BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain. Manusia dalam menjalani kehidupannya tidak akan terlepas dari pengaruh sosial, budaya, dan lingkungan alam dan semuanya itu membangun pola pikir atau ide setiap manusia terhadap keberadaannya dalam lingkungan yang melingkupinya. Setiap manusia harus memiliki pengetahuan tentang lingkungan tempatnya berada, memiliki kekuatan untuk memberdayakan lingkungan di sekitarnya, dan mampu mengubah, bahkan tak jarang merusak lingkungan. Ekologi merupakan totalitas manusia dengan lingkungan yang berisikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya. Manusia dan lingkungan adalah komponen yang secara teratur berinteraksi dan saling tergantung membentuk keseluruhan untuk menjamin kelangsungan hidup keduanya (Odum, 1996: 3--5). Interaksi antara manusia dan lingkungan membentuk bahasa sebagai perwujudan konkret manusia dan lingkungan. Bahasa dan lingkungan memiliki hubungan satu sama lain dalam konsep bahasa lingkungan dan lingkungan bahasa. Hubungan antara bahasa dan lingkungan mencetuskan konsep bahasa lingkungan dan lingkungan bahasa (Mbete, 2011). Bahasa lingkungan adalah bahasa yang menggambarkan lingkungan. Bahasa lingkungan merekam dan
1
2
mengonstruksi realitas lingkungan bahasa, sedangkan lingkungan bahasa adalah lingkungan atau tempat bahasa itu hidup. Lingkungan bahasa terdiri atas unsur manusia, lingkungan alam, dan lingkungan sosial-budaya, termasuk unsur bahasa yang merupakan realitas lingkungan bahasa tersebut. Konsep di atas menandakan bahwa bahasa lingkungan dari setiap bahasa mana pun dapat menggambarkan realitas lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya komunitas tuturnya, begitu juga halnya bahasa Kodi. Bahasa Kodi (BK) menggambarkan realitas lingkungan dan realitas komunitas tuturnya. BK sebagai alat komunikasi, alat pemersatu, dan pengungkap jati diri komunitas tutur bahasa Kodi juga memiliki fungsi ideologis, sosiologis, dan biologis. BK berfungsi sebagai pengungkap segala sesuatu yang ada dalam diri komunitas tuturnya yang berupa ide atau gagasan atau pola pikir komunitas tuturnya. Selain itu, BK juga berfungsi merekam segala sesuatu yang ada di luar diri komunitas tuturnya, yaitu lingkungan. BK membangun jaringan interaksi antara komunitas tuturnya dan lingkungan alam dan interaksi antara komunitas tuturnya dan lingkungan sosial-budaya. Dengan demikian, BK berfungsi sebagai pengungkap pola pikir komunitas tuturnya dan menjadi sarana pelestari lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial-budaya. Komunitas
tutur
BK
menyadari
bahwa
lingkungan
sosial-budaya
berhubungan erat dengan lingkungan alam sehingga timbul rasa tanggung jawab untuk melestarikan keanekaragaman lingkungan alam dan lingkungan sosialbudaya di sekitar komunitas tutur tersebut. Lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya komunitas tutur BK yang hidup dan lestari hingga kini merupakan
3
warisan nenek moyang. Keberadaan komunitas tutur BK dipengaruhi oleh adanya interaksi antarindividu dalam komunitas tutur BK dan lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya. Salah satu bentuk interaksi verbal, interrelasi, dan interdependensi komunitas tutur dan lingkungan alam dan lingkungan sosialbudaya terekam dalam khazanah verbal dan budaya kepadian khususnya padi ladang. Penanaman padi ladang di daerah Kodi merupakan suatu tradisi yang tidak dapat ditinggalkan dan telah menjadi ikon masyarakat Kodi. Penanaman padi ladang masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Kodi dan telah mendominasi kehidupan masyarakat. Sistem kepadian masyarakat Kodi merupakan
mata
pencaharian
utama
yang
masih
tetap
dipertahankan
keberadaannya hingga kini dengan adanya tradisi gotong royong yang masih kuat. Setiap hal yang berkaitan dengan kepadian dilaksanakan secara bergotong royong, baik pria, wanita, tua, maupun muda. Budaya pertanian lahan kering yang dilakukan oleh masyarakat Kodi dilatarbelakangi oleh kecilnya sumber daya air untuk pengairan sehingga hanya mengandalkan curah hujan. Kondisi wilayah Kodi yang sebagian besar berupa dataran rendah menjadikan ladang sebagai satusatunya pilihan masyarakat Kodi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Kodi memiliki ketergantungan yang tinggi pada pengolahan ladang dengan tetap mempertahankan adat istiadat leluhur. Sistem kepadian ini adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan budaya masyarakat yang tercermin dalam kepercayaan masyarakat Kodi tentang asal mula padi di Kodi. Masyarakat Kodi seperti halnya masyarakat Jawa dan Bali mengenal adanya
4
mitologi asal mula padi. Masyarakat dengan pola penanaman padi seperti Jawa dan Bali mengenal adanya mitologi asal mula padi dengan sebutan Dewi Sri, sedangkan masyarakat Kodi mengenal sebutan Mbiri Koni sebagai Inya Pare atau Dewi Padi. Keberadaan mitos ini menunjukkan bahwa budaya penanaman padi ladang tradisional telah berumur cukup tua. Dalam masyarakat tradisional dengan pola bertanam padi, mitos merupakan bagian dari kepercayaan masyarakat yang terwujud dalam teks-teks dan ritual-ritual yang berhubungan dengan penanaman padi ladang. Berbagai upacara ritual dilaksanakan sebagai penghormatan terhadap Mbiri Koni. Tujuan upacara ritual tersebut adalah untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Mbiri Koni yang bagi masyarakat Kodi umumnya dipandang sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan yang disimbolkan dengan padi. Dengan menjaga hubungan yang harmonis dengan Mbiri Koni selaku dewi padi diharapkan hasil panen melimpah melalui pelaksanaan penanaman padi ladang tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Masa penanaman padi ladang tradisional di Kodi dibedakan atas masa pratanam, tanam, dan pascatanam. Masa pratanam terdiri atas masa persiapan lahan sampai dengan lahan siap untuk digunakan. Masa tanam berawal dari tahap penanaman padi, tahap pemeliharaan tanaman padi, tahap perkembangan tanaman padi, sedangkan masa pascatanam ditandai dengan tahap panen padi, tahap merontokkan butir padi dari tangkainya, dan tahap pengolahan padi hingga menjadi beras. Dalam setiap masa penanaman padi ladang tradisional ini terdapat seperangkat istilah yang diklasifikasikan berdasarkan kategori. Istilah-istilah
5
tersebut menggambarkan keberagaman proses dan karakteristik benda yang ada dalam lingkungan kepadian. Selain itu, masa penanaman padi ladang tradisional di atas disertai dengan upacara ritual dan tuturan ritual sehingga tuturan ritual juga dapat dibedakan atas tiga tuturan inti, yaitu tuturan pratanam, tanam, dan pascatanam. Masing-masing tuturan inti dapat dibedakan menjadi beberapa tuturan turunan. Khazanah verbal berupa seperangkat istilah dan tuturan yang terekam dalam BK penting untuk dilestarikan dan didokumentasikan. Pelestarian kekayaan verbal dalam BK itu penting, baik untuk keberlanjutan hidup BK maupun kelestarian tanaman padi dengan tradisi dan budayanya. Di dalamnya tersimpan makna dan nilai budaya warisan masa lalu yang merupakan bagian dari jati diri masyarakatnya, terutama bagi generasi mudanya. Upaya pelestarian dan pendokumentasian BK dilakukan dengan mengadakan penelitian. Sejauh ini, usaha untuk meneliti dan mendeskripsikan BK belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian yang menyangkut BK khususnya tentang linguistik historis komparatif dan dialektologi adalah sebagai berikut. Djawa (2000) merekonstruksi Protobahasa Kambera-Loli-Kodi-Lamboya di Sumba. Penelitian ini mengkaji keeratan hubungan kekerabatan bahasa-bahasa tersebut dengan menggunakan teori linguistik historis komparatif. Dalam penelitian Djawa dijelaskan tentang gambaran singkat BK yang terdiri atas lokasi dan penutur BK, fungsi BK, dan fonologi BK. Ciri inovasi dan retensi yang tercermin dalam tataran fonologi dan kata membuktikan bahwa keempat bahasa itu adalah bahasa yang berkerabat karena berada dalam satu garis silsilah kekerabatan bahasa.
6
Budasi (2007) meneliti status kekerabatan tujuh isolek bahasa Sumba yang terdiri atas bahasa Kodi, bahasa Wewewa, bahasa Kambera, bahasa Mamboro, bahasa Wanokaka, dan bahasa Anakalang. Penelitian Budasi ini menggunakan metode linguistik historis komparatif untuk mengetahui status tiap-tiap bahasa sebagai dialek atau sebagai bahasa. Budasi menyimpulkan bahwa ketujuh isolek itu masing-masing berstatus sebagai bahasa berkerabat yang berbeda dan berada dalam satu kelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa Sumba. Putra (2007) meneliti dialek-dialek yang ada di Pulau Sumba dengan menggunakan kajian dialektologi. Putra menerapkan metode pengelompokan bahasa
berupa
penggunaan
berkas
isoglos,
penghitungan
dialektometri,
penghitungan gabungan dialektometri leksikal dan fonologis, dan penghitungan permutasi. Penelitian Putra menghasilkan temuan pengelompokan dialek dan subdialek bahasa Sumba di Pulau Sumba. Putra menyimpulkan bahwa kelima dialek, yaitu Mauralewa-Kambera, Wanokaka-Katiku Tana, Waijewa-Loli, Kodi, dan Lamboya adalah satu bahasa, yaitu bahasa Sumba. Penelitian yang telah dilakukan adalah penelitian tentang status kebahasaan bahasa-bahasa di Sumba yang menyangkut BK dengan kajian linguistik historis komparatif, sosiolinguistik, dan dialektologi. Penelitian BK dengan menggunakan perspektif ekolinguistik belum pernah mendapat perhatian dari para ahli bahasa. Salah satu aspek yang belum diteliti adalah Khazanah Verbal Kepadian (KVK). KVK adalah realitas lingkungan bahasa dan sebagai penciri karakter komunitas tuturnya yang menggambarkan ide atau gagasan komunitas tuturnya. KVK juga menggambarkan lingkungan sosial-budaya-ekologis dalam konteks lingkungan
7
hidup kepadian yang didukung oleh budaya perladangan. Keanekaragaman ekologis, pelestarian, dan pemeliharaan lingkungan dapat dilihat dalam KVK komunitas tutur BK, Sumba Barat Daya. KVK terdiri atas satuan-satuan lingual yang berupa kata, gabungan kata, dan kalimat yang berkaitan dengan keanekaragaman lingkungan kepadian. KVK merepresentasikan pengetahuan dan keterampilan komunitas tuturnya dalam bidang sosial, budaya, dan ekologi yang berhubungan dengan kehidupan tradisional kepadian komunitas tutur BK. Contoh KVK berupa gabungan kata kepadian berkategori nomina, yaitu toyo manerro „petani‟. Toyo manerro „petani‟ adalah kata majemuk yang terdiri atas nomina toyo „orang‟ dan verba manerro „mencangkul‟. Penggabungan nomina toyo „orang‟ dan verba manerro „mencangkul‟ mengandung makna baru, yaitu petani yang masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata nomina toyo „orang‟ dan verba manerro „mencangkul‟ yang digabungkan. Toyo manerro „petani‟ adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam dengan mengusahakan tanah yang dapat ditelusuri dari makna nomina toyo „orang‟ dan verba manerro „mencangkul‟. Dalam tuturan kepadian ditemukan ungkapan wei huhu wei baba sebagai berikut. Ha-mburu-ngo-ka
KAUS-turun-PEN-PEN
wei
huhu
air
susu
wei
air
baba
pangkuan
„Menanam bibit padi‟
Ungkapan wei huhu wei baba „air susu air pangkuan‟ terdiri atas gabungan kata nomina wei „air‟, nomina huhu „susu‟, dan nomina baba „pangkuan‟. Ungkapan wei huhu wei baba „air susu air pangkuan‟ memunculkan makna baru, yaitu padi
8
atau bibit padi. Makna padi atau bibit padi tidak dapat ditelusuri secara langsung dari nomina wei „air‟, nomina huhu „susu‟, dan nomina baba „pangkuan‟ yang membentuknya. Air pangkuan memiliki arti yang sama dengan air susu, yaitu air yang didapatkan di pangkuan, air yang diberikan oleh ibunya saat anaknya berada dalam pangkuan. Padi dihubungkan dengan ungkapan wei huhu „air susu‟ dan wei baba „air pangkuan‟. Air susu adalah suatu berkah yang diberikan ibu kepada anaknya. Jika air susu dihubungkan dengan padi, padi adalah berkah untuk masyarakat Kodi. Melalui KVK, karakter lingkungan alam, karakter lingkungan sosial-budaya, dan karakter masyarakat dapat dipahami secara jelas. Interaksi, interrelasi, dan interdependensi secara timbal balik antara komunitas tutur BK dan lingkungan kepadian dapat memberikan gambaran kepada komunitas tutur BK tentang pentingnya keseimbangan hidup antarmanusia serta antara manusia dan lingkungan hidup kepadian. Keberlangsungan hal kepadian bergantung pada interaksi antara komunitas tutur BK dan lingkungan karena sesuai dengan berjalannya waktu, lingkungan mengalami perubahan secara perlahan-lahan. Hal itu juga terjadi pada bahasa karena bahasa bersifat dinamis yang senantiasa mengalami perubahan dan penyesuaian. Jika lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya berubah maka bahasa pun ikut berubah. Dengan demikian, perubahan bahasa mencerminkan perubahan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial-budaya suatu komunitas bahasa tertentu.
9
Dalam kehidupan bahasa dan budaya kepadian masyarakat Kodi, ada sejumlah leksikon yang memiliki karakteristik ideo-sosio-biologis yang sudah tidak diketahui lagi oleh masyarakat penuturnya. Selain itu, segala hal yang berupa unsur budaya yang sangat menopang kehidupan kepadian sudah tidak dijalankan lagi. Hal tersebut disebabkan oleh kebanyakan petani ladang Kodi sudah meninggalkan kepercayaan nenek moyang, seperti tidak menggunakan cara bertanam padi tradisional dan tidak disertai dengan tuturan ritual kepadian. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya teknologi modern dan adanya pengaruh agama khususnya agama Kristen yang berkembang di daerah itu. Sesuai dengan pemaparan di atas, penelitian ini tidak akan terlepas dari konsep lingkungan bahasa dan bahasa lingkungan. Pengetahuan kebahasaan terutama pengetahuan tentang sumber daya lingkungan melalui khazanah bahasa lokal sangat pantas untuk dikaji secara mendalam khususnya KVK komunitas tutur BK, Sumba Barat Daya. KVK sebagai bahasa lingkungan dengan bentuk, fungsi, dan makna yang terkandung diasumsikan (1) merekam pola pikir dan ideologi komunitas tuturnya; (2) merepresentasikan realitas lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya yang berupa keanekaragaman yang ada di lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya; (3) menggambarkan tradisi pemeliharaan dan upaya pelestarian lingkungan kepadian khususnya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
10
1. Bagaimanakah gambaran tentang bentuk-bentuk leksikon khazanah verbal kepadian dalam komunitas tutur bahasa Kodi, Sumba Barat Daya? 2. Apakah fungsi dan makna khazanah verbal kepadian pada komunitas tutur bahasa Kodi, Sumba Barat Daya?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai dan perlu diperjelas agar arah penelitian dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Tujuan diadakannya penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut diuraikan sebagai berikut.
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasikan data tentang khazanah verbal kepadian pada komunitas tutur bahasa Kodi di Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai dokumentasi kebahasaan dan pelestarian terhadap bahasa Kodi. Temuan penting yang diupayakan untuk dicapai adalah bahan pembelajaran bahasa yang berbasis budaya dan lingkungan, kamus kecil leksikon kepadian, dan kamus kecil ungkapan budaya kepadian. Pengadaan bahan pembelajaran, kamus kecil leksikon kepadian, dan kamus kecil ungkapan budaya kepadian ini sangat penting agar generasi muda komunitas tutur bahasa Kodi mengakrabi kembali bahasa, budaya, dan lingkungan tempat mereka hidup.
11
1.3.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian “Khazanah Verbal Kepadian Komunitas Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik” adalah sebagai berikut. 1. Menganalisis dan menjelaskan bentuk leksikon khazanah verbal kepadian pada komunitas tutur bahasa Kodi, Sumba Barat Daya. 2. Mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi dan makna khazanah verbal kepadian pada komunitas tutur bahasa Kodi, Sumba Barat Daya.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian “Khazanah Verbal Kepadian Komunitas Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik” memiliki beberapa manfaat. Secara garis besar, penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1
Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat lebih bermanfaat untuk mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan tentang bahasa lokal, khususnya bahasa Kodi. Selain itu, penelitian ini berguna untuk pengembangan ilmu linguistik, khususnya perspektif ekolinguistik. Penelitian ini juga diharapkan mampu membedah fungsi ideologis, sosiologis, dan biologis bahasa lokal, khususnya khazanah verbal yang menggambarkan pola pikir komunitas tutur dan realitas lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial-budaya
12
kepadian, yang memperkaya khazanah bangsa dan budaya Indonesia dalam keetnikannya.
1.4.2
Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan yang merupakan kekayaan alam, sosial, dan budaya sebagai ciri kekhususan yang terealisasikan melalui bahasa. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran muatan lokal yang menggambarkan kekayaan bahasa dan budaya padi ladang. Bahan pembelajaran ini dapat dimanfaatkan oleh dunia pendidikan, baik formal maupun informal sehingga generasi muda dapat memahami dan mencintai bahasa, budaya, dan lingkungan alam padi ladang.