PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL IATMI 2001 Yogyakarta, 3-5 Oktober 2001
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF DALAM MENGATASI GANGGUAN PRODUKTIVITAS MIGAS Yan Pieter Mulia Hutabarat Keteknikan Produksi – PERTAMINA Daerah Operasi Hulu Prabumulih Kata kunci : pemberdayaan, filantropi strategis ABSTRAK Pada beberapa wilayah penghasil yang tingkat sosial-ekonomi-kulturalnya cukup heterogen, industri migas telah dipandang sebagai industri menara gading oleh sementara kalangan. Timbul kesan bahwa industri dan komunitas lokal telah memiliki dinamika pembangunan yang terpisah dan timpang, tanpa upaya sinkronisasi yang transparan. Aktivitas industri migas yang diawali oleh seismik dan diikuti pemboran eksplorasi dan delineasi untuk menentukan batas-batas cadangan dari reservoir, pemboran eksploitasi untuk mendapatkan titik serap optimum, komplesi, kerja ulang, perawatan, dan perangsangan sumur untuk produksi optimum, serta pengadaan fasilitas produksi dan infrastruktur lainnya, mutlak membutuhkan dukungan dari masyarakat sekitar. Resistensi komunitas lokal terhadap operasi migas disadari telah mengganggu produktivitas migas. Peristiwa pemblokir-an ladang minyak CPP di provinsi Riau menunjukkan bahwa belum terjadi hubungan timbal balik yang saling mengun-tungkan antara kedua belah pihak. Pemberdayaan masyarakat yang adalah inti dari pengem-bangan masyarakat (community development) secara empirik merupakan salah satu jalan keluar untuk menyelesaikan kendala-kendala sebelum berkembang menjadi gangguan pada produktivitas dari industri migas. Pemberdayaan masyarakat secara sederhana berarti menolong masyarakat untuk mengontrol kehidupan mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui transfer (sumber) daya dari lingkungannya dengan pemba-ngunan sosial pada unsur-unsur individu, komunitas, dan pemerintah. Dalam perspektif solusi menang-menang, pendekatan pemberdayaan ini akan mengharuskan perusahaan pengelola industri migas untuk mengeksplorasi hubungan mereka dengan komunitasnya. Selanjutnya harus diidentifikasi titik-titik yang dianggap rawan dalam menjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan. Dari sini dirumuskan bagaimana perusahaan merespon kebutuhan serta masalah-masalah yang mereka hadapi. Produktivitas migas yang bermuara pada keuntungan bisnis merupakan imbal balik dari keuntungan komunitas yang diupayakan. Pemerintah daerah bertindak sebagai katalisator dalam proses ini.
1. PENDAHULUAN Industri minyak dan gas di Indonesia telah berjalan lebih dari satu abad. Dan sejak Indonesia merdeka, hanya segelintir masyarakat yang dapat menikmati hidup sejahtera dari penjualan komoditi ini. Memasuki pertengahan dekade 1990-an, bersamaan dengan bergejolaknya iklim reformasi, isu otonomi yang turut berembus telah memacu semangat daerah-daerah tertentu untuk mempertanyakan dan meminta hak “bagi hasil” mereka. Situasi ini kian menghangat dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah sejak tanggal 1 Januari 2001. Semangat otonomi yang diterjemahkan secara sempit dan salah kaprah oleh sebagian kalangan komunitas lokal telah memicu terjadinya aksi-aksi demontrasi, pencurian, perusakan, sabotase bahkan blokade instalasi industri migas hulu, yang keseluruhannya mengarah pada gangguan kontinuitas produksi. Dengan kata lain, produktivitas (kapasitas produksi per satuan waktu) telah terkendala, suatu kondisi yang dapat mengundang risiko lebih besar bagi perusahaan & pekerja migas, negara, dan masyarakat umum. Lalu di mana letak kesalahannya? Di satu sisi, perusahaanperusahaan besar pengelola migas merasa telah berkontribusi untuk membantu masyarakat sekitar dengan jumlah dana yang
IATMI 2001-10
cukup besar. Di sisi lain, masyarakat sekitar merasa tidak mendapatkan “apa-apa”. Program community development yang selama ini dijalankan oleh perusahaan tidak mencapai sasaran karena nilai-nilai pemberdayaan masyarakat dalam nafas win-win solution tidak dikerjakan secara konsisten dan tersiklus. Pemberdayaan masyarakat yang saling menguntungkan harus berada dalam kerangka kerja yang jelas pentahapannya dan selalu siap direvisi di dalam lingkaran proses untuk implementasi terbaik. Di dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat tercermin keterpaduan antara perencanaan “atas-bawah” dan perencanaan “bawah-atas” . Selain bantuan dari perusahaan migas, pendekatan ini amat memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan yang sama. Strategi ”penyadaran” ini menuntut warga masyarakat untuk terlibat tidak hanya dalam aspek kognitif dan praktis, tetapi juga secara emosional. Dalam gerakan perubahan yang mencakup seluruh komunitas lokal, pemerintah daerah berfungsi sebagai katalisator sehingga program ini dapat utuh menyentuh seluruh strata sosial-politik. Dalam UU No. 25 tahun 1999 pasal 6 ayat 6 disebutkan bahwa penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut : setelah dikurangi komponen pajak, 85 %
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Solusi Alternatif Dalam Mengatasi Gangguan Produktivitas Migas
untuk pemerintah pusat dan 15 % untuk daerah. Bagian daerah dibagi dengan perincian sebagai berikut : 3 % untuk propinsi, 6 % untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6 % untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan. Dengan demikian cukup jelas diatur oleh perundangundangan bahwa secara legal daerah penghasil migas mendapat bagian tertentu dari penerimaan migas negara, sehingga pemberdayaan masyarakat secara tidak langsung mendapat dukungan politik dan ekonomi dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah selayaknya dapat melaksanakan ketentuan ini dengan manajemen pembangunan desa yang transparan dan efektif. Pemberdayaan masyarakat membutuhkan partisipasi aktif dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu komunitas lokal, perusahaan dan pekerja pengelola migas, serta pemerintah daerah. Implementasi terpadu program ini akan mengatasi salah satu gangguan dalam pencapaian sasaran produksi minyak dan gas dari industri. 2. OTONOMI DAERAH 2.1. Peraturan Perundang-undangan Dalam bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 ayat h dari UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Kemudian dalam ayat i pasal yang sama, disebutkan bahwa daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberdayaan masyarakat yang akan memberikan partisipasi yang lebih luas bagi seluruh masyarakat, mendapat ruang gerak yang lebih leluasa dengan berlakunya undang-undang ini. Secara tersirat dapat diartikan bahwa pemerintah daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam pemberdayaan masyarakat daerahnya sendiri. Terkait dengan kontribusi pengelola industri migas, pemerintah daerah dituntut secara pro aktif dapat merumuskan secara benar segala sesuatu yang menjadi needs (kebutuhan) masyarakatnya. Dengan keberadaan undang-undang ini, pemerintah memiliki desentralisasi dan dekonsentrasi wewenang pengaturan warga dan wilayahnya, sehingga berdasarkan pertimbangan keselarasan potensi sumber daya daerah dan kebutuhan masyarakat, dapat mewujudkan tatanan masyarakat madani (civil society) yang mandiri. Kemandirian daerah dan masyarakat yang menjadi tujuan pemberlakuan undang-undang ini pula lah yang merupakan target program pemberdayaan masyarakat dalam kerangka meminimalkan gangguan pada industri migas hulu. Semangat dalam UU No. 22 tahun 1999 sangat relevan dengan upaya pemberdayaan masyarakat sebagai solusi alternatif dalam mengatasi gangguan produktivitas migas negara.
IATMI 200 -10
Yan Pieter Mulia Hutabarat
Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditetapkan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas bantuan. Berdasarkan undang-undang ini, pengaturan dan pelaksanaan pembagian penerimaan migas antara pemerintah pusat dan daerah merupakan kewenangan pemerintah. Penentuan batas-batas wilayah merupakan kewenangan Menteri Dalam Negeri atau Gubernur. Penetapan daerah penghasil (propinsi, kabupaten/ kota) dan penetapan dasar perhitungan penerimaan daerah merupakan kewenangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Penetapan besarnya penerimaan daerah merupakan kewenangan Menteri Keuangan. Penyelenggaraan otonomi daerah yang secara implisit mendukung upaya pemberdayaan masyarakat diatur pendanaannya dengan undang-undang ini. Masih menjadi permasalahan adalah : 1. Belum adanya batas-batas daerah yang definitif. 2. Pembagian bagian daerah (antara propinsi dan kabupaten/kota) di wilayah laut antara 4-12 mil belum diatur dalam undang-undang ini. 3. Selama ini penerimaan negara migas dari PERTAMINA (dan mitra usaha) merupakan “keuntungan konsolidasi” PERTAMINA dari seluruh daerah operasi. Berdasarkan dasar dan cara perhitungan bagian daerah yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, didefinisikan lifting sebagai bagian dari produksi migas yang dijual, yaitu produksi migas dikurangi pemakaian sendiri di lapangan (own use). Mengacu diagram pada Gambar-1, 2, 3, dan 4, dengan prosentase lifting sebagai 130 % (awal), diperoleh hasil perhitungan seperti tersaji di Tabel-1. Dengan penerimaan pemerintah daerah minimal 4,11 %, UU No. 25 tahun 1999 ini secara tidak langsung telah mendukung upaya pemberdayaan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari otonomi daerah. Implementasi UU No. 22 dan 25 tahun 1999 pada konteks redistribusi perekonomian daerah dan manajemen pemerintahan yang transparan dari pemerintahan daerah pada penggunaan dana budgetair dan dana non-budgetair akan mempercepat proses pemberdayaan masyarakat yang bermuara pada terciptanya wilayah dan masyarakat mandiri sehingga di sisi lain juga akan membantu terbentuknya iklim bekerja yang reliabel bagi industri migas. 2.2. Gangguan Produktivitas Produktivitas yang merupakan tolok ukur kritis keberhasilan industri migas, amat didukung oleh operasi perminyakan yang terdiri atas beragam aktivitas antara lain eksplorasi, eksplotasi dan perawatan serta pemeliharaan aset migas. Semangat otonomi daerah yang dipicu oleh euphoria reformasi secara tak terkontrol telah nyata memberi gangguan pada industri migas, khususnya di sektor hulu yang relatif bersinggungan dengan masyarakat pelosok. Masyarakat sekitar yang merasa belum mendapat “apa-apa” dari kemajuan industri ini secara lugu menerjemahkan
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Solusi Alternatif Dalam Mengatasi Gangguan Produktivitas Migas
“otonomi” sebagai hak mereka untuk mendapat “pemaksaan” pembagian keuntungan, secara prosedural atau ilegal. Sebagai studi kasus, di wilayah Sumatera Selatan marak terjadi pencurian pada fasilitas produksi yang nilai nominalnya rendah tetapi cukup vital/strategis. Pencurian tersebut mengakibatkan terjadinya kebocoran (polusi limbah), sehingga diharapkan dapat diajukan klaim kepada perusahaan pengelola. Juga terjadi penurunan produksi minyak yang cukup signifikan (300 bopd dalam 14 hari, atau kumulatif 4200 bbls minyak) di satu wilayah operasi. Gangguan produktivitas juga terjadi akibat seringnya dilakukan demonstrasi oleh masyarakat setempat yang menuntut perbaikan jalan, atau ganti rugi tertentu. Hal ini selain menghambat operasi perminyakan (transportasi terkendala, seperti terjadi di Lirik, Pendopo, dan Tambun, Jawa Barat), juga menjadikan konsentrasi pekerjaan operasi migas terpecah, sebagian teralokasi untuk mengatasi kemandegan komunikasi dengan komunitas lokal. Dewasa ini penurunan produktivitas migas tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor teknis-enjinering semata, tetapi harus diselesaikan dalam perspektif otonomi daerah menuju pembentukan komunitas lokal yang mandiri (berdaya). Gangguan produktivitas dimaksud yang telah bertendensi ke sabotase instalasi milik negara bila tidak segera diatasi dapat mengancam kontinuitas industri migas. 2.3. Pemberdayaan Masyarakat Proses pemberdayaan (empowerment), menurut Payne pada intinya bertujuan membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimilikinya, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Pemberdayaan menurut Shardlow membahas bagaimana individu, kelompok atau pun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan masyarakat adalah juga pembangunan sosial, yang meliputi tiga strategi, yaitu : 1. Pembanguan sosial melalui individu. Individu-individu dalam masyarakat secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini lebih bersifat individualis atau perusahaan. 2. Pembangunan sosial melalui komunitas. Kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya (pendekatan komunitarian). 3. Pembangunan sosial melalui pemerintah, dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (pendekatan statis). Pembangunan sosial dalam tulisan ini lebih difokuskan pada intervensi yang dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan minyak dan gas agar terjadi perubahan aspek-aspek pengetahuan, keyakinan, sikap, dan niat individu. Proses penyadaran tersebut memerlukan kehadiran produk sosial yang inovatif, terdiri atas tiga bentuk, yaitu : gagasan
IATMI 200 -10
Yan Pieter Mulia Hutabarat
(ideas), praktek (practices), dan bentuk yang nyata (tangible products). Pembuat kebijakan (perusahaan) dituntut untuk melakukan penilaian (assessment) tarhadap kebutuhan masyarakat secara berkesinambungan. Pembangunan sosial bukan suatu bentuk perubahan yang langsung jadi (instant), tetapi merupakan bentuk perubahan antar generasi karena terkait erat dengan struktur sosial budaya yang sempat mengakar. Proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga model intervensi, yaitu pendekatan konsensus (misalnya local community development), pendekatan kepatuhan (misalnya social and planning policy), dan pendekatan konflik (misalnya social action). Pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya dengan industri minyak dan gas, dengan mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku dan setelah melakukan assessment atas kebutuhan komunitas lokal, dapat diimplementasikan dengan ke-3 pendekatan tersebut sekaligus. Tidak dapat dielakkan bahwa selain gagasan dan praktek, komunitas lokal memerlukan tangible products sebagai wujud kepedulian perusahaan. 3. SIKLUS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Community empowerment developing program tampaknya hanya mampu memuaskan segelintir orang saja. Ditengarai selama ini, program ini hanya mampu menjangkau beberapa tokoh masyarakat/adat setempat. Harus disadari bahwa hubungan timbal balik yang saling menguntuingkan kedua belah pihak merupakan syarat utama. Komunitas lokal mengharapkan perusahaan bersedia membantu mereka dalam menghadapi masalah-masalah mereka. Sebaliknya pihak perusahaan mengharapkan mereka diperlakukan secara adil dan dalam cara pandang yang suportif. Berdasarkan konsiderans ini, pihak perusahaan harus mengeksplorasi hubungan mereka dengan komunitasnya. Kemudian mengidentifikasi titik-titik yang dianggap kritis dalam menjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan. Lalu dari sini dirumuskan bagaimana perusahaan merespon kebutuhan serta masalah-masalah yang mereka hadapi. Menurut Susanto, langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan adalah melakukan analisis kebutuhan komunitas (community need analysis). Dalam melakukan analisis kebutuhan, harus diperhatikan benar agar dapat memenuhi kebutuhan (needs), dan bukan sekadar keinginan (wants) yang dapat bersifat superfisial, demi pemenuhan sesaat saja. Analisis harus dilakukan secara mendalam agar dapat menggali kebutuhan yang sesungguhnya, bukan berlandaskan keinginan perusahaan, atau keinginan tokoh-tokoh masyarakat saja. Juga perlu dilakukan musyawarah dengan melibatkan pihak perusahaan, pemda, dan masyarakat. Musyawarah merupakan sarana untuk meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki dalam program community development yang dijalankan, sebagai bagian dari transfer ownership program. Inti community development adalah unsur pemberdayaan.
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Solusi Alternatif Dalam Mengatasi Gangguan Produktivitas Migas
Yan Pieter Mulia Hutabarat
Susanto selanjutnya menyatakan bahwa secara khusus disiapkan sistem audit untuk memantau, mengawasi, dan mengevaluasi berjalannya program dari waktu ke waktu.
tidak bermaksud meninabobokan masyarakat lokal, atau secara sarkasme AB Susanto menyatakan “… tidak mendidik mereka sebagai ‘pengemis’ atau ‘pemalak’…”.
Setelah community need analysis, pelaksanaan program dalam siklus ini diikuti dengan pengembangan konsep yang melibatkan komunitas sasaran untuk menumbuhkan rasa memiliki, proses sosialisasi, penyajian sesuai dengan kebutuhan, pemanfaatan tenaga setempat, kepekaan dalam pelaksanaan program, sosialisasi kepada pihak eksternal, dan terakhir dilakukan audit untuk memantau keseluruhan program. Seluruh rangkaian pelaksanaan aktivitas program community development dapat dituangkan secara sistematis dalam akronim DISCUSS, dari kata Development, Involve, Socialize, Cater, Utilize, Sensitive, dan Socialize lagi (lihat Gambar-5).
Pemberdayaan masyarakat adalah program untuk mengembangkan dan memperkuat komunitas lokal yang memerlukan intervensi perusahaan dalam produk sosial berupa gagasan/ide/program, praktek/kerja, dan benda nyata. UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 mengatur hak dan kewajiban pemerintah daerah dalam pemberdayaan masyarakat dan daerah menuju otonomi daerah. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan migas memiliki kepentingan untuk hidup dan beroperasi dalam kondisi lingkungan yang kondusif.
Susanto berpendapat development memiliki makna bahwa pengembangan konsep sesuai dengan tujuan dan sasaran program berdasarkan hasil community need analysis. Dalam tahap ini juga harus disertakan komunitas yang menjadi sasaran pengembangan (involve). Tahap selanjutnya adalah mensosialisasikan (socialize) program ini kepada seluruh komunitas, sehingga mereka merasa memiliki program ini dan ikut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan dan keberhasilannya. Dalam tahap-tahap ini musyawarah memegang peranan yang sangat penting sebagai sarana komunikasi. Cater berarti program-program yang disajikan sesuai dengan kebutuhan mereka, dan utilize berarti sedapatnya melibatkan tenaga kerja setempat untuk melaksanakan proyek. Juga harus ada kepekaan (sensitive) dalam memahami situasi psikologis, sosial dan budaya yang tengah berkembang dalam komunitas. Yang terakhir adalah socialize, dalam arti sosialisasi program community development kepada pihak luar. Komunitas dan korporat diusahakan berada dalam sebuah hubungan simbiosis mutualisme. Keberadaan perusahaan diharapkan dapat memacu roda perekonomian, yang membawa komunitas ke taraf hidup yang lebih tinggi. Dengan demikian harus ada keseimbangan keuntungan komunitas (community benefits) dengan keuntungan bisnis (business benefits), yang dapat diperoleh dari percampuran antara filantropi murni dan pendekatan penajaan bisnis (business sponsorship approach) yang melahirkan filantropi strategis (strategic philanthropy). Pemerintah daerah bertindak sebagai katalisator dalam proses ini.
Cukup jelas bahwa pemberdayaan masyarakat melibatkan tiga komponen utama, yaitu komunitas lokal, perusahaan, dan pemerintah daerah. Sesuai dengan nafas ke-2 undang-undang tadi, pemerintah daerah berfungsi sebagai fasilitator dan katalisator dalam proses pemberdayaan ini. Musyawarah adalah sebuah pendekatan kultural khas Indonesia yang dapat dimasukkan dalam proses eksplorasi kebutuhan dan identifikasi masalah antara perusahaan dan komunitas lokal dengan jembatan pemerintah daerah. Musyawarah yang mengiringi setiap fase dalam siklus pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu mengantarkan perusahaan dan komunitas lokal dalam keseimbangan keuntungan, yaitu keuntungan komunitas (bagi masyarakat) dan keuntungan bisnis (bagi perusahaan). Produk sosial dalam bentuk filantropi strategis dilahirkan dari siklus pemberdayaan masyarakat. Filantropi berarti ada unsur “kedermawanan” yang menjadi pendorong. Siklus ini harus terus menerus dievaluasi dan didefinisikan ulang dalam pendekatan holistik untuk pencapaian sasaran yang optimum. Program pemberdayaan masyarakat yang tepat tujuan dan sasaran akan memberi dampak positif bagi operasi migas di Indonesia. Produktivitas minyak dan gas dapat kembali ke nilai-nilai optimumnya bila didukung oleh iklim bekerja yang ramah, bersahabat, saling menguntungkan, dan reliabel. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak Jaswadi atas dukungannya pada penulisan makalah ini. Juga kepada semua rekan di PERTAMINA DO Hulu Prabumulih yang telah banyak membantu, teristimewa saudara Parjono. 6. DAFTAR PUSTAKA
4. DISKUSI Diakui bahwa hampir seluruh perusahaan yang berkecimpung dalam industri migas telah memiliki program community development sebagai wujud kepedulian atas eksistensi masyarakat sekitar. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah program tersebut telah mencapai sasarannya ? Berkaitan dengan eksploitasi minyak dan gas alam, mengapa masih sering dijumpai resistensi dari komunitas lokal sedemikian rupa sehingga produktivitas migas menjadi terganggu ? Uraian AB Susanto menyebutkan bahwa inti dari program community development adalah pemberdayaan masyarakat. Hal ini secara ringkas bermakna bahwa program tersebut
IATMI 200 -10
1. Adi, Isbandi Rukminto (2001) Pemberdayaan, Pengembang-an Masyarakat, dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Lembaga Penerbit FE-UI pp 23-39 2. Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi (2000) Penerimaan/ Bagian Daerah dari Minyak dan Gas Bumi 3. Koentjaraningrat (1974) Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Gramedia. pp 79-82 4. Payne, Malcolm (1997) Modern Social Work Theory. Second Edition. Mc Millan Press. pp 266
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Solusi Alternatif Dalam Mengatasi Gangguan Produktivitas Migas
Yan Pieter Mulia Hutabarat
5. Shardlow,Steven (1998) Values, Ethics, and Social Work. Mc Millan Press. pp 32
Tabel-1 Penerimaan Pemerintah dari Migas
6. Susanto, AB (2001) Paradigma Baru Community Develop-ment. JTMGB No. 12/2001, pp 50-51
Sumber Produksi KPS (Minyak) KPS (Gas alam) PTMN (Minyak) PTMN (Gas alam)
7. UU Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Terima PEMDA (%) 8,4 5,2 4,11 8,23
8. UU Republik Indonesia No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ---
Lifting (Pendapatan Kotor) 130 (-)
Biaya Produksi 30
Hasil Dibagi (HD) 100
Bagian Pemerintah (BP) 65,9091% X HD = 65,9
Bagian Kontraktor (BK) 34,0909 X HD = 34,1 (-) Pajak 56% X BK = 19,1
(+)
Total Penerimaan Pemerintah a) 85,0
Penerimaan Kontraktor Bersih 15,0
(-) Komponen Pajak Pajak Penghasilan Kontraktor 56% X BK = 19,1 PBB, PPN dan Retribusi Daerah 15% b) X BP = 9,9 (=) Yang Dibagi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah 56% X BK = 19,1 56,0
Penerimaan Pemerintah Daerah 15% X PPD = 8,4
Catatan : a). Termasuk referensi Pertamina sebesar 2% x HD b). Asumsi
Penerimaan Pemerintah Pusat 85% X PPD = 47,6
Gambar-1 Mekanisme Perhitungan Penerimaan Daerah Dari Produksi Minyak KPS
IATMI 200 -10
Terima PUSAT (%) 47,6 12,2 54,74 50,63
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Solusi Alternatif Dalam Mengatasi Gangguan Produktivitas Migas
Yan Pieter Mulia Hutabarat
Lifting (Pendapatan Kotor) 130 (-)
Biaya Produksi 30
Hasil Dibagi (HD) 100
Bagian Pemerintah (BP) 20,4545% x HD = 20,5
Bagian Kontraktor (BK) 74,5455 X HD = 79,55 (-) Pajak 56% X BK = 44,5
(+)
Total Penerimaan Pemerintah a) 65,0
Penerimaan Kontraktor Bersih 35,0
(-) Komponen Pajak Pajak Penghasilan Kontraktor 56% X BK = 44,5 PBB, PPN dan Retribusi Daerah 15% b) x BP = 3,1 (=) Yang Dibagi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah 56% X BK = 19,1 17,4
Penerimaan Pemerintah Daerah 30% x PPD = 5,2
Penerimaan Pemerintah Pusat 70% x PPD = 12,2
Catatan : a). Termasuk referensi Pertamina sebesar 2% x HD b). Asumsi
Gambar-2 Mekanisme Perhitungan Penerimaan Daerah Dari Produksi Gas Alam KPS
IATMI 200 -10
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Solusi Alternatif Dalam Mengatasi Gangguan Produktivitas Migas
Yan Pieter Mulia Hutabarat
Lifting (Pendapatan Kotor) 130 (-)
Biaya Produksi 30
Hasil Dibagi (HD) 100
Bagian Pemerintah (BP) 28,5714% X HD = 28,57
Bagian Kontraktor (BK) 71,4286 X HD = 71,4286 (-) Pajak 44% X BK = 31,4286
(+)
Total Penerimaan Pemerintah
Penerimaan Kontraktor Bersih 40,00
(28,5714% X HD) + Pajak = 60,00
(-) Komponen Pajak Pajak Penghasilan Kontraktor 44% X BK = 31,43 PBB, PPN dan Retribusi Daerah *) 4% x BP = 1,14 (=) Yang Dibagi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PPD) 27,43
Penerimaan Pemerintah Daerah 15% X PPD = 4,11
Penerimaan Pemerintah Pusat 85% X PPD = 23,31 (+) Total Penerimaan Pemerintah Pusat 54,74
Catatan : *). Asumsi
Gambar-3 Perhitungan Penerimaan Pemerintah Pusat dan Daerah dari Produksi Minyak Pertamina
IATMI 200 -10
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Solusi Alternatif Dalam Mengatasi Gangguan Produktivitas Migas
Yan Pieter Mulia Hutabarat
Lifting (Pendapatan Kotor) 130 (-)
Biaya Produksi 30
Hasil Dibagi (HD) 100
Bagian Pemerintah (BP) 28,5714% X HD = 28,57
Bagian Kontraktor (BK) 71,4286 X HD = 71,4286 (-) Pajak 44% X BK = 31,4286
(+)
Total Penerimaan Pemerintah
Penerimaan Kontraktor Bersih 40,00
(28,5714% X HD) + Pajak = 60,00
(-) Komponen Pajak Pajak Penghasilan Kontraktor 44% X BK = 31,43 PBB, PPN dan Retribusi Daerah *) 4% x BP = 1,14 (=) Yang Dibagi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PPD) 27,43
Penerimaan Pemerintah Daerah 30% X PPD = 8,23
Penerimaan Pemerintah Pusat 70% X PPD = 19,20 (+) Total Penerimaan Pemerintah Pusat 50,63
Catatan : *). Asumsi
Gambar-4 Perhitungan Penerimaan Pemerintah Pusat dan Daerah dari Produksi Gas Pertamina
IATMI 200 -10
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Solusi Alternatif Dalam Mengatasi Gangguan Produktivitas Migas
Yan Pieter Mulia Hutabarat
Development (1)
E V A L U A T I O N
A
Community Needs Analysis
U
Involve (2)
Ownership
Socialize (3)
Building (A)
Transfer (B)
D
Cater (4)
Ownership Enhancement (C)
I T
Socialize (7)
Ownership
Sensitive (6)
Pride (E)
Gambar-5 Siklus Pemberdayaan Masyarakat
IATMI 200 -10
Ownership
Ownership Customization (D)
Utilize (5)