KEMISKINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI PEMBANGUNAN Triana Sofiani1 Endang Hernanik2
Abstract: Women are not getting a balanced distribution of development cake with men. This happens because the orientation of development still relies on macro economic growth, precisely to make women more marginalized in the frame construction. Further implication is the face of poverty attach to female faces. With the approach to women’s empowerment are expected to have the capacity or ability to improve the independence and strength of him. So that women no longer serve as objects of development but as actors of development activities toward independence. Kata Kunci: Perempuan, Pembangunan, Kemiskinan, Pemberdayaan
PENDAHULUAN Pembangunan adalah suatu proses perubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan, dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka (Rogers, 1983 dalam Nasution, 28). Pembangunan sebagai suatu kegiatan nyata dan berencana untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Oleh karena itulah tujuan umum (Goals) pembangunan proyeksi terjauh dari harapan-harapan dan ideide manusia komponen-komponen dari yang terbaik yang mungkin atau masyarakat ideal yang dapat dibayangkan. Sedangkan tujuan khusus pembangunan adalah tujuan jangka pendek, biasanya yang ditulis sebagai tingkat pencapaian sasaran dari suatu bangsa tertentu (Suld and Tyson, 1987 dalam Nasution (2002:28). Logika politik pembangunan adalah untuk memperbaiki kondisi yang tidak baik menjadi baik dan meningkatkan kondisi yang baik menjadi lebih baik. Komitmen dan semangat membangun merupakan langkah penting sebagai langkah maju dalam rangka memperbaiki keadaan baik ekonomi, politik, ketatanegaraan, dan lain-lain. Karena pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses dinamis yang senantiasa berkembang terus dalam menjawab tuntutan kebutuhan serta kondisi perkembangan jaman, demikian pula halnya dengan konsep-konsep dan gagasan yang mendasarinya, akan terus mengalami penyempurnaan (Sulistiyani, 2004 : 42). Akan tetapi, apakah yang dikemukakan sebagaimana di atas secara riil telah sesuai dengan yang diharapkan?. Ini menjadi pertanyaan besar yang harus dicari dan di evaluasi oleh segenap jajaran pelaku pembangunan. Sebagaimana yang kita ketahui dalam realitas masyarakat kita, bahwa strategi pembangunan yang di usung oleh bangsa ini, ternyata belum dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat, 1. Sekretaris PSG STAIN Pekalongan, sedang melanjutkan Program Doktor (s3) Ilmu Hukum di Unibraw Malang. 2. Staf Pengajar pada Balai Diklat Depdagri PMD Malang, Lulusan S2 Magister Administrasi Pemerintahan Unibraw Malang.
342
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
terutama masyarakat marginal yang dalam hal ini adalah kaum perempuan. “ Wajah kemiskinan adalah wajah perempuan”. Ini adalah sebuah realitas. Munculnya wacana tersebut juga bukan tanpa sebab, karena merupakan “simbol” dari kegelisahan yang lahir dari realitas dalam kehidupan keseharian masyarakat di sekitar kita. Kegelisahan semakin mengerucut ketika kita menelusuri, realitas antrian minyak tanah, bantuan langsung tunai, antrian di puskesmas dan realitas jumlah penduduk miskin yang didominasi oleh perempuan. Dengan kata yang lebih ekstrim dapat dikatakan bahwa “ perempuan lebih miskin dari laki-laki yang paling miskin sekalipun”. Akhirnya pertanyaan yang sering muncul adalah, Mengapa hal tersebut terjadi?. Apakah karena strategi pembanguan belum menyentuh kaum perempuan?. Inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. PEMBAHASAN A. Pembangunan : Konsep Dan Paradigma. Istilah development sebagai suatu kerangka berfikir yang konseptual atau conceptual frame work merupakan fenomena pasca PD II. Menurut Rogers (1983) dalam Nasution (2002:28), Pembangunan adalah suatu proses perubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan, dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka (Rogers, 1983 dalam Nasution, 28). Pembangunan sebagai suatu kegiatan nyata dan berencana untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Oleh karena itulah tujuan umum (Goals) pembangunan proyeksi terjauh dari harapan-harapan dan ide-ide manusia komponen-komponen dari yang terbaik yang mungkin atau masyarakat ideal yang dapat dibayangkan. Sedangkan tujuan khusus pembangunan adalah tujuan jangka pendek, biasanya yang ditulis sebagai tingkat pencapaian sasaran dari suatu bangsa tertentu (Suld and Tyson, 1987 dalam Nasution (2002:28). Ada beberapa paradigma dalam pembangunan, antara lain: Pertama, paradigma pertumbuhan (growth paradigma) merupakan asas pemikiran yang memperjuangkan terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan negara, dengan demikian akan mampu mengejar ketertinggalan. Sasaran utama dari paradigma pertumbuhan adalah untuk menciptakan kondisi masyarakat dan negara lebih baik dengan mengusahakan adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan Negara (Sulistiyani, 2004:43). Pemerintah Indonesia dan negara sedang berkembang lainnya seperti di Malaysia telah menerapkan paradigma pertumbuhan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas dan pemerataan pendapatan (Sulistyani 2004:44). Di Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan ini telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi belum mampu mengatasi masalah kemiskinan secara tuntas. Menurut Sulistyani (2004:43) paradigma pertumbuhan ini disisi lain ada eksternalitas negatif yang tidak diharapkan yaitu jurang pemisah yang cukup lebar antara si kaya dan si miskin. Teori pembangunan yang paling menekankan peningkatan pendapatan per kapita ini mempunyai asumsi, bahwa kalau sudah terjadi peningkatan pada suatu sektor, selanjutnya akan terjadi apa yang disebut sebagai efek menetes ke bawah atau trickle-down effect. Menurut Nasution (2002:47) pendekatan pertumbuhan (economic growth development) dengan tetesan ke bawah (trickle down effect) yang begitu dominan kandas di tengah jalan. Pembangunan yang lebih menonjolkan infrastruktur fisik justru memunculkan ketimpangan sosial ekonomi secara meluas. Pembangunan yang dilakukan membawa implikasi munculnya disparatis dan ketergantungan. Pada intinya pertumbuhan pendapatan tersebut tidak disertai pendapatan masyarakat. Ide tetesan ke bawah tidak dapat diwujudkan dengan proporsional, karena pertumbuhan yang terjadi hanya dinikmati kaum elit sedangkan masyarakat kecil hanyalah menerima sebagian kecil dari efek pertumbuhan ekonomi. Pembangunan yang seharusnya menempatkan kaum miskin dan tidak berdaya menjadi prioritas, tetapi pembangunan berbasis pertumbuhan justru memperlakukan pemilik modal sebagai “primadona” yang dibanjiri fasilitas dan kemudahan. Kemiskinan Perempuan dalam Bingkai Pembangunan (Triana Sofiani dan Endang Hernanik)
343
Kedua, paradigma berkelanjutan. Adanya kenyataan bahwa hasil-hasil pembangunan tidak dapat dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat telah mengkondisikan ketimpangan dan ketergantungan. Maka pemerintah menerapkan paradigma baru yaitu paradigma pembangunan berkelanjutan (Sulistiyani, 2004:63). Paradigma pembangunan berkelanjutan menawarkan konsep pembangunan yang bersifat ramah lingkungan, pada dasarnya pembangunan hendaknya memperhatikan masalah sumber daya yang bersifat renewable/ non-renewable. Dengan demikian pemakaian segenap potensi dan study pembangunan akan disertai dengan kebijakan pemeliharaan dan pemulihannya (Sulistyani, 2004:63). Ketiga, paradigma Human Development. Belajar dari kegagalan maka pendekatan pembangunan digunakan paradigma baru yang lebih humanize yaitu pendekatan pembangunan yang memperhatikan lingkungan dan pembangunan berwajah manusiawi. Pendekatan ini memprioritaskan pembangunan sosial dan lingkungan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dengan strategi Sustainable development. Pembangunan berpihak kepada rakyat bukan elite penguasa. Dengan demikian konsentrasi pembangunan lebih pada ekonomi kerakyatan, dengan mengedepankan fasilitas pembangunan usaha kaum lemah. Pembangunan yang berbasis manusia mencakup pembangunan masyarakat (community based development) dan pembangunan manusia (people centered development). Paradigma kemanusiaan ini mencoba mengangkat martabat manusia sebagaimana mestinya sebagai makhluk yang memiliki harga diri, memiliki kemampuan intelegensi dan sekaligus memiliki perasaan. Manusia tidak dapat disamakan dengan alat produksi untuk melipatgandakan hasil semata, melainkan manusia hendaknya dihargai dan dihormati, dengan cara meningkatkan kualitas SDM akan menempatkan manusia pada martabat yang lebih baik. B. Kemiskinan Perempuan, Mengapa Terjadi? Masalah kemiskinan merupakan isu sentral di tanah air, terutama setelah Indonesia dilanda krisis multidimensional. Definisi umum kemiskinan adalah bilamana masyarakat berada suatu kondisi yang serba terbatas baik dalam aksesbilitas pada faktor produksi, peluang/ kesempatan berusaha, pendidikan, dan fasilitas hidup lainnya. Sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha menjadi sangat terbatas (Sulistyani, 2004:17). Nurkse mensinyalir bahwa “a poor country is poor because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin), (Kuncoro). Selanjutnya dijelaskan bahwa kemiskinan itu merupakan suatu lingkaran yang disebutnya dengan lingkaran kemiskinan yang mengemukakan bahwa kemiskinan diawali oleh faktor eksternal/ struktural ketidaksempurnaan pasar, pembangunan di bawah standar, dan keterbelakangan dan faktor internal pelaku pembangunan (kurangnya modal) yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas menyebabkan pendapatan riil rendah, yang mengakibatkan rendahnya tingkat tabungan, dan kemudian berujung pada rendahnya investasi. Ciri-ciri kemiskinan menurut SMERU dalam Suharto 2005:132. 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan). 2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi). 3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. 5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. 6. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9. Ketidakmampuan dan ketidak beruntungan sosial (anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
344
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
1. 2. 3. 4.
Ada 4 bentuk kemiskinan menurut Jamasi (2004:30-31) antara lain: Kemiskinan absolut yaitu apabila tingkat pendapatannya dibawah “garis kemiskinan” atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kemiskinan relatif adalah kondisi dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan struktural adalah kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan dalam pembangunan. Kemiskinan kultural karena mengacu kepada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun pihak luar telah berusaha membantunya.
Sharp,et,al (1996: 173-191) dalam Kuncoro (2003:131-132) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menyebabkan distribusi sumber daya yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas. Kedua kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Sennet dan Cabb (1972) dan Conway (1979) dalam Sulistiyani 2004 menyatakan bahwa ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti : ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional (Suharto, 1972). Pada teoritis, Seeman (1985), Seligman (1972), dan Learner (1986) dalam Sulistiyani 2004 meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka sebagai lemah, dan tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian. Berangkat dari pernyataan di atas, maka kemiskinan perempuan juga terjadi karena sebab – sebab tersebut. Dalam konteks yang pertama, dimana kemiskinan terjadi karena ketidaksamaan pemilikan sumberdaya atau adanya ketimpangan dalam distribusi dumberdaya. Dalam hal ini perempuan yang dalam realitasnya adalah warga kelas dua dan bukan sebagai pemegang sumberdya utama dalam keluarga, sehingga akses perempuan terhadap sumberdaya keluarga maupun masyarakat juga tidak ada. Selanjutnya, kualitas sumberdaya perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, alih-alih perempuan dalam tingkat pendidikan dan ketrampilan adalah lebih rendah dari laki-laki, sehingga ketika ketika perempuan masuk ke pasar kerja, juga akan berupah rendah dan masuk dalam sektor-sektor kerja pinggiran, informal. Ketiadaan pengalaman dalam arena publik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial dan juga ketiadaan pelatihan-pelatihan terhadap perempuan, menjadi penyebab perempuan semakin tidak berdaya dan semakin miskin. Pembangunan yang belum berpihak pada perempuan semakin memperpuruk wajah kemiskinan perempuan dalam berbagai sektor. Padahal sebagaimana yang diamanahkan oleh UUD 1945 dalam pasal 27 ayat 2, bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, dan pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Hal itu menyiratkan bahwa wanita mempunyai hak dan kewajiban, serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang. Pemberdayaan wanita sebagai mitra sejajar pria adalah kondisi dimana pria dan wanita memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling membantu dan mengisi di semua bidang kehidupan (Tan. 1995 dalam Pranaka 1996:201). Kemiskinan Perempuan dalam Bingkai Pembangunan (Triana Sofiani dan Endang Hernanik)
345
Pendekatan pembangunan yang berkaitan dengan kedudukan pria dan wanita dalam pembangunan (Women in Development/WID) antara lain dikaji oleh Moser (1989:1993 : 55-79) dalam pranaka (1996:199) yang mengemukakan lima pendekatan sebagai berikut : (1) Pendekatan kesejahteraan (Welfare), (2) Pendekatan kesamaan (Equity), (3) Pendekatan anti kemiskinan (anti poverty), (4) Pendekatan efisiensi (efficiency), dan (5) Pendekatan pemberdayaan (empowerment). Tiap pendekatan dievaluasi dalam konteks pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Pendekatan kelima yaitu pendekatan pemberdayaan, menekankan fakta bahwa wanita mengalami penekanan yang berbeda menurut bangsa, kelas sosial, sejarah penjajahan kolonial, dan kedudukan dalam ekonomi internasional pada masa kini. Dengan demikian wanita tetap harus menantang struktur dan situasi yang menekannya secara bersama pada tingkat yang berbeda. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya bagi wanita untuk meningkatkan keberdayaanya dan mengartikan pemberdayaan bukan dalam konteks mendominasi orang lain dengan makna apa yang diperoleh wanita akan merupakan kehilangan bagi laki-laki, melainkan menempatkan pemberdayaan dalam arti kecakapan atau kemampuan wanita untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan dirinya. Akan tetapi pendekatan pembangunan yang masih beorientasi pertumbuhan sebagaimana di atas, dalam realitasnya masih meminggirkan kaum perempuan dalam berbagai segi, sehingga wajah kemiskinan melekat pada wajah kaum perempuan. Misalnya, dibidang ketenagakerjaan, angka partisipasi angkatan kerja perempuan cenderung pada sektor informal, mengingat pendidikan mereka yang masih rendah, dibidang ekonomi perempuan sangat minim dalam memperoleh akses perkreditan. Perempuan bukan dijadikan pelaku ekonomi tetapi dijadikan obyek dalam kegiatan ekonomi masyarakat, akibatnya perempuan sangat tertinggal dalam aktivitas ekonomi, padahal potensi perempuan dalam mendukung ekonomi keluarga sudah nyata dan kuat (Balai PMD Mlg, 2006). Program pembangunan yang ditujukan kepada perempuan terutama yang bertujuan meningkatkan pendapatan disamping memenuhi kebutuhan dasar, masih kurang. C. Pemberdayaan: Pendekatan Pembangunan dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraann Kaum Perempuan Menurut pranaka (1996: 215) perempuan yang berdaya tidak mau hanya mengorbankan diri untuk orang lain dengan mengorbankan dirinya, tidak mau tergantung pada belas kasihan dan persetujuan orang lain. Wanita yang berdaya tidak mau tenggelam atau melarikan diri dari permasalahan, tetapi ingin menyelesaikan masalah secara bersama. Hasil studi kasus di Amerika Latin memperlihatkan bahwa wanita dapat berdaya melalui pembentukan organisasi atau kelompoknya yang beraneka ragam tujuannya (Flora, 1987:234; Seitz, 1995:202-203 dalam Pranaka (1996, 219). Wanita yang bekerja dengan wanita lain dalam organisasi atau kelompok akan menjadi lebih berdaya, jaringan kerja dan berorganisasi merupakan tindakan kolektif yang cenderung memperkuat proses pemberdayaan wanita. Dalam kerangka pemikiran itu upaya memberdayakan perempuan haruslah pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi mereka berkembang. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap mausia, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah untuk membangun daya itu dengan mendorong, memotivasi, membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta upaya untuk mengembangkannya. Dengan diikuti memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut(Sunartiyah, 2004). Sebagai Strategi pembangunan pemberdayaan memiliki makna yang lebih luas dari hanya sekedar pemenuhan dasar (basic need) masyarakat atau menyediakan mekanisme untuk mencegah terjadinya proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), tetapi berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan masyarakat yang berkeadilan sosial. Konsep ini disebut dengan alternative development yang menghendaki adanya pembangunan berfokus pada nilai-nilai demokrasi (inclusive democracy), pertumbuhan ekonomi (app’opriate economic growth), persamaan gender (gender equety) dan persamaan antar generasi (intergenerational equity).
346
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
Dengan demikian pada dasarnya pemberdayaan merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum nilai-nilai sosial. Menurut Pranaka dan priyono (1996:17) konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yakni yang bermakna people centered, participatory, empowering and sustainable artinya pembangunan yang berfokus kepada masyarakat sebagai subyek, peran serta partisipasi masyarakat memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat dan berkelanjutan sehingga pada akhirnya akan menyebabkan beralihnya fungsi individu yang semula sebagai obyek menjadi subyek baru (Chambers, 1996:22). Guna melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi: a. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis. b. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, menyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing. c. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/atau keluarga. Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari “keumuman” kerapkali sebagai “deviant” (penyimpang). Mereka sering kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5 P, yaitu Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan (Suharto, 1997:218-219) dalam Sulistiyani, 2004. a. Pemungkinan : menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat. b. Penguatan : memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka. c. Perlindungan : melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. d. Penyokongan : memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan. e. Pemeliharaan : Memelihara kondisi yang kondusif, karena pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. Menurut Tjokrowinoto (l985:3-5) dalam Pranaka (1996:187) Proses pendidikan tidak hanya mentransfer pengetahuan, ketrampilan dan tata nilai tertentu juga berfungsi mengalokasikan peranan dengan mengantarkan subyeknya untuk menduduki posisi sosial tertentu. Jadi pendidikan dapat mengubah persepsi seseorang tentang posisi normatif diruang sosial, ekonomi dan budaya. Pada hakekatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana/ iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Logika ini didasarkan asumsi bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tidak memiliki daya. Setiap masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka Kemiskinan Perempuan dalam Bingkai Pembangunan (Triana Sofiani dan Endang Hernanik)
347
tidak menyadari, atau daya tersebut masih belum dapat diketahui secara eksplisit. Oleh karena itu dengan itu masih harus diganti dan kemudian dikembangkan. Jika asumsi ini yang berkembang maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Disamping itu pemberdayaan hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam lingkup ketergantungan, pemberdayaan harus mengantarkan pada proses kemandirian. Menurut Sumodiningrat (1997:49-50) strategi dalam penanggulangan kemiskinan antara lain adalah pemihakan dan pemberdayaan masyarakat, proses ini diarahkan agar setiap upaya penanggulangan kemiskinan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal. Pemberdayaan yang merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat, lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat. Paradigma pembangunan yang memberikan kedaulatan kepada rakyat untuk menentukan pilihan kegiatan yang paling sesuai bagi kemajuan diri mereka masing-masing. Setiap upaya pembangunan diarahkan pada penciptaan lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kehidupan yang jauh lebih baik, dan sekaligus memperluas pilihan yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat. Pemikiran itu pada dasarnya menempatkan masyarakat atau rakyat sebagai pusat perhatian dan sekaligus sebagai pelaku utama pembangunan (Sumodiningrat : 1997 : 4-5). Pemberdayaan merupakan usaha untuk menumbuhkan keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas keatas, serta memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang merasa berdaya. Keinginan untuk merubah yang datang dari dalam dirinya muncul jika seseorang merasa berada dalam situasi tertekan dan kemudian menyadari atau mengetahui sumbersumber tersebut. Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan merupakan upaya untuk meningkatkan kemandirian, keswadayaan dan keberdayaan masyarakat sesuai potensi yang dimilikinya secara utuh dan komprehensif guna meningkatkan harkat dan martabat manusia. Kemandirian adalah kemampuan mengakomodasi sifat-sifat baik manusia untuk ditampilkan didalam sikap dan perilaku yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh seorang individu. Individu yang memiliki kemandirian akan memiliki dan menunjukkan sifat dan sikap rajin, senang bekerja, sanggub bekerja keras, tekun, berdisiplin, berani berebut kesempatan, jujur, mampu bersaing dan bekerjasama, dapat dipercaya dan mempercayai orang lain, tidak mudah putus asa dan berusaha mengenali kelemahan dan kekurangannya dan berusaha menolong dirinya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Keswadayaan dipahami sebagai semangat yakni upaya yang didasarkan pada sumberdaya yang dimiliki. Keswadayaan berarti juga semangat untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada pihak luar atau kekuatan dari atas (Raharjo,1992 dalam Mubyarto, 1992 :74). Sunartiningsih (2004) menyatakan keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun selain hal fisik seperti tersebut diatas ada pula nilai-nilai intrisik seperti kekeluargaan, kegotongroyongan,dan kebhinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dalam mencapai tujuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang didalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Dengan demikian dalam proses mewujudkan mewujudkan kemandirian, keswadayaan dan keberdayaan manusia baik individu maupun kelompok organisasi terus menerus berusaha mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya baik itu sikap dan perilaku yang baik dan positif, semangat untuk membebaskan diri dari ketergantungan pihak luar maupun kemampuan untuk bersenyawa dalam masyarakat membangun daya, sebab pada hakekatnya inti keberdayaan sesungguhnya berasal pada diri manusia/masyarakat (Mubyarto, 1992 :202). Sedangkan dari luar diri manusia/masyarakat hanyalah berfungsi sebagai stimulus, perangsang munculnya semangat atau dorongan pada diri manusia untuk 348
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
memberdayakan dirinya sendiri, untuk mengendalikan dirinya sendiri, untuk mengembangkan dirinya sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki (Kartasasmita, 1996:220). Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Lebih lanjut perlu ditelusuri perlu ditelusuri apa yang sesungguhnya dimaknai sebagai sebagai suatu masyarakat yang mandiri. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif dengan pengerahan sumberdaya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut. Untuk menjadi mandiri perlu dukungan kemampuan berupa sumberdaya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif dan sumberdaya lainnya yang bersifat fisik- material. Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Menurut Sulistiyani tahap-tahap yang harus dilalui meliputi : a. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. b. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran didalam pembangunan. c. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Pelaku-pelaku didalam pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat yang belum berkembang, yang dalam hal ini adalah perempuan sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan baik pemerintah, swasta atau pihak-pihak lain. Setiap upaya pemberdayaan yang dilakukan baik oleh pemerintah, swasta atau pihak-pihak yang peduli kepada masyarakat, upaya itu harus dipandang sebagai sebuah upaya pemacu untuk menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat (Sumodiningrat 1997:5). Dengan memahami pembangunan sebagai perubahan struktur, upaya peningkatan kemampuan masyarakat, penguasaan teknologi dan pemupukan modal yang benar merupakan kunci dari pengembangan ekonomi rakyat yang tumbuh berkembang. Beberapa pendekatan yang mungkin bisa diterapkan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat menurut Kartasasmita (l996:189) yaitu : a. Upaya pemberdayaan masyarakat harus terarah (targeted) atau pemihakan kepada masyarakat miskin/ lemah. b. Pendekatan kelompok, untuk memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi bersama-sama. c. Pendampingan, selama proses pemberdayaan yang dilakukan dengan pembentukan kelompok masyarakat dilakukan oleh Pendamping yang sifatnya lokal, teknis dan khusus. Sedangkan menurut Friedman (1992:116) dalam Pranaka (1996:227) yang penting diperhatikan dalam pemberdayaan perempuan adalah : a. Menghemat waktu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, misalnya dengan cara mengatasi permasalahan untuk mendapat air dan bahan bakar, fasilitas penitipan bayi dan anak, dan sebagainya. b. Memperbaiki pelayanan kesehatan, termasuk penerangan keluarga dan mempunyai akses-akses atas pelayanan dan penggunaan peralatan secara mudah. c. Menguasai pengetahuan, ketrampilan dan informasi yang berkaitan dengan tugas-tugas wanita. d. Memperluas kesempatan meningkatkan pendapatan yang berasal dari hasil bumi, peternakan atau usaha lainnya yang menjamin wanita dapat mengontrol/mengendalikan pendapatannya sendiri.
Kemiskinan Perempuan dalam Bingkai Pembangunan (Triana Sofiani dan Endang Hernanik)
349
Adapun kajian pengelolaan pendekatan pemberdayaan perempuan yang ditawarkan oleh Cook & Steve menggunakan metode ACTORS adalah dengan mengacu kerangka dasar yang dapat diuraikan sebgai berikut : a. Authority (wewenang) dengan memberikan kepercayaan. Yaitu dimana kelompok/masyarakat diberikan kewenangan untuk merubah pendirian atau semangat (etos kerja) menjadi suatu milik mereka sendiri. Dengan demikian mereka merasa perubahan yang dilakukan adalah hasil produk dari keinginan mereka untuk menuju perubahan yang lebih baik; b. Confidence and Competence (rasa percaya diri dan kemampuan). Yaitu menimbulkan rasa percaya diri dan melihat kemampuan mereka untuk dapat merubah keadaan; c. Trust (keyakinan). Yaitu menimbulkan keyakinan bahwa mereka mempunyai potensi untuk merubah dan mereka harus bisa. d. Opportunity (kesempatan). Yaitu memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memilih apa yang menjadi keinginan sehingga mereka dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang ada dalam diri masyarakat itu sendiri; e. Responsibilities (tanggung Jawab). Yaitu dalam melakukan perubahan harus melalui pengelolaan sehingga dilakukan dengan penuh tanggung jawab untuk berubah menjadi lebih baik; f. Support (dukungan). Yaitu perlu adanya dukungan dari berbagai pihak untuk menjadikan lebih baik. Dalam kajian ini dukungan yang diharapkan selain dan sisi ekonomis, budaya, sosial dan sebagainya yang akan dilakukan secara simultan tanpa dominasi salah satu faktor. Dengan demikian dalam proses mewujudkan mewujudkan kemandirian, keswadayaan dan keberdayaan manusia baik individu maupun kelompok, organisasi terus menerus berusaha mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya baik itu sikap dan perilaku yang baik dan positif, semangat untuk membebaskan diri dari ketergantungan pihak luar maupun kemampuan untuk bersenyawa dalam masyarakat membangun daya, sebab pada hakekatnya inti keberdayaan sesungguhnya berasal pada diri manusia/masyarakat (Mubyarto, 1992 :202). Sedangkan dari luar diri manusia/masyarakat hanyalah berfungsi sebagai stimulus, perangsang munculnya semangat atau dorongan pada diri manusia untuk memberdayakan dirinya sendiri, untuk mengendalikan dirinya sendiri, untuk mengembangkan dirinya sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki (Kartasasmita, 1996:220). Dalam upaya pemberdayaan masyarakat organisasi pelaksana harus mempunyai kemampuan untuk menyediakan mekanisme untuk mengkonversikan aspirasi dan kebutuhan obyektif masyarakat menjadi keputusan organisasi, melengkapi organisasi dengan berbagai sumber-sumber dan memobilisasikannya untuk dapat memenuhi tuntutan pelaksanaan program sedemikian rupa sehingga out put program tersebut akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ada beberapa model pemberdayaan masyarakat dus perempuan yang menjadi pola acuan, ragam, macam upaya peningkatan kemampuan dan kemandirian sehingga orang atau lembaga yang bersangkutan mampu mengembangkan kemampuannya secara optimal. Beberapa model pemberdayaan masyarakat antara lain model People Centre Development, model lingkaran setan kemiskinan, model kemitraan, model grameen bank dan model Sri Mahila SEWA Sahakari Bank. Model People Centre Development Menurut model ini pembangunan kualitas manusia adalah upaya meningkatkan kapasitas manusia untuk mempengaruhi dan mengatur masa depannya. Model pembangunan ini disebut Korten (1984) dalam Suryono (2006:24) sebagai People Centre Development. Model ini mencoba mengangkat martabat manusia sebagaimana mestinya sebagai makhluk yang memiliki harga diri, memiliki kemampuan intelegensi dan sekaligus memiliki perasaan. Manusia tidak dapat disamakan dengan alat produksi untuk melipatgandakan hasil semata, melainkan manusia hendaknya dihargai dan dihormati, dengan cara meningkatkan kualitas SDM akan menempatkan manusia pada martabat yang lebih baik. 350
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
Contoh program yang menerapkan model ini antara lain program Inprese Desa tertinggal (IDT), Proyek Kawasan Terpadu (PKT), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Beras untuk orang miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program-program tersebut dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan dan membantu masyarakat agar bisa keluar dari perangkap kemiskinan. Namun demikian program-program tersebut sedikit banyak telah mengalami kegagalan, sebagaimana diidentifikasi oleh Sutrisno (1997) dalam Suryono (2006) bahwa sebab-sebab kegagalan itu diantaranya: (1) program itu direncanakan pemerintah atas dasar persepsi dan asumsi yang keliru terhadap sebab munculnya kemiskinan; (2) perencanaan program anti kemiskinan dilakukan secara uniform; (3) lemahnya monitoring pemerintah terhadap pelaksanaan program anti kemiskinan; (4) kurangnya dukungan penelitian perihal masalah-masalah kemiskinan; (5) tertutupnya sikap pemerintah terhadap masalah-masalah kemiskinan; (6) justru melahirkan sikap ketergantungan dari masyarakat terhadap pemerintah. Model Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse Nurkse mensinyalir bahwa “a poor country is poor because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin), (Kuncoro, 2003:132). Selanjutnya dijelaskan bahwa kemiskinan itu merupakan suatu lingkaran yang disebutnya dengan lingkaran kemiskinan yang mengemukakan bahwa kemiskinan diawali adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan beimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya. Logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse, ekonom pembangunan ternama ditahun 1953. Negara berkembang sampai kini masih saja memiliki ciri-ciri terutama sulitnya mengelola pasar dalam negerinya menjadi pasar persaingan yang lebih sempurna. Ketika mereka tidak dapat mengelola pembangunan ekonomi, maka kecenderungan kapital dapat terjadi, diikuti engan rendahnya produktivitas, turunnya pendapatan riil, rendahnya tabungan dan investasi mengalami penurunan sehingga melingkar ulang menuju keadaan kurangnya modal. Demikian seterusnya berputar. Oleh karena itu setiap usaha memerangi kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong lingkaran dan perangkap kemiskinan ini. Model Kemitraan Kemitraan dilihat dari perspektif etimologis diadaptasi dari kata partnership, dan berasal dari akar kata partner. Partner dapat diterjemahkan “pasangan, jodoh, sekutu”. Sedangkan partnership diterjemahkan menjadi persekutuan atau perkongsian. Bertolak dari sini maka kemitraan dapat dimaknai sebagai suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu ikatan kerjasama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas disuatu bidang usaha tertentu, atau tujuan tertentu, sehingga memperoleh hasil yang lebih baik. Bertolak dari pengertian tersebut maka kemitraan dapat terbentuk apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) ada dua pihak atau lebih; (2) memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan; (3) ada kesepakatan; (4) saling membutuhkan. Tujuan kemitraan adalah untuk memcapai hasil yang lebih baik dengan saling memberikan manfaat antar pihak yang bermitra. Dengan demikian kemitraan hendaknya memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang bermitra, dan bukan sebaliknya ada satu pihak yang dirugikan dan merugikan. Kemitraan dapat dilakukan oleh pihak-pihak baik perseorangan maupun badan hukum, atau kelompok-kelompok. Adapun pihak-pihak yang bermitra dapat memiliki status yang setara atau subordinate, memiliki kesamaan misi atau misis yang berbeda tetapi saling melengkapi secara fungsional. Kemitraan dibedakan menjadi: (1) Kemitraan semu yaitu merupakan sebuah persekutuan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, namun tidak sesungguhnya melakukan kerjasama secara seimbang Kemiskinan Perempuan dalam Bingkai Pembangunan (Triana Sofiani dan Endang Hernanik)
351
satu dengan lainnya. Bahkan satu pihak belum tentu memahami secara benar akan makna sebuah persekutuan yang dilakukan, atau untuk tujuan apa semua dilakukan serta disepakatiu. Ada suatu yang unik dalam kemitraan ini, bahwa kebua belah pihak atau lebih sama-sama merasa penting untuk melakukan kerjasama, akan tetapi pihak-pihak yang bertmitra belum tentu memahami sebstansi yang diperjuangkan dan manfaatnya apa; (2) Kemitraan Mutualistik adalah merupakan persekutuan dua pihak atau lebih yang sama-sama menyadari aspek pentingnya melakukan kemitraan, yaitu untuk saling memberikan manfaat dan mendapatkan manfaat lebih, sehingga akan dapat mencapai tujuan secara lebih optimal; (3) Kemitraan Konjugasi adalah kemitraan yang dianalogikan dari kehidupan paramecium. Dua paramecium melakukan konjugasi untuk mendapatkan energi dan kemudian terpisah satu sama lain, selanjutnya dapat melakukan pembelahan diri. Dua pihak atau lebih dapat melakukan konjugasi dalam rangka meningkatkan kemampuan masing-masing. Model kemitraan yang lain dikembangkan berdasarkan azas kehidupan orgnisasi pada umumnya, antara lain; (1) Subordinate union of partnership; (2) Linier union of partnership; (3) Linier collaborative of partnership.(Sulistiyani, 2004: 129-131). Beberapa contoh model kemitraan dalam upaya pemberdayan masyarakat antara lain adalah model kemitraan dalam program IDT. Program IDT memiliki model kemitraan dua arah antara pemerintah dan agen pembaharu, tanpa melibatkan swasta. Dalam hal ini pemerintah berada pada level perencana dan donatur sedangkan agen pembaharu berada pada level implementor, Keterlibatan masyarakat berada pada tataran penerima program.(Sulistiyani, 2004 :148). Model pemberdayaan masyarakat yang lain adalah Model kemitraan yang diterapkan pada program Takesra Kukesra, Model kemitraan yang dibangun adalah kemitraan empat arah antara pemerintah, swasta, Bank dan Masyarakat. Pemerintah berposisi sebagai regulator, Swasta sebagai pemasok dana, Bank sebagai implementor sedangkan masyarakat sebagai pihak yang dibangkitkan dayanya melalui usaha menabung (Sulistiyani,2004:149). Model Grameen Bank Pemberdayaan masyarakat sangatlah sulit dilakukan dilapangan, di Bangladesh Grameen Bank memberikan pelayanan program pengentasan kemiskinan. Model kerja dari Grameen Bank adalah sebagai berikut : Sebuah unit bank dipimpin oleh manager lapangan dan sejumlah pekerja yang mencakup area pelayanan sekitar 15 - 20 desa. Manajer dan karyawan datang kedesa untuk memperkenalkan mereka dan mengenalkan program Bank pada masyarakat. Grameen Bank mempunyai 2.247 cabang dan memberikan pelayanan di 72.096 desa, Mereka juga menerangkan tujuan, fungsi, model kerja Bank kemsayarakat daerah. Grameen Bank memberikan kredit kepada masyarakat tanpa agunan dan menciptakan sistem perbankan yang berbasis pada kesalingpercayaan, akuntabilitas, partisipasi dan kreativitas. Pada langkah pertama, dua orang dari kelompok yang menerima pinjaman, kelompok akan dipantau selama satu bulan apakah anggota kelompok mengikuti aturan Bank. Jika kedua orang mengembalikan pinjaman dengan bunganya selama periode 50 minggu, maka anggota lain baru dapat meminjam dana tersebut, karena batasan ini maka anggota lain yang belum dapat pinjaman akan menekan anggota lain agar segera mengembalikan dalam jangka waktu tertentu. Ini membuat rasa tanggung jawab bersama dalam kelompok seperti sebuah jaminan dari pinjaman. Di Grameen Bank kredit merupakan senjata yang efektif memerangi kemiskinan dan memicu kegiatan sosial ekonomi masyarakat miskin yang dipinggirkan oleh Bank Konvensional karena dianggab tidak layak bank. Grameen Bank memulai dengan suatu keyakinan bahwa kredit harus dipahami sebagai suatu hak asasi manusia, dan membangun sistem dimana seseorang yang tidak memiliki apa-apa tetap bisa mendapatkan prioritas tinggi untuk mendapatkan pinjaman. Metodologi dari Grameen Bank tidaklah berbasis pada penilaian kepemilikan seseorang, tetapi berbasis pada potensi dari orang tersebut. Grameen Bank percaya bahwa setiap manusia termasuk yang miskin sekalipun dibekali dengan potensi yang banyak. Grameen Bank bertujuan memberikan pelayanan keuangan kepada kelompok miskin khususnya perempuan guna menolong mereka memerangi kemiskinan. Walaupun demikian Grameen Bank tetap berusaha untung agar operasional 352
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
Bank tidak berhenti. Grameen Bank mempunya kantor cabang dipelosok-pelosok desa karena prinsip pertama Bank ini adalah bukan membuat masyarakat miskin datang kebank, tetapi justru lebih mendekati mereka. Oleh karena itu 18.795 staf Grameen Bank, setiap minggunya mendekati 6,61 juta peminjamnya dirumah-rumah mereka yang tersebar di 73.373 desa diseluruh Bangladesh. Pembayaran kembali pinjamannyapun dibuat sederhana. Hal ini sangat menguntungkan peminjamnya. Tidak ada instrumen hukum yang diterapkan antara peminjam dan Grameen Bank Tidak ada keinginan untuk membawa peminjam kepengadilan guna mengembalikan pinjamannya seperti yang diterapkan pada bank konvensional. Tidak ada konsep untuk menegakkan perjanjian pinjam meminjam yang dilaksanakan oleh pihak luar, Bank Konvensional memberikan hukuman kepada peminjamnya yang molor dari perjanjian, sedangkan Grameen Bank mengijinkan pihak peminjam untuk m,emnjadwal ulang pengembalian pinjamannya tanpa menempatkan mereka sebagai pihak yang salah. Grameen Bank bekerja lebih keras untuk membantu sipeminjam yang kesulitan dan berupaya menolong mereka meraih kembali kekuatan dan kepercayaan diri untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Pada Bank konvensional penerapan bunga tidak terhenti kecuali ada kasus ksusus misalnya pinjaman macet. Bunga yang diterapkan bisa berlipat ganda atau bunga berbunga. Di Grameen Bank tidak ada satu kondisipun yang bisa membuat bunga lebih besar dari painjamannya, tidak peduli lamanya pinjaman terbayarkan. Tidak ada bunga yang dibebankan lagi setelah jumlahnya sama dengan pinjaman. Gramen Bank juga memberikan perhatian khusus untuk memantau pendidikan anak-anak merak, secara berkala memberikan beasiswa dan pinjaman pendidikan, perumahan, sanitasi lingkungan, akses air bersih dan kesiapan mereka untuk menghadapi situasai darurat atau bencana alam. Sistem yang dikembangkan Grameen Bank sangat menolong para peminjam untuk mengembangkan dana pensiun mereka dan berbagai tabungan. Pada kasus kematian sipeminjam, Grameen Bank tidak mengalihkan tagihannya kepihak keluarga yang ditinggalkan. Pinjaman yang diberikan sudah otomatis dengan ansuransi kematian, dengan demikian tagihan tidak perlu dialihkan pada keluarga. Di Grameen Bank seorang pengemispun mendapat perhatian yang khusus, pengemis datang karena adanya kampanye oleh pihak Gramen Bank agar mereka mau mengikuti program Grameen Bank. Pihak Gramen Bank akan memberikan penyuluhan bagaimana para pengemis bisa membawa barang jualan dari rumah kerumah yang pada akhirnya akan membuat mereka mendapatkan penghasilan, atau pengemis dapat memajang daganganya sambil ia sendiri mengemis ditempat itu, gagasan Grameen Bank ini sebenarnya sudah mengentaskan mereka ketingkat kehidupan yang bermartabat ketimbang mengemis. (Buletin UEM-PMD, 2006). Model Sri Mahila SEWA Sahakari Bank Model lain diterapkan oleh Sri Mahila SEWA Sahakari Bank merupakan lembaga keuangan yang meberikan akses keuangan terhadap wanita-wanita yang lemah/miskin, Peminjaman hanya untuk kegiatan ekonomi bukan untuk keperluan pribadi, Bank memperkerjakan dan mendorong wanita-wanita tersebut untuk menyelamatkan, menabung melalui Bank tersebut. Kegiatan diarahkan dengan mengunjungi wanita-wanita pada tempat kerja atau rumah mereka sedemikian sehingga mereka dapat dengan mudah menyimpan uang tabungan mereka. Ketika wanita-wanita tersebut memerlukan pinjaman, pegawaipegawai Bank tersebut datang dengan seorang nasabah yang telah meminjam atau mengenal SEWA Bank. Aplikasi pinjaman dibuat oleh anggota atau meminta bantuan pada bidang yang telah diberi wewenang untuk menangani, kemudian Bank Memproses aplikasi secara hati-hati, memeriksa segala persayaratan. Informasi dibahas oleh panitia peminjaman yang memberikan rekomendasi kepada Direktur Bank tersebut Untuk memenuhi kualifikasi, proses persetujuan akan dikaji sekitar satu minggu, apabila pinjaman disetujui peminjam wajib menyetor 5 % dari jumlah pinjaman di Bank untuk dipergunakan sebagai tabungan pada Bank tersebut. Wanita-wanita diharapkan mendaftarkan rekening tabungan di Bank mereka dan Asset mereka (seperti Perkakas, rumah) didalamnya. Bank menyediakan pinjaman dengan periode pembayaran kembali 3 tahun untuk tujuan produktif. Modal pinjaman terbagi dalam 3 peruntukan : modal kerja untuk membeli perkakas perdagangan, pembuatan rumah atau pembukaan Kemiskinan Perempuan dalam Bingkai Pembangunan (Triana Sofiani dan Endang Hernanik)
353
toko atau pekerjaan. Dengan prioritas adalah pertama sering dilakukan untuk melunaskan kredit ke wanita-wanita berhutang sehingga mereka dapat melepaskan diri mereka dari lilitan hutang (Materi kuliah, 2006). Berangkat dari berbagai model yang ditawarkan sebagai mana di atas, diharapakan bisa menjadi pola acuan dan kerangka dalam melaksanakan pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh komponen masyarakat terutama masyarakat perempuan yang sampai sekarang masih terpinggirkan dan belum bisa menikmati kue pembangunan, sehingga wajah kemiskinan melekat pada wajah kaum perempuan. PENUTUP Kemiskinan perempuan terjadi karena ketidaksamaan pemilikan sumberdaya atau adanya ketimpangan dalam distribusi sumberdaya. Dalam hal ini perempuan yang dalam realitasnya adalah warga kelas dua dan bukan sebagai pemegang sumberdya utama dalam keluarga, sehingga akses perempuan terhadap sumberdaya keluarga maupun masyarakat juga tidak ada. Selanjutnya, kualitas sumberdaya perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, alih-alih perempuan dalam tingkat pendidikan dan ketrampilan adalah lebih rendah dari laki-laki, sehingga ketika ketika perempuan masuk ke pasar kerja, juga akan berupah rendah dan masuk dalam sektor-sektor kerja pinggiran, informal. Ketiadaan pengalaman dalam arena publik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial dan juga ketiadaan pelatihan-pelatihan terhadap perempuan, menjadi penyebab perempuan semakin tidak berdaya dan semakin miskin. Pembangunan yang belum berpihak pada perempuan semakin memperpuruk wajah kemiskinan perempuan dalam berbagai sektor. Pendekatan pembangunan yang masih beorientasi pertumbuhan dalam realitasnya masih meminggirkan kaum perempuan dalam berbagai segi, sehingga wajah kemiskinan melekat pada wajah kaum perempuan. Oleh karena itu, pendekatan pemberdayaan yang menekankan fakta bahwa wanita mengalami penekanan yang berbeda menurut bangsa, kelas sosial, sejarah penjajahan kolonial, dan kedudukan dalam ekonomi internasional pada masa kini, sehingga perempuan harus tetap harus menantang struktur dan situasi yang menekannya secara bersama pada tingkat yang berbeda, sangat diperlukan untuk merombak ketidaksetaraan dan ketidak adilan pada kaum perempuan. Pendekatan ini menekankan pentingnya bagi perempuan untuk meningkatkan keberdayaanya dan mengartikan pemberdayaan bukan dalam konteks mendominasi orang lain dengan makna apa yang diperoleh perempuan akan merupakan kehilangan bagi laki-laki, melainkan menempatkan pemberdayaan dalam arti kecakapan atau kemampuan perempuan untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan dirinya. Sehingga perempuan tidak dijadikan sebagai objek dalam pembangunan akan tetapi sebagai pelaku kegiatan pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA Basri. Faisal. 1995. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI : Distorsi, Peluang dan Kendala, Gelora Aksara Pratama, Jakarta. Cook. Saran dan Macavlay. Steve. 1997. Perfect Empowerment, Elex Media Komputindo, Jakarta. Friedmann. Jhon. 1992. Empowerment, The politics of Alternative Development, Black Well, Oxford, USA Kuncoro. Mudrajad. 1987. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan, (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta. Moeljarto.T. 1996. Pembangunan Dilema dan Tantangan, PT. Pustaka Belajar, Yogyakarta. Nasution. Zulkariman. 2002. Komunikasi Pembangunan : Pengenalan Teori dan Penerapannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 354
MUWÂZÂH , Vol. 3, No. 1, Juli 2011
Owin Jamasy. 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan, Belantika, Jakarta. Priyono. Onny. S. dan Pranaka, 1996. Pemberdayaan : Konsep Kebijakan dan Implementasi, CSIS, Jakarta Prawirokusumo. Soeharto. 2001.Ekonomi Rakyat, (Konsep, Kebijakan, Strategi), BPFE, Yogyakarta. Sunartiningsih. Agnes. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Aditia media bekerjasama dengan jurusan Sosiatri Fak. Ilmu Sosial dan Politik Uninersitas Gajah Mada Yogyakarta. Sulistyani. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Gava Media, Yogyakarta. Soetrisno. L. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta. Suharto. Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung.
Kemiskinan Perempuan dalam Bingkai Pembangunan (Triana Sofiani dan Endang Hernanik)
355