BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pengembangan, Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan inisiatif masyarakat…. Hal ini meliputi berbagai kegiatan pembangunan di tingkat distrik, baik dilakukan oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga non pemerintah … (pengembangan masyarakat) harus dilakukan melalui gerakan yang kooperatif dan harus berhubungan dengan bentuk pemerintahan lokal terdekat.” (Colonial Office 1954: appendix D, h. 49 dalam Brokensha dan Hodge, 1969: h. 34 dalam Adi, 2003). Tujuan komunitas
pengembangan
sebagai
lokasi
masyarakat yang
adalah
memungkinkan
untuk
memantapkan
manusia
memenuhi
kebutuhannya, daripada sekedar mengandalkan pada kekuasaan yang lebih besar, tanpa kemanusiaan dan kekurangan struktur aksesibilitas terhadap kesejahteraan, ekonomi global, birokrasi, elite profesional dan sebagainya (Ife, 1995). Pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam berbagai
kegiatan
pembangunan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah,
non
pemerintah, lembaga dan masyarakat. Terdapat 3 (tiga) karakter yang perlu dicermati dalam pengembangan masyarakat (Sulistiati, 2004) yaitu: berbasis masyarakat (community based), berbasis pada sumberdaya lokal (local resource based) dan berkelanjutan (sustainable). Berbasis masyarakat mengandung pengertian bahwa masyarakat dilibatkan sebagai pelaku atau subyek mulai dari perencanaan,
pelaksanaan
sampai
kepada
monitoring
dan
evaluasinya.
Masyarakat mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan tentang keputusan yang diperlukannya secara kolektif bukan perorangan. Berbasis sumberdaya lokal berarti bahwa penciptaan kegiatan yang berasal dari sumberdaya setempat seperti perikanan, pertanian, peternakan dan sebagainya sesuai dengan potensi yang ada di dalam masyarakat.
9 Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment) pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungan. Pemberdayaan berarti mampu = berdaya = tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, mampu bertindak sesuai situasi. (Slamet, 2002) Menurut Friedmann dalam Kartasasmita (1996) mengatakan bahwa konsep empowerment merupakan paradigma terakhir dari konsep pembangunan manusia
yang
kemunculannya
disebabkan
oleh
karena
adanya
dua
permasalahan yakni “kegagalan” dan “harapan”, yaitu kegagalan model-model pembangunan
ekonomi
dalam
menanggulangi
masalah
kemiskinan
dan
lingkungan yang berkelanjutan dengan harapan-harapan adanya alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan
antar
generasi
dan
pertumbuhan
ekonomi
yang
memadai.
Memberdayakan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan masyarakat dengan cara mengembangkan dan mendinamisasi potensi -potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat seluruh lapisan masyarakat atau dengan kata lain memampukan dan memandirikan masyarakat dengan menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya, menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, tanggung jawab adalah bagian pokok dan upaya pemberdayaan. Pemberdayaan mengandung makna adanya self determination dan melibatkan setiap orang untuk merencanakan kegiatan, merumuskan kebutuhan, melaksanakan dan evaluasi program kegiatan yang telah dilaksanakan secara partisipatif tanpa membedakan ras, jenis kelamin dan perbedaan -perbedaan lainnya, karena setiap orang berhak atas penghidupan dan kehidupan yang layak
10 tidak terkecuali bagi perempuan. Pemberdayaan merupakan upaya un tuk membantu orang perorangan atau kelompok untuk memperoleh sumber-sumber dan
meningkatkan
potensi
yang
dimilikinya
agar
dapat
meningkatkan
kehidupannya dengan lebih baik. Pemberdayaan masyarakat sangat erat kaitannya dengan partisipasi yang menekankan bahwa masyarakat akan memiliki keberdayaan yang kuat apabila mereka terlibat atau dilibatkan dalam suatu proses kegiatan (Suharto, 1997). Proses pemberdayaan perempuan memiliki 3 (tiga) sumber kekuatan yaitu kekuatan psikologis, sosial dan politik. Kekuatan psikologis adalah perilaku percaya diri. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap sistem sumber sebagai dasar produksi, seperti informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi sosial dan sumber-sumber keuangan. Kekuatan politik meliputi akses terhadap proses pembuatan keputusan terutama keputusan yang mempengaruhi masa depan mereka sendiri. (Friedmann, 1992). Partisipasi perempuan dapat dilihat dari keterlibatan mereka dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Syarat-syaratnya adalah komitmen politik, strategi kebijakan responsif gender, sumberdaya dan dana, sistem informasi dan data terpilah menurut jenis kelamin, dorongan dan kontrol masyarakat (Kementerian PP, 2002). Ciri-ciri masyarakat berdaya menurut Sumardjo, Saharuddin (2004): 1. Mampu memahami diri dan potensinya. 2. Mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan) dan mengarahkan dirinya sendiri. 3. Memiliki
kekuatan
untuk
berunding,
bekerjasama
secara
saling
menguntungkan dengan bargaining power yang memadai. 4. Bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Jadi upaya pengembangan masyarakat dalam suatu komunitas tidak terlepas dari pemberdayaan perempuan dan keterlibatannya dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Proses pemberdayaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dari akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya produktif dalam masyarakat dan dalam memenuhi kebutuhan
praktis
dan
strategisnya
serta
bagaimana
suatu
program
11 pembangunan masyarakat dapat memberikan manfaat kepada perempuan dalam hal ini PKRT yang mengelola usaha mikro.
2.1.2. Komunitas dan Modal Sosial Wilkinson (1970) memahami komunitas sebagai “kumpulan orang-orang yang hidup di suatu tempat (lokalitas), di mana mereka mampu membangun sebuah konfigurasi sosial budaya dan secara bersama-sama menyusun aktivitasaktivitas kolektif (collective action).” Warren dalam Fear & Schwarzweller (1985), secara sosiologis komunitas sebagai “kombinasi dari lokalitas (kawasan) dan unit-unit sosial (manusia dan kelembagaan sosial) yang membentuk keteraturan, di mana setiap unit sosial menjalankan fungsi-fungsi sosialnya secara konsisten sehingga tersusun sebuah tatanan sosial yang tertata secara tertib.” Ciri-ciri suatu komunitas adalah mempunyai rasa solidaritas yang tinggi, di mana satu sama lain saling berinteraksi secara intensif dan mempunyai ikatan emosional yang kuat serta berada dalam wilayah teritorial yang jelas. Desa Sekarwangi merupakan suatu komunitas di mana di dalamnya terdapat ikatan emosional, dibatasi oleh wilayah teritorial dan mempunyai nilai dan norma yang mengatur individu di dalamnya. Perempuan kepala rumahtangga merupakan bagian dari komunitas dari Desa Sekarwangi. Kesatuan dalam komunitas tidak bisa dipisahkan dari modal sosial yang merupakan perekat hubungan antar perseorangan atau kelembagaan di dalam komunitas tersebut. Worldbank (2001) mengemukakan bahwa modal sosial mengacu pada kelembagaan, hubungan dan norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial dalam masyarakat. Peningkatannya menunjukkan bahwa kohesi sosial memberikan kritikal kepada masyarakat tentang kehidupan ekonomi yang layak dan pembangunan yang berkelanjutan. Modal sosial tidak hanya merupakan jumlah dari institusi tetapi merupakan perekat yang menghubungkan masyarakat. Adanya modal sosial pada masyarakat yang tinggi dapat mempermudah terjadinya partisipasi masyarakat, juga untuk mendukung kegiatan dan program dari pemerintah serta memungkinkan munculnya inisiatif lokal yang tinggi untuk membangun dirinya sendiri.
12 Modal Sosial menurut Colleta & Cullen (2000) merupakan suatu sistem yang terdiri dari: 1. Integrasi (integration), merupakan hubungan-hubungan kekerabatan yang saling memperkuat hubungan antar individu dalam komunitas. 2. Pertalian (linkage ) yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal, berupa
jejaring
kewarganegaraan
(network), (civil
dan
asosiasi-asosiasi
associations )
yang
yang
menembus
bersifat perbedaan
kekerabatan, etnik dan agama. 3. Integritas organisasional (organizational integrity) yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. 4. Sinergi (synergy ) yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state community relations). Menurut Powell dan Smith-Doerr (1994) dalam Damsar (2002) jaringan sosial mempunyai dua pendekatan: 1. Pendekatan analisis yaitu jaringan sosial berupa pola informal dalam organisasi, bagaimana lingkungan dalam organisasi dikonstruksi dan sebagai suatu alat penelitian formal untuk menganalisis kekuasaan dan otonomi, area ini terdiri dari struktur sosial sebagai suatu pola hubungan unit-unit sosial yang terkait (individu-individu sebagai aktor-aktor yang bersama dan bekerja sama) yang dapat mempertanggungjawabkan tingkah laku mereka yang terlibat. 2. Pendekatan preskriptif memandang jaringan sosial sebagai pengaturan logika atau sebagai suatu cara menggerakkan hubungan-hubungan diantara para aktor ekonomi. Modal jaringan alokasi sumber memperoleh nilai tambah melalui pertukaran yang mempunyai ciri-ciri (Powell, 1990): 1. Penggunaan sumber yang ditingkatkan dan penyebaran resiko, yaitu dengan menggunakan koperasi untuk mengatur produk. 2. Fleksibilitas dan adaptabilitas, yaitu usaha mikro menangkap peluang pasar, menyediakan barang murah dan lebih menunjukkan inovatif melalui
13 perubahan teknologi, siklus produk yang singkat dan sistem produksi non standar. 3. Mengakses informasi dan keterampilan, yaitu mentransfer teknologi yang telah mapan, akses terhadap seperangkat keterampilan dan keahlian. Jadi dalam suatu jaringan sosial tercakup di dalamnya usaha-usaha untuk memperluas hubungan timbal balik berdasarkan kepercayaan baik secara vertikal
maupun
horisontal.
Berhasilnya
suatu
program
pembangunan
masyarakat dapat dilihat dari bagaimana modal sosial yang terjalin di dalamnya. Apabila modal sosial tinggi terutama jejaring sosial yang ada di dalamnya, maka akan muncul sinergi, sehingga kegiatan-kegiatan dapat berjalan secara berkesinambungan. Modal sosial merupakan hubungan kelembagaan yang dapat berperan untuk meningkatkan kesejahteraan PKRT usaha mikro. Peran kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini: Tabel 1. Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Peningkatan Kesejahteraan. N o 1.
Faktor yang berperan Informasi: • Pasar, harga, inovasi produk. • Nilai, pendapat, kepercayaan. • Pemimpin politik, kinerja negara.
2.
Kepercayaan/ trust
3.
Kredit
4.
Perangkat publik, pela yanan dasar dan sumber potensi masyarakat
Lembaga Informal
Lembaga Formal
Keluarga, teman, teman sebaya. Tetangga, sanak famili, jaringan etnik, kelompok informal, jaringan hubungan kerja; Festival, upacara keagamaan, kegiatan olahraga, sejarah, aktivitas keagamaan, kelompok masyarakat sipil. Norma, nilai, hubungan interpersonal, sanksi sosial.
• Koran, jurnal, majalah, bukubuku, radio, televisi, internet, peraturan. • Penyediaan infrastruktur: jalan, kantor pos, listrik, telepon. • Sekolah, kurikulum sekolah. • Hak rakyat, kekebasan membentuk lembaga, partisipasi masyarakat dalam mekanisme akuntabilitas.
Kelompok etnik, jaringan kerabat, teman, peminjam uang, perputaran kredit dalam komunitas, kelompok masyarakat sipil. Kelompok komunitas dan komite.
• Aturan Hukum, pengandilan independen, hak konsumen, kontrak. • Institusi keuangan yang aman. • Sekolah, kurikulum sekolah. • Partisipasi masyarakat dalam mekanisme akuntabilitas. • Bank biro, lembaga kredit, pelatihan dan pemasaran.
• Kerjasama dengan kelompok lokal melalui reprentasi langsung maupun tidak langsung.
Sumber: Bonds and Bridges: Sosial Capital and Poverty dalam Narayan, 1998.
14 Hubungan antar kelembagaan ini dapat digunakan untuk menganalisis jaringan sosial usaha mikro yang dikelola oleh perempuan kepala rumahtangga di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat bagaimana perempuan kepala rumahtangga dapat mengakses atau mengontrol kelembagaan yang ada di dalam maupun di luar komunitas untuk mengembangkan usahanya. Peran kelembagaan ini dapat berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan kepala rumahtangga yang mengelola usaha mikro. Dimensi modal sosial untuk melihat jaringan usaha mikro menurut Portes (1998) dapat dilihat pada gambar 1. berikut ini: Tinggi
“Migran desa-Kota”
“Anggota Program Kredit yang sukses”
Quadran 2 Quadran 3
Quadran 1 Quadran 4
“Orang Buangan”
“Masyarakat Desa yang Miskin”
JARINGAN LUAR KOMUNITAS
Rendah Rendah
Tinggi IKATAN INTRA KOMUNITAS
Gambar 1. Dimensi Modal Sosial – Jaringan Usaha Mikro
Gambar 1. memperlihatkan bahwa untuk melihat jaringan usaha mikro dapat dilihat melalui dimensi modal sosial. Garis Vertikal menunjukkan jejaring di luar komunitas, sedangkan garis Horizontal menunjukkan pola relasi yang dibangun dalam komunitas. Tipologi modal sosial dapat dilihat sebagai berikut: QUADRAN 1: Quadran 1 menunjukkan bahwa apabila jaringan intra komunitas tinggi, maka pola relasi/hubungan interaksi bagus dan jaringan di luar komunitas tinggi (baik individu ataupun komunitas). Kelompok masyarakat ini disebut sebagai anggota masyarakat dengan program kredit yang sukses, artinya bisa menerima hubungan-hubungan baik secara komersial maupun dalam skala luas dan mempunyai kredibilitas. Orang-orang seperti ini mempunyai akses cepat ke bank dan diakui di dalam ataupun di luar komunitas.
15 QUADRAN 2: Quadran 2 menunjukkan bahwa ikatan di luar tinggi, sedangkan ikatan intra komuni tas rendah. Bagian ini disebut sebagai kumpulan orang migran desa kota (tidak kenal saudara). QUADRAN 3: Quadran 3 menunjukkan bahwa apabila ikatan intra komunitas rendah dan jaringan di luar komunitas rendah, maka kelompok orang tersebut disebut sebagai Modal Sosial “Orang Buangan” dan sangat terisolasi dalam komunitas. QUADRAN 4: Quadran 4 menunjukkan bahwa apabila ikatan intra komunitas tinggi, tetapi jaringan luar komunitas rendah, maka disebut “Masyarakat Desa yang Miskin”, yaitu secara eksternal lemah tetapi masih bisa survive karena ikatan di dalam kuat. Muncul istilah ‘berbagi kemiskinan’ yaitu saling meminjam yang merupakan Sosial Mechanism untuk survival.
2.1.3. Perempuan dan Analisis Gender 2.1.3.1. Perempuan Kepala Rumahtangga (PKRT) Pemahaman mengenai perempuan yang menjadi kepala rumahtangga dapat dilihat dari berbagai sisi. Perempuan menjadi kepala rumahtangga disebabkan kematian suami, perceraian, ditinggal, suami sakit tetap dan tidak menikah (BPMD Propinsi jawa Barat, 2005). Rumahtangga yang dike palai perempuan terdiri dari dua jenis, pertama, rumahtangga yang secara de jure dikepalai perempuan, yang pasangan lakilakinya meninggalkannya selama -lamanya disebabkan karena perpisahan atau telah meninggal dunia, dan perempuan itu secara hukum berstatus cerai atau janda; kedua, rumahtangga yang secara de facto dikepalai perempuan di mana pasangan laki-lakinya untuk sementara waktu meninggalkannya, misalnya karena migrasi kerja dalam jangka waktu lama atau status pengungsi. Perempuan di sini secara hukum tidak berstatus kepala rumahtangga, dan sering merasa sebagai tanggungan, meskipun kenyataannya ia memikul tanggung jawab utama pada aspek keuangan ataupun pekerjaan rumahtangga (Moser, 1999).
16 Pada saat ini ada sekitar 30% sampai 40% rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan di perkotaan (Friedmann, 1992). Peran yang dilakukan oleh perempuan kepala rumahtangga adalah: 1. Peran dalam lingkup domestik ekonomi rumahtangga. Perempuan kepala rumahtangga berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasar, menyiapkan makanan dan memelihara anggota keluarga yang sakit. 2. Peran dalam masyarakat. Perempuan kepala rumahtangga mengadakan hubungan antar tetangga, keluarga, komunitas dan agama (kuil, mesjid dan gereja). 3. Peran dalam ekonomi pasar. Perempuan kepala rumahtangga melakukan pekerjaan sektor “formal” dan “informal” serta koperasi. 4. Peran dalam negara. Perempuan kepala rumahtangga berperan dalam sekolah. 5. Peran dalam politik. Perempuan kepala rumahtangga berpartisipasi dalam gerakan sosial, partai politik dan organisasi pekerja. Ada lima ketidakberuntungan menurut Chambers (1983) yang dimiliki oleh keluarga miskin yang dalam hal ini dititikberatkan pada perempuan kepala rumahtangga yang hidup dalam keterbatasan yaitu: 1. Kemiskinan (poverty). Kemiskinan ditandai dengan (pertama) ruma h yang reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, tidak memiliki MCK sendiri, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang; (kedua) pendapatan mereka tidak menentu dan dalam jumlah yang tidak memadai, sehingga keluarga miskin menghabiskan apa yang mereka peroleh pada hari itu juga. 2. Fisik yang lemah (physical weakness). Fisik yang lemah disebabkan adanya rasio ketergantungan yang tinggi antara anggota keluarga tersebut dengan anggota keluarga dewasa yang sehat dalam mencari nafkah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak adanya seorang
laki-laki
yang
sehat
yang
menjadi
kepala
keluarga
sehingga
rumahtangga harus dikepalai oleh seorang perempuan yang di samping harus
17 bekerja mengurusi pekerjaan rumahtangga sehari-hari masih juga harus bekerja untuk menghidupi keluarganya, atau adanya kematian yang mendadak dari orang dewasa dalam keluarga miskin yang menjadi tulang punggung pencari nafkah keluarga. Akibat dari ketergantungan ini menyebabkan anggota keluarga miskin secara fisik lemah sebagai akibat dari interaksi berbagai bibit penyakit dan rendahnya gizi mereka. 3. Kerentanan ( vulnerability). Keluarga miskin mengalami kerentanan seperti mereka tidak memiliki cadangan berupa uang atau makanan untuk menghadapi keadaan darurat, seperti ada anggota keluarga yang tiba-tiba sakit, maka biasanya keluarga ini akan menjual barang apa saja yang mereka miliki atau utang kepada tetangga atau rentenir. Keluarga miskin dalam menghadapi situasi paceklik akan menjual barang-barang yang dimilki yang laku dijual, utang pada tetangga yang lebih mampu, atau mengurangi makan mereka baik dari segi jenis atau frekuensinya. Kalau semula makan nasi dua kali sehari, maka pada musim paceklik mereka makan satu kali sehari, bukan nasi tapi ketela. Keadaan darurat membuat tidak hanya keluarga miskin menjadi lebih miskin, tetapi juga rawan dari berbagai penyakit yang tidak jarang dapat membawa kematian. 4. Keterisolasian (isolation). Keterasingan keluarga miskin mempunyai berbagai bentuk. Kelompok miskin terasing karena tempat tinggalnya yang secara geografis terasing atau karena mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi yang ada. Mereka tidak mampu membeli radio karena mereka miskin atau mereka tidak dapat ikut kegiatan dalam desa mereka yang dapat memberikan informasi baru karena mereka malu mendatangi pertemuan sebab sering mereka dijadikan objek pergunjingan oleh orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu. 5. Ketidakberdayaan (powerlessness ). Orang miskin tidak berdaya menghadapi rentenir atau orang-orang lain yang sering mengeksploitasi mereka dan aparat negara atau polisi yang sering tidak ramah kepada mereka. Jadi seorang perempuan kepala rumahtangga adalah mereka yang mempunyai ketidakberuntungan secara fisik, mental dan sosial dan mereka harus mengerjakan pekerjaan domestik, seperti mengurus anak atau suaminya
18 yang sakit, mencuci dan sebagainya, dan di lain pihak ia juga harus bekerja untuk menghidupi keluarganya karena perannya sebagai kepala rumahtangga. Wajah miskin selalu diidentikan dengan wajah perempuan, karena dengan keterbatasan yang ada pada dirinya, seorang perempuan harus bekerja serabutan untuk menghidupi diri dan keluarganya serta keterbatasan dalam mengakses sumberdaya produktif seperti perolehan modal, kredit, peralatan dan pelatihan. Kerentanan yang dihadapi oleh perempuan usaha mikro bersumber dari posisi mereka sebagai pelaku ekonomi di dalam sektor yang marginal dan posisi mereka sebagai perempuan di dalam struktur relasi gender yang berlaku (Arifin, 2004). Sektor marginal artinya mereka berada dalam usaha mikro yang hasil keuntungannya kadang -kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya atau bersifat subsisten. Peran perempuan sebagai kepala rumahtangga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keluarganya. Menurut Mutawali (1987) keluarga adalah kesatuan masyarakat
terkecil
yang
merupakan
inti
dan
sendi-sendi
masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada keluarga-keluarga yang ada
dalam
masyarakat
itu.
Apabila
keluarga-keluarga
sejahtera,
maka
masyarakat akan sejahtera pula. Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa sebagai kepala rumahtangga, seorang perempuan juga bertanggung jawab untuk membina kehidupan keluarganya agar dapat menjadi keluarga yang mandiri dan sejahtera. Menurut Dewayanti (2003) persoalan perempuan dapat dipandang dari 2 (dua) pendekatan: 1. Persoalan spesifik yang dihadapi perempuan berkaitan dengan posisinya sebagai perempuan. Batasan persoalan ini biasanya dikaitkan dengan konsep diskriminasi dan subordinasi peran perempuan dalam rumahtangga. 2. Persoalan yang berkaitan dengan pengaturan usaha ekonomi di dalam rumahtangga dan komunitas. Perempuan sebagai pelaksana urusan rumahtangga menyebabkan perempuan
kehilangan
kesempatan
untuk
memperoleh
pekerjaan
atau
mengerjakan usaha ekonomi, di lain pihak perempuan juga berupaya sebagai pencari nafkah dalam keluarga di saat pasangan hidupnya tiada, berpisah atau
19 mengalami sakit berkepanjangan. Perempuan juga mengalami diskriminasi ketika ia bekerja pada pabrik/perusahaan atau pertanian dan dianggap bukan sebagai pencari nafkah utama sehingga menyebabkan upah yang diterimanya kecil (tersubordinasi) dan tidak mencukupi pemenuhan kehidupan bagi diri dan keluarganya. Kondisi tersebut semakin meningkat ketika kondisi perempuan berada dalam keadaan miskin. Ia harus mencari nafkah tambahan sementara suaminya
menganggur
karena
PHK
atau
tidak
mempunyai
pekerjaan.
Perusahaan rata-rata mempekerjakan buruh perempuan karena dianggapnya dapat dibayar murah, lebih teliti, lebih penurut dan jarang menuntut. PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang termasuk dalam kategori Keluarga Pra KS dan KS 1. Kriteria mengenai Keluarga Sejahtera menurut Achir (1993) dapat dibuat pentahapan sebagai berikut: 1. Keluarga Pra Sejahtera, yaitu yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yang mencakup sandang, pangan, papan dan kesehatan. 2. Keluarga Sejahtera Tahap I, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial. 3. Keluarga Sejahtera Tahap II, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan sosial tetapi belum dapat mengembangkan kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. 4. Keluarga Sejahtera Tahap III, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan kebutuhan pengembangannya,
namun
belum
dapat
memberikan
sumbangan
(kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat. 5. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus, yaitu kelu arga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun yang bersifat pengembangan serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan dalam masyarakat. Konsep perempuan kepala rumahtangga mempunyai ciri-ciri yang hampir sama seperti konsep wanita rawan sosial ekonomi (konsep dari Departemen Sosial) yaitu seorang perempuan dewasa yang berusia 18 – 59 tahun, belum menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat
20 memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, tingkat pendidikan rendah (umumnya tidak tamat atau maksimal pendidikan dasar, istri yang ditinggal suami tanpa batas waktu dan tidak dapat mencari nafkah, serta suaminya sakit sehingga tidak mampu bekerja (Dinsos Prop. Jabar, 2003).
2.1.3.2. Analisis Gender Analsis gender digunakan untuk melihat perbedaan perempuan dan lakilaki dari segi (a) kondisi (situasi) dan (b) kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan masyarakat (Sumarti dan Ekawati, 2004). Alat analisis gender yang digunakan adalah: 1. Kerangka Analisis Harvard (Overholt, 1985) Kerangka ini merupakan alat bantu untuk meningkatkan kesadaran gender dan untuk menganalisis hubungan gender di dalam masyarakat. Kerangka ini terdiri dari tiga komponen utama: a. Pembagian kerja (dapat dilihat dari profil kegiatan pria dan wanita). Pembagian kerja dalam keluarga dan masyarakat (masyarakat) dapat dilihat dari profil kegiatannya, yang mencakup informasi: (1) siapa (pria, wanita atau bersama) (2) kapan dan di mana kegiatan dilaksanaka n serta berapa frekuensi dan waktu dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tersebut (3) berapa pendapatan yang dihasilkan melalui kegiatan tersebut. Kegiatan dimaksudkan di sini mencakup kegiatan produktif yang menyumbang pendapatan keluarga dalam bentuk uang atau barang, misalnya bertani, berkebun, beternak, berdagang, kerajinan tangan dsb. Kegiatan reproduktif adalah kegiatan yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan keluarga, misalnya: melahirkan dan mengasuh anak, pekerjaan rumahtangga, memasak, mencuci, mengambil air, mencari bahan bakar, membetulkan baju dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud kegiatan sosial adalah kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumahtangga, tetapi yang menyangkut kegiatan masyarakat, misalnya: pengorganisasian masyaraka t dalam kelompok tani, PKK, LKMD, kelompok simpan pinjam dan partisipasi dalam kelompok agama dan sosial budaya.
21 Analisis pembagian kerja ini perlu untuk mengidentifikasikan: (1) kegiatan mana yang memiliki potensi untuk dikaitkan dengan program pembangunan (2) kapasitas waktu laki-laki dan perempuan (3) ketidakseimbangan beban kerja antara laki-laki dan perempuan (4) ketidakseimbangan pendapatan yang dihasilkan melalui pekerjaan laki-laki dan perempuan. b. Profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat. Akses dan kontrol (peluang dan penguasaan) terhadap sumberdaya dalam keluarga maupun masyarakat pada umumnya, dapat dilihat dari profil peluang dan penguasaan terhadap sumberdaya dan manfaat. Profil peluang dan penguasaan
terhadap
sumberdaya
ini
mencakup
informasi
siapa
yang
mempunyai peluang dan penguasaan terhadap (1) sumberdaya fisik/material, misalnya tanah, modal, peralatan dan sebagainya (2) pasar komoditi (untuk membeli dan menjual barang) dan kerja (3) sumberdaya sosial budaya, misalnya informasi, pendidikan dan latihan tenaga kerja, dan lain-lain atau singkatnya dapat dikategorikan sebagai sumberdaya politis, ekonomi, waktu dan lain-lain. Sedangkan profil peluang dan penguasaan terhadap manfaat mencakup informasi siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan atas hasil (1) pendapatan (2) kekayaan bersama (3) kebutuhan dasar: makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain (4) pendidikan (5) prestise/political power. Akses (peluang) adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumberdaya tersebut. Analisis peluang dan penguasaan
terhadap
mengidentifikasikan:
(1)
sumberdaya di
mana
dan
manfaat
kekurangan
membantu
sumberdaya
yang
untuk dapat
diatasi/ditanggulangi melalui kegiatan program pembangunan (2) ketidaksamaan peluang dan penguasaan antara laki -laki dan perempuan (3) siapa memperoleh manfaat dari penggunaan sumberdaya yang ada, dan (4) potensi apa yang dapat digunakan dan ditingkatkan melalui kegiatan pembangunan. c. Partisipasi dalam Lembaga Akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat yang ada dalam masyarakat juga dapat dilihat dari partisipasinya. Partisipasi dalam hal ini dapat berupa (1) partisipasi kuantitatif (mengukur aksesibilitas) yaitu beberapa laki-laki dan perempuan berperanserta dalam lembaga tertentu dengan kedudukan dan tugas apa, dan (2) partisipasi kualitatif (mengukur kontrol) yaitu bagaimana
22 peranan laki-laki dan perempuan dalam mengambil keputusan tentang kebijakan lembaga tersebut. Analisis partisipasi dilakukan untuk lembaga formal dan informal yang di desa/dusun (masyarakat yang relevan untuk dikaitkan dengan atau dimanfaatkan untuk kegiatan program pembangunan, misalnya: kelompok petani, koperasi, kelompok simpan pinjam, kelompok agama, arisan, LKMD, dan lain-lain). Analisis pola partisipasi berguna untuk memperlihatkan: (1) hirarki wewenang yang ada di suatu dusun/desa/masyarakat (2) ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan di lembagalembaga yang ada (3) pada lembaga mana peranserta perempuan perlu diperkuat (4) alasan keterbatasan peranserta perempuan yang dapat dilihat dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi seperti ekonomi, pembagian kerja, norma sosial budaya dan sebagainya. d. Pengambilan keputusan di dalam keluarga Gambaran pola kontrol.penguasaan yang ada dalam masyarakat dan terbentuk secara sosial dalam beberapa hal dapat dikaji dari analisis pola pengambilan keputusan dalam keluarga. Analisa pola pengambilan keputusan dalam keluarga dilakukan untuk melihat: (1) siapa bertanggung jawab untuk apa (2) siapa memperoleh manfaat apa (3) siapa bisa dijadikan mitra untuk kegiatan program pembangunan yang menyangkut perubahan sikap dan perilaku.
2. Kerangka Analisis Moser (Moser, 1986) Kerangka analisis menurut Moser dapat dilihat dari kebutuhan praktis dan strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki -laki dan perempuan. Kebutuhan praktis adalah kebutuhan yang diformulasikan dari kondisi kongkrit pengalaman perempuan, dengan posisi gender mereka dalam pembagian kerja secara seksual dan untuk kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan strategis adalah kebutuhan yang dirumuskan dari analisa subordinasi perempuan terhadap laki-laki, dan dari analisa ini diidentifikasikan kepentingan gender strategis untuk mencapai suatu alternatif kelembagaan masyarakat yang lebih setara dan yang lebih memuaskan dari yang ada sekarang, baik dilihat dari
23 segi struktur maupun sifat hubungan antara laki-laki dan perempuan (Moser, 1999). Tabel 2. berikut ini menampilkan perbedaan antara kebutuhan praktis dan strategis gender. Tabel 2. Perbedaan Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender. Kebutuhan praktis menyangkut keadaan (=situasi)
Kebutuhan strategis menyangkut kedudukan (=posisi)
Berkaitan dengan peranan-peranan dan kedudukan di masyarakat yang dipengaruhi faktor struktural seperti ekonomi, sistem politik, perundang-undangan, kebijakan kesejahteraan, norma-norma sosial-budaya dsb. Menyambut peluang dan kekuasaan (akses dan kontrol) terhadap sumberdaya dan kesempatan untuk memilih dan menentukan cara hidup. Cara menanggulangi kebutuhan strategis: Melibatkan perempuan sebagai pelaku atau memfasilitasi perempuan untuk menjadi pelaku dan penentu kegiatan. Dilakukan melalui penyadaran, perkuatan rasa percaya diri, pendidikan pengembangan, pengorganisasian masyarakat perempuan dan sebagainya. Memperkuat perempuan untuk memperoleh kesempatan yang lebih banyak dalam pengambilan keputusan di semua bidang dan semua tingkat masyarakat, memperjuangkan akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang lebih besar. Sumber: A Theory and Methodology of Gender Planning: Meeting Women’s Practical and Strategic Gender Needs, 1986. Biasanya berhubungan dengan keadaan hidup yang tidak memuaskan, misalnya kurangnya sumberdaya, tidak dipenuhi kebutuhan dasar. Contoh: masalah air minum, pangan, kesehatan, dsb. Dapat segera diidentifikasi karena langsung dirasakan, dapat dipenuhi dalam waktu relatif pendek melalui intervensi tertentu, misalnya membangun sumur, menjala nkan posyandu dsb. Cara menanggulangi kebutuhan praktis: melibatkan perempuan sebagai pemanfaat dan mungkin sebagai peserta. Memperbaiki kondisi hidup perempuan melalui kegiatan dengan suatu hasil yang langsung dan cepat dirasakan. Tidak merubah peranan-peranan dan hubungan sosial budaya yang ada.
Suatu program pembangunan yang berwawasan gender seharusnya berusaha untuk mengidentifikasi terlebih dahulu ataupun memperhatikan kebutuhan
masyarakat.
Dengan
menggunakan
pendekatan
Gender
And
Development, kebutuhan masyarakat tadi dibedakan antara kebutuhan laki-laki dan perempuan baik yang bersifat praktis maupun strategis. Kebutuhan praktis berkaitan dengan kondisi (misalnya: kondisi hidup yang tidak memadai, kurangnya sumberdaya seperti pangan, air, kesehatan, pendidikan anak, pendapatan dll), sedangkan kebutuhan strategis berkaitan dengan posisi (misalnya: posisi yang tersubordinasi dalam masyarakat atau keluarga). Pemenuhan
kebutuhan
praktis
melalui
kegiatan
pembangunan
kemungkinan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek. Proses tersebut melibatkan input seperti peralatan, tenaga ahli, pelatihan, klinik atau
24 program pemberian kredit dan lain-lain. Umumnya kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan praktis dan memperbaiki kondisi hidup akan memelihara atau bahkan menguatkan hubungan tradisional antara laki-laki dan perempuan yang
ada.
Sedangkan
untuk
mencapai
kepentingan/kebutuhan
strategis
berkaitan dengan perbaikan posisi perempuan (misalnya memberdayakan perempuan
agar
memperoleh
kesempatan
lebih
besar
terhadap
akses
sumberdaya, partispasi yang seimbang dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan dan lain-lain) memerlukan jangka waktu relatif lebih panjang. Kepentingan-kepentingan strategis biasanya relatif lebih kabur dibanding kepentingan
praktis
yang
mudah
terlihat.
Perempuan
sebagai
suatu
kategori/kelompok biasanya memiliki kepentingan strategis sebagai berikut: (1) mengurangi kerentanan terhadap kekerasan dan eksploitasi, (2) lebih memiliki jaminan ekonomi, ketidaktergantungan, pilihan dan kesempatan, (3) berbagi tanggung jawab untuk kegiatan reproduktif dengan laki-laki atau lembagalembaga masyarakat, (4) pengorganisasian masyarakat dengan perempuan untuk menggalang kekuatan, solidaritas dan aksi (5) meningkatkan kekuatan politik, (6) meningkatkan kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidup dan masa depan anak-anaknya, (7) lebih manusiawi dan berkeadilan dalam proses pembangunan. Langkah-langkah untuk mencapai kebutuhan strategis di dalam suatu kegiatan/program: (1) Analisis gender suatu masyarakat dilakukan sebelum kegiatan atau program dimulai. Dalam analisis ini dilakukan secara partisipatif dengan harus melibatkan laki-laki dan perempuan (baik bersama atau secara terpisah bila diperlukan) mulai dari tingkat akar rumput/desa. Analisis gender yang dilakukan sebelum dilaksanakannya suatu program akan berguna memberikan
informasi
untuk
memperbaiki
program,
perencanaan
dan
rancangannya, ataupun menyediakan data dasar yang berguna untuk mengukur perubahan kondisi dan posisi kemudian. (2) Konsultasi pada perempuan. Hal ini memerlukan identifikasi pengorganisasian masyarakat perempuan atau yang berafiliasi pada perempuan, wakil-wakil dalam suatu wilayah program, dan caracara yang cocok untuk berkonsultasi dan bekerja sama mereka. Jaringan konsultatif dapat termasuk konsultan lokal, pegawai pemerintah, anggota pengorganisasian masyarakat, tokoh perempuan dalam masyarakat. Nasehat dapat dicari dengan cara memaksimalkan keterlibatan perempuan, manfaat, dan partisipasinya sebagai pengambil keputusan serta dengan menjalin kerjasama
25 dan support dari laki -laki. (3) Memperoleh dukungan dari laki -laki. Dukungan dan keterlibatan laki -laki sangat penting dalam kegiatan pembangunan bersama perempuan, baik dalam program pembangunan yang masih terpadu maupun program pembangunan khusus untuk perempuan. Kesempatan-kesempatan seharusnya diciptakan untuk berdialog ataupun bernegosiasi antara laki-laki dan perempuan, untuk mendapatkan kesepahaman bersama akan manfaat baik untuk laki-laki dan perempuan. Strategi untuk mencapai hal ini sebaiknya dibangun oleh laki -laki dan perempuan yang memang sudah saling mendukung. (4) Memperluas kesempatan bagi perempuan. Memaksimalkan keterlibatan perempuan dalam kegiatan kolektif, pengorganisasian masyarakat masyarakat perempuan, dan pengambilan keputusan dalam masyarakat; akan memperkuat kesempatan perempuan untuk mengelola mencapai dan menerima informasi dan latihan, dan menambah rasa percara diri dan kredibilitas. (5) Mendukung usahausaha pengorganisasian masyarakat. Memberikan dukungan pada perempuan tingkat lokal dan gabungan pengorganisasian masyarakat kerja di tingkat akar rumput yang memfokuskan pada penelitian advokasi dan pengembangan kebijakan. Penguatan jaringan antara pengorganisasian masyarakat yang serupa di tingkat nasional, regional dan internasional juga penting dirintis utnuk jangka panjang. (6) Mendorong kesadaran gender. Mempromosikan kepekaan gender dan keahlian merencanakan yang berwawasan gender diantara seluruh stakeholder pembangunan (LSM, Pemerintah, agen-agen partner luar negeri). Proses ini dilakukan melalui serangkain diskusi sistematik dan pelatihanpelatihan,
penilaian
terhadap
struktur
dan
praktek-praktek
pelaksanaan
pembangunan. (Moser, 1986) Analisis gender digunakan untuk memahami apa kebutuhan gender yang meliputi kebutuhan praktis dan strategis sebagai analisis perenc anaan dan penyusunan program, akses dan kontrolnya terhadap sumberdaya dan adakah kesenjangan gender di dalamnya, sehingga dapat dianalisa dan dicarikan jalan pemecahan secara partisipatif bersama dengan masyarakat.
26 2.1.4. Usaha Mikro Usaha mikro adalah suatu unit ekonomi yang melakukan aktivitas dengan tujuan menghasilkan barang atau jasa untuk dijual atau ditukar dengan barang lain dan ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab dan punya kewenangan untuk mengelola usaha tersebut (BPS, 2000). Usaha tersebut di dalamnya adalah usaha rumahtangga yang dilakukan pada lokasi/tempat yang tidak tetap (keliling) ataupun dilakukan pada suatu lokasi tetap namun tempat perlengkapan usahanya dipindah-pindahkan (tidak tetap). Usaha mikro merupakan bagian dari pengemb angan ekonomi rakyat (Juoro, 1999). Sebagai pelaku ekonomi, rakyat menjalankan usahanya dalam bentuk, pertama, usaha tradisional seperti nelayan tradisional. Kedua, sektor usaha berupa sektor informal, misalnya pedagang kaki lima, memetik hasil alam dengan teknologi sederhana (seperti memetik hasil hutan dan mengekstraksi bahan tambang/mineral atau pertambangan rakyat), dan melakukan budidaya secara sederhana (seperti perkebunan rakyat dan perikanan rakyat). Ketiga , small but modern enterprises atau dapat juga dalam bentuk family enterprises yang dikelola secara profesional. Aspek yang terkait dengan pengembangan ekonomi kerakyatan antara lain: (1) infrastruktur (2) kapital (3) jaringan kerja (business network, pemasaran, informasi, manajemen dan teknologi) (4) capacity building (sumberdaya manusia dan kelembagaan). Usaha mikro menurut Ismawan (2003) dapat dikembangkan secara riil strategis dengan alasan sebagai berikut: 1. Usaha mikro telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif, sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2. Apabila diberdayakan secara tepat, usaha mikro akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3. Secara efektif mengurangi kemiskinan, maupun membantu pemberdayaan rakyat kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda. Usaha mikro dan usaha kecil menurut Soemantri, dkk (2000) memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam hal (1) Usaha mikro-kecil dapat menyerap tenaga kerja yang relatif besar. Daya serap ini dapt menjembatani kesenjangan yang tajam antara golongan berpunya dengan golongan papa. (2)
27 Menjadi bumper pencegah terjadinya revolusi. (3) Sebagai penghasil devisa dan penyedia jasa yang murah bagi pekerja di sektor lebih besar. Bagi praktisi terutama perempuan, usaha mikro-kecil diminati dengan alasan (1) Menopang kelangsungan hidup rumahtangga. (2) Memenuhi kebutuhan pengembangan diri. (3) Memberi peluang terjadinya peningkatan kesejahteraan keluarga secara lahir batin. Usaha mikro memiliki pekerja ku rang dari 5 (lima) orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar (BPS, 2000). Modal usaha mikro kurang dari 20 juta berkisar pada kegiatan pertanian dan produk-produk bahan pangan, kegiatan usaha mikro pada umumnya terbatas untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bagi pemilik dan pekerjanya (Juoro, 1999). Usaha mikro sebagai suatu kelembagaan tidak hanya sekedar group of people (Garcia, 1994). Tanpa kelembagaan, maka tak akan ada masyarakat dengan segala kebudayaannya. Ia bertanggung jawab terhadap kebutuhan manusia dan kelangsungan masyarakat. Kelembagaan dari sudut pandang ekonomi, fungsi utamanya adalah agar tercapai efisiensi dalam bertindak. Kelembagaan “…. persist us to carry on our daily lives with a minimum of repetition and costly negotiation” (Bromley, 1993). Suatu tindakan menjadi ekonomis, karena telah ada pedoman dalam bertindak. Pelaku ekonomi tak akan bertindak secara acak, namun mengikuti pola yang sudah disepakati. Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada (Israel, 1992). Tujuan utamanya adalah mengefektifkan penggunaan sumberdaya, suatu tujuan utama bagi upaya pembangunan dan menjadi sangat mendesak dalam mengatasi krisis ekonomi dewasa ini. Usaha mikro sebagai suatu kelembagaan perlu dibangun jaringan untuk melancarkan mekanisme kerja dan memfasilitasi munculnya kemitraan dan arus informasi diantara lembaga-lembaga yang terkait (Haeruman dan Eriyatno, 2001). Kelembagaan yang terkait dengan pengembangan ekonomi lokal ini antara lain adalah: (1) Lembaga produksi (2) Lembaga distribusi (3) Lembaga keuangan (4) Lembaga keswadayaan masyarakat (5) Kelembagaan advokasi (kelembagaan pendukung/penyuluhan). Kelima kelembagaan tersebut perlu bersinergi untuk mencapai kondisi yang kondusif. Pendekatan praktis yang
28 digunakan untuk membangun sistem jaringan kelembagaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Jaringan kelembagaan perlu terfokus pada kluster kegiatan ekonomi unggul yang telah diidentifika si; 2. Kegiatan ekonomi dikembangkan dengan pendekatan “ market driven”. 3. Adanya keterkaitan yang erat untuk memberi kesempatan kepada Usaha Kecil Menengah untuk mengakses pasar yang lebih luas, melalui kolaborasi kemitraan dengan usaha besar. 4. Memunculkan peluang berkembang dan hubungan public private yang produktif dan transparan. 5. Pendekatan kerja utama adalah pendekatan pemberdayaan (empowerment) masyarakat lokal, dengan memberikan kesempatan partisipasi pada setiap tahapan kegiatan, mulai dari perencanaan dan pengambilan keputusan. Usaha mikro yang ada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang bersifat tidak tetap, dalam arti mereka berusaha manakala ada modal yang memadai, tetapi bila tidak ada modal maka usaha yang dijalankannya tidak bergerak. Usaha yang dijalankan berkisar pada penjualan makanan kecil, gorengan, warungan dan tidak sedikit yang bergerak dibidang konveksi. Lokasi desa yang dekat dengan pabrik rajut, memungkinkan mereka untuk membuka usaha konveksi dengan cara makloon, yaitu mengambil bahan dari pabrik untuk dijahit lurus dan dikerjakan di rumah masing-masing. Usaha makanan yang dijalankan juga tidak terlepas dari banyaknya pendatang yang tinggal di Desa Sekarwangi yang bekerja sebagai buruh pabrik.
2.2. Kerangka Alur Berfikir Perempuan kepala rumahtangga merupakan bagian dari komunitas yang berada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung. Mereka memiliki keterbatasan pendidikan rata-rata tamat SLTP (Indarwati, 2004). Mereka mempunyai beban ganda artinya mereka bekerja sebagai pencari nafkah utama, bekerja di sektor domestik dan mereka hidup dalam kondisi yang serba terbatas secara ekonomi. Karakteristik PKRT dalam komunitas dilihat melalui komposisi penduduk, pendidikan dan mata pencaharian yang ada dalam komunitas. Karakteristik tersebut dapat juga dilihat dari jumlah tanggungan dan bagaimana sistem norma dan nilai yang ada dalam masyarakat terhadap PKRT yang
29 mengelola usaha mikro. Evaluasi program P2KP dan UP2K-PKK dilihat dari pengembangan ekonomi lokal, pengembangan modal dan gerakan sosial serta kebijakan dan perencanaan sosial dan bagaimana pengaruhnya terhadap PKRT usaha mikro. Hasil dari pemetaan dan evaluasi program adalah identifikasi kondisi PKRT usaha mikro. Identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan Analisis Harvard untuk melihat kondisi dan peran gender terutama PKRT dalam komunitas yang meliputi pembagian kerja, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, faktor yang berpengaruh, akses dan kontrol terhadap kelembagaan. Analisis Moser untuk melihat peran dan kebutuhan Gender terutama PKRT dalam program pembangunan apakah program tersebut dapat memenuhi
kebutuhan
praktis
dan
strategis
gender.
Analisis
Gender
dipergunakan untuk melihat ketidakadilan gender dalam komunitas terutama bagi PKRT yang mengelola usaha mikro, sehingga dari adanya identifikasi ini dapat disusun program pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro. Proses penyusunan program pemberdayaan perempuan terutama bagi PKRT usaha mikro terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu (1) Identifikasi masalah dan kebutuhan, (2) Identifikasi potensi lokal, (3) Pendayagunaan sumber-sumber lokal dan analisis stakeholder, (4) Penyusunan dan pengusulan rencana. Penyusunan
program
pemberdayaan
bagi
perempuan
kepala
rumahtangga terutama PKRT usaha mikro dilakukan melalui Participatory Rural Appraissal (PRA) dan diskusi kelompok dengan melibatkan stakeholder agar kebutuhan dan masalah yang dirasakan oleh PKRT usaha mikro dapat disusun program strateginya secara partisipatif. Alur Kerja Berpikir dapat digambarkan sebagai berikut:
30 II. Evaluasi Program P2KP dan UP2K-PKK: - Pengembangan Ekonomi Lokal - Pengembangan Modal dan Gerakan Sosial. - Kebijakan dan Perencanaan Sosial.
III. Identifikasi Kondisi PKRT usaha mikro: => Kondisi dan Peran Gender terutama PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas : Pembagian kerja, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, faktor yang berpengaruh, akses dan kontrol terhadap kelembagaan. => Peran dan kebutuhan Gender terutama PKRT Usaha Mikro melalui Program Pembangunan: analisis perencanaan gender, intervensi kebutuhan gender. 11 => Ketidakadilan Gender dalam Komunitas.
IV. Proses Penyusunan Program Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro secara Partisipatif:
1. Tahap Identifikasi Masalah dan Kebutuhan. 2. Tahap Identifikasi Potensi Lokal. 3. Tahap Pendayagunaan Sumber-sumber Lokal.
V. Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumahtangga (PKRT) Usaha Mikro melalui Pengembangan Jejaring Sos ial
4. Tahap Penyusunan dan Pengusulan Rencana. I. Karakteristik PKRT usaha mikro dalam komunitas: => Pemetaan Sosial - Pendidikan. - Mata Pencaharian. - Kepemilikan Usaha Mikro. - Komposisi Penduduk. => Karakteristik Subyek kasus. => Analisis Jejaring Sosial
Gambar 2 Alur Kerja Berpikir Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumahtangga melalui Pengembangan Jejaring Sosial. Keterangan: Tanda panah menunjukkan alur kerja berpikir.