BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Sekitar 99 persen total kalsium dalam tubuh ditemukan dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit, hanya sebagian kecil dalam plasma cairan ekstravaskuler (Syafiq, 2007). Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh. Sebagian besar terdapat dalam bentuk kalsium fosfat yaitu bagian dari kristal hidroksiapatit di dalam tulang dan gigi yang tidak larut. Proses ini diawali dengan kalsium membentuk hidroksiapatit yang memberikan kekuatan dan kekakuan pada tulang (Waluyo, 2009). Hasil penelitian Meikawati (2009) yang dilakukan pada remaja membuktikan bahwa asupan fosfor berhubungan dengan kepadatan tulang. Tubuh memerlukan kalsium karena setiap hari tubuh kehilangan mineral tersebut melalui pengelupasan kulit, kuku, rambut, dan juga melalui urine dan feses. Kehilangan kalsium harus diganti melalui makanan yang dikonsumsi oleh tubuh. Jika jumlah kalsium yang dibutuhkan oleh tubuh tidak sesuai maka dapat menimbulkan penyakit yang disebut dengan osteoporesis. Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan tulang menjadi keropos lalu terkelupas. Karena kekurangan kalsium, tulang menjadi rapuh (Sumarianto, 1985).
Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Rahmawati (2006), yang membuktikan pada mahasiswi bahwa ada hubungan bermakna antara intake kalsium dengan status osteoporosis.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menunjang kesehatan tulang dan aktivitas tubuh yang lain setiap individu tidak memiliki kebutuhan yang sama. Usia dan kondisi kesehatan menjadi faktor yang menentukan (Tagliaferri, 2007). Cara yang paling efektif adalah dengan menyesuaikan kebutuhan sehari-hari kalsium. Anjuran kalsium bervariasi tergantung pada umur dan kebutuhan khusus (Pho, 2004). Angka kecukupan kalsium menurut Angka Kecukupan Gizi tahun 2004 dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Angka Kecukupan Konsumsi Kalsium Kelompok Umur
Jumlah (mg/hari)
0 - 6 bulan 7 - 12 bulan 1 - 3 tahun 4 - 6 tahun 7 - 9 tahun
200 400 500 500 600
10 - 12 tahun 13 - 15 tahun 16 - 28 tahun 19 - 29 tahun 30 - 49 tahun 50 - 64 tahun 60+ tahun
1000 1000 1000 800 800 800 800
10 - 12 tahun 13 - 15 tahun 16 - 28 tahun 19 - 29 tahun 30 - 49 tahun 50 - 64 tahun 60+ tahun
1000 1000 1000 800 800 800 800
Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Menyusui (+an) : 6 bulan pertama 6 bulan kedua Sumber : http://gizi.net/download/AKG2004.pdf
+150 +150 +150
Anak :
Laki-laki :
Wanita :
Hamil (+an) :
+150 +150
Tubuh yang sehat akan selalu mempertahankan kalsium pada batas normal. Inilah yang disebut “homeostatis kalsium”. Jika dari pola makan unsur kalsium tidak
Universitas Sumatera Utara
mencukupi, maka tubuh mempunyai cara-cara untuk menjaga agar kalsium darah tidak menurun, yaitu dengan mengandalkan peran hormon kalsitonin, hormon anak gondok, dan vitamin D (Waluyo, 2009). Homeostatis kalsium negatif disebabkan oleh kurangnya asupan makanan, penyerapan yang lemah atau pengeluaran yang berlebihan yang mengakibatkan kehilangan kalsium dari tulang dan selanjutnya dapat meningkatkan kejadian patah tulang (Ariswan, 2010). 2.1.1. Sumber Kalsium Sumber kalsium terbagi dua, yaitu hewani dan nabati. Akan tetapi, jika bahan hewani dikonsumsi berlebihan, bisa menghambat penyerapan kalsium, karena kadar proteinnya tinggi. Kandungan proteinnya yang tinggi akan meningkatkan keasaman (pH) darah. Guna menjaga agar keasaman darah tetap normal, tubuh terpaksa menarik deposit kalsium (yang bersifat basa) dari tulang, sehingga kepadatan tulang berkurang. Karena itu, sekalipun kaya kalsium, makanan hewani harus dikonsumsi secukupnya saja. Jika berlebihan, justru dapat menggerogoti tabungan kalsium dan mempermudah terjadinya keropos tulang (Ariesi, 2007). Hal ini sejalan dengan penelitian Feskanich (1997) yang membuktikan pada wanita bahwa protein dapat meningkatkan pengeluaran kalsium dari urin. Sekitar 70% kalsium dalam makanan berasal dari susu dan hasil-hasilnya terutama keju pada orang dewasa. Hanya sedikit sayuran hijau dan buah-buahan kering merupakan sumber kalsium yang baik (16% dari asupan) dan air minum, termasuk air mineral, menyediakan 6% sampai 7% (Gueguen, 2000). Berikut akan
Universitas Sumatera Utara
disajikan dalam bentuk tabel beberapa jenis makanan yang mengandung kalsium tinggi. Tabel 2.2. Daftar Kandungan Kalsium per 100 gr Bahan Makanan. Kelompok Bahan Makanan Susu dan produknya
Bahan Makanan Susu sapi Susu kambing ASI Keju Yoghurt Susu Pabrik (Kalsium)
mg Ca / 100 gr Bahan 116 129 33 90 – 1180 150 1450 - 2000
Ikan
Teri kering Rebon Teri segar Sarden kaleng (dengan tulang)
1200 769 500 354
Sayuran
Daun pepaya Bayam Sawi Brokoli
353 267 220 110
Kacang-kacangan dan hasil olahannya
Kacang panjang Susu kedelai (250 ml) Tempe Tahu
347 250 129 124
Serealia
Jali Havermut
213 53
Sumber : Sayogo, Savitri, Osteoporosis dan Gizi, Seminar Sadar Dini Segah Osteoporosis Menuju Masyarakat Bertulang Sehat, Jakarta 17 September 2005.
Tersedianya kalsium di dalam tubuh berasal dari beberapa bahan makanan yang dikonsumsi yang menjadi sumbernya. Selanjutnya unsur kalsium ini disimpan dalam jaringan spons tulang. Adapun dalam penggunaannya diatur oleh kelenjar anak gondok (Kartasapoetra, 1995). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rahmawati (2006), yang membuktikan pada mahasiswi bahwa ada hubungan yang bermakna antara variabel status osteoporosis dengan pola konsumsi susu, tempe dan telur ayam yang merupakan bahan makanan sumber kalsium.
Universitas Sumatera Utara
Dari tempat penyimpanannya, kalsium dapat diambil dan disimpan kembali tergantung dari kebutuhan. Kebutuhan kalsium akan meningkat pada masa pertumbuhan, kehamilan, selama menyusui, dan setelah menopause (Dalimartha, 2002). Selain itu, hasil penelitian Suryono dkk (2007) juga menyimpulkan bahwa pemberian susu kalsium tinggi berpengaruh pada peningkatan kepadatan tulang pinggang, semakin tinggi volume susu kalsium tinggi dikonsumsi, maka makin tinggi kepadatan tulang pinggang. Soroko (1994) dalam penelitiannya pada wanita lansia menyimpulkan bahwa mengonsumsi susu secara teratur pada remaja dan dewasa berhubungan dengan kepadatan tulang yang lebih baik pada masa lansia. 2.1.2. Absorpsi Kalsium Absorbsi kalsium dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk umur, jumlah yang dibutuhkan dan makanan apa saja yang dimakan pada waktu yang sama. Umumnya, kalsium dari sumber-sumber makanan diabsorbsi lebih baik daripada yang berasal dari suplemen. Persentase kalsium yang diabsorbsi dan dicerna anakanak lebih tinggi daripada dewasa karena kebutuhan mereka selama dorongan pertumbuhan mungkin dua atau tiga kali lebih besar per berat badan daripada dewasa (Harding, 2006). Ada beberapa faktor yang menghambat absorpsi kalsium menurut Waluyo (2009), konsumsi serat yang berlebihan, hal ini akan mengurangi penyerapan kalsium dalam usus karena serat menyebabkan waktu transit makanan di dalam saluran pencernaan menjadi lebih sedikit sehingga waktu yang tersedia untuk proses penyerapan juga menjadi hanya sebentar.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan garam yang berlebihan, garam akan memaksa kalsium keluar dari tubuh, terbuang melalui urine. Konsumsi makanan dan minuman berkadar tinggi fosfor, kadar fosfor melebihi 1.500 mg per hari akan berpengaruh buruk terhadap keseimbangan kalsium tubuh. Contoh bahan makanan berkadar fosfor tinggi dan rendah kalsium : daging merah, ikan tuna, minuman ringan, dan lain-lain. Perbandingan kalsium dan fosfor berpengaruh erat dalam proses absorpsi kalsium. Untuk absorpsi kalsium yang baik diperlukan perbandingan Ca : P di dalam rongga usus (dalam hidangan) adalah 1 : 1 sampai 1 : 3. Perbandingan Ca : P yang lebih besar dari 1 : 3 akan menghambat penyerapan Ca sehingga akan menimbulkan defisiensi kalsium (Syafiq, 2007). J.J Groen dkk (1970) melakukan pemeriksaan histologist 4 spesimen mayat dan menyimpulkan bahwa defisiensi kalsium dan kelebihan fosfor yang menyebabkan resorpsi tulang paling berpengaruh pada tulang rahang, diikuti tulang rusuk, tulang belakang dan tulang panjang. Bersama-sama dengan kalsium, fosfor adalah komponen utama dalam tulang. Jika fosfor dalam makanan melebihi kalsium, massa tulang dapat berkurang. Fosfor dapat meningkatkan hormon parathyroid (yang mengeluarkan kalsium dari tulang) dan menyebabkan kalsium dikeluarkan melalui urine (Lane, 1999). Konsumsi makanan berprotein tinggi, konsumsi berlebihan makanan berkadar protein yang melebihi kebutuhan tubuh, akan berpengaruh buruk pada keseimbangan kalsium tubuh. Pola hidup tidak sehat, termasuk kebiasaan minum kopi berlebihan, kecanduan rokok dan minuman keras. Semua ini akan mengganggu penyerapan kalsium dalam usus.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya alergi laktosa, ada orang-orang yang ususnya tidak bisa menyerap makanan yang mengandung laktosa, yaitu sejenis gula yang terkandung dalam produk-produk olahan susu. Biasanya sudah dimulai sejak kanak-kanak. Sindrom malabsorpsi yaitu hampir sama dengan alergi laktosa yang juga disebabkan produk olahan susu, tetapi disebabkan oleh penyakit seliak atau penyakit usus karena sensitif terhadapa zat gluten. 2.1.3. Fungsi Kalsium Tersedianya kalsium dalam tubuh adalah penting sehubungan dengan peranan-peranannya menurut Marsetyo (1995) dalam pembentukan tulang dan gigi, pada berbagai proses fisiologik dan biokimiawi di dalam tubuh (pada pembekuan darah, eksitabilitas, syaraf otot, kerekatan seluler, transmisi impul-impul syaraf, memelihara dan meningkatkan fungsi membran sel, dan mengaktifkan reaksi enzim dan pengeluaran hormon). Sehubungan dengan peranan-peranannya itu, maka fungsi zat kapur (Ca) dalam tubuh dapat diringkaskan yaitu bersama fofor membentuk matriks tulang, pembentukan ini dipengaruhi pula oleh vitamin D, membantu proses penggumpalan darah dan mempengaruhi penerimaan rangsang pada otot dan syaraf. 2.1.4. Kekurangan Kalsium Menurut Marsetyo (1995), kekurangan unsur kalsium dalam persediannya di dalam tubuh dapat menimbulkan karies dentis atau kerusakan pada gigi, pertumbuhan tulang menjadi tidak sempurna dan dapat menimbulkan rakhitis, apabila bagian tubuh terluka maka darah akan sukar membeku sehingga pengeluaran darah bertambah, dan terjadinya kekejangan pada otot.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot dan sistem penunjangnya. Selain untuk metabolisme tubuh, selama aktivitas fisik berlangsung otot membutuhkan energy untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru membutuhkan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan mengeluarkan sisa-sisa (ekskresi dari seluruh tubuh). Jumlah energi yang dibutuhkan tergantung pada banyaknya otot yang bergerak, lama dan beratnya pekerjaan yang dilakukan (Almatsier, 2003). Dalam proses kehidupan selalu diperlukan aktivitas fisik yang meliputi gerak tubuh untuk berjalan dan gerakan lainnya. Pada karyawan sebaiknya lebih banyak bergerak dan lebih sering menggunakan tangga daripada lift. Selain itu, olahraga yang teratur juga dibutuhkan untuk mengurangi risiko osteoporosis. Olahraga yang baik untuk tulang misalnya jogging, bersepeda, berenang dan olahraga yang menggunakan beban. 2.3. Tulang 2.3.1. Mekanisme Pembentukan Tulang Pembentukan tulang manusia dimulai pada saat masih janin dan umumnya akan tumbuh dan berkembang terus samai umur 30 sampai 35 tahun pertumbuhan tulang akan berhenti, dan tercapai puncak massa tulang. Pada usia 0 – 30/35 tahun, disebut modeling tulang karena pada masa ini tercipta atau terbentuk model tulang seseorang. Pada usia 30 – 35 tahun, pertumbuhan tulang sudah selesai, disebut remodeling yaitu proses pergantian tulang yang sudah tua diganti dengan tulang yang baru yang masih muda (Anonim, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Secara alami setelah pembentukan tulang selesai, maka akan terjadi penurunan massa tulang. Tingkat kepadatan tulang tidak lagi berupa garis yang berjalan menanjak, namun sudah bergerak turun. Irama remodeling tulang tidak lagi seimbang. Penghancuran tulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses pembentukan tulang. Hal ini bisa dicegah dengan menjaga asupan kalsium setelah tercapainya puncak massa tulang (Hartono, 2001). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nurwahyuni (2009), yang membuktikan pada wanita pasca menopause bahwa kalsium berhubungan positif dengan kepadatan tulang. Vitamin D merupakan hormon yang dibutuhkan untuk penyerapan kalsium di usus (Dalimartha, 2002). Sebagian besar vitamin D terdapat di bawah kulit dalam bentuk non-aktif, namun sekitar 10% harus diperoleh dari makanan yang dikonsumsi (Fox-Spencer, 2007). Dengan bantuan sinar matahari pagi (sebelum pukul 9 selama 10-15 menit) terutama sinar ultraviolet, vitamin D di bawah kulit tersebut diaktifkan, karena paparan sinar matahari dapat merangsang produksi vitamin D. Vitamin ini berfungsi sebagai pembuka kalsium masuk ke dalam darah, sampai akhirnya bersatu dengan tulang .Karena itu, dianjurkan tubuh (terutama lengan dan wajah) terpapar sinar matahari minimal selama 15 menit tiga kali seminggu (sambil berlatih olahraga) (Waluyo, 2009). Tanpa vitamin D, hanya 15% kalsium dan 60% fosfat yang dapat diserap, dibandingkan dengan penyerapan melalui vitamin D yang meningkatkan absorbs kalsium menjadi 30-40% dan fosfat sebesar 80% (Deluca, 2004). Di samping itu, kekurangan vitamin D berdampak negatif pada kekuatan otot karena mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
maturasi sel dan adanya reseptor vitamin D pada pada sel otot yang membutuhkan vitamin D untuk aksi optimal (Holick, 2006). Di samping itu, hasil penelitian Kosnayani (2007) juga membuktikan pada wanita pasca menopause bahwa ada hubungan positif yang kuat dan bermakna antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang responden. Aktivitas fisik terdiri dari aktivitas selama bekerja, tidur, dan pada waktu senggang. Setiap orang melakukan aktivitas fisik, atau bervariasi antara individu yang satu dengan yang lain bergantung gaya hidup perorangan dan faktor lainnya (Julianty, 1995). Aktivitas fisik yang cukup serta olahraga teratur juga mempengaruhi tingkat kepadatan tulang. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Zhang (1992) yang membuktikan pada wanita pramenopouse bahwa wanita dengan aktivitas fisik tinggi memiliki kepadatan tulang secara signifikan lebih tinggi di tulang belakang daripada wanita pramenopouse dengan aktivitas fisik yang rendah. Use them or lose them, demikian pendapat para ahli tulang di Barat, artinya gunakan dan aktifkan tulang Anda dengan berolahraga bila tidak ingin ‘kehilangan’ tulang (menjadi keropos) (Waluyo, 2009). Hal ini sesuai dengan penelitian Mussolino (2001) yang membuktikan pada pria bahwa jogging berhubungan positif dengan tingkat kepadatan tulang, pria yang melakukan jogging 9 kali sebulan memiliki kepadatan tulang yang lebih tinggi daripada yang melakukan jogging 1-8 kali sebulan. Warisan genetika yang kuat dapat memberikan harapan hidup yang lebih lama, tetapi yang paling penting yaitu kekuatan, kesehatan yang baik, dan kualitas hidup bersama dengan usia hidup yang panjang (Ludington, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Kepadatan Tulang Kepadatan tulang adalah jumlah kandungan mineral tulang dalam setiap cm2 tulang yang diukur dengan alat bone densimeter (Seya, 2010). Dalam masa pertumbuhan ukuran tulang, kandungan kalsium dan kebutuhan kalsium meningkat. Setelah pertumbuhan terhenti, kemungkinan fase dimana penambahan jumlah tulang dan kalsium (puncak penambahan massa tulang/ peak bone mass) akan tetap bertambah sampai usia sekitar 30 tahun (Syafiq, 2007). Pada osteoporosis, osteoklas (sel tulang yang berfungsi menghancurkan tulang) bekerja lebih aktif dibandingkan dengan osteoblas (sel tulang yang berfungsi membentuk tulang baru). Akibatnya, kepadatan tulang berkurang karena kehilangan banyak kalsium dan menyebabkan kerapuhan tulang. Tulang yang rapuh ini menjadi mudah patah karena tidak tahan terhadap benturan, walaupun benturan ringan sekalipun (Dalimartha, 2002). Seorang wanita yang ibunya pernah mengalami patah tulang terutama di bongkol leher tulang paha pada usia kurang dari 45 tahun memiliki risiko osteoporosis empat kali lebih besar dibandingkan wanita sebaya yang tidak mempunyai riwayat keluarga yang sama (Hartono, 2001). Dengan mengonsumsi kalsium yang cukup dan sesuai dengan DKGA, proses pembentukan tulang akan berjalan baik sampai tercapai puncak massa tulang. Selain itu, aktivitas fisik yang teratur dan olahraga yang cukup pada masa anak-anak dan remaja juga mempengaruhi proses pembentukan tulang. Setelah puncak massa tulang tercapai, terjadi proses remodeling tulang yang juga membutuhkan asupan kalsium untuk menjaga keseimbangannya. Aktivitas fisik yang cukup pada masa dewasa dapat menjadikan tulang kuat dan padat.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Tes Kepadatan Tulang Oleh karena penyediaan DEXA (Dual Energy X-ray Absorbsimetry) dan pemeriksaan laboraturium masih sangat terbatas, maka untuk menegakkan diagnosis osteoporosis pemeriksaan klinis berupa anamnesis yang luas dan pemeriksaan fisik yang teliti masih merupakan pegangan (South, 2001). Anamnesis meliputi keadaan kesehatan, aktivitas sehari-hari, pemakaian obatobatan, riwayat merokok dan minum alkohol dan penyakit-penyakit sebagai faktor predisposisi misalnya penyakit ginjal, penyakit liver, penyakit endokrin defisiensi vitamin D atau kurang terpapar sinar matahari, penyakit saluran cerna, penyakit reumatik, riwayat haid/ menopause. Pemeriksaan fisik dengan melihat pada tulang vertebra, dengan melihat adanya deformitas/ kiposis, nyeri, tanda-tanda fraktur, adanya fraktur, penurunan tinggi badan dan adanya tanda-tanda penyakit yang dijumpai pada anamnesis (South, 2001). Ada tiga cara mendiagnosis penyakit osteoporosis, yaitu menggunakan alat densitometer (Lunar), pemeriksaan di laboraturium, dan radiografi menggunakan densitometer USG (Waluyo, 2009). 1. Densitometer (Lunar) mengukur massa tulang secara kuantitatif. Jika massa tulang rendah, berarti tulang sudah keropos sehingga mudah patah. Inilah cara pengukuran yang paling akurat (gold standard diagnosis) dalam hal mengukur kepadatan tulang. Ada beberapa teknik yang memungkinkan, yaitu dual x-ray absorptionmetry, quantitative CT-scan, dan ultrasonografi. 2. Laboratorium di sini dilakukan pemeriksaan osteoclacin, dioksipiridinolin, dan CTx (C-Telopeptide).
Universitas Sumatera Utara
3. Densitometer USG merupakan pemeriksaan dengan alat radiografi. Dengan alat ini osteoporosis baru dapat dideteksi setelah kehilangan massa tulang lebih dari 30%. Namun menurut Ichramsjah A. Rachman, sebenarnya ada cara mudah untuk diagnosis awal osteoporosis, yaitu tinggi badan yang berkurang lebih dari 3 cm. Hasil tes kepadatan tulang dinamakan nilai T. Nilai T pada dasarnya membandingkan kepadatan mineral tulang dengan hasil pengukuran rata-rata yang diambil dari orang-orang dewasa muda pada jenis kelamin yang sama. Nilai T menurut WHO tahun 1992 yaitu : Tabel 2.3. Hasil tes kepadatan tulang yang dinyatakan dengan nilai T Keparahan Nilai T Risiko Fraktur Lebih dari -1 Rendah Normal Kurang dari -1, namun lebih dari -2,5 Di atas rata-rata Osteopenia Kurang dari -2,5 tinggi Osteoporosis Sumber : Fox-Spencer, R, dan Brown, P, 2007. Osteoporosis. Erlangga, Jakarta. 2.4. Kerangka Konsep Penelitian Untuk mengetahui gambaran konsumsi kalsium dan aktivitas fisik terhadap kepadatan tulang karyawan PT. Indosat Tbk dapat disajikan dalam kerangka konsep sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Konsumsi Sumber Kalsium : - Jenis - Frekuensi Kecukupan Kalsium
Kepadatan Tulang
Aktivitas Fisik
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan skema di atas dapat dijelaskan bahwa jenis dan frekuensi konsumsi sumber kalsium akan menentukan kecukupan kalsium, selanjutnya akan menentukan kepadatan tulang dan aktivitas fisik juga akan menentukan kecukupan kalsium serta kepadatan tulang.
Universitas Sumatera Utara