoh mengenai hal itu, diantaranya dalam hal pelayanan terpadu satu pintu yang substansinya tercakup dalam berbagai kebħakan yakni Permendagri 24/2006, UU 25/2007, PP 41/2007, dan Permendagri 20/2008.
Kecenderungan pemerintahan negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah membuat regulasi untuk mendukung pengembangan sektor ekonomi tertentu, yang dapat berbentuk insentif ęskal, proteksi, dan lain sebagainya. Namun adakalanya justru suatu kebħakan menghasilkan kinerja sebaliknya dari tujuan kebħakan tersebut. Banyak contoh dalam hal ini, diantaranya tata niaga cengkeh, mobil-nasional, dan lain-lain. Pengambil kebħakan sering lupa akan prinsip as long as it is not proven guilty, maka regulasi tidak diperlukan. Bahkan, adakalanya yang diperlukan justru deregulasi sebagaimana disampaikan Jusuf Kalla-mantan Presiden RI ‘Indonesia terlalu banyak regulasi, yang dibutuhkan justru deregulasi ..… kita perbaiki komponen pokok yang membuat industri tidak eęsien’. Dalam hal ini, kajian KPPOD atas ribuan peraturan daerah (perda) tentang ‘pajak dan retribusi daerah’ yang menunjukkan banyaknya perda-perda distortif terhadap aktivitas perekonomian (pungutan lalu-lintas barang antar daerah, pungutan ganda, pungutan terhadap komoditi, tidak ada manfaat langsung atas pembayaran retribusi, ‘sumbangan’ wajib, dll.), menunjukkan bahwa regulasi justru dapat merugikan perekonomian. Pengaturan oleh negara/pemerintah melalui penerbitan sebuah regulasi harus memiliki alasan kuat dengan menimbang apakah ada alternatif lain selain regulasi. Regulasi harus merupakan best alternative dimana manfaatnya melebihi biaya. Lebih lanjut, dalam pendekatan RIA (regulatory impact assessment) selain pertimbangan cost and beneęt, penyusunan suatu regulasi harus terlebih dahulu melakukan konsultasi
16
Skema ‘pohon masalah’ diatas adalah contoh RIA yang dilakukan dalam menjajaki kemungkinan penerbitan regulasi Perda Florikultura Kota Tomohon di Provinsi Gorontalo untuk mendukung fokus pengembangan ekonomi dengan sektor unggulan ‘bunga’ (KPPOD, 2005). Perda Ěorikultura tersebut barangkali yang memberikan kontribusi bagi Tomohon untuk mampu mengadakan Tomohon Flower Festival 2008 dalam skala nasional yang berkembang menjadi skala internasional di tahun 2010 dan 2012 dalam Tomohon International Flower Festival. Berdasarkan pengalaman implementasi RIA, termasuk yang pernah dilaksanakan oleh KPPOD, kerangka kerja RIA harus mampu memilih isu stratejik yang memerlukan pengaturan dalam sebuah regulasi. Tujuan kebħakan harus jelas terdeskripsikan apakah merupakan fokus utama kebħakan atau merupakan kebħakan pendukung. RIA juga harus mampu menjelaskan penerima manfaat utama dari kebħakan. Untuk dapat diterima berbagai pihak terkait, RIA tidak cukup hanya didukung pemerintah, namun juga perlu dukungan politik dari legislatif dan para stakeholder lainnya sehingga dalam implementasi kebħakan akan mendapatkan alokasi anggaran serta dukungan kelembagaan yang diperlukan. Sebagai catatan tambahan, dalam banyak pengalaman RIA, suatu kebħakan dapat ditelorkan apabila ada champion yang merupakan vocal point dalam setiap tahapan proses RIA.
Laporan Diskusi Publik
Seminar Nasional: ”Pemilu Kepala Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah”
P
emilihan Kepala daerah dan wakilnya yang secara langsung dipilih rakyat telah menjadi bagian dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Pemilihan kepala daerah adalah pintu masuk untuk rekrutmen pemimpin daerah, yang akan menentukan warna dan arah pembangunan daerah paling tidak dalam lima tahun periode kepemimpinan. Dengan demikian proses pemilihan kepala daerah adalah hal yang krusial bagi kemajuan demokrasi dan desentralisasi ke depan. Dalam rangka mendiskusikan rancangan undang-undang pemilian kepala daerah, KPPOD berkerjasama dengan POKJA mengadakan Seminar “Pemilu Kepala Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah” pada tanggal 8 November 2013 yang diselenggarakan di Hotel Ibis Tamarin.
Rizqiah Darmawiasih*
Seminar ini dihadiri oleh berbagai kalangan baik dari dunia usaha, pemerintahan, akademisi, NGO, seperti Asperindo, PMKRI, YAPPIKA, PGSP-UNDP, Yayasan TIFA dan berbagai media. Seminar dibuka oleh Imam Gailani selalu Direktur Yayasan TIFA yang mensuport kegiatan ini. Dalam sambutannya Irman Gailani menyampaikan bahwa spiritnya satu, yakni demokrasi harus tetap berjalan, namun sistemnya harus selalu ada perbaikan. Mekanisme pemilihan kepala daerah harus secara langsung, namun dengan mekanisme yang lebih sederhana dan dapat mengurangi tingginya biaya politik. Seminar dilanjutkan dengan diskusi panel yang dimoderatori oleh Robert Endi Jaweng selaku Direktur Eksekutif KPPOD. Seminar ini mengundang beberapa pembicara yang ahli dalam bidangnya masingmasing, pelaku usaha diwakili oleh Sofyan Wanandi selaku ketua DPN APINDO atau Asosiasi Pengusaha Indonesia, Titi Anggraini yang merupakan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Arif Wibowo anggota Komisi II DPR RI yang berasal dari Fraksi PDI Perjuangan. Titi Anggraini dan wakil ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia perjuangan Arif Wibowo. Dalam seminar ini Titi Anggraini memaparkan mengenai Menata Kembali Pengaturan pemilukada, bahwa tujuan umum dari penyelenggaraan Pilkada justru belum tercapai. Tujuan umum tersebut adalah keterwakilan politik, integritas politik, dan pemerintahan efektif. Solusi dari pemerintahan hanya mengembalikan Pilkada pada DPRD, seharusnya ada solusi yang diambil melalui kajian yang lebih baik (lebih komprehensif). Titi juga menyampaikan bahwa pemerintah belum membuat kerangka kebħakan yang baik dalam menyelenggarakan pemilukada yang demokratis.
Menurut Titi Anggaraeni, seharusnya dimulai dari melakukan evaluasi pemilukada berdasarkan 13 prinsip pemilu yang demokratis, yakni Adanya pembagian kekuasaan, Adanya pemilu yg bebas, Adanya manajemen yg terbuka, Adanya kebebasan individu, Adanya peradilan yg bebas, Adanya pengakuan hak minoritas, Adanya pemerintahan yg berdasarkan hukum, Adanya persamaan yg bebas, Adanya beberapa partai politik, Adanya musyawarah, Adanya persetujuan parlemen, Adanya pemerintahan konstitusional, Adanya ketentuan Ĵg pendemokrasian , Namun sayangnya, menurut Titik ternyata Pemerintah mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan pada DPRD. Hal tersebut berdasarkan berdasarkan hasil evaluasi dari 3 prinsip pemilu saja, yakni prinsip tidak melakukan korupsi, tidak berbiaya tinggi, dan tidak melakukan money politics. Alih-alih memperbaiki produk yang dihasilkan, tapi pemerintah mengambil langkah cepat dengan mengembalikannya pada DPRD. Fokus Pembahasan pemilukada dibagi dalam 7 Klaster yaitu Mekanisme pemilihan (khususnya fokus pemilihan Gubernur), tidak satu paket calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, syarat-syarat kepala daerah, antara lain menyangkut hubungan kekerabatan, menyangkut tugas, wewenang dan syarat wakil. Dengan cara seperti itu, akar permasalahan dari penyelenggaraan pemilukada itu sendiri tidak terselesaikan. Titi Anggraini mengusulkan, pemilu sebagai sistem demokrasi utama cukup dilakukan dua kali saja, yakni pemilu nasional dan pemilu daerah. Sehingga nantinya, dalam pemilu nasional akan dipilih pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta calon legislatif di tingkat pusat secara serentak. Sementara itu, dalam
* Peneliti KPPOD
17
Laporan Diskusi Publik
sumber: KPPOD
pemilu daerah akan dipilih calon pasangan walikota, bupati, gubernur, serta calon legislatif di tingkat provinsi secara serentak pula. Dengan sistem ini pelaksanaan pemilu akan lebih efektif dan biaya politik pemilu bisa ditekan ke angka yang lebih rendah. Sofyan Wanandi selaku perwakilan dari pihak pengusaha menyatakan bahwa Ongkos demokrasi sangat mahal. Demokrasi tanpa aturan hukum yang jelas, akan sulit untuk membawa tujuan demokrasi pada kenyataan yaitu mensejahterakan rakyat. Indonesia seharusnya mampu tumbuh 7-8%, namun saat ini hanya 6% saja, 2-3% dari pertumbuhan ekonomi kita untuk membiayai ongkos berdemokrasi yang sangat mahal, dan penyelenggaraan otonomi yang tidak jelas. Faktor kepala daerah sangat dominan dan berpengaruh untuk dapat melaksanakan pembangunan ekonomi di daerah. Jika sistem pemilihan kepala daerahnya belum baik, maka dikhawatirkan hanya akan menghasilkan raja-raja kecil didaerah. “Negara kita terlalu besar dan terlalu kaya untuk bisa jatuh”. Sehingga seharusnya Indonesia mampu berubah, jangan sampai Indonesia
menjadi tujuan pasar dari negara-negara tetangga kita. Maju mundurnya suatu daerah sangat bergantung dari sosok pemimpin daerah. Untuk kedepannya, seharusna ada sistem yang dapat menjamin penyelenggaraan pelaksanaan tata kelola pemerintahan di daerah. Ke depannya, siapapun pemimpinnya jika sistemnya sudah kuat maka akan dapat menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah. Sementara Arif Wibowo mengemukakan, DPR masih mempertimbangkan dua isu dari empat isu utama dalam RUU Pilkada yang diusulkan pemerintah. Dua isu itu adalah: tata cara pemilihan untuk tingkat provinsi dan kota/kabupaten dan pengaturan dinasti politik. Isu pertama bahwa Komisi II masih memberikan keleluasaan kepada fraksi-fraksi untuk mendalami apakah sejalan dengan sikap dan pandangan pemerintah bahwa pilkada propinsi dipilih secara langsung dan pilkada kota/kabupaten melalui DPRD. Isu kedua yang juga menjadi pertimbangan adalah tentang pengaturan dinasti politik dalam RUU Pilkada, apakah perlu ada jeda waktu atau diperberat syarat-syaratnya. --o0o--
sumber: http://inspirasibangsa.com
18
Seputar Otonomi
Ikhtisar Otonomi Isu-isu Utama 2013
K
alender kerja sepanjang 2013 ini berisi banyak perkembanganbaik pada tataran kebħakan maupun implementasi—desentralisasi/ otonomi daerah. Sebagian memang terkesan berjalan rutin (business as usual), namun sejumlah kasus lagi menunjukan suatu perkembangan baru yang cukup penting dicatat. Dalam ruang terbatas ini kami menyederhanakan kompleksitas masalah yang ada, serta memfokuskan perhatiannya pada sedikit isu yang dianggap relevan untuk diulas.
Robert Endi Jaweng*
Mesin Pemekaran yang Tak Kenal Jeda Berproduksi Ditengah seruan moratorium dan derasnya kritik publik akan kinerja daerah hasil pemekaran, DPR dan Pemerintah tetap bersemanga memproduksi daerahdaerah otonom baru (DOB). Pada tahun 2013 ini lahir 10 DOB sebagai kelanjutan hasil pembahasan yang dimulai tahun sebelumnya. Selain itu, pada akhir Oktober, Sidang Paripurna DPR kembali menyambut usulan Komisi II agar lembaga tersebut mengajukan kepada Pemerintah pembahsan atas 65 calon DOB, termasuk 34 diantaranya berasal dari Papua dan Papu Barat. Jumlah dan tren pertambahan unit-unit baru pemerintahan ini dapat dilihat pada Graęk 1 berikut. Graęk 1: Pembentukan Daerah OtonomBaru (DOB)
Sumber: olahan Penulis Kita patut prihatin dengan pemekaran yang berlaju cepat dan massal seperti ini. Manajemen kebħakan pemerintah terlihat buruk, sementara politik teritorial (penataan daerah) menjadi tidak jelas—meski Desarta sudah dihasilkan. Hasil evaluasi Pemerintah sendiri yang menunjukan bahwa 80% dari 205 DOB (mekar kurun 1999-2009) adalah pesan yang jelas bahwa kaliam pemekaran sebagai rute alternatif peningkatan kesejahteraan adalah absurd. Alih-alih, pemekaran justru mendatangkan beban berat secara ęskal (APBN) dan ekonomi. Maka, sepatutnya, pemerintah berkoensentrasi dulu pada penguatan DOB yang sudah terbentuk dan ke depan perlu utk menutup kran untuk sementara waktu (jeda). Kebħakan zero pemekaran ini juga yang diamantkan RPJMN 2010-2014. *Direktur Eksekutif KPPOD
Desentralisasi Fiskal: Ketergantungan dan Tata Kelola Buruk Dari APBN 2013, pos untuk belanja daerah meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Kalau pada tahun 2007 teralokasi Rp 253 Triliun dan tiap tahun terus mengalami kenaikan hingga mencapai Rp 478, 7 Trilun pada APBNP 2012, dalam APBN 2013 ini alokasi belanja Daerah (dua komponen: dana Perimbangan dan dana Otsus/Penyesuaian) sebesar Rp 529 Triliun (31% dari total belanja Negara). Sebaran alokasinya yang dominan adalah berupa DAU, yakni Rp 306 Triliun (59% dari total belanja Daerah, meningkat 12% dari tahun sebelumnya sebesar Rp 269 Triliun), diikuti DBH sebesar Rp 99,4 Triliun (turun 8% dibanding 2012 terkait peralihan PBB-P2 yang mulai berjalan efektif di sejumlah Kabupaten/Kota) dan DAK sebesar Rp 29,7 Triliun (naik sekitar 13,7% dibanding tahun 2012). Meski dinilai tak mencukupi untuk mebiayai semua urusan daerah, dana transfer ini berperan penting untuk menutup sebagian terbesar belanja daerah dalam APBD. Hal ini mengingat rerata kontribusi PAD agregat dalam pembentukan APBD TA 2013 masih relatif rendah (20%), dengan prosentase lebih rendah terjadi pada Kabupaten/Kota yang secara umum berkisar pada 9-10%. Graęk 2: Komposisi Pendapatan Daerah
(dalam Triliun Rupiah)
19
Seputar Otonomi Problem pelik lain datang dari sisi belanja. Secara umum, tata kelola anggaran daerah pada TA 2013 ini masih problematik: proporsi alokasi untuk Belanja Pegawai masih dominan dan terus meingkat etiap tahun (2009-2013). Sementara pada sisi lain, meski juga mengalami peningkatan, nominal alokasi untuk Belanja Modal (sumber investasi, stimulasi ekonomi dan layanan publik) tetap jauh lebih kecil dan dinilai amat kecil untuk membiayai pembangunan daerah.
Di luar masalah proporsi alokasi, mismanajem yang menandai buruknya tata kelola anggaran di daerah juga lekat ditandai oleh ineęsiensi dan korupsi. Kapasitas daya serap yang tidak optimal, kualitas administrasi laporan keuangan (kurang dari 100 daerah yang memperoleh opini WTP dari BPK), dan merebaknua korupsi anggaran yang menyeret hampir 300 Kepala Daerah ke ranah hukum lantaran tersangkut korupsi merupakan sebagian masalah krusial hari ini. Tingkat Kemudahan Berusaha yang Justru Makin Sulit Tahun 2013 ini ditandai dua publikasi yang amat penting mengenai kabar iklim usaha di negeri ini. Pertama berasal dari International Finance Corporation (IFC)-sebuah sayap bisnis dalam Kelompok Bank Dunia—yang mengumumkan peringkat kemudahan berusaha di 189 negara. Indonesia masih berada pada papan bawah dan bahkan melorot: turun empat point ke peringkat 120 dari sebelumnya berposisi 116. Kita jauh di bawah tetangga di ASEAN: Singapura (1), Malaysia (6), Thailand (18), dan hanya lebih tinggi dari Kamboja (137), Laos (159), Timor Leste (172). Meski indikator kemudahan berusaha itu tidak semuanya mencerminkan urusan yang masuk dalam domain Daerah, namun indicator utama seperti
20
starting a business jelas terkait erat dengan kinerja daerah (dalam kasus ini: Provinis DKI Jakarta). Jika mengambil contoh indikator yang berada dalam domain Pemda tersebut, terlihat bahwa di era desentralisasi pun iklim usaha itu tidak sepenuhnya bagus. Kalau Tahun 2010, lama waktu memulai usaha di negeri ini ternyata 60 hari dan tahun ini sedikit berkurang menjadi 47 hari. Raihan ini sekaligus berarti bahwa target RKP 2012 yang menetapkan proses memulai usaha di tahun 2013 selama 20 hari tidak tercapai. Dibandingkan tahun 2012 di mana peringkat kemudahan memulai usaha kita berada pada posisi 161, pada tahun 2013 malah turun 5 point ke peringkat 166 dan tahun 2014 kembali turun tajam ke peringkat 175. Kedua, sebagai reponnya, Pemerintah merilis Paket Kebħakan Kemudahan Berusaha: berisi tak kurang 17 rencana aksi untuk mengatasi masalah yang selama ini menjadi sumbatan. Dalam upaya mempermudah fase memulai usaha akan dilakukan: pertama, penyederhaaan proses pendaĞaran tenaga kerja (7 hari) dan kepesertaan Jamsostek (7 hari) menjadi 1 hari simultan. Untuk itu, tindak lanjut pada tataran instrumentasi kebħakan adalah menyusun PP dan Perpres terkait. Kedua, penyusunan Permendag percepatan penerbitan SIUP dan TDP (15 hari) menjadi 3 hari secara simultan. Ketiga, penerbitan Perda PTSP di DKI Jakarta sebagai basis legal pelimpahan kewenangan dari Gubernur kepada Kepala PTSP. Keempat, Revisi UU PT guna meniadakan persyaratan modal dasar dalam pendirian badan usaha. Tekad semacam ini kita sambut secara baik, namun suatu kebħakan yang berbungkus paket pastilah kompleks dan terkait multisektor sehingga menuntut otoritas kontrol yang kuat dari Presiden/Wapres terhadap pelaksanannya di Kementerian hingga Daerah. Di luar masalah-masalah pokok di atas, pada tahun 2013 ini juga kita melihat sederet agenda umum desentralisasi lainnya. Yang patut diangkat, sebagai misal, adalah proses pembahasan paket regulasi Otda (RUU Pemda, RUU Pilkada, RUU Desa) yang hingga hari ini tak kunjung tuntas disepakati antara Pemerintah dan DPR. Selain itu, tahun ini juga kembali menyaksikan tidak adanya Perda (khususnya Perda pungutan pajak/ restribusi) yang dibatalkan, meski dari 936 Perda yang dievaluasi Kemenkeu tahun 2013 ditemukan 21 Perda yang direkomendasikan revisi/pembatalannya. Tahun 2013 yang akan segera berakhir ini rasanya akan ditutup dengan beragam hal yang berjalan biasa-biasa saja, sejumlah hal yang menjadi masalah krusial, dan nyaris tidak ada hal yang merupakan langkah terobosan (breakthrough) yang signiękan. --o0o--
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
D
engan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah. Saat ini, KPPOD bekerjasama dengan beberapa lembaga donor sedang melaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut:
Winantyo*
1.
FGD Perbaikan Perizinan Usaha di Jakarta Focus Group Discussion ini masih dalam rangka program Improving Business Licensing in Jakarta: A Study on Acceleration the Devolution of Authority from Technical Agency to The One Shop (OSS) Agency. Program ini kerjasama KPPOD dengan Foreign and Commonwealth OĜce (FCO)-British Embassy. Dan telah di selenggarakan pada tanggal 27 September 2013 di Hotel Millenium Jakarta. Rancangan perda penyelenggaraan PTSP yang sedang dibahas oleh Provinsi DKI Jakarta dengan DPRD yaitu pembentukan suatu badan yang terdiri dari 4 tingkatan yaitu: Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) di Tingkat Provinsi, Kantor PTSP Tingkat Kota, Satuan Pelaksana PTSP Tingkat Kecamatan, dan Satuan Pelaksana PTSP Tingkat Kelurahan. Empat tingkatan ini merupakan satu kesatuan, semakin keatas semakin sedikit pelayanan perizinannya tetapi semakin besar kewenangannya. PTSP Kelurahan akan menjadi pintu gerbang untuk memilah-milah perizinan (apakah suatu perizinan menjadi kewenangan tingkat kelurahan, kecamatan, kota atau provinsi). Konsewensinya, pertama diperlukan kapasitas SDM yang kuat dan dukungan sistem teknologi yang mumpuni. Kedua diperlukan kejelasan aturan tentang pembagian skala kewenangan dan jenis perizinan di tiap-tiap tingkatan. Dari usulan stakeholder dinas sektoral ada 2, pertama mekanisme pelimpahan izin harus bertahap dan diklasiękasikan menjadi 2 yaitu: perizinan yang bersifat teknis seperti contohnya IMB, dan perizinan yang bersifat administratif seperti SIUP/TDP. Usulan kedua, perlu adanya penentuan pola integrasi sistem dari dinas sektoral ke PTSP. Sedangkan usulan dari stakeholder pelaku usaha ada 3 point, pertama mekanisme pelimpahan izin juga bertahap yang diklasiękasikan menjadi 3 yaitu: perizinan UMKM, perizinan usaha labor intensive, dan perizinan usaha capital intensive. Kedua, pemberian izin harus mengacu pada SNI, dan ketiga proses pelimpahan izin bertahap mulai dari izin administratif baru kemudian izin teknis.
*Staff Dokumentasi
2.
Seminar Pokja Otda Kelompok kerja otonomi daerah yang terdiri dari KPPOD, Seknas FITRA, PSHK, YAPPIKA, YIPD, URDI, dan TIFA menggelar seminar dengan tema ”Pemilu Kepala Daerah dalam Konteks Otonomi Daerah” pada tanggal 8 November 2013 di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta. Hadir sebagai pembicara antara lain: SoĦan Wanandi (Ketua Umum APINDO), Titi Anggraini (Direktur Eksekutif Perludem), Arif Wibowo (Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDI-P), dan dimoderatori oleh Robert Endi Jaweng (Direktur Eksekutif KPPOD). SoĦan Wanandi berpendapat, sekitar 85% otonomi daerah bisa dikatakan gagal karena tidak membawa kemajuan bagi daerahnya dan masyarakat setempat, karena sebagian besar anggaran dihabiskan untuk keperluan pegawai dan tidak dialokasikan untuk pembangunan. Masalah utama kegagalan terletak pada pemimpin di daerah yang bersangkutan dan ada yang salah dalam demokrasi untuk memilih pemimpin yang berkualitas walaupun dengan biaya demokrasi yang mahal. Sedangkan Titi Anggraini mengusulkan, pemilu sebagai sistem demokrasi cukup dilakukan dua kali saja, yakni pemilu nasional dan pemilu daerah. Sehingga, dalam pemilu nasional akan dipilih pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta calon legislatif secara serentak. Sementara, pemilu daerah akan dipilih calon pasangan walikota, bupati, gubernur, serta calon legislatif di tingkat daerah secara serentak pula. Dengan sistem ini pelaksanaan pemilu akan lebih efektif dan biaya politik pemilu bisa ditekan lebih rendah. Dalam konteks Pilkada Arif Wibowo mengemukakan, DPR masih mempertimbangkan dua isu dari empat isu utama dalam RUU Pilkada yang diusulkan pemerintah. Dua isu itu adalah: tata cara pemilihan untuk tingkat provinsi dan kota/kabupaten dan pengaturan dinasti politik. Isu pertama bahwa Komisi II masih memberikan keleluasaan kepada fraksi-fraksi untuk mendalami apakah sejalan dengan sikap dan pandangan
21
Agenda KPPOD pemerintah bahwa pilkada provinsi dipilih secara langsung dan pilkada kota/kabupaten melalui DPRD. Isu kedua yang juga menjadi pertimbangan adalah tentang pengaturan dinasti politik dalam RUU Pilkada, apakah perlu ada jeda waktu atau diperberat syarat-syaratnya. 3.
RDPU dengan DPRD Provinsi DKI Jakarta KPPOD sebagai mitra Pemda dalam mengawal Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), menghadiri acara Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPRD Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 14 November 2013. Dua agenda utama dalam kegiatan tersebut adalah pembahasan Ranperda PTSP dan Program Legislasi Daerah Tahun 2014. Acara yang diselenggarakan di Gedung DPRD Provinsi Jakarta tersebut dihadiri oleh Badan Legislatif DPRD, Assisten bidang Pemprov Jakarta, Biro Organisasi dan Tata Laksana Pemprov Jakarta, Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jakarta, dan masyarakat umum yang diwakili oleh KPPOD, Kadin Provinsi Jakarta, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dan IFC. Biro Ortala menyampaikan latar belakang PTSP di Jakarta, kendala dan permasalahan penyelenggaraan PTSP yang dihadapi selama ini, dan upaya perbaikan melalui ranperda PTSP. Raperda tersebut mengamanahkan bahwa seluruh jenis perizinan/ non perizinan yang mencakup urusan 26 bidang menjadi kewenangan PTSP. Untuk menyelenggarakan PTSP, perda membentuk Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) di level provinsi, Kantor PTSP di level kota administrasi serta Satuan Pelaksana tingkat kecamatan dan kelurahan. KPPOD yang diwakili oleh Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif, menilai bahwa sebagian besar materi yang terkandung sudah baik, yakni menjadikan PTSP menjadi titik akses tunggal pelayanan perizinan di Jakarta dan memiliki kewenangan yang paripurna (bermula, berproses dan berakhir). Beberapa poin penting yang perlu dibahas lebih lanjut adalah perlunya kapasitas SDM untuk memenuhi pegawai PTSP hingga level kecamatan dan kelurahan, perlunya intensitas koordinasi dengan sektoral terkai mekanisme dan tupoksi masing-masing instansi serta mekanisme penetapan sanksi yang umumnya merupakan kewenangan dari sektoral. HaĴa O. Simanjuntak, perwakilan Kadin DKI Jakarta, menyambut baik terbitnya perda ini. Penerbitan Ranperda ini diharapkan dapat mempermudah pelayanan perizinan dan meminimalisir tindak korupsi dalam penyelenggaraannya. Ranperda tersebut harus memuat kepastian waktu pengurusan izin serta mekanisme pengawasan yang jelas untuk BPTSP.
22
Terakhir, tanggapan diberikan oleh Azas Tigor selaku Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) yang juga turut menyambut baik terbitnya perda tersebut. Dengan adanya perda ini, diharapkan adanya peningkatan pelayanan publik di Jakarta. Selanjutnya yang harus segera diselesaikan adalah menyiapkan perda maupun pergub turunan yang disesuaikan dengan perda penyelenggaraan PTSP tersebut, agar tidak terjadi tumpang tindih aturan dan ketidakjelasan bagi masyarakat Jakarta. 4.
Lokalatih Peningkatan Kapasitas Legislasi Pemda KPPOD dalam kerjasamanya dengan Ford Foundation melaksanakan kegiatan pengembangan rantai nilai usaha kakao. Program ini dilaksanakan di dua daerah yaitu Kabupaten Sikka di Provinsi Nusa Tengga Timur dan Kabupaten Majene di Provinsi Sulawesi Barat. Sebagai salah satu rangkaian kegiatan dalam program tersebut, KPPOD melaksanakan kegiatan asistensi teknis kepada Pemda berupa kegiatan “Lokalatih Peningkatan Kapasitas Legislasi Pemda Dalam Penyusunan Kebħakan di Daerah”. Tema kegiatan lokalatih lebih difokuskan pada tahapan penyusunan kebħakan pengembangan kakao dengan pendekatan Regulatory Impact Assessment (RIA). Kegiatan lokalatih mendapat antusias yang sangat baik dari Pemda, terlihat dari terpenuhinya keterwakilan peserta dari masing-masing SKPD. Sesuai dengan tema kegiatan lokalatih, peserta lokalatih diwakili oleh SKPD teknis yang terlibat dalam proses perumusan kebħakan dan SKPD teknis yang terlibat dalam pengembangan rantai nilai usaha kakao. Kegiatan lokalatih diawali dengan penyampaian materi terkait pentingnya regulasi dalam pengembangan sektor unggulan di daerah, dilanjutkan dengan kegiatan lokalatih kapasitas pemda dalam menyusun kebħakan daerah melalui metode berpikir logis dengan pendekatan RIA. Melalui kegiatan ini, peserta dilatih bagaimana menyusun kebħakan yang berkualitas dan dapat tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat berdasarkan tahapan-tahapan RIA. Tahapan penyusunan kebħakan dengan metodologi RIA dimulai dari perumusan masalah, identiękasi tujuan, alternatif tindakan, analisis manfaat dan biaya, alternatif terpilih, strategi implementasi dan konsultasi publik. Kegiatan lokalatih ini menghasilkan kertas kebħakan yang disebut Regulatory Impact Assesment Statement (RIAS). Dari dua daerah kegiatan, dihasilkan dua kertas kebħakan yaitu Kertas kebħakan upaya peningkatan produktivitas kakao di Kabupaten Sikka, Provinsi NTT dan Kertas kebħakan pengembangan usaha kakao di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Kedua kertas kebħakan tersebut diharapkan menjadi bahan kebħakan bagi Pemda dan dapat dimasukkan dalam salah satu dokumen kebħakan daerah dalam mengembangkan usaha kakao.
SEKILAS KPPOD Sebagai tindak lanjut hasil Seminar Nasional “Menyelamatkan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), CSIS (Center for Strategic and International Studies) dan LPEM-FEUI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada tanggal 7 Desember 2000, para penyelenggara secara intensif membahas dan menyepakati pembentukan suatu lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang di kemudian hari bernama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Dalam perkembangannya, sejumlah institusi lain ikut bergabung melalui kesertaan para ęgur pimpinannya sebagai unsur pendiri: Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, dan Suara Pembaruan. Melihat latar belakang institusi pendiri tersebut, dapat dikatakan kelahiran KPPOD merupakan hasil eksperimentasi kerjasama dunia bisnis, akademik, dan media massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia dewasa ini. Sebagai dasar pemikiran yang menyemangati kerja-kerja profesionalnya, KPPOD memaknai desentralisasi dan otonomi daerah sebagai kebħakan yang bertujuan mengubah struktur tata kelola pemerintahan dari sentralisme menjadi terdesentralisasi, sekaligus menggeser pola pembangunan yang didominasi negara menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. Maka pada setiap kebħakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah. Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus sentral pemantauannya pada segala hal terkait kebħakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi dan kebħakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah. --o0o--
WILAYAH ISU KPPOD PEMBANGUNAN EKONOMI
TATA KELOLA EKONOMI DAERAH
1.
TATA KELOLA KEUANGAN DAERAH
Reformasi Regulasi Usaha:
Mendorong deregulasi melalui upaya rasionalisasi jumlah dan atau jenis Perijinan usaha maupun pungutan (pajak/retribusi) di daerah.
2.
Reformasi Birokrasi Perijinan:
Mendorong debirokratisasi melalui upaya efisiensi business process (pengurusan) perijinan lewat kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah.
3.
Desentralisasi dan Manajemen Fiskal:
Studi dan advokasi kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kemandirian daerah dan perbaikan kualitas tata kelola keuangan di daerah (APBD) yang pro-prtumbuhan ekonomi dan kesejahteraan publik.
4.
Isu-isu Strategis Otda lainnya:
Pemekaran daerah, kerja sama antar-daerah, rencana pembangunan daerah, pemilihan kepala daerah, dsb.
23
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Permata Kuningan Building 10th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi, Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53, Fax : +62 21 8378 0643 http://www.kppod.org, http://perda.kppod.org, http://pustaka.kppod.org