BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Landasan Teori
2.1.1. Kebijakan Deviden Deviden adalah bagian dari laba bersih yang dibagikan kepada pemegang saham. Selain dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk deviden, sebagian dari laba bersih itu ditahan di dalam perusahaan untuk membiayai operasi perusahaan pada periode berikutnya yang biasa disebut laba ditahan (retained earning). Kebijakan deviden adalah keputusan untuk menentukan besarnya bagian pendapatan (earning) yang akan dibagikan kepada pemegang saham dan bagian yang akan ditahan (retained earning) di perusahaan (Weston dan Copeland, 1992). Kebijakan deviden adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran deviden oleh pihak perusahaan berupa penentuan besarnya deviden yang akan dibagikan dan besarnya saldo laba ditahan untuk kepentingan perusahaan (Sutrisno, 2001) Sementara Lee dan Finerty (1990) mengartikan kebijakan deviden sebagai suatu keputusan perusahaan apakah akan membagikan laba yang dihasilkan kepada para pemegang saham atau akan menahan laba tersebut untuk kegiatan investasi perusahaan. Gitman (2003) mendefinisikan kebijakan deviden sebagai perencanaan tindakan perusahaan yang harus dituruti ketika keputusan deviden harus dibuat.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan deviden mempunyai dampak yang sangat penting bagi investor maupun bagi perusahaan yang membayar deviden. Penetapan pembagian deviden menjadi masalah menarik karena akan memenuhi harapan investor, disisi lain kebijakan tersebut jangan sampai menghambat pertumbuhan apalagi mengancam kelangsungan hidup perusahaan. Terdapat dua pertanyaan mendasar berkaitan dengan kebijakan deviden yang dilakukan perusahaan (Megginson, 1997) dalam Mahadwartha (2002) yaitu (1) apakah kebijakan deviden berpengaruh? Dapatkah nilai pasar saham perusahaan ditingkatkan atau turun dengan melakukan perubahan pada pembayaran deviden? Dan (2) bila kebijakan deviden berpengaruh, faktor apakah yang menentukan level payout optimal yang memaksimalkan nilai perusahaan dan meminimalkan biaya modal (cost of capital). Rasio antara pemberian deviden dengan laba bersih disebut dividend payout ratio. Semakin kecil dividend payout ratio, maka akan semakin kecil deviden yang akan dibagikan kepada pemegang saham. Namun semakin besar dividend payout ratio semakin besar pula deviden yang dibagikan kepada pemegang saham, dan semakin kecil laba yang ditahan untuk kegiatan operasional perusahaan berikutnya. Selain dividend payout ratio ada juga yang disebut dengan dividend per share atau deviden per lembar saham. Yang membedakan antara dividend payout ratio dan dividend per share adalah, bahwa angka deviden per lembar saham diperoleh dari pembagian antara jumlah deviden yang dibayarkan dengan jumlah saham biasa yang beredar. Seperti halnya dividend payout ratio, semakin besar dividend per share,
Universitas Sumatera Utara
berarti semakin besar pula deviden yang dibagikan kepada pemegang saham. Dalam hal ini diperlukan kebijakan didalam pemberian deviden. Di dalam menentukan kebijakan deviden, perusahaan perlu memperhatikan tingkat bunga yang berlaku. Apabila tingkat bunga cenderung naik, maka perusahaan lebih menyukai pendanaan yang bersumber dari laba ditahan. Akan tetapi apabila tingkat bunga cenderung turun, maka pendanaan yang bersumber dari hutang lebih disukai perusahaan. Akibatnya kebijakan pemberian deviden perusahaan dapat berubah. Terdapat berbagai pendapat atau teori mengenai kebijakan deviden antara lain (1) Teori deviden tidak relevan, (2) Teori the bird in the hand, dan (3) Teori perbedaan pajak. 1. Teori Deviden Tidak Relevan Pendukung utama dari teori ini adalah Merton Miller dan Franco Modigliani (MM), dimana kebijakan deviden tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham maupun terhadap biaya modalnya. Miller dan Modigliani (MM) berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan deviden itu tidak akan mempengaruhi harga saham, sebab dalam pasar modal sempurna, para pemegang saham tidak membedakan antara deviden dan laba ditahan, apakah pemberian deviden lebih besar kepada pemegang saham, atau mengalokasikan sebagian besar keuntungan perusahaan kepada laba ditahan. Miller dan Modigliani (MM) menyatakan bahwa nilai suatu perusahaan tidak ditentukan dari besar kecilnya deviden pay out ratio, tapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT) (Atmaja, 1994 : 351).
Universitas Sumatera Utara
2. Teori Bird in The Hand Merton Miller dan Franco Modigliani (MM) berpendapat bahwa nilai perusahaan akan dimaksimalkan apabila rasio pembayaran deviden dinaikkan (Weston & Brigham, 2001 : 67). Teori ini menyatakan bahwa investor lebih menyukai penerimaan deviden dari pada capital gain. Sebaliknya Myron Gordon dan John Lintner berpendapat sebaliknya, dimana nilai perusahaan akan turun apabila rasio pembayaran deviden dinaikkan, karena para investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan modal (capital gain) yang akan dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan seandainya mereka menerima deviden. 3. Teori Preferensi Pajak Teori ini beranggapan bahwa investor lebih menyukai pembagian deviden yang rendah daripada yang tinggi. Hal ini disebabkan karena keuntungan modal dari capital gain dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pendapatan deviden. Untuk investor yang memiliki mayoritas saham akan lebih suka jika perusahaan menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba yang akan menaikkan harga saham akan menghasilkan capital gain yang pajaknya lebih rendah dari pendapatan deviden. Menurut Weston dan Copeland (1992) fakor-faktor yang mempengaruhi kebijakan deviden adalah: 1. Undang-undang
Universitas Sumatera Utara
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Undang-undang menentukan bahwa pembayaran deviden harus dari laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yng ada dalam pos laba ditahan (retained earnings) dalam neraca. Peraturan pemerintah menekankan pada tiga hal (1) pengaturan laba bersih, (2) larangan pengurangan modal (capital impairment rule), dan (3) peraturan kepailitan (insolvency rule). Undang-undang ini penting karena merupakan kerangka untuk merumuskan kebijakan deviden. Akan tetapi, dalam batasbatas kerangka tersebut, faktor-faktor keuangan dan ekonomi mempunyai pengaruh yang penting pada kebijakan itu sendiri. Poisis Likuiditas. Laba ditahab tahun-tahun lalu sudah diinvestasikan pada pabrik dan peralatan, persediaan, dan aktiva lainnya; laba tersebut tidak disimpan dalam bentuk kas. Jadi meskipun suatu perusahaan membukukan laba, perusahaan mungkin tidak dapat membayar deviden kas karena posisi likuiditasnya tidak memungkinkan. Kebutuhan untuk Melunaskan Hutang. Apabila perusahaan mengambil hutang untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti jenis pembiayaan lain, perusahaan tersebut mengahadapi dua pilihan. Perusahaan dapat membayar hutang itu pada saat jatuh tempo atau menggantikannya dengan jenis surat berharga yang lain atau perusahaan dapat melunaskannya. Jika keputusannya adalah membayar hutang tersebut, maka ini biasanya memerlukan penyimpanan laba. Larangan dalam Perjanjian Hutang. Perjanjian hutang, khususnya apabila merupakan hutang jangka panjang, sering membatasi kemampuan suatu perusahaan untuk membayar deviden kas. Larangan ini untuk melindungi kedudukan pemberi pinjaman, biasanya menyatakan bahwa (1) deviden pada masa yang akan datang hanya dapat dibayar dari laba sesudah penandatanganan perjanjian hutang (jadi, deviden tidak dapat dibayar dari laba ditahan tahun-tahun lalu), (2) deviden tidak dapat dibayar apabila modal kerja bersih berada dibawah suatu jumlah yang telah ditentukan. Tingkat Ekspansi Aktiva. Semakin cepat aktiva suatu perusahaan berkembang, semakin besar kebutuhannya untuk membiayai ekspansi aktivanya. Kalau kebutuhan dananya di masa depan semakin besar, perusahaan akan cenderung menahan laba daripada membayarkannya. Tingkat Laba. Tingkat hasil pengembalian atas aktiva yang diharapkan akan menetukan pilihan relatif untuk membayar laba tersebut dalam bentuk deviden pada pemegang saham (yang akan menggunakan dana itu pada tempat lain) atau menggunakannya pada perusahaan tersebut. Stabilitas Laba Suatu perusahaan yang mempunyai laba stabil sering dapat memperkirakan berapa besar laba di masa yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya
Universitas Sumatera Utara
cenderung membayarkan laba dengan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang labanya berfluktuasi. 8. Peluang ke Pasar Modal Suatu perusahaan yang besar dan telah berjalan dengan baik, dan mempunyai catatan profitabilitas dan stabilitas laba, akan mempunyai peluang lebih besar untuk masuk ke pasar modal dan bentuk-bentuk pembiayaan eksternal lainnya. Jadi, perusahaan yang sudah mapan cenderung untuk memberikan tingkat pembayaran deviden yang lebih tinggi dari pada perusahaan kecil atau baru. 9. Kendali (Controll) Variabel penting lainnya adalah dampak dari pilihan sumber-sumber keuangan pada kendali situasi perusahaan. Sebagai suatu kebijakan, beberapa perusahaan melakukan ekspansi hanya sampai pada tingkat penggunaan laba internal saja. Pentingnya pembiayaan internal dalam usaha mempertahankan kendali akan memperkecil pembayaran deviden. 10. Posisi Pemegang Saham sebagai Pembayar Pajak Posisi pemegang saham sebagai pembayar pajak sangat mempengaruhi keinginannya untuk memperoleh deviden. Pada saat-saat tertentu akan terjadi konflik kepentingan antara pemegang saham yang terkena tarif pajak tinggi dengan pemegang saham yang terkena tarif pajak rendah. Yang pertama ingin menginginkan pembagian deviden yang rendah dan menahan laba yang tinggi dengan harapan meningkatkan modal saham perusahaan. Sementara yang kedua menginginkan pembagian deviden yang tinggi. Gitosudarmo, (2002 : 227 ) menyatakan terdapat 2 (dua) pendekatan di dalam membahas masalah deviden yaitu : 1. Sebagai Kebijaksanaan Pembelanjaan Jangka Panjang Pendekatan ini berpandangan bahwa semua laba sesudah pajak yang diperoleh perusahaan adalah merupakan sumber dana jangka panjang. Pengumuman atas pembagian laba sebagai deviden berarti pengurangan terhadap sumber dana jangka panjang yang dapat dipergunakan di dalam kegiatan perusahaan. Oleh karena itu pembagian deviden berakibat penekanan terhadap perkembangan usaha. Pendekatan ini berpendapat di dalam membentuk biaya kapital yang rendah didapat dari pembentukan struktur modal yang sebagian besar dana diperoleh dari modal sendiri. 2. Sebagai Kebijaksanaan Untuk Memaksimumkan Nilai Perusahaan Pendekatan ini berpendapat bahwa kebijaksanaan deviden mempunyai pengaruh yang kuat terhadap harga pasar dari saham yang beredar. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk membagikan deviden sebagai realisasi dari harapan investor dalam mengeluarkan uangnya untuk membeli saham tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun semua perusahaan tampaknya hampir sama mempunyai kebijakan untuk membayar deviden dalam jumlah yang stabil, tetapi ini bukan merupakan satusatunya kebijakan. Menurut Weston dan Copeland (1992) ada tiga macam bagan pembayaran deviden yang utama yaitu : 1. Jumlah yang stabil per saham. Kebijakan untuk membayar jumlah yang stabil per saham dilakukan banyak perusahaan, merupakan kebijakan yang disebut kebijakan deviden stabil. 2. Rasio pembayaran konstan. Hanya beberapa perusahaan yang melaksanakan kebijakan deviden berdasarkan persentase tertentu dari laba. Karena laba berfluktuasi, menjalankan kebijakan ini berarti jumlah deviden yang dibagi akan berfluktuasi. Kebijakan ini tidak akan memaksimumkan nilai saham perusahaan karena pasar tidak dapat mengandalkan kebijakan ini untuk memberikan informasi mengenai prospek perusahaan pada saat yang akan datang dan karena kebijakan ini mempengaruhi kebijakan investasi. 3. Deviden tetap yang rendah ditambah deviden ekstra. Kebijakan membayar deviden tetap yang rendah ditambah deviden ekstra merupakan penggabungan antara kebijakan 1 dan 2. Kebijakan ini memberikan fleksibilitas pada perusahaan, tetapi menyebabkan investor sedikit ragu-ragu tentang berapa besarnya pendapatan deviden mereka. Hal yang paling penting dari kebijakan deviden adalah apakah memungkinkan untuk mempengaruhi kekayaan pemegang saham dengan mengubah rasio pembayaran deviden yaitu kebijakan deviden.
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam penetapan besaran deviden yang dibagikan. Namun yang menjadi persoalan adalah mengenai bentuk-bentuk kebijakan deviden yang akan diambil oleh suatu perusahaan. Menurut Awat (1998) dalam Dhailami (2006) ada empat macam bentuk-bentuk kebijakan deviden yaitu : 1. Kebijakan deviden yang stabil (stable devidend-per-share policy), yaitu jumlah pembayaran deviden sama besarnya dari tahun ke tahun. 2. Kebijakan dividend payout ratio yang tetap (constant devidend payout ratio policy). Jumlah deviden akan berubah-ubah sesuai dengan jumlah laba bersih tetapi rasio antara deviden dengan laba ditahan adalah tetap. 3. Kebijakan kompromi (compromize policy), yaitu suatu kebijakan deviden yang terletak antara kebijakan deviden per saham yang stabil dan kebijakan dividend
Universitas Sumatera Utara
payout ratio yang konstan ditambah dengan persentase tertentu pada tahuntahun yang mampu menghasilkan laba bersih yang tinggi. 4. Kebijakan deviden residual (residual devidend policy). Apabila suatu perusahaan mengahadapi suatu kesempatan investasi yang tidak stabil maka manajemen menghendaki agar deviden hanya dibayar ketika laba bersih perusahaan besar. Kebijakan deviden juga dipengaruhi oleh biaya keagenan (agency cost), konflik yang timbul antara pemegang saham dengan dengan manajer perusahaan atau antara pemegang saham dengan pemberi hutang. Hal ini muncul karena manajer hanya mau menanggung sedikit dari biaya yang mereka keluarkan tetapi menikmati manfaatnya secara penuh. Salah satu cara untuk meminimalisasi biaya keagenan ini yaitu dengan membagikan deviden. Pembayaran deviden akan meningkatkan kebutuhan dana eksternal yang lebih besar. Jika ekuitas baru dikeluarkan, maka manajer akan diawasi oleh pemegang saham, manajer investasi, dan calon investor. Kebijakan deviden penting bagi perusahaan dengan dua alasan sebagai berikut :1) pembayaran deviden mungkin akan mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari harga saham perusahaan tersebut, dan 2) laba ditahan biasanya merupakan sumber dana internal yang terbesar dan terpenting bagi pertumbuhan perusahaan. Kebijakan deviden yang optimal adalah kebijakan deviden yang menciptakan keseimbangan di antara deviden saat ini dan pertumbuhan di masa datang sehingga memaksimumkan nilai perusahaan.
2.1.2. Laba Laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode akuntansi dilaporkan dalam laporan keuangan. Laba akuntansi secara operasional didefinisikan sebagai
Universitas Sumatera Utara
perbedaan yang direalisasi dari transaksi periode tertentu dan biaya historis yang sepadan dengannya (Belkoui, 1987). Menurut Harahap (1993) laba akuntansi adalah perbedaan revenue yang direalisasi yang timbul dari transaksi pada periode tertentu dihadapkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tersebut. Laba dianggap sebagai pedoman bagi kebijakan deviden dan penahanan laba (retained earnings). Laba itu diakui sebagai suatu indikator dari jumlah maksimum yang harus dibagikan sebagai deviden dan ditahan untuk perluasan usaha atau diinvestasikan kembali di dalam perusahaan. Namun lantaran adanya perbedaan antara akuntansi akrual dan akuntansi kas, sebuah perusahaan bisa mengakui suatu jumlah laba dan pada saat yang bersamaan tidak memiliki dana untuk membayar deviden. Pengakuan laba itu sendiri tidak menjadi jaminan bahwa deviden akan dibayarkan. Prospek likuiditas dan investasi adalah variabel tambahan yang diperlukan untuk menentukan kebijakan deviden. Informasi utama yang terdapat dalam laporan laba rugi adalah profitabilitas perusahaan yang diperlukan oleh pihak yang berkepentingan sebagai dasar pengambilan keputusan ekonomis. Perhitungan laba rugi mencerminkan kemampuan atau keberhasilan perusahaan sebagai gambaran efisiensi manajemen dalam mengelola perusahaan, membuat proyeksi laba ke depan dan menilai profitabilitas modal yang diinvestasikan oleh pemilik. Beberapa manfaat yang diperoleh dari laporan laba rugi: 1. Membantu para pemakai untuk memperkirakan arus kas masa depan
Universitas Sumatera Utara
2. Menyediakan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi atas kinerja dan pencapaian perusahaan 3. Memberikan informasi tentang kemampuan perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa.
2.1.3. Arus Kas Bebas Aliran kas bebas (free cash flow) aliran kas yang merupakan sisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value (NPV) positif yang didiskontokan pada tingkat bunga yang normal (Jensen, 1986). White et al (1998) mengartikan free cash flow sebagai aliran kas diskresioner yang tersedia bagi perusahaan. Ketika arus kas bebas ini tersedia, manajer disinyalir akan akan menggunakan dana ini untuk investasi yang tidak menguntungkan bagi perusahaan sehingga terjadi inefisiensi dalam perusahaan (Smith dan Kim, 1994). Ross et al (2000) mendefinisikan arus kas bebas (free cash flow) dengan kas perusahaan yang dapat dibagikan kepada kreditur atau pemegeng saham yang tidak digunakan untuk modal kerja (working capital) atau investasi pada asset tetap. Jensen (1986) dalam Erlina (2007) mengemukakan bahwa biaya agensi berkaitan dengan arus kas bebas. Manajemen akan berusaha untuk meningkatkan penggunaan arus kas bebas ini demi kepentingannya atau menggunakan arus kas bebas tersebut untuk melakukan investasi yang tidak memberikan net present value yang positif. Arus kas bebas diwakili oleh rasio arus kas bebas dibagi dengan total aktiva. Semakin kecil rasio ini menunjukkan semakin kecil laba perusahaan digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
membiayai aktiva perusahaan. Menurut Jensen (1986) dalam Erlina (2007), sesuai dengan teori keagenan, apabila perusahaan mempunyai aliran arus kas bebas, manajer perusahaan mendapat tekanan dari pemegang saham untuk membagikannya dalam bentuk deviden. Hal ini dilakukan untuk mencegah pihak manajemen menggunakan arus kas bebas tersebut untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan perusahaan dan cenderung merugikan pemegang saham. Pasar rasional akan mengetahui keberadaan biaya agensi ini dan mereka akan memberikan hukuman pada perusahaan yang mempunyai arus kas bebas ini dengan menurunkan harga saham tersebut (Jensen,1986) dalam Erlina (2007). Manajemen dapat mengurangi biaya agensi yang ditimbulkan sebagai akibat adanya arus kas bebas ini dengan cara membagikan deviden.
2.1.4. Kebijakan Hutang Kebijakan hutang adalah cara bagaimana perusahaan membiayai aktivanya (Weston dan Copeland, 1992). Kebijakan ini dipilih oleh manajemen apabila laba yang dihasilkan ternyata tidak cukup untuk membiayai ekspansi perusahaan. Sumber dana tersebut dapat diperoleh dari dalam perusahaan atau luar perusahaan. Sumber dana dari dalam perusahaan dapat berasal dari laba yang tidak dibagikan atau dari penerbitan saham baru. Sedangkan dari luar perusahaan biasanya dalam bentuk hutang. Apabila perusahaan menggunakan hutang, maka perusahaan tersebut dihadapkan pada dua pilihan. Perusahaan dapat membayar hutang itu pada saat jatuh tempo dan menggantikannya dengan jenis surat berharga lainnya atau perusahaan dapat memutuskan untuk melunasi hutang tersebut. Jika keputusannya adalah untuk
Universitas Sumatera Utara
membayar hutang tersebut, maka ini biasanya memerlukan penyimpanan laba. Dengan demikian, pelunasan hutang perusahaan akan mempengaruhi kebijakan deviden perusahaan dari sisi likuiditas. Penggunaan juga hutang akan mengurangkan aliran kas dalam perusahaan dan akan mengurangkan pemborosan yang dilakukan manajer (Jensen et al, 1992) dalam Erlina (2007). Akan tetapi pembiayaan melalui hutang akan menimbulkan konflik kepentingan antara pemegang saham dengan pemberi hutang. Pemberi hutang khawatir pemegang saham akan mencoba mengambil-alih kekayaan mereka dengan cara meningkatkan risiko mereka melalui pengurangan prioritas, yaitu manajemen akan mendahulukan kepentingan kreditur dari pada membagikan deviden kepada mereka. Oleh karena itu Miller dan Modigliani (1969) tidak menyarankan perusahaan menggunakan
hutang
sebanyak-banyaknya.
Cruthley
dan
Hansen
(1989)
mengemukakan bahwa peningkatan rasio pembayaran deviden akan menguras cash flow perusahaan yang mengakibatkan mencari pendanaan dari luar perusahaan dalam hutang.
2.2.
Review Penelitian Terdahulu Berikut ini beberapa penelitian terdahulu yang menjadi pembanding peneliti
dalam melakukan penelitian. Tabel 2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu No 1.
Nama Peneliti dan Tahun Setianingsih (2003)
Judul Penelitian
Variabel Hasil Penelitian Penelitian Pengaruh Laba dan Laba, arus kas, Laba dan arus kas Arus Kas Terhadap kebijakan deviden secara signifikan Kebijakan Deviden mempengaruhi kebijakan deviden.
Universitas Sumatera Utara
2
Travlos (2001)
et
al Shareholders wealth effects of devidend policy changes in an emerging stock market: the case in Lanjutan Tabel 2.1 Cyprus 3 Anand (2004) Factors influencing devidend policy decisions of corporate India
Microstucture of market, tax regimes, dan controrl environment, devidend policy Dinamyc-static devidend policy ,information signalling, clientele effect and investors’ preference for devidends
Kebijakan deviden secara singnifikan dipengaruhi variabel independen
3
Adelegan (2001)
EAT, economic policy changes, growth potentials, long term debt, and devidend polic.
Kebijakan deviden secara signifikan dipengaruhi oleh variabel independen
4
Elston (2002)
Instutional ownership, agecy costs, and deviden policy
5
Mahadwartha (2002)
Interdependensi antara kebijakan leverage dengan kebijakan deviden: perspektif teori keagenan.
6
Suharli (2007)
7
Risanty (2004)
Pengaruh profitabilitas dan investment opportunity set terhadap kebijakan deviden tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat Hubungan Investment Oppurtunity Set dengan Kebijaksanaan deviden dan Struktur Modal Perusahaan.
et
The impact of growth prospect, leverage, and firm size on devidend behaviour of corporate firms in Nigeria al Institutional ownership, agency costs, and devidend policy
Kebijakan deviden secara signifikan dipengaruhi oleh variabel independen
Kebijakan deviden secara signifikan dipengaruhi oleh kepemilikan instusional dan agency costs Kebijakan Kebijakan deviden leverage, mempunyai yang kebijakan deviden hubungan positif dengan kebijakan leverage dalam perspektif teori keagenan. Profitabilitas, Kebijakan deviden investmen dipengaruhi oppurtunity set, profitabilitas, likuiditas, investmen kebijakan deviden opportunity set dan diperkuat oleh likuiditas perusahaan. Indikator Tidak terdapat investasi, hubungan antara kebijakan investment deviden, oppturtinty set kebijakan kebijakan struktur dengan modal. deviden.
Universitas Sumatera Utara