BAB 9 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN PRODUKSI
Diskursus dan praktik kemiskinan produksi memiliki homologi dengan arena produksi industrial. Pertama, tubuh miskin dilekati identitas tidak mampu bekerja di industri (Gronemeyer 1992: 53-69), baik karena menganggur, terlampau tua atau jompo, atau masih kanak-kanak. Domain kemiskinan juga mencakup tubuh-tubuh yang berupaya secara mandiri namun masih tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Kedua, upaya tubuh miskin dikelola agar mampu berproduksi secara minimal, baik untuk bekerja ke perusahaan atau menjadi pengusaha kecil (Gaiha 1993: 126-129). Segmentasi pasar tenaga kerja miskin digunakan sebagai homologi untuk membatasi jenis kegiatan penanggulangan kemiskinan tersebut. Diperuntukkan bagi penganggur, misalnya, upah kerja padat karya ditetapkan untuk ada (bukan gotong royong yang gratis, upah sebagai perangsang kerja), namun upah tersebut tidak setinggi upah bekerja normal (agar pekerja normal tidak tertarik memasuki kegiatan padat karya yang diperuntukkan bagi penganggur). Ketiga,
pengelolaan
diarahkan
pada
efisiensi
atau
peningkatan
produktivitas, baik bagi tubuh miskin maupun untuk kegiatan pengurangan kemiskinan. Pola pengelolaan ini mendasari kegiatan persaingan proposal kegiatan (guna mendapatkan nilai produktivitas kerja tertinggi atau harga kegiatan termurah), dan keswadayaan masyarakat (untuk mengurangi biaya pembangunan). Meskipun menggunakan berbagai pengukuran untuk segmen golongan miskin yang berbeda-beda (individu, rumahtangga, kelompok), selama ini ukuran kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) digunakan sebagai patokan. Dengan demikian saat ini tubuh miskin dapat ditentukan sebesar 13 persen atau sekitar 31 juta jiwa di Indonesia. Penanggulangan kemiskinan diorganisasikan secara birokratis dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) kabupaten/kota, provinsi, pusat, juga melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Selain itu, penanganan dilakukan melalui
142
proyek-proyek dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Menurut data Potensi Desa 2011, lokasi PNPM untuk kegiatan transportasi berada di 47.746 desa, pendidikan 15.129 desa, permukiman dan kesehatan 22.277 desa, perekonomian 10.083 desa, simpan pinjam usaha pertanian 15.282 desa, simpan pinjam usaha nonpertanian 33.398 desa, dana hibah usaha produktif 2.206 desa, ketrampilan
produksi
5.083
desa,
ketrampilan
pemasaran
1.497
desa,
kelembagaan sosial kemasyarakatan 3.082 desa Mengorganisasikan Kemiskinan Diskursus kemiskinan produksi merupakan konsekuensi teori modernisasi, dan diskursus inilah yang senantiasa diacu dalam pernyataan-pernyataan pemerintah, donor dan swasta sejak tahun 1969. Dirunut lebih jauh, diskursus ini muncul bersamaan dengan laju Revolusi Industri di Eropa pada tahun 1750-1850. Tubuh-tubuh buruh yang muncul mula-mula dipandang sebagai masalah kemiskinan, dan hendak diatasi dengan tindakan-tindakan karitatif (Gronemeyer 1992: 53-69). Dari masa inilah pertama kali muncul pemahamanan untuk memberikan recehan atau charity kepada pengemis dan orang miskin. Bantuan karitatif kemudian diorganisasikan, dan setelah Perang Dunia II terutama dalam bentuk lembaga-lembaga Bretton Woods (World Bank dan International Monetary Fund/IMF). Tentu saja kemiskinan diupayakan diturunkan, terutama ketika berjumlah sangat besar, karena dikhawatirkan biaya penanganannya mampu menurunkan kemampuan negara untuk menyelenggarakan bidang-bidang pembangunan lain (World Bank 1990: 1-6). Kemiskinan juga menjadi masalah ketika mulai berkembang migrasi orang miskin ke negara maju. Perdana Menteri Denmark, Poul Nyrup Rasmussen, usai Perang Dingin pada awal 1990-an menyatakan sebagai berikut. We have a good argument now, a very concrete one, for ordinary people, which is, if you don’t help northern Africa, if you don’t help eastern and central Europe with a little part of your welfare, then you will have these poor people in your society” (McMichael 2003: 295).
143
Hingga kini pola bantuan dan program penanggulangan kemiskinan tetap serupa dengan masa Revolusi Industri, yaitu jangan sampai tubuh-tubuh miskin jatuh sakit dan meninggal –karena menjadi persoalan tersendiri—namun dibantu sampai pada batas bisa berproduksi, atau tepatnya menunjang sistem produksi industrial –kini batasan itu dijabarkan dalam bentuk garis kemiskinan atau upah minimum buruh. Globalitas kemiskinan juga membuka peluang kebijakan pengurangan kemiskinan untuk dikelola secara organisatoris dari tingkat global sampai ke tingkat nasional, tidak lagi atau tidak sekedar dilakukan secara individual maupun dalam kelompok kecil. Pengorganisasian di tingkat global dimungkinkan melalui proyek dan utang luar negeri. World Bank secara sendirian atau ketika mengorganisir lembaga dan negara kreditur lain menetapkan tema kemiskinan dalam perolehan utang luar negeri sejak dekade 1990-an (World Bank 1990: 121137, 2000: 189-204). This raises the question of why the (World) Bank and (International Monetary) Fund have elected to highlight the link between their lending programmes and poverty in the late 1990s. Some of the answer is probably what a for profit business would call marketing. A quick read of issues of the World Development Report of around 20 years ago turns up consistent references to poverty reduction, most usually in the context of rural development. While the World Bank did not have a website with the lead banner proclaiming “Our Dream is a World Free of Poverty” in 1982, at some level the Bank has been working on helping the poor in developing countries for decades. The advent of the inclusive PRSP (Poverty Reduction Strategy Paper) process coincides with a heightened awareness of the Bank in civil (and sometimes not-socivil) society. Recent anti-globalization demonstrations have put the Bank in the position of having to re-state and better market its mission. This is probably a good thing, especially if it can be done relatively costlessly. (Alas, the PRSP process is not costless, nor do the Bank and Fund incur all the costs.) (Levinsohn 2003: 9) Kekuatan diskursus kemiskinan produksi di Indonesia dapat dibayangkan. Pada saat perekonomian Indonesia dinilai kuat, diindikasikan oleh pergeseran struktur ekonomi dari dominasi kontribusi pertanian menjadi manufaktur dalam GNP (gross national product) pada tahun 1991, dan menjelang rencana tahap
144
tinggal landas dalam Repelita V periode 1989/1990-1994/1995, justru pada tahun 1991 Presiden Soeharto meminta konglomerat dan badan usaha milik negara (BUMN) untuk menyisihkan satu hingga tiga persen keuntungan bagi orang miskin.
Dikenalkan
usaha
pengentasan
kemiskinan,
diikuti
program
penanggulangan kemiskinan pada tahun 1993. Lebih jauh lagi, diskursus ini telah menjadi landasan kemunculan orang-orang miskin, sebagaimana tercatat dalam jumlah dan persentase orang miskin sejak tahun 1993 (Gambar 12). Diskursus ini juga telah mengalihkan konsentrasi dari persentase kemiskinan di perkotaan menjadi di pedesaan (Gambar 13) –suatu kondisi kemiskinan yang telah didalami World Bank satu dekade sebelumnya sebagaimana disampaikan dalam kutipan di atas.
Gambar 12. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 19752008 Obyektivasi dari diskursus produksi dapat dinyatakan dalam dikotomidikotomi yang dikembangkan (Gambar 14). Dikotomi penanganan individu/ kelompok-penanganan negara/global mengarah pada pembagian kerja untuk pengurangan kemiskinan. Dikotomi kaya-miskin memungkinkan penciptaan dan pemunculan beragam golongan miskin. Dikotomi berproduksi-menganggur dan manajemen-buruh mengarahkan isi kebijakan pengurangan kemiskinan untuk menguatkan kemampuan berproduksi, terutama agar mampu bekerja kepada pihak
145
lain. Dikotomi rasional-tidak rasional dan perencanaan teknokratis-perencanaan partisipatif menempatkan tubuh miskin dalam domain tidak rasional, sehingga metode untuk mendekatinya juga berupa perencanaan partisipatif yang lebih berbasiskan tawar menawar dibandingkan debat logis. Dikotomi usaha besarusaha mikro/kecil dan pemberdayaan-karitatif merujuk pada segmentasi tubuh miskin, yaitu yang mampu berproduksi akan berkembang dalam usaha mikro/kecil, sementara yang tidak mampu berproduksi dilayani dalam program karitatif.
Gambar 13. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1975-2008 Agar dapat dikelola hingga tingkat global, kekuasaan beroperasi melalui standardisasi diikuti dengan mekanisme pendisiplinan kegiatan pengurangan kemiskinan. Teks Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP) menjadi patokan perumusan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di banyak negara. Tujuan pencapaian sasaran-sasaran dalam Millennium Development Goals (MDGs) dijadikan landasan pengambilan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pembangunan regional, nasional maupun global. Dalam MDGs diharapkan persentase kemiskinan menurun 50 persen pada tahun 2015 dibandingkan tahun 1995. Tanpa menggunakan dokumen-dokumen pembangunan
146
standard tersebut sebagai dasar pijakan, maka keputusan pemerintah tidak memiliki legitimasi dalam pandangan donor internasional. Pelanggaran disiplin tersebut berkonsekuensi pada penurunan atau pembatalan utang luar negeri. In 1999, the World Bank and the International Monetary Fund (IMF) adopted a new set of processes to guide lending to some of the world’s poorest countries. Amid the blizzard of acronyms explaining the new process, the Bank and the Fund laid out a process that very poor countries would need to follow if they wished to make use of various concessionary lending facilities (Levinsohn 2003: 1). Kaya Berproduksi Manajemen Rasional Perencanaan teknokratis Usaha besar Pemberdayaan
Penanganan individu, kelompok
Penanganan negara, global
Miskin Menganggur Buruh Tidak rasional Perencanaan partisipatif Usaha kecil, mikro Karitatif
Gambar 14. Dikotomi Kemiskinan Produksi Untuk Indonesia, target MDGs pada tahun 2015 di antaranya penduduk miskin diharapkan tidak lebih dari 8 persen. Di Indonesia disusun dokumen strategi penanggulangan kemiskinan (PRSP diindonesiakan menjadi dokumen Strategi
Nasional
Penanggulangan
Kemiskinan/SNPK)
serta
lembaga
pengurangan kemiskinan (di Indonesia berupa Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan/TKPK di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Dokumen
147
serupa sama-sama terdapat di banyak negara penerima utang dari donor internasional (Levinsohn 2003: 9-13). Standardisasi
juga
diikuti
dengan
reproduksi
suatu
kegiatan
penanggulangan kemiskinan dari daerah tertentu ke banyak daerah lainnya, maupun dalam waktu-waktu yang lebih kemudian. Konsep yang dikembangkan untuk mewadahi tindakan-tindakan ini meliputi replikasi (kini jarang digunakan karena ditafsirkan negatif sebagai membendakan masyarakat) dan scaling up (Dongier dkk. 2003: 327). Pembesaran skala ini sekaligus memperbesar diskursus kemiskinan produksi. Kehendak Menguasai Pengetahuan Kemiskinan Tubuh miskin diidentifikasi berpendapatan rendah. Pada beberapa program penanggulangan kemiskinan, selain pendapatan rendah sebagai indikator utama, pada tubuh miskin juga terdapat jejak informasi pemilikan sarana pendidikan dan kesehatan yang rendah. Tubuh miskin menyelinap ke dalam golongan umur produktif, golongan umur anak-anak yang tidak bekerja, golongan umur tua, kemiskinan pada level rumah tangga, serta pengusaha kecil dan mikro. Kehendak
donor
internasional
dan
pemerintah
untuk
menguasai
kemiskinan menumbuhkan beragam teknik penghitungan jumlah tubuh miskin, dan masing-masing teknik terarah untuk bersaing menjadi pengukuran yang universal. Meskipun sama-sama berangkat dari pendekatan modernisasi pembangunan, jumlah orang dan keluarga miskin tidak pernah seragam di antara departemen (di antaranya di Departemen Sosial,1 Departemen Pekerjaan Umum,2 Departemen Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal3) dan badan pemerintah (di antaranya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),4 Badan
1
Dikenalkan garis miskin dan fakir miskin Dikenalkan desa tertinggal dalam infrastruktur perdesaan 3 Dikenalkan garis daerah tertinggal dan daerah khusus 4 Dikenalkan rumahtangga miskin (RTM) dan rumahtangga sangat miskin (RTSM) 2
148
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),1 Komite Penanggulangan Kemiskinan2). Melalui garis kemiskinan, tubuh miskin disusun dari angka-angka pengeluaran makanan dan barang atau jasa nonmakanan. Oleh BPS, tubuh dipilah menurut garis 2.100 kalori. Perbedaan kumulasi angka pembentuk tubuh orang miskin satu dengan lainnya diukur dalam keparahan kemiskinan. Adapun totalitas angka pembentuk seluruh tubuh orang miskin diidentifikasi sebagai kedalaman kemiskinan.
Gambar 15. Evaluasi Kemiskinan Hipotetis Garis kemiskinan dan sejenisnya digunakan sebagai pemisah penduduk menurut golongan miskin atau lepas dari kemiskinan. Dengan menggunakan kaidah statistika untuk jumlah sampel atau populasi yang sangat besar –di atas 200 juta untuk penduduk Indonesia—maka secara umum bentuknya seperti kurva normal (Gambar 15). Secara hipotetis dapat disusun beberapa garis batas untuk menggolongkan hierarki masyarakat, yaitu golongan rata-rata yang dihitung menurut nilai tengah hingga 1 SD (standard deviation) (biasanya 34 persen penduduk di sebelah kiri atau kanan dari nilai tengah), golongan kaya atau miskin 1 2
Dikenalkan keluarga pra sejahtera (Pra-KS) dan keluarga sejahtera I (KS-I) Kemiskinan menurut kelompok, rumahtangga, umur
149
yang dihitung antara nilai 1 SD dan 2 SD (biasanya 13,5 persen lebih jauh ke kanan atau ke kiri), dan paling kaya atau paling miskin yang dihitung di atas 2 SD (biasanya 2,5 persen paling kanan atau paling kiri). Berdasarkan
kaidah
statistika
kurva
normal
tersebut,
kebijakan
penanggulangan kemiskinan semestinya mencantumkan target penduduk miskin tidak lebih dari 2,5 persen. Akan tetapi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional
II
(2010-2014),
pembangunan
diharapkan
mampu
menurunkan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen pada akhir tahun 2014.1 Berdasarkan rancangan pembangunan tersebut, terlihat bahwa target-target yang dicatat tergolong konservatif, artinya tidak sampai 0-2,5 persen sebagai indikasi hilangnya kemiskinan. Kritik lain yang dilancarkan terhadap garis kemiskinan BPS ialah kealpaannya atas alamat orang miskin. Olahan Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) samar-samar memperkirakan jumlah tubuh-tubuh orang miskin di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, namun tidak mencantumkan lokasi tubuh tersebut tinggal. Kelemahan ini bersumber dari jenis data survai –bukan sensus. Hanya mengetahui jumlahnya, akhirnya di daerah tokoh masyarakat dan perangkat desa mewakili tubuh-tubuh orang miskin. Tubuh orang miskin sekaligus dibungkam, sementara kesaksian atas kemiskinannya dilakukan oleh tokoh masyarakat atau perangkat desa. Representasi orang miskin melalui tokoh masyarakat justru memunculkan kehadiran para tokoh tersebut (Bourdieu 2011: 210-211). Kehadiran mereka, antara lain, tercatat sebagai penerima dana jaring pengaman sosial (JPS), dan beras miskin (raskin). Untuk menanggulangi kejanggalan tersebut, dikembangkan sensus rumahtangga miskin (RTM). Sensus RTM ternyata mencari, dan menemukan, rumah yang buruk sebagai belenggu tubuh orang miskin. Tubuh orang miskin sendiri masih luput dari pencarian. Tubuh direkatkan dengan susunan bendabenda yang bernilai rendah, seperti rumah yang berlantai tanah, tidak bertembok, tanpa atap dari genteng. Kalau dalam panoptikon sebuah bangunan disusun untuk mengendalikan tubuh terpenjara (Foucault 2002d: 182-183), sensus RTM 1
Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 Buku I, Halaman I-46.
150
memaksa lokasi persembunyian tubuh miskin terlihat. Hanya saja, secara paradoks, sejak penjajahan Belanda perbaikan batas-batas bangunan digunakan untuk memperdaya penglihatan seakan penghuninya sejahtera, namun kini ketika rumahnya bertembok maka tubuh miskin sekaligus dikeluarkan dari taksonomi kemiskinan. Projo menjelaskan kasus Dusun Kalitani sebagai berikut. Rumahtangga golongan miskin memiliki tanah 3.500 m2 sampai 5.000 m2. Menurut aparat Pemda, dengan pemilikan tanah seluas itu tidak lagi tergolong miskin, tetapi saya meminta untuk memasukkannya ke dalam golongan miskin. Karena saya yakin dengan sawah 3.500 m2 dalam satu tahun tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak. Dalam sinoman (tolong menolong) membangun rumah bertembok, pada akhirnya meskipun dia dianggap miskin, pas yang membantu sedang membangun nanti dia juga bisa membantu, entah bagaimana cara menutupinya. Biasanya dia kerja, lalu hasilnya dititipkan kepada orang-orang yang membangun, akar suatu ketika dapat membantu mereka. Kalau tetangga sudah membuat rumah, bantuannya tidak untuk mereka. Dia akan mencari yang belum memiliki rumah. Oleh sebab itu saat ada pendataan sosial untuk rumahtangga miskin, petugas bertanya, mengapa memiliki rumah bertembok disebut miskin. Dia tidak mengetahui membangun rumah dengan cara bergantian di sini. Saya jelaskan rumahnya tembok, tapi penghuninya tidak punya, karena tidak memiliki sawah. Itu bisa terjadi. Pada saat ini berkembang pandangan mengenai agregat permasalahan orang miskin (Rahnema 1992: 158-172). Kemiskinan bukan lagi masalah individual, melainkan menjadi permasalahan kelompok kecil, warga desa, kabupaten, provinsi, nasional, bahkan global. Melalui perubahan pandangan ini, kemiskinan menjadi sah untuk dikelola oleh negara, bahkan melalui organisasi internasional. Dianggap bersifat universal, pengukuran kemiskinan berlangsung dalam metode kuantitatif (garis kemiskinan) maupun melalui manipulasi teknik-teknik kualitatif agar bisa dikuantifikasi –misalnya menyelenggarakan diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) di mana hasilnya bisa dibandingkan lintas negara dan bisa diakumulasikan sebagaimana dilakukan oleh Mukherjee (2006: 13). Jejak metode kuantitatif dalam FGD terbaca dari partisipan diskusi yang bersifat homogen dan diskusi diakhiri kesepakatan bersama (sehingga dapat
151
dinilai sebagai satu responden atau satu pernyataan, lalu 30 FGD memadai untuk dianalisis secara statistik), dan pertanyaan digilir secara sistematis atau berurutan (bukan diskusi tak-terstruktur) (Kruger dan Casey 2000: 10-11). Sistematisasi demikian memang memungkinkan perbandingan antar kelompok miskin, namun perbandingan tersebut sekaligus mereduksi kekayaan informasi dan hanya menyajikan informasi yang seragam atau anekdotal (Levinsohn 2003: 10). Penyusunan kotak informasi dan perbandingan yang menyatukan sifat orang miskin juga mengesankan hubungan di antara mereka. Sulit menerima pandangan bahwa orang-orang miskin lazim saling berhubungan lintas pulau, apalagi lintas benua secara global. Melalui universalisme narasi kemiskinan berkembang dari tingkat
lokal
menjadi
global.
Universalitas
pengukuran
menghasilkan
perbandingan kemiskinan lintas negara, dan akhirnya menghasilkan ruang-ruang negara miskin dan kaya (World Bank 1990: 24-38, 2000: 15-30). Mendisiplinkan Efisiensi Tubuh Miskin Sejak tahun 1999 World Bank melansir teori pemberdayaan masyarakat yang dinamakan Community-driven Development (CDD). Teori ini menjadi basis proyek pemberdayaan yang didanai World Bank maupun donor internasional lain (Operations Evaluation Department 2003: 11-13). Di Indonesia, teori ini digunakan pada seluruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Secara nasional, beberapa program sejenis lainnya yang juga ditujukan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan tingkat pengangguran, telah diintegrasikan dalam satu kerangka kebijakan nasional yang dikenal dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program PISEW (Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah) dengan intervensi berupa bantuan teknis dan investasi infrastruktur dasar pedesaan, dibangun dengan berorientasi pada konsep “Community Driven Development (CDD)”1 CDD merupakan konsekuensi dari teori pilihan rasional atau rational choice (Narayan dan Pritchett 2000: 269-295). Menurut ilmuwan dari World 1
Panduan Pelaksanaan PNPM PISEW Tahun 2010, halaman 2.
152
Bank, konsep modal sosial dari Coleman memiliki implikasi bagi pemerintah dan donor internasional. Salah satu implikasi terpenting ialah pendisiplinan proyek dalam konsep community-driven development (CDD). One of the most important applications of social capital is in the delivery of sustainable basic services to the poor, and local infrastructure and natural resources management. The last two decades have seen a resurgence of interest in community-driven development, with community group in charge and the focus shifting to local initiative, self help, local organizational capacity, and demand orientation. Communitydriven development is defined as a process in which community groups initiate, organize, and take action to further common interests or achieve common goals (Narayan dan Pritchett 2000: 284). Teori pilihan rasional berorientasi positivistik, dengan prinsip dasar berasal dari ekonomi neoklasik (Coleman 1994: 1-44). Teori ini memusatkan perhatian pada aktor, yaitu manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud. Aktor bertindak untuk mencapai tujuan, serta dipandang mempunyai pilihan –atau nilai dan keperluan. Teori pilihan rasional tak menghiraukan substansi dan sumber pilihan aktor, namun mementingkan kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan peringkat pilihan aktor. Teori ini memperhatikan sekurang-kurangnya dua pemaksa utama tindakan. Pertama, keterbatasan sumber daya. Berkaitan dengan keterbatasan sumber daya ini adalah pemikiran tentang biaya kesempatan (opportunity cost) atau biaya yang berkaitan dengan rentetan tindakan berikutnya yang sangat menarik, namun tak jadi dilakukan. Aktor dipandang berupaya mencapai keuntungan maksimal, dan tujuan mungkin meliputi penilaian gabungan antara peluang untuk mencapai tujuan utama dan apa yang telah dicapai pada peluang yang tersedia untuk mencapai tujuan kedua yang paling bernilai. Kedua, sumber pemaksa atas tindakan aktor individual adalah lembaga sosial. Hambatan kelembagaan ini menyediakan baik sanksi positif maupun sanksi negatif yang membantu,
mendorong
aktor
menghindarkan tindakan yang lain.
untuk
melakukan
tindakan
tertentu
dan
153
CDD menjelaskan "pangsa pasar" program penanggulangan kemiskinan, yaitu khusus untuk keluarga miskin dan keuangan mikro (Dongier dkk. 2003: 303-304). Setelah lepas dari level itu maka tubuh miskin keluar dari programprogram CDD. Menggunakan idiom dari ilmu ekonomi, pola penyaluran proyek diarahkan pada kesetimbangan antara aspek penawaran proyek dan permintaan masyarakat (Gambar 16). Untuk memperoleh titik yang optimal, maka dilangsungkan persaingan antar warga dalam memperebutkan proyek. Berkaitan dengan itu, menurut teori motivasi dari Atkinson, motivasi tertinggi dalam melakukan tindakan diperoleh ketika peluang keberhasilan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan senilai 50 persen. Artinya hanya jika menulis proposal maka muncul peluang untuk mendapatkan proyek, jika proposal tidak dikerjakan maka pasti tidak mendapatkan proyek (peluang 0 persen), dan sebaliknya penulisan proposal tidak sekaligus memastikan (peluang 100 persen) akan memperoleh proyek.
Gambar 16. Adaptasi Ekonomi Formal dan Psikologi dalam CDD Ada pula program CDD yang telah menetapkan proyek per desa dalam nilai tertentu, misalnya PNPM Infrastruktur Perdesaan (IP) menyampaikan dana
154
pembangunan infrastruktur seragam senilai Rp 250 juta per desa. Nilai proyek PNPM IP ini lebih besar daripada program PNPM lainnya. Sesuai teori punishment and reward, nilai yang jauh lebih besar ini diciptakan guna membesarkan kehendak warga desa untuk mendapatkannya. Sekalipun telah jelas bahwa CDD didasarkan pada teori pilihan rasional, namun masih ditemui simpangannya dalam proyek-proyek CDD itu sendiri. Dalam teori ini sempat dirumuskan collective action dihindari karena memungkinkan munculnya penumpang gelap (free rider). Implikasi dari hal ini ialah pengambilan sumberdaya secara selektif, sehingga menghindari sumberdaya komunal (common goods). Akan tetapi proyek-proyek CDD justru menggarap infrastruktur common goods seperti jalan dan jembatan, bahkan dalam jumlah dominan dalam PNPM. Infrastruktur memungkinkan penumpang gelap di antara warga desa sendiri (merugikan warga desa sendiri), namun lebih mudah diukur tingkat efisiensinya dan selama ini menjadi keunggulan manajemen donor internasional (menguntungkan donor). Sebagai perbandingan, evaluasi terhadap pengembangan kelompok oleh donor seringkali menunjukkan kegagalan (Israel 1992: 2) Pada kenyataannya, tujuan umum Bank (Dunia) pada kegiatan-kegiatan yang lalu telah sampai pada kesimpulan yang konsisten, bahwa komponen fisik suatu program, dua kali lebih berhasil dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh komponen pengembangan kelembagaan. Meskipun
digunakan
dalam
program
partisipatoris,
CDD
telah
memberikan ide bahwa tingkah laku manusia dapat diramalkan. Tujuan tindakan sosial terutama memaksimalkan manfaat atau keuntungan. Motivasi tindakan pemanfaat proyek terutama didasarkan pada kepentingan-kepentingannya sendiri. Diskursus kemiskinan produksi juga menghasilkan pandangan efisiensibiaya
dalam
menginginkan
pembangunan keikutsertaan
partisipatif. orang
miskin
Pandangan dalam
efisiensi-biaya pembangunan
ini
untuk
meningkatkan rasa kepemilikan, namun keikutsertaannya sekaligus sebagai upaya memobilisasi sumberdaya lokal. PNPM berupaya membatasi biaya input atau materi program, sambil menggali kontribusi dari tubuh miskin sendiri. Pada kasus
155
di Dusun Kalitani, sebelum program fisik diusulkan, warga desa perlu mempersiapkan modal awal, berupa swadaya masyarakat, kas dusun, dan kas desa. Nilai swadaya menjadi bobot penting dalam persaingan proposal antar desa di tingkat kecamatan. Dalam aturan program, seluruh pekerja dalam kegiatan PNPM dibayar, meskipun boleh lebih rendah daripada harga tukang dan buruh lokal. Akan tetapi kebutuhan nilai swadaya yang tinggi membuat penyelenggara proyek mengubah upah kerja rendah tersebut menjadi gotong royong antar warga desa. Nilai gotong royong kemudian dicatatkan sebagai swadaya masyarakat. Karyo, Kader Pemberdayaan Masyarakat, menjelaskannya sebagai berikut. Untuk mengejar maka swadaya dikejar. Ada sendiri swadaya dari desa, lalu dari masyarakat juga ditarik, plus tenaga kerja. Tenaga kerja itu dibayar namun langsung diberikan kembali ke proyek. Misalnya per hari dibayar Rp 27.000 per HOK tukang (HOK= hari orang kerja), dan Rp 20.000 per HOK tenaga kerja. Kalau sehari, tenaga kerja mendapat Rp 30.000, sementara tukang Rp 40.000. Masyarakat bekerja bakti, dibayar, namun nanti dikembalikan kepada masyarakat secara swadaya. Sebab aturannya harus seperti itu. Swadaya juga ditarik di antara rumahtangga miskin –bentuk subsidi tubuh miskin terhadap proyek pemberdayaan. Projo menjelaskannya sebagai berikut. Saya hitung penarikannya lewat tanah, yang lebar membayar lebih banyak, yang sedikit membayar juga. Itu tanah darat, tanah untuk rumah. Tidak termasuk tanah sawah. Masyarakat di sini kalau dibutuhkan swadaya dan pembangunan langsung dilaksanakan, itu tidak ada protes. Kalau itu diadakan swadaya tapi lama baru dilaksanakan, sampai satu tahun hingga dua tahun, barulah masyarakat protes. Untuk PNPM, swadaya juga ditarik dari fakir dan miskin. Yang cukup memberikan iuran Rp 100 ribu. Yang fakir dan miskin Rp 50 ribu. Memang menurut luas tanah. Yang lebar membayar lebih banyak, termasuk yang tidak di pinggir jalan. Kemarin semua bisa membayar. Swasta kini masuk sebagai salah satu penyalur dana bagi orang miskin, yaitu sebagai konsultan pendamping program. Ciri pencarian untung yang
156
mengikat secara inheren pada konsultan swasta turut terbawa dalam pendampingan masyarakat (Agusta 2007: 27-38). Merekalah yang memiliki peran dan kekuasaan lebih tinggi daripada pihak lain di lapangan. Dari sisi gaji yang berlipat ganda dibandingkan pegawai negeri –antara empat kali lipat pada pendamping tingkat kecamatan, hingga lebih dari lima puluh kali lipat bagi konsultan pendamping nasional yang sengaja direkrut dari negara donor—tugastugas yang lebih besar dan purna waktu dalam program, posisi pendamping ini jauh lebih tinggi daripada lainnya. Dalam posisi yang paling penting, yaitu menandatangani persetujuan pencairan proyek dan dana kegiatan, kekuasaan konsultan pendamping bahkan hampir mutlak. Dalam periode pasca krisis moneter, kegiatan pembangunan yang terfokus pada pengurangan kemiskinan justru mereproduksi kemiskinan itu sendiri. Program penanggulangan kemiskinan bahkan menggerakkan sebagian warga maupun aparat pemerintah agar turut dimasukkan ke dalam kategori miskin tersebut. Proyek beras untuk orang miskin dan pemberian uang tunai kepada orang miskin dilaporkan diterima pula oleh golongan di luar rumahtangga miskin (Mawardi dkk.
2008: 12-13). Ditemukan 10,4 juta rumahtangga baru yang
mendaftarkan diri sebagai rumahtangga miskin untuk mendapatkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT).1 Berbeda dari perencanaan teknokratis yang menggunakan metode ilmiah dan terarah kepada sifat positivistik, perencanaan partisipatif disifatkan pada kesepakatan bersama antar pihak di tingkat desa. Perencanaan teknokratis terhadap desa, misalnya dalam menentukan lokasi program, dilakukan secara kuantitatif dan menggunakan statistika deskriptif atau parametrik.2 Akan tetapi di tingkat desa usulan kegiatan tidak ditekankan pada statistika, melainkan melalui keputusan bersama atau kolaboratif antar pihak –lazimnya warga biasa, tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa, dan sesekali aparat pemerintah kecamatan dan kabupaten/kota—sampai petugas donor internasional (Mosse 2004: 16-35). 1
Sinar Harapan (19 November 2005) mengutip Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat kala itu, Alwi Shihab, menunjukkan sampai saat itu jumlah penerima BLT sebanyak 12,5 juta rumahtangga, namun sekitar 247.000 penerima BLT dihentikan karena tidak tergolong rumahtangga miskin. 2 Misalnya dalam penentuan desa, kabupaten dan provinsi penerima Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
157
Metode partisipatif yang dipraktekkan dipandang tidak memiliki ciri-ciri ilmiah berupa universalitas (Mohan 2004: 153-167), termasuk tidak bisa dipraktekkan lintas wilayah dalam Indonesia. Metode ini juga sulit menentukan ukuran keberhasilan sejak dari tahapan perencanaan hingga pasca pelaksanaan pembangunan. Setelah tidak masuk ke dalam mekanisme perencanaan rasional terutama dalam kemampuan peramalan, pelaksanaan keputusan partisipatif akhirnya didanai oleh bantuan sosial.1 Jenis mata anggaran ini tidak memperhitungkan
kembalinya
dan
akumulasi
investasi
negara
dalam
pembangunan sebagaimana mata anggaran modal, yang berarti juga tidak dipandang sebagai pembangunan yang rasional. Dengan mengasosiasikan negara sebagai perusahaan,2 perencana menekan jumlah mata anggaran bantuan sosial sambil menguatkan mata anggaran belanja modal. Usaha untuk menguasai pendekatan partisipasi sebagai wilayah di luar rasionalitas ini dilakukan melalui mekanisme pendisiplinan tahapan partisipasi – dalam program penanggulangan kemiskinan tahapan kegiatan disamakan dengan konsep proses (Francis 2004: 72-87). Formulir-formulir isian tiap tahapan diberlakukan menyeluruh ke semua lokasi pembangunan, dengan formulir isian yang serupa pada tahapan musyawarah tingkat dusun dan desa, penyusunan proposal, pelaporan kegiatan, hingga serah terima hasil kegiatan Ikhtisar Memiliki homologi dengan produksi industrial, diskursus kemiskinan produksi mula-mula memunculkan tubuh miskin sebagai pihak yang tidak mampu berproduksi. Setelah ditemukan, tubuh-tubuh tersebut kemudian didisiplinkan melalui homologi manajemen produksi, berupa disiplin dalam kegiatan-kegiatan perencanaan, 1
pelaksanaan,
dan
pasca
pelaksanaan
program-program
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.02/2006 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga Tahun 2007 2 Asosiasi negara dengan perusahaan ditunjukkan dalam penjelasan UU 17/2003 tentang keuangan negara, di mana, “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara... Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan”.
158
penanggulangan kemiskinan. Pendisiplinan juga diorganisasikan secara birokratis. Disusun Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Kabupaten/Kota, Provinsi, pusat, juga melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk melatih ketrampilan tubuh miskin agar sesuai dengan arena produksi, serta menyediakan modal untuk turut serta dalam persaingan usaha dalam arena produksi tersebut. Prasarana pendukung yang disediakan program bersifat ambigu, karena tidak hanya menjadi modal bagi orang miskin, namun juga diperebutkan oleh lapisan atas untuk memperlancar usaha dan mengakumulasi modal mereka lebih lanjut. Sampai bab ini telah disajikan satu per satu proses operasi kekuasaan dalam memunculkan enam diskursus kemiskinan serta upaya pengelolaannya dalam habitus dan arena kemiskinan. Pada bab berikutnya disajikan interaksi antar diskursus dan praktis penanggulangan kemiskinan secara bersama-sama. Operasi kekuasaan untuk mendominasi atau memunculkan hal-hal baru ini dikembangkan sebagai perang diskursus dan praktik kemiskinan.