BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Permasalahan Salah satu agenda penting bagi pemerintah adalah melaksanakan reformasi birokrasi. Reformasi secara absolut diperlukan mengingat tantangan dan perubahan lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal dari birokrasi itu sendiri. Terlebih jika melihat karakteristik birokrasi Indonesia yang seringkali dipandang sebagai birokrasi yang inefisien, partisan, berorientasi pada kekuasaan, dan menjadi sarang korupsi.96 Perlunya transformasi manajemen sektor publik dilatarbelakangi oleh suatu masalah yang krusial yaitu bagaimana menciptakan efisiensi kerja serta mendorong kinerja sektor publik, sebab kondisi aktual maupun faktual selama ini menunjukkan bahwa organisasi pemerintah masih cenderung bersifat organik dengan mekanisme kerja yang tidak efisien serta kurang memiliki daya saing yang memadai dibanding sektor privat.97 Selain itu masyarakat menuntut pelayanan publik yang berkualitas. Caiden dalam Thoha pernah juga mengatakan pekerjaan organisasi pemerintah tidak bisa dihindari oleh manusia. Ciri khas kegiatan birokrasi menelisik sampai relungrelung kehidupan manusia. Ciri ini yang membedakan antara birokrasi pemerintah dengan organisasi non pemerintah, termasuk organisasi perusahaan. Tidak peduli apakah pelayanan itu cepat atau lambat, memuaskan atau menjengkelkan, 96 Agus Dwiyanto, et all, 2006, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Jogjakarta : Gajah
Mada University Press, hal 2 97 Tri Widodo Wutomo, 2010, Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Peran Pemerintah diakses dari http://triwididiwutomo.blogspot.com/2010/05/globalisasi-bebas-dan-peran.html, pada tanggal 24 November 2013
1
menghargai manusia atau tidak peduli kepada manusia yang dilayani.98 Model birokrasi ini yang sering dikenal dengan birokrasi klasik. Sehingga jelas sudah arah reformasi birokrasi adalah menjadikan pemerintah memiliki karakteristik good governance sebagai kerangka acuan dalam setiap pembuatan kebijakan publik dan pelayanan publik. Dalam melaksanakan agenda reformasi birokrasi termasuk didalamnya reformasi pelayanan publik, pemerintah tentu perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Infrastruktur tersebut diperoleh pemerintah melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah tindakan pemerintah yang signifikan karena banyak menghabiskan uang negara. Di Amerika, misalnya, menurut Thailand dan Grimm dalam Moon, pengadaan publik bisa mencapai seperlima Gross Domestic Product (GDP). Sebuah penelitian memperkirakan bahwa pemerintah federal dan negara Amerika Serikat menghabiskan sekitar $ 1 triliun untuk membeli barang dan jasa dari sektor swasta. Pemerintah federal sendiri menghabiskan sekitar $ 550 miliar pada tahun 2000.99 Di Indonesia, pengadaan barang dan jasa pemerintah bukan hanya penting karena jumlah nominalnya yang cukup besar menguras anggaran di setiap lembaga
pemerintah,
namun
juga
dari
aspek
kemungkinan
terjadinya
penyimpangan. Sektor pengadaan memegang porsi yang cukup besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang jumlahnya terus
98 Miftah Thoha, 2012, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia, Yogyakarta : Thafa
Media, hal 57 99 M.Jae Moon, 2005, E-‐procurement Management in State Government: Diffusion of E-‐ procurement Practices and Its Determinants, Journal of Publik Procurement, Vol 5 Issue 1, pp 54-‐72. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2012 dari Proquest, hal 56
2
berkembang dari tahun ke tahun. Dalam APBN 2009, total belanja negara adalah sebesar Rp 1037 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 443 triliun adalah merupakan belanja pemerintah pusat dan Rp 594 triliun mengalir ke daerah. Total nilai belanja yang melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah adalah sebesar Rp 347 triliun atau sekitar 33,4 persen dari total, dan Rp 180 triliun merupakan bagian dari belanja pemerintah pusat, dan Rp 167 triliun adalah belanja daerah dan jika dikaitkan dengan hasil laporan Bank Dunia, maka potensi kebocoran pengadaan barang/jasa pemerintah adalah 69,4 T.100 Pengelolaan barang dan jasa pemerintah dinilai sangat strategis dan krusial dalam penciptaan good governance. Nilai strategis dikarenakan akan berdampak pada penciptaan efisiensi dan efektivitas,
sementara
terkait
dengan
krusial
akan
mengkonstruksikan
pengurangan angka korupsi, kolusi, dan nepotisme serta pengingkatan akuntabilitas dan transparansi.101 Hasil kajian Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia sejak tahun 2001-2006 (Country Procurement Assesment Report) menyebutkan telah terjadi kebocoran uang negara dalam pengadaan barang/jasa berkisar antara 10-40% (Naskah Pakta Integritas Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan.102 Data Mabes POLRI mencatat, hingga September 2012, sebanyak 353 kasus korupsi berhasil diungkap penyidik. Dari jumlah itu, sekitar 100
Yudo Giri Sucahyo dan Yova Ruldeviyani, 2009, Implementasi E-‐Procurement sebagai Inovasi Pelayanan Publik, Jakarta : LKPP, hal 30 101 Bintoro Wardiyanto, 2010, E-‐Government dan E-‐Procurement : Konstruksi Akuntabilitas dan Transparansi Birokrasi dalam Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi Birokrasi dan E-‐Governance, Yogyakarta : Graha Ilmu, hal 89 102 Transparency International Indonesia, 2007, Pakta Integritas Kota Banjar Baru, diakses dari http://www.ti.or.id/publikasi/buku/NaskahPIBanjarbaru.pdf, pada tanggal 23 November 2012
3
tujuh puluh persen (70%) di antaranya merupakan temuan di bidang pengadaan barang dan jasa.103 Data-data tersebut menyiratkan kelemahan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang selama ini dilaksanakan sehingga masih terdapat penyimpangan yang tentu saja merugikan neraca keuangan negara. Permasalahan korupsi dan efisiensi penggunaan anggaran memang kerap kali muncul dalam persoalan pengadaan barang dan jasa. Selain itu mekanisme pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara manual tidak sepenuhnya efektif jika dilihat dari proses dan lamanya pengadaan barang dan jasa tersebut. Kemudian muncullah apa yang dikenal dengan istilah electronic procurement (e-proc) atau yang disebut dengan pengadaan secara elektronik. E-proc pertama kali digunakan oleh para pelaku sektor bisnis. Kehadiran eprocurement pada sektor bisnis mulai berkembang pesat sejak pertengahan tahun 1999. Sejak saat itu, e-procurement mulai lebih berarti dibandingkan dengan pelelangan kepada konsumen secara online maupun katalog versi digital.104 Eprocurement muncul melalui proliferasi internet sebagai platform antar-sistem organisasi (IOS) pada akhir tahun 1990 dan telah memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap rantai pasokan dan jaringan. Bagi sektor bisnis keberadaan eprocurement berimplikasi pada manajemen rantai pasokan, Tan (dalam Croom dan Jones) mengidentifikasi potensi perbaikan dalam manajemen rantai pasokan yang timbul dari penerapan sistem e-procurement terhadap empat hal yakni; 103 Jayadin Supriyadi, 2012, Mayoritas Korupsi dari Pengadaan Barang dan Jasa, Tempo 24
September 2012 diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2012/09/24/090431590/Mayoritas-Korupsi-dari-PengadaanBarang-Jasa pada tanggal 23 November 2012 104 Erwan Agus Purwanto, et all, 2008, E-‐Procurement di Indonesia: Pengembangan Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Secara Elektronik. Jakarta : Kemitraan dan LPSE Nasional, hal 11
4
pertama; biaya kinerja (dari peningkatan produktivitas dan harga input yang lebih rendah), kedua; layanan pelanggan (kualitas pelayanan), ketiga; proses kemampuan
(konsistensi
kualitas),
dan
keempat;
produktivitas
dan
ketergantungan (dari kontrol peningkatan aliran material di sepanjang rantai pasokan).105 Alasan teoritis utama e-procurement adalah ingin menjelaskan biaya transaksi. Croom meyakini penggunaan sistem informasi yang terbuka dapat menyediakan tingkat informasi yang lebih besar kepada pembeli, sehingga membuka daya saing yang lebih besar antara penyedia.106 Dalam istilah sederhana, pasar elektronik memberikan kondisi mendekati model ekonomi pasar persaingan sempurna. Sehingga asimetri informasi antara pembeli dan penjual teratasi.107 Biaya transaksi pastinya meningkat karena informasi yang tidak sempurna di pasar tidak sempurna. E-procurement membantu menurunkan biaya-biaya transaksi dengan membuat berbagai informasi yang tersedia untuk pembeli sekaligus penjual dan menghemat sumber daya berharga.108 Suksesnya
implementasi
e-procurement
pada
sektor
bisnis
dalam
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas perusahaan; pada akhirnya menstimulus sektor publik untuk menerapkan model e-proc dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Aplikasi e-proc di sektor pemerintahan mulai 105
Simon R Croom and Brandon Jones, 2005, Key Issues in E-Procurement : Procurement Implementation and Operation in Publik Sector, Journal of Publik Procurement Vol 5 Issue 3, pp. 367-387 Diakses dari ProQuest, hal 370 106 Christopher G Reddick, 2004, Growth of E-Procurement in American State Government : A Model and Empirical Evidence, Journal of Publik Procurement, Vol 4 Issue 2, pp. 151-176. Diakses dari ProQuest, hal 159 107 Ibid, hal 159 108 Ibid, hal 160
5
berkembang pesat dan sebelum resesi pada awal tahun 2000.109 Sejalan juga dengan perkembangan kemajuan teknologi dan informasi (TIK), pemerintah memanfaatkan kemajuan tersebut untuk mengubah paradigma pengadaan barang dan jasa pemerintah dari semula konvensional (paper based) menjadi elektronik (paper less). Pengadaan barang dan jasa secara elekronik (e-procurement) diharapkan mampu membantu pemerintah untuk mewujudkan good governance. E-procurement menjadi alternatif pemecahan masalah pengadaan konvensional yang kerapkali banyak penyimpangan seperti inefisiensi, korupsi, tidak akuntabel, tidak transparan, dan kurang memberikan persaingan yang kondusif bagi sektor swasta. Pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan cara konvensional memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya adalah terkait masalah akuntabilitas, transparansi, efektivitas, dan efisiensi. Masalah transparansi berhubungan dengan informasi tentang seluruh penyedia yang potensial kepada panitia pengadaan. Pengadaan konvensional juga tidak menyediakan mekanisme pengawasan kepada khalayak umum. Sekaligus mekanisme pertanggungjawaban kepada publik. Akibatnya persaingan menjadi terbatas, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi melemah, terjadi ekslusi terhadap penyedia yang potensial dan pemberian hak khusus terhadap penyedia tertentu. Faktanya dari 4,2 juta perusahaan di Indonesia hanya 3,5% (150.000 perusahaan) saja yang ikut berpartisipasi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.110 Efisiensi yang rendah acapkali terjadi dalam procurement. Indikasinya adalah waktu pelaksanaan 109
Erwan Agus Purwanto, et all, Op, Cit., hal 11 Yudo, Op, Cit., hal 11
110
6
dan biaya administrasi pengadaan. Belum lagi jika terjadi “deal-deal” antara penyedia dan pengguna sehingga dampaknya adalah mark up atau penyediaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak. Dikemukakan
oleh
Bank
Dunia,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di Indonesia adalah pertama; belum jelasnya aturan hukum yang mengatur kegiatan pengadaan barang dan jasa, Kedua; lemahnya implementasi karena pemahaman prosedur yang kurang baik, ketiga; lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran, keempat; kapasitas pelaksana di lapangan belum memadai, kelima; lemahnya pengawasan, dan terakhir keenam; tidak transparannya proses tender. Selain bersumber dari birokrasi, persoalan pengadaan barang dan jasa juga muncul karena para vendor belum memahami secara baik hak dan kewajiban mereka. Upaya memenangkan tender untuk mendapatkan pekerjaan seringkali dilakukan dengan cara-cara yang tidak wajar misalnya menjanjikan “pembagian keuntungan”.111 Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi persoalan pengadaan barang dan jasa adalah dengan mengadopsi e-procurement. Pengadopsian e-procurement di berbagai pemerintah daerah dan kementerian di Indonesia telah membuah hasil yang menggembirakan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengembangan terhadap LPSE Kota Surabaya tahun 2007. Hasil penelitian yang dilakukan membuktikan aplikasi e-procurement yang diimplementasikan di Kota Surabaya berhasil dalam menghemat APBN. E 111 Erwan Agus Purwanto, Op. Cit., hal 3
7
procurement baru diadopsi oleh Kementerian Kehutanan pada bulan Februari 2012 bersamaan dengan peluncuran LPSE Kementerian Kehutanan. Pengadopsian SPSE pada Kementerian Kehutanan dilihat dari peluncurannya jelas tertinggal dibandingkan Pemerintahan Daerah maupun kementerian yang lain. Seperti yang dijabarkan pada tabel di bawah ini : Tabel 1.1. Progres Tahapan Implementasi E-Procurement Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sampai dengan Januari 2010 No 1. 2.
3.
4.
Nama Instansi Status 1 (Leads) : Instansi Pemerintah sedang Melakukan Koordinasi Awal dengan LKPP Status 2 (Inisiasi) : Instansi telah mengirimkan surat minat implementasi e-procurement dan melaksanakan sosialisasi Status 3 (Pra Operasional) : Instansi pemerintah yang masih tahap persiapan operasional telah melakasanakan manajemen training bagi pengelola LPSE, terbitnya regulasi tentang LPSE, telah tersedianya infrastruktur dan aplikasi SPSE yang dapat diakses oleh publik
Status 4 (Pra Tender) : Instansi pemerintah yang segera melakukan lelang eprocurement dengan LPSE (persiapan lelang eprocurement) (bersambung)
Status -
Kementerian Kesehatan, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Kota Cilegon, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Bogor, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Brebes, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Salatiga, Kota Semarang, Kabupaten Madiun, Kabupaten Pacitan, Kota Malang, Kabupaten Ketapang, Kota Pontianak, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Kota Baru, POLRI, PPATK, Universitas Negeri Medan, Politeknik Negeri Lampung, Kabupaten Bintan, Provinsi Papua,
8
Tabel 1.1. (lanjutan) 5.
Status 5 (Operasional dan Tender) : Telah melaksanakan lelang
Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan Nasional, LKPP, KPK, Komisi Yudisial, PT Kawasan Berikat Nusantara, Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Provinsi Bali, Kota Denpasar, Kabupaten Bangka, Provinsi DIY, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, Kota Yogyakarta, Provinsi Gorontalo, Kabupaten Pohawato, Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Purwakarta, Kota Depok, Kota Sukabumi, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Berau, Provinsi Kepulauan Riau, Kota Batam, Kota Banda Aceh, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kota Pekanbaru, Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten Agam, Kabupaten Sijunjung, Kota Padang, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Utara
Sumber: Data LKPP Tahun 2010 Selain itu masalah pengadopsian e-procurement di Kementerian Kehutanan yang sangat prematur karena tidak didukung oleh persiapan yang matang. Pada tahap persiapan pelembagaan e-procurement boleh dikatakan tergesa-gesa; hanya dalam waktu 9 hari berdirilah LPSE Kementerian Kehutanan dengan personil dari staf Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan (waktu itu masih Badan Planologi Kehutanan) dan personil Biro Umum. Working group (WG) pun lebih banyak diwarnai oleh staf Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan karena staf-staf
9
tersebut telah memperoleh pelatihan di LPSE Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Sedangkan personil dari Sekretariat Jenderal yang menjadi anggota WG belum pernah memperoleh pelatihan mengenai LPSE. Prasyarat dari pendirian LPSE adalah harus bernaung dibawah organisasi kesekretariatan bukan organisasi teknis karena itulah keberadaan personil dari Sekretariat Jenderal hanya untuk melengkapi prasyarat berdirinya berdirinya LPSE Kementerian Kehutanan yakni berada di organisasi kesekretariatan (Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan). Berdirinya LPSE Kementerian Kehutanan juga terkesan dipaksakan yakni setelah
diwajibkannya
Kementerian/Lembaga/Daerah/Instansi
(K/L/D/I)
menggunakan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dengan mendirikan LPSE masing-masing atau bergabung dengan LPSE Nasional dan targetnya adalah 75% belanja modal untuk kementerian/lembaga dan 40% seperti yang tercantum Inpres No 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Hal yang dilakukan selanjutnya adalah membuat peraturan atau payung hukum pelaksanaan pengadaan secara elektronik dan akhirnya keluarlah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No 8 Tahun 2012 tanggal 23 Februari 2012 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik di Lingkungan Kementerian Kehutanan (LPSE Kementerian Kehutanan). Prematurnya pembentukan WG juga berdampak pada pengimplementasian e-procurement di Unit Pelaksana Teknis (UPT-UPT) yang tersebar di seluruh Indonesia terlebih karena Kemenhut tidak mempunyai Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang secara khusus melaksanakan pengadaan barang jasa melainkan masih
10
menggunakan sistem kepanitian di masing-masing UPT. Pada akhirnya struktur yang terbentuk adalah sub admin agency yang menduplikasi dari Kementerian Keuangan mengingat struktur organisasi Kemenhut sendiri yang memiliki banyak UPT yang tersebar di seluruh nusantara serta tidak mempunyai ULP seperti yang diamanatkan di Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dan Peraturan Presiden No 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tantang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Sejak peluncuran LPSE Kemenhut, (sampai dengan tanggal 27 November 2012) jumlah paket yang telah dilelang melalui e-procurement sebanyak 373 paket yang terdiri atas 181 pengadaan barang, 8 pengadaan jasa konsultansi, 109 pengadaan jasa konstruksi, 38 pengadaan jasa lainnya, dan 37 lelang gagal yang kemudian menjadi penunjukan langsung. Berikut adalah paket pelelangan berdasarkan sub admin agency yang dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan.
11
Tabel 1.2. Data Paket Pekerjaan Pengadaan Barang dan Jasa Kementerian Kehutanan yang menggunakan E-Procurement No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Provinsi/Sub Agency Kalimantan Selatan P2SDM Jawa Barat Sekretariat Jenderal Ditjen Planologi NTB Sumatera Selatan Sulawesi Tengah Bengkulu Maluku Jawa Timur NTT Sulawesi Selatan Jambi Jawa Tengah Sulawesi Utara Sumatera Utara Lampung Papua Barat Bali Kalimantan Barat Kalimantan Timur Maluku Utara Kepulauan Riau DIY Balitbang Papua Sulawesi Tenggara Kalimantan Tengah Jumlah
Lelang Barang
Lelang Jasa Konsultansi
Lelang Jasa Konstruksi
0 0 0 0 7 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8
0 0 6 1 0 2 6 1 17 2 2 3 16 8 7 2 5 4 0 4 9 7 0 3 0 3 0 0 1 109
9 1 2 8 12 1 9 0 13 1 8 18 3 7 21 1 10 24 2 2 4 2 1 4 1 4 0 0 13 181
Jasa Lainnya 4 0 0 2 2 0 0 3 0 2 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 1 6 0 8 0 0 6 0 0 38
Lelang Gagal
Jumlah
2 0 0 1 0 0 3 8 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 5 1 0 3 1 0 0 1 3 2 3 37
Sumber : Data diolah dari LPSE Kemenhut LPSE Kementerian Kehutanan baru dilaunching pada tahun 2012. Keterlambatan pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan tentu menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan Kementerian Kehutanan resisten untuk
12
15 1 8 12 21 3 18 13 30 6 10 22 19 15 28 6 17 29 7 7 14 18 2 15 1 8 9 2 17 373
mengadopsi e-procurement. Padahal telah diketahui pengadopsian e-procurement dapat menghemat anggaran sampai 20 persen. Dari manfaat keberadaan eprocurement seharusnya Kementerian Kehutanan tidak ragu dalam mengadopsi LPSE. E-procurement juga bisa meminimalisir kecurangan yang dilakukan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Sebelum diadopsinya e-procurement banyak temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) mengenai proses pengadaan barang dan jasa, seperti temuan BPK RI terhadap pemenang lelang pengadaan alat kantor dan renovasi gedung Balai Pemantauan Pemeliharaan Hasil Hutan Produksi (BPPHP) Wilayah X Pontianak tahun 2010. Kecurangan pengadaan barang dan jasa lebih sulit jika telah mengadopsi eprocurement. Hal ini tentu menarik untuk diteliti lebih lanjut. Faktor apa saja yang sebenarnya membuat Kementerian Kehutanan resisten dalam mengadopsi eprocurement. Beranjak dari hipotesis bahwa Kementerian Kehutanan resisten terhadap reformasi pengadaan barang dan jasa, maka tema besar inilah yang akan dijawab dalam penelitian ini.
1.2.Rumusan Permasalahan LPSE Kementerian Kehutanan merupakan unit pelayanan yang melayani pengadaan barang dan jasa di lingkup Kementerian Kehutanan. LPSE Kementerian Kehutanan sebagai bagian dari portal pengadaan nasional (INAPROC) telah didirikan sejak tahun 2012. Sehingga, pengadaan barang dan jasa yang dahulu dilakukan secara manual di semua UPT Kementerian Kehutanan sekarang telah menggunakan fasilitas SPSE. Namun, pengadopsian LPSE
13
Kementerian Kehutanan bisa dikatakan terlambat. Keterlambatan pengadopsian ini disebabkan oleh resistensi Kementerian Kehutanan terhadap reformasi birokrasi (reformasi pengadaan barang dan jasa) dijadikan topik menarik untuk penelitian ini. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana bentuk resistensi pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan? 2. Apa saja yang menyebabkan terjadinya resistensi reformasi birokrasi terkait dengan pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan?
1.3.Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Menjabarkan alasan terjadinya resistensi reformasi birokasi terkait dengan pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan 2. Menganalisis faktor penghambat pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan sehingga dapat menjadi rekomendasi LPSE Kementerian Kehutanan di masa mendatang
1.4.Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini
mempunyai dua
manfaat yakni manfaat
akademis, dan manfaat praktis. Manfaat akademis dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan pengetahuan terkait dengan eprocurement yang dilaksanakan pada sektor publik secara holistik
14
2. Memperkaya khazanah pengetahuan mengenai pengadopsian LPSE dan faktor-faktor yang menghambat pengadopsian tersebut. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan (stakeholder) di Kementerian Kehutanan terhadap beberapa permasalah yang masih terjadi setelah dilaksanakannya e-procurement di Kementerian Kehutanan.
15