TEKNIK SILVIKULTUR DAN PEMODELAN KEBERHASILAN REHABILITASI LAHAN MILIK MASYARAKAT PETANI DI KECAMATAN SAMARINDA UTARA KOTA SAMARINDA Silviculture Technique and Designing of Rehabilitation Successful of Farmer Society Property Land in North Samarinda Subsdistrict of Samarinda City
Ilyas Teba1), Maman Sutisna2) dan Fadjar Pambudhi3)
Abstract. The research was aimed to evaluate the application of silvicultural method in a rehabilitation program, finding out the failure and success causes, constructing management success indicators according to silvicultural method, providing some suggestions to improve the system and consructing models of rehabilitation on farmers’ land. The research was conducted in Guntung Lai, Sungai Siring and Pampang Luar villages. The owners or managers of land involved in using DAK-DR of 2002 were chosen as research respondents. Survival rate and plant dimension (diameter and height) were obtained from circle sample plots in farm land with an area of 0.1 ha. To represent the farm land condition, the sample plots were positioned at the beginning, center and end points of the center line. The respondents were classified as success when the survival rate of plants were equal or larger than 55 % (project standard). The social factors were assumed to affect the success of land rehabilitation in farmer land. To determine the social factors that were affecting rehabilitation programme, multivariate method of discriminant analysis was applied. Results of the research were average survival rate of rehabilitation programme conducted by farmers community in Guntung Lai, Sungai Siring and Pampang Luar villages were 18.4 %, 32.4 % and 14.4 %, respectively. There were only three farmers, managers owners/managers of land could be categorized as successful, one was from Guntung Lai village and another two were from Sungai Siring village. In Pampang Luar, all farmers were failed in their plantation. Time, planting distance, mixing pattern and management land were not based on the sylvicultural method. Rehabilitation plantation in the community land were mostly done in active farms used for cultivating second crop. Activities of rehabilitation plantation did not have intensive strategy yet. The obtained models are Y = -7.53151 + 1.61971*X5 + 2.48741*X3 + 12.7724*X1 + 0.64734*X2 for successful and Y = -4.12902 0.116393*X5 0.178747*X3 + 8.14798*X1 + 2.84683*X2 for unsuccessful. __________________________________________________________________ 1) Politeknik Pertanian Negeri Samarinda 2) Laboratorium Silvikultur Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda 3) Laboratorium Perencanaan Hutan Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda
176
177
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Based on the analysis of discriminant, social factors that affecting the success of plantation land rehabilitation is the policy of the leaders of farmers group, motivation, certainty of access to the products for the farmers’ future families and the appreciation to the rehabilitation institute. Kata kunci: silvikultur, lahan, rehabilitasi, model.
Lahan kritis di Indonensia cenderung bertambah dari tahun ke tahun termasuk di Propinsi Kalimantan Timur, di mana di provinsi ini diperkirakan seluas 3 juta ha, yang berada dalam kawasan hutan adalah 1.578.581,25 ha dan di luar kawasan hutan 1.476.753 ha. Kota Samarinda sendiri lahan kritisnya diperkirakan 27.562,50 ha yang semuanya berada di luar kawasan hutan (Anonim, 2002). Lahan yang telah kritis tersebut seharusnya segera direhabilitasi agar dapat mengalirkan manfaat serbaguna bagi masyarakat secara umum. Rehabilitasi hutan dan lahan yang dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 21 Januari 2004 telah menjadi program nasional. Target lima tahun ke depan program ini adalah merehabilitasi hutan dan lahan seluas 3 juta ha pada beberapa DAS prioritas, baik yang terletak di kawasan hutan maupun non hutan. Usaha-usaha rehabilitasi menurut lokasi lahan dibedakan menjadi dua kegiatan yaitu reboisasi dan penghijauan. Reboisasi dilakukan di kawasan hutan negara atau menurut tata ruang, kawasannya diperuntukkan sebagai kawasan hutan, sedangkan penghijaun (rehabilitasi lahan) dilakukan di luar kawasan hutan. Rehabilitasi lahan adalah kegiatan penanaman pohon-pohon dan rerumputan termasuk bangunan untuk mencegah erosi dan meningkatkan produktivitas lahan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan rehabilitasi lahan dilakukan pada lahan milik rakyat. Oleh karena itu, maka mulai dari perencanaan (penentuan lokasi, jenis komoditi, sistem penanaman) sampai kepada kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pemanfaatan tanamannya seharusnya dilakukan oleh masyarakat pemilik lahan. Khusus penentuan tujuan dari penanaman, pemerintah juga ikut serta, khususnya pada rehabilitasi lahan yang diarahkan pada perlindungan misalnya perlindungan terhadap daerah aliran sungai tertentu. Walaupun telah dilakukan sejak tahun 1976 namun sampai saat ini kegiatan penghijuan masih banyak mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan kegiatan penghijauan menurut beberapa penulis adalah: perencanaan yang kurang matang dan bersifat top down, pemberdayaan petani peserta penghijauan masih kurang, pemeliharaan tanaman tidak berkesinambungan, pendekatan dengan sistem proyek, kegiatan tidak multi years, petani peserta rehabilitasi lahan diposisikan hanya sebagai pekerja, jenis yang diintroduksikan tidak sesuai baik terhadap kondisi lahan maupun terhadap keinginan petani peserta rehabilitasi lahan, orientasi kegiatan hanya sampai penanaman, pendanaan masih kurang, jalinan kerjasama stakeholder masih lemah, indikator keberhasilan masih parsial dan kurangnya pendampingan. Memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan rehabilitasi lahan ini maka pola pendekatannya kemudian diubah mulai dari kegiatan perencanaan sampai operasional kegiatan. Perubahan pola pendekatan dilakukan untuk menimbulkan kesadaran yang tinggi dari petani peserta rehabilitasi lahan agar melakukan kegiatan penanaman sampai dengan pemeliharaan dan pemanfaatan komoditas tanaman secara swadaya.
Teba dkk. (2006). Teknik Silvikultur dan Pemodelan
178
Pelibatan masyarakat secara penuh dalam kegiatan rehabilitasi lahan mengakibatkan faktor-faktor sosial petani peserta rehabilitasi lahan harus pula diperhatikan selain faktor-faktor biofisik, teknik silvikultur, iklim dan pendanaan. Pada awalnya sumber dana untuk kegiatan ini berbeda. Program reboisasi didanai dengan dana reboisasi (DR), sedangkan rehabilitasi lahan dananya berdasarkan instruksi presiden langsung. Namun sejak tahun 2001 kegiatan rehabilitasi lahan masyarakat oleh pemerintah didanai dengan dana reboisasi. Oleh karena dana reboisasi adalah dana yang berasal dari pajak pengelolaan hutan dengan tujuan penggunaannya seharusnya dikembalikan pada kegiatan pengelolaan hutan, maka penggunaan dana reboisasi untuk kegiatan rehabilitasi lahan harus benar-benar tepat, optimal dan efisien supaya kegagalan-kegagalan kegiatan rehabilitasi lahan terdahulu tidak lagi terjadi. Untuk itu diperlukan sumbangsaran dari semua sektor termasuk kehutanan untuk mengarahkan agar kegiatan rehabilitasi lahan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik bagi tegakan diperlukan tindakan silvikultur yang tepat baik dari segi waktu maupun teknik yang dipergunakan. Tujuan penanaman ditentukan oleh pemilik lahan dan oleh keinginan publik (masyarakat/pemerintah). Setiap tegakan yang dibuat memerlukan teknik silvikultur/perlakuan yang berbeda-beda sesuai dengan umur tanaman, tujuan yang hendak dicapai, serta kondisi pertumbuhan. Perlakuan yang diberikan pada tegakan mempertimbangkan karakteristik tanaman, pertumbuhan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Penentuan keberhasilan penanaman penghijuan sampai saat ini menggunakan persen hidup tanaman. Menurut pelaksana proyek rehabilitasi lahan di Kota Samarinda tahun 2002, penanamaan dikategorikan berhasil bila persen hidup tanaman ≥55 %. Angka persen hidup ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 797/Kpts-II/1998. Angka persen hidup ini merupakan angka patokan proyek, bukan berdasarkan pertimbangan silvikultur, sehingga perlu diperbaiki. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penanaman rehabilitasi lahan milik masyarakat, menemukan penyebab kegagalan atau keberhasilan, memberikan sumbang saran perbaikan.dan pembuatan model. Penelitian ini diharapkan dapat menentukan berhasil/tidaknya penanaman rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002 yang merupakan pelaksanaan tahun pertama, memberikan sumbang saran perbaikan demi perbaikan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan tahun berikutnya, menciptakan model yang dapat diaplikasikan di lokasi lain. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kecamatan Samarinda Utara yaitu Desa Guntung Lai, Sei Siring dan Pampang Luar yang merupakan desa-desa sasaran lokasi rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002. Waktu penelitian adalah 5 bulan dengan kegiatan-kegiatan antara lain persiapan dan pengambilan data.
179
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Objek penelitian adalah tanaman rehabilitasi lahan yang menggunakan bantuan DAK-DR tahun anggaran 2001 yang merupakan pelaksanaan tahun pertama dan petani/masyarakat peserta rehabilitasi lahan. Kunjungan lapangan (orientasi lapangan) dilakukan untuk mengetahui lokasi dengan kondisinya, jenis tanaman, penentuan faktor alami dan sosial yang diperkirakan mempengaruhi keberhasilan penanaman, penentuan parameter yang dianalisis. Dari hasil kunjungan lapangan kemudian ditentukan responden penelitian. Responden penelitian ini adalah pimpinan proyek penanaman rehabilitasi lahan tahun 2002 dan petani peserta rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002. Setiap responden (masyarakat) yang berhasil diwawancarai untuk mengetahui data sosialnya kemudian dilanjutkan dengan pembuatan plot-plot penelitian di lahan yang dimiliki. Bentuk plot yang digunakan adalah lingkaran dengan luas satu plot pengamatan adalah 0,1 ha. Ketentuan pembuatan plot pengamatan pada lahan tercantum di Tabel 1. Tabel 1. Proporsi antara Luas Lahan Milik Petani dengan Jumlah Plot Penelitian Luas lahan ≥ 1 ha 0,75 ha ≤ luas ≤ 1 ha ≤ 0,75 ha
Jumlah plot 3 2 1
Posisi plot Tepi, tengah dan ujung lahan Tengah dan ujung lahan Tengah lahan
Pada plot-plot yang dibuat diperoleh data tanaman yang diperlukan penelitian ini, yaitu data tanaman, sosial masyarakat peserta rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002, teknik pemeliharaan yang diberikan pada tanaman rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002. Data sosial responden yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Data tersebut kemudian dianalisis berdasarkan literatur (pustaka) yang telah ada dan khusus data sosial analisis menggunakan Statgraph Plus 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak Kecamatan Samarinda Utara terletak di utara wilayah Kota Samarinda dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Samarinda Ilir, sebelah barat berbatasan dengan Kutai Kartanegara, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Samarinda Ulu dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebagian wilayah Kecamatan Samarinda Utara ditetapkan sebagai kawasan lindung. Menurut data Tata Kota Samarinda, ada sekitar 10.000 ha dari luas wilayah Kecamatan Samarinda Utara yang ditetapkan sebagai kawasan lindung termasuk di dalamnya adalah wilayah-wilayah yang dijadikan sebagai areal rehabilitasi lahan tahun 2002.
Teba dkk. (2006). Teknik Silvikultur dan Pemodelan
180
Penduduk Jumlah penduduk Kecamatan Samarinda Utara seluruhnya adalah 119.003 jiwa. Jumlah penduduk Kelurahan Lempake dan Sungai Siring disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Keadaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasionya di Desa Lempake dan Sungai Siring Tahun 2004 Nama kelurahan Lempake Sungai Siring Jumlah Sumber: Anonim (2004)
Jumlah penduduk (jiwa) Laki-laki Perempuan 8068 7468 2712 2329 10780 9797
Rasio laki-laki/ perempuan 1,08 1,16 1,10
Mata pencaharian Kelurahan Lempake dan Sungai Siring merupakan kawasan Hulu DAS Karang Mumus, dihuni oleh warga yang sebagian besar bermatapencaharian petani. Walaupun demikian, karena letaknya yang tidak begitu jauh dari Kota Samarinda, maka penduduk mudah mencari pekerjaan alternatif di kota, sehingga sebagian warganya juga bermatapencaharian campuran. Curah hujan Data curah hujan selama 6 tahun (1998-2003) di lokasi areal rehabilitasi di Samarinda Utara tepatnya di Hulu DAS Karangmumus disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Curah Hujan Kota Samarinda Tahun 1998-2003 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Sumber: Anonim (2003)
Jumlah curah hujan (mm) 1851.9 2702,0 2584,2 1913,3 1676,9 2345,3
Pada Tabel 4 tampak, bahwa jumlah curah hujan tahunan (dari tahun 1998 sampai dengan 2003) di lokasi penelitian terendah terjadi pada tahun 2002 yang merupakan tahun pelaksanaan penanaman kegiatan rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002. Teknik Silvikultur Jenis tanaman Ada dua kelompok jenis tanaman rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002, yakni kelompok kayu yang terdiri atas jenis-jenis: mangium, sengon, gmelina, mahoni, jati, kapur, meranti, sungkai dan kelompok MPTS (Multiple
181
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Purpose Trees Species) yang terdiri atas jenis-jenis: cempedak, durian, kemiri, mangga, mengkudu, manggis, petai, rambutan, rambai, sukun, lai, langsat. Asal, perbanyakan dan harga rataan bibit yang digunakan ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Asal, Perbanyakan dan Harga Rataan Kelompok Jenis Tanaman Rehabilitasi Lahan Kota Samarinda Tahun 2002 Kelompok jenis Kayu
Komposisi (%) 58
Asal bibit
Samarinda (KBD/penjual bibit lokal) dan Banjarmasin MPTS 42 Samarinda (KBD/penjual bibit lokal) dan Banjarmasin MPTS = Multiple Purpose Trees Species. KBD = Kebun Bibit Desa
Perbanyakan biji
Harga rataan/ bibit (Rp) 1500
biji
3000
Pada Tabel 5 tersebut di atas tampak bahwa asal bibit yang ditanam pada rehabilitasi Kota Samarinda tahun 2002 adalah Samarinda dan Banjarmasin. Bibitbibit yang berasal dari dalam Kota Samarinda berasal dari penjual bibit lokal misalnya Lempake, Tanah Merah, Loa Janan dan lain-lain. Tanaman-tanaman tersebut semuanya tak bersertifikat (tidak unggul) serta diperbanyak dari biji. Hal tersebut dapat diketahui dari harga rataan tanaman, pola pertumbuhan tanaman dan informasi pemilik lahan. Pada penentuan jenis tanaman pohon terjadi perbedaan kepentingan antara pemilik lahan dengan proyek (Pemerintah). Pengelola proyek menghendaki tanaman yang ditanam pada rehabilitasi lahan kota Samarinda tahun 2002 adalah jenis-jenis yang diperbanyak secara biji dengan alasan agar tanaman yang dibangun akan memiliki perakaran tunggang yang dalam karena penanaman rehabilitasi lahan bertujuan untuk konservasi. Di sisi lain para pemilik lahan mempunyai kepentingan lain yakni keinginan untuk produktivitas tinggi dan cepat menghasilkan dari semua jenis tanaman yang ditanam di lahan mereka. Keinginan petani pengelola lahan ini sangat wajar apalagi mengingat bahwa tipe kritis lahan di Kaltim adalah kritis secara ekonomis dan bukan kritis hidroorologis (Sutisna, 2004), sehingga pergantian jenis tanaman seharusnya mengacu kepada peningkatan produktivitas secara ekonomis dan bukan hanya semata-mata menanam untuk konservasi tanah. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan pemilik lahan dengan mudahnya menebang tanaman rehabilitasi lahan yang telah ditanam manakala mereka ingin menanam jenis tanaman lain yang dianggap mereka lebih cepat menghasilkan dan produktivitasnya tinggi. Komposisi jenis tanaman pada kegiatan rehabilitasi lahan menurut ketentuan proyek adalah 60 % untuk jenis kayu dan 40 % untuk kelompok jenis MPTS. Pada Tabel 5 tampak, bahwa ada selisih 2 % dari ketentuan proyek. Penyebabnya adalah kontrol penyaluran bibit ke pemilik lahan yang tidak begitu bagus. Pada saat bibit datang, pemilik lahan dipersilahkan mengambil bibit-bibit yang dikehendaki, sehingga yang terjadi adalah pemilik lahan yang terlambat datang ke tempat bibitbibit berada mendapatkan bibit-bibit yang tidak sesuai dengan komposisi yang dianjurkan proyek. Sistem penyaluran bibit yang demikian ini menyebabkan
Teba dkk. (2006). Teknik Silvikultur dan Pemodelan
182
komposisi kelompok jenis yang ditanam pemilik lahan sangat bervariasi. Ada petani yang mendapatkan sesuai keinginannya juga sesuai standar komposisi yang dianjurkan proyek, ada pemilik lahan yang hanya mendapatkan kelompok jenis kayu dan ada yang hanya mendapatkan kelompok MPTS. Sebagai contoh pembanding keberhasilan penanaman dengan partisipasi masyarakat yang tinggi karena menggunakan bibit unggul yang diberikan adalah penanaman karet di Kecamatan Barong Tongkok Kabupaten Kutai Barat. Inisiatif pertama dari kegiatan penanaman ini adalah dari seorang Pastor, kemudian diteruskan oleh pemerintah. Awalnya kegiatan penanaman ini juga tidak serta merta disenangi pemilik lahan, tetapi setelah ada pemilik lahan yang berhasil dengan panen lateks yang bisa mencukupi keperluan keluarga sehari-hari serta ditunjang dengan adanya pembuatan pabrik yang memproses lateks mereka, maka saat ini pemilik lahan yang ada di Kecamatan Barong Tongkok tanpa disuruhpun juga telah berinisiatif menanam karet di lahan yang mereka miliki walaupun tanpa insentif dari pemerintah. Penanaman Untuk menggambarkan teknik penanaman rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Teknik Penanaman Rehabilitasi Lahan Kota Samarinda Tahun 2002 Teknik Waktu persiapan lahan Waktu penanaman Jarak tanam Pola pencampuran
Gunung Lai AprilMei 2002 JuniAgst 2002 3x3, 4x3, 4x4 Tunggal, kelompok kecil
Desa Sungai Siring AprilMei 2002 JuniAgst 2002 3x3, 4x3, 4x4 Tunggal
Pampang Luar AprilMei 2002 JuniAgst 2002 3x3, 4x3, 4x4 Tunggal, kelompok kecil
a. Waktu penanaman. Waktu penanaman yang tepat adalah musim penghujan agar tanaman bisa tumbuh dan berkembang secara baik karena mendapat air yang cukup. Jumlah curah hujan per tahun yang dapat digunakan untuk melakukan penanaman adalah minimal 2000 mm/tahun (Sutisna, 2002). Curah hujan yang besar biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai Januari. Pengamatan mulainya hujan lebat sangat perlu karena bibit yang baru ditanam menghendaki banyak air dan udara lembap (Sutrisno, 1995). Kegiatan rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002 dilakukan pada waktu yang tidak lazim dan pada jumlah curah hujan tahunan rendah/kemarau (1676,9 mm). Pada bulan Juni–Agustus para petani padi tradisional di Kaltim biasanya baru melakukan penyiapan lahan. Penanaman dilakukan pada bulan September– Oktober. b. Jarak tanam. Jarak tanam yang digunakan atau dianjurkan pengelola proyek pada rehabilitasi lahan di Kota Samarinda tahun 2002 adalah 3 x 3 m. Prakteknya di lapangan bervariasi antar petani, yaitu 3 x 3 m, 4 x 3 m, bahkan ada yang 4 x 4 m. Perubahan jarak tanam oleh petani disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: i) telah ada tanaman lain sebelum ada tanaman rehabilitasi, misalnya: buah-buahan,
183
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
tanaman pertanian, dan lain-lain, ii) petimbangan teknis: sebagian petani menyadari bahwa jenis yang ditanam pada kegiatan rehabilitasi lahan adalah jenis yang bertajuk lebat dan bagur, sehingga memerlukan ruang yang besar, iii) adanya keinginan untuk menggunakan ruang antar tanaman rehabilitasi sebelum tajuk tanaman bertaut. Pengelola proyek menggunakan jarak tanam 3 x 3 m supaya lebih banyak tanaman yang berhasil, sementara petani menghendaki kelangsungan kegiatan bercocok tanam mereka pada lahan yang dimiliki. Penggunaan jarak tanam 3 x 3 m pada lahan milik masyarakat telah menimbulkan efek merugikan bagi pemilik/pengelola lahan. Ada seorang petani yang harus pindah ke lahan lain yang lebih jauh, karena tajuk tanaman kemiri yang ditanam pada kegiatan rehabilitasi lahan telah menutup ruang pertumbuhan tanaman pertanian. Efek ini tidak begitu bermasalah bila petani memiliki lahan yang luas, namun bila lahan yang dimiliki sempit, maka penebangan tanaman rehabilitasi tak bisa dihindari, karena petani memerlukan lahan untuk menanam palawija guna memenuhi keperluan keluarga setiap hari. Permasalahan ini sebenarnya bisa diatasi bila pengelola proyek jeli melihat keadaan petani. Menggunakan jarak tanam 10 x 3 m akan memberikan ruang yang leluasa bagi pemilik lahan untuk melakukan kegiatan penanaman antar jalur tanam dan lebih tahan lama dibandingkan dengan jarak tanam lainnya. Lebih baik jumlah yang ditanam sedikit tetapi terpelihara sampai masa daur daripada banyak tetapi sebelum masa daur telah habis ditebang untuk memberi ruang tanaman pertanian. Kesulitan mulai dirasakan sebagian petani dalam mengelola tanaman rehabilitasi yang telah besar/tajuk mulai bertaut, khususnya petani yang menanam gmelina dengan jarak tanam 3 x 3 m secara mengelompok kecil pada lahannya seperti Pak Sultan di desa Guntung Lai, Pak Yakobus di desa Pampang Luar. Dari sudut silvikultur, tegakan tersebut seharusnya dijarangi, namun hal itu tidak dilakukan karena petani tidak dibekali dengan teknik penjarangan dan atau pembebasan. Belajar dari pengalaman rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002, seharusnya rehabilitasi lahan dirancang lebih cermat lagi bilamana kegiatan ini diimplementasikan di lokasi lain agar benar-benar bisa diaplikasikan dan petani peserta rehabilitasi lahan menerima dan menerapkannya secara benar. Birokrat, perorangan atau LSM yang tidak berpengalaman di lapangan sebaiknya melupakan saja untuk merumuskan petunjuk teknis karena dipastikan tidak dapat diterapkan di lapangan. Masyarakat lebih pandai dan berpengalaman memilih jenis yang sesuai dengan lokasi dan teknik penanaman serta pemeliharaan yang telah mereka kenal. Petani juga lebih kompeten memilih jenis-jenis tanaman kehidupan/MPTS. Dengan demikian, rancangan teknis penghijauan harus betul-betul sepengetahuan anggota kelompok tani. c. Pola pencampuran. Pola pencampuran yang diterapkan adalah pencampuran tunggal: tanaman kehutanan diselingi oleh tanaman MPTS dalam satu jalur tanam. Hasil pengamatan menunjukan bahwa ada petani/pemilik lahan yang ikut anjuran dan ada yang tidak. Ada jenis tanaman yang ditanam secara monokultur pada sebagian kecil lahan masyarakat seperti: gmelina (Sultan di desa Guntung Lai dan
Teba dkk. (2006). Teknik Silvikultur dan Pemodelan
184
Yakobus di Pampang Luar), jenis lai (Giono di desa Sungai Siring), kemiri (H. Ideris di desa Pampang luar). Ada pula penanaman yang dilakukan keliru yakni di bawah tanaman buah-buahan, di bawah pohon kelapa dan di bawah tegakan buah. Penanaman dengan pola pencampuran tunggal dianjurkan pengelola proyek karena tujuan penanaman adalah konservasi, sehingga tanaman kayu yang ditanam memang didisain dipanen tidak sekaligus. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pencampuran tunggal adalah pertumbuhan yang setara (Agpada dkk., 1976; Sutisna, 2002). Dengan pertumbuhan yang setara berarti satu jenis tidak akan tumbuh lebih cepat sehingga menaungi jenis lain yang akan menyebabkan jenis lain merana dan akhirnya mati. Semakin banyak jenis yang ditanam campur secara tunggal, maka semakin tinggi pula persaingan terhadap ruang dan sinar. Semakin banyak jenis yang dicampur, maka semakin tidak pasti pula hasilnya. Pola pencampuran tunggal tidak dianjurkan untuk penanaman dengan berbagai jenis seperti tanaman kayu dan MPTS. Pada tanaman kayu saja yang termasuk jenis bagur misalnya leda dengan sengon, mangium dengan leda tidak boleh dicampur karena sudah pasti leda yang akan kalah dalam pertumbuhannya (Sutisna dan Ruchaemi, 1995). Dengan demikian bila tanaman kayu bagur yang dicampur dengan tanaman MPTS, maka yang dominan nantinya adalah tanaman kayu yang bagur, sementara tanaman MPTS akan kerdil dan akhirnya akan mati. Ada prinsip yang harus diperhatikan sebelum mencampur jenis dalam suatu kegiatan penanaman, yakni: tanaman yang dicampur tidak boleh saling merugikan bahkan kalau mungkin saling menguntungkan. Ada beberapa masalah yang dihadapi dalam pencampuran tunggal, yaitu i) bagaimana memanen jenis bagur tanpa mengganggu tanaman MPTS, ii) tanaman MPTS akan kalah bersaing dengan jenis-jenis bagur (Sutisna dan Ruchaemi, 1995), iii) jenis-jenis bagur biasanya memerlukan air yang banyak sehingga tanah di bawahnya terlampau kering bagi tanaman MPTS. d. Manajemen lahan milik petani. Seluruh luas lahan milik petani dijadikan target areal rehabilitasi lahan, bahkan lahan-lahan yang tak mungkin dapat ditanami seperti rawa-rawa yang ada di desa Pampang Luar juga dimasukkan sebagai target penanaman. Hal ini menyebabkan petani pemilik lahan tak mempunyai areal lagi untuk menanam tanaman pertanian semusim. Akibatnya banyak lahan yang telah berisi tanaman rehabilitasi berganti tanaman pertanian semusim. Agar hal ini tidak terjadi di tempat lain, lahan-lahan yang dimiliki petani terlebih dahulu dipilah-pilah sebelum dilakukan penanaman. Pada dasarnya lahan milik petani dapat dipilahpilah menjadi: i) lahan yang masih produktif dan masih diusahakan tanaman pertanian semusim, ii) lahan yang kritis yakni lahan dengan kondisi curam, jurang, padang ilalang, iii) lahan yang tidak memungkinkan untuk dikelola oleh pemiliknya karena keterbatasan tenaga atau mempunyai pekerjaan utama lainnya. Penanaman rehabilitasi lahan hanya diperbolehkan pada kondisi-kondisi ii) dan iii). Dengan cara ini, maka kegiatan rehabilitasi lahan telah membantu memproduktifkan lahan milik petani tanpa mengganggu mereka untuk terus beraktivitas menanam tanaman pertanian semusim.
185
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Persen Hidup dan Kualitas Tanaman Persen hidup tanaman Rataan persen hidup tanaman di tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Persen Hidup Tanaman Rehabilitasi Lahan Kota Samarinda Tahun 2002 Desa Guntung Lai Sei Siring Pampang Luar Rataan
Persentase hidup (%) 18,4 32,4 14,3 22,0
Pada Tabel 7 tampak bahwa rataan persen hidup tanaman rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002 hanya 22 %. Walaupun demikian telaahan per responden menunjukkan tiga orang yang dikategorikan berhasil penanamannya menurut standar proyek rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002, yakni satu orang di desa Guntung Lai dan dua orang di desa Sungai Siring, sedangkan penanaman di desa Pampang Luar bisa dikatakan gagal. Faktor-faktor yang menyebabkan gagalnya penanaman rehabilitasi lahan tahun 2002 adalah curah hujan pada saat penanaman yang hanya 1676,9 mm/tahun. Menurut Sutisna (2002), curah hujan yang tepat untuk melakukan penanaman adalah di atas 2000 mm/tahun penanaman. Kualitas tanaman Kualitas tanaman di tiga lokasi penelitian disarikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kualitas Tanaman Rehabilitasi Lahan di Tiga Lokasi Penelitian Kelompok jenis
Kualitas tanaman lurus bengkok Kayu 1737 32 MPTS 1281 14 Jumlah 3018 46 Keterangan: MPTS = Multiple Purpose Trees Species
Jumlah tanaman 1769 1295 3064
lurus 98,2 98,9 98,5
Persentase bengkok 1,8 1,1 2,9
Pada Tabel 8 tampak, bahwa persentase tanaman rehabilitasi lahan yang lurus lebih banyak dibandingkan dengan yang bengkok. Artinya, bahwa walaupun bibit tidak bersertifikat, tetapi mutu genetiknya baik. Biaya dan Persen Hidup Tanaman Rehabilitasi Biaya rehabilitasi lahan berasal dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR). Sebelumnya dana reboisasi yang dikumpulkan sebagai royalti pemungutan hutan alami dikeluarkan hanya untuk pembiayaan reboisasi hutan. Namun sejak tahun 2001, pemerintah memperbolehkan menggunakan dana reboisasi untuk kegiatan rehabilitasi lahan luar kawasan hutan. Penggunaan dana reboisasi untuk rehabilitasi lahan luar kawasan hutan harusnya menciptakan
Teba dkk. (2006). Teknik Silvikultur dan Pemodelan
186
tegakan-tegakan hutan milik yang bagus. Bila tegakan bagus telah tercipta, maka kawasan tersebut bisa ditetapkan sebagai kawasan hutan rakyat. Bila hal ini dilakukan, maka dana reboisasi yang telah dikeluarkan tidak akan sia-sia karena luas kawasan hutan milik dan hutan nasional dapat bertambah dari tahun ke tahun seiring dengan semakin digalakannya kegiatan rehabilitasi lahan. Rehabilitasi lahan luar kawasan hutan Kota Samarinda yang dilakukan di tiga desa memberikan harapan yang tidak begitu bagus. Hal ini seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Biaya dan Persen Hidup Tanaman Rehabilitasi Lahan Desa Guntung Lai Sei Siring Pampang Luar Jumlah Rata-rata
Luas rehabilitasi lahan (ha) 160 65 93 318 -
Biaya (Rp) Penanaman Sumur resapan 795.098.000 52.299.240 323.404.000 24.406.312 464.013.000 34.866160 1.582.515.000 111.571.712 -
% hidup tanaman 18 32 14 65 22
Merujuk pada persen hidup tanaman dan biaya penanaman, maka dana reboisasi yang telah hilang (negara dirugikan) adalah sebesar Rp1.238.792.742,akibat dari tanaman yang hidup hanya 22 %. Bila biaya penanaman ditambahkan dengan biaya pembuatan sumur resapan yang juga tak berfungsi karena penempatan yang keliru, maka dana yang telah hilang sekitar Rp1.350.364.454,-. Pengelolaan Insentif Pemerintah Penyaluran insentif pemerintah kepada petani pemilik/peminjam tiap desa penelitian adalah sebagai berikut: Desa Guntung Lai Ketua kelompok tani menyalurkan dana penjaluran, pembuatan lubang tanam, pengangkutan bibit dan penanaman sebesar Rp300.000/ha kepada semua petani yang terlibat dalam kegiatan penanaman, kecuali lahan-lahan yang pemiliknya tak sanggup untuk menanamnya sendiri, ketua kelompok tani berinisiatif mencarikan tenaga kerja. Bantuan-bantuan lainnya sepeti: penyulaman (tanaman dan biaya), pemupukan (pupuk dan biaya), penyiangan (biaya), pemberantasan penyakit (herbisida dan biaya) dan tanaman tumpangsari yang terdiri atas jenis tanaman kacang tanah dan jagung (tanaman dan biaya) bervariasi antar petani. Desa Sungai Siring Petani pengelola lahan hanya dijadikan sebagai tenaga kerja pada lahan yang digarapnya. Mereka diberi upah sesuai hari kerja dengan upah Rp25.000/hari. Pada lahan-lahan yang pemiliknya tak sanggup untuk melakukan penanaman sendiri, maka ketua kelompok tani berinisiatif mencarikan tenaga kerja untuk melakukan penanaman. Semua bantuan yang lainnya diberikan kepada petani manakala mereka meminta.
187
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Desa Pampang Luar Petani pemilik lahan sama sekali tidak dilibatkan dalam pengelolaan insentif pemerintah. Ketua kelompok tani hanya datang ke rumah pemilik lahan dan meminta izin untuk melakukan kegiatan penanaman rehabilitasi lahan. Tenaga kerja yang melakukan kegiatan penanaman sampai pemeliharaan dicari oleh ketua kelompok tani dengan tidak melibatkan pemilik lahan. Pada Tabel 10 terlihat ada pemilik lahan yang menikmati insentif lain selain bibit, namun mereka merupakan pekerja yang diupah oleh ketua kelompok tani untuk melakukan kegiatan penanaman sampai kegiatan pemeliharaan tanaman rehabilitasi (lahan sendiri maupun lahan lainnya). Berikut ini ditampilkan jenis bantuan yang dirasakan atau diterima oleh masyarakat petani pemilik/pengelola lahan di tiga desa penelitian. Faktor-faktor Sosial yang Berpengaruh Faktor-faktor sosial (manusia) merupakan faktor paling menentukan dalam keberhasilan penanaman. Manusia dengan kemampuannya bisa mengendalikan, menghindarkan atau mendayagunakan faktor-faktor yang lain. Telaahan faktor-faktor sosial menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial yang berpengaruh adalah: pengolahan insentif oleh ketua kelompok tani, tingkat motivasi, keyakinan responden akan hasil tanaman rehabilitasi lahan untuk kehidupan keluarga di masa depan dan apresiasi responden terhadap lembaga yang mengelola penanaman rehabilitasi lahan. Model Model yang dapat dibuat pada penelitian ada dua, yakni responden yang berhasil penanamannya dan responden yang tidak berhasil penanamannya. Berikut ini adalah model untuk responden yang gagal penanamannya adalah: Y = -7,53151 + 1,61971*X5 + 2,48741*X3 + 12,7724*X1 + 0,64734*X2 Model dari responden yang berhasil penanamannya adalah: Y = -4,12902 0,116393*X5 0,178747*X3 + 8,14798*X1 + 2,84683*X2 Keterangan: X1 = Keyakinan hasil rehabilitasi lahan untuk masa depan keluarga. X2 = Apresiasi terhadap lembaga pengelola rehabilitasi lahan. X3 = Motivasi. X5 = Pengelolaan insentif oleh Ketua Kelompok Tani. Usulan Perbaikan Kegiatan Berdasarkan data penelitian ini ada beberapa usulan perbaikan pada pelaksanaan rehabilitasi lahan seperti tercantum pada Tabel 10.
Teba dkk. (2006). Teknik Silvikultur dan Pemodelan
188
Tabel 10. Usulan Perbaikan Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan No. 1 2
3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13
14
Kegiatan
Pelaksanaan rehabilitasi lahan Usulan perbaikan tahun 2002 Tujuan pengelolaan Konservasi tanah Konservasi tanah dan produktivitas lahan Manajemen lahan milik Seluruh hamparan lahan yang Lahan dipilah-pilah terlebih dahulu petani dimiliki petani dijadikan target penanaman Pola pencampuran Tunggal Sejenis dalam luasan kecil tanaman Jarak tanam 3x3m Sesuaikan dengan tujuan penanaman dan spesifik jenis Curah hujan saat Petani menanam sesuai jadwal Petani melakukan penanaman pada penanaman proyek saat musim hujan Peserta saat penyuluhan Perwakilan Seluruh petani wajib ikut Materi penyuluhan Hanya agar tanaman hidup Tanaman hidup dan tanaman dewasa Transparansi bantuan Belum transparan kepada Transparan sesuai standar pemerintah semua petani peserta rehabilitasi Ikatan emosional Belum ada Pengelola proyek harus sering ke lahan petani Penyaluran bantuan Melalui Ketua Kelompok Tani Langsung ke individu peserta pemerintah rehabilitasi lahan Indikator keberhasilan Hanya persen hidup tanaman Persen hidup tanaman, tinggi, diameter dan kualitas tanaman yakni 55 % Jenis tanaman Tidak unggul (biji) Campuran tanaman unggul dan biji Pimpinan proyek Belum berpengalaman Berpengalaman, bertanggung jawab, penanaman melalui uji kelayakan, mempunyai otoritas untuk tidak melanjutkan penanaman bila cuaca dan petani tidak layak Penilaian kesiapan Belum dilakukan Dilakukan dengan lintas instansi petani
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Persen hidup tanaman rehabilitasi lahan Kota Samarinda tahun 2002 adalah 22 %, dengan rincian desa Guntung Lai 18,4 %, Sungai Siring 32,4 % dan Pampang Luar 14,3 %. Walaupun secara umum persentase tanaman yang hidup gagal, namun ada tiga orang petani peserta rehabilitasi lahan yang dikategorikan berhasil penanamannya menurut standar proyek. Tindakan silvikultur terhadap tanaman rehabilitasi lahan bervariasi antar petani yang disebabkan bervariasinya insentif yang diterima masing-masing petani. Inisiatif petani untuk memelihara tanaman rehabilitasi tanpa insentif pemerintah masih rendah, karena petani masih mengharapkan insentif untuk melakukan tindakan pemeliharaan tanaman.
189
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (2), OKTOBER 2006
Rehabilitasi lahan kebanyakan dilakukan pada lahan-lahan yang masih aktif digunakan petani untuk menanam tanaman pertanian, sehingga tanaman pohon sering dikorbankan. Waktu penanaman, jarak tanam, pola pencampuran dan manajemen lahan belum sesuai dengan kaidah-kaidah silvikultur yang tepat. Saran Jarak tanam penghijauan pada lahan yang digunakan petani untuk menanam palawija sebagai pendapatan sehari-hari harus dibuat selebar mungkin ke arah utara-selatan untuk memberi kesempatan bercocok tanam palawija selama mungkin di antara larik tanam. Contoh jarak tanam ideal misalnya 10 x 2 m (= 500 batang/ha). Petani peserta rehabilitasi lahan yang lahannya sempit diperbolehkan membuat ruang tanam untuk tanaman pertanian pada lahannya dengan cara memperlebar jarak antar larik tanam misalnya 10 x 2,5 m. Pengelola proyek yang baru dianjurkan untuk sering berkomunikasi dengan semua pemilik/pengelola lahan. Komunikasi jangan hanya dilakukan pada ketua kelompok tani, kunjungan secara pribadi pada saat petani berada di lahannya sangat berarti untuk memompa semangat petani dalam memelihara tanaman rehabilitasi. Kegiatan penanaman rehabilitasi lahan seharusnya mengikuti keadaan cuaca dan bukan jadwal proyek. DAFTAR PUSTAKA Agpada, A.; D. Endangan; S. Festin; J. Gumayagay; T.H. Hoenninger; G. Seeber; K. Linkel dan H.J. Weidelt. 1976. Manual of Reforestation and Erosion Control for the Philippines. GTZ, Eschborn, Germany. 569 h. Anonim. 2002. Data Lahan Kritis Propinsi Kalimantan Timur. Bapedalda Kaltim. Samarinda. Anonim. 2003. Data Curah Hujan Kota Samarinda. Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Samarinda. Anonim. 2004. Laporan Kependudukan Kecamatan Samarinda Utara Bulan November 2004. Sutisna, M. dan A. Ruchaemi. 1995. Riap Hutan Tanaman di Kalimantan Timur. Makalah dalam Diskusi Panel Riap HTI tanggal 31 Januari 1995. Jakarta. Sutisna, M. 2002. Pembangunan Hutan Rakyat Pola Murni dan Pola Kebun di Kabupaten Berau. DAK-DR Tahun Anggaran 2001. Kerja Sama Pemerintah Kabupaten Berau dengan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Sutisna, M. 2004. Memaksimalkan Manfaat Kebun Kayu Bagi dan Oleh Masyarakat Petani. Makalah dalam Semiloka Keterlibatan Organisasi Tani dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Tenggarong tanggal 12 Juni 2004. Sutrisno, K. 1995. Teknik Penanaman dan Pemelliharaan Hutan Tanaman. Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda.