Pemberdayaan dan Fungsi Media dalam Pemberdayaan Masyarakat Ike Herdiana Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Abstract. This paper described the role of media to empowering society. The quality of life of the society should be increasing, so the psychosocial problem can be reduced. Media as the main information source, regards as entertain role should be have more important role than they had done. The author suggested to the media to consider not only increase their rating and popularity programs, but also provides useful information which is influencing and educating people. Media has a significant role to empowering society.
Keywords: empowerment, media, empowering society Abstrak. Tulisan ini memaparkan mengenai peran media dalam memberdayakan masyarakat. Masyarakat merupakan sumber daya yang potensial untuk ditingkatkan kualitas kehidupannya sehingga secara linier menjadi kunci untuk mengurangi problem psikososial. Media yang selama ini sering dijadikan rujukan oleh masyarakat sebagai sumber hiburan, diharapkan memiliki kontribusi yang lebih. Penulis mengajak media untuk tidak hanya memikirkan rating dan popularitas program semata, namun lebih dari itu; sebagai sumber informasi, mempengaruhi dan bahkan mendidik. Media memiliki potensi kontribusi yang signifikan dalam memberdayakan masyarakat.
Kata kunci: pemberdayaan, media, pemberdayaan masyarakat Tuhan telah memasang suluh dalam hati kita yang menyinarkan pengetahuan dan keindahan; berdosalah mereka yang mematikan suluh itu dan menguburkannya ke dalam abu (Kahlil Gibran)
Pemberdayaan Masyarakat Istilah pemberdayaan mengacu pada pengertian membuat 'berdaya' masyarakat atau sekelompok orang yang awalnya dalam keadaan 'tidak berdaya'. Pemberdayaan dapat diterapkan pada aspek-aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, mental, sosial, finansial, pendidikan, dan lainnya. Memberdayakan masyarakat merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan (Kartasasmita, 1997). Dengan kata lain memberdayakan adalah upaya memampukan dan memandirikan masyarakat. D a l a m ko n t e k s i l m u p s i ko l o g i , t e n t u pemberdayaan tidak hanya bicara tentang kemiskinan atau hambatan finansial saja, namun
Korespondensi: Ike Herdiana, Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031) 5032770, 5014460, Faks(031) 5025910, E-mail:
[email protected]
160
INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Ike Herdiana
juga dapat di kembangkan untuk menangani problem-problem psikologis manusia. Saat ini banyak masyarakat kita yang masih belum melek baca tulis, banyak juga yang belum mengerti bagaimana cara untuk hidup sehat, belum mampu adaptif terhadap jenis masalah-masalah lingkungan, misalnya dalam konteks bencana, masalah diskriminasi, dan masalah-masalah sosial lain yang berdampak pada kesehatan mentalnya. Problem-problem psikososial tersebut juga membutuhkan penanganan segera yang harus dilakukan secara sistematis. Dengan demikian, program pemberdayaan masyarakat memiliki arti yang amat luas, sepanjang tujuannya adalah untuk mensejahterakan umat manusia. Menurut C ham b er s (d alam K ar tasasm i ta, 19 9 7 ), pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep yang mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat peoplecentered participator y, empowering dan sustainable. Ketiga sifat tersebut dapat di jelaskan melalui 3 sisi sebagai berikut: a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Jika demikian, manusia akan lebih cepat punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. c. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, o l e h k a re n a ke k u ra n gb e rd aya a n d a l a m menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Menelaah paradigma tentang pemberdayaan yang telah di uraikan di atas, maka pemahaman kita bahwa masyarakat memiliki potensi yang besar untuk di kembangkan haruslah terlebih dahulu ada sebelum program pemberdayaan itu dibuat. Pemberdayaan hendaknya mengacu pada pemunculan atau optimalisasi potensi yang sebelumnya sudah dimiliki oleh masyarakat sasaran. Akses untuk menciptakan empowerment harus dibuka lebar, agar masyarakat dapat melihat setiap peluang untuk pengembangan dirinya. Pendampingan juga menjadi hal yang amat penting agar terhindar dari dampak negatif karena program pemberdayaan yang kurang tepat. Masyarakat harus tetap dilindungi dari keadaan yang semakin buruk dari keadaan sebelumnya. Krisis sosial yang menimpa bangsa Indonesia sudah memberikan dampak yang buruk pada stabilitas masyarakat. Krisis bermula dari adanya perubahan system pemerintahan dan politik yang tidak terprediksi, krisis ekonomi, dan krisis akibat bencana alam yang beberapa tahun belakangan melanda Indonesia. Kemiskinan dan krisis moral anak bangsa pun kerap menjadi isu yang tidak pernah berhenti. Pemberdayaan menjadi diperlukan karena pada dasarnya masyarakat Indonesia dibangun oleh budaya-budaya dan nilai luhur sosial kemasyarakatan sebagai sebuah potensi. Potensi inilah yang belum muncul secara optimal. Faktor yang menghambat selain hal-hal tersebut di atas, adalah juga problem sumber daya manusia yang amat heterogen. Di satu sisi ada sekelompok orang yang memiliki pendidikan tinggi, di sisi lain, banyak kelompok orang yang masih kurang berpendidikan. Keadaan sosial ekonomi yang ekstrim dan kurangnya akses sekelompok masyarakat untuk mendapatkan informasi pun memberikan dampak pada lemahnya mental masyarakat menerima perubahan yang amat cepat.
161
Pemberdayaan dan Fungsi Media dalam Pemberdayaan Masyarakat
Fungsi Media dalam Pemberdayaan Masyarakat Tentu dalam sebuah program pemberdayaan masyarakat, banyak faktor maupun pihak yang telibat dalam implementasinya. Jika selama ini konsentrasi kita hanya pada orang-orang yang secara fisik ada, biaya yang secara fisik tampak, dan program yang secara sistematis terbaca, sebagai motor dari sebuah pemberdayaan, maka bagaimana dengan peran media (yang terlupakan) dalam aktivitas pemberdayaan pada masyarakat? Tentu saja peran media jauh lebih dapat m e n j a n gk a u b a nya k ke l o m p o k s a s a ra n dibandingkan dengan pemberdayaan yang dilakukan di sebuah ruang tertutup. Bahwa media menjadi faktor yang berperan dalam perubahan sosial masyarakat, kita tidak dapat menolaknya. Namun saat ini media (terutama televisi) harus terpaksa pasrah menerima 'cacian' karena masyarakat menilai bahwa televisi mulai didominasi oleh program-program yang menjerumuskan, acara-acara yang membuat mental bangsa menjadi bertambah lemah, yang hanya mampu menjual mimpi, dan hanya dapat membuat masyarakat menjadi golongan orang yang konsumtif. Televisi dianggap sudah gagal mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Sinetron, gossip, dan tayangan-tayangan kekerasan kerap menjadi konsumsi masyarakat kita setiap harinya. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi pada masyarakat sebagai dampak dari media televisi tampaknya cenderung kearah yang negatif. Pada dasarnya, media menjalankan fungsinya untuk mengkomunikasikan beberapa informasi dalam beragam tujuan program dan segmen. Fu n g s i - f u n g s i i t u ke m u d i a n disederhanakan kembali oleh Onong Uchyana (1986), dengan menyebutkan bahwa fungsi utama dari komunikasi massa adalah memberikan informasi (to inform), mendidik masyarakat (to educate), menyajikan hiburan (to entertain) dan mempengaruhi masyarakat (to influence). Dalam perkembangannya, stasiun televise saat ini mengalami pertambahan yang amat pesat. Tidak hanya televisi swasta, namun juga sudah mulai banyak mengudara beberapa televisi lokal daerah dengan program acara yang amat beragam. Semua fungsi dari komunikasi massa telah ada pada media tersebut. Acara-acara berita baik nasional maupun lokal merupakan bagian media
162
yang yang memiliki fungsi untuk memberikan informasi. Beberapa program pendidikan yang telah dikemas sedemikian rupa dengan bahasa media yang 'menjual' pun telah ada untuk memenuhi fungsi to educate. Hiburan mungkin memiliki porsi yang lebih banyak dibandingkan acara lain, tentu karena televise juga perlu 'hidup' dan 'menghidupi'. Dengan alasan rating, penting bagi televisi menyuguhkan tayangan-tayangan hiburan agar dapat menarik sebanyak-banyaknya pemirsa untuk menonton acara tersebut. Televisi seolah-olah mengabaikan tanggungjawab sosialnya karena tuntutan bisnis yang jauh lebih kuat. Sementara itu, fungsi media televisi untuk mempengaruhi masyarakat masih kita lihat pada adanya tayangan-tayangan iklan, baik komersil maupun iklan layanan masyarakat. Meski masih dalam batasan dampak media yang amat 'naif', namun ternyata media memiliki kekuatan tersendiri yang amat besar untuk dapat merubah kondisi atau tatanan masyarakat kita. Lebih jauh beberapa penelitian bahkan mengatakan bahwa televisi juga mampu mengubah persepsi, belief, moral, bahkan perilaku tertentu. Dengan demikian, media nyatanya dapat juga dipergunakan dalam membuat sebuah program memberdayakan masyarakat. Dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki, seharusnya televisi dapat menjadi media yang dahsyat untuk dapat membuat masyarakat menjadi berdaya. Karena media intinya adalah melayani masyarakat. Melalui pelayanan inilah, media diharapkan mampu masuk dengan lebih mudah pada masyarakat. Mengamati hubungannya dengan pelayanan pada masyarakat, media memiliki fungsi yang signifikan bagi pemberdayaan masyarakat. Harold D.Laswell (1953) yang dikenal didunia komunikasi massa lewat rumusan strategi komunikasinya: who says in which channel to whom with what effect menguraikan proses komunikasi di masyarakat menunjukkan 3 fungsi: 1. Pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the environment), penyingkapan ancaman dan kesempatan mempengaruhi nilai masyarakat dan bagian-bagian unsur di dalamnya. 2. Korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menanggapi lingkungan (correlation of the component of society in making response to the environment) INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Ike Herdiana
3. Penyebaran warisan sosial (transmission of the social inheritance). Institusi pendidikan formal maupun keluarga berperan mewariskan warisan sosial sebagai bagian dari proses belajar. Menurut Laswell pula, dalam menilai efisiensi komunikasi pada suatu ketika perlu diperhitungkan pertaruhan nilai-nilai dan identitas kelompok yang dikaji. Dalam hubungannya dengan program pemberdayaan masyarakat, memahami target individu yang disasar dalam komunikasi persuasifnya adalah penting. Dengan demikian program menjadi lebih tepat sasaran dan tepat guna. Memetakan demografi, psikografi, gaya hidup dan nilai-nilai yang diyakini audiens sebagai pintu masuk merencanakan suatu pesan juga menjadi hal yang sangat penting. Pada contoh yang paling sederhana, kita bisa lihat bagaimana program acara ceramah agama yang sering tayang di pagi hari (pada hampir semua stasiun televisi), dikemas dengan amat menarik untuk tujuan mengedukasi, memberikan informasi tentang agama. Kalau selama ini ceramah-ceramah agama seperti yang biasa kita ikuti selalu identik dengan kekakuan, suasana yang membosankan dan monoton, maka bisa kita lihat pada acara ceramah yang dikemas oleh televisi, tidak hanya fungsi edukasi (to educate) dan informasinya (to inform) saja , namun juga sudah memenuhi persyaratan untuk terpenuhinya fungsi hiburan (to entertain) dan bahkan fungsi mempengaruhi (to influence). Lebih jauh Joseph R Dominick, seorang guru besar Universitas Georgia menguraikan fungsi komunikasi massa sebagai: 1. Pengawasan (surveillance), dimana media massa menyajikan informasi yang diperoleh dari hasil pengawasannya yang tidak dapat dilakukan masyarakat. Lebih lanjut fungsi ini dibagi lagi menjadi: pengawasan peringatan (warning surveillance) seperti pengawasan yang disampaikan media mengenai informasi yang berhubungan dengan ancaman tertentu, seperti bencana alam, krisis ekonomi, inflasi militer atau ancaman ledakan pengangguran, dan pengawasan instrumental (instrumental surveillance) yang berkaitan dengan informasi yang berguna bagi kehidupan sehari-hari, seperti informasi tentang harga bahan kebutuhan, produk-produk hingga publikasi pengetahuan. INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
2. Interpretasi (interpretation), media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data tetapi juga interpretasi mengenai suatu berita tertentu. 3. Hubungan (linkage), media mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat dalam masyarakat yang tidak dapat dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Misalnya iklan, menghubungkan kebutuhan dengan produk-produk penjual. 4. S o s i a l i s a s i , b a h w a s o s i a l i s a s i merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang mengacu pada cara-cara individu mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok. 5. Hiburan (entertainment), media mampu menyajikan hal-hal yang menghibur bagi audiensnya. Pemberdayaan Spiritual melalui Media Massa Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat melalui media massa dapat kita lihat melalui fungsi sosialisasi dari sebuah media. Dalam hal ini ada nilai-nilai yang ditransmisikan kepada masyarakat yang mengacu pada nilai-nilai yang ingin disampaikan agar terjadi perubahan yang signifikan pada keadaan masyarakat s e b e l u m n y a . Te n t u n y a p e m b e r d a y a a n mengharapkan adanya perubahan yang positif. Misalnya program acara yang tujuannya untuk memberdayakan umat manusia melalui pencerahan spiritual. Saya mengambil contoh spesifik tentang ceramah-ceramah agama Islam yang saat ini telah menjadi program tetap di hampir sebagian besar media massa, baik cetak maupun elektronik. Dalam sebuah analisa wacana 'Media Massa dan Kesadaran Keagamaan' (Jalaludin Rakhmat, 1998) dijelaskan bahwa sumber daya masyarakat mulai dibicarakan ketika kesadaran terhadap komunitas muncul. Misalnya ketika berbicara tentang sumber daya umat islam setelah muncul kesadaran diri sebagai bagian dari umat. Namun ketika kita memusatkan pembicaraan tentang media massa umat islam, kesulitan yang paling utama adalah mendefinisikan media massa umat islam itu sendiri. Beberapa definisi yang diungkapkan Rakhmat (1998) adalah sebagai berikut: a. Pertama, definisi yang merujuk kepada
163
Pemberdayaan dan Fungsi Media dalam Pemberdayaan Masyarakat
media massa yang pada tingkat simbolik, menggunakan nama Islam, atau menyatakan klasifikasi ini. Contohnya antara lain Ummat, Panji Masyarakat, dan Amanah. b. Kedua, media massa yang tidak menggunakan symbol-simbol Islam, tetapi secara tersirat di persepsikan orang bahwa dia memikul misi keagamaan. Misalnya Republika dan Pelita (dulu). Sampai tahap tertentu, boleh jadi, Terbit juga bisa kita masukkan ke dalam klasifikasi kedua, demikian pula Kompas. Kompas tidak membawa misi keagamaan, tidak membawa symbol keagamaan, tetapi dipersepsikan orang bahwa surat kabar tersebut secara tersirat membawa misi keagamaan. c. Ketiga, media massa yang dimaksud tidak membawa lambang-lambang Islam, juga tidak secara implicit membawa misi Islam, tetapi di media massa itu banyak orang islam berupaya memasukkan misinya, dalam pengertian memasukkan gagasan-gagasan mereka. Misalnya Radio Ramako, tidak menampilkan simbol-simbol Islam, juga tidak membawa misi Islam, tetapi di dalamnya ada upaya berdakwah melalui radio. Itu karena di ilhami oleh semangat para pengurus dan pemiliknya. Untuk empowering umat Islam, ketiga jenis media massa tersebut dapat memegang peranan. Seperti yang kita ketahui saat ini bermunculan pada ustad/ulama/ ahli agama yang mampu menampilkan diri semenarik mungkin untuk dapat berdakwah di hadapan umat. Baik melalui televisi maupun radio. Pada beberapa ahli agama yang sebelumnya sudah memiliki nama besar, mereka dapat berdakwah melalui tulisan di koran atau majalah-majalah. Quraish Shihab dan Emha Ainun Nadjib contohnya. Efektifitas penggunaan media dalam berdakwah dapat kita lihat dari seberapa lama program acara bertahan sebagai bagian dari program televisi yang ada. Bahkan program acara tersebut telah pula dikemas sedemikian rupa agar menarik sehingga memenuhi unsur hiburan selain fungsi sosialisasi tadi. Menurut teori dari Benedict Anderson (dalam Rakhmat, 1998) pemberdayaan umat beragama ini diperlukan karena adanya kenyataan tentang existential vacuum di dalam masyarakat kita. Menurut Anderson, kelompok menengah Islam di Indonesia tiba-tiba ingin hidup di dalam
164
gaya hidup yang dilain dibandingkan dengan gaya hidup orang tua mereka terdahulu. Tersaksikan pula anak-anak mereka yang tidak lagi memperoleh nilai-nilai Islam seperti yang mereka peroleh dulu. Mereka juga tidak tahu bagaimana menghidupi kehidupan yang baru ini. Misalnya, hal ihwal kebendaan datang melimpah kepada mereka, uang yang banyak dan mereka hidup dalam pergaulan internasional. Anderson mengatakan bahwa orang-orang ini limbung, dan dalam keadaan seperti ini , orang paling senang mencari perlindungan dalam doktrin-doktrin keagamaan. Dari situlah muncul kesadaran untuk mengislamkan setiap bagian dari kehidupan mereka. Kesadaran seperti itu, selain muncul dari kevakuman eksistensial, juga datang dari perasaan bersalah (guilt feeling). Karena sebagai umat Islam mereka merasa belum memberikan sesuatu yang bermakna. Hal ini menurut Anderson merupakan reaksi dari apa yang disebut sebagai conversion syndrome, yaitu sindrom yang membuat mereka yang dulu tidak memperhatikan agama, tiba-tiba jadi memperhatikan agama. Secara historis, era Zainudin MZ (ahli dakwah yang terkenal dulu) sepertinya telah lewat, berganti dengan pedakwah-pedakwah muda dengan tampilan diri yang lebih menarik dan cara menyampaikan dakwah yang lebih segar dan spontan. Adanya perubahan cara mengungkapkan seharusnya tidak perlu diperdebatkan, selama mereka masih berada pada pakem-pakem yang seharusnya. Media tentu menginginkan tujuan program dapat tercapai. Selama sudut pandang ( a n gl e ) Is l a m ya n g d i s a m p a i k a n t i d a k menyimpang, tentu akan mendapatkan reaksi positif dari masyarakat. Namun media tidak mampu memprediksi persepsi masyarakat terhadap program yang ditayangkan. Persepsi yang terlalu luas akan terjadi mengingat masyarakat kita yang amat heterogen. Seringkali mediapun menghadapi persoalan dan fungsi media akhirnya menjadi bias. Munculnya persepsi 'negatif' dari masyarakat terhadap seorang ahli dakwah, tentunya akan menghambat alur pemberdayaan masyarakat melalui media. Disatu sisi berdakwah membawa sudut pandang agama yang sudah memiliki pakem, disisi lain penampilan pendakwah justru tidak mencerminkan pakem tersebut. Masyarakat bisa saja mengalami kebingungan. Rakhmat INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Ike Herdiana
(1998) mengemukakan bahwa ada beberapa angle yang dapat disepakai sebagai angle Islam, namun dalam prakteknya kita sering kesulitan menentukan mana angle Islam dan mana yang bukan. Hal tersebut tergantung dari pemahaman kita terhadap Islam. Bahkan lebih khusus lagi, menurut Rahmat, hal itu mungkin tergantung kepada kelompok Islam yang mana. Dengan demikian, wajar kiranya ketika program
pemberdayaan melalui media bisa saja hanya berpengaruh pada sebagian orang dan tidak berpengaruh pada sebagian orang lainnya. Intinya pemberdayaan masyarakat melalui media massa dapat saja dilakukan, dan media massa amat potensial dapat mengedukasi dan mempengaruhi lebih banyak orang dibandingkan media lainnya, meskipun keberhasilannya kurang dapat dipastikan secara kuantitatif.
PUSTAKA ACUAN Effendy, O. (1992). Dinamika komunikasi. Penerbit Remaja Rosdakarya: Bandung. Effendy, O. (1998). Ilmu komunikasi, teori dan praktek. Penerbit Remaja Rosdakarya: Bandung. Rakhmat, J. (1998). Catatan Kang Jalal: Visi media, politik, dan pendidikan. Penerbit Remaja Rosdakarya : Bandung. Kartasasmita, G. (1997). Pemberdayaan masyarakat : Konsep pembangunan yang berakar pada masyarakat. (diakses dari http://www.ginandjar.com. tanggal 10 Nopember 2011)
INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
165