2. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Plankton
2.1.1.
Fitoplankton
Fitoplankton laut tergolong dalam tumbuh-tumbuhan renik yang pada umumnya berukuran m1kroskopis dan uniselular (bersel satu) (Tait, 1981).
Kelompok utama dari fitoplank-
ton 1aut ada1ah Diatom, Dinoflage1ata, Coccolithophorids dan beberapa flage1ata lain.
Di air tawar, "blue-green
algae" dan alga hijau sangat dominan, sedangkan di 1aut kurang begitu nyata (Zeitzschel, 1978). Fitop1ankton termasuk organisme autotrof yang dapat me1akukan proses fotosintesa, yang dengan bantuan sinar [\\'\
"
lIIatahari lIIampu lIIengubah bahan-bahan'organik seperti CO 2 dan garam-garam yang terlarut dalam air (terutama fosfat dan nitrat) menjadi bahan organik.
Bahan organik ini ber-
guna untuk membangun protoplasma sebagai cadangan makanan (Newell and Newell, 1963). Fogg (1975) mengemukakan bahwa dalam penelitian di laboratorium. biasanya ku1tur fitoplankton dilakukan dalam wadah ku1tur yang bervolume terbatas (keci1).
Media da1am
wadah ku1tur tersebut. yang mengandung nutrien anorganik dan organik, diinokulasi dengan jumlah sel fitoplankton yang sedikit.
Kemudian, diberikan 1ingkungan cahaya. tem-
peratur dan aerasi yang cocok.
Pertambahan jum1ah se1 pa_
da kultur tersebut mengikuti pola tertentu (Gambar 1), dengan fase-fase yang biasanya dikenal: (1) fase induksi
5 (lag phase), tidru{ ada pertambahan jumlah sel yang nyata; (2) fase eksponensial, sel berlipat ganda dengan cepat dan jumlahnya bertambah secara deret ukur (geometric progression); (3) fase pertumbuhan yang relatif menurun (declining relative growth); (4) fase tetap (stasioner) (stationary phase); dan (5) fase kematian.
( ~.)
(3) (5) (2)
o
,..:;
(1 L.-_ _ _ _ _ _ _ _ _ ..
_~.
__ . _ _
Waktu/lama kultur Gambar 1.
Pola pertumbuhan alga uniselular dalam media kultur volume terbatas; (1) fase induksi (lag phase); (2) fase eksponensial; (3) fase pertumbuhan yang relatif menurunj (4) fase tetap; dan (5) fase kematian. Fogg (1975).
6 2.1.2.
Zooplankton
Menurut Raymont (1963), zooplankton terdiri dari banyak phylum, diantaranya adalah phylum Protozoa. Rotifera. Porifera, Arthropoda dan lain-lain.
Beers (1978) mengemu-
kakan bahwa Protozoa yang termasuk zooplankton umumnya dikategorikan dalam mikrozooplankton.
Protozoa mikrozooplank-
ton diantaranya termasuk ciliata, sarcodina dan flagelata. Zooplankton dapat memakan fitoplankton (alga uniselular) dan juga memakan detritus (Raymont, 1963).
Peters
dalam Davis (1955) mengatakan bahwa dalam kondisi laboratoris jenis-jenis Protozoa tertentu mampu menggunakan nutrien-nutien yang terlarut.
Menurut Kudo (1960), ciliata
dapat memakan bahan organik. 2.2.
Nutrien Menurut Round (1973), nutrien yang dibutuhkan dalam
kultur fitoplaukton adalah N, P, S. Si, Ca. Mg. Na, K, Fe, Mn dan beberapa "trace element" yaitu Mo, Cu, V serta Co. Unsur-unsur N. p. dan S penting sebagai unsur pembentuk khlorofil. dan unsur K berperan dalam metabolisme karbohidrat.
Wiessner (1962) mengemukakan bahwa kekurangan
unsur Fe dalam media hidup fitoplankton dapat memperkecil proses fotosintesa. karena kurangnya Fe memperkecil pembentukan protein dalam khloroplas sehingga mengurangi kandungan butir khlorofil. Sela1n unsur-unsur anorganik, fitoplankton juga membutuhkan unsur-unsur dari bahan organik.
Thiamin (vitamin
7 B ), cobalamin (vitamin B12 ) dan biotin (vitamin H) meru1 pakan unsur-unsur yang penting. Secara kasar, Fogg (1975) menduga bahwa 70 % alga plankton membutuhkan vitamin B12 untuk merangsang pertumbuhannya.
Selain itu. ada bebera-
pa jenis fitop1ankton yang membutuhkan asam-asam amino tertentu seperti p-aminobenzoic acid (asam p-aminobenzoat) (Fogg, 1975). Menurut Raymont (1963), di perairan umum (laut) fitoplamktoB mut1ak membutuhkan sulfur. magnesium dan kalium dengan kadar yang tinggi.
Sebaliknya beberapa unsur yang
mutlak diper1ukan seperti fosfor. nitrogen dan besi hanya da1am kadar yang sangat rendah. Sleigh (1973) mengemukakan bahwa ciliata membutuhkan karbohidrat, asam-asam amino, asam laktat. asam asetat. guanine, urasil at au cytidin.
Selain itu. juga membutuh-
kan beberapa vitamin, diantaranya adalah thiamin, pyridoksin (vitamin B6 ) dan biotin. 2.3.
Salinitas Sa1initas adalah salah satu faktor lingkungan yang
penting bagi organisme akuatik, sangat mempengaruhi tekanan osmotik antara protoplasma organisme dengan air sebagai media hidupnya. Pemindahan Ochromonas sp. dan alga merah pada salinitas yang lebih tinggi menyebabkan penambahan isofloridosida yaitu suatu tik.
~·-galactogliserida
yang aktif secara osmo-
Sedangkan Dunaliella sp. yang dipindahkan pad a sali-
8
nitas yang lebih tinggi menyebabkan perubahan warna hiJau menjadi coklat atau merah yang disertai aengan menurunnya kandungan RNA per sel dan akumulasi protein (soeder and stengel, 1974). Banyak jenis alga menunjukkan hambatan fotosintesa setelah dipindahkan ke dalam media yang bersalinitas tinggi, seperti pad a Dunaliella sp. dan "blue-green algae". perubahan warna hijau menjadi coklat atau merah yang diamati pada Dunaliella sp. setelah dipindahkan ke dalam media bersalinitas tinggi. dapat merangsang pembentukan carotenoid dan terjadinya dekomposisi khlorofil (soeder and stengel, 1974).
Namun. Gessner dalam soeder and stengel
(1974) berpendapat bahwa apakah pengaruh ini secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan hambatan fotosintesa, hal ini belum jelas diketahui. MCLachlan dalam Laing and utting (1980) mengatakan bahwa umumnya alga bahari bersel satu sangat toleran terhadap perubahan salinitas yang besar. Menurut Raymont (1983). sangat sedikit data yang tersedia tentang pengaruh salinitas terhadap respirasi zooplankton.
Marshall and orr dalam Raymont (1983) melapor-
kan bahwa Calanus finmarchicus yang dimasukkan dalam media bersalinitas 17
0/00
menunjukkan penurunan pengambilan 02
dengan penurunan salinitas secara bertahap. Lance dalam Raymont (1983) mengobservasi suatu peningkatan laju respirasi Acartia tousa dengan penurunan
9 salinitas.
Sangat sedikit perubahan
linitas an tara 33 - 36 sampai 11
0/00
0/00.
konsumsi 02 pada sa-
tetapi penurunan salinitas
mengakibatkan respirasi organisme itu ham-
pir dua kali respirasi pada salinitas 36 2.4.
0/00.
Derajat Keasaman Derajat keasaman merupakan salah satu faktor yang ber-
pengaruh langsung terhadap produksi dan pertumbuhan fitoplankton (sverdrup,
~
ale dalam Mustafa, 1982).
soeder
and stengel (1974) mengemukakan bahwa pH berperan dalam penyediaan beberapa nutrien untuk alga seperti CO2 dan imbangan antara bikarbonat dan karbonat. selang PH media bagi kehidupan alga adalah cukup lebar.
zygogonium sp. dapat hiduppada pH 13.5.
selain itu
ada juga jenis fitoplankton tertentu yang toleran terhadap PH yang lebih tinggi dari pada pH air asal pengambilannya. contoh. staurastrum pingue yang diambil dari danau berpH sangat rendah dapat dikultur dengan sukses pada PH 4 - 11 (soeder and stengel, 1974). Hamprey dalam Knutzen (1981) mengatakan bahwa fotos1ntesa maks1mum pada beberapa alga plankton1k (diatom, chlorophyceae dan d1noflagelata) terjadi pada pH 7,0 - 8,0. Namun, beberapa jenis diantaranya mengalami fotos1ntesa maks1mum pada pH mendekat1 6,0.
10 2.5.
suhu suhu sangat berperan dalam kultur alga di laboratori-
um, karena mempengaruhi aktivitas enzim dalam metabolisme sel.
Morris and Glover dalam Fogg (1975) mengobservasi
bahwa fotosintesa maksimum pada fitoplankton laut tergantung dari temperatur media. Laju fotosintesa bertambah dengan meningkatnya suhu sampai batas dibawah maksimum, tetapi akan menurun dengan tajam bila suhu terus meningkat (Tait, 1981).
Menurut
Raymont (1963), di perairan tropik yang suhunya sepanjang tahun kira-kira 30 0 C fotosintesa maksimumpun dapat berlangsung. penurunan laju fotosintesa akibat turunnya suhu dapat diimbangi oleh turunnya laju respirasi.
sebaliknya, suhu
yang meningkat mengakibatkan meningkatnya laju respirasi, tetapi pengaruhnya terhadap laju fotosintesa dapat diabaikan kecuali bila meningkatnya intensitas cahaya (Raymont.
1963). Jawed dalam Raymont (1983) melaporkan bahwa Archeomysis sp. dan Neomysis sp. (zooplankton) mengkonsumsi oksigen lebih ban yak dengan meningkatnya suhu (Tabel 1). Tabel 1.
Suhu ( 5 10 15
0
C)
Hubungan suhu dengan konsumsi oksigen (Jawed dalam Raymont, 1983) Konsumsi oksigen Archeomysis sp. 21,25 32,71 59.34
( 1 °2/mg/hari) Neomysis sp. 27,43 45,37 38,70
11 2.6.
Intensitas Cahaya cahaya sangat berguna bagi fitoplankton dalam foto-
sintesa untuk mengubah CO , H20 dan mineral lainnya menjadi 2 bahan organik. Proses fotosintesa ini dapat berlangsung dengan adanya khlorofil dalam sel fitoplankton yang dapat mengabsorbsi cahaya (Raymont. 1963). Menurut Raymont (1983), sangat sedikit informasi tentang pengaruh cahaya terhadap respirasi zooplankton. Conover dalam Raymont (1983) mengemukakan bahwa sangat sedikit pengaruh cahaya terhadap Acartia tousa (zooplankton). Namun, Marshall dalam Raymont (1983) menyatakan bahwa sinar matahari dapat mematikan Calanus sp. dan beberapa jenis zooplankton lainnya. Heurck dalam Kustiadi (1977) mengemukakan bahwa secara ra laboratoris, cahaya matahari dapat diganti dengan lampu TL (lampu tabung). asalkan 1ntensitas cahaya cukup memenuhi syarat untuk kelangsungan fotosintesa alga yang dikultur.
Selanjutnya menurut Fogg (1975). alga dapat ditumbuh-
kan pada intensitas cahaya 3 - 30 kilo lux.
2.7.
Aeras1
Round (1973) mengemukakan bahwa tersedianya CO2 merupakan hal yang sangat penting dalam fotosintesa. Menurut Raymont (1983), 02 berguna dalam respirasi zooplankton •. Di 'laboratorium. sebagai sumber CO 2 dan 02 adalah udara yan& dapat dipompakan ke dalam media kultur (Koesoebiono
dalam ;
MU6tafa~
1982).
12
Gelembung-gelembung udara yang dipompakan ke dalam air akan naik ke permukaan karena berat jenisnya lebih kecil dari berat jenis air.
Gerakan ini menimbulkan gesekan
antara gelembung udara dengan molekul-molekul air, sehingga terjadi arus dan sirkulasi air; dan proses difusi gas antara udara dan air dapat terjadi lebih efisien (MUstafa, 1982).
Fogg (1975) mengemukakan bahwa dalam kultur yang
stagnan laju difusi karbon dioksida menjadi terbatas.
Maka
untuk mempertahankan pertumbuhan dapat diaerasi dengan penggoyangan atau dengan pemompaan udara ke dalam media. Hemerick (1973) menyatakan bahwa turbulensi dan sirkulasi media kultur penting sekali untuk mempertahankan temperatur tetap homogen; dan agar penyinaran. CO2 , oksigen, nutrien serta hasil metabolisme lainnya dapat menyebar merata.
selain itu dapat mencegah pengendapan plankton dan
menimbulkan getaran air yang menyerupai air di alam (prescott dalam Mustafa, 1982). 2.8.
Atonik Dalam brosur yang dikeluarkan oleh Asahi chemical MFG.
CO. LTD, osaka Jepang disebutkan bahwa atonik berfungsi untuk memberikan kekuatan vital pada tanaman dan mempercepat mana panen, mengefektifkan penyerapan pupuk, dan meningkatkan mutu serta melipatgandakan hasil.
Rumus empirik atonik
ada 4 macam yaitu C6H4N03Na (sodium ortho-nitrophenolate), C6H4N03Na (sodium para-nitrophenolate), C6H3N205Na (sodium 5-nitroquaiacolate).
sedangkan rumus bangunnya adalah
13 sebagai berikut: ONa
(X ~ I
oNa N0
2
Sodium ortho-nitrophenolate
Sodium para-nitrophenolate
ONa ONa
i
N0
NO 2
2
Sodium 2,4-dinitrophenolate
Sodium
~-nitroquaiacolate
ursulum dalam Rumiati (1983) mengemukakan bahwa atonik dapat larut dalam air, etil alkohol, eti1 eter, aseton dan juga dapat larut dalam kloroform.
Atonik mudah diserap da-
lam jaringan tanaman dengan mempercepat aliran plasma dalam sel serta merangsang perakaran.
Dari hasil percobaan yang
dilakukan di Jepang oleh perusahaan Asahi chemical MFG. CO. LTD. menunjukkan bahwa penyemprotan larutan atonik dengan konsentrasi 1 : 1000 - 1500 pada tanaman teh menambah jumlah khloroplast. unsur pembentuk atonik adalah Na+ dan gugus fenol. pada umumnya sodium (Na) tidak dipandang sebagai unsur yang mutlak dibutuhkan oleh sebagian besar dari jenis-jenis alga,
14 namun Anabaena cylindrica mutlak membutuhkan Na dan tidak bisa disubtitusi oleh K, Li, Rb atau Cs.
Unsur sodium ini
hanya dibutuhkan oleh alga hijau biru (Round, 1973).
Menu-
rut Rains dalam Mardalena (1983), natrium diperlukan dalam proses glikolisis dan mempengaruhi sintesa protein. Menurut Fogg and Boalch dalam Sieburth (1968). alga ASCophyllum nodosum an media h1dupnya.
mengekskresi polifenolat ke lingkungSeterusnya McLachlan and Craigie dalam
Sieburth (1968) mengemukakan bahwa polifenolat menghambat pertumbuhan alga uniselular.
Round (1973) melaporkan bah-
wa dalam metabolisme nitrogen pada alga, reduksi nitrit dalam Ankistrodesmus dapat dihentikan oleh 2,4-dinitrofenol. Senyawa fenol in1 belum banyak diketahu1 peranannya dalam f1toplankton, namun Sieburth (1968) menggolongkannya dalam ke1ompok senyawa antib1otik. Sedangkan bag1 tumbuhan makro. Leopold dalam Mardalena (1983) mengatakan bahwa senyawa fenol bereaks1 s1nerg1s dengan auks1n. yaitu zat yang merangsang pertumbuhan tanamanj tetapi asam fenolat merupakan senyawa fenol yang paling menghambat partumbuhan.
Senyawa fenol pada tanaman berpe-
ran dalam ketahanan tanaman terhadap penyakit-penyakit tertentu (Krikorian dalam Mardalena. 1983). Penelitian yang dilakukan oleh Pudjoutomo (1982) tentang pengaruh perendaman benih dalam larutan atonik terhadap perkecambahan dan pertumbuhan tanaman semaian karat, menarik kesimpulan bahwa konsentrasi atonik yang diencerkan
15 1000 kali memberi pengaruh terbaik terhadap day a kecambah dan pertumbuhan tanaman semaian dibandingkan perlakuan yang lain.
8ementara Widigda (1982) menyatakan bahwa pemakaian
stimulan tanaman dengan atonik nyata berpengaruh terhadap pertambahan berat segar bibit anggerik Phalaenopsis hibrid dan cara yang terbaik adalah perendaman akar tanaman selama beberapa menit di dalam larutan stimulan.
Sedangkan me-
nurut Pabintu dalam surat kabar Singgalang Independen (30 Januari, 1982), hasil penelitian Fakultas pertanian Universitas Hasanuddin menunjukkan bahwa atonik cocok untuk digunakan pada tanaman kopi, cengkeh dan tanaman perkebunan lainnya.