Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) Mendefinisikan restorasi ekosistem (di hutan alam produksi) Saat ini produksi hutan alam cenderung berkurang namun sebaliknya permintaan kayu tidak terlihat berkurang. Beberapa hal yang mendorong peningkatan laju konsumsi kayu di Asia adalah urbanisasi di Asia, pemulihan ekonomi di AS dan pertumbuhan kelas menengah. Untuk memasok kebutuhan tersebut, pengembangan industri kehutanan perlu dilakukan. Perkembangan teknik silvikultur saat ini menunjukkan potensi peningkatkan produktivitas primer. Namun demikian, ekosistem hutan tidak hanya menghasilkan kayu. Ekosistem hutan alam, termasuk yang berada di kawasan dengan fungsi produksi, merupakan rumah untuk lebih dari setengah keragaman hayati daratan. Banyak pihak yang telah memahami konsep bahwa hutan harus dinilai lebih dari kemampuannya menghasilkan kayu atau komoditas lain. Sudah lebih dari satu dekade, beragam inisiatif yang dikenal dengan Payments for Ecosystem Services (PES) muncul dengan niatan untuk menunjukkan nilai yang lebih luas dari ekosistem hutan alam (dan ongkos kehilangannya) dalam perhitungan ekonomi (Diaz et al. 2011). Berkurangnya produktivitas hutan alam terjadi karena tantangan penebangan liar, kebakaran hutan dan berkurangnya kawasan hutan. Salah satu penyebabnya adalah dikotomi antara produksi dan konservasi yang berasal dari pemikiran untuk membedakan kebijakan untuk kawasan produksi dan konservasi. Sehingga pada akhirnya terjadi pembagian pseudo-spasial fungsi hutan (Kartodiharjo & Jhamtani, 2009). Sebagian besar kawasan hutan di Indonesia berfungsi produksi. Sementara itu 52% dari daerah penting bagi burung berada di luar jaringan kawasan konservasi. Oleh karena itu memertahankan hutan alam menjadi penting karena besarnya manfaat ekosistem, baik yang bernilai moneter maupun yang tidak.
IUPHHK dalam rangka restorasi ekosistem Merujuk data Departemen Kehutanan di tahun 2000, tingkat kerusakan hutan alam yang tertinggi terjadi di hutan produksi (89%) yang dikelola pemegang hak pengusahaan hutan. Sementara itu, tingkat kerusakan di hutan lindung dan konservasi masing-masing 46% dan 38% (Kartodihardjo dalam Resosudarmo dan Colfer 2002). Salah satu fenomena terkait degradasi hutan adalah karena ketika produktivitas hutan alam menurun maka kemudian biasanya dialihkan menjadi hutan tanaman. Dalam sudut 1 Seminar Hasil-hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat, Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manado. 23 Oktober 2012
pandang produktivitas kayu, hal ini tidak menjadi soal. Akan tetapi manfaat ekosistem hutan alam tidak sekadar kayu. Fokus kebijakan pemerintah yang sektoral dan berfokus pada komoditas telah menciptakan monokultur dari bentang alam dengan keragaman hayati tinggi. Hal ini membuat posisi Indonesia dengan peran hanya sebagai pemasok bahan mentah berlanjut (Kartodiharjo & Jhamtani, 2009). Sejak tahun 2002, Burung Indonesia memberikan perhatian yang besar terhadap upaya mendorong adanya model baru dalam pengelolaan hutan untuk mempertahankan hutan alam sekaligus memperbaiki potensi ekonomi hutan (Utomo & Darusman, 2006). Perhatian ini berbuah dengan lahirnya kebijakan restorasi ekosistem (RE) di hutan alam produksi yang menyediakan skenario alternatif bagi hutan alam yang terdegradasi. Sebagai salah satu kebijakan pemungkin restorasi di hutan alam produksi yang paling awal, dalam Peraturan Menteri Kehutanan SK.159/Menhut-II/2004 disampaikan bahwa latar belakang kebijakan restorasi ekosistem di hutan produksi adalah bahwa: a. degradasi sumber daya hutan cenderung terus meningkat sehingga perlu upaya pemulihan melalui rehabilitasi dan konservasi serta pemanfaatan berkelanjutan; b. upaya pemulihan tersebut dilaksanakan dalam bentuk restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi. Pada dasarnya kegiatan restorasi ekosistem di hutan alam produksi ditujukan untuk mengembalikan (memulihkan) unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati. Keseimbangan hayati adalah interaksi antara unsur biotik dan abiotik untuk menunjang kehidupan (Pasal 1 Permenhut SK. 159/Menhut-II/2004). Sehingga, melalui pemulihan unsur biotik maupun abiotik dari ekosistem hutan produksi, kesatuan ekologi hutan produksi diharapkan kembali ke potensi alaminya sehingga tercipta ekosistem yang mantap dengan potensi ekonomi yang kuat. Kebijakan di tingkat Kementerian Kehutanan tersebut dikuatkan dengan kebijakan nasional dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 juncto PP Nomor 3 Tahun 2008 yang memuat UPHHK-RE sebagai tipe pengelolaan hutan produksi yang baru bersama dengan Hutan Alam Produksi dan Hutan Tanaman. Selanjutnya untuk proses permohonan izin telah diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 61 Tahun 2008 yang diamandemen melalui Permenhut No. 50 Tahun 2010 dan Permenhut 26 Tahun 2012.
Implementasi Restorasi Ekosistem Implementasi pertama RE adalah di blok hutan Meranti dan Bukit-Bahar Tajau Pecah yang ditetapkan melalui arahan Kementerian Kehutanan pada tahun 2004 yang menunjuk blok hutan di Jambi dan Sumatera Selatan tersebut sebagai kawasan untuk RE. Sejak saat itu terdapat lebih dari 40 pemohon izin restorasi ekosistem yang kebanyakan diajukan untuk kawasan hutan alam produksi di Kalimantan dan Sumatera (Bina Usaha Kehutanan 2011). 2 Seminar Hasil-hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat, Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manado. 23 Oktober 2012
Namun demikian hingga saat ini baru lima IUPHHK-RE yang terbit, yaitu 3 izin di Sumatera (2 unit pengelola) dan 2 di Kalimantan. Selama masa restorasi, pengelola RE tidak dapat melakukan pemanfaatan kayu. Hal ini mendorong munculnya model-model usaha kehutanan baru. Dalam kasus implementasi RE yang sedang berlangsung terdapat model konservasi (pemulihan hutan dataran rendah, habitat
untuk
reintroduksi
orangutan),
usaha
produksi
bioetanol
dan
karbon
kehutanan/kawasan gambut. Mengingat ragam kekayaan dalam ekosistem hutan yang sehat, masih banyak model usaha lain yang berpotensi untuk dikembangkan.
Prospek Pengembangan Restorasi Ekosistem Restorasi Ekosistem dan Kebijakan Pemerintah Walaupun tergolong baru, restorasi ekosistem adalah bagian dari rencana strategis kehutanan tahun 2010-2014. Disebutkan bahwa terdapat target implementasi restorasi hutan alam dan hutan alam produksi seluas 2,5 juta hektar. Kondisi saat ini juga mengindikasikan bahwa luas kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak mencapai 30 juta hektar (Zuhri 2012). Tanpa adanya unit pengelola yang operasional di lapangan kawasan seperti ini cenderung rawan terhadap pemanfaatan ilegal. Perubahan iklim adalah salah satu hal penting dan genting untuk diatasi. Saat ini karbon kehutanan dinilai sebagai salah satu solusi efisien untuk mitigasi perubahan iklim. RE telah diidentifikasi dalam Dokumen Strategi Nasional REDD+ sebagai upaya yang dapat berkontribusi mengatasi deforestasi dan degradasi hutan selain juga memberikan manfaat (co-benefits) dari ekosistem hutan (UKP-PPP 2011). Implementasi restorasi ekosistem masih di bawah dari target rencana strategis 2010-2014 yaitu seluas 2,5 juta hektar. Sementara saat ini IUPHHK-RE baru meliputi kawasan kurang dari 200.000 hektar. Bahkan apabila seluruh permohonan izin RE akhirnya diterbitkan, maka luasannya baru mencapai sekitar 580,000 hektar saja (Hidayanto dkk. 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa peluang untuk implementasi restorasi ekosistem masih terbuka.
Tapak penting bagi keragaman hayati Pilihan yang biasa diambil untuk hutan alam yang terdegradasi adalah untuk dijadikan hutan tanaman, atau lebih buruk lagi, menjadi bukan kawasan hutan. Rusak atau hilangnya hutan alam mengakibatkan produk dan layanan ekosistem yang bergantung pada keberadaan keragaman hayati penting menjadi hilang. Indonesia telah meratifikasi beragam konvensi internasional dengan target seperti mengurangi laju kepunahan keragaman hayati dan merestorasi habitat penting (Target Aichi 2020). Dalam hal ini pengelolaan restorasi ekosistem di hutan alam produksi dapat menjadi wahana untuk mencapai target tersebut. Pemenuhan target perlu dipandang 3 Seminar Hasil-hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat, Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manado. 23 Oktober 2012
sebagai upaya melindungi kepentingan nasional, yaitu memertahankan sumber-sumber kehidupan masyarakat terutama yang berada di sekitar kawasan hutan.
Pengembangan usaha kehutanan baru Melalui bahasan sebelumnya, telah jelas bahwa restorasi ekosistem di hutan alam produksi adalah penting, strategis dan memiliki potensi besar untuk pengembangan kehutanan Indonesia. Potensi tersebut dapat diwujudkan dengan pengembangan usaha kehutanan baru. Pada tahun 2009 telah dilakukan kerjasama dengan Institut Pertanian Bogor untuk menguji kelayakan usaha restorasi ekosistem. Dua temuan dari kajian tersebut adalah bahwa: 1. Usaha restorasi ekosistem layak secara finansial melalui usaha multi produk/komoditas. Artinya, walaupun dibebani kewajiban untuk merestorasi hutan dan juga dengan ketiadaan usaha kayu selama masa restorasi, pengelolaan restorasi layak secara usaha. 2. Usaha restorasi ekosistem lebih sensitif terhadap pendapatan dibandingkan dengan biaya. Usaha restorasi ekosistem memang memerlukan biaya yang cukup tinggi, bergantung dari luasan kawasan, tetapi relatif tahan terhadap kenaikan biaya untuk mengelola restorasi ekosistem. Namun demikian, model-model usaha tersebut perlu terus diuji dan disempurnakan. Untuk itu terdapat banyak potensi penelitian dan pengembangan dalam hal ini. Misalnya tentang bagaimana mendorong munculnya komoditas-komoditas baru dalam menyumbangkan pendapatan untuk restorasi ekosistem. Berikutnya adalah mengembangkan model pengelolaan konsesi dengan beragam produk dan komoditas.
Restorasi dan Teknik Silvikultur Dalam mengimplementasikan restorasi ekosistem, kesulitan yang dihadapi adalah luasnya kawasan yang perlu direstorasi dan belum terujinya teknik silvikultur yang sesuai dengan tujuan restorasi. Beberapa teknik silvikultur yang berkembang saat ini masih berfokus pada peningkatan produktivitas kayu. Walaupun aspek keragaman hayati mulai diperhatikan, antara lain dalam koridor hijau, namun fokusnya masih kepada produktivitas, bukan kepada pemulihan suatu ekosistem kembali ke kondisi alaminya. Beberapa contoh restorasi yang telah berkembang di kawasan Asia Tenggara, misalnya FORO di Thailand, diimplementasikan dalam skala yang jauh lebih kecil (ratusan hektar). Sementara itu, agar layak secara usaha, konsesi RE memiliki luasan puluhan hingga ratusan ribu hektar. Oleh karena itu diperlukan pengembangan model restorasi untuk skala yang lebih besar dan dalam konteks pengelolaan hutan produksi. Untuk tujuan pemulihan ekosistem hutan alam diperlukan pula pengembangan teknik silvikultur yang sesuai.
Pengembangan kebijakan Kebijakan restorasi ekosistem lahir antara lain melalui analisis kebijakan. Advokasi kebijakan untuk restorasi ekosistem telah dimulai sejak tahun 2002 hingga muncul sebagai 4 Seminar Hasil-hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat, Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manado. 23 Oktober 2012
kebijakan nasional pada tahun 2007. Namun agar restorasi ekosistem dapat mencapai tujuannya dengan baik, masih diperlukan pengembangan kebijakan. Beberapa kajian kebijakan terkait permohonan izin restorasi ekosistem telah dilakukan (Asmui dkk. 2012, Walsh dkk. 2012) dengan beberapa temuan yang masih perlu ditindaklanjuti untuk memperbaiki proses permohonan izin restorasi ekosistem. Selain kebijakan terkait permohonan izin, diperlukan pula pengembangan kebijakan terkait pengelolaan konsesi restorasi ekosistem. Saat ini kebijakan terkait masih banyak berdasarkan pada kebijakan hutan alam produksi yang kurang sesuai dengan tujuan restorasi.
Penutup Burung Indonesia berpandangan bahwa konservasi tidak harus mengambil
jalan yang
terpisah dengan pembangunan berkelanjutan. Restorasi ekosistem di hutan alam produksi berpotensi untuk menjadi model pengelolaan hutan yang baru tersebut. Sebagai tipe pengelolaan yang baru, diperlukan arahan dan masukan pakar melalui penelitian dan pengembangan. Saat ini Burung Indonesia telah melakukan beberapa kajian terkait pengembangan kebijakan dan model usaha. Beberapa waktu ke depan juga tengah dikembangkan penelitian-penelitian terkait teknik restorasi. Namun demikian masukan dari para ahli kehutanan akan selalu dibutuhkan
terutama dengan akan berkembangnya
implementasi restorasi ekosistem, termasuk di kawasan Sulawesi dan Maluku.***
Informasi lebih lanjut dan hasil penelitian terkait restorasi ekosistem dapat diunduh melalui website: http://burung.org/restoremore/
5 Seminar Hasil-hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat, Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manado. 23 Oktober 2012
Burung Indonesia Burung Indonesia bernama lengkap Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia, adalah salah satu organisasi nasional mandiri bersama dengan 117 negara/teritori yang memiliki kesamaan misi, yaitu bersama masyarakat melestarikan burung liar dan habitatnya. Organisasi-organisasi tersebut berjejaring dalam kemitraan global BirdLife International yang bersekretariat di Cambridge, Inggris. Di Indonesia, Burung Indonesia berdiri mandiri sejak tahun 2002 setelah sebelumnya bergerak sebagai kantor program dari BirdLife. Sejak saat itu Burung Indonesia memberikan fokus kepada kawasan timur Indonesia, khususnya yang dikenal ilmuwan sebagai Kawasan Wallacea. Melalui perangkat Daerah Penting bagi Burung (DPB atau important bird areas [IBA]) dan Daerah Burung Endemik (DBE), Burung Indonesia mengidentifikasi tapak-tapak penting untuk konservasi di kawasan ini. Beberapa tapak penting telah didorong menjadi taman nasional dan dilanjutkan dengan mendorong pengelolaan kolaboratif serta peningkatan pengelolaan kawasan konservasi. Masih banyak DPB yang belum tercakup dalam jaringan kawasan perlindungan. Untuk itu didorong pula pendekatan konservasi untuk fungsi kawasan lain termasuk di kawasan hutan produksi. Seiring dengan program penyelamatan hutan dataran rendah Sumatera, ditemukan bahwa dua tapak penting bagi keragaman hayati berada di kawasan hutan produksi. Hutan dataran rendah Sumatera adalah salah satu kawasan dengan keragaman hayati yang paling kaya di dunia. Representasi tipe ekosistem tersebut sudah sangat sedikit di Sumatera, hal itu mendorong penyelamatan kawasan tersebut. Menyambut kebijakan Kementerian Kehutanan, Burung Indonesia mendorong implementasi restorasi ekosistem di hutan alam produksi secara lebih luas lagi. Saat ini tengah diidentifikasi calon lokasi restorasi ekosistem di Gorontalo dan Halmahera Timur.*
6 Seminar Hasil-hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat, Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manado. 23 Oktober 2012