ANALISIS POLA PEMANFAATAN DAN PROSPEK LAHAN PEKARANGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PENGEMBANGAN HUTAN KOTA DI SAMARINDA Design Analysis of Home-Garden Utilization and Prospect for Urban Forest Development in Samarinda
Emi Listyorini1), Mustofa Agung Sardjono2) dan Slamet Mulyono3)
Abstract. Considering the fact that current urban development gives insufficient attention to ecological aspect, this research attempted to look into the existence of home gardens as an alternative to support the development of urban forests. This research aimed at analyzing plant structure and composition, identifying woody plants and animals in home gardens, determining the relationship between home gardens in the frame of urban forest development. The research took place in Lempake and Sungai Siring villages. The research adopted data analysis of descriptive qualitative, biodiversity and similarity indexes, and income. Results of the research indicate that home gardens in both villages are utilized in a relatively similar way, that is, by agrosilvopasture or combination of annual plants, seasonal plants and husbandry. Fruit trees are dominating the home gardens of both villages, in which 56 species are found in Lempake home gardens and 45 species in Sungai Siring. The biodiversity index of Lempake home gardens shows 0.9581 for trees and 0.665 ground cover, while Sungai Siring home gardens have the biodiversity index of 0.8524 for trees and 0.4703 for ground cover. The similarity index for trees is higher than that of ground cover, either in Lempake or Sungai Siring. It is also found out that the dominating animals are birds. Ecologically, the home gardens have the function to support a stable water system and to prevent erosion and micro climate, especially air temperature. Economically, the yield of the annual plants contributes significantly, between 2.73 % and 35 % annually, to the respondents’ total income. Their income from home gardens reaches to 947,179.00 rupiahs/respondent/year in Lempake and 1,127.955.00 rupiahs/ respondents/year in Sungai Siring. The respondent’s perception towards the existence of home gardens as an alternative urban forest inquire positive, as verified by their efforts to maintain the existing vegetation in their gardens. However, the government of Samarinda City does not give sufficient attention to this potential. Kata kunci: pemanfaatan, pekarangan, hutan kota, keanekaragaman jenis. _____________________________________________________________________ 1) Fakultas Pertanian Unmul, Samarinda 2) Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda 3) Laboratorium Rekayasa Pemanenan Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda
95
96
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (2), OKTOBER 2005
Hutan adalah salah satu sumber kekayaan alam yang mempunyai makna dan kepentingan tinggi bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia. Pembangunan untuk berbagai kepentingan serta perkembangan penduduk yang sedemikian pesat sejalan dengan perkembangan jaman, menyebabkan luas hutan semakin berkurang. Meningkatnya pembangunan juga mengakibatkan luas ruang terbuka hijau menurun dan sering juga disertai dengan menurunnya mutu lingkungan hidup. Hal ini akan mengakibatkan kota menjadi sakit, tercemar dan kotor. Samarinda memiliki nilai strategis, karena sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur dan sebagai kota yang mengarah pada pembangunan di semua sektor serta merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang cepat, juga tidak lepas dari masalah mutu lingkungan hidup. Pemerintah Kota Samarinda telah berusaha memperbaiki keadaan lingkungan dengan mewujudkan Samarinda sebagai kota Tepian (teduh rapi aman nyaman) yang ditindak lanjuti dengan diterbitkannya Surat Keputusan Walikota Samarinda nomor 224 tahun 1992 tentang penetapan 12 lokasi sebagai Hutan Kota. Sampai tahun 2003 luas Hutan Kota Samarinda adalah 519 ha, padahal menurut Peraturan Pemerintah nomor 63 tentang Hutan Kota, luas minimum Hutan Kota adalah 10 % dari luas wilayah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1987 luas Kota Samarinda adalah 718 km2, dengan demikian luas Hutan Kota yang ada masih sangat kurang. Nazaruddin (1994) menyatakan, bahwa Hutan Kota dapat berupa: Jalur Hijau, Taman Kota, Kebun Pekarangan, Kebun Raya, Kebun Binatang, Hutan Lindung, Kuburan dan Taman Makam Pahlawan. Bentuk partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan Hutan Kota salah satunya adalah dengan memanfaatkan lahan/Kebun Pekarangan. Berdasarkan kenyataan tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana peranan Kebun Pekarangan dimanfaatkan atau difungsikan dalam rangka pengembangan Hutan Kota. Tujuan penelitian adalah: i) menganalisis struktur dan komposisi tanaman yang diusahakan, menginventarisir dan mengidentifikasi tanaman berkayu serta kelimpahan satwa di lahan pekarangan, ii) mengkaji hubungan antara pola pemanfaatan lahan pekarangan dengan faktor ekologi dan faktor sosial ekonomi keluarga pemilik dan iii) meninjau prospek pengembangan Kebun Pekarangan dalam mendukung pengembangan Hutan Kota. Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi: i) pemilik lahan, dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan lahan pekarangan, ii) masyarakat luas, sebagai bahan informasi yang dapat menambah wawasan mereka akan pentingnya lahan pekarangan yang selalu hijau, demi mendukung kehidupan bersama, iii) Pemerintah Kota Samarinda, sebagai bahan masukan bagi instansi terkait dalam rangka pengembangan Hutan Kota di Kota Samarinda melalui partisipasi masyarakat terutama dalam kegiatan penyuluhan, bimbingan teknis atau upaya pemberdayaan masyarakat lainnya dan iv) peneliti lainnya, untuk melengkapi hasil penelitian yang sudah ada dan sebagai referensi bagi penelitian serupa yang lebih dalam dan lebih luas, baik di lokasi yang sama maupun di daerah lain.
Listyorini dkk. (2005). Analisis Pola Pemanfaatan dan Prospek Lahan
97
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Samarinda Utara, Kelurahan Lempake dan Kelurahan Sungai Siring. Waktu penelitian ini adalah enam bulan, dari bulan Juli sampai Desember 2003. Pengambilan sampel responden dilakukan dengan metode acak berstrata (stratified random sampling). Strata populasinya adalah kepala keluarga yang memanfaatkan lahan pekarangan dan yang tidak memanfaatkan lahan pekarangan. Jumlah sampel sebanyak 15 % dari jumlah populasi, yakni 60 responden yang memanfaatkan lahan pekarangan dan 19 responden yang tidak memanfaatkan lahan pekarangan. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara dengan masyarakat dan pejabat dari instansi terkait. Pengamatan lapangan meliputi survey jenis pohon dan tanaman lainnya yang ada di lahan pekarangan dan survey kelimpahan satwa. Plot pengamatan keanekaragaman dan kesamaan jenis tanaman dibuat dengan ukuran 20 x 20 m untuk pohon dan 10 m x 10 m untuk tanaman bawah. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer, yaitu: jenis tanaman, luas lahan, jenis satwa, diameter dan tinggi pohon. Data sekunder: batas dan luas wilayah, topografi, jenis tanah, jumlah kepala keluarga, jumlah penduduk, pendidikan dan mata pencaharian penduduk. Data dianalisis dengan menghitung beberapa parameter sebagai berikut: 1. Keanekaragaman jenis Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus menurut Shanon dan Wiener (1949) dalam Odum (1993), sebagai berikut: n n H - Σ i Log i , yang mana H = indeks keanekaragaman, n i = jumlah individu N
N
tiap jenis, N = jumlah individu seluruh jenis. 2. Kesamaan jenis Kesamaan jenis antara jenis tanaman lahan pekarangan Kelurahan Lempake dan Kelurahan Sungai Siring dianalisis dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Jaccard dalam Bratawinata (1998) sebagai berikut: ISs (%) = {c / (a + b + c)} x 100 %, yang mana ISs = indeks kesamaan jenis dari Jaccard (%), c = jumlah jenis yang terdapat pada kedua plot pengamatan, a = jumlah jenis yang terdapat pada plot pertama saja, b = jumlah jenis yang terdapat pada plot kedua saja. 3. Pendapatan masyarakat Pendapatan masyarakat dari pemanfaatan lahan pekarangan terdiri dari penerimaan, biaya produksi (biaya tetap dan tidak tetap) yang rumusnya sebagai berikut: n Penerimaan TR Y.Py , yang mana TR = jumlah penerimaan. Y = produksi yang I 1
diperoleh dari pemanfaatan lahan pekarangan, Py = harga Y. n
Biaya tetap FC Xi . Pxi , yang mana Xi = jumlah fisik input yang membentuk I 1
98
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (2), OKTOBER 2005
biaya tetap, Pxi = harga input, n = macam input. n Biaya tidak tetap VC Xi . Pxi , yang mana Xi = jumlah fisik input yang I 1
membentuk biaya tidak tetap, Pxi = harga input, n = macam input. Jumlah biaya TC = FC + VC, jadi pendapatan I = TR TC Dari hasil perhitungan di atas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan rumus: R/C ratio = TR/TC. Jika R/C>1, artinya pemanfaatan lahan pekarangan yang dilakukan secara ekonomis menguntungkan. Jika R/C<1 artinya pemanfaatan lahan pekarangan yang dilakukan secara ekonomis tidak menguntungkan. Hubungan antara pola pemanfaatan lahan pekarangan dengan faktor ekologi dan sosial serta prospek pengembangan Kebun Pekarangan dalam mendukung pengembangan Hutan Kota dianalisis secara deskriptif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Kelurahan Lempake Luas wilayah Kelurahan Lempake adalah 53,80 km2 dengan batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Sempaja/Sungai Siring, sebelah selatan Kelurahan Sungai Pinang Dalam, sebelah barat Kelurahan Sempaja/Temindung Permai dan sebelah timur Kelurahan Sungai Siring/Anggana. Keadaan topografi terdiri dari datar sampai bergelombang ringan dengan ketinggian 550 mdpl, jenis tanah didominasi oleh ultisol dan latosol. Iklim Kelurahan Lempake termasuk iklim tropis dengan curah hujan rata-rata 1.936 mm/th. Temperatur udara bulanan rata-rata 21,9–32,4 oC, kelembapan udara rata-rata 85 %/th. Jumlah kepala keluarga yang ada di Kelurahan Lempake adalah 3.117 kk, penduduknya berjumlah 13.693 orang, terdiri dari 6.505 orang wanita dan 7.188 orang laki-laki. Kepadatan penduduk (geografis) tergolong cukup padat yakni 255 orang/km2 (Anonim, 1997). Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Lempake umumnya berpendidikan SD (56,70 %), SLTP 10,63 %, SLTA 9,27 %, Akademi 0,36 % dan Sarjana 0,06 %. Fasilitas pendidikan yang ada antara lain 7 TK, 11 SD, 2 SLTP, 1 SLTA dan 2 Pondok Pesantren. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kelurahan Lempake adalah petani, yakni sebanyak 2.358 orang (77,24 %) dan sisanya (22,76 %) bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil, karyawan swasta, pedagang dan lain-lain. 2. Kelurahan Sungai Siring Luas wilayah Kelurahan Lempake adalah 75,83 km2 dengan batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Lempake, sebelah selatan Kelurahan Sambutan, sebelah barat Kelurahan Sungai Pinang Dalam dan sebelah timur Kecamatan Muara Badak. Topografi terdiri dari datar sampai bergelombang ringan dengan ketinggian 0–75 mdpl, jenis tanah didominasi oleh ultisol dan inseptisol.
Listyorini dkk. (2005). Analisis Pola Pemanfaatan dan Prospek Lahan
99
Iklim Kelurahan Lempake termasuk iklim tropis dengan curah hujan rata-rata 1.838 mm/th. Temperatur udara bulanan rata-rata 23–32o C. Jumlah kepala keluarga yang ada di Kelurahan Lempake adalah 1.405 kk, penduduknya berjumlah 4.242 orang, terdiri dari 2.249 orang wanita dan 1.993 orang laki-laki. Kepadatan penduduk secara geografis tergolong kurang padat yakni 56 orang/km2. Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Lempake umumnya berpendidikan SD (40,41 %), SLTP 18,34%, SLTA 5,26 %, Akademi 0,71 % dan Sarjana 0,24 %, sedangkan penduduk yang tidak tamat SD 4,76 %. Fasilitas pendidikan yang ada masih kurang, karena kelurahan ini hanya memiliki 2 TK, 4 SD, 1 SLTP dan 1 SLTA. Mata pencarian sebagian besar penduduk Kelurahan Sungai Siring adalah petani yakni sebanyak 1.662 orang (85,84 %), sisanya (14,15 %) bermata pencarian sebagai Pegawai Negeri Sipil, TNI/Polri, karyawan swasta, pedagang dan lain-lain. Pola Pemanfaatan Lahan Pekarangan Pada umumnya pola pemanfaatan lahan pekarangan masyarakat di lokasi penelitian adalah perpaduan antara tanaman berkayu, non kayu dan pemeliharaan ternak (agrosilvopastura). Hal ini sesuai dengan pendapat Bratawinata dan Sardjono (1988), bahwa sistem pemanfaatan pekarangan merupakan kombinasi antara komponen kehutanan, pertanian dan peternakan (agrosilvopastura), yang merupakan salah satu sistem agroforestry yang dapat dijumpai di Kalimantan Timur, tidak terkecuali di Kelurahan Lempake dan Kelurahan Sungai Siring. Tanaman berkayu didominasi oleh pohon buah-buahan yang sudah dibudidayakan, seperti durian, rambutan, nangka, jeruk dan lain-lain. Tanaman non kayu didominasi oleh tanaman holtikultura (sayur mayur, umbi-umbian dan bumbubumbuan). Hasil pengamatan menunjukkan jumlah jenis tanaman non kayu pada lahan pekarangan masyarakat Lempake lebih banyak daripada lahan pekarangan masyarakat Sungai Siring. Masyarakat di lokasi penelitian dalam mengelola lahan pekarangannya masih menggunakan cara yang sederhana, bibit tanaman menggunakan bibit lokal, pemupukan hanya berasal dari kotoran hewan peliharaan. Penanaman menggunakan sistem campuran dengan jarak tanam tidak teratur, tanaman berkayu sebagai tanaman utama. Tenaga kerja menggunakan tenaga kerja sendiri, yakni kepala keluarga dibantu anggota keluarganya. Ternak yang dipelihara adalah ayam, itik, mentok, kambing dan sapi. Berdasarkan hasil pengamatan, lahan pekarangan yang dikelola masyarakat di lokasi penelitian sudah memenuhi salah satu kriteria disebut Hutan Kota, yakni didominasi oleh vegetasi pepohonan.
100
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (2), OKTOBER 2005
Struktur dan Komposisi Tanaman Pekarangan di Kelurahan Lempake dan Sungai Siring 1. Struktur horisontal Pohon-pohon dengan diameter lebih dari 40 cm tidak dijumpai di lahan pekarangan masyarakat Lempake sebagaimana dijumpai pada lahan pekarangan masyarakat Sungai Siring. Hal ini disebabkan pohon-pohon dengan diameter besar pada Kebun Pekarangan masyarakat Lempake telah ditebang untuk keperluan bahan bangunan, kayu bakar maupun peremajaan. Jumlah pohon yang hadir di pekarangan masyarakat Lempake adalah 251 pohon/ha, sedangkan di pekarangan masyarakat Sungai Siring 278 pohon/ha (Gambar 1). Berdasarkan kondisi tersebut, maka tingkat kerapatan pohon/ha masih kurang sebagaimana ketentuan Hutan Kota yakni jarak tanam antar pohon 10 m (Marini, 1996 dalam Hamidi, 2000).
140 84 77
80 62
60 40 20
Lempake Sungai Siring
48 36 33 3231 29 26 23 16 16 12 0
4
0
Jumlah pohon/ha
Jumlah pohon/ha
100
120
135 110
Kelas diameter (cm)
Sungai Siring
80 49
60
43
40 11
20
0
0 7.5
7.5 12.5 17.5 22.5 27.5 32.5 37.5 42.5
Lempake 92 89
100
12.5
17.5
22.5
Kelas tinggi (m)
Gambar 1. Distribusi Pohon Berdasarkan Kelas Diameter dan Tinggi di Lahan Pekarangan Milik Petani Kelurahan Lempake dan Kelurahan Sungai Siring
2. Struktur vertikal Struktur vegetasi pada lahan pekarangan pada umumnya terdiri dari 3–4 lapisan/strata. Lapisan tertinggi (>20 m) didominasi oleh pohon durian (Durio zibethinus) dan sengon (Falcataria mollucana). Lapisan kedua didominasi oleh pohon rambutan (Nephelium lappaceum), nangka (Artocarpus integra), mangga (Mangifera indica), cempedak (Artocarpus champeden). Lapisan ketiga didominasi oleh jeruk (Citrus spp.), sirsak (Annona muricata), kates (Carica papaya), pisang (Musa spp.), salak (Salacca edulis), kopi (Coffea sp.). Lapisan terendah didominasi oleh tanaman sayur-sayuran, umbi-umbian dan bumbu-bumbuan. Menurut Soemarwoto (1989), struktur tanaman pekarangan yang berlapis-lapis bila diperhatikan mirip dengan struktur tajuk vegetasi hutan. Distribusi pohon berdasarkan kelas tinggi dapat dilihat pada Gambar 1. 3. Keanekaragaman jenis vegetasi 3.a. Kelimpahan jenis. Dari hasil identifikasi pada Kelurahan Lempake ditemukan 16 suku tanaman berkayu terdiri dari 34 jenis. Tanaman non kayu 13 suku terdiri dari 22 jenis. Di Kelurahan Sungai Siring ditemukan 19 suku tanaman berkayu
Listyorini dkk. (2005). Analisis Pola Pemanfaatan dan Prospek Lahan
101
terdiri dari 32 jenis dan 8 suku tanaman non kayu terdiri dari 13 jenis seperti ditampilkan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Daftar Tanaman Berkayu pada Lahan Pekarangan Masyarakat di Kelurahan Lempake dan Kelurahan Sungai Siring Suku/jenis Anacardiaceae: Anacardium occidentale Mangifera indica Mangifera odorata Spondias pinnata Annonaceae: Annona muricata Bombacaceae: Ceiba petandra Durio zibethinus Combretaceae: Terminalia cattappa Euphorbiaceae: Aleurites moluccana Baccaurea motleyana Macaranga sp. Gnetaceae: Gnetum gnemon Lauraceae: Cinnamomum burmannii Persea gratissima Leguminosae: Delonix regia Erythrina poeppigiana Gliricidia sepium Leucaena leucocephala Falcataria mollucana Parkia speciosa Pithecelobium lobatum Pterocarpus indicus Sesbania grandiflora Tamarindus indica Meliaceae: Lansium domesticum Sandoricum koetjape Moraceae: Artocarpus altilis A. champeden A. integra
Kelurahan Lempake
Kelurahan Sungai Siring
Jambu monyet Mangga Kueni Kedondong
x x x
x x x x
Sirsak
x
-
Randu Durian
x x
x
Ketapang
x
-
Kemiri Rambai Mahang
x x -
x x
Melinjo
x
x
Kayu manis Alpukat
x -
x
Flamboyan Dadap Gamal Lamtoro Sengon Petai Jengkol Angsana Turi Asam jawa
x x x x x x x -
x x x x x x
Langsat Kecapi
x -
x x
Sukun Cempedak Nangka
x x x
x x x
Nama lokal
102
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (2), OKTOBER 2005
Tabel 1 (lanjutan) Suku/jenis Myristicaceae: Myristica fragrans Myrtaceace: Eugenia aromatica E. aquea E. polyanta E. malaccensis Psidium guajava Oxalidaceae: Averrhoa bilimbi A. carambola Rubiaceae: Coffea sp. Morindra citrifolia Rutaceae: Citrus spp. Sapindaceae: Dimocarpus sp. Nephelium lappaceum Sapotaceae: Manilkara kauki Sterculiaceae: Theobroma cacao Verbenaceae: Tectona grandis Perenoma canescens Jumlah
Nama lokal
Kelurahan Lempake
Kelurahan Sungai Siring
Pala
-
x
Cengkeh Jambu air Salam Jambu bol Jambu biji
x x x x
x x x
Belimbing tunjuk Belimbing
x x
x x
Kopi Mengkudu
x -
x x
Jeruk
x
x
Ihau Rambutan
x x
x
Sawo
x
-
Coklat
-
x
x 34
x 32
Jati Sungkai
Tabel 2. Daftar Tanaman Nonkayu pada Lahan Pekarangan Masyarakat di Kelurahan Lempake dan Sungai Siring Suku/jenis Araceae: Colocasia sandeniana Bromeliceae: Ananas comosus Cannaceae: Canna edulis Caricaceae: Carica papaya Convolvulaceae: Ipomoea batatas Dioscoreaceae: Dioscorea aculata D. hispida Euphorbiaceae: Manihot utilissima
Kelurahan Lempake
Kelurahan Sungai Siring
Keladi
x
-
Nanas
x
x
Ganyong
x
-
Kates
x
x
Ubi jalar
x
-
Gembili Gadung
x x
-
Singkong
x
x
Nama lokal
Keterangan: - = tidak ada. x = ada
Listyorini dkk. (2005). Analisis Pola Pemanfaatan dan Prospek Lahan
103
Tabel 2 (lanjutan) Suku/jenis Graminae: Bambusa spp. Cymbopogon flexuoso Saccharum officinarum Zea mays Musaceae: Musa spp. Palmae: Areca catechu A. pinnata Cocos nucifera Salacca edulis Pandanaceae: Pandanus sp. Piperaceae: Piper nigrum Solanaceae: Capsicum anuum Solanum albuma Zingiberaceae: Alpinia galanga Curcuma domestica Zingiber aromatika Z. officinale Jumlah
Nama lokal
Kelurahan Lempake
Kelurahan Sungai Siring
Bambu Sereh wangi Tebu Jagung
x x x x
x -
Pisang
x
x
Jambe/pinang Aren Kelapa Salak
x x x x
x x x
Pandan
-
x
Lada
x
-
Lombok Terong
x x
-
Laos Kunyit Lempuyang Jahe
x x 22
x x x x 13
3.b. Indeks keanekaragaman dan kesamaan jenis. Indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon pada Kelurahan Lempake adalah 0,9581 dan untuk tanaman lapisan bawah 0,665, sedangkan pada Kelurahan Sungai Siring Indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon 0,8524 dan untuk tanaman lapisan bawah 0,4703. Hal ini menunjukkan indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon lebih tinggi daripada tanaman lapisan bawah baik, di Kelurahan Lempake maupun Sungai Siring. Indeks keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena dalam komunitas tersebut terjadi interaksi antara jenis yang tinggi pula. Jadi dalam suatu komunitas yang mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi akan terjadi interaksi jenis yang melibatkan transfer energi, kompetisi dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks (Kershaw, 1985). Kenyataan di atas menunjukkan, bahwa Kebun Pekarangan memiliki keanegaragaman jenis tanaman yang tinggi, dengan demikian secara tidak langsung mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia yang merupakan salah satu fungsi hutan kota. Indeks kesamaan jenis untuk pohon, baik di Kelurahan Lempake maupun Sungai Siring lebih besar daripada indeks kesamaan jenis tanaman lapisan bawah. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan jenis yang lebih besar pada tanaman lapisan bawah dibandingkan dengan pohon.
104
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (2), OKTOBER 2005
4. Keanekaragaman Jenis Satwa Jenis satwa (selain hewan peliharaan) didominasi oleh jenis burung, walaupun masih dijumpai jenis hewan lain tetapi jumlahnya sedikit (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan pendapat Dahlan (1992), bahwa salah satu peranan Hutan Kota dalam hal ini Kebun Pekarangan adalah sebagai habitat burung. Sembilan jenis burung yang ditemukan terdiri dari i) golongan pemakan serangga (Kipasan, Branjangan, Prenjak); ii) golongan pemakan nektar, buah dan biji (Tekukur, Burung Gereja, Kutilang, Punai, Cucak Rowo); iii) golongan pemakan daging (Burung Hantu dan Elang). Tabel 3. Jenis Satwa pada Lahan Pekarangan Masyarakat di Kelurahan Lempake dan Sungai Siring Nama Indonesia Mamalia: Tupai Reptil: Biawak Ular kobra Burung: Branjangan Cucak Rowo Elang Burung Gereja Burung Hantu Kipasan Kutilang Prenjak Punai Tekukur Jumlah
Nama latin
Kelurahan Lempake
Kelurahan Sungai Siring
Lariscus insignis
x
x
Varanus borneanus Naja sputatrix
-
x x
x x x x x x x x x x 11
x x x x x x 9
Mirofra javanica Pycnonotus zeylanicus Spizaetus cirrhatus Passer monthanus Otus bakkamoena Rhipidura javanika Pycnonotus aurigaster Orthotomus ruficeps Trerron vernan Streptopelia chinensis
Keterangan: - = tidak ada. x = ada
Hubungan Pola Pemanfaatan Lahan Pekarangan dengan Aspek Ekologi, Sosial dan Ekonomi 1. Aspek ekologi Hasil pengamatan menunjukkan struktur vegetasi yang berlapis-lapis pada lahan perkarangan dapat melindungi lahan perkarangan dari erosi permukaan tanah. Menurut Bratawinata (1997), lapisan tajuk merupakan filter bagi air hujan. Air hujan yang jatuh akan menyangkut pada lapisan tajuk dan vegetasi di bawahnya, selebihnya akan mengalir pada batang-batang pohon, sehingga air yang jatuh ke tanah kecil, dengan demikian pukulan air hujan terhadap butir-butir tanah terhindar. Hal lain yang menarik, halaman rumah penduduk pada umumnya tidak disemen/beton sebagaimana dijumpai di perkotaan. Hal ini dapat membantu mengurangi volume air yang mengalir ke sungai sehingga bahaya banjir dapat dikurangi. Halaman yang tertutup semen/beton akan meningkatkan suhu lingkungan, sehingga mengakibatkan kurang nyaman (Soetomo, 1996).
Listyorini dkk. (2005). Analisis Pola Pemanfaatan dan Prospek Lahan
105
Keberadaan vegetasi pepohonan di kebun perkarangan juga turut menjaga dan memperbaiki ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari. Pengalaman penduduk selama ini walaupun musim kemarau, sungai dan sumur masih mampu memasok air bagi kebutuhan mereka. Efek iklim mikro dapat dirasakan, yang mana temperatur udara di Kebun Pekarangan lebih sejuk dibandingkan dengan lahan perkarangan yang tidak bervegetasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Biantary (2003), bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara iklim mikro di dalam Hutan Kota dan iklim mikro di kawasan tanpa vegetasi, terutama suhu udara, kelembapan udara dan radiasi matahari. Temperatur yang sejuk di dalam Kebun Pekarangan menyebabkan penduduk lebih menghemat tenaga untuk beraktivitas di Kebun Pekarangan dibandingkan pekerjaan di sawah atau di ladang. Hasil pengamatan juga menunjukkan, bahwa petani tidak membersihkan serasah yang ada di lahan pekarangan, sehingga dapat membantu memasok bahan organik yang dapat memperbaiki struktur dan kesuburan tanah. Menurut Ruhiyat (1992), di Kalimantan Timur persediaan unsur hara banyak disimpan di dalam vegetasi daripada di dalam tanah. 2. Aspek sosial Walaupun Kelurahan Lempake dan Sungai Siring terletak di sekitar wilayah perkotaan, namun suasana kehidupan masyarakatnya tidak berbeda dengan di pedesaan pada umumnya. Penduduk melakukan hampir semua kegiatan sosial di rumahnya. Pekarangan sebagai lahan di sekitar rumah merupakan tempat yang ideal untuk hal tersebut. Upacara-upacara adat baik kelahiran, perkawinan, kematian maupun acara lainnya dilakukan di lahan ini, guna kepentingan tersebut para tetangga diundang untuk menyaksikannya. Hasil lahan pekarangan baik berasal dari tanaman maupun ternak yang dipelihara di pekarangan, tidak jarang diperlukan untuk keperluan acara tersebut. Studi yang dilakukan Tjakrawati (1985) dalam Rusmini (1989) menemukan, bahwa fungsi sosial pekarangan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan manusia yang berhubungan dengan nilai-nilai, adat istiadat dan kebutuhan materi pemukimnya. Perkarangan di lokasi penelitian pada umumnya tidak berpagar, sehingga orang dengan bebas melintas dan melewati perkarangan orang lain. Hasil dari kebun perkarangan sebagian berfungsi sosial, anggota masyarakat tanpa harus membayar dapat memperoleh bahan ramuan obat maupun bumbu-bumbuan dari Kebun Pekarangan orang lain. 3. Aspek ekonomi Tanaman berkayu yang hadir di lokasi penelitian didominasi oleh tanaman berkayu yang memiliki nilai ekonomi (buah-buahan), kondisi ini berbeda dengan vegetasi pada Hutan Kota yang ada di pusat kota Samarinda, di mana vegetasi pepohonan didominasi oleh jenis-jenis yang kurang mempunyai nilai ekonomi. Walaupun demikian, penanaman pohon buah-buahan pada suatu areal Hutan Kota bukanlah suatu hal yang tidak tepat. Menurut Dahlan (1992), Hutan Kota dapat ditanami dengan jenis-jenis tanaman yang dapat menghasilkan buah, bunga, daun dan kayu untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan penghasilan masyarakat secara terbatas.
106
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (2), OKTOBER 2005
Komponen tanaman tahunan memberikan kontribusi terbesar (61,64 % di Kelurahan Lempake dan 74,43 % di Kelurahan Sungai Siring) terhadap pendapatan keseluruhan lahan perkarangan disusul dengan hasil dari pemeliharaan ternak dan hasil dari tanaman semusim. Jumlah pendapatan keseluruhan dari Kebun Pekarangan di masyarakat Kelurahan Lempake sebesar Rp947.179/responden/ tahun, sedangkan di Kelurahan Sungai Siring sebesar Rp174.622/responden/tahun. Kehadiran tanaman tahunan juga memberikan hasil tambahan berupa kayu bangunan dan kayu bakar. Berdasarkan hasil perhitungan, usaha pemanfaatan lahan perkarangan di lokasi penelitian menguntungkan (R/C ratio lebih dari satu). Kontribusi pendapatan pekarangan terhadap jumlah pendapatan keluarga pemilik berkisar antara 2,73 % hingga 35,64 %. Hasil penelitian ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian Rusmini (1989), bahwa sumbangan pekarangan pada masyarakat Melayu dapat mencapai 49 % dan bahkan lebih dari jumlah pendapatan rumah tangga pemiliknya. Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Kota dan Kebun Perkarangan sebagai Hutan Kota 1. Persepsi masyarakat terhadap Hutan Kota Hasil wawancara dengan responden menunjukkan, bahwa persepsi masyarakat tentang pengertian Hutan Kota masih sangat beragam, walaupun demikian sebagian besar responden baru sekedar tahu tentang Hutan Kota, tetapi belum sepenuhnya memahami arti dan fungsi Hutan Kota. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa pengertian Hutan Kota berbeda dengan pengertian “hutan” yang selama ini mereka pahami. Menurut Puryono (1990) yang dikutip Yusliansyah (1998), pengertian Hutan Kota perlu disosialisasikan karena masih ada konotasi bahwa Hutan Kota adalah merupakan suatu kawasan “struggle for live”, yaitu kawasan yang berada jauh dari kota. Informasi tentang Hutan Kota diperoleh responden melalui berbagai sumber, yaitu media masa (TV, radio dan surat kabar), plang nama Hutan Kota, mahasiswa, sesama petani dan pejabat pemerintah. Sebagian besar responden (28,12 %) memproleh informasi istilah Hutan Kota melalui media massa, sedangkan persentase sumber informasi terkecil (9,38 %) adalah pejabat pemerintah. Hasil wawancara dengan responden maupun pejabat dari Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman sebagai instansi yang berwenang dalam mengelola Hutan Kota Samarinda menyebutkan bahwa sampai saat ini memang belum pernah dilakukan penyuluhan maupun penyebarluasan arti pentingnya Hutan Kota kepada masyarakat luas. 2. Persepsi masyarakat terhadap Kebun Pekarangan sebagai Hutan Kota Sebagian besar responden (73,41 %) berpendapat bahwa kebun pekarangan bisa dikategorikan sebagai Hutan Kota. Pendapat responden secara tidak langsung menggambarkan keterkaitan yang erat dengan bentuk dan manfaat dari Kebun Pekarangan dengan berbagai komponennya yang telah mereka peroleh selama ini,
Listyorini dkk. (2005). Analisis Pola Pemanfaatan dan Prospek Lahan
107
baik manfaat ekonomi maupun ekologi yang tidak berbeda jauh dengan bentuk dan fungsi hutan. Prospek dan Kendala Pemanfaatan Lahan Pekarangan dalam Mendukung Pengembangan Hutan Kota 1. Prospek pemanfaatan lahan pekarangan dalam mendukung pengembangan Hutan Kota Sebagian besar responden (71,67 %) setuju bila lahan pekarangan mereka tetap ditanami dengan tanaman tahunan dan tanaman semusim. Kondisi ini bila dipertahankan dapat menunjang pengembangan Hutan Kota melalui pemanfaatan lahan pekarangan. Pola pemanfaatan lahan pekarangan yang telah dilakukan masyarakat selama ini dapat dipertahankan dan dikembangkan dengan memenuhi kriteria yang harus dipenuhi oleh hutan kota, yaitu: i) tanaman tahunan menjadi tanaman pokok, ii) keanekaragaman jenis tanaman terjaga atau meningkat, iii) kerapatan pohon ditingkatkan dengan mempertimbangkan faktor estetika, iv) terciptanya keseimbangan dan keserasian lingkungan. 2. Kendala pemanfaatan lahan pekarangan dalam mendukung pengembangan Hutan Kota Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden, bahwa dalam memanfaatkan lahan pekarangan ada 2 kendala yang dihadapi yaitu: i) kepemilikan lahan, hal ini disebabkan adanya sistem pewarisan sehingga lahan pekarangan terus mengalami pengurangan, ii) peran pemerintah/instansi terkait, berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden bahwa sampai saat ini belum ada perhatian khusus dari instansi terkait dalam hal penyuluhan ataupun bimbingan teknis tentang pentingnya hutan kota, sehingga kebun perkarangan sebagai salah satu bentuk hutan kota belum mendapat perhatian. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal pokok, yaitu Struktur tanaman pada lahan pekarangan umumnya terdiri dari 34 lapisan dengan jumlah pohon terbanyak pada kelas ketinggian 5,015,0 m, yang mana jenis tanaman yang ada pada lahan pekarangan masyarakat Lempake adalah 56 jenis dengan komposisi 60,71 % merupakan tanaman berkayu dan sisanya non kayu. Pada lahan pekarangan masyarakat Sungai Siring dijumpai 45 jenis dengan komposisi 71,11 % tanaman berkayu dan sisanya non kayu. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H) pohon pada lahan pekarangan masyarakat Lempake maupun Sungai Siring lebih tinggi bila dibandingkan dengan indeks keanekaragaman jenis tanaman lapisan bawah. Secara keseluruhan nilai indeks keanekaragaman jenis pada lahan pekarangan masyarakat Lempake lebih tinggi bila dibandingkan dengan masyarakat Sungai Siring.
108
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (2), OKTOBER 2005
Jenis-jenis pohon yang dijumpai pada lahan pekarangan masyarakat Lempake maupun Sungai Siring memiliki nilai kesamaan jenis yang rendah (<50 %), dengan demikian jenis pohon yang ada pada setiap lahan pekarangan memiliki variasi perbedaan yang besar. Jenis satwa yang sering dijumpai pada lahan pekarangan didominasi oleh jenis burung, yang terdiri dari golongan pemakan serangga, pemakan nektar, buah dan biji serta pemakan daging. Fungsi ekologis yang dapat diperoleh dari keberadaan Kebun Pekarangan adalah dapat melindungi lahan dari erosi permukaan, mengkonservasi tanah, mendukung stabilitas tata air dan iklim mikro khususnya temperatur udara. Fungsi sosial dari keberadaan Kebun Pekarangan tampak dari berbagai aktivitas sosial yang dapat dilakukan di lahan pekarangan maupun dari hasil Kebun Pekarangan yang berfungsi sosial. Pola pemanfaatan lahan pekarangan yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Lempake dan Sungai Siring adalah perpaduan antara tanaman tahunan, tanaman semusim dan pemeliharaan ternak yang dalam istilah agroforestry dikenal dengan agrosilvopastura. Tanaman tahunan didominasi oleh jenis buahbuahan, dengan jumlah pohon 251/ha pada lahan pekarangan masyarakat Kelurahan Lempake dan 278/ha pada lahan pekarangan masyarakat Sungai Siring; Hasil tanaman tahunan memberikan kontribusi terbesar terhadap jumlah pendapatan pekarangan. Secara keseluruhan kontribusi pendapatan pekarangan terhadap jumlah pendapatan per tahun keluarga pemilik berkisar antara 2,73 % hingga 35,64 %; Pada umumnya masyarakat di lokasi penelitian baru sekedar tahu tentang apa Hutan Kota, tetapi belum memahami secara jelas pengertian dari Hutan Kota. Meskipun demikian, mereka setuju bila lahan pekarangan yang mereka manfaatkan dikategorikan sebagai salah satu bentuk Hutan Kota; Struktur pekarangan, keanekaragaman jenis, fungsi ekologis, fungsi ekonomis dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan Kebun Pekarangan secara keseluruhan dapat menunjang keberadaan Kebun Pekarangan dalam mendukung pengembangan Hutan Kota; Kendala utama yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan pekarangan untuk mendukung pengembangan Hutan Kota adalah faktor kepemilikan lahan yang semakin berkurang dan belum adanya perhatian dari pemerintah kota/instansi terkait khususnya dalam bentuk penyuluhan dan bimbingan teknis tentang pentingnya Hutan Kota. Saran Sampai saat ini masyarakat di lokasi penelitian masih antusias untuk tetap mempertahankan keberadaan vegetasi pepohonan di lahan pekarangannya, agar potensi Kebun Pekarangan sebagai salah satu bentuk Hutan Kota tetap dipertahankan, Pemerintah Kota Samarinda/instansi terkait perlu memberikan insentif yang lebih besar, antara lain melalui bantuan bibit tanaman unggul, perbaikan pengelolaan pasca penen dan penanganan pamasaran hasil.
Listyorini dkk. (2005). Analisis Pola Pemanfaatan dan Prospek Lahan
109
Pemerintah Kota Samarinda/instansi terkait juga perlu memberikan bantuan bimbingan teknis tentang penataan Kebun Pekarangan yang sehat dan indah, agar keberadaan vegetasi pepohonan di lahan pekarangan tidak dipandang sebagai lingkungan yang tidak sehat. Pemerintah Kota Samarinda/instansi terkait perlu memberikan bantuan bimbingan teknis tentang pemeliharaan vegetasi pepohonan, agar Kebun Pekarangan tidak dialihfungsikan ke pemanfaatan yang lain. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Profil Desa/Kelurahan (Buku I). Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Biantary, M.P. 2003. Studi Peran Hutan Kota sebagai Pengatur Iklim Mikro di Wilayah Kota Samarinda Kaltim. Tesis Magister Program Pascasarjana PS Ilmu Kehutanan Unmul, Samarinda. Bratawinata, A.A. dan M.A. Sardjono. 1988. Inventarisasi Sistem-sistem Agroforestry di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Agroforestry untuk Pengembangan Daerah Pedesaan di Kalimantan Timur, tanggal 1921 September, Samarinda. Bratawinata, A.A. 1997. Pengaruh Hutan dan Konservasi Hutan Hujan Tropis di Indonesia. Program Pascasarjana PStudi Ilmu Kehutanan Unmul, Samarinda. Bratawinata, A.A. 1998. Ekologi Hutan Hujan Tropis dan Metode Analisis Hutan. Laboratorium Ekologi dan Dendrologi Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda. Dahlan, E.N. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan. APHI, Jakarta. Hamidi, J. 2000. Revitalisasi Penataan Hutan Kota (Sketsa dan Sein dan das Sollennya). Majalah Kehutanan Indonesia Edisi 5/XII: Kershaw, K.A. 1985. Quantitative and Dynamic Plant Ecology. Third Edition. NC Master University, Ontario. Nazaruddin. 1994. Penghijauan Kota. Penebar Swadaya, Jakarta. Odum, P.E. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Ruhiyat, D. 1992. Dinamika Unsur Hara dalam Pengusahaan Hutan Alam dan Hutan Tanaman: Siklus Biogeokimia Hutan. Prosiding Lokakarya Pembinaan Hutan Tropis Lembap yang Berwawasan Lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya. Dephut RI dan Fahutan Unmul. Rusmini, N. 1989. Fungsi Pekarangan pada Masyarakat Melayu di Deli Serdang Sumatera Utara. Prosiding Seminar Etnobotani III, tanggal 56 Mei. Kehati, Bogor. Soemarwoto, O. 1989. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jembatan, Jakarta. Soetomo, M.H.A. 1996. Mengelola Pekarangan Sejahtera. Sinar Baru Algensindo, Bandung. Yuliansyah. 1998. Arboretum Sempaja sebagai Salah Satu Hutan Kota Samarinda. Dipterokarpa 2 (3): 4247.