PEDOMAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DALAM DAN DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI
Oleh :
Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Direktorat Jenderal PHKA - DEPHUT
DIPA BAGIAN ANGGARAN - 69 DIREKTORAT JENDERAL PHKA TAHUN 2007
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
2
KATA PENGANTAR
Buku
Pedoman
Pemanfaatan
Hasil
Hutan
Non
Kayu
Dalam
Rangka
Pemberdayaan Masyarakat ini disusun sebagai bahan yang dapat dipedomani bagi pelaksana dilapangan terkait dengan kegiatan pemanfaatan HHNK, yang dalam pelaksanaannya tetap mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya dalam pedoman ini kata Hasil Hutan Non Kayu akan dibahas lebih mendalam dengan kata Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) mengenai mekanisme pemanfaatannya, khususnya yang berasal/diambil dari kawasan konservasi di zona khusus atau zona tradisional. Secara umum pedoman ini membahas maksud dan tujuan pemanfaatan HHBK, Kebijakan dan Strategi Pemanfaatan HHBK, Jenis-Jenis, Potensi, dan Mekanisme Pemanfaatan HHBK, serta peluang pasar terhadap produk HHBK, yang semuanya dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Dengan telah tersusunnya buku pedoman ini, tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam pelaksanaan maupun penyelesaian pedoman ini. Semoga bermanfaat.
Direktur
DR. Hilman Nugroho NIP. 710005945
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
i
DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR..................................................................................................i DAFTAR ISI ................................................................................................................ii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. iii I. PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 A. Latar Belakang................................................................................................. 1 B.
Maksud dan Tujuan........................................................................................ 2
C.
Ruang Lingkup ............................................................................................... 3
D. Batasan dan Pengertian .................................................................................. 3 II. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMANFAATAN HHBK................................. 5 A. Dasar Hukum.................................................................................................. 5 B.
Kebijakan ......................................................................................................... 6
C.
Strategi ............................................................................................................. 7
III. PERAN UPT DAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN HHBK .... 8 A. Peran UPT ...................................................................................................... 8 B.
Peran Masyarakat ......................................................................................... 8
IV. TATA CARA PEMANFAATAN HHBK ......................................................... 10 A. Tata Cara Permohonan Ijin ......................................................................... 10 B.
Penilaian Permohonan Ijin .......................................................................... 10
C.
Tata Cara Pemanfaatan HHBK ................................................................... 11
V. PEMBINAAN DAN PEMBIAYAAN ............................................................... 29 VI. PENUTUP ........................................................................................................... 30 LAMPIRAN .............................................................. Error! Bookmark not defined.1
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
ii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Daftar Komoditas HHBK yang Menjadi Urusan Departemen Kehutanan Sesuai dengan Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007.
Lampiran 2.
Contoh Jenis-jenis Hasil Hutan Bukan Kayu dan Wilayah Penyebarannya.
Lampiran 3.
Peluang Pasar Dari Berbagai Macam Produk/Komoditas HHBK.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
iii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan hasil hutan non kayu adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan dan aspek kelestarian hutan. Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, sutera alam, gondorukem, dll. Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri. Berdasarkan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 1 butir 13, hasil hutan adalah benda-benda hayati dan non hayati dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan. Hal ini telah dijabarkan dalam Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007 tentang HHBK meliputi 7 kelompok, dimana jasa lingkungan yang berasal dari hutan tidak termasuk HHBK. Pemanfaatan HHBK di kawasan konservasi tentunya harus menyelaraskan dengan ketentuan PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, pasal 2 (ayat 1) disebutkan bahwa pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kawasan konservasi sebagai benteng terakhir sistem penyangga kehidupan manusia dan pelestarian hutan tropis yang kita miliki saat ini mengalami berbagai tekanan kepentingan dari para pihak, yang menimbulkan laju degradasi dan deforestasi sangat tinggi. Sementara disisi lain sekitar 10,2 juta masyarakat miskin berada/hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan, dimana ± 6 juta masyarakat tersebut sepenuhnya hidup tergantung dari hasil hutan. Sesuai data yang sedang dihimpun saat ini diketahui ± 2.857 desa berinteraksi langsung dengan kawasan konservasi. Sebagai upaya optimalisasi pengelolaan partisipatif kawasan konservasi, masyarakat dilibatkan dalam suatu sistem pengelolaan melalui berbagai bentuk, seperti pengamanan dan perlindungan kawasan maupun pemanfaatan multifungsi sesuai aspek konservasi dan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Masyarakat desa di sekitar dan di dalam kawasan konservasi selain dilibatkan dalam pengelolaan, desa-desa di sekitar kawasan konservasi saat ini dibina Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
1
melalui pengelolaan daerah penyangga dalam bentuk pemberdayaan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan kelestarian kawasan konservasi. Diharapkan untuk mengoptimalkan manfaat fasilitasi pemberdayaan masyarakat dimaksud, diperlukan kerjasama dan dukungan para pihak yang dapat diimplementaikan sesuai tupoksi masing-masing. Pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi, merupakan salah satu bentuk upaya memberikan akses manfaat kawasan konservasi terhadap masyarakat daerah penyangga sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam implementasi di lapangan, pemanfaatan HHBK telah dilakukan oleh beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal PHKA antara lain berupa penangkaran tumbuhan dan satwa, perburuan, dll yang kesemuanya dilakukan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan melalui pemanfaatan HHBK ini dapat melestarikan dan mengembangkan jenis-jenis HHBK, dan meningkatkan akses manfaat Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) terhadap peningkatan perekonomian masyarakat serta terwujudnya pengelolaan kawasan konservasi bersama masyarakat, sehingga mereka merasa memiliki terhadap kawasan tersebut guna mendukung kelestarian fungsi kawasan sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi secara lestari. Sejalan dengan salah satu dari 5 (lima) kebijakan prioritas Departemen Kehutanan yang tertuang dalam SK. Menteri Kehutanan No. 456/MenhutII/2004 adalah Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan , maka pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga sebagai upaya mengimplementasikan salah satu masalah isu strategis dalam perencanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat yaitu isu kebijakan yang antara lain berupa terbatasnya pengaturan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan . Memperhatikan beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka dirasa perlu untuk menyusun pedoman pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam rangka pemberdayaan masyarakat. B. Maksud dan Tujuan Maksud disusunnya pedoman ini adalah untuk memberikan panduan/acuan bagi petugas dilapangan (UPT Ditjen PHKA) dalam penyelenggaraan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Tujuan disusunnya pedoman ini adalah : 1. Tersedianya acuan baku/pedoman penyelenggaraan pemanfaatan HHBK dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 2. Terselenggaranya kegiatan pemanfaatan HHBK dalam rangka pemberdayaan masyarakat sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian kawasan konservasi.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
2
C. Ruang Lingkup. 1. Ruang lingkup pedoman pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat, dibatasi pada pemanfaatan HHBK yang diambil dari zona pemanfaatan, zona pemanfaatan tradisional, dan zona khusus dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 2. Penetapan jenis pemanfaatan HHBK sesuai ketentuan Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007. 3. Tata cara pemanfaatan HHBK . 4. Sistem pembinaan dan pembiayaan. D. Batasan dan Pengertian 1.
Cagar Alam (CA) adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
2.
Daerah Penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan, tanah negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi, maupun melindungi kepentingan masyarakat.
3.
Hasil Hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya serta jasa yang berasal dari hutan terdiri dari : hasil nabati beserta turunannya, hasil hewani beserta turunannya, benda non hayati, jasa yang diperoleh dari hutan, dan hasil produksi yang diperoleh dari hutan.
4.
Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan.
5.
HHBK Dari Kawasan Konservasi adalah individu atau bagian individu tumbuhan maupun satwa yang diperlukan sebagai sumber plasma nutfah yang berasal/diambil dari kawasan konservasi.
6.
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem, berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam peersekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
7.
Kawasan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keaneka ragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Sedangkan yang dimaksud kawasan konservasi disini adalah kawasan konservasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah mencakup wilayah perairan/laut.
8.
Kebun Buru adalah lahan diluar kawasan hutan yang diusahakan oleh badan usaha, untuk kegiatan perburuan.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
3
9.
Pemanfaatan Jenis adalah penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan maupun satwa liar dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan dan pemeliharaan untuk kesenangan.
10. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembang-biakan dan pembebasan tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. 11. Taman Wisata Alam (TWA) adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. 12. Zona Inti Taman Nasional adalah Zona di dalam kawasan Taman Nasional (TN) yang ditetapkan dengan kriteria tertentu antara lain : mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, mewakili formasi biota tertentu atau unit-unit penyusunnya, dan kriteria lainnya sesuai dengan pasal 31 ayat 2, Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 13. Zona Rimba Taman Nasional adalah Zona di dalam kawasan Taman Nasional (TN) yang ditetapkan dengan kriteria tertentu antara lain : mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi, memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan pasal 31 ayat 4, Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 14. Zona Pemanfaatan Tradisional difinisi pendekatan( Dalam Penjelasan pasal 32 UU No. 5 th. 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekositemnya, zona pemanfaatan tradisional tidak dijelaskan) adalah kawasan yang telah ditunjuk Balai Besar/Balai TN/KSDA yang berada didalam kawasan konservasi berfungsi untuk memberikan akses peluang masyarakat dalam memanfaatkan HHBK. 15. Zona Khusus adalah kawasan yang telah ditetapkan oleh Balai Besar/Balai TN/KSDA yang merupakan perluasan kawasan konservasi yang sebelumnya berfungsi sebagai arael untuk pemanfaatan/bercocok tanam oleh masyarakat.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
4
II. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMANFAATAN HHBK A. Dasar Hukum Dalam pemanfaatan HHBK di daerah penyangga kawasan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, perlu memperhatikan dasar hukum sebagai berikut: 1.
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
2.
Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Convention on Biological Diversity (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman Hayati;
3.
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
4.
Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru;
5.
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
6.
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan kawasan Suaka Alam.
7.
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
8.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
9.
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.
10. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Ø Pasal 26 tentang Pemungutan HHBK pada hutan lindung, Ø Pasal 43 tentang Pemanfaatan HHBK dalam hutan alam dan hutan tanaman pada hutan produksi, untuk jenis: rotan, sagu, dan bambu; meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran. 11. Peraturan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Tahun 2006 tentang Pembinaan dan pengembangan persuteraan alam dengan pendekatan klaster. 12. Keputusan Menteri Kehutanan No. 390/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
5
13. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 14. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar 15. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 83 Tahun 2006 tentang Pengadaan jenis tanaman untuk kegiatan gerakan rehabilitasi lahan. 16. Peraturan Menteri Kehutanan No. 35 Tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. 17. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 43/Kpts/DJ-VI/1997 tanggal 3 April tahun 1997 tentang Pedoman Pengembangan Daerah Penyangga. 18. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 44/Kpts/DJ-VI/1997 tanggal 3 April tahun 1997 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Rancangan Pembinaan Daerah Penyangga. 19. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 49/Kpts/DJ-VI/1997 tanggal 3 April tahun 1997 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan Daerah Penyangga. 20. Peraturan Direktur Jenderal RLPS No. 262/V-BPS/2006 Pedoman Model pengembangan usaha bambu.
tentang
21. Peraturan Direktur Jenderal RLPS No. P.14/V-Set/2007 Pedoman Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu.
tentang
B. Kebijakan Dalam pemanfaatan HHBK dari kawasan konservasi harus tetap memperhatikan aspek kelestarian dari jenis/spesies HHBK maupun kelestarian kawasan konservasi itu sendiri. Kebijakan yang ditempuh dalam pemanfaatan HHBK di daerah penyangga kawasan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat didasarkan pada kebijakan pembangunan Departemen Kehutanan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 456/Menhut-II/2004 tentang 5 (lima) Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan yang salah satunya adalah Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan . Dalam implementasi pelaksanaan pemanfaatan HHBK di lapangan kebijakan operasional yang perlu diperhatikan antara lain meliputi: 1. Program pemanfaatan HHBK merupakan salah satu bentuk optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan kelembagaan dan dukungan/komitmen para pihak dalam pengembangan pemanfaatannya. 2. Pemanfaatan HHBK merupakan kegiatan pengambilan flora fauna di zona pemanfaatan, zona pemanfaatan tradisional, dan zona khusus kawasan konservasi sesuai ketentuan yang berlaku kecuali cagar alam, zona inti
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
6
dan zona rimba Taman Nasional untuk kegiatan pengembangan, penangkaran dan budi daya flora fauna di daerah penyangga dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi. 3. Pemanfaatan HHBK merupakan upaya memberikan akses manfaat potensi kawasan konservasi terhadap masyarakat, dalam meningkatkan kualitas kehidupannya sesuai aspek kelestarian kawasan konservasi, nilai-nilai kearifan lokal, potensi sosekbud masyarakat. 4. Program pemanfaatan HHBK merupakan upaya peningkatan pendapatan dari sektor kehutanan non kayu. C. Strategi Strategi merupakan cara yang ditempuh untuk dapat merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan diatas. Dalam pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ini terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut: 1.
Penyusunan Rencana Pengembangan Pemanfaatan terintegrasi dengan Rencana Pengelolaan Kawasan.
HHBK
yang
2.
Membentuk kelembagaan masyarakat di tingkat desa.
3.
Menyiapkan tenaga pendampingan.
4.
Mendorong tumbuhnya industri HHBK.
5.
Peningkatan kuantitas, kualitas dan jenis produk HHBK.
6.
Melibatkan masyarakat setempat dalam budidaya tanaman HHBK.
7.
Menetapkan wilayah pengembangan dalam bentuk sentra industri di daerah tertentu, sesuai dengan kondisi dan potensinya.
8.
Proses industri menerapkan teknologi tepat guna dan efisien untuk memperoleh daya saing.
9.
Menetapkan jenis-jenis komoditas binaan untuk meningkatkan intensitas dan efektivitas dalam menyusun rencana dan implementasi program serta kegiatan budidaya, pemanfaatan HHBK.
10. Memfasilitasi terciptanya kesepakatan (MoU) antara pihak pengelola atau masyarakat dengan pengusaha guna terciptanya pemasaran yang efektif dan saling menguntungkan. 11. Sinkronisasi dengan program pembangunan daerah penyangga.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
7
III. PERAN UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) DAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN HHBK
Dalam pemanfaatan HHBK dari kawasan konservasi, masing-masing pihak termasuk UPT Ditjen PHKA dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing. A. Peran UPT Peran UPT Ditjen PHKA sebagai unit pengelola kawasan konservasi yang menangani langsung pengelolaan kawasan, dalam pemanfaatan HHBK untuk pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi sebagai berikut: 1. Inventarisasi dan identifikasi potensi HHBK yang ada dan berpeluang untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat daerah penyangga dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 2. Melakukan penilaian terhadap proposal pemanfaatan HHBK yang diusulkan oleh lembaga/kelompok masyarakat. 3. Menetapkan daya dukung kawasan dan volume HHBK yang dapat dipungut pada periode waktu tertentu, terhadap permohonan pemanfaatan HHBK. 4. Melakukan penilaian secara cermat terhadap jenis-jenis yang masuk dalam Appendiks I, untuk diterbitkan ijin khusus (sesuai ketentuan KepMenhut No.447/Kpts-II/2003 tentang tata usaha pengambilan atau penangkapan dan peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar). 5. Menetapkan/memberikan ijin pemanfaatan HHBK bagi lembaga /kelompok masyarakat dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti telah dijelaskan di atas. 6. Melaporkan kepada pusat (Eselon I Ditjen PHKA, dan eselon II Dit.KKH, Dit PJLWA) terkait permohonan ijin pemanfaatan HHBK. 7. Melakukan pendampingan terhadap masyarakat. 8. Meningkatkan kapasitas dan atau ketrampilan masyarakat, termasuk dalam hal pemanfaatan dan pengembangan budidaya HHBK. 9. Melakukan pemantauan terhadap kegiatan pemanfaatan HHBK dengan memperhatikan upaya kelestarian kawasan konservasi. B. Peran Masyarakat Peran masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi (daerah penyangga) sebagai user/pemohon, dalam pemanfaatan HHBK dari kawasan konservasi sebagai berikut :
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
8
1. Membentuk lembaga/kelompok masyarakat lokal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi (daerah penyangga). 2. Mengajukan permohonan ijin pemanfaatan konservasi kepada UPT Ditjen PHKA terkait.
HHBK
dari
kawasan
3. Membuat rencana (target, volume) pengambilan jenis, untuk periode tertentu. 4. Mengembangkan HHBK secara lestari di daerah penyangga dengan memperhatikan aspek Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 5. Melaporkan kegiatan pemanfaatan HHBK dari kawasan konservasi secara periodik kepada UPT Ditjen PHKA terkait.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
9
IV. TATA CARA PEMANFAATAN HHBK
A. Tata Cara Permohonan Ijin Dalam pemanfaatan HHBK dari kawasan konservasi perlu adanya ijin dari pihak pengelola kawasan (UPT Ditjen PHKA). Ijin diberikan kepada masyarakat lokal/kelompok masyarakat lokal dengan tata cara permohonan ijin sebagai berikut : 1. Ijin pengambilan/penangkapan HHBK dapat diberikan kepada kelompok masyarakat lokal di daerah penyangga kawasan konservasi untuk kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi dan daya dukung kawasan. 2. Persyaratan permohonan ijin: a. Lembaga/kelompok masyarakat telah disyahkan oleh Kepala Desa (Kades) setempat. b. Kejelasan status lokasi lahan daerah penyangga (lahan milik, Hutan Produksi atau Hutan Lindung) secara clear and clean. c. Mengajukan proposal kegiatan pemanfaatan HHBK dari kawasan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat kepada Kepala UPT yang bersangkutan dengan ditembuskan kepada Pusat (Unit Eselon II terkait) yang berisi : Ø Jenis yang akan dimohonkan. Ø Jumlah/kuantitas. Ø Rencana Pemanfaatan. Ø Peta lokasi dan denah lokasi pemanfaatan. d. Memiliki tenaga teknis sesuai pengalaman/ketrampilan di bidang usaha yang diajukan dan atau terdapat pendamping. B. Penilaian Permohonan Ijin Penilaian terhadap proposal permohonan ijin pemanfaatan HHBK dilakukan oleh pihak UPT Ditjen PHKA dengan menilai terhadap substansi yang mencakup: 1. Jumlah jenis/spesies yang dimohon. 2. Daya dukung kawasan terhadap permohonan ijin dimaksud. 3. Kelayakan secara teknis, lokasi lahan daerah penyangga.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
10
C. Tata Cara Pemanfaatan HHBK 1. Tujuan Tujuan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar berupa HHBK bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuan pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi : a. Meningkatkan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga. b. Rehabilitasi lahan di daerah penyangga. c. Mencegah erosi dan pengaturan tata air.
meningkatkan
kualitas
lingkungan
dan
d. Mencegah/menekan laju perambahan hutan dan illegal logging. e. Menjaga kawasan kawasan konservasi sesuai fungsinya. 2. Bentuk Pemanfaatan Bentuk-bentuk pemanfaatan HHBK yang dapat dilakukan antara lain : a. Pengkajian, penelitian dan pengembangan. b. Penangkaran. c. Perburuan. d. Perdagangan. e. Peragaan. f. Pertukaran g. Budidaya tanaman obat. h. Pemeliharaan untuk kesenangan. i. Pengambilan bibit/jenis dari zona pemanfaatan, zona pemanfaatan tradisional dan zona khusus, yang tidak termasuk Appendix I untuk dibudidayakan di daerah penyangga sesuai daya dukung kawasan. j. Pengambilan biji sebagai sumber benih sesuai daya dukung untuk dikembangkan di daerah penyangga. Penekanan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat daerah penyangga kawasan konservasi dalam penyajian pedoman ini difokuskan pada kegiatan pemanfaatan yang berpeluang meningkatkan perekonomian masyarakat, yaitu penangkaran, perburuan, perdagangan dan budi daya baik tanaman obat maupun tanaman berkayu yang menghasilkan minyak, getah, biji-bijian yang bernilai ekonomi. 3. Cara Pemanfaatan Cara pemanfaatan HHBK berupa jenis tumbuhan dan satwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat dilakukan antara lain melalui :
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
11
a. Penangkaran Jenis HHBK (tumbuhan dan satwa liar) untuk keperluan penangkaran diperoleh dari habitat alam atau sumber-sumber lain yang sah menurut ketentuan pemerintah (PP No.8 Tahun 1999 pasal 8). Pengambilan atau penangkaran tumbuhan dan satwa liar dapat berasal atau bersumber pada pengambilan atau penangkapan dari : •
Habitat alam (Jenisnya dapat merupakan kelompok Appendix CITES maupun non Appendix CITES yang dilindungi maupun tidak dilindungi, didalam maupun luar wilayah Republik Indonesia).
•
Hasil penangkaran, berupa hasil pengembang-biakan satwa (captive breeding), pembesaran satwa (ranching), perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial propaganation).
Tumbuhan dan satwa liar yang masuk dalam kategori Appendix I CITES pemanfaatannya harus diawasi dengan ketat yaitu hanya untuk keperluan konservasi, pendidikan dan ilmu pengetahuan dan bukan semata-mata untuk keperluan komersial kecuali bila berasal dari hasil penangkaran. Untuk melaksanakan perdagangan ke luar negeri, unit penangkar jenis appendix I CITES wajib diregister pada sekeretariat CITES harus dilengkapi proposal keberhasilan penangkaran (breeding proposal) dalam Bahasa Inggris Dalam pengambilan/penangkapan tumbuhan dan satwa liar perlu diperhatikan antara lain bahwa pengambilan/penangkapan tumbuhan dan satwa liar disesuaikan dengan kuota dan apabila pengambilan dilakukan dari hutan alam, maka hanya dapat dilakukan diluar Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Kawasan Suaka Alam (KSA), dan Taman Buru (TB). Setiap usaha penangkaran harus memiliki izin usaha penangkaran. Izin usaha dapat diberikan kepada badan usaha, lembaga konservasi, koperasi, ataupun perorangan. Izin usaha diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA. Untuk memperoleh izin usaha penangkaran permohonan ditujukan kepada Dirjen PHKA dengan tembusan kepada BKSDA setempat, yang dilengkapi dengan: 1. Beriata Acara Pemeriksaaan Persiapan Teknis Tempat Penangkaran dari BKSDA setempat. 2. Rekomendasi dari Kepala BKSDA setempat 3. Proposal Usaha Penangkaran 4. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) 5. Surat Izin Tempat Usaha (SITU)/HO 6. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 7. NPWP 8. Akte Notaris Pendirian Usaha 9. Biodata Tenaga Ahli yang dipekerjakan.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
12
Hasil penangkaran tumbuhan liar yang dilindungi dapat digunakan untuk perdagangan, dan hasil penangkarannya dinyatakan sebagai tumbuhan yang tidak dilindungi. Hasil penangkaran satwa liar yang dilindungi dapat digunakan untuk keperluan perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi berikutnya, yang dinyatakan sebagai jenis satwa liar yang tidak dilindungi. Usaha penangkaran yang telah memiliki izin usaha, diwajibkan menyampaikan laporan berkala tentang perkembangan usaha penangkarannya. Laporan berkala terdiri atas Laporan Bulanan dan Laporan Tahunan. Tata cara penyampaian laporan berkala adlaah sebagai berikut : 1. Laporan Bulanan disampaikan Dirjen PHKA cq Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (Dit. KKH) tembusan kepada Balai KSDA setempat 2. Laporan Tahunan disampaikan setiap tahun ke Dirjen PHKA cq Dit. KKH. Dengan tembusan KSDA setempat. Untuk alat kontrol keadaan dan perkembangan stock setiap usaha penangkaran perlu membuat pembukuan tentang kegiatan penangkaran, yang terdiri atas : 1. Buku Induk : yang memuat data-data informasi tentang seluruh kegiatan penangkaran 2. Buku Silsilah (studbook) : yang memuat data dan informasi tentang asal usul induk dan hasil penangkaran 3. Buku Mutasi : yang memuat data dan informasi tentang penambahan dan pengurangan induk dan hasil penangkaran. Standar kualifikasi penangkaran merupakan standar bagi hasil penagkaran yang dinyatakan telah layak untuk dijual. Standar kualifikasi penangkaran ditetapkan dengan dasar pertimbangan : 1. Batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa liar hasil penangkaran 2. Profesionalisme kegiatan penangkaran 3. Tingkat kelangkaan tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan Batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan harus memperhatikan antara lain : jenis yang ditangkarkan, kemampuan reproduksi, kecepatan pertumbuhan, dan laju kematian. Profesionalisme kegiatan penangkaran perlu memperhatikan antara lain ketersediaan tenaga lain, kelayakan sarana prasarana penangkaran, legalitas asal induk, ketersediaan buku induk
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
13
(studbook), penandaan dan atau sertifikasi, dan pencatatan dan pelaporan serta pemeriksaan silang terhadap catatan dan laporan. Tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan dapat ditunda rekomendasi pemanfaatan untuk perdagangan oleh pemerintah sampai waktu yang dipandang layak dengan memperhatikan antara lain : status perlindungan, endemisitas, keterbatasan populasi di alam, dan keadaan populasi di dalam penangkaran. Penetapan standar kualifikasi penangkaran dalam rangka perdagangan dilakukan untuk jenis per jenis yang ditangkarkan dalam suatu unit penangkaran. Proses penetapan dilakukan melalui audit. Audit wajib dilaksanakaan bagi setiap unit penangkar yang akan melakukan perdagangan ke luar negeri. Pelaksanaan audit dilakukan oleh tim audit yang melibatkan Otoritas Keilmuan yang dibentuk oleh Direktur Jenderal PHKA atau dilakukan oleh Lembaga audit penangkaran independent yang dinilai mampu. Hasil audit ditetapkan oleh Dirjen PHKA dalam bentuk Sertifikat jaminan Kualitas Penangkaran untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Tata cara audit standar kualifikasi penagkaran diatur sebagai berikut : a. Pemohon mengajukan permohonan audit kepada Dirjen PHKA dengan melampirkan laporan terakhir hasil penangkaran. b. Dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan, Dirjen PHKA menugaskan tim audit atau menolak permohonan audit. c. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah selesainya audit, tim melaporkan kepada Dirjen hasil rekomendasi audit. d. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya laporan, Dirjen PHKA dapat menolak atau memutuskan untuk menerbitkan Sertifikat Jaminan Kualitas Penangkaran sesuai rekomendasi. Penandaan merupakan pemberian tanda yang bersifat permanen pada bagian tumbuhan maupun satwa dengan menggunakan teknik tagging/banding, cap (marking), transponder, pemotongan bagian tubuh, tattoo dan label yang mempunyai kode berupa nomor, huruf atau gabungan nomor dan huruf. Tujuan dari penandaan untuk membedakan antara induk dengan induk lainnya, antara induk dengan anakan dan antara anakan dengan anakan lainnya serta anakan spesimen hasil penangkaran dengan spesimen alam. Tanda untuk specimen baik hidup atau mati maupun bagian-bagian daripadanya dapat berbentuk sebagai berikut : 1. Tanda untuk jenis-jenis mamalia hidup dapat berbentuk eartag (tanda di telinga) atau tattoo atau cap pada bagian tubuhnya.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
14
2. Tanda untuk jenis reptile, ikan dan amphibian berbentuk transponder/microchip atau marking pada bagian tubuh atau banding 3. Tanda untuk specimen kulit buaya berbentuk lock seal 4. tanda untuk koral hidup berbentuk label 5. Tanda untuk kulit reptile lainnya dapat berbentuk lock seal atau label atau sticker 6. Tanda untuk spesimen barang jadi (produk) dari kulit berbentuk label 7. Tanda untuk spesimen tumbuhan berbentuk label 8. Tanda untuk spesimen bagian atau turunan-turunan dari tumbuhan maupun satwa seperti obat tradisional, daging, minyak atau produk makanan yang dikemas berbentuk label yang dinyatakan dalam kemasan. Untuk memudahkan penelusuran asal usul (tracking) spesimen tumbuhan dan satwa liar, penandaan dilengkapi dengan sertifikat. Sertifikat hasil penangkaran dilaksanakan oleh unit penangkar dan disahkan oleh Kepala BKSDA atau oleh pejabat yang ditunjuk. Sertifikasi hasil penangkaran meliputi kegiatan : pemeriksaan asal usul, pemeriksaan identitas individu, dan pendokumentasian dalam sertifikat. Sertifikat berisi antara lain : kode tanda (bagi spesimen yang diberi tanda), nama jenis, jenis kelamin (apabila diketahui), kode tanda dari induk (khusus untuk pengembangbiakan satwa), tanggal dilahirkan/menetas/dibiakkan, tingkat generasi, khusus untuk pengembangbiakan satwa dan pengembangbiakan koloni di pulau, dan nama/ kode penangkar. Sebelum Kepala BKSDA atau pejabat yang ditunjuk mengesahkan sertifikat, Kepala BKSDA atau pejabat yang ditunjuk wajib memeriksa silang antara informasi di dalam sertifikat dengan BAP Penandaan dan spesimen. b. Perburuan Hal yang harus diperhatikan dalam melakukan perburuan satwa buru yaitu perburuan didasarkan atas kelestarian manfaat dengan memperhatikan populasi, daya dukung habitat, dan keseimbangan ekosistem. Satwa yang termasuk kedalam golongan yang dapat diburu adalah satwa liar yang tidak dilindungi, atau satwa liar yang telah ditetapkan satwa buru dan persyarakat berburu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam pemberdayaan masyarakat ruang lingkup perburuan adalah di kebun buru, yaitu lahan diluar kawasan hutan melalui pembentukan badan usaha.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
15
Perburuan dilaksanakan diluar KPA dan KSA dalam waktu dan jenis yang telah ditentukan, serta harus mendapatkan ijin dari pejabat yang berwenang. Masyarakat setempat yang melaksanakan pemburuan tradisional tidak perlu memiliki akta buru, pemandu buru, dan membayar pungutan izin buru. Pemburu tradisional disini maksudnya adalah berdomisili dalam wilayah kecamatan sekitar berburu, hasil buruan digunakan untuk perluan adat, dan untuk pemenuhan keperluan hidup seharihari dan dengan menggunakan alat berburu tradisional. Secara lebih rinci terkait mengenai persyaratan kegiatan perburuan dapat dilihat pada PP No.13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. c. Budidaya Tanaman Obat Pemanfaatan jenis tumbuhan yang berasal dari habitat alam untuk keperluan budidaya tanaman obat-obatan dilakukan dengan tetap memelihara kelangsungan potensi, populasi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan liar. d. Pengkajian, penelitian & pengembangan Kegiatan pengkajian, penelitian & pengembangan dalam pemanfaatan habitat meliputi penelitian dasar dan penelitian penunjang pemanfaatan dan budidaya. Kegiatan penelitian yang dilakukan di dalam kawasan konservasi hanya pengambilan specimen, sedangkan kegiatan penelitian lainnya dilakukan di luar kawasan. Pengkajian, penelitian dan pengembangan dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi atau tidak dilindungi. Penggunaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi untuk kepentingan pengkajian, penelitian dan pengembangan harus dengan izin menteri. Hasil pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi wajib diberitahukan kepada pemerintah. e. Perdagangan Ijin pengambilan atau penangkapan untuk tujuan perdagangan harus sesuai dengan izin pengambilan atau penangkapan yang meliputi lokasi pengambilan atau penangkapan, serta dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang dianggap mampu secara teknis atau trampil dalam melakukan pengambilan atau penangkapan. Pengambilan atau penangkapan specimen jenis tumbuan dan satwa liar harus memperhatikan kelestarian. Jenis tumbuhan dan satwa liar yang termasuk ke dalam golongan yang dapat dimanfaatkan untuk perdagangan adalah jenis yang tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi. Tumbuhan dan satwa
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
16
liar untuk perdagangan dapat diperoleh dari hasil penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam. Perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia setelah mendapat rekomendasi Menteri. Untuk perdagangan dalam skala terbatas dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar Areal buru dan di sekitar Taman Buru. Badan usaha yang melakukan perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar wajib memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwa liar yang memenuhi syarat-syarat teknis, menyusun rencana kerja tahunan usaha perdagangan tumbuhan dan satwa, dan menyampaikan laporan tiap-tiap pelaksanaan perdagangan tumbuhan dan satwa. Badan usaha yang melakukan perdagangan tumbuhan dan satwa liar wajib membayar pungutan yang ditetapkan. f. Peragaan Jenis yang dapat dimanfaatkan untuk peragaan adalah jenis yang tidak dilindungi yang ditetapkan sebagai satwa buru yang termasuk dalam Appendiks II, III, dan non Appendiks CITES diberikan oleh Kepala Balai. Jenis yang dilindungi lainnya dan atau jenis yang termasuk dalam Appendiks I CITES diberikan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari otoritas keilmuan bahwa tidak akan merusak populasi di habitat alam. Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat berupa koleksi hidup atau koleksi mati termasuk bagian-bagiannya serta hasil daripadanya. Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakuakn oleh lembaga konservasi dan lembaga-lembaga pendidikan formal. Peragaan yang dilakukan oleh orang atau badan di luar lembaga tersebut harus dengan izin Menteri. Lembaga, badan atau orang yang melakukan peragaan tumbuhan dan satwa liar bertanggung jawab atas kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar yang diperagakan. g. Pertukaran Pemanfaatan untuk tujuan pertukaran diberikan untuk jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi yang diterbitkan oleh kepala Balai. Jenis tumbuhan & satwa liar yang dilindungi diterbitkan oleh Menteri. Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan populasi, memperkaya kenekaragaman jenis, penelitian dan ilmu pengetahuan, dan atau penyelematan jenis yang bersangkutan. h. Pemeliharaan untuk Kesenangan Pemanfaatan dengan tujuan pemeliharaan untuk kesenangan hanya dapat diberikan bagi jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
17
Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan diperoleh dari hasil penangkaran, perdagangan yang sah, atau dari habitat alam. Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa liar untuk kesenangan, wajib memelihara kesehatan, kenayaman dan jenis tumbuhan atau satwa liar peliharaannya; dan menyediakan tempat dan fasilitas yang memenuhi standar pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemelihara satwa liar wajib menyampaikan laporan berkala pemeliharaan satwa kepada pemerintah. 4. Jenis-jenis Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Pengembangan hasil hutan bukan kayu dilakukan di daerah penyangga. Pengambilan bibit/bebih dapat dilakukan di zona pemanfaatan tradisional dan zona khusus. Contoh-contoh pengembangan HHBK adalah sebagai berikut : a. Pengembangan Usaha Gaharu Jenis-jenis pohon penghasil gaharu diantaranya adalah Aetoxylon sympelatum, Aquilaria hirta, Aquilaria malaccensis, Aquilaria filarial, Gonystylus bancanus. Gaharu tergolong tumbuhan pioneer sehingga tumbuhnya tidak memerlukan persyaratan lahan yang spesifik. Pengadaan bibit gaharu dapat dilakukan dengan cara generatif yaitu dengan biji & anakan alam, dan cara vegetatif yaitu dengan cangkok, okulasi, stek pucuk & kultur jaringan. Penanaman gaharu harus dilakukan di tempat yang teduh di bawah pohon pelindung, sehingga lokasi penanaman dapat saja merupakan pengkayaan jenis tanaman yang sudah ada. Setelah penanaman perlu dilakukan pemeliharaan tanaman yang meliputi pemupukan, penyulaman, penyiangan & pendangiran, pengendalian hama & penyakit dan pemangkasan. Setelah pohon berumur 5 6 tahun dilakukan inokulasi (penyuntikan) yaitu kegiatan memasukkan bibit gubal gaharu ke dalam batang atau akar gaharu dengan tujuan untuk memacu pembentukan gubal gaharu. Bibit gubal gaharu berupa mikroba atau jamur yang ditumbuhkan pada medium khusus. Gaharu terbentuk akibat serangan jasad renik atau mikroba pada kayu melalui bagian yang luka atau dahan-dahan yang rusak. Proses pembentukannya berlangsung sedikit demi sedikit pada batang, dahan atau akar pohon dalam waktu relative lama. Pohon gaharu siap dipanen apabila telah menunjukkan tanda-tanda seperti, pohon merana, daun rontok, bila diambil sampel kayunya dari batang jaringan kayunya berwarna coklat atau kehitamhitaman, dan kalau dibakar berbau harum. Bagian-bagian gaharu yang dapat diolah adalah : 1). Gubal, adlaah kayu yang berasal dari pohon atau bagian penghasil gaharu yang memiliki kandungan dammar wangi dengan aroma kuat, ditandai ileh warna hitam atau coklat kehitam-hitaman. Untuk memperoleh kualitas gubal tinggi gubal harus bebas dari bagian putih kayu.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
18
2). Kemedangan, adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang memiliki kandungan dammar wangi dengan aroma lemah. Dalam perdagangan dikenal 5 macam kemedangan yaitu kemedangan sabah, biasa atau air, macan, kemedangan minyak dan serbuk. 3). Serbuk gaharu adalah kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan. Produk serbuk gaharu antara lain adalah minyak gaharu, hio, dupa. b. Budidaya Lebah Madu Lebah merupakan insekta penghasil madu, dan termasuk dalam kelas insekta famili Apini. Jenis lebah asli adalah lebah hutan, lebah local, lebah kerdil, lebah kecil, lebah merah, lebah gunung, lebah local Sulawesi & lebah tanpa sengat. Lokasi yang disukai lebah adalah tempat terbuka, jauh dari keramaian & banyak terdapat bunga sebagai pakannya. Ada 2 jenis makanan bagi lebah yaitu nectar & tepung sari. Jenis tanaman cepat tumbuh yang menghasilkan nectar & pollen dapat berupa kayu-kayuan & buah-buahan seperti kaliandra, aren, akasia, eukaliptus, lamtoro gung, kelengkeng, mangga, durian, jambu air, kapuk randu, kelapa, karet, dll. Jenis tanaman pakan lebah untuk pembuatan usaha budidaya lebah hutan dipilih jenis tanaman local yang biasanya disukai lebah hutan. Syarat utama dalam budidaya lebah madu adalah ada seekor ratu lebah dan ribuan ekor lebah pekerja serta lebah jantan. Perkembangbiakan pada lebah adalah mengembangkan ratu baru sebagai upaya memperbanyak koloni. Pemeliharaan budidaya yang dilakukan berupa pemeliharaan sanitasi & tindakan preventif, perawatan penyakit, pemberian pakan, pencegahan hama & penyakit. Pada pengelolaan lebah secara modern, lebah ditempatkan pada kandang berupa kotak/stup. Peternak harus rajin memeriksa, menjaga & membersihkan bagian-bagian stup dari kotoran & mencegah semut. Hasil utama budidaya perlebahan adalah madu, royal jelly (susu ratu), pollen (tepung sari), lilin lebah (malam), & propalis (perekat lebah). Panen madu dilakukan pada 1 2 minggu setelah musim bunga. Agar usaha perlebahan memiliki daya saing & dapat memberikan nilai tambah tinggi, maka diperlukan diversifikasi produk & kemasan menarik. c. Budidaya Bambu Bambu merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh tersebar di hampir semua pulau. Perkembangbiakan bambu biasanya adalah pertumbuhan vegetatif, yaitu dengan stek ranting, stek cabang, stek batang & stek rhizoma. Penyebaran bambu dipengaruhi oleh kondisi biofisik tempat tumbuh mencakup intensitas cahaya, suhu, ketinggian tempat, iklim, curah hujan & kelembaban serta kondisi tanah. Untuk
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
19
mengembangkan usaha perluasan tanaman.
pemanfaatan
bambu
perlu
dilakukan
Sebelum pembuatan tanaman dilakukan persiapan penyiapan bibit & kegiatan pengolahan lahan. Penanaman dilaksankaan pada awal musim hujan dengan intensitas hujan yang cukup sehingga tanah cukup basah. Pemeliharaan tanaman meliputi pemeliharaan awal (sejak panen sampai umur 4 tahun) berupa penyulaman, penyiangan, & penggemburan tanah & pemupukan; & pemeliharaan setelah produksi (± 5 tahun) berupa penebangan tanaman masak secara teratur, penimbunan rumpun dengan tanah, pemupukan & penebangan anakan yang tumbuh kurang baik. Perlindungan tanaman meliputi pemberantasan hama penyakit, & perlindungan terhadap kebakaran. Panen bambu pertama dapat dilakukan setelah rumpun berumur 5 tahun & tersedia batang bambu dewasa. Bentuk-bentuk usaha pemanfaatan bambu antara lain adalah batang bambu, furniture, kerajinan pulp & kertas, papan panel & makanan rebung. d. Budidaya Rotan Rotan termasuk tanaman merambat & umumnya dijumpai pada daerah beriklim basah. Rotan dapat ditanam di mana terdapat pohon yang dapat dipergunakan sebagai pohon panjat. Penanaman pohon inang dilakukan jika areal untuk penanaman rotan berupa tanah kosong atau bekas ladang atau semak belukar. Jenis pohon inang untuk rambatan rotan yang sangat baik adalah jenis Bungur Wungu (Lagerstromia speciosa) karena menggugurkan daun pada musim tertentu, tidak memerlukan tempat tumbuh yang khusus & penanamannya sangat mudah. Bibit rotan dapat berasal dari biji & permudaan alam. Bibit siap ditanam pada umur 8 12 bulan dengan tinggi 40 cm, tumbuh normal, tidak terserang hama & penyakit, daun terakhir masih berbentuk kuncup. Penanaman rotan dilakukan pada awal musim hujan, dilakukan pada pagi hari, sore hari atau cuaca mendung berawan. Pemeliharaan tanaman berupa penyulaman & penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama & penyakit, & perlindungan terhadap kebakaran. Rotan siap dipanen apabila daun & durinya sudah patah, warna durinya menjadi hitam atau kuning kehitaman, & sebagian batangnya sudah tidak dibalut oleh pelepah daun & telah berwarna hijau. Panen pertama kali dilakukan pada umur 6 8 tahun untuk rotan berdiameter kecil, & untuk rotan berdiameter besar setelah berumur 12 15 tahun.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
20
Bentuk-bentuk pemanfaatan rotan adalah mebel, kursi, rak, penyekat ruangan, keranjang, tempat tidur, lemari, lampit, sofa, baki, dll. e. Pemeliharaan Ulat Sutera Ulat sutera dapat hidup pada daerah tropis sampai sub tropis, dipelihara manusia untuk dimanfaatkan kokonnya sebagai bahan baku benang sutera dengan pakan utama berupa tanaman murbei. Ulat sutera termasuk serangga yang mengalami metamorfosis sempurna, dimulai dari telur, larva (ulat), pupa (kepompong) & imago (ngengat). Daun murbei untuk pakan ulat sutera harus disediakan dari kebun murbei sesuai dengan jumlah & persyaratan yang diperlukan. Jumlah kebutuhan daun dihitung sesuai dengan jumlah ulat yang akan dipelihara. Ulat kecil peka terhadap mutu daun murbei yang dimakannya, & membutuhkan daun yang masih lunak yang diambil mbar kesatu sampai dengan lembar kelima dari pucuk terpanjang. Pemungutan daun dengan cara dipetik & diusahakan jangan sampai layu. Dalam pemeliharaan ulat kecil harus mempersiapkan ruangan & alatalat pemeliharaan yang sudah disinfeksi. Disinfeksi dilakukan untuk membersihkan ruangan dari bakteri, jamur & virus dalam ruangan, dan pada peralatan pemeliharaan ulat mencegah ulat terserang penyakit. Pada waktu ulat tidur perlu ditangani dengan benar karena ulat sangat peka terhadap faktor-faktor luar. Inkubasi telur yaitu perawatan telur diruangan sejak datang dari produsen telur menjelang menetas. Untuk memperoleh prosentase penetasan tinggi secara serempak, maka temperatur (25º C) dan kelembaban (85 %) ruangan inkubasi harus diatur agar mencapai kondisi ideal. Pelaksanaan pemeliharaan ulat kecil berupa hakitate yaitu pemberian makan pertama pada ulat yang baru menetas dilakukan sekitar pukul 08.00 pagi. Selain itu perlu dilakukan pembersihan tempat pemeliharaan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya akumulasi kotoran sisa makanan dan ulat yang mati sehingga akan mengundang penyakit bagi ulat lainnya. Pada waktu ulat tidur (80 -90 %) dengan ciri-ciri berhenti makan, diam/tidak bergerak, kepala diangkat ke atas, masih ada ulat yang belum tidur sehingga perlu diberi makanan tambahan. Setelah ulat bangun, luas tempay ulat harus diperkecil lalu dilaksanakan disinfeksi tubuh ulat, dan diberi makan. Kebersihan ruangan harus dijaga, jangan sampai hama masuk ke tempat ulat. Pemeliharaan ulat kecil berakhir sampai dengan ulat instar III. Ulat disalurkan pada saat tidur memasuki instar IV, pada saat inilah ulat harus secepatnya disalurkan ke tempat-tempat pemeliharaan ulat besar. Sebelum melakukan pemeliharaan ulat besar, segala kebutuhan untuk pemeliharaan harus dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat menghasilkan kokon berkualitas baik. Persiapan meliputi pembersihan
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
21
ruang dan peralatan pemeliharaan, disinfeksi ruang pemeliharaan & peralatan pemeliharaan. Dalam pemeliharaan ulat besar, perlu diperhatikan luas ruang pemeliharaan, suhu dan kelembaban udara, pemberian pakan, disinfeksi tubuh ulat, pembersihan, perlakuan terhadap ulat sakit, perlakuan terhadap sisa-sisa makanan dan kotoran ulat, dan perlakuan terhadap ulat sebelum mengokon. Persiapan pengokonan harus dilakukan, terutama pencucian, pembersihan dan desinfeksi terhadap alat pengokonan. Kualitas kokon dipengaruhi oleh keadaan suhu, kelembaban dan peredaran udara di dalam ruang pengokonan, untuk itu perlu diusahakan agar tempat pengokonan dalam keadaan kering dan ventilasi lancar. Sebelum panen dilaksanakan harus dilakukan pemeriksaan terhadap 1 2 butir kokon untuk melihat pupa, apakah kokon sudah siap dipanen atau belum. Kokon siap panen dicirikan dengan pupa berwarna coklat. Setelah dipanen, ruangan harus segera didisenfeksi. f. Usaha Arang Terpadu Arang kayu merupakan salah satu komoditi ekspor yang dapat memberikan sumbangan devisa negara. Melalui pengembangan teknologi produksi arang sebagai produk utama dapat dikembangkan secara terpadu dengan produk sampingannya yaitu cuka kayu/wood vinegar. Cuka kayu adalah cairan organik berwarna kuning sampai hitam, baunya menyengat, mengandung berbagai macam jenis komponen kimia yang dikelompokkan pada senyawaan asam, phenol, alkohol dan netral. Diproduksi dari limbah uap/gas proses pembuatan arang dengan cara mengkondensasikan uap/gas tersebut dengan alat pendingin dalam satu proses dengan produksi arang. Semua jenis kayu dapat digunakan sebagai bahan baku dan tidak diperlukan persyaratan bahan baku khusus. Kayu yang memiliki berat jenis tinggi, bentuk log, kandungan nilai kalor tinggi dan abu rendah lebih dikehendaki produsen. Bahan baku kayu berasal dari hutan tanaman jenis kayu energi seperti bakau, api-api, lamtoro, puspa, dan lain-lain diambil dari seluruh pohon. Dari hutan rakyat, jenis kayu pertukangan diambil dari kayu diameter kecil sisa tebangan seperti dahan dan cabang serta tunggak dan dari limbah industri penggergajian kayu campuran sperti sebetan atau balakan serbuk gergaji, sisa potongan, kayu cacat dan lain-lain. Bahan baku selain kayu yang potensial adalah bambu, tempurung kelapa, tempurung kelapa sawit dan sekam padi. Tungku produksi arang dibuat dari bahan konstruksi yang mudah didapat dengan harga yang bervariasi sesuai dengan model tungku yang diinginkan. Kapasitas tungku untuk produksi arang terpadu dengan cuka kayu pada kisaran 2-5 m². Tungku dilengkapi dengan unit pendingin asap yang sederhana dibuat dari baja berbentuk sungkup dan pipa dari bambu, atau dengan unit pendingin air yang disirkulasikan secara otomatis dari turen kemudian masuk ke pengumpul asap/uap. Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
22
Proses produksi cuka kayu mengikuti alur proses karbonisasi yaitu dengan cara mengkondensasikan asap yang dihasilkan selama pembakaran kayu hingga suhu maksimal berkisar antara 400-450 ºC. Arang dan cuka kayu yang dihasilkan dengan cara demikian tidak saling mempengaruhi mutu dan kualitas masing-masing produk. g. Penyadapan Damar Penghasil damar adalah pohon shorea (Shorea javanica). Untuk mendapatkan damar dilakukan tindak penyadapan yang memerlukan teknik penyadapan yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon dan hasil damar. Hasil penyadapan yang baik dapat berpengaruh terhadap umur produksi pemungutan damar jauh lebih panjang, pohon relatif sehat sehingga dapat berproduksi sangat lama, jangka waktu peremajaan lebih jarang dilakukan, produksi damar per pohon relatif lebih banyak, dan pada akhir produksi damar dapat dimanfaatkan kayu sekitar 8 m³/pohon. Peralatan yang dipersipakan untuk penyadapan adalah alat pembuat mal sadap, paku panjang sekitar 4 cm, balabang (wadah damar berupa anyaman rotan bentuk bulat panjang), tambilang (wadah bentuk kerucut diameter 25 cm, tinggi 30 cm), alis/ambon (tali/tambang terbuat dari rotan untuk memanjat dan penyangga badan penyadap sewaktu menyadap), dan kapak/patil. Pohon damar mulai disadap pada umur 20 tahun. Sebelum disadap, dibuatkan mal sadap sebanyak 2-4 buah berderet ke atas berukuran 20 x 20 cm. Mal sadap paling bawah terletak 35 cm dari muka tanah. Jarak antar mal sadap minimal 40 cm. Pada bidang mal sadap, lapisan kulit kayu dibersihkan seperlunya. Pada bidang mata sadap yang bersih dilukai dengan paku pada kedalaman sekitar 1 cm. Pembuatan luka sadap dengan patil berbentuk segitiga sama sisi, alas mata sadap berukuran 7 cm terletak di tengah mal, berada 5 cm dari atas alas mal sadap. Setelah satu bulan, damar yang terkumpul dalam mata sadap dipungut dan dimasukkan ke dalam tambilung. Mata sadap diperbarui menggunakan patil dengan tebal 1 cm dan luka gores sekitar 0,25 cm. Selanjutnya pemungutan dan pembaruan luka sadap dilakukan setiap bulan. Setelah berlangsung 18 bulan, mata sadap telah memenuhi mal sadap, sehingga perlu dibuat mal sadap baru pada permukaan batang yang berseberangan dengan permukaan mal sadap awal. Lubang paku sadap sekitar 1 cm, jumlahnya sekitar 15 lubang per mata sadap. h. Penangkaran Kima Kima merupakan binatang lunak (moluska), hidup di perairan yang cukup aman untuk penempelan terutama pada awal kehidupannya. Kima hidup di terumbu karang, menancap di antara karang hidup dengan bagian yang terbuka (donsal) ke atas, sehingga permukaan daging mantel sering nampak berwarna hijau, biru atau kuning coklat indah. Kima tidak tergantung pada makanan fitoplankton, dan dapat Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
23
hidup subur di daerah terumbu karang yang miskin akan fitoplankton. Kima dapat berasosiasi dengan sejenis tumbuhan bersel satu yang dinamakan Zooxanthellae. Kima mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, yaitu dijadikan makanan bergizi. Di Indonesia terdapat tujuh jenis Kima, yaitu Hippopus hippopus, H. Porcellanus, Tridacna gigas, T. Derasa, T. Crocea, T. Squamosa dan T. Maxima. Semua jenis kima bersifat hermaprodit protandus. Kebanyakan individu muda adalah jantan, sifat hermaprodit baru muncul setelah dewasa. Kima merupakan sebangsa kerang yang bersifat filter feeder yaitu menyaring makanan plankton pada perairan sekitarnya. Induk (Broodstock) dipilih berdasarkan kematangan indung telur (gonad), yang dapat dideteksi menggunakan metode biopsi yaitu memasukkan jarum biopsi sedalam mantel melalui lubang excurrent. Apabila jaringan gonad terdapat sel telur dan terdapat bersama-sama dengan sperma, maka telah terjadi kematangan indung telur kima dapat langsung dipindahkan ke kolam pembenihan. Ada dua cara pengambilan induk kima di laut, yaitu dengan menggunakan kerekan dan tanpa menggunakan kerekan. Kerekan digunakan untuk jenis kima yang besar dengan cara mengikatkan kima pada tali dan ditarik dari kapal/perahu. Spawning (pemijahan) pada kima dapat terjadi dalam 2 kondisi yaitu spawning bersamaan secara natural, dan induced spawning atau spawning dengan bantuan faktor luar. Induced spawning dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu dengan menggunakan zat kimia (seretonim) yang diinjeksikan ke dalam gonad melalui lubang excurrent siphon, perlakuan dengan bahan hasil hancuran dari jaringan indung telur yang diinjeksikan ke daerah insang yang sudah matang kemudian lima menit setelahnya spermatozoa dilepaskan dan temperatur shock dengan memasukkan kima yang sudah matang ke dalam tangki yang air lautnya bertemperatur 35 ºC atau menjemur kima selama 30 menit hingga 1 jam. Proses fertilisasi dilakukan dengan mencampurkan sejumlah kecil sperma dengan sel telur. Larva hasil fertilisasi dimasukkan ke dalam tangki berukuran 500 -1650 liter, dalam tempo 1 hari sel telur berubah menjadi larva trochopore dan pada hari kedua menjadi veliger. Dalam pemeliharaan larva, pemberian ganggang 1 sel seperti Isochrysis galbana sangat membantu pertumbuhan larva & veliger. Larva kima tidak secara otomatis mempunyai atau bersimbiosis dengan zooxanthellae. Sehingga inokulasi zooxanthellae ke dalam air laut di dalam tangki pemeliharaan sangat diperlukan. Sekitar 5 7 hari pembuahan atau 4 6 hari setelah masa veliger, maka larva veliger menjadi pediveliger yang sudah mencoba untuk turun ke dasar tangki. Setelah berumur 10 hari pediveliger akan bermetaformosa menjadi kima muda (juvenil). Sebelum kima mencapai umur 2 bulan (besarnya < 1 mm) presentasi individu yang hidup sangat kecil, karena adanya pertumbuhan dari ganggang
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
24
benthik pengganggu yang menghalangi intensitas cahaya di dalam tangki. Pada umur 2 9 bulan presentasi kematian individu masih tetap tinggi, hal ini disebabkan adanya komposisi ganggang dengan zooxanthella. Pada saat kima berumur 5 bulan (besarnya sekitar 5-10 mm) kima juvenil dipindahkan ke dalam tangki pemeliharaan khusus dengan cara menempatkan kima juvenil pada tray atau nampan plastik yang sudah diisi pasir kasar atau gravel. Beberapa nampan plastik yang sudah berisi kima dimasukkan ke dalam tangki pemeliharaan sampai tangki mencapai 8 9 bulan. Pada stadium ini kima sudah siap dipindahkan ke tempat pemeliharaan yang terlindung di laut. Pemeliharaan di laut dengan perlindungan dilakukan pada kima muda dengan ukuran cangkang 20 mm selama kurang lebih 2 -4 tahun. Metode pemeliharaan terlindung di laut yang paling baik dan paling cocok adalah metode interdal benthic karena murah, tidak membutuhkan peralatan penyelaman untuk memasang dan memonitor keramba, serta pengotoran keramba oleh ganggang dan organisme lain dapat diatasi. Setelah kima mencapai ukuran 20 mm, kima dapat dipindahkan ke tempat pemeliharaan untuk pertumbuhan. Kima dengan ukuran 200 mm (2-4 tahun) dapat dipelihara di alam bebas, yaitu laut tanpa perlindungan. i. Penangkaran Ikan Arwana Sarana dan prasarana yang perlu disiapkan untuk penangkaran antara lain kolam tanah, seumber air, bak-bak penampungan, aquarium dan laboratorium basah, instalasi listrik dan air, rumah jaga dan kantor serta inkubator. Kolam pemijahan untuk arwana disesuaikan dengan ukuran induk ikan yang besar. Bak penampungan yang terbuat dari beton dan aquarium kaca dibuat untuk pemeliharaan anak ikan arwana yang baru menetas. Instalasi listrik dan air dibutuhkan untuk penerangan, menggerakkan alat-alat listrik dan mengalirkan air di laboratorium basah dan kolam. Inkubator diperlukan untuk memperlakukan anak-anak ikan yang lemah dan sakit. Ikan arwana yang dapat dijadikan induk berukuran panjang 50 60 cm dengan warna dan varietas sesuai dengan yang digunakan. Insuk ikan yang produktif adalah ikan yang telah berumur 4 tahun. Perbandingan induk ikan jantan dan betina adalah 1 : 1 hingga 1 : 2 atau 3. Umur dan ukuran tubuh induk jantan dan betina sebaiknya sama. Air kolam induk hendaknya berasal dari air bukit atau sungai dan mengalir sehingga ada pertukaran air di kolam. Syarat kualitas air antara lain suhu 25 30 ºC, pH 6,0 7,0, oksigen > 5 ppm, CO² < 25 ppm. Setelah telur dibuahi, induk akan memberikan perlindungan khusus pada telur. Selama mengerami telur yang lamanya 2 minggu, ikan dalam keadaan puasa. Seekor induk betina hanya mampu menghasilkan 40 60 butir telur sekali pemijahan. Setelah 3 bulan dengan panjang ± 15 cm maka anakan ikan yang tersisa 6 27 ekor anakan arwana yang siap dilepas Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
25
ke pasaran. Pemanenan anakan ikan arwana dari satu induk dapat dilakukan 3 4 kali dalam setahun. Induk ikan yang telah memijah dipindahkan ke dalam kolam cadangan yang telah disediakan. Anakan ikan arwana yang baru menetas dieramkan dalam induk jantan selama 40 hari, setelah itu anakan ikan dikeluarkan dari mulut ikan. Sebelum melakukan pengeluaran anakan ikan air kolam disurutkan hingga seperempat. Satu ekor induk akan arwana dapat memuntahkan anak ikan rata-rata 38 ekor. Anak ikan segera dikeluarkan dari mulut induk ikan jantan dan segera dikumpulkan ke dalam kantung yang berisi oksigen. Anak-anak ikan selanjutnya dipindahkan dan dipelihara dalam aquarium kaca atau bak beton dengan aerasi yang cukup. Prinsip penanganan penyakit adalah mengetahui sumber penyakit dan memperbaikinya. Bila disebabkan parasit maka kita harus menghilangkan parasit itu dari tubuh. Bila disebabkan oleh penurunan kualitas air maka harus mengganti dan memperbaiki kualitas air. Penyakit yang biasanya terdapat pada ikan arwana antara lain dubur ikan merah dan bengkak, penyakit gigit ekor, tutup insang melengkung, mogok makan, sisik berdiri, tulang punggung bengkok, dan sungut tidak normal. Makanan yang diberikan pada ikan arwana umumnya berupa aneka ragam ikan hidup berukuran kecil seperti guppy, molly, platys koral, benih ikan mas, udang air tawar. Maknaan tambahan juga dapat diberikan pada pemeliharaan ikan arwana pada aquarium seperti kelabang (lipan), kadal, jangkrik, dan katak. Makanan tambahan tersebut dapat menyebabkan warna tubuh ikan arwana lebih indah dan merupakan makanan selingan agar ikan arwana tidak bosan. Induk ikan arwana yang dipelihara di kolam umumnya diberi makanan ikan-ikan air tawar dan udang. Sedangkan anakan ikan arwana diberikan makanan yang bervariasi sesuai dengan mulut. Penandaan ikan arwana dilakukan dengan menggunakan transponder/micrichip. Pemasangan microchip dilakukan pada bagian belakang insang atau perut bagian depan. Tanda yang berupa microchip disediakan oleh pemegang izin penangkaran. Pemasangan tanda dilakukan oleh petugas BKSDA setempat. Penandaan lain untuk ikan arwana Irian dapat dilakukan dengan metode foto. Metode foto digunakan dengan asumsi bahwa susunan sirip masing-masing ikan arwana Irian berbeda. Hasil foto dengan kualitas baik harus dipasang pada sertifikat yang dilengkapi informasi nama jenis, ukuran, asal usul, waktu penandaan dan umur. Anak ikan hasil penangkaran dapat dijual dan diekspor ke luar negeri. Anak ikan arwana untuk diekspor biasanya dengan ukuran 12 13 cm. Sebelum diekspor ke luar negeri maupun di dalam negeri, setiap ikan arwana harus dipasang microchip pada badannya sebagai tanda bahwa ikan tersebut berasal dari hasil penangkaran. Ikan arwana yang akan dikirim dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
26
berukuran 10 liter. Kantong tersebut diberi air kira-kira separoh dari kapasitas plastik dan diberi oksigen yang cukup. Satu kantong plastik hanya dapat diisi 1 (satu) ekor ikan arwana yang berukuran rata-rata 14 22 cm, agar ikan lebih nyaman. Kantong plastik diikat dimasukkan ke dalam kardus yang telah dilengkapi dengan gabus dan identitas perusahaan. Ikan arwana sudah siap untuk dikirim. j. Penangkaran Ular Sanca Hijau Ular sanca hijau (chondropyton viridis) sangat diminati oleh penggemar binatang sebagai binatang kesayangan (pet) karena warna tubuhnya yang indah dan cara hidupnya yang khas. Dalam usaha penangkaran ular sanca hijau harus dipersiapkan terlebih dahulu sarana prasarananya, yaitu bangunan utama merupakan bangunan beratap yang dijaga agar suhu dan kelembaban ruangan tetap yang dilengkapi dengan ventilasi; kandang induk yang dipergunakan untuk memelihara ular biasanya memakai bahan plastik (box plastik); kandang karantina yang dibuat dan diletakkan terpisah dari kandang lainnya agar tidak terjadi penularan penyakit; kandang penetasan dibuat untuk menghindarkan dari gangguan secara fisik dan non fisik; kandang pembesaran sebaiknya dibuat secara alami dengan kondisi lingkungan yang sesuai dengan habitat ular sanca hijau yang dibuat beberapa buah berdasarkan kelas umurnya; laboratorium untuk menganalisa ular-ular yang terkena penyakit dan untuk tujuan riset. Masa produktif yang baik untuk perkawinan mulai umur sekitar 2 sampai 3 tahun. Pada masa kawin ular jantan dan betina disatukan dalam kandang tempat kawin dengan perbandingan 1 jantan : 5 betina. Perkawinan dalam kandang lamanya 1-2 bulan yaitu pada bulan Januari, Agustus sampai dengan Desember. Ular mulai bertelur setelah terjadi perkawinan dalam kandang selama 1-2 bulan yaitu bulan Januari dan Februari, April da Mei serta bulan November dan Desember. Telur ular mulai menetas setelah dierami selama 2-3 bulan oleh induknya. Penetasan telur terjadi karena faktor alam yaitu dinding/kulit telur mengalami pelapukan dan dipatuk oleh induk telurnya sendiri. Kelembaban udara harus terjaga dan suhu udara berkisar 15-22 ºC. Jumlah telur yang menetas biasanya berkisar antara 80 100 %. Penetasan bisa juga dilakukan dalam inkubator yaitu ruangan yang mempunyai suhu & kelembaban tertentu untuk membantu proses penetasan telur yang tidak dierami induknya. Anak ular sanca hijau yang baru menetas harus dipelihara dengan hati-hati dan pemberian makanan harus diatur. Makanan yang diberikan adalah cecak atau anak tikus yang baru lahir dan diberikan air secukupnya dalam kandang. Induk yang digunakan harus sudah dewasa (3 tahun) dengan tandatanda badan tampak kompak, kulit dan sisik mulus, mengkilap dan
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
27
teratur, gerakan merayap bergelombang, mata jernih dan bersih. Pengadaan bibit ular sanca dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : 1) Membeli induk dari penangkar ular sanca hijau yang telah berhasil. Biasanya bibit yang diperoleh sudah mencapai keturunan pertama (F1). Pembelian ini harus menjelaskan asal usul satwa mencakup nama perusahaan pemilik, tingkat generasi dan jumlah. 2) Mengambil dari alam setelah mendapat persetujuan dari LIPI menyangkut jumlah dan lokasi pengambilan ular tersebut. Untuk pengangkutan ke tempat penangkaran harus menggunakan ijin angkut satwa dalam negeri yang diterbitkan oleh instansi kehutanan setempat. Pemeliharaan harus dilakukan agar ular-ular tersebut mempunyai kualitas yang baik. Pemeliharaan yang perlu dilakukan adalah pembersihan ruang kandang; pemberian makanan secara teratur; pemberian minuman yang bersih, sehat dan segar; pemeriksaan kesehatan secara teratur oleh dokter hewan; perkembangan satwa meliputi kesehatan, kelahiran, kematian, dll; dan gangguan dari predator dan antar ular sendiri. Pakan yang paling baik adalah jenis tikus sawah atau tikus putih dalam keadaan hidup. Satu ekor ular memakan satu ekor tikus untuk jangka waktu satu minggu baik untuk anakan maupun dewasa. Penyakit yang mematikan pada anak ular dan ular dewasa adalah penyakit mulut yang diakibatkan oleh serangan bakteri yang merugikan. Penanggulangan bisa dilakukan dengan memberikan obat Terramichine. Pengepakan merupakan bagian yang terpenting karena bila salah dapat mengakibatkan kematian. Kandang harus dibuat sedemikian rupa agar satwa tidak mengalami stress. Syarat kandang angkut yang baik yaitu luasnya disesuaikan dengan jumlah besar kecilnya satwa yang diangkut, dilengkapi dengan ventilasi yang cukup, dalam satu kandang terdiri dari kurang lebih 5 ekor anakan ular sanca hijau yang diletakkan secara terpisah pada masing-masing kantong yang terbuat dari kain dan tempat meletakkan masingmasing dilapisi karet sintetis untuk menjaga benturan-benturan, suhu 18-25 ºC dengan kelembaban 70-80 %, makanan dan air diberikan sebelum pengemasan dan pemberian makanan selanjutnya setelah 7-8 hari. Penandaan dengan cara tag/brands dan transponder, dan juga dilakukan sertifikasi.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
28
V. PEMBINAAN DAN PEMBIAYAAN
A. Pembinaan 1. Dalam melakukan pengambilan/pemanfaatan jenis HHBK dari kawasan konservasi didampingi dan atau dipantau oleh petugas lapangan yang ditunjuk atau ditetapkan oleh UPT, sesuai dengan jumlah/volume yang diminta. 2. Membentuk pemahaman masyarakat dalam pemanfaatan HHBK harus memperhatikan perlindungan & pelestarian HHBK. 3. Melakukan mediasi dengan para pihak dalam rangka membentuk jejaring usaha dalam pemanfaatan HHBK. 4. Melakukan evaluasi secara periodic terhadap potensi HHBK pasca pemanfaatan HHBK. B. Pembiayaan Sumber pendanaan kegiatan pemanfaatan HHBK dapat berasal dari : 1. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) 3. Sumber-sumber lain yang tidak mengikat, yang dapat berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Swasta, dan Pemerintah Daerah. 4. Swadaya Masyarakat.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
29
VI. PENUTUP
Pemberdayaan masyarakat pada prinsipnya merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan martabatnya secara wajar, sehingga masyarakat dapat hidup secara mandiri, dalam arti berani memutuskan untuk menerima, memilih atau menolak tawaran kerjasama yang ada, dengan tetap menjaga kelestarian kawasan konservasi. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan pemberdayaan masyarakat antara lain unsur kerjasama dengan masyarakat dan para pihak (stakeholders) terkait. Kerjasama ini harus dilandasi prinsip saling menguntungkan, saling ketergantungan, saling membutuhkan dan saling mendapatkan manfaat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi adalah melalui pemanfaatan HHBK secara lestari dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan manfaat kawasan konservasi itu sendiri. Pada akhirnya pemberdayaan masyarakat dilaksanakan guna melestarikan kawasan konservasi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang ada di dalam maupun di sekitar kawasan konservasi.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
30
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
31
Lampiran 1. Daftar Komoditas HHBK yang Menjadi Urusan Departemen Kehutanan Sesuai dengan Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007. 1. Kelompok Resin; Terdiri dari 14 jenis/spesies pohon hutan penghasil getah resin. Jenis Komoditas dan Produknya antara lain : Ø Damar/Agathis, produk : Kopal loba, Kopal bua, dll. Ø Gaharu, produk : Resin gaharu, resin kemedangan. Ø Kemenyan, produk : Resin Kemenyan. Ø Rotan Jernang, produk : Resin Jernang. Ø dll. 2. Kelompok Minyak Atsiri; Terdiri 20 jenis/spesies pohon hutan penghasil minyak atsiri. Jenis Komoditas dan Produknya antara lain : Ø Akar Wangi, produk : Minyak akar wangi. Ø Cantigi, produk : Minyak gandapura. Ø Cendana, produk : Minyak cendana. Ø Kamper, produk : Minyak kamper. Ø dll. 3. Kelompok Minyak Lemak; Pati dan buah-buahan, terdiri minyak lemak 19 jenis, pati 9 jenis dan buahbuahan 36 jenis. Jenis Komoditas dan Produknya antara lain : Ø Balam, produk : Minyak balam. Ø Bintaro, produk : Minyak cerbera/bintaro. Ø Buah merah, produk : Minyak buah merah. Ø Kelor, produk : Minyak kelor. Ø dll. 4. Kelompok Tannin; Bahan pewarna dan getah, terdiri dari fanin 12 jenis, bahan pewarna 21 jenis dan getah 11 jenis. Jenis Komoditas dan Produknya antara lain :
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
32
Ø Akasia, produk : Tannin akasia. Kuren. Ø Gambir, produk : Tannin gambir. Ø Angsana, produk : Pewarna angsana. Ø Jelutung, produk : Getah jelutung. Ø dll. 5. Kelompok Tanaman Obat; Tanaman obat 157 jenis, tanaman hias 13 jenis. Jenis Komoditas dan Produknya antara lain : Ø Akar Teki, produk : Umbi kering olahan. Ø Bintangur, produk : Daun kering olahan. Ø Brotowali, produk : Ekstrak batang. Ø Sawo kecik, produk : Ekstrak bunga, buah, biji. Ø dll. 6. Kelompok Palma dan Bambu; Rotan 125 jenis, bambu 46 jenis dan palma lainnya 3 jenis. Jenis Komoditas dan Produknya antara lain : Ø Asam, produk : Rotan polish dan belah (W & S). Ø Manau gajah, produk : Rotan polish dan belah (W & S). Ø Hoa, produk : Rotan polish dan belah (W & S). Ø Awi andong besar, produk : Bambu belah kering olahan. Ø dll. 7. Kelompok Alkaloid; 1 jenis. Jenis Komoditas dan Produknya yaitu Kina (Cinchona officinalis), produknya : Ekstrak pepagan. 8. Kelompok lainnya; 6 jenis. Jenis Komoditas dan Produknya antara lain : Ø Gemitri, produk : Biji. Ø Ipuh, ipoh, produk : Kulit ipoh. Ø Nipah, produk : Daun Kering. Ø Pandan, produk : Bahan anyaman. Ø dll. 9. Kelompok Hasil Hewan; Hewan buru (mamalia 26 jenis, reptilian 15 jenis, amphibu 11 jenis), hewan hasil penangkaran 4 jenis, dan hasil hewan 5 jenis.
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
33
Jenis Komoditas dan Produknya antara lain : Ø Babi hutan, produk : Daging. Ø Beruk, produk : Tangkapan hidup. Ø Biawak, produk : Tangkapan hidup. Ø Kelinci, produk : Tangkapan hidup. Ø dll. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Lampiran 2. Contoh Jenis-jenis Hasil Hutan Bukan Kayu dan Wilayah Penyebarannya. No
Jenis Komoditas Komoditas HHBK
Wilayah Penyebaran Di Indonesia
1.
Rotan
Seluruh wilayah Indonesia terutama Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
2.
Arang
Riau, NAD, dan Sumatera Utara.
3.
Kopal
Sulawei, Maluku, dan Irian.
4.
Damar
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Utara.
5.
Biji Tengkawang
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur.
6.
Getah Jelutung
Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan seluruh Kalimantan.
7.
Gondorukem
Jawa, NAD, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Bali, dan NTB.
8.
Bambu
Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Bali, DIY, NTT, Kalimantan, dan Sumatera.
9.
Minyak Kayu Putih
Maluku dan Jawa.
10.
Madu
NTB, NTT, dan semua wilayah Indonesia.
11.
Sutera Alam
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Bali.
12.
Gambir
Sumbar dan Sumut.
13.
Gaharu
NAD, Bengkulu, Sumsel, Bangka Belitung, Kalimantan, Sulut, dan Irian.
14.
Pinus
NAD, Sumut, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, dan Sulsel.
15.
Kemiri
NAD, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jatim, Kalsel, Bali, NTT, Sulbar,
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
34
No
Jenis Komoditas Komoditas HHBK
Wilayah Penyebaran Di Indonesia Sulsel, dan Irian.
Sumber : Data Ditjen RLPS, 2007. Lampiran 3. Peluang Pasar Dari Berbagai Macam Produk/Komoditas HHBK. Peluang pasar dari berbagai macam produk/komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) terbuka luas, baik untuk pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri (ekspor). Secara umum peluang pemasaran untuk beberapa jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) antara lain sebagai berikut : 1. Rotan Indonesia merupakan produsen/penghasil rotan dari 80 % produk rotan dunia. 2. Gondorukem dan Damar Mata Kucing Kedua produk ini sangat dibutuhkan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. 3. Seedlack Jumlah konsumsi di dalam negeri cukup tinggi, sedangkan produksi lak di Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur belum mencukupi untuk menutupi kebutuhan konsumsi tersebut. 4. Gaharu Telah dilakukan budidaya gaharu dengan pengembangan teknologi inokulasi, yang dapat meningkatkan produksi gaharu secara kualitatif. 5. Sutera Alam Industri tekstil yang ada sangat membutuhkan dukungan bahan baku diantaranya benang sutera alam. 6. Madu Kebutuhan konsumsi madu masyarakat di Indonesia masih sangat tinggi, sedangkan produksi belum dapat menutupi kebutuhan tersebut. 7. dll Peluang dalam pemasaran HHBK juga dapat dilihat dari perkembangan nilai ekspor untuk komoditas HHBK yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Ditjen RLPS-Departemen Kehutanan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 nilai ekspor untuk 13 jenis komoditas HHBK terus meningkat, secara rinci nilai ekspor tersbut dapat dilihat pada tabel berikut : No 1.
Komoditi Rotan
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
Satuan ton
Tahun 2000
2001
2002
2003
2004
18.701
24.116
22.999
32.746
31.600
35
2.
Gondorukem
ton
4.162,78
5.685,80
4.719,63
4.881,64
863,69
3.
Damar/Resin
ton
5,22
30,13
28,93
-
-
4.
Terpentin
ton
5.587
3.667
5.530
5.495
6.794
5.
Arang
ton
174,34
157,42
188,26
5.178,08
12.436
6.
Gambir
ton
11.533
14.231
13.820
8.920
17.478
7.
Minyak Atsiri
ton
5.797
7.748
6.809
6.904
6.563
8.
Gaharu
ton
263,33
333,28
539,34
540,04
1.408,84
9.
Sagu
ton
36,37
60,91
247,80
21,27
388,76
10.
Jelutung
ton
9,75
-
-
-
-
11.
Kolang-kaling
ton
471,81
677,08
230
204,18
7,14
12.
Kemiri
ton
-
-
-
-
-
13.
Bambu
ton
3.913
2.621
1.578
4.463
4.847
Sumber : Data Ditjen RLPS, 2007
Ped-HHBK-hsl-bahas 1-8-08
36