67
PEMBANGUNAN DAN KEMISKINAN SEBAGAI DISKURSUS
Relevansi Teori Diskursus untuk Pembangunan
Sebagai salah satu teks hegemonik tentang pembangunan, seri World Development Report disusun tidak semata-mata berdasarkan data di lapangan (Mawdsley dan Rigg, 2002). Dalam tahun-tahun terakhir sebagian isi laporan berasal dari makalah-makalah kunci yang disajikan ahli-ahli pembangunan. Namun sebelum dimasukkan ke dalam laporan, sajian data dan analisis disesuaikan dengan hasil konsultasi dengan negara-negara yang bersangkutan dengan laporan tersebut, biasanya negara-negara yang menjadi contoh keberhasilan dan kegagalan pembangunan. Teks diskursif inilah yang ditunggutunggu banyak pihak, dan mempengaruhi alokasi program pembangunan di banyak negara. Program pembangunan di Indonesia setiap tahun juga merupakan teks diskursif, terutama yang disusun di antara ahli pembangunan, konsultan swasta (di antaranya mempekerjakan ahli pembangunan tersebut), aparat pemerintah dan anggota legislatif. Alokasi program dan anggaran pembangunan pada akhirnya merupakan hasil diskusi antara aparat pemerintah dan anggota legislatif. Sebagai contoh, ahli pembangunan menemukan 11.258 desa tertinggal pada tahun 2005 (Agusta, 2005), dan dijadikan bahan yang diajukan aparat pemerintah. Angka ini, juga lokasi desa tertinggal, kemudian disesuaikan dengan hasil diskusi antara aparat pemerintah dan anggota legislatif. Lokasi program akhirnya ditetapkan di
68
sejumlah 12.834 desa (Departemen Pekerjaan Umum RI, 2005), dengan perubahan lokasi beberapa desa untuk mengakomodir kebutuhan anggota legislatif. Sebagai hasil diskursif, pembangunan tidak dapat lagi dinilai sebagai realitas yang benar-benar ada di luar dunia pemanfaat pembangunan. Kini pembangunan dipandang sebagai hasil diskursus. Pembangunan merupakan salah satu temuan yang terkait dengan sejarah manusia (Escobar, 2005; Sidaway, 2007), namun bersamaan itu diciptakan pula diskursus Dunia Ketiga yang “menyapu” perbedaan di antara negara-negara di Selatan dalam satu kelompok negara miskin. Kategori Dunia Ketiga juga sekaligus mendudukkan negara-negara di Selatan pada posisi di bawah negara-negara di Utara. Pada awalnya digunakan statistika, yang digunakan secara bersama-sama antara negara-negara Utara dan Selatan. Logos atau rasio di balik statistika ialah kuantitas atau banyak dipandang baik (Foucault, 2002a, 2002b)–yang segera mengingatkan pada prinsip utilitarian. Statistika tersebut langsung menunjukkan kekurangan negara-negara Selatan sekaligus kelebihan negara-negara Utara dalam pembangunan (Fernando, 2003). Dominasi yang terkait dalam pengetahuan bentukan ini perlu ditolak, antara lain dengan menggali pihak yang berkuasa untuk menuliskan sejarah pembangunan tersebut. Bagi Indonesia, kondisi pembangunan terkait pula dengan kondisi pascakolonial (Hatta, 2000). Pembangunan dapat menjadi jalan baru bagi imperialisme maju (Petras dan Veltmeyer, 2002; Said, 1995), yang tidak lagi menggunakan kekerasan fisik melainkan melalui modal dan pengetahuan.23 23
Dari pidato inaugurasi Truman terbaca bahwa ruang kolonialisme lama digantikan oleh pembangunan terutama dalam transfer modal dan pengetahuan.
69
Namun demikian pembahasan antara teori pasca pembangunan dan pasca kolonial tidak serta merta bisa seiring. Sebagian peneliti menurunkan teori diskursus menjadi teori poskolonial, sementara ilmuwan lain menyajikan teori poskolonial dalam ruang diskursus modernis (Simon, 2006). Diskursus pascakolonial dapat saja selalu mengingatkan akan kondisi serupa dalam ranah kolonial. Perlu dicermati lebih lanjut, penguatan kaitan kolonialisme dan masa kemerdekaan dapat saja muncul justru sebagai akibat dari makin mendalamnya pengetahuan pascakolonial
ini.
Sebagian
pembahasan
Indonesianis,
misalnya,
sering
mengaitkan kondisi kenegaraan masa kini sebagai kelanjutan dari masa kolonial, bahkan masa pra kolonial.
Hasrat dan Kesadaran Pembangunan
Kekuatan pembangunan di Indonesia terbentuk sebagai gabungan dari hasrat dan kesadaran, terutama di tangan negara dan aparatnya. Tidak mengherankan kekuatan pembangunan meningkat pada saat negara juga menguat, seperti halnya sejak pertengahan 1970-an hingga pertengahan 1990-an.25
25
Anderson (2000) mempelajari penguatan kebangsaan Indonesia pada pemerintahan Presiden Soekarno. Hasrat kebangsaan mengarahkan tindakan-tindakan rakyat yang terpisah-pisah, seperti pembentukan kesatuan keamanan, untuk mempertahankan Republik Indonesia. Penguatan negara muncul pada pemerintahan Presiden Soeharto. Kekuatan material negara memungkinkannya menekan rakyat untuk menjalankan pembangunan. Mungkin karena penulisannya di awal 1970-an, Anderson belum mempertimbangkan kekuatan swasta, yang menguat melalui program-program penyesuaian struktural awal 1980-an (Thee, 2005), terutama setelah deregulasi sejak 1988 (Mallarangeng, 2002). Aspek lain yang belum dipertimbangkan pula ialah penguatan masyarakat atau komunitas setelah krisis moneter 1998, sebagaimana terekam dalam program-program pembangunan berbasis community-driven development (CDD) (Dongier, et.al., 2003; Operations Evaluation Department, 2003). Komunitas lokal tidak terlihat menguatkan kebangsaan sebagaimana masa pemerintahan Presiden Soekarno, melainkan terarah kepada identitas kesukuan yang terkait dengan wilayah lokal sebagaimana dikembangkan melalui pengembangan hukum adat atau indologi sejak awal abad ke 20.
70
Sebaliknya pembangunan oleh negara menyusut pada masa sebelum dan sesudahnya. Hasrat akan pembangunan sudah “memanggil-memanggil di ujung cakrawala” jauh-jauh hari di akhir penjajahan Belanda (Departemen Penerangan RI, 1959). Pemimpin pergerakan memendam hasrat pembangunan sebagai pengisi sejarah setelah Indonesia merdeka (Soekarno, 1965). Hingga dekade terakhir kekuasaan Presiden Soekarno, pembangunan tetap dipandang sebagai tindakan ideal negara untuk mengisi kemerdekaan. Kemerdekaan mengandung pesanan luhur supaya diisi dengan pembangunan (Departemen Penerangan RI, 1959). Pada awal kemerdekaan, revolusi fisik (1945-1949) telah membuka penyaluran hasrat rakyat. Setelah revolusi fisik selesai, hasrat perlu disalurkan ke dalam pembangunan semesta. Penyaluran yang salah ditakuti akan berujung pada kekacauan (Departemen Penerangan RI, 1959). Rakyat muncul dalam kegiatan pembangunan, atau sebaliknya pada kekacauan sosial. Sejak awal kekuasaannya, kehendak rakyat direpresentasikan oleh Presiden Soeharto sebagai keinginan akan pembangunan (Soeharto, 2008). Presiden Soeharto juga memandang pembangunan sebagai wahana yang benar untuk menyalurkan hasrat rakyat. Hasrat yang salah akan disalurkan dalam bentuk kriminalitas (Siegel, 2000). Di sini rakyat juga timbul dalam kegiatan pembangunan, atau melalui tindakan kriminal. Pergantian pemerintahan secara lebih cepat setelah krisis moneter 199826 juga menempatkan pembangunan sebagai hasrat utama negara. Hasrat rakyat yang tidak tersalur dalam pembangunan dapat berujung pada konflik-konflik komunitas 26
Pemerintahan olah Presiden B.J. Habibie (1988-1999), pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid (1999-2000), pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri (2000-2004), dan pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2009).
71
(Aragon, 2007; Bubandt, 2000; Nordholt dan Klinken, 2007). Ikatan komunitas meningkat dalam bentuk kesukuan (basis keturunan), baik dalam bentuk penguatan hukum adat, lembaga adat, maupun konflik kesukuan. Ikatan kesukuan terikat wilayah sejak pengenalan hukum adat, dan setelah krisis moneter dikuatkan kembali dalam lembaga adat maupun Pembangunan sendiri selalu “meninggalkan” hasrat, yang dipandang sebagai keadaan tertidur, “belum sadar”, “belum insyaf”. Ketiadaan stabilitas negara juga mengakibatkan rakyat secara psikologis menjadi apatis (Departemen Penerangan RI, 1959). Pembangunan bertindak untuk membangunkan rakyat atau masyarakat yang tertidur, menyadarkannya, tampaknya terutama untuk bekerja (Heryanto, 1988). Lebih jauh lagi, kesadaran pembangunan berupaya menekan hasrat, atau mengarahkan hasrat tersebut hanya untuk tindakan-tindakan pembangunan (Soeharto, 2008). Perencanaan pembangunan menjadi sarana penting untuk mencapai tujuan pembangunan. Perencanaan tersebut menekan hasrat-hasrat yang menyimpang dari kepentingan pembangunan, sekaligus mencipta satu saluran pelepasan hasrat atau sublimasi hanya kepada pembangunan. Perencanaan memang menunjukkan kuasa ilmu pengetahuan untuk memperkirakan masa depan (Escobar, 1992). Perencanaan, terutama perencanaan pembangunan nasional, ditentukan oleh negara untuk menekan dan menyalurkan hasrat pembangunan dari rakyat. Diskursus perencanaan kemudian mendisplinkan pihak lain (Other) yang justru tidak terlibat dalam perencanaan. Ciri tutelage (tutorial dari pihak yang berposisi lebih tinggi) dari penyusun diskursus perencanaan muncul, misalnya di Indonesia, dalam posisi sebagai nara sumber yang memberikan pengarahan isi perencanaan
72
dalam jangka waktu singkat –sehingga tidak memungkinkan dialog (Anwar dan Hadi, 1996).
Diskursus Akbar dan Problem Normalisasi
Pembeda penting setelah pidato Truman pada tahun 1947 ialah membesarnya diskursus pembangunan dan kemiskinan (Esteva, 1992; Rahnema, 1992). Pengelolaan pembangunan tidak hanya dilakukan dalam bentuk gotong royong di tingkat desa, melainkan kini terkoordinasi hingga tingkat nasional dan global. Salah satu teks hegemonik yang menstandarisasi pembangunan seluruh dunia ialah Millennium Development Goals. Kemiskinan pun tidak lagi dipandang sebagai masalah individu atau kerabat, melainkan turut membesar sebagai masalah suatu negara, bahkan membesar lagi sebagai masalah dunia. Pada banyak negara, terutama penerima donasi Bank Dunia, telah dikembangkan secara seragam Poverty Reduction Strategy Paper (Levinsohn, 2003). Pembesaran tidak hanya pada level diskursus, melainkan juga melebar pada isi pembangunan. Sejak awal pembangunan selalu mengklaim memasuki semesta kehidupan masyarakat (Departemen Penerangan RI 1960, 1968).27 Sebagai perbandingan, klaim semacam ini sebelumnya hanya muncul dalam diskursus keagamaan atau kosmologi lokal (Anderson, 2002). Pada satu sisi, semesta ditunjukkan dalam input pembangunan, sebagaimana tercantum dalam bidang dan program pembangunan, serta ragam departemen pemerintah yang 27
Juga Peraturan Presiden No 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
73
mengoperasionalkannya. Di antaranya perekonomian, kesejahteraan, pertanian, perikanan, kelautan, kehutanan, perindustrian, pemasaran, ketenagakerjaan, usaha kecil dan menengah, koperasi, pemuda, wanita, daerah tertinggal, agama, kebudayaan, pariwisata, keamanan. Di sisi lain kesemestaan juga mengklaim seluruh hasil kehidupan warganegara, bahkan warga dunia. Klaim bahwa kehidupan merupakan hasil pembangunan antara lain ditunjukkan oleh penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM, Human Development Index/HDI) di tingkat kabupaten, provinsi, negara, sampai lintas negara. Adapun pembangunan ekonomi diukur bersama dalam bentuk Gross Domestic Regional Product (GDRP) pada tiap kabupaten, kota dan provinsi. Pembesaran diskursus juga ditempuh melalui produksi teks-teks pembangunan secara terus menerus. Teks pembangunan muncul dalam pendidikan yang sehari-hari dilalui anak-anak hingga dewasa, dalam jurnal-jurnal ilmiah, dalam media massa dan internet yang tersebar lintas wilayah dalam maupun antar negara, dalam interaksi dengan aparat dan organisasi pemerintahan maupun donor. Salah satu pelajaran dari Revolusi Industri yang dipraktekkan dalam pembangunan ialah standardisasi. Truman, misalnya sudah memulai dengan menyamaratakan ratusan negara sebagai terbelakang, dan kemudian diralat menjadi negara sedang berlembang atau negara dunia ketiga. Standardisasi terus dilakukan mengemukakan tema-tema pembangunan global tertentu dalam masa tertentu. Standardisasi tema pembangunan dimungkinkan oleh teks pembangunan yang hegemonik, terutama World Development Report.
74
Standardisasi diikuti dengan mekanisme pendisiplinan. Teks Poverty Reduction Strategy Paper menjadi patokan perumusan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di banyak negara. Tujuan pencapaian sasaran-sasaran dalam Millennium Development Goals
dijadikan landasan pengambilan
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pembangunan regional, nasional maupun global. Tanpa menggunakan dokumen-dokumen pembangunan sebagai dasar pijakan, maka keputusan pemerintah tidak memiliki legitimasi dalam pandangan donor internasional. Pelanggaran disiplin berkonsekuensi pada penurunan atau pembatalan utan luar negeri. Standardisasi juga diikuti dengan reproduksi suatu kegiatan pembangunan di daerah tertentu ke banyak daerah lainnya, maupun dalam waktu-waktu yang lebih belakangan. Konsep yang dikembangkan untuk mewadahi tindakan-tindakan ini meliputi replikasi (kini jarang digunakan karena mengandung makna negatif membendakan masyarakat), scaling up. Pembesaran skala pembangunan sekaligus memperbesar diskursus pembangunan tersebut. Pembesaran diskursus pada satu sisi menambah kekuatan hegemonik pembangunan. Pembangunan dipercaya sebagai jalan terbaik untuk mencapai tujuan bernegara. Setelah krisis berulang kali, negara selalu kembali kepada pembangunan sebagai instrumen utama untuk memerintah. Perang Dunia II, kemerosotan ekonomi selama dekade 1940-1950-an, krisis politik tahun 19651968, resesi awal 1980-an, krisis moneter 1997-1998 selalu diikuti dengan dokumen-dokumen
pembangunan
baru.
Sementara
itu
kritik
terhadap
pembangunan tidak diacuhkan, atau ditunda penyelesaiannya. Kritik terhadap kemiskinan dan ketimpangan yang muncul seiring dengan pembangunan
75
(Singarimbun dan Penny, 1976; Sajogyo, 2006) sengaja ditunda hingga pengubahan
penekanan
pembangunan
pada
pemerataan
dibandingkan
pertumbuhan ekonomi pada Repelita III (1979/1980-1984/1985), dan lebih nyata dalam otonomi daerah sejak tahun 2000, sementara kemiskinan ditangani sejalan dengan tema pembangunan global untuk mengurangi kemiskinan sejak tahun 1990. Pada sisi lain, klaim kesemestaan pembangunan memunculkan problem normalisasi. Untuk mempertahankan hegemoninya, pembangunan memasukkan terus menerus aspek-aspek kehidupan lain, termasuk memasukkan kritik ke dalamnya.
Besarnya
level
diskursus
mengharuskan
pembangunan
mengakomodasi wilayah dan pihak yang beragam. Untuk mengadaptasi kepentingan banyak pihak dan wilayah, suatu ukuran absolut pembangunan dikembangkan serendah mungkin. Ukuran kemiskinan, misalnya, diarahkan hanya sekedar untuk mampu hidup, berdasarkan kebutuhan fisik
minimum
(Sajogyo,
2006),
bukan
untuk
mengukur
kemampuan
mengembangkan kehidupan. Garis kemiskinan Indonesia, misalnya, hanya menunjukkan daya beli minimum dari orang miskin. Orang-orang yang hidup “sedikit” di atas garis kemiskinan tersebut tetap sulit mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan secara memadai. Menormalisasi kritik justru menimbulkan inkonsistensi pada tataran konseptual dan praktis pembangunan. Kritik tertinggalnya budaya lokal dalam proses pembangunan ditanggapi dengan dimasukkannya budaya dan pengetahuan lokal. Akan tetapi hal ini menurunkan standardisasi pembangunan pada ranah
76
nasional maupun global. Akibatnya budaya lokal dan pengetahuan asli diseleksi menurut dukungannya terhadap efisiensi program.28 Hal serupa juga berlaku pada kritik atas rendahnya partisipasi rakyat dalam diskursus modernis. Kritik ini ditanggapi dengan menggunakan metode pengembangan masyarakat (community development) yang semula diciptakan dalam diskursus sosialis. Sebagaimana di atas, partisipasi rakyat diarahkan untuk meningkatkan efisiensi pembangunan. Diketahui bahwa partisipasi rakyat dapat menghasilkan usulan program, proses pelaksanaan, dan hasi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan perencanaan awal. Proses sosial yang berlangsung selama pembangunan dihargai di sini. Untuk menekan ketidakpastian ini, maka dikembangkan daftar kegiatan yang dilarang dilaksanakan dalam pembangunan (negative list), pembatasan partisipasi pada ekonomi kecil dan mikro (misalnya pada program-program community-driven development), atau partisipasi rakyat terbatas pada musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) tingkat desa hingga kecamatan saja. Program agropolitan tergolong ke dalam diskursus pembangunan yang berpusat
pada
manusia,
dan
seharusnya
dikembangkan
dalam
bentuk
industrialisasi lokal (Friedmann, 1992). Akan tetapi program ini dipraktekkan sebagaimana diskursus modernis, yaitu untuk menghubungkan wilayah produksi pertanian dan kerajinan sampai ke wilayah pemasaran global –tindakan pembangunan ini lebih sesuai dengan teori export base yang tergolong diskursus modernis (Agusta, 2008; Higgins dan Savoie, 2005). Wilayah yang lebih terpencil dinamai hinterland atau periphery, konsep yang dikembangkan dalam diskursus
28
Lihat contohnya pada pemikiran Pranadji (2005).
77
sosialis (Cardoso, 1972) namun dimaknai ulang sebagai suatu wilayah tertinggal dalam diskursus modernis.
Problem Kekuatan Reaktif
Terlihat di atas bahwa diskursus-diskursus pembangunan bersifat tidak menegaskan perbedaan dari diskursus lain, melainkan menolak pembedaan tersebut dengan cara memasukkan isi kritik ke dalam diskursusnya. Ketiadaan penegasan hasrat kekuasaan diikuti dengan upaya mengurangi kapasitas isi kritik yang diambilnya dari diskursus pembangunan lain (kasus pengembangan masyarakat dan agropolitan) maupun diskursus di luar pembangunan (kasus budaya untuk pembangunan). Kapasitas dikurangi dalam kaidah utilitarian, yaitu memanfaatkan sekaligus mengolah isi kritik lain untuk menguatkan efisiensi pembangunan. Tanda-tanda ini menunjukkan kekuatan reaktif (Nietzsche, 2002) dalam pembangunan. Praktek kekuatan reaktif dan hasrat penolakan tersebut menyulitkan perkembangan pembangunan sendiri. Masalah pembangunan ditandai hanya sampai anomali, tidak sampai pada titik kritis. Dengan cara berpikir semacam itu, pembangunan
akhirnya
sulit
melakukan
revolusi
ilmiah
atau
menarik
diskontinuitas dari pemikiran sebelumnya. Perkembangan yang terjadi hanya di sekitar pengembangan diskursus-diskursus pada level atau domain di dalam pembangunan sendiri, tidak sampai pada pengembangan diskursus yang melampaui atau melepaskan diri dari domain pembangunan.
78
Diskursus pembangunan yang dikembangkan berupa diskursus sosialis, modernis, dan alternatif. Sebagaimana negara-negara lain yang baru merdeka, pemerintah Indonesia di awal kemerdekaan juga mengembangkan pembangunan dalam diskursus sosialis. Tidak terlalu banyak perbedaan isi perencanaan pembangunan dalam diskursus sosialis dengan modernis, yang menggantikannya sejak tahun 1969. Keduanya tetap memperhitungkan produksi pertanian dan industri, serta daya beli masyarakat. Perbedaannya, diskursus modernis membuka peluang masuknya modal asing serta persaingan ekonomi di dalam negeri. Peningkatan ketimpangan ekonomi sejak awal pembangunan dalam diskursus modernis menghasilkan kritik dalam area diskursus pembangunan alternatif. Diskursus yang terakhir ini –belum juga pernah menjadi arus utama pembangunan—mengembangkan kolaborasi pembangunan antar berbagai pihak.
Perjuangan dan Kemerdekaan sebagai Pembuka Diskursus Baru
Sebagaimana disampaikan Nietzsche (2002), aspek penting kekuasaan ialah kemampuannya untuk membangun peluang. Melalui peluang baru inilah suatu diskursus baru bisa disusun. Tumbuhnya diskursus-diskursus pembangunan (dan nanti juga hendak disampaikan ragam diskursus kemiskinan) dimungkinkan melalui upaya membuka peluang tersebut. Peluang penting dalam sejarah Indonesia ialah kemerdekaan dan perjuangan.
79
Kemerdekaan senantiasa ditandai sebagai jembatan emas untuk melakukan perubahan yang mendasar. Melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, misalnya, diubah secara radikal sistem kolonial menjadi sistem nasional. Konsep kemerdekaan masih terus digunakan hingga kini, untuk menunjukkan
peluang
tersebut.
Sebagai
bahan
falsifikasi,
kegagalan
pembangunan antara lain ditandai sebagai berkurangnya kemerdekaan Indonesia terhadap tekanan donor internasional atau negara maju. Ada kalanya konsep kemerdekaan diserupakan dengan konsep kebebasan. Kemerdekaan dalam kajian ilmiah ditandai oleh kebebasan akademik. Melalui kebebasan ini dibuka peluang pemikiran baru. Konsep lain yang penting untuk membuka diskursus baru ialah perjuangan. Dalam kondisi sosiologis yang tampak tidak memungkinkan kemerdekaan, hasrat perjuangan memungkinkan subyek untuk terus melakukan perlawanan, sambil melupakan peluang besar atau kecilnya keberhasilan perjuangan tersebut. Perjuangan semakin bernilai tinggi, justru ketika dipusatkan untuk orang atau pihak lain. Pamrih perjuangan dinilai negatif, sehingga menyulitkan pembukaan diskursus baru. Perjuangan tidak hanya dilakukan sebelum Indonesia merdeka, namun tetap berlangsung hingga kini. Meskipun memiliki jalur komando militer dengan Presiden Soekarno, atau memiliki tim asisten pembangunan, Presiden Soeharto (2008) tetap bisa membantah dan menyusun diskursus baru dalam bidang pembangunan dan politik, asalkan mendasarkan tindakan pada hasrat berjuang untuk rakyat. LSM yang bergerak di pedesaan juga menekankan perjuangan untuk
80
rakyat sebagai landasan untuk bekerja dalam diskursus pembangunan di luar pemerintah (Pramudya, 2006).
Diskursus Pengurangan Kemiskinan
Kehendak untuk menguasai kemiskinan menumbuhkan beragam teknik penghitungan jumlah orang miskin, dan masing-masing teknik terarah untuk bersaing menjadi pengukuran yang universal. Meskipun menggunakan diskursus pembangunan yang sama-sama modernis, jumlah orang dan keluarga miskin tidak pernah seragam di antara departemen (di antaranya di Departemen Sosial,29 Departemen Pekerjaan Umum,30 Departemen Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal31) dan badan pemerintah (di antaranya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),32 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN),33
Komite
Penanggulangan
Kemiskinan34)
yang
mengeluarkan proyek pengurangan kemiskinan, dalam hal ini didasarkan pada ragam definisi orang miskin. Pengukuran berlangsung dalam metode kuantitatif maupun melalui manipulasi
teknik-teknik
kualitatif
agar
bisa
dikuantifikasi
–misalnya
menyelenggarakan diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) di
29
Dikenalkan garis miskin dan fakir miskin Dikenalkan desa tertinggal dalam infrastruktur perdesaan 31 Dikenalkan garis daerah tertinggal dan daerah khusus 32 Dikenalkan rumahtangga miskin (RTM) dan rumahtangga sangat miskin (RTSM) 33 Dikenalkan keluarga pra sejahtera (Pra-KS) dan keluarga sejahtera I (KS-I) 34 Kemiskinan menurut kelompok, rumahtangga, umur 30
81
mana hasilnya bisa dibandingkan lintas negara dan bisa diakumulasikan sebagaimana dilakukan oleh Mukherjee (2006). Melalui universalisme narasi kemiskinan berkembang dari tingkat lokal menjadi global. Universalitas pengukuran menghasilkan perbandingan-perbandingan kemiskinan lintas negara, dan akhirnya menghasilkan ruang-ruang negara miskin dan kaya (World Bank, 1990). Globalitas kemiskinan juga membuka peluang kebijakan pengurangan kemiskinan untuk dikelola secara organisatoris dari tingkat global sampai ke tingkat nasional, tidak lagi atau tidak sekedar dilakukan secara individual maupun dalam kelompok kecil. Pengorganisasian di tingkat global dimungkinkan melalui proyek dan utang luar negeri. Bank Dunia secara sendirian atau ketika mengorganisir lembaga dan negara kreditur menetapkan tema kemiskinan dalam perolehan utang luar negeri sejak dekade 1990-an (World Bank, 1990, 2000). Dokumen strategi penanggulangan kemiskinan (Poverty Reduction Strategy Paper/PRSP
atau
diindonesiakan
menjadi
dokumen
Strategi
Nasional
Penanggulangan Kemiskinan/SNPK) serta lembaga pengurangan kemiskinan (di Indonesia berupa Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan/TKPK di tingkat pusat dan daerah)35 sama-sama terdapat di banyak negara penerima utangan tersebut (Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2004; Levinsohn, 2003; Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, 2006). Kekuatan diskursus kemiskinan pembangunan ini dapat dibayangkan. Pada saat perekonomian Indonesia dinilai kuat, diindikasikan oleh pergeseran struktur ekonomi dari dominasi kontribusi pertanian menjadi manufaktur dalam
35
Peraturan Presiden No. 54/2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
82
GNP (gross national product) pada tahun 1991, dan menjelang rencana tahap tinggal landas dalam Repelita V periode 1989/1990-1994/1995, justru pada tahun 1991 Presiden Soeharto meminta konglomerat dan badan usaha milik negara (BUMN) untuk menyisihkan satu hingga tiga persen keuntungan bagi orang miskin. Dikenalkan usaha pengentasan kemiskinan, diikuti program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada tahun 1993. Paradoks tersebut ditunjukkan oleh polemik konsep pengentasan kemiskinan, polemik jumlah keuntungan konglomerat dan perusahaan negara yang dibagikan, hingga penolakan kepala daerah di mana sebagian wilayahnya tergolong tertinggal. Akan tetapi tema pengurangan atau penanggulangan kemiskinan dalam pembangunan dikembangkan lebih luas, meliputi jumlah departemen dan lembaga negara yang mengelola, jumlah lembaga dan negara donor, jumlah program dan proyek, jumlah wilayah kerja, dan jumlah warganegara yang dijadikan sasaran. Pada akhirnya, perluasan tema kemiskinan dalam diskursus pembangunan berperang dengan diskursus kemiskinan lain yang berada di luar diskursus pembangunan.
Diskursus Pembangunan Desa
Komunitas desa tidak muncul secara riil, melainkan kemunculannya diciptakan dalam suatu diskursus pembangunan desa. Komunitas desa menduduki posisi awal yang akan berevolusi menuju masyarakat (society, kota). Konsep komunitas disetarakan dengan gemeinschaft menurut Tonnies, atau masyarakat
83
berbasis solidaritas mekanis menurut Durkheim (1933). Komunitas memiliki struktur sosial yang lebih sederhana, diferensiasi sosial lemah, pembagian kerja rendah. Komunitas desa memiliki sifat demikian dan memiliki ketergantungan dengan masyarakat perkotaan, sebagaimana dikemukakan dalam teori rural-urban continuum menurut Redfield. Linearitas semacam inilah yang menjadi bahan dekonstruksi dalam poskolonialisme. Kedudukan kota dipandang lebih tinggi karena di sanalah kosmopolitanisme dikesankan ditumbuhkan, terutama melalui pengumpulan para ahli, institusi kapitalisme, penumpukan tentara (Derrida, 2005). Desa menduduki posisi subaltern, yang lebih rendah, tidak bisa menyatakan dirinya sendiri, sehingga harus diwakili oleh kota. Kontrol terhadap kategori desa –terutama sejak pemerintahan Soeharto— dimaterialkan dalam pengiriman sumberdaya pembangunan dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan,
lalu ke desa (Nordholt, 1987). Materialisasi
pembagian inilah yang menguatkan boundary desa melalui pembagian sumberdaya sesuai batas-batas (boundary) desa. Pengkategorian sekaligus mencakup kontrol terhadap desa, terutama dimaterialkan dalam bentuk pemimpin formal yang berperan sebagai penyalur sumberdaya pembangunan. Pengontrol ditubuhkan dalam bentuk kepala daerah atau kepala desa. Kepala desa sebagai pemimpin formal semakin menguat terhadap pemimpin-pemimpin informal dalam batas-batas desanya (Nordholt, 1987). Sejalan dengan itu peningkatan ketergantungan keuangan desa –sebaliknya penurunan kemandirian keuangan desa lama—muncul sejak 1980-an. Diskursus tentang rantai kontrol secara hierarkis ini tentunya akan menuju kontrol terhadap keluarga.
84
Di samping jalur kontrol secara hierarkis tersebut, pemerintah pusat atau daerah dapat langsung mengelola keluarga-keluarga di desa. Hal ini dilaksanakan melalui kader-kader pembangunan (Sajogyo, 2006), contohnya kader keluarga berencana, pembangunan infrastruktur, hukum, keuangan kelompok, dan sebagainya. Sementara kepala desa mengadakan kontrol teritorial, kader-kader pembangunan melakukan kontrol terhadap sektor-sektor pembangunan.
