SOLILOKUI WAKTU LUANG (Sebuah Praktik “Anggota” Budaya Populer dan Diskursus Konsumtivisme) Nugroho Rinadi Pamungkas Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Tahun 2016 SUMMARY This study aims to understand the quality of the practices of the use of leisure time of young generation in Surabaya based on their practical reasoning. The focus of this study was formulated to find out what forms of use of leisure time and how their reflexivity towards leisure time in ethnomethodological. The analysis was conducted based on the ethnomethodological assumptions. Concepts such as free time, youth and popular culture thus also colored in ethnometodology somewhat different from those explanations exist for this. The theoretical explanation also engage the concept of "detraumatisasi" by Francisco Budi Hardiman and "simulation" P. Jean Baudrillard. The themes that surfaced in the context of the forms of use of leisure time among other activities related to popular culture such as listening music, shopping, watching television and movies, reading print and online news, dating, and even sleeping. The mention here clearly reduced the meanings constructed by the members, where it is explored in their accountability. While spare time reflexivity of the members reflected through the assumption that involved in this study (participating in the interview process) is also the use of leisure time, aside from map out their respective meaning of the definitions of free time and the importance of free time for them. In turn, this research shows that the main reflexivity of the members disolilokuikan as "forgetting at the same time considering the free time" which is then conceptualized as a continuous detraumatisasi simulation. Keywords: ethnometodology, reflexivity, accounability, leisure, youth
RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk memahami kualitas praktik penggunaan waktu luang generasi muda di Kota Surabaya berdasarkan penalaran praktis mereka. Fokus penelitian ini dirumuskan untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk penggunaan waktu luang dan bagaimana refleksivitas mereka terhadap waktu luang secara etnometodologis. Analisis dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi etnometodologis. Konsep-konsep seperti waktu luang, generasi muda, dan budaya populer dengan demikian juga diwarnai secara etnometodologi yang agak berbeda dengan penjelasan-penjelasan yang ada selama ini. Penjelasan teoretik juga meminjam konsep “detraumatisasi” oleh Fransisco Budi Hardiman dan “simulasi” Jean P. Baudrillard. Tema-tema yang mengemuka dalam konteks bentuk-bentuk penggunaan waktu luang antara lain adalah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan budaya populer seperti mendengarkan musik, shopping, menonton televisi dan film, membaca artikel berita cetak dan online, berpacaran, bahkan tidur. Penyebutan disini jelas meredusir makna-makna yang dikonstruksikan anggota, dimana hal itu tereksplorasi dalam accountability mereka. Sementara refleksivitas waktu luang para anggota tercermin melalui asumsi bahwa terlibat dalam penelitian ini (berpartisipasi dalam proses wawancara) juga merupakan penggunaan waktu luang, di samping memetakan pemaknaan mereka masing-masing terhadap definisi waktu luang dan pentingnya waktu luang bagi mereka. Pada gilirannya, penelitian ini menunjukkan bahwa refleksivitas utama dari para anggota disolilokuikan dengan “melupakan sekaligus mengingat waktu luang” yang kemudian dikonsepkan sebagai simulasi detraumatisasi kontinu. Kata kunci: etnometodologi, refleksivitas, accounability, waktu luang, generasi muda
1
memang
1. PENDAHULUAN Latarbelakang Masalah
tulisannya
lebih
mengutuk
(condemning)
menjelaskan
(explaining)
bernada daripada
Sejak diterbitkannya buku The Theory of (Bruce
dan
the Leisure Class, Thorstein Veblen telah Yearley, 2006: 171). meletakkan dasar pemikiran penting dan Selama
ini,
topik
dan pengkajian
menjadi salah satu pendorong diskursus mengenai leisure masih dianggap sebagai tentang gaya hidup dan proses konsumsi,
lapangan penelitian yang ‘kurang penting’.
serta penggunaan waktu luang. Namun kala Diskursus itu
Veblen
lebih
menyoroti
mengenainya
secara
kepada serampangan hanya menjadi bagian dari
kelompok-kelompok
borjuis
Amerika
topik-topik lain yang “lebih besar” —
Serikat —kelas menengah yang menjadi seolah membahas waktu luang sebagai sangat kaya karena Revolusi Industri
main-topic tersendiri adalah kekonyolan.1
(Storey, 2014: 82)— yang tidak disibukkan Namun pada perkembangan kontemporer dengan bekerja (kasar) tetapi cenderung belakangan ini, topik-topik seputar waktu bergaya hidup boros, menghabiskan waktu luang (leisure), konsumsi (consumption), dan uang secara mencolok (“conspicuous budaya
populer
(popular
culture),
leisure” dan “conspicuous consumption”) kebudayaan generasi muda (youth culture), untuk kegiatan konsumsi barang-barang olahraga (sport), pariwisata (tourism), mewah untuk dipamerkan; yang ia sebut rekreasi
(recreation)
telah
saling
‘kelas pemboros’ (leisure class) (Veblen, berkelindan dan sangat deras mengisi 1899/2007). Sebagian berpendapat, lebih jurnal-jurnal atau laporan ilmiah mengenai tepat karya Veblen itu diberi judul “A Critique of the Leisure Class” karena
Hasil survei ‘status hirarkhi interdisiplin’ yang dilakukan oleh Barbara B. Seater dan Cardell K. Jacobson yang dipublikasikan pada tahun 1976 misalnya membuktikan bahwa sosiologi ‘waktu luang’, ‘olahraga’, dan ‘seni’ (sociology of leisure, sport, and art), 1
menempati urutan ke-35 dari 36 spesialisme sosiologis dalam komunitas besar sosiologi Amerika Serikat (International Social Science Journal, 1982: 171; Tolmie dan Rouncefield, 2013: 3)
2
kondisi sosial kontemporer.2 Di antara
(fetisisme)
sejumlah pemikir mutakhir, ada yang
(Ainiyah, 2013), serta gaya hidup santai
bernada kritis, pesimis, dan sinis, sementara
(Siahaan, 2011; Okiriswandani, 2013).
lainnya
bahkan
Hanya saja, kurang mendapat penekanan
menganggap kegiatan konsumsi pakaian
mengenai definisi generasi muda tersebut,
tertentu atau menonton konser musik
baik itu ‘remaja urban’ atau ‘generasi muda
sebagai sebuah gerakan aktif (Mulhern,
yang lebih tua’ (misalnya, dalam kategori
2000: 171-196; Kellner, 2010; Strinati,
sosial-pendidikan
2003).
mahasiswa). Sebagaimana Graeme Burton
terlampau
optimis,
Adalah hal yang menarik, mengkaji
pernah
komoditas
menggaris
adalah
seorang
bawahi,
bahwa
sesungguhnya
penggunaan waktu luang mereka. Telah ada
cermat terhadap perbedaan generasi muda
sejumlah
yang lebih muda dan yang lebih tua karena
terdahulu
yang
memiliki
ada
simbol
budaya populer pada generasi muda dalam
penelitian
harus
status
pemeriksaan
membahas mengenai penggunaan waktu
keduanya
perbedaan
dalam
luang oleh generasi muda. 3 Pada umumnya,
otonomi, minat-minat kebudayaan, dan
penelitian-penelitian tersebut berkutat pada
bahkan hubungan sosial (Burton, 2012:
perilaku membaca para remaja sebagai
155). Burton menyebutkan bahwa ‘generasi
kegiatan pengisi waktu luang (Sugihartati,
muda’ adalah kategori sosial yang dalam
2010; Hart D., 2011; Sulistyaningrum,
masyarakat merupakan konsumen media
2011; dan Yuwinanto, 2014), atau beragam
serta pengguna pelbagai artefak media dan
perilaku dan gaya hidup mahasiswa seperti
kebudayaan,
memproduksi seperangkat
backpacking (Rahmawati, 2014), pemujaan
2
3
Semisal World Leisure Journal (diterbitkan oleh World Leisure Organization); Journal of Leisure Research (diterbitkan oleh SAGAMORE Publishing); jurnal Leisure Studies dan Leisure Sciences (diterbitkan oleh Routledge Francis & Taylor Group); Australian Journal of Leisure and Recreation; dan lain-lain.
Penelitian terdahulu disini dibatasi dalam konteks penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para akademisi di Universitas Airlangga, Surabaya. Sayangnya, penelitian-penelitian ini kurang mendeskripsikan secara mendalam, dan kurang memiliki landasan konseptual yang kuat mengenai waktu luang (katakanlah secara teoretis).
3
identitas subkultural yang bergeser dan
penggunaan waktu luang pada pemanfaatan
saling berjalin (Burton, 2012: 153).
artefak-artefak
Bisa
dikatakan,
populer
itu
muda
difokuskan pada anak muda, atau generasi
mencolok
muda. Sayangnya, beberapa penelitian
dalam tinjauan cultural studies terhadap
tersebut tidak mengemukakan secara jelas
budaya populer. Sementara, karena dinilai
siapa ‘generasi muda’ itu, meskipun
sebagai sebuah kategori yang sangat
penelitian mereka berkutat pada kategori
mencolok dalam relasinya terhadap budaya
sosial
populer, J. Patrick Williams mengatakan
‘deskriptor’ (Barker, 2005: 364) tersebut.
merupakan
kategori
generasi
budaya
paling
atau
Barker
menyebutnya
fenomena pemuda (youth) paling baik
Selain itu pembahasan mengenai waktu
dipahami sebagai subkultur (subcultural)
luang hanya dibahas sepintas lalu, atau
yang berkaitan dengan konsep-konsep
maksimal
kunci seperti ‘gaya’, ‘resistensi’, ‘ruang’
mengatakan melebih-lebihkan) salah satu
dan
bermasyarakat’
kegiatan sebagai yang utama dalam mengisi
(societal reaction), dan ‘identitas’ dan
waktu luang (seperti misalnya membaca
‘autentisitas’
578).
dan backpacking), sedangkan apa makna
teori subkultul
dan refleksivitas dari waktu luang oleh para
pemuda yang mengangkat isu perlawanan
anggota generasi muda itu sendiri kurang
dan resistensi melalui gaya itu memperoleh
dieksplorasi.
kritikan, misalnya oleh Cohen bahwa
terhadap penggunaan waktu luang —yang
pemuda di tangan mereka (para teoretikus
terbatas pada perilaku membaca sebagai
yang terlalu optimis pada potensi pemuda)
kesenangan; backpacking ala mahasiswa;
selalu menjadi sesuatu yang melampaui diri
mahasiswa santai; dan fetisisme komoditas
mereka (Barker, 2005: 343). Dari beberapa
oleh
penelitian sebelumnya, nampak bahwa
pendekatan untuk memahami penalaran
‘media’,
‘reaksi
(Williams,
Meskipun selanjutnya,
2007:
4
menonjolkan
Selain
mahasiswa—
(untuk
itu,
tidak
penyelidikan
tidak
melalui
praktis mengenai ‘praktik’ penggunaan
mengisi waktu mereka” (Barker, 2005:
waktu
334).
luang
etnometodologis
mereka.
Penelitian
ini ingin melengkapi
Secara
praktis,
diharapkan
dapat
menjadi rujukan berbagai pihak yang —
sejumlah catatan tersebut.
baik karena mengemban suatu kewenangan Tujuan dan Fokus Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
maupun
memiliki
generasi
muda
concern
dapat
terhadap
memanfaatkan
mengeksplorasi penggunaan waktu luang
laporan penelitian ini. Selebihnya, bagi
generasi muda secara etnometodologis.
keperluan studi peneliti secara pribadi,
Fokus dari penelitian adalah mengungkap
laporan ini disusun sebagai pemenuhan
secara
salah satu syarat kelulusan S1 Jurusan
deskriptif
accountability
refleksivitas mereka
dan
terhadap
Sosiologi di Universitas Airlangga.
penggunaan waktu luang. Manfaat Penelitian
2. KAJIAN TEORITIK Pendekatan Etnometodologi
Secara akademis, diharapkan menambah Teori
konstruksi
sosial
digunakan
referensi mengenai studi etnometodologi sebagai pintu masuk untuk melihat realitas, terhadap penggunaan waktu luang oleh yaitu mendeskripsikan bagaimana praktik generasi
muda
di
perkotaan.
Hasil cerdik dan kemampuan mendeskripsikan
penelitian ini juga sebagai jawaban atas waktu luang oleh para anggota beserta pernyataan Chris Barker bahwa selama ini bagaimana proses refleksivitas tentangnya eksplorasi cenderung pada budaya pemuda terbentuk. Konsep kunci yang digunakan
spektakuler, karena “kegagalan eksplorasi
untuk mendeskripsikan dan menganalisa sosiologis
dalam
mencari
apa
yang fenomena tersebut tidak lain merupakan
dilakukan mayoritas anak muda untuk proses
interdependensi
yang
meliputi
praktik, indeksikalitas, accountability, dan 5
refleksivitas lanjut,
(Garfinkel,
di
dalam
1967). praktik
Lebih
yang secara bersamaan menata social
itulah
order.
etnometodologi meyakini bahwa peraturan, tatanan
sosial,
dan
berbagai
Mendefinisikan Waktu Luang Cordes
potensi
dan
Ibrahim
menyebutkan,
sebenarnya
waktu luang dapat dipahami melalui tiga
tercermin. Praktik menunjukkan prosedur
cara. Pertama, waktu luang didefinisikan
yang
anggota,
sebagai ’waktu sisa’ (leisure as residual
merupakan kecukupan syarat metode yang
time) dari waktu untuk subsisten dan
unik (Have, 2002). Indeksikal diadaptasi
eksisten. Kedua, waktu luang sebagai
Garfinkel dari linguistik untuk memaknai
aktivitas (leisure as activities) dimana
segenap bahasa alamiah yang hanya dapat
terdapattahapan-tahapan
psikis
yang
diinterpretasi
mempengaruhi
aktor
dalam
refleksivitas
para
diterapkan
aktor
oleh
jika
para
ditempatkan
pada
seorang
konteks dimana ia digunakan oleh anggota
berkegiatan. Ketiga, waktu luang sebagai
dalam
2008).
keadaan pikiran (leisure as state of mind).
Sementara accountability dipahami sebagai
Oposisi dari waktu luang adalah tanggung
kegiatan keseharian para anggota atau
jawab dan bukannya kerja, sehingga amat
metode yang membuat kegiatan-kegiatan
berbeda dengan waktu luang yang dimaknai
mereka terlihat rasional dan terlaporkan
sebagai waktu sisa.
untuk semua tujuan praktik, yaitu dapat
3. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian
percakapan
dideskripsikan
(Coulon,
(account-able)
sebagai Dalam
organisasi
biasa
kegiatan
penelitian
ini
digunakan
sehari-hari pendekatan
teoretik
etnometodologi,
(Garfinkel, 1967). Refleksivitas dalam dengan
metode
penelitian
kualitatif.
etnometodologi menggambarkan praktik Pendekatan
kualitatif
dapat
yang sekaligus juga merupakan kerangka mengungkapkan secara hidup kaitan antara sosial, sebuah sifat khas kegiatan sosial berbagai gejala sosial, suatu hal yang tidak 6
dapat dicapai oleh penelitian yang bersifat
penelitian (informan) dan lokasi yang
menerangkan (Singarimbun, 1989:11).
menjadi tempat penelitian berlangsung
Selain itu, pendekatan kulaitatif dipilih dengan melihat
(Hendrarso, 2011: 171). Namun demikian,
keunggulan (Moleong,
penelitian etnometodologis ini lebih tertarik
2006:5) dari metodenya yang dirasa sangat
pada kategori generasi muda yang tinggal
relevan
di perkotaan (Kota Surabaya) yang tidak
dan
cocok
untuk
menjawab
pertanyaan penelitian, antara lain:
terlepas
dari
produk-produk
1. Metode kualitatif lebih mudah apabila
populer
dalam
budaya
kesehariannya;
oleh
berhadapan dengan kenyataan yang
karenanya
setting
penelitian
tidak
ganda,
menunjuk
pada
komunitas
atau
2. Metode ini menyajikan secara langsung
perkumpulan tertentu berada melainkan
hakekat peneliti dengan informan,
betul-betul
3. Metode ini lebih peka dan lebih menyesuaikan penajaman
diri
pengaruh
dengan
berdasarkan
kegiatan pelaku-pelaku sosial tertentu.
banyak
bersama
berlangsung
Teknik Penentuan Informan
dan
Informan penelitian
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
ini
seluruhnya
berjumlah 11 orang dan merupakan para mahasiswa (berkuliah di Kota Surabaya)
Lokasi dan Setting Sosial Penelitian Penelitian ini dilakukan di berbagai
yang memiliki ketersediaan saat diminta
tempat, namun masih dalam satu lingkup
untuk diwawancarai oleh peneliti. Mereka
Kota Surabaya (kecuali pada informan
secara sengaja dipilih, dengan mendasarkan
bernama Fiko yang dilakukan di Sidoarjo).
pada pertimbangan variasi data yang
Hal ini berarti lokasi dan setting penelitian
dimungkinkan
bersifat
(Pamungkas, 2016).
fleksibel
ketersediaan
karena
informan.
mengikuti
Setting
untuk
diperoleh
sosial
Para informan ditentukan berdasarkan
bagaimanapun juga ‘melekat’ pada subyek
pilihan peneliti yang mempertimbangkan
7
keberagaman latar
belakang
informan
Prosedur Analisis Data
untuk mengeksplorasi konsep waktu luang
Analisis data merupakan upaya yang
berdasarkan yang mereka maknai sebagai
dilakukan dengan jalan bekerja dengan
tema penting penelitian ini. Oleh karenanya
data, mengorganisasikan data, memilah-
terdapat
lain
milahnya menjadi satuan yang dapat
adalah orang-orang yang termasuk dalam
dikelola, mensintesiskannya, mencari, dan
golongan generasi muda yang lebih tua
menemukan pola, menemukan apa yang
(dalam kisaran usia 19-24 tahun) dan
penting dan apa yang dipelajari, dan
tengah menjalani studi di perguruan tinggi
memutuskan apa yang diceritakan kepada
di
juga
orang lain (Moleong, 2006:248). Oleh
mempertimbangkan keragaman dari sisi
karena itu prosedur analisis data dalam
jenjang angkatan, disiplin ilmu, latar
penelitian ini mencakup proses berikut:
belakang
1. Pengumpulan Data
kategori-kategori
Kota
Surabaya.
sosial
antara
Peneliti
ekonomi,
maupun
keragaman keyakinan agama yang dipeluk
2. Membaca Keseluruhan Data
para informan. Teknik sampling ini disebut
3. Menyajikan Tema-tema
juga dengan maximum variety sampling
4. Menginterpretasi/ Memaknai Data
(Morse, 2009: 290).
5. Reliabilisasi dan Validasi Data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk-bentuk Penggunaan Waktu Luang dan Kekhasan Anggota Tabel 1. Gambaran Kekhasan Anggota Topik
Konteks
Kekhasan Anggota
Pengaruh Gender dalam pengambilan keputusan kesediaan informan
Saat proses penggalian data, terdapat kekhasan anggota untuk memutuskan kesediaan mereka menjadi informan.
Para anggota perempuan, dijumpai adanya sikap defensif dan antisipatif terhadap penelitian yang akan “diberlakukan” kepada mereka. Normalitas yang diupayakan bernada “Tunggu dulu, untuk apa?” Para anggota laki-laki, dijumpai variasi penataan normalitas yang lebih terbuka, dengan nada “Oke, kapanpun kau mau!”
8
Topik
Konteks
Kekhasan Anggota
Tidur: antara kegiatan waktu luang atau bukan
Dijumpai beragam pemaknaan mengenai aktivitas tidur, apakah termasuk penggunaan waktu luang atau bukan
Televisi yang mulai terabaikan
Sementara berbagai rujukan mengatakan televisi merupakan kegiatan waktu luang yang paling populer (Storey, 2006; Burton, 2011), para anggota justru mulai meninggalkan kegiatan ini. Dijumpai beragam pemaknaan mengenai aktivitas mendengarkan musik sambil melakukan kegiatan lain, terutama belajar dan mengerjakan tugas kuliah.
Para anggota yang memaknai tidur bukan sebagai waktu luang, adalah karena waktu tidur sehari-harinya (di malam hari) telah “dikorbankan” oleh berbagai kegiatan. Para anggota yang memandang tidur sebagai waktu luang, dikarenakan: (1) tidur berarti tidak sedang mengerjakan apapun; (2) waktu untuk tidur dapat dimundurkan untuk menjalani kegiatan lainnya; (3) tidur dilakukan setelah mengerjakan kesibukan. Tidur dimaknai sebagai refreshing. Secara umum pada seluruh informan disini, minat menonton televisi mulai surut dan tergantikan oleh beragam kegiatan pengisi waktu luang lainnya, seperti mendengarkan radio, membaca artikel berita-berita online dan social media, bermain game online, atau ‘jalan-jalan’ bersama teman. Namun demikian, sebenarnya ketika mereka sedang berada di rumah, menonton televisi tetaplah menjadi salah satu kegiatan penggunaan waktu luang yang cukup sering dilakukan.
Mendengarkan musik: antara mengganggu dan membantu proses belajar.
Malu-malu menyebutkan pacar
Topik ini difokuskan pada beberapa anggota yang telah memiliki hubungan khusus dengan kawan lawan jenisnya.
Agaknya, baik bagi para informan yang sudah mulai jarang menonton televisi maupun yang agak sering, program acara berita adalah salah satu tontonan yang paling diminati. Terdapat bentuk penalaran praktis nyata yang dilakukan oleh para anggota, yakni melalui tindakan selektif dalam menentukan, apakah mendengarkan musik mengganggu proses belajar atau justru sebaliknya. Pada beberapa anggota, mendengarkan musik sangat mengganggu apabila diperlukan konsentrasi yang tinggi dalam menyerap buku-buku/materi perkuliahan. Pada anggota lainnya, mendengarkan musik dinilai sangat membantu proses belajar. Namun dalam praktiknya, kegiatan ini juga masih dipengaruhi oleh faktor lain, seperti penilaian tentang kepantasan, misalnya saat berada di perpustakaan, sedang berdiskusi, atau di tempat umum. Para anggota tertentu, secara terang-terangan menyebutkan pacar, bahkan bersama-sama dengan pacarnya pada saat proses wawancara menjadi hal yang lumrah mereka lakukan. Para sebagian anggota yang lain, diberlakukan praktik indeksikal untuk meleburkan pengujaran pacar atau kekasih secara lugas, dengan indeksikal itu, dia, ini, teman. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kelancaran proses wawancara (wagu untuk menyebut subjek yang memiliki hubungan khusus dengan anggota tersebut). Para anggota yang menjalankan praktik ini cenderung berasal dari latar belakang keluarga yang religius.
(sumber: Pamungkas, 2016)
Melalui tabel di atas, dapat diketahui bahwasanya terdapat beragam pemaknaan subjektif
yang
menunjukkan
Berdasarkan
potensi
temuan
yang
telah
diungkapkan dalam Pamungkas, 2016,
penalaran praktis para anggota.
maka ditunjukkan bahwa refleksivitas
Refleksivitas Waktu Luang Para Anggota
waktu luang para anggota antara lain: 9
Pertama, ada kesamaan, atau kesenadaan
oleh struktur sosial, sistem nilai dan norma
dalam mengartikan ‘waktu luang’ bagi para
yang
anggota, yakni sebatas sebagai residual
determisistik, namun justru berada dan
time. Kedua, Topik-topik penggunaan
teraktualisasi dalam pengetahuan praktis
artefak budaya populer dalam penggunaan
mereka yang tercermin pada konteks
waktu luang sebagai metode indeksikal
praktik, indeksikalitas, dan accuntability
anggota. Ketiga, adanya kecenderungan
mereka. Diskursus yang dibentuk oleh para
untuk secara dikotomis membedakan antara
anggota memberikan sumbangsih bagi
penggunaan waktu luang secara produktif
tatanan sosial dalam kehidupan sosial
dan kontra-produktif (atau konsumtif).
sehari-hari.
mengekang
mereka
secara
Keempat, kesantaian, kesenangan, atau
Waktu luang selalu diingat, ditandai,
kekosongan dari pekerjaan yang serius
dengan adanya kesempatan untuk bisa
telah dianggap menjadi penanda dari waktu
melakukan hal-hal tertentu yang di luar
luang, sehingga dalam hal tertentu waktu
rutinitas, atau untuk melakukan hal-hal
luang mengalami peyorasi makna. Kelima,
yang disenangi. Ketika sudah tidak ada lagi
adanya
kesempatan untuk melakukan hal tersebut,
kebanggaan
penyebutan-penyebutan
atau
setidaknya
secara
antusias
maka seseorang (sebagaimana penalaran
jika para anggota memiliki sedikit waktu
praktis
luang, atau ‘bangga menjadi sibuk’ atau
mengatakan bahwa ia tidak memiliki waktu
sekadar menceritakan kesibukan mereka.
luang.
Akhirnya refleksivitas para anggota
para
Pengaruh
anggota
disini)
kapitalisme
sebagai “penggila
terhadap waktu luang mereka adalah
pembentuk
sebagai bentuk diskursus konsumtivisme
kerja” yang tidak pernah puas untuk bekerja
yang
dengan
juga menjadi sedikit bahan pertimbangan
modernitas. Diskursus ini bukan dibentuk
disini. Waktu luang sebagai sumber daya
berjalan
beriringan
10
individu-individu
bisa
alami dapat terus dieksploitasi. Karena sifat
Waktu luang tersedot ke dalam dimensi
waktu luang adalah dinikmati sekaligus
konsumtivisme dan dengan demikian ikut
tidak selalu diinginkan sepanjang waktu
andil
(berdasarkan
praktis
konsumtivisme tersebut. Waktu luang demi
anggota, maka memiliki waktu luang
waktu luang tetap diingat sebagai penanda
sepanjang waktu adalah memalukan karena
pembebasan
itu sama saja dengan menganggur tanpa
direlakan demi kesibukan-kesibukan yang
melakukan
Sementara
ada pada para anggota. Waktu luang
menganggur sendiri pun belum tentu dapat
sebagai sebuah simulasi detaumatisasi,
dimaknai sebagai “penggunaan waktu
yakni bagi para anggota keberadaannya
luang”. Hal ini karena waktu luang sekadar
diingat sekaligus direlakan.
cara
penalaran
apa-apa).
dipandang ssbagai residu atau waktu sisa dari waktu kerja atau waktu untuk menjalankan tugas dan kesibukan seharihari. Paham
konsumtivisme
telah
menunjukkan pula adanya benda-benda yang ditambahkan nilai waktu luang. Paham itu mendorong konsumsi artefakartefak budaya populer dengan dukungan teknologi untuk membuat asumsi tentang penggunaan waktu luang yang makin berkualitas seiring dengan perkembangan komoditas
canggih.
Konsumsi
ini
mengandalkan terutama pada waktu luang.
11
di
dalam
namun
diskursus
sekaligus
tentang
juga
Analisis deskriptif berdasarkan data yang
5. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
bergantung
(1.) Bentuk-bentuk penggunaan waktu luang
para
anggota
kegiatan-kegiatan menonton
ditandai
seperti
televisi,
misalnya
waktu luang yang menyangkut pada topik
film,
menonton televisi (dimana ditemukan keunikan bahwa televisi telah mulai
luang ini juga berkaitan erat dengan budaya
ditinggalkan
populer, dimana budaya populer berperan
memiliki
sebagai sumber yang terus-menerus mereka
pada beberapa informan yang menganggap
keunikan-keunikan dan ragam pemahaman
bahwa menonton film adalah kegiatan yang
membuat
hanya membuang-buang waktu di saat
pendeskripsian atasnya menjadi bersifat
banyak generasi muda lainnya yang begitu
thick description sebagaimana menjadi
menggemari kegiatan menonton film),
sebuah tradisi di dalam penelitian kualitatif. secara
mendukung
yang berbeda-beda; serta adanya keunikan
penggunaan waktu luang itu, ditemui pula
yang
dan
laptop mereka, dengan beragam pemaknaan
(anggota secara etnometodologis). Dalam
Aturan-aturan
untuk
anggota
lebih banyak dilakukan secara privat di
natural mereka sesuai keanggotaannya
yang
fungsi
para
film (yang dari pengakuan para anggota
karena bertautan pula dengan bahasa
khas,
oleh
kebersamaan keluarga di rumah), menonton
reproduksi sebagai kekayaan indeksikal
yang
para
menangkap beberapa bentuk penggunaan
mendengarkan musik. Penggunaan waktu
anggota
accountability
anggota dalam level percakapan setidaknya
dengan
menonton
pada
mendengarkan musik (yang bagi sebagian
implisit
besar anak muda merupakan aktivitas yang
diberlakukan oleh para anggota telah
menyenangkan, tetapi pada kasus khusus
bersusaha diungkap, sehingga apa yang
anggota tertentu menyatakan tidak terlalu
tadinya merupakan pengetahuan tacit para
update dan tidak terlalu tahu tentang musik;
anggota telah menjadi eksplisit dalam
serta memiliki spektrum perbedaan makna
proses pendeskripsian dan interpretasinya. 12
dan nilai saat didengarkan sambil belajar
berita online. Hal ini sekaligus semakin
atau mengerjakan tugas). Bahkan aktivitas
menggeser televisi sebagai penggunaan
tidur sebagaimana umumnya berbagai
waktu luang. Selain itu berinternet juga
referensi
dilakukan dalam rangka meng-update film
yang
ditulis
oleh
pakar
menyebutkan kalau hal itu tidak termasuk
dan
waktu luang, para anggota disini sebagian
koordinasi
justru berpendapat bahwa tidur adalah
melalui
kegiatan waktu luang, dengan penalaran
smartphone, dan bermain game online.
praktis
Kegiatan rutin dan menuntut adanya suatu
mereka
yang
masing-masing
musik,
menjaga dengan
aplikasi
berbeda. Kegiatan berpacaran sebagai salah
tanggung
satu bentuk penggunaan waktu luang juga
menjalankannya,
menunjukkan
bekerja
refleksivitas
anggota
hubungan
dan
teman-teman
tim
jejaring
jawab
tertentu
seperti
paruh
sosial
waktu,
di
dalam
berorganisasi, magang,
tertentu, dimana baginya membahas hal itu
berwirausaha,
adalah perbincangan yang membuat malu
penggunaan
waktu
luang
jika
sehingga
menggunakan
kerangka
waktu
luang
melalui
kemampuan
sesungguhnya
atau adalah
berindeksikal, anggota pada kasus khusus
sebatas residual time. Pada tahap ini lah
berusaha mengaburkan penyebutan person
penggunaan waktu luang dengan kegiatan-
pacar di dalam pendeskripsian mereka,
kegiatan rutin dan mengandung tanggung
dengan berbagai istilah lain (seperti “iki”,
jawab
“dia” , “temen”, “temen spesial” dan lain-
paradoks,
lain).
penggunaan waktu luang ke bukan waktu
Penggunaan
waktu
luang
untuk
luang,
akhirnya sebuah
sehingga
memunculkan transformasi
waktu
luang
suatu dari
dapat
berinternet sangat beragam, namun yang
dikatakan dieksploitasi dan merembes pada
mencuat di permukaan adalah maraknya
kegiatan-kegiatan bersifat wajib sekalipun.
pengakuan akan kegemaran membaca
13
(2.) Secara refleksif, waktu luang
mencerminkan metode yang dijalankan
disolilokuikan oleh para anggota budaya
mereka dalam penggunaan waktu luang,
populer secara etnometodologis sesuai
sesuai
penalaran praktis mereka dan kemampuan
Refleksivitas yang diungkap dalam analisis
mereka dalam menata situasi. Waktu luang
berdasarkan asumsi ini antara lain: a)
ini dimungkinkan untuk dianalisis dengan
Penalaran
dua asumsi: pertama, waktu luang sebagai
menampilkan kemampuan analisis profan
praktik yang dijalankan oleh para anggota
untuk menentukan tidur sebagai aktivitas
dan dideskripsikan kembali berdasarkan
waktu luang atau bukan, dengan spektrum
kemampuan accountability para anggota
pemaknaan yang cukup beragam dan tidak
sebagaimana banyak disaksikan di dalam
ditentukan berdasarkan kesibukkan mereka
BAB V; kedua, proses penggalian data
dalam berorganisasi atau bekerja; b)
dimaknai
Kemampuan
sebagai
bentuk
penggunaan
kemampuan
pendeskripsiannya.
praktis
para
selektif
anggota
anggota
dalam
waktu luang oleh para anggota sehingga
menentukan selera tontonan televisi dan
penyelidikan
merupakan
intensitas menonton yang berkaitan juga
investigasi atas realitas sosial yang nyata
dengan situasi tempat tinggal mereka, baik
dan lekat. Peneliti memiliki kesempatan
di kos maupun di rumah;
terhadapnya
yang besar untuk dapat memahami secara
c) Mendengarkan musik membantu
langsung salah satu bentuk penggunaan
proses belajar atau mengerjakan tugas bagi
waktu luang para anggota (secara extra-
sebagian
ordinary dan bukannya bersifat rutinitas),
bersikap lebih selektif dalam hal pemilihan
yakni
lagu, atau sama sekali tidak memutar musik
menggunakan
waktunya
untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini. Pada
asumsi
pertama,
anggota
sementara
lainnya
saat membaca materi perkuliahan; d)
refleksivitas
Menonton film dimaknai sebagai ruang
penggunaan waktu luang para anggota
privat, seringkali menggunakan laptop
14
pribadi dengan beragam alasan para
penggunaan waktu luang menjadi bukan
anggota, sementara refleksivitas lainnya
waktu luang; i) Kuatnya pendefinisian
mengungkapkan menonton film hanya
waktu luang sebatas residual time ole para
membuang-buang
anggota, dan sedikit yang menunjukkan
waktu.
Kekhasan
refleksivitas yang terakhir itu berkaitan
waktu
dengan para anggota yang telah bekerja dan
psikologis dan sebagai state of mind; j)
magang, namun tidak semua anggota yang
Perlunya waktu luang sebatas untuk
bekerja memiliki tipe refeksivitas yang
mempersiapkan
demikian; e) Pada kasus tertentu, adanya
menghadapi rutinitas kesibukan harian
aturan mengaburkan penyebutan pacar
kembali
dalam pendeskripsian anggota yang telah
badan, mempersiapkan urusan domestik
berpacaran yang notabene dilakukan oleh
sebagai
beberapa anggota yang berlatar belakang
memberikan
kehidupan religius yang kental; f) Adanya
mengerjakan tugas, sebagai kesempatan
makna
untuk menghilangkan stres dari kesibukan
kebersamaan
yang
terkandung
dalam kegiatan menonton televisi, terutama
bersama
keluarga;
yang
(untuk
diri
dimaknai
agar
refreshing,
penopang
kegiatan
ketenangan
secara
optimal
ngenakno
publik, untuk
harian, dan seterusnya).
pada saat kegiatan ini berlangsung di rumah dan dilakukan
luang
Masih di dalam konteks pendeskripsian
g)
oleh para anggota, seluruh ujaran mereka
Berinternet secara ekstrem dilakukan lebih
adalah merupakan indeksikal. Oleh karena
sering ketimbang untuk makan dan lebih
itu, penggunaan bahasa natural pada
lama ketimbang waktu tidur para anggota
beberapa informan tidak terlalu menonjol
(waktu untuk berinternet adalah 24 jam
karena sebagian besar porsi percakapannya
dikurangi total jam tidur!);
menggunakan bahasa Indoensia baku.
h) Berorganisasi dan bekerja paruh
Asumsi kedua, penataan situasi yang
waktu sebagai benuk transformasi dari
secara langsung dapat diungkap oleh
15
peneliti antara lain berupa: 1) adanya peran
etnometodologi sendiri merupakan sebuah
konstruksi gender dalam penataan situasi,
kajian terhadap tindakan sosial dan praktik,
misalnya prosedur normalitas yang bersifat
sehingga ketimbang memandang waktu
defensif pada perempuan yang hendak
luang sebatas waktu sisa, pengungkapan
dimintai partisipasinya dalam penelitian
refleksivitas waktu luang para anggota pada
dengan nada “Tunggu, untuk apa?” dan
laporan ini jauh lebih eksploratif. Dengan
memberlakukan
mengadopsi pemahaman konseptual dari
“aturan
kejelasan”;
sementara pada calon informan laki-laki
filsuf
aturan normalitas diterapkan dengan nada
Hardiman mengenai ‘detraumatisasi”, dan
“Baiklah kita lihat saja nanti,” dan “Oke,
“simulasi” oleh Jean P. Baudrillard, pada
kapan saja kau mau!” yang lebih berupa
gilirannya
“kelancaran proses”. 2) Adanya harapan
bahwa
mengenai
waktu luang mereka dengan sifat simulasi
kegiatan
wawancara
yang
dalam
negeri,
laporan
para
ini
anggota
Francisco
Budi
berkesimpulan menyolilokuikan
sempurna, sehingga sikap ‘menegosiasi’,
detraumatisatif
‘mempertanyakan
mengajukan
Namun, bagi paraanggota yang telah
prosedur wawancara sendiri” (Wilentya
bekerja atau mengambil magang atau
yang ingin menulis dulu, setelah itu
berorganisasi,
direkam dengan membacakan tulisannya,
detraumatisasi yang relatif lebih besar
Rianty yang menegosiasi); 3) Adanya sikap
ketimbang para anggota yang hanya
keramahan sebagai ‘tuan rumah’ dalam
berkuliah saja.
menyambut peneliti yang adalah ‘tamu’
Saran/Rekomendasi
dan
saat proses wawancara dilakukan. Dari
seluruh
refleksivitas
secara
memiliki
berkelanjutan.
sifat
simulasi
Dugaan-dugaan ilmiah yang dihasilkan tersebut,
melalui penelitian yang telah dilaporkan
sangat erat hubungannya antara waktu
dalam
luang dan tindakan. Hal ini karena
barangkali
16
skripsi dapat
(Pamungkas, disampaikan
2016) untuk
keperluan penelitian lebih lanjut, misalnya:
eksploitasi terhadap waktu luang, sehingga
(1) Muncul dugaan dan kecurigaan seperti
keberluangan (yang adalah kebutuhan
bagaimana
para
mendasar manusia) akan merembes ke
anggota memikirkan tentang keharusan
dalam bilik-bilik non-waktu luang, ke
menata situasi interaksi, ketika mereka
dalam ruang-ruang rutinitas dan kewajiban-
dimintai menjadi informan (berpartisipasi
kewajiban
dalam penelitian ini) oleh seorang calon
kesadaran
peneliti laki-laki, dan sebaliknya. Agaknya,
terhadap penggunaan waktu luang di era
mereka sedang menjalankan aturan gender.
modern ini, ketimbang pada masa-masa
Jenis
oleh
sebelumnya. Perbandingan historis dan
pengetahuan anggota tentang konstruksi
penyelidikan yang panjang akan mewarnai
gender sesuai commonsense mereka; (2)
pembuktian dugaan ini.
sebagai
situasi
perempuan,
percakapan
Dugaan bahwa
adanya
ditata
seseorang; yang
(3)
semakin
Adanya meningkat
bentuk-bentuk
REFERENSI Bruce, Steve dan Yearley, Steven. The Sage Dictionary of Sociology. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications, 2006, hal. 171 Burton, Graeme. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kajian Televisi (terj.). Yogyakarta: Jalasutra, 2011. Burton, Graeme. Media dan Budaya Populer (terj.). Yogyakarta: Jalasutra, 2012. Coulon, Alain. Etnometodologi (terj.).Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat: Lengge, 2008 (Kelompok GENTA Press). Garfinkel, Harold. Studies in Ethnomethodology. Englewood Cliffs, New Jersey: PRENTICEHALL, Inc., 1967. Hart D., Agung. Perilaku Membaca Siswa SMP sebagai Pengisi Waktu Luang (Leisure Time Reading) di Surabaya. Universitas Airlangga, Surabaya: skripsi, tidak diterbitkan. 2011. Kellner, Douglas. Budaya Media (terj.). Yogyakarta: Jalasutra, 2010. Moleong, L. J. 2006. Metodologi Penelitan Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
17
Pamungkas, Nugroho Rinadi. Solilokui Waktu Luang: Sebuah Praktik “Anggota” Budaya Populer dan Diskursus Konsumtivisme. Universitas Airlangga, Surabaya: skripsi, tidak diterbitkan. 2016. Rahmawati. Backpacking Ala Mahasiswa: Studi Deskriptif tentang Gaya Hidup pada Mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya. Universitas Airlangga, Surabaya: skripsi, tidak diterbitkan. 2014. Singarimbun, M. dan Effendi, S., (ed). 1989. Metode Penelitian Survai. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta. Storey, John. From Popular Culture to Everyday Life. London dan New York: Routledge, 2014. Hal. 82. Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang Budaya. Sugihartati, Rahma. Membaca, Gaya Hidup, dan Kapitalisme: Kajian Reading for Pleasure dari Perspektif Cultural Studies. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Tolmie, Peter dan Mark Rouncefield. Ethnomethodology at Play. Surrey, England: Ashgate, 2013. Veblen, Thorstein.The Theory of the Leisure Class (Oxford World’s Classics). New York: Oxford University Press, 1899/2007. Williams, J. Patrick. “Youth-Subcultural Studies: Sociological Traditions and Core Concepts”, dalam Sociology Compass 1/2 (2007): 572-593, Journal Compilation Blackwell Publishing Ltd, 2007. Yuwinanto, Helmy Prasetyo, dkk. Pengembangan Literasi dan Perilaku Gemar Membaca Remaja. Universitas Airlangga, Surabaya: laporan penelitian, tidak diterbitkan. 2013.
18