7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Salak Bali 2.1.1 Botani Salak Bali Salak Bali memiliki daging buah yang tebal berwarna putih kekuningan, memiliki rasa sangat manis dan tekstur daging yang renyah. Biji salak Bali berukuran kecil dan biasanya berjumlah 1-2 pada setiap buah. Bentuk tanaman tegak dengan tinggi pohon lima sampai tujuh meter. Buah salak dapat dipanen setelah berumur enam bulan setelah bunga mekar. Hal ini ditandai oleh sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, dan bulu-bulunya telah hilang dan ujung kulit buah (bagian buah yang meruncing) terasa lunak bila ditekan. Dalam satu tandan masaknya buah salak tidak seragam. Umumnya, buah yang masak terlebih dahulu adalah di bagian ujung, oleh sebab itu pemetikan buah salak dilakukan secara berkala, dipilih buah yang sudah masak dengan cirri-ciri kulit buah bersih mengkilap dan susunan sisiknya tampak lebih renggang, bila dipetik mudah sekali terlepas dari tandannya, biji salak berwarna cokelat kehitaman, terasa empuk dan lembut bila dipijit pada bagian ujungnya, aroma khas salak dan terapung bila dimasukkan dalam air (Kriswiyanti, 2008). Di Bali, dikenal terdapat 10 kultivar salak yaitu salak putih, salak gula pasir, dan salak bogor yang jelas dapat dibedakan berdasarkan pengamatan morfologi buahnya dalam hal warna, susunan fisik, bentuk dan ukuran buah, sedangkan salak biasa, salak gondok, salak nangka,
7
8
salak nenas, salak penyalin, salak kelapa dan salak boni agak sulit dibedakan antara satu dengan yang lain (Suter, 1988). Menurut Fransiskus (2010), salak dengan nama ilmiah Sallaca zalacca memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Arecales
Famili
: Arecaceae
Genus
: Salacca
Spesies
: Sallaca zalacca
2.1.2 Komposisi Kimia Salak Bali Ditinjau dari sudut gizinya, daging buah salak merupakan sumber karbohidrat dan kalori yang cukup tinggi di samping sebagai sumber vitamin dan mineral. Kandungan kimia daging buah Salak Bali dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan gula dan pati yang cukup tinggi menjadikan Salak Bali berpotensi diolah menjadi wine. Gula dan asam organik merupakan dua komponen kimia pada buah salak, di samping sebagai sumber kalori, juga menentukan rasa manis dan asam buah salak. Pada buah Salak Bali telah dapat diidentifikasi empat jenis gula yaitu fruktosa, sukrosa, glukosa, dan maltose serta empat jenis asam organik, yaitu asam adipat, asam malat, asam suksinat, dan asam sitrat. Sukrosa dengan jumlah tertinggi yaitu 50,52% (b.k), fruktosa 10,28% (b.k), glukosa 7,90% (b.k) dan
9
maltose 0,36% (b.k), asam malat 6,79% (b.k), dan asam adipat sebesar 0,08% (b.k) (Suter, 1996). Tabel 1. Komposisi kimia Salak Bali Komponen Air (g) Protein (g) Lemak (g) Gula (g) Pati (g) Serat kasar (g) Vitamin C (mg) Total abu (g) Kalium (g) Natrium (g) Kalsium (mg) Magnesium (mg) Besi (mg) Mangan (mg) Seng (mg) Fosfor (mg)
Jumlah per 100 gr daging buah 79,87 – 81,44 0,50 – 0,85 0,77 – 2,22 11,28 – 14,05 1,80 – 3,18 4,16 – 6,07 1,54 – 2,93 0,48 – 0,53 0,08 – 0,18 0,06 – 0,08 6,49 – 8,70 11,20 – 15,20 0,30 – 0,57 0,13 – 0,18 0,23 – 0,44 14,00 – 16,40
Sumber : Suter (1988) 2.1.3 Pengolahan Salak Bali Salak Bali pada umumnya diolah menjadi berbagai macam pangan khas lokal yang bertujuan untuk meningkatkan nilai jual Salak Bali dan juga untuk memperpanjang umur simpan. Hasil pengolahan Salak Bali antara lain berupa : -
Manisan : pangan khas yang diolah dengan cara perendaman di dalam larutan gula berkonsentrasi tinggi untuk menciptakan cita rasa dan tekstur daging khas sekaligus salah satu teknik pengawetan bahan pangan dengan menggunakan gula.
-
Asinan : pangan khas yang diolah dengan perendaman di dalam larutan garam, cuka, dan cabai. Salah satu teknik pengawetan makanan bercita rasa segar.
10
-
Dodol : pangan lokal yang dibuat menggunakan gula dalam jumlah banyak. Diproses secara hati-hati, perlahan, dan memakan waktu cukup lama dalam pembuatannya. Menghasilkan cita rasa pangan yang khas Indonesia.
-
Wine : Sejenis minuman beralkohol paling tua yang dibuat secara fermentasi menggunakan bahan dasar cairan buah. Buah yang umumnya digunakan adalah buah dengan kandungan gula tinggi. Wine merupakan salah satu bentuk pengolahan buah yang bersifat tahan lama. Dengan teknik pengolahan yang tidak terlalu rumit, wine menghasilkan cita rasa yang dapat diterima secara universal sehingga harga jual wine dibanding dengan produk salak lainnya lebih tinggi (Anonimus, 2005).
2.2 Fermentasi Istilah fermentasi berasal dari bahasa Latin yaitu fervere yang berarti buih. Proses fermentasi itu sendiri merupakan penguraian satu molekul gula menjadi dua molekul alkohol (etanol) dan dua molekul karbon dioksida dan energi (Sudjatha dan Wisaniyasa, 2002). Teknologi fermentasi adalah ilmu yang dapat dianggap sangat tua. Karena pembuatan alkohol dengan cara fermentasi telah dilakukan orang sekitar 6000 tahun sebelum masehi. Pada masa itu, alkohol yang telah dapat dibuat dianggap sebagai zat kimia organik murni. Adapun proses destilasi yang dilakukan pada anggur pada masa itu berperan sangat penting dalam perkembangan ilmu kimia. Reaksi fermentasi dapat ditulis sebagai berikut: C6H12O6
2C2H5OH + CO2 + Energi
Khamir dapat mengubah gula menjadi alkohol dan CO2 dalam keadaan anaerob. Untuk membentuk sel-sel barunya diperlukan hanya sedikit bahan gula sehingga dapat diabaikan jika disbanding dengan produk baru yang terbentuk.
11
Pada tahun 1817 ditemukan bahwa uap alkohol yang bercampur udara dapat terjadi oksidasi menjadi asam asetat oleh adanya logam platinum sebagai katalis (Said et al., 1992). Gula yang ditambahkan pada pembuatan wine salak bertujuan untuk memperoleh kadar alkohol yang lebih tinggi, meskipun dengan kadar gula yang terlalu tinggi akan menghambat aktivitas khamir (Setioko, 2002). Penambahan gula dalam jumlah tertentu akan menyebabkan fermentasi menjadi lebih sempurna, menjamin kestabilan anggur yang dihasilkan dan menghasilkan alkohol yang lebih tinggi (Sa’id et al., 1992). Hasil fermentasi dari gula yang terdapat pada cairan buah salak adalah etanol dan karbon dioksida dan dapat pula terbentuk senyawa sekunder yang digunakan untuk pertumbuhan khamir. Perubahan gula menjadi etanol tidak memerlukan oksigen dan jika terjadi pencampuran dengan udara akan terjadi penurunan alkohol karena oksigen digunakan untuk pertumbuhan khamir. Selama fermentasi, khamir memerlukan energi yang dapat diperoleh dari hasil fermentasi gula. Etanol pada proses fermentasi alkohol terbentuk melalui beberapa jalur metabolisme tergantung dari jenis mikroba yang terlibat. Untuk Saccharomyces serta sejumlah khamir yang lain, etanol terbentuk melalui jalur EMP (Embden Meyerhof Parnas) (Rahayu dan Rahayu ,1988). Menurut Branitan (2010), Jalur Embden Meyerhof Parnas (EMP) atau dikenal dengan sebutan jalur glikolisis adalah serangkaian reaksi biokimia di mana glukosa dioksidasi menjadi molekul asam piruvat. Jalur EMP terdiri dari beberapa tahap, masing-masing dikatalis oleh enzim tertentu. Jalur tersebut ditandai dengan pembentukan fruktosa disfosfat, dilanjutkan dengan pemecahan fruktosa difosfat menjadi dua molekul gliseraldehida fosfat. Reaksi ini dikatalis oleh enzim aldolase. Kemudian terjadi reaksi dehidrogenasi gliseraldehida fosfat(fosfogliseraldehida)
12
yang merupakan reaksi oksidasi yang menghasilkan energi dalam bentuk ATP. Reaksi ini dikatalis oleh enzim gliseraldehidafosfat dehidrogenase, hidrogen yang terlepas akan ditangkap oleh nikotinamida-adenin-dinukleotida (NAD) membentuk NADH2. Proses fermentasi dapat berlangsung terus jika NADH2 dapat dioksidasi kembali pada tahap kedua fermentasi sehingga melepaskan atom hydrogen kembali. Jadi NAD berfungsi sebagai pembawa hidrogen dalam proses fermentasi. Energi yang dilepaskan selama oksidasi gliseraldehida fosfat cukup untuk membentuk dua molekul ATP. Karena satu molekul glukosa menghasilkan dua molekul gliseraldehida fosfat, maka seluruhnya dibentuk empat molekul ATP, tetapi karena dua molekul ATP dibutuhkan untuk mengubah glukosa menjadi fruktosa difosfat, hanya tinggal dua molekul ATP yang dapat digunakan untuk pertumbuhan untuk setiap molekul glukosa yang dipecah. Ringkasan reaksi glikolisis pada lintasan EMP adalah sebagai berikut:
2.3 Wine dan Kandungan Wine Wine adalah minuman beralkohol paling tua yang dibuat secara fermentasi menggunakan bahan dasar cairan buah. Buah yang umumnya digunakan adalah buah dengan kandungan gula tinggi. Wine merupakan salah satu bentuk pengolahan buah yang bersifat tahan lama. Wine memiliki rasa, aroma, dan kadar alkohol berbeda-beda. Mutu pada wine dipengaruhi oleh mutu bahan baku, proses pengolahan hingga mencapai kadar alkohol yang diharapkan. Kadar alkohol pada wine ditentukan oleh jenis starter yang digunakan pada pembuatan wine serta jumlah gula yang ditambahkan pada proses pembuatan wine. Menurut Rahayu dan Rahayu (1988), wine tergolong ke dalam minuman keras Golongan B
13
dengan kadar alkohol 5 – 20% v/v. Adapun kadar alkohol dalam minuman keras dapat digolongkan yaitu: 1. Golongan A, minuman keras dengan kadar alkohol 1-5% v/v 2. Golongan B, minuman keras dengan kadar alkohol 5-20% v/v 3. Golongan C, minuman keras dengan kadar alkohol 21-55% v/v Pembentukan alkohol dari gula dilakukan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh pertumbuhan khamir. Kegiatan fermentasi berjalan bila sel khamir telah menyerang gula dari sari buah yang dihancurkan. Biasanya diperlukan khamir wine dalam jumlah besar untuk dapat mendominasi fermentasi. Untuk itu sari buah dapat dipanaskan terlebih dahulu untuk mematikan mikroba kontaminan kemudian dilakukan inokulasi kembali dengan suatu kultur murni khamir wine. Di dalam lingkungan dan substrat yang cocok, jumlah alcohol yang dihasilkan tergantung pada jumlah gula yang ada dan efisiensi khamir dalam mengubah gula menjadi alkohol. Biasanya khamir tidak toleran terhadap produk-produk fermentasi bila kadar alkohol mencapai 12-16%. Beberapa khamir toleran terhadap kadar alkohol 18% (Desrosier, 1988). Adapun syarat mutu wine buah (SNI 01-4019-1996) dapat dilihat pada Tabel 2.
14
Tabel 2. Syarat mutu wine buah Kandungan
Keadaan: - Bau - Rasa Etil alkohol Metil alkohol Bahan Tambahan Makanan: - Pengawet SO2 - Pemanis buatan - Zat pewarna buatan Cemaran logam: - Timbal (Pb) - Raksa (Hg) - Timah (Sn) Bakteri Coliform Cemaran khamir Cemaran kapang Sumber : SNI 01-4019-1996
Jumlah
Normal/khas Normal/khas 8-15% v/v Maks 0,1% dari isi alkohol Sesuai SNI 10.0222.1987 Negatif Negatif Maks. 0,2 mg/kg Maks. 0,03 mg/kg Maks. 40,0 mg/kg Maks. 20 APM/ml Maks 50 koloni/ml Maks 50 koloni/ml
Hasil analisis kandungan kimia anggur berkualitas tinggi menurut Prescott dan Dunn (1940) dalam Desrosier (1988) adalah sebagai berikut : Tabel 3. Kandungan kimia anggur berkualitas tinggi (Gram/100 ml) Komponen Anggur Anggur Anggur Anggur Putih Merah Putih Merah Kering Kering Manis Manis Alkohol,vol,persen 12,45 12,61 18,38 19,30 Alkohol 9,88 10,0 14,58 15,31 Gliserol 0,7019 0,635 0,302 0,508 Abu 0,196 0,247 0,203 0,311 Asam total 0,586 0,649 0,412 0,5002 Gula reduksi 0,134 0,146 11,30 10,26 Tannin 0,039 0,236 0,036 0,096 Berat jenis 0,9917 0,9943 1,029 1,027 Sumber : Prescott dan Dunn (1940) dalam Desrosier (1988)
Anggur Berbuih 13,22 10,48 0,41 0,153 0,658 3,409 0,035 1,004
15
2.4 Faktor-faktor Fermentasi Menurut Anonimus (2010a), faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi antara lain : 1. Spesies sel khamir Pemilihan mikroba biasanya didasarkan pada jenis karbohidrat yang digunakan sebagai medium, sebagai contoh untuk memproduksi alkohol dari pati dan gula digunakan Sacharomyces cerevisiae sedangkan untuk laktosa dari whey menggunakan Candida pseudotropicalis. Seleksi tersebut bertujuan agar didapatkan mikroba yang mampu tumbuh dengan cepat dan toleransi terhadap konsentrasi yang tinggi, mampu mengahasilkan alkohol dalam jumlah banyak dan tahan terhadap alkohol tersebut. 2. Jumlah sel khamir Inokulum yaitu kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi. Tipe dan kosentrasi mikroba yang diinokulasikan merupakan critical faktor yang mempengaruhi. Menurut Anonimus (2010), jumlah starter optimum pada fermentasi alkohol adalah 2-5% serta jumlah khamir yang harus tersedia dalam jumlah yang cukup dengan jumlah sel berkisar 2-5 . 106 sel per ml. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam wine antara lain: - pH. Khamir toleran terhadap pH asam yaitu 3,3 – 3,5. - Kadar gula. Wine dengan kadar gula rendah jarang mengalami kerusakan oleh mikroba. Kadar gula rendah berkisar pada 0,1%.
16
- Konsentrasi alkohol. Toleransi mikroba terhadap alkohol bervariasi. Khamir dan mikroba lain pada umumnya tidak toleran terhadap kadar alkohol sebesar 15%. - Tersedianya udara. Dengan tidak adanya udara dapat mencegah pertumbuhan mikroba yang bersifat aerob seperti kapang dan Acetobacter (Sudjatha dan Wisaniyasa, 2002). 3. Derajat keasaman (pH) Asam dapat menghambat pertumbuhan perkembangan mikroba tertentu dan asam tersebut dapat dihasilkan secara alami oleh berbagai macam tanaman misalnya jeruk atau hasil fermentasi. Bahan pangan yang mengandung asam tidak mengalami kerusakan, akan tetapi apabila terdapat udara dan permukaan bahan pangan ditumbuhi kapang, asam akan teroksidasi sehingga daya awetnya akan hilang. Dalam keadaan demikian akan berkembang mikroba yang proteolitik dan lipolitik. Tingkat keasaman dapat diturunkan dengan menambahkan senyawa yang bersifat basa. Jenis khamir tertentu toleran terhadap asam yang tinggi dan menghasilkan produk akhir yang bersifat alkali seperti misalnya ammonia dari hasil pemecahan protein. Derajat keasaman optimum untuk pertumbuhan khamir yang digunakan pada fermentasi etanol adalah 3,1-3,9 (Sudjatha dan Wisaniyasa, 2002). Menurut Prescott and Dunn (2002) dikutip dari Anonimus (2010a), derajat keasaman optimum untuk pertumbuhan khamir yang digunakan pada fermentasi etanol adalah 4,5 – 5,5.
17
4. Suhu Khamir mempunyai kisaran toleransi tertentu terhadap suhu untuk pembentukan selnya, optimum untuk khamir adalah 25 – 30 oC serta khamir dapat tumbuh secara efesien pada suhu 28 – 35 oC. Peningkatan suhu sampai 40 oC dapat mempertinggi kecepatan awal produksi etanol, tetapi produktivitas fermentasi secara keseluruhan menurun karena meningkatnya pengaruh penghambatan oleh etanol terhadap pertumbuhan sel khamir (Rahman, 1992). 5. Oksigen Selama fermentasi alkohol berlangsung, diperlukan sedikit oksigen yaitu sekitar 0,05-0,10 mmHg tekanan oksigen, yang diperlukan sel khamir untuk biosintesa lemak tak jenuh dan lipid. Jumlah oksigen yang lebih tinggi dapat merangsang pertumbuhan sel khamir, sehingga produktivitasnya alkohol menjadi lebih rendah. Menurut Rahman (1992), persediaan oksigen yang besar penting untuk kecepatan perkembangbiakan sel khamir dan permulaan fermentasi, namun produksi alkohol terbaik pada kondisi anaerob.
2.5 Mikroba pada Pembuatan Wine Mikroba yang berperan dalam mengubah gula menjadi alkohol dalam suatu proses fermentasi wine adalah Saccharomyces cerevisiae dan jenis khamir lainnya. Jenis lain genus Saccharomyces yang dapat digunakan dalam pembuatan wine adalah S. bayanus, S. capensis, S. fermentati dan lain-lain (Sudjatha dan Wisaniyasa, 2002). Khamir mempunyai ukuran lebih besar dari bakteri yaitu 20 mikron. Pertumbuhan dapat terjadi secara unisel tetapi dapat juga melakukan perkembangan dengan pertunasan. Bentuk khamir dapat berbentuk bulat oval, silindris, segitiga, dan memanjang. Khamir hidup baik jika terdapat air dengan
18
kadar air lebih rendah daripada yang diperlukan bakteri. Kebanyakan khamir dapat hidup dengan Aw 0,88 – 0,94. Khamir yang bersifat osmofilik dapat tumbuh pada media dengan Aw 0,62 – 0,65. Kisaran suhu pertumbuhan optimum khamir adalah 28 – 30 oC. Derajat keasamaan yang dikehendaki adalah pH sekitar 3,1 – 3,9 dan tidak akan tumbuh pada keadaan basa. Menurut Tsakiris., et al (2011), jenis starter berpengaruh pada rasa dan aroma wine yang dihasilkan. Namun, kenyataan di pasar menunjukkan bahwa cita rasa wine lebih disukai oleh konsumen dibanding dengan umur penyimpanan wine. Saccharomyces merupakan genus khamir yang memiliki kemampuan mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2. Saccharomyces merupakan mikroba bersel satu tidak berklorofil, termasuk termasuk kelompok Eumycetes. Tumbuh baik pada suhu 30oC dan pH 4,8. Beberapa kelebihan Saccharomyces dalam proses fermentasi yaitu mikroba ini cepat berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi. Pertumbuhan Saccharomyces dipengaruhi oleh adanya penambahan nutrisi yaitu unsur C sebagai sumber karbon, unsur N yang diperoleh dari penambahan pepton, mineral dan vitamin. Suhu optimum untuk fermentasi antara 28 – 30 oC (Anonimus, 2010b). Khamir dijual dalam berbagai bentuk dan kemasan. Salah satu bentuk khamir yang dapat diperoleh adalah bentuk dried yeast. Dried yeast memiliki beberapa keunggulan seperti, mudah didistribusikan, dapat bertahan tidak dalam suhu rendah selama 1 tahun, dan dapat langsung digunakan dalam pembuatan roti atau wine.
19
Dried yeast adalah bentuk ragi yang paling umum tersedia di Amerika Serikat. Ragi ini terdiri dari butiran lonjong kasar, dengan sel ragi hidup dikemas dalam susunan jaringan tebal kering, sel-sel mati dengan beberapa media pertumbuhan. Ragi ini dapat disimpan pada suhu kamar selama 1 tahun atau pada suhu beku selama lebih dari satu dekade (Anonimus, 2010c). Pemilihan strain khamir terbaik untuk menciptakan dried yeast dilakukan untuk memproduksi wine dalam kondisi terkontrol. Sejumlah khamir mengalami reproduksi (perbanyakan sel) hingga jumlah yang ditentukan. Kemudian hasil perbanyakan khamir ini digunakan sebagai ‘yeast mother’ untuk produksi selanjutnya. Yeast mother dimasukkan ke dalam fermentor dimana nutrisi dan gula ditambahkan bersamaan dengan udara steril yang juga ditambahkan. Kompresor udara bekerja melalui sistem ventilasi ke dalam tangki. Proses fermentasi dikendalikan secara teliti oleh komputer. Suhu, pH, aliran udara dan pasokan gula merupakan parameter yang mutlak dikendalikan komputer. Selama fermentasi, suhu tangki dijaga agar tetap dalam keadaan normal. Setelah fermentasi, khamir yang telah ditumbuhkan kemudian mengalami sentrifugasi untuk memisahkan krim khamir dengan sisa gula atau molasses. Krim khamir kemudian didinginkan pada suhu 4 oC dan disimpan dalam tangki pendingin. Krim khamir ini kemudian diolah menjadi 3 macam produk ragi. Sebagian dari krim khamir diolah menjadi paket ragi berbentuk krim yang dijual 22 liter dalam tiap paket atau kemasan. Krim ragi ini juga diberi stabilisator yang merupakan standar perusahaan ragi internasional. Kemudian, krim khamir yang tersisa diolah menjadi fresh yeast atau dried yeast. Krim khamir dipindahkan ke vakum drum berputar dan tersebar ke dalam saringan vakum tersebut sehingga kadar air
20
menurun hingga 30% dan konsistensi yang diinginkan tercapai. Kemudian, khamir yang telah kering dikerik dari vakum drum menggunakan pisau. Beberapa serpihan khamir ini dikemas dalam bentuk blok yang disimpan pada suhu 2oC. Ragi atau khamir hasil drum vakum ini mengandung sekitar 70% air dan tidak terlalu dapat disimpan lama. Setelah itu, khamir hasil pengerikan juga diolah menjadi dried yeast. Ragi yang tersisa ini kemudian dikeringkan hingga mencapai titik dehidrasi dan tercipta struktur granula. Ini merupakan dried yeast. Dried yeast memiliki kadar air 5% dan akan ter-rehidrasi setelah kontak dengan air. Dried yeast dikemas secara vakum menggunakan kantong aluminium. Kontak dengan udara, air dan cahaya mutlak harus dihindari. Terdapat beberapa jenis atau merk dried yeast (strain Saccharomyces sp) yang digunakan dalam pembuatan wine antara lain, Lalvin dried yeast, Levures, dan Alcotec dried yeast. Lalvin merupakan salah satu merk dried yeast yang digunakan dalam pembuatan wine. Mengandung strain Saccharomyces bayanus dengan kemampuan fermentasi cepat dan produksi buih, asam volatile, dan hydrogen sulfide yang rendah. Dried yeast merk ini toleran terhadap kadar alkohol sebesar 18% dan menghasilkan rasa dan aroma netral sehingga cocok digunakan pada semua jenis wine. Levure merupakan salah satu merk dried yeast yang digunakan dalam pembuatan wine. Dry yeast Levure mengandung strain Saccharomyces cerevisiae. Ragi merk Levure memiliki stabilitas suhu penyimpanan pada suhu kamar. Khamir pada produk ini akan teraktivasi oleh rehidrasi pada suhu 35 – 40oC. Setelah terehidrasi, ragi ini akan terserap ke suspense larutan dengan cepat. Menurut Logothetis., et al (2010) strain Saccharomyces cerevisiae memiliki
21
kemampuan untuk mempengaruhi sifat sensoris wine. Aktivitas strain ini juga dipengaruhi langsung oleh komposisi must dalam segi pertumbuhan khamir, produksi alkohol, toleransi stress starter, kandungan gula, pembentukan senyawa volatil, dan pembentukan senyawa yang tidak diinginkan seperti senyawa karbonil dan sulfur. Dried yeast ini memungkinkan penyerapan cepat dan seragam ke dalam larutan. Ragi ini dapat langsung ditambahkan ke larutan dengan sedikit air. Ragi ini dapat disimpan pada suhu ruangan dengan jangka waktu sesuai pada label kemasan. Alcotec merupakan merk dried yeast yang biasa digunakan pada pembuatan wine. Alcotec cukup terkenal kerena kemurnian wine yang tinggi. Saccharomyces cerevisiae merupakan yeast yang digunakan dalam ragi Alcotec. Aktivasi ragi Alcotec dapat dilakukan pada suhu 20-30 oC dengan waktu relatif singkat. Alcotec memiliki kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi warna selama fermentasi juga mampu meningkatkan cita rasa dan aroma wine.
2.6 Pengaruh pH terhadap Proses Fermentasi Wine Tingkat
keasamaan sangat
berpengaruh pada
proses
fermentasi.
Khamir mampu tumbuh dan melakukan fermentasi dengan baik pada pH cairan buah 3,1 - 3,9 (Rahayu dan Rahayu, 1988). Tingkat keasamaan di bawah 3 akan mengakibatkan pertumbuhan khamir menjadi lambat. Sementara itu, menurut Prescott and Dunn, (2002) dalam Anonimus (2010a) khamir berkembang optimal pada pH 4,5 – 5,5. Riadi (2007), juga berpendapat bahwa pH optimum bagi pertumbuhan khamir adalah 4,0–5,0. Pertumbuhan khamir tidak dipengaruhi oleh senyawa asam yang terdapat pada cairan buah melainkan dipengaruhi oleh asam yang dihasilkan sebagai hasil sampingan proses fermentasi seperti asam asetat,
22
asam butirat, dan asam propionate. Fermentasi pada pH rendah sangat menguntungkan karena dapat mengurangi kontaminasi oleh bakteri yang biasanya memiliki pH optimum mendekati netral (Rahayu dan Rahayu, 1988).
2.7 Proses Pembuatan Wine Pada umumnya, menurut Rahayu dan Rahayu (1988), wine dibuat melalui beberapa tahapan proses utama. Proses tersebut meliputi pemilihan bahan baku, penghilangan kulit buah dan penghancuran, sulfitasi, pasteurisasi, fermentasi dan proses tahap akhir. Pemilihan bahan baku meliputi buah yang matang, secara fisik tidak ada kecacatan, dan segar. Penghilangan kulit dan penghancuran bertujuan untuk mendapat cairan buah. Setelah penghancuran, dilakukan pemisahan cairan buah dengan kulit dan biji sebelum dilakukan fermentasi. Sulfitasi bertujuan untuk mematikan mikroba yang tidak dikehendaki yang terdapat pada wine seperti bakteri asam asetat. Sulfitasi dilakukan menggunakan larutan SO 2 yang ditambahkan pada cairan buah sebanyak 100-150 ppm. Jumlah SO2 yang besar biasanya ditambahkan pada cairan buah yang kelewat masak, berjamur, dan relative suhu pemetikan panas. Pasteurisasi adalah suatu perlakuan dengan panas pada suhu di bawah 100oC yang tidak membunuh semua sel vegetatif mikroba sehingga pasteurisasi dilakukan untuk bahan pangan yang akan diproses lebih lanjut (Sudjatha dan Wisaniyasa, 2002). Fermentasi merupakan pemecahan karbohidrat menjadi gula sederhana dengan bantuan mikroba dalam kondisi anaerob. Menurut Sudjatha dan Wisaniyasa (2002), lama waktu pembuatan wine anggur berkisar antara 3 – 5 hari. Kisaran waktu 3 – 5 hari untuk fermentasi alkohol juga telah dikemukakan oleh Anonimus (2010b).
Pemeraman dan
penyimpanan biasa dilakukan di tangki yang terbuat dari beton atau kayu yaitu
23
bahan yang mampu menjaga kestabilan suhu anggur beberapa tahun. Setelah pemeraman, dilakukan penyaringan untuk memperoleh wine yang jernih. Setelah penyaringan wine siap untuk dibotolkan (Rahayu dan Rahayu, 1988).
2.8 Analisis Kelayakan Analisis usaha diperlukan agar diperoleh gambaran perhitungan biaya yang diperlukan dalam memulai suatu usaha. Selain itu dapat diperhitungkan gambaran keuntungan yang akan diperoleh, berapa lama modal akan kembali dan keuntungan yang akan diraih sejak waktu tertentu (Susanto dan Saneto, 1994).
2.8.1 Biaya Tetap dan Biaya Variabel Dalam perhitungan analisis usaha perlu dibedakan antara biaya tetap dan biaya variabel, kedua biaya ini tergolong biaya produksi. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak terpengaruh oleh perubahan kegiatan perusahaan di dalam interval waktu dan kapasitas tertentu. Sedangkan biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan tingkat kegiatan yang ada dalam perusahaan yang bersangkutan. Adanya biaya produksi sangat diharapkan suatu perolehan pemasukan. Nilai yang diperoleh dari hasil penjualan produk dikurangi biaya produksi adalah laba kotor. Keuntungan kotor dikurangi pajak penghasilan adalah laba bersih (Susanto dan Saneto, 1994).
24
2.8.2 Break Event Point Menurut Susanto dan Saneto (1994), analisis Break Event Point digunakan untuk menentukan berapa jumlah produk yang harus dihasilkan agar perusahaan minimal tidak menderita rugi. Analisis ini juga berguna untuk menjelaskan hubungan antara biaya, penghasilan dan volume penjualan atau produksi. Untuk menentukan titik BEP perlu ditentukan terlebih dahulu biaya-biaya tetap dan biaya variabel untuk berbagai volume penjualan. Dengan demikian jumlah (kuantitas) produk yang harus dihasilkan untuk mencapai BEP dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan: P
= harga jual per unit
Q BEP = jumlah yang dijual untuk mencapai BEP (unit per tahun) TFC
= biaya tetap total
AVC
= biaya variabel per unit Perhitungan BEP secara grafik dapat dilakukan dengan menentukan titik
pertemuan antara garis penghasilan dan garis biaya. Titik pertemuan ini disebut dengan titik impas. Daerah di sebelah kiri titik impas yaitu bidang antara garis biaya total (Total Cost) dengan garis hasil penjualan (Total Revenue) merupakan daerah rugi, karena hasil penjualan lebih rendah dari biaya total. Sedangkan daerah di sebelah kanan titik impas adalah bidang antara garis penjualan (Total Revenue) dengan garis biaya total (Total Cost) merupakan daerah laba, karena hasil penjualan lebih tinggi dari biaya total.
25
2.8.3 Return On Investment Return On Investment adalah suatu cara menyatakan besarnya keuntungan dengan membandingkan antara besarnya laba per tahun dengan besarnya modal dan dinyatakan dalam persen per tahun. Return On Investment dapat dihitung berdasarkan laba kotor yaitu selisih hasil penjualan dengan biaya produksi keseluruhan atau berdasarkan laba bersih yaitu laba kotor dikurangi pajak pendapatan. Return On Investment minimum yang dapat diterima untuk setiap macam usaha berbeda-beda terantung dari besar kecilnya resiko investasi yang harus ditanggung. Untuk produk fermentasi, Return On Investment minimum yang dapat diterima berdasarkan laba kotor adalah 10% (Susanto dan Saneto, 1994). 2.8.4 Pay Out Time (POT) Pay out time merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa persentasi maupun waktu. Pay Out Time harus lebih kecil dari umur ekonomis proyek. Untuk industri pengolahan pertanian diharapkan nilai tersebut lebih kecil dari 10 tahun atau sedapat mungkin kurang dari 5 tahun (Susanto dan Saneto, 1994). 2.8.5 Internal Rate of Return Internal Rate of Return (IRR) merupakan metode penilaian investasi untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai penerimaan sekarang dengan jumlah investasi awal proyek yang dinilai. Proyek dapat diterima apabila besarnya IRR lebih besar dari tingkat bunga yang digunakan sebagai biaya modal dan
26
sebaliknya akan ditolak apabila lebih kecil dari tingkat bunga biaya modal yang digunakan (Husnan dan Suwarsono, 1999). 2.8.6 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan melakukan pendekatan dalam berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam suatu kegiatan ekonomi. Pendekatan ini dilakukan dengan mencari data biaya tetap, biaya variabel, banyak unit produksi dan lama proyek. Setelah mendapatkan data yang mempengaruhi aliran kas, dilakukan analisis terhadap market size, market share, harga jual per unit, biaya variabel per unit dan biaya tetap. Untuk melakukan analisa ini dihitung taksiran optimis dan pesimis dari masing-masing variabel dalam persen dan dikalikan data asal (Husnan dan Suwarsono, 1999).