“PARTISIPASI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT” ( Studi tentang Persepsi Mayarakat terhadap Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Di Kabupaten Donggala)
PAPER Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Pemerintahan Indonesia Yang Dibina Oleh Bapak Drs. Mochamad Rozikin, M.AP
Oleh : ERIN DAMAYANTI 135030118113001
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK 2014/2015
1
BAB I LATAR BELAKANG
Masalah kemiskinan tidak terlepas dari negara manapun, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan bukan hanya masalah pribadi, golongan, bahkan pemerintah saja, tetapi merupakan masalah seluruh komponen bangsa. Kepedulian, kesadaran, dan kerjasama antar sesama warga diharapkan mampu membantu untuk menekan tingkat kemiskinan di Indonesia. Dalam rangka mengatasi permasalahan kemiskinan ini, maka diperlukan adanya upaya pembangunan. Bangsa dan negara Indonesia sekarang ini berada dalam suasana pembangunan. Pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan berlandaskan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan program pembangunan tersebut menemui banyak hambatan. Hambatan yang paling mendasar adalah dari aspek manusia karena manusia merupakan komponen yang menentukan berhasil atau tidaknya pelaksanaan pembangunan sesuai seperti yang digariskan dan direncanakan. Kegiatan membangun masyarakat berkaitan dengan memberdayakan masyarakat karena disamping memerangi kemiskinan dan kesenjangan juga mendorong masyarakat untuk lebih aktif dan inisiatif. Pendekatan pemberdayaan ini cenderung mengutamakan alur dari bawah ke atas (bottom-up). Bottom up berarti mengidentifikasi masalah dan kebutuhan dari bawah, kamudian diakomodasi oleh pemerintah baik daerah maupun pusat, dalam hal ini dinasdinas terkait, untuk dimasukkan sebagai mata program dalam perencanaan pembangunan. Program-program pembangunan dalam rangka pengentasan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah selama ini dinilai kurang menekankan aspek pemberdayaan, seperti halnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Meskipun
program
tersebut
sebenarnya
2
memiliki
tujuan
baik,
namun
kenyataannya tidak mampu mendorong warga miskin menjadi warga yang mandiri, karena dengan adanya BLT masyarakat akan menggantungkan diri terhadap program tersebut. Di lain pihak, upaya pengentasan kemiskinan hendaknya tidak hanya tanggungjawab pemerintah, melainkan merupakan tanggung jawab bersama baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam rangka mengatasi kemiskinan secara berlanjut, maka upaya-upaya yang paling penting dalam mengatasi kemiskinan harus dilakukan oleh komunitas sendiri terutama pada tingkat kelurahan. Permasalah tentang kemiskinan dan kesenjangan antar wilayah belum bisa dipecahkan secara tuntas. Permasalahan ini hampir melibatkan seluruh penduduk Indonesia. Sekarang pemerintah Indonesia mulai berusaha untuk memberantas kemiskinan dan mengurangi kesenjangan antar wilayah dengan cara melakukan pemerataan pembangunan sampek ke daerah pinggiran. Menurut Sumodiningrat (1999), strategi pembangunan ekonomi Indonesia adalah untuk menghadapi tantangan kesenjangan yaitu kesenjangan antar wilayah, kesenjangan sektor kegiatan ekonomi dan kesenjangan antar manusia pelaksana pembangunan. Strategi tersebut diterapkan kebijakan pembangunan yang diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kesiapan masyarakat. Salah satu strategi untuk mengatasi permasalahan di atas adalah melalui pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat, agar mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan. Menurut Hikmat (2001:3) konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang sekarang dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari
perangkap
kemiskinan
dan
ketidakberdayaan
untuk
meningkatkan
kesejahteraannya. Akhir-akhir ini sering terdengar anjuran dari pihak pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, agar diusahakan supaya rakyat lebih berpartisipasi dalam pembangunan. Melalui program-program pembangunan partisipatif tersebut diharapkan semua elemen masyarakat dapat secara bersama-sama berpartisipasi
3
dengan cara mencurahkan pemikiran dan sumberdaya yang dimiliki guna memenuhi kebutuhannya sendiri. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan sebuah program pembangunan mutlak diperlukan karena masyarakatlah yang pada akhirnya akan melaksanakan program tersebut. Adanya keterlibatan masyarakat memungkinkan adanya rasa tanggungjawab dan rasa memiliki terhadap keberlanjutan program pembangunan. Dapat disebutkan ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sifat masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek tersebut akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Ketiga, timbul anggapan bahwa suatu hak demokrasi ialah apabila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat itu sendiri. Partisipasi rakyat, terutama rakyat pedesaan, dalam pembangunan itu sebenarnya menyangkut dua tipe yang pada prinsipnya berbeda, ialah : (1) partisipasi dalam aktivitas-aktivitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; (2) partisipasi sebagai individu di luar aktivitas-aktivitas bersama dalam pembangunan. Dalam tipe partisipasi yang pertama, rakyat pedesaan diajak, dihimbau, diperintahkan atau dipaksa oleh wakil-wakil dari beraneka warna Departemen atau oleh Pamong Desa, untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tenaga atau hartanya kepada proyek-proyek pembangunan khusus yang biasanya bersifat fisik. Kalau rakyat ikut serta berdasarkan atas keyakinannya bahwa proyeknya itu akan bermanfaat baginya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan spontanitas yang besar, tanpa mengharapkan upah tinggi. Sebaliknya, kalau mereka diperintah dan dipaksa oleh atasan mereka untuk ikut menyumbangkan tenaga atau harta mereka kepada proyeknya tadi, maka akan berpartisipasi dengan semangat kerja rodi. Dalam tipe partisipasi yang kedua tidak ada proyek aktivitas bersama yang khusus, tetapi ada proyek-proyek pembangunan, biasanya yang
4
tidak bersifat fisik dan yang memerlukan suatu partisipasi rakyat tidak atas perintah atau paksaan dari atasannya, tetapi selalu atas dasar kemauan mereka sendiri. Penyediaan
prasarana
merupakan
bagian
terpenting
dalam
upaya
pengembangan dan pembangunan wilayah. Tersedianya prasarana yang memadai dapat meningkatkan kegiatan sosial ekonomi, dan dengan kondisi sosial ekonomi yang baik masyarakat lebih memiliki kemampuan berpartisipasi dalam penyediaan prasarana di lingkungannya. Namun pada kenyataannya kemampuan pemerintah dalam menyediakan prasarana terbatas, sedang partisipasi masyarakat tidak muncul dengan sendirinya, perlu terus-menerus didorong melalui suatu komunikasi pembangunan. Pemerintah tidak mungkin akan mampu membiayai sepenuhnya pembangunan prasarana. Dalam arti peran pemerintah dalam penyediaan fasilitas sarana dan prasarana secara langsung semakin lama harus semakin dikurangi dan digantikan perannya sehingga dapat merangsang dan mengarahkan peran organisasi non pemerintah dan masyarakat dalam partisipasi pembangunan. Dalam hal ini penekanan dalam hal kemandirian (selfhelp), maksudnya ialah masyarakat itu yang mengelola dan mengorganisasikan sumber-sumber lokal baik yang bersifat materil, pikiran, maupun tenaga. Model pembangunan yang partisipatif mengutamakan pembangunan yang dilakukan dan dikelola langsung oleh masyarakat lokal. Model yang demikian itu menekankan pada upaya pengembangan kapasitas masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan model pembangunan tersebut, dapat dikemukakan bahwa suatu proyek atau program dapat digolongkan ke dalam model pembangunan partisipatif apabila program tersebut dikelola sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan, bukan oleh aparat pemerintah. Pemberian kewenangan kepada masyarakat setempat yang tidak hanya untuk menyelenggarakan proyek atau program pembangunan, tetapi juga untuk mengelola proyek tersebut akan mendorong masyarakat untuk mengerahkan segala kemampuan dan potensinya demi keberhasilan proyek-program tersebut. Pada gilirannya keberdayaan masyarakat setempat menjadi baik sebagai akibat dari meningkatnya kemampuan dan kapasitas masyarakat.
5
Penguatan kelembagaan di sini tidak hanya berarti penguatan secara fisik saja, seperti bangunan, struktur, atau hanya kelengkapan organisasi, tetapi lebih kepada penguatan fungsi dan perannya sebagai lembaga/organisasi yang diserahi tugas dan wewenang melaksanakan, memantau, atau menjaga program pembangunan di wilayahnya. Dengan menguatnya kelembagaan masyarakat setempat terutama berkaitan dengan fungsi dan peran sebagai lembaga masyarakat yang diterima dan dipercaya oleh warga masyarakatnya, jika program pembangunan diserahkan pelaksanaannya kepada lembaga tersebut, maka partisipasi masyarakat untuk mensukseskan program tersebut dapat dijamin tergolong tinggi. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraannya. Namun diperlukan kemampuan pemerintah untuk menetapkan sektor-sektor yang dapat diserahkan pembangunan dan pengelolaannya kepada masyarakat, serta bantuan perangsang yang harus diberikan oleh pemerintah. Oleh karena itu untuk menumbuhkembangkan partisipasi dalam pembangunan yang memberikan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat, perlu dipikirkan tipe-tipe fasilitas tertentu yang bukan saja mampu meningkatkan partisipasi itu sendiri tetapi juga mampu meningkatkan kemadirian masyarakat. Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir, dimana sumber kehidupan perekonomiannya bergantung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Secara operasional, masyarakat pesisir hanya difokuskan pada kelompok nelayan, pedagang dan pengolah ikan. Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dinilai dengan indikator-indikator pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat (Nikijuluw, 2001). Menurut Badan Pusat Statistik (2005) dalam Sugiharto (2007), terdapat delapan indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan, yaitu: pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan akses ke jenjang pendidikan, dan kemudahan mendapatkan
6
fasilitas transportasi. Kusnadi (2002) mengemukakan bahwa kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktorfaktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumberdaya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tapi juga disebabkan oleh dampak negatif
modernisasi
perikanan
yang
mendorong
terjadinya
pengurasan
sumberdaya laut secara berlebihan. Pemerintah telah meyelenggarakan berbagai program, proyek dan kegiatan untuk mengentaskan kemiskinan nelayan antara lain program motorisasi armada nelayan skala kecil (Keppres No. 39 tahun 1980), program sistem rantai dingin (awal tahun 1980-an), program pembangunan prasarana perikanan, Protekan 2003 yaitu Gerakan Peningkatan Eskpor Perikanan, koperasi perikanan KUD Mina, program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (Program PEMP tahun 2008), bantuan langsung masyarakat kelautan dan perikanan (Permen Kelautan dan Perikanan No. Per. 12/Men/2008), perlindungan nelayan (Inpres Nomor 15 Tahun 2011), program pengembangan usaha mina perdesaan (PUMP) perikanan tangkap dan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM)-mandiri; dimana semua program tersebut dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat kelautan dan perikanan miskin; yang diarahkan untuk mendorong kemandirian masyarakat. Secara normatif, seharusnya masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang sejahtera mengingat besarnya potensi sumber daya alam pesisir dan laut. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat pesisir, terutama nelayan masih merupakan bagian dari masyarakat yang tertinggal. Persoalan kerawanan sosial –ekonomi, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, kelembagaan sosial yang lemah, serta kesulitan akses modal usaha, teknologi dan pasar, merupakan permasalahan yang bersifat multidemensi (kompleks) dan saling terkait satu dengan lainnya. Dengan kondisi demikian tentunya banyak aspek yang turut mempengaruhi keberadaan masyarakat pesisir, baik secara internal maupun secara eksternal. Sebagaimana yang dikemukanan oleh Kusnadi (Direktorat PMP, 2006), bahwa sebabsebab pokok yang menimbulkan kemiskinan nelayan adalah: Pertama,
7
belum adanya kebijakan, strategi dan implementasi program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu diantara para pemangku kepentingan pembangunan. Kedua, adanya inkonsistensi kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desadesa nelayan terganggu. Ketiga, masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk arus barang, jasa, capital, dan manusia, yang mengganggu mobilitas ekonomi. Keempat, adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya. Kelima, adanya relasi sosial ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik perahu, pedagang perantara/tengkulak dalam kehidupan masyarakat nelayan. Keenam, adalah rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas kehidupan mereka. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan salah satu konsepsi program Departemen Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2001 yang dirancang secara umum bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), penggalangan partisipasi masyarakat dan kegiatan usaha ekonomi produktif lainnya yang berbasis sumberdaya lokal dan berkelanjutan., sehingga dapat mendorong dinamika pembangunan sosial ekonomi di kawasan pesisir. Dengan demikian pendekatan utama Program PEMP adalah kelembagaan. Secara khusus, tujuan dari program PEMP adalah :(1) meningkatan
partisipasi
masyarakat
dalam
perencanaan,
pelaksanaan,
pengawasan, dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat; (2) memperkuat kelembagaan ekonomi masyarakat dalam mendukung pembangunan daerah; (3) mengembangkan keragaman kegiatan usaha, dan memperluas kesempatan kerja sehingga pendapatan masyarakat meningkat. Dalam mewujudkan tujuan Program PEMP, maka dalam implementasinya digunakan pendekatan : (1) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan,
pengembangan
dan
pelestarian
pembangunan
masyarakat dan wilayahnya; (2) Kemitraan antara masyarakat, aparat pemerintah
8
dan swasta dalam pengembangan kegiatan; serta (3) Keswadayaan (kemandirian) masyarakat dalam pembangunan masyarakat dan wilayahnya. Kabupaten Donggala merupakan salah satu Kabupaten yang terpilih untuk menerima Program PEMP dari Pemerintah Pusat melalui Departemen Kelautan dan Perikanan. Selama berlangsungnya Program PEMP di Kabupaten Donggala beberapa hal perlu dikemukakan, antara lain adanya perubahan lembaga pengelolah ditingkat masyarakat yang harus menyesuaikan dengan fase atau priode tersebut di atas termasuk perubahan sistem perolehan pinjaman dan pengembalian pinjaman. Selain itu adanya standar ganda dalam hal penerapan pengembalian pinjaman atas pelaksanaan dana ekonomi produktif (DEP) oleh LEPP-M3 / Koperasi kepada kelompok masyarakat pemanfaat tahun 2001-2003 dengan kelompok masyarakat pemanfaat tahun 2004-2006. Artinya, masyarakat yang memperoleh dana DEP pada periode inisiasi tahun 2001-2003, pola pengembalian pinjaman adalah dalam bentuk bagi hasil. Sedangkan masyarakat yang memperoleh DEP pada periode 2004-2006 pola pengembalian pinjaman dengan penetapan bunga pinjaman.
9
BAB II KAJIAN TEORI
2.1
Kemiskinan dan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencakup tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Berbagai strategi dalam pengentasan kemiskinan telah banyak dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Tapi masih saja formulasi untuk pengentasan kemiskinan tersebut belum mampu sepenuhnya menyelesaikan persoalan mengenai kemiskinan itu sendiri. (Marwoto : 2005:108) Ukuran kemiskinan secara umum dibedakan atas kemiskinan absolut dan
kemiskinan
relatif.
Kemiskinan
absolut
didasarkan
pada
ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak, Konsep ini dikembangkan di Indonesia di dinyatakan sebagai ”inability of the individual to met basic needs” (Marwoto: 2005:97). Chambers (1987:141) menyatakan bahwa penyebab kemiskinan sebagai suatu kompleksitas serta hubungan sebab-akibat yang saling berkaitan
dari
(vulnerability),
ketidakberdayaan kelemahan
fisik
(powerlessness),
(physical
weakness),
kerapuhan kemiskinan
(poverty), dan keterasingan (isolation). Mengatasi kemiskinan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan orang untuk dapat mandiri baik dalam pengertian ekonomi, sosial maupun politik. Disamping itu semakin tinggi akses ekonomi yang dimiliki sehingga pada akhirnya mereka diharapkan dapat mandiri dalam mengatasi problem kemiskinan yang dihadapi. Pembangunan yang bertumpu pada manusia dengan menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat secara partisipatif,
10
merupakan pilihan strategi pembangunan bagi banyak negara termasuk negara Indonesia. Pendekatan pembangunan yang sedang popular saat ini adalah pendekatan pembangunan yang mengutamakan peningkatan keberdayaan manusia/masyarakat yang disebut pembangunan yang berpusat pada masyarakat (people centered development). Menurut Korten (2002:110) pembangunan adalah proses di mana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikanperbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka sendiri. Definisi ini menekankan pada proses pembangunan dan fokus utamanya adalah pada peningkatan kapasitas perorangan dan institusional. Definisi ini mencakup atas keadilan, berkelanjutan dan pemerataan. Diakui bahwa masyarakat sendiri yang bisa menentukan apa yang sebenarnya mereka anggap perbaikan dalam kualitas hidup mereka. Pembangunan sosial merupakan sumber gagasan dari awal konsep pemberdayaan masyarakat, bermaksud membangun keberdayaan yaitu membangun kemampuan manusia dalam hidupnya.
Dalam
pembangunan
sosial
mengatasi permasalahan ditekankan
pentingnya
pemberdayaan masyarakat sebagai upaya mengentaskan kemiskinan. Menurut Hadiman dan Midgley (dalam Suharto, 2005:5) model pembangunan sosial menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok marginal, yakni peningkatan taraf hidup masyarakat
yang
kurang
memiliki
kemampuan
ekonomi
secara
berkelanjutan. Hal tersebut dapat dicapai melalui : a. Menumbumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah secara ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja. b. Menyediakan dan memberikan pelayanan sosial, khususnya pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, perumahan, serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan produktivitas dan partisipasi sosial dalam kehidupan masyarakatnya.
11
Pemberdayaan
masyarakat
merupakan
upaya
mempersiapkan
masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat, agar mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan. Menurut
Hikmat
(2001:3)
konsep
pemberdayaan
dalam
wacana
pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang sekarang dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan ketidakberdayaan. Konsep pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya menawarkan suatu proses perencanaan pembangunan dengan memusatkan pada partisipasi, kemampuan dan masyarakat lokal. Dalam konteks ini, maka masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program yang mereka lakukan. Masyarakat ditempatkan sebagai aktor (subyek) pembangunan dan tidak sekedar menjadikan mereka sebagai penerima pasif pelayanan saja. Pembangunan masyarakat yang berkesinambungan pada hakekatnya merupakan suatu proses yang disengaja dan terarah, mengutamakan pendayagunaan potensi dan sumber daya setempat atau lokal dan mengutamakan kreatifitas-inisiatif serta partisipasi masyarakat (Suparjan, 2003: 24). Untuk mengatasi masalah kemiskinan, pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan, dan salah satu diantaranya adalah Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP). Secara umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
pesisir
melalui
pengembangan
kegiatan
ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumber daya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Sasaran dari program PEMP adalah masyarakat pesisir, yang tergolong skala mikro dan kecil, yang berusaha sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pedagang hasil perikanan, pengolah ikan, pengusaha
12
jasa perikanan, dan pengelola pariwisata bahari serta usaha/kegiatan lainnya yang terkait derigan kelautan dan perikanan seperti pengadaan bahan dan alat perikanan serta BBM (Solar Pocked Dealer untuk nelayan atau kios BBM).
2.2
Partisipasi Masyarakat Partisipasi merupakan keterlibatan sosial dan emosi seseorang dalam situasi
kelompok
yang
mendorong
mereka
untuk
ikut
serta
menyumbangkan kemampuan dalam mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggungjawab atas tujuan kelompok tersebut. Menurut Mubyarto (dalam Suparjan, 2003:58), partisipasi merupakan kesediaan untuk membantu berhasilnya program sesuai dengan kemampuan setiap orang, bukan berarti harus mengorbankan kepentingan diri sendiri. Inti dari partisipasi masyarakat adalah sikap sukarela masyarakat untuk membantu keberhasilan program pembangunan. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikemukakan oleh Conyers (1992: 154) sebagai berikut :
a. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
b. Bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembanguanan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut.
c. Partisipasi menjadi urgen karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat dapat diharapkan timbul jika terdapat kondisi di mana ada rasa saling mempercayai antara pengelola dan masyarakat, ada ajakan atau kesempatan bagi masyarakat untuk ikut serta sejak awal
13
perencanaan kegiatan, ada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan ada contoh dari pimpinan masyarakat. Partisipasi yang dibutuhkan adalah partisipasi yang bertanggungjawab, dan hal ini harus dimiliki oleh setiap orang atau organisasi yang ikut ambil bagian dalam aktivitas bersama tersebut. Partisipasi akan mampu mencapai hasil optimal kalau masingmasing telah mengetahui dengan jelas apa yang diharapkan dirinya dari kegiatan tersebut. Keberhasilan dari program pembangunan pada hakekatnya akan ditentukan oleh sejauhmana kebijakan yang diformulasikan tersebut mendapat dukungan dari warga masyarakat. Sebagus apapun programprogram dibuat, jika tidak memperhatikan aspirasi masyarakat pada akhirnya juga akan berakibat kepada kegagalan program tersebut dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, Emrich (dalam Suparjan, 2003:65) mengusulkan beberapa pedoman dalam penyusunan kebijakan yang berisikan peningkatan partisipasi, yaitu : a. Partisipasi harus dimulai dari tingkat yang paling bawah yaitu
mengikutsertakan kelompok penduduk paling miskin di desa. b. Partisipasi harus terjadi pada semua tahap proses pembangunan. c. Suatu dukungan semata-mata bukanlah partisipasi. d. Partisipasi harus berisi program-program nyata dibidang produksi dan
distribusi. e. Partisipasi harus mengubah loyalitas organisasi atau kelompok yang
sudah ada. Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam mencapai
keberhasilan
dan
keberlanjutan
program
pembangunan.
Partisipasi berarti keikutsertaan seseorang ataupun sekelompok masyarakat dalam suatu kegiatan secara sadar. Jnabrabota Bhattacharyya (Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama Kegagalan dalam mencapai hasil dari program pembangunan tidak mencapai sasaran karena kurangnya partisipasi masyarakat. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa sebab antara lain: (Kartasasmita, 1997)
14
a. Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil masyarakat dan
tidak menguntungkan rakyat banyak. b. Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak,
tetapi rakyat kurang memahami maksud itu c. Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat
memahaminya,
tetapi
cara
pelaksanaannya
tidak
sesuai
denganpemahaman mereka. d. Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi sejak
semula rakyat tidak diikutsertakan. Keikutsertaan
masyarakat
adalah
sangat
penting
di
dalam
keseluruhan proses pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan selayaknya mencakup keseluruhan proses mulai dari awal sampai tahap akhir. Oleh karena itu, menurut T. Ndraha partisipasi publik dapat terjadi pada 4 (empat) jenjang, yaitu: a. Partisipasi dalam proses pembentukan keputusan; b. Partisipasi dalam pelaksanaan c. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil; d. Partisipasi dalam evaluasi. Konsep
ini
memberikan
makna
bahwa
masyarakat
akan
berpartisipasi secara sukarela apabila mereka dilibatkan sejak awal dalam proses pembangunan melalui program pemberdayaan. Ketika mereka mendapatkan
manfaat
dan
merasa
memiliki
terhadap
program
pemberdayaan, maka dapat dicapai suatu keberlanjutan dari program pemberdayaan. Bentuk partisipasi yang diberikan masyarakat dalam tahap pembangunan ada beberapa bentuk. Menurut Ericson (dalam Slamet, 1994:89) bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbagi atas 3 tahap, yaitu: 1. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planing stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitian dan anggaran pada suatu kegiatan/proyek. Masyarakat berpartisipasi
15
dengan memberikan usulan, saran dan kritik melalui pertemuanpertemuan yang diadakan; 2. Partisipasi di dalam tahap pelaksanaan (implementation stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksanaan pekerjaan suatu proyek. Masyarakat disini dapat memberikan tenaga, uang ataupun material/barang serta ide-ide sebagai salah satu wujud partisipasinya pada pekerjaan tersebut; 3. Partisipasi di dalam pemanfaatan (utilitazion stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pemanfaatan suatu proyek setelah proyek tersebut selesai dikerjakan. Partisipasi masyarakat pada tahap ini berupa tenaga dan uang untuk mengoperasikan dan memelihara proyek yang telah dibangun.
2.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari faktor dari dalam masyarakat (internal), yaitu kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi, maupun faktor dari luar masyarakat (eksternal) yaitu peran aparat dan lembaga formal yang ada. Kemampuan masyarakat akan berkaitan dengan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Menurut Max Weber dan Zanden (1988), mengemukakan pandangan multidimensional tentang stratifikasi masyarakat yang mengidentifikasi adanya 3 komponen di dalamnya, yaitu kelas (ekonomi), status (prestise) dan kekuasaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Faktor internal
Untuk faktor-faktor internal adalah berasal dari dalam kelompok masyarakat sendiri, yaitu individu-individu dan kesatuan kelompok didalamnya. Tingkah laku individu berhubungan erat atau ditentukan oleh ciri-ciri sosiologis seperti umur, jenis kelamin, pengetahuan, pekerjaan dan penghasilan (Slamet,1994:97). Secara teoritis, terdapat hubungan antara ciri-ciri individu dengan tingkat partisipasi, seperti usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya menjadi anggota
16
masyarakat,
besarnya
pendapatan,
keterlibatan
dalam
kegiatan
pembangunan akan sangat berpengaruh pada partisipasi (Slamet, 1994:137-143). Menurut Plumer (dalam Suryawan, 2004:27), beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti proses partisipasi adalah: Pengetahuan dan keahlian. Dasar pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi seluruh lingkungan dari masyarakat tersebut. Hal ini membuat masyarakat memahami ataupun tidak terhadap tahap-tahap dan bentuk dari partisipasi yang ada Pekerjaan masyarakat. Biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akan dapat lebih meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikitpunwak tunya untuk berpartisipasi pada suatu proyek tertentu. Seringkali alasan yang mendasar pada masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan dengan keinginan untuk berpartisipasi Tingkat pendidikan dan buta huruf. Faktor ini sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi serta untuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan bentuk partisipasi yang ada Jenis kelamin. Sudah sangat diketahui bahwa sebagian masyarakat masih menganggap faktor inilah yang dapat mempengaruhi keinginan
dan
kemampuan
masyarakat
untuk
berpartisipasi
beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan akan mempunyai persepsi dan pandangan berbeda terhadap suatu pokok permasalahan Kepercayaan terhadap budaya tertentu. Masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, terutama dari segi agama dan budaya akan menentukan strategi partisipasi yang digunakan serta metodologi yang digunakan. Seringkali kepercayaan yang dianut dapat bertentangan dengan konsep-konsep yang ada. b. Faktor-faktor Eksternal
Menurut Sunarti (dalam jurnal Tata Loka, 2003:9), faktor-faktor eksternal ini dapat dikatakan petaruh (stakeholder), yaitu semua pihak
17
yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program ini. Petaruh kunci adalah siapa yang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, atau mempunyai posisi penting guna kesuksesan program.
2.4
Proses Pentahapan Desentralisasi dalam Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang bertujuan membentuk pemerintahan yang baik dan demokratis seperti disebutkan pada ketentuan umum, pasal 1 ayat 7, menjelaskan tentang desentralisasi; “penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dianutnya sistem desentralisasi dalam sistem negara kesatuan tak lain adalah untuk mewujudkan asas demokrasi, Chaidir (dalam Syamsudin Haris, 2007:339), menyebutkan bahwa dalam konteks desentralisasi menjelaskan otonomi daerah menjadi suatu hal yang penting, bukan semata-mata karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah. Tapi dengan otonomi proses pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Ketika kebijakan ekonomi dan pembangunan ditentukan oleh pemerintah pusat, maka banyak sekali kebijkan yang dilakukan tidak tepat sasaran. Dengan otonomi yang berkiblat pada desentralisasi, diharapkan pemerintah suatu daerah akan lebih dapat melaksanakan program ekonomi dan pembangunan dengan mempertimbangkan kondisi riil daerah yang ada di depan mata mereka, dengan asumsi bahwa “demokrasi ibarat suatu pola dengan titik gravitasi dari masyarakat, yang tujuannya dari masyarakat untuk masyarakat”. Selain itu, dengan otonomi percepatan pembangunan daerah dapat dilaksanakan, karena otonomi memberikan peluang finansial yang lebih baik, yang apabila digunakan secara maksimal, akan dapat menciptakan kemakmuran bagi masyarakat. Ditetapkannya aturan tentang pemerintah daerah yang otonom, dalam pandangan Miftah Thoha (2008;12), menegaskan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah berarti pemerintah lebih banyak
18
memberikan kepercayaan dan pemberdayaan kepada daerah agar mampu menyelenggarakan pemerintahan yang berasas pada otonomi dalam mengatasi persoalan-persoalan didaerahnya. Dalam evaluasi peraturan daerah (Perda) tidak hanya mempertimbangkan keinginan pemerintah pusat saja, akan tetapi juga mengutamakan aspirasi rakyat daerah. Berkaitan dengan penyelengaraan desentralisasi di era otonomi daerah, koalisi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat berpandangan bahwa ketika pemahaman
konsep
otonomi
hanya
diterjemahkan
sebagai
sistem
pemerintahan, maka ada hal-hal penting (esensial) yang hilang dan akan menyisakan persoalan mendasar. Sehubungan dengan hal tersebut, Ambar Teguh Sulistiyani (2004:39), menyebutkan bahwa dengan pendekatan bottomup sebagai model pendekatan ideal dalam pembangunan yang memperhatikan inisiatif dan potensi yang dihadapi. Akan tetapi menunggu tumbuhnya inisiatif membangun dari bawah untuk kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia
belum
memungkinkan,
begitu
pula
dengan
pendekatan
pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini menekankan upaya masyarakat untuk dapat mandiri, dengan melakukan identifikasi permasalahan. Diselenggarakannya
desentralisasi
dan
otonomi
daerah
oleh
pemerintah, pada dasarnya untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam mengembangkan perekonomian dan percepatan pembangunan dengan mengali potensi SDA dan meningkatkan SDM yang ada, dengan pola peningkatan pelayanan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, dengan harapan diperoleh pencapaian tingkat kemandirian yang tinggi di daerah. Di mana sesungguhnya yang pada kenyataannya bahwa daerah merupakan sumber utama faktor produksi nasional.
2.5
Konsep Persepsi Pengertian tentang presepsi dikemukakan oleh Moskowitz (dalam Walgito, 2002), bahwa persepsi merupakan “proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Stimulus bisa berasal dari luar diri individu bersangkutan (faktor eksternal) seperti lingkungan fisik,
19
obyek persepsi, pengalaman, norma-norma dan lain-lain, dan bisa juga datang dari dalam diri individu bersangkutan yakni segala apa yang ada pada individu bersangkutan (faktor internal) berupa pengetahuan yang dimiliki, cakrawala, kemampuan berpikir, perasaan, keyakinan, keadaan fisiologis dan psikologis yang bersangkutan, dan kesemuanya saling berinteraksi dalam melakukan persepsi. Pengertian di atas menunjukkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor internal, yang berkaitan dengan diri individu dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu. Atau secara spesifik dapat dibagi ke dalam tiga komponen pengaruh yakni faktorfaktor yang berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver), faktor-faktor yang berada dalam obyek atau target yang dipersepsi dan faktor-faktor yang berada dalam konteks situasi di mana persepsi itu dilakukan. Persepsi terhadap sesuatu obyek sangat berkaitan dengan karakteristik pribadi dari pelaku persepsi itu sendiri, yang lebih relevan mempengaruhi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu dan pengharapan (ekspektasi). Oleh karena karakteristik pribadi pelaku persepsi itu berbedabeda maka hasil persepsinya pun akan cenderung berbeda-beda pula. Hal ini mempertegas pendapat Davidoff bahwa persepsi itu hakekatnya bersifat individual.
20
BAB III PEMBAHASAN
3.1
Persepsi
Masyarakat
Terhadap
Program
Pemberdayaan
Ekonomi
Masyarakat Pesisir Di Kabupaten Donggala Sejak keberadaan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten Donggala, telah banyak perubahan yang dialami oleh masyarakat penerima manfaat program tersebut. Berdasarkan pengalaman atau lamanya masyarakat yang mengikuti Program PEMP, mayoritas masyarakat yang masih menginginkan keberlanjutannya untuk tetap mensejahterakan masyarakat daerah pesisir. Masyarakat yang mengikuti Program PEMP ini sangat bervariasi. Untuk lebih jelasnya, pengalaman masyarakat mengikuti Program PEMP, dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel 1, men jelaskan bahwa mayoritas masyarakat telah mengikuti Program PEMP selama < 2 tahun sebanyak 74 orang (82,2 %), dan yang telah mengikuti selama ≥ 2 tahun sebanyak 16 orang (17,8 %). Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa terdapat masyarakat yang telah mengikuti Program PEMP selama 3 tahun, artinya dengan waktu yang cukup lama, masyarakat dapat memanfaatkan bantuan yang diperoleh melalui program tersebut untuk meringankan atau membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga.
21
Berdasarkan Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa motivasi masyarakat mengikuti Program PEMP adalah ingin memperoleh modal usaha, dan membantu
meningkatkan
pendapatan
rumahtangga.
Selanjutnya
berdasarkan jenis pekerjaan masyarakat terdapat 16 pengecer ikan (64,0 %), 24 nelayan (68,6 %), dan 28 jenis pekerjaan lainnya (93,3 %) yang mengemukakan bahwa mereka mengikuti Program PEMP karena ingin memperoleh modal usaha. Hal ini dapat dipahami karena dominan jenis pekerjaan lainya adalah usaha kios nelayan/pesisir yang setiap saat menyediakan barang kebutuhan pokok untuk masyarakat pesisir, sehingga kebutuhan modal usaha menjadi prioritas utama. Sedangkan 9 pengecer ikan (36,0 %), 11 nelayan (31,4 %), dan 2 jenis pekerjaan lainnya (6,7 %) yang mengemukakan ingin membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Sesuai dengan sasaran Program PEMP yaitu ingin memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir, maka melalui bantuan modal usaha, diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan rumahtangga masyarakat pesisir.
Berdasarkan Tabel 3 , dapat dijelaskan bahwa menurut masyarakat keberadaan Program PEMP dapat berperan dalam menyediakan modal usaha dan memberdayakan/ membantu masyarakat pesisir. Terdapat 9 pengecer ikan (36,0 %), 11 nelayan (31,4 %), dan 14 jenis pekerjaan
22
lainnya (46,7 %) yang mengemukakan bahwa peran Program PEMP adalah menyediakan modal usaha. Sedangkan 16 pengecer ikan (64,0 %), 24 nelayan (68,6 %), dan 16 jenis pekerjaan lainnya (53,3 %) yang mengemukakan bahwa peran Program PEMP adalah memberdayakan/ membantu
masyarakat
mengemukakan
bahwa
pesisir. peran
Artinya,
mayoritas
Program
PEMP
masyarakat adalah
memberdayakan/membantu masyarakat pesisir. Hal ini mengindikasikan bahwa tujuan Program PEMP untuk memberdayakan masyarakat pesisir telah tercapai, sesuai dengan persepsi informan mengenai peran program tersebut. Sehubungan dengan motivasi responden mengikuti Program PEMP dan peran dari Program PEMP, maka responden juga mengemukakan persepsi mengenai manfaat yang mereka peroleh melalui program ini. Manfaat yang diperoleh responden melalui Program PEMP sangat bervariasi. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat melalui Tabel berikut ini
Berdasarkan Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa manfaat yang diperoleh masyarakat setelah mengikuti Program PEMP adalah meringankan beban ekonomi rumah tangga, meningkatkan pendapatan ruma htangga, dan mendapatkan bantuan modal usaha. Persepsi mengenai berbagai manfaat yang dikemukakan oleh masyarakat, tentunya merupakan manfaat yang telah dirasakan oleh mereka dalam mengikuti Program PEMP ini. Terdapat 7 pengecer ikan (28,0 %), 9 nelayan (25,7 %), dan 1 jenis pekerjaan lainnya (3,3 %) yang mengemukakan bahwa manfaat yang dirasakan adalah meringankan beban ekonomi rumahtangga. Selain itu, 18 pengecer ikan (72,0 %), 24 nelayan (68,6 %), dan 16 jenis pekerjaan lainnya (53,4 %) yang mengemukakan bahwa manfaat yang dirasakan adalah 23
meningkatkan pendapatan rumahtangga. Sedangkan 2 nelayan (5,7 %), dan 13 jenis pekerjaan lainnya (43,3 %) yang mengemukakan bahwa manfaat yang dirasakan dari Program PEMP adalah mendapatkan bantuan modal usaha.
3.2
Rekomendasi Persepsi
masyarakat
mengenai
motivasi
mengikuti
Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) adalah ingin memperoleh modal usaha dan membantu meningkatkan pendapatan rumahtangga. Selain itu, dapat dikemukakan bahwa peran Program PEMP adalah menyediakan modal usaha, memberdayakan/membantu masyarakat pesisir. Manfaat yang diperoleh masyarakat melalui Program PEMP adalah
meringankan
beban
ekonomi
rumahtangga,
meningkatkan
pendapatan rumah tangga, dan mendapatkan bantuan modal usaha. Sehingga masyarakat menginkan program tersebut berjalan terus.. Terdapat perbedaan pendapatan yang diperoleh masyarakat sebelum dan sesudah mengikuti Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Artinya terjadinya kenaikan (perubahan positif) pendapatan yang diperoleh setelah mengikuti Program PEMP. Dari uraian si atas, maka dapat direkomendasikan sebagai berikut : 1. Persetujuan Pemberdayaan
masyarakat khususnya
dengan
keberadaan
Program
setiap
Pemberdayaan
program eknonomi
Masyarakat pesisir (PEMP) sangat pantas untuk dihargai. Dengan demikian program-program pemberdayaan masyarakat, seperti Program PEMP di Kabupaten Donggala yang dilaksanakan selama ini harus dilakukan penyempurnaan oleh pe.merintah pusat yakni Depatemen Kelautan dan Perikanan R.I, dan Pemerintah Daerah yakni Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Donggala, Hal ini dimaksudkan agar adanya implimentasi dalam hal penerapan rencana strategi, rencana zonasi, rencana pengelolaan maupun rencana aksi dalam pemberdayaan masyarakat pesisir oleh seluruh pemangku kepentingan . Sehingga benar-benar solid dan mempunyai komitmen yang kuat dalam
24
rangka kesejahteraan masyarakat pesisir sekaligus dapat menjaga kelestarian lingkungannya. 2. Sehubungan dengan penerapan Program PEMP yang merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu, perlu dilaksanakan klasifikasi yang jelas tentang karakteristik social, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir oleh pemerintah daerah khususnya.Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Donggala yang dikordinasikan dengan para pihak pemangku kepentingan terhadap masyarakat pesisir. Sehingga pemanfaatan Dana Ekonomi Produktif (DEF) oleh setiap masyarakat pemanfaat benar-benar terarah sesuai dengan sasaran, keberadaan dan kebutuhannya. 3. Pelaksanaan program pemberdayaan khususnya Program PEMP di Kabupaten Donggala sejak dari tahap inisiasi, institusionalisasi sampai pada tahap diversifikasi, perlu dilakukan evaluasi dan pembinaan secara menyeluruh, baik dari segi desain program perencanaan sampai pada pelaksanaan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan R.I. dan Dinas Perikanan dan kelautan Donggala sehingga keluaran (output) dan hasil (outcame) dari program yang dilaksanakan dapat terus berkembang dan berkelanjutan.
25
DAFTAR PUSTAKA
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=99085&val=5101 http://jodfisipunbara.files.wordpress.com/2012/05/9-hardinata-oke-hal-3863.pdf http://pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09/ANALISISPARTISIPASI-MASYARAKAT.pdf http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/164 http://lib.unnes.ac.id/18044/1/3401409032.pdf http://www.stmik-im.ac.id/userfiles/jurnal%20yessy.pdf
26