BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Plak Gigi Plak gigi merupakan deposit lunak terdiri atas kumpulan bakteri yang
melekat pada permukaan gigi dan permukaan keras lainnya dalam rongga mulut termasuk pada restorasi cekat dan lepasan. Satu gram plak terdapat 2x1011 bakteri (Newman,et al, 2002; Lindhe et al, 2003; Reddy, 2008 ). Akumulasi plak dapat menyebabkan karies gigi, gingivitis, periodontitis, infeksi peri-implan, dan stomatitis (Lindhe et al, 2003). Kontrol plak merupakan tindakan untuk menghilangkan plak pada gigi. Kontrol plak yang baik dapat menghilangkan plak, mencegah karies, dan mencegah penyakit periodontal (Newman et al, 2002).
2.1.1 Struktur dan Komposisi Plak Plak gigi diklasifikasikan menjadi plak supragingiva dan plak subgingiva. Plak supragingiva terletak di atas margin gusi. Plak supragingiva dapat dilihat dengan mengaplikasikan disclosing solution pada gigi (Reddy, 2008). Bakteri pertama yang berakumulasi pada plak supragingiva adalah bakteri gram positif seperti Streptococcus sp., Actinomyces sp. Plak subgingiva terletak di bawah margin gingiva di antara jaringan keras gigi dan sulkus gusi. Bakteri gram negatif anaerob terdapat pada plak subgingiva seperti Porphyromonas spp. (Newman et al, 2002; Wolf and Hassel, 2006). Plak subgingiva dapat dibedakan menjadi tiga
8
9
yaitu plak subgingiva di gigi (tooth-associated subgingival plaque), plak subgingiva
yang
berhubungan
dengan
epitelium
(epithelium-associatied
subgingival plaque), dan plak subgingiva yang berhubungan dengan jaringan ikat (connective tissue-associated subgingival plaque). Plak di gigi berperan dalam pembentukan karang gigi. Plak pada jaringan epitelium dapat menimbulkan gingivitis dan periodontitis. Plak pada jaringan ikat berperan dalam kerusakan jaringan periodontal (Reddy et al, 2008.) Berat kering plak 70% adalah bakteri (Marsh and Bradshaw, 1995). Komposisi utama plak merupakan mikroorganisme lebih dari 500 bakteri ditemukan di dalam plak. Mikroorganisme non-bakteri juga ditemukan dalam plak seperti Mycoplasma sp., jamur, protoza, dan virus. Mikroorganisme terdapat dalam matriks interseluler yang berasal dari saliva, cairan sulkus, dan produk bakteri. Matriks interseluer membentuk 20-30% massa plak terdiri atas bahan organik dan anorganik. Bahan organik pembentuk matriks intraseluler antara lain polisakarida, protein, glikoprotein, dan lemak. Bahan anorganik pembentuk matriks antara lain kalsium, fosfor, serta sejumlah mineral seperti sodium, potasium, dan fluor (Newman, 2002).
2.1.2 Pembentukan Plak Gigi Proses pembentukan plak terjadi segera setelah gigi dibersihkan dan mencapai ketebalan maksimal dalam waktu 90-120 menit. Dua jam kemudian pelikel di permukaan lingual mencapai ketebalan 20-80 nm dan di bagian bukal mencapai 200-700 nm. Plak pada permukaan yang terlindungi seperti di fisur dan
10
proksimal akan lebih tebal dibandingkan plak pada permukaan lainnya. Lokasi dan laju pembentukan plak setiap individu berbeda dipengaruhi oleh faktor kebersihan mulut, makanan host, komposisi saliva host, serta laju aliran saliva (Newman, 2002; Marsh and Bradshaw, 1995). Plak terbentuk dalam tiga tahap yaitu sebagai berikut : 1) Pembentukan pelikel gigi Tidak lama setelah gigi dibersihkan terbentuk lapisan pada permukaan gig yang disebut pelikel. Pelikel terbentuk dari glikoprotein saliva, phosphoprotein dan lipid, termasuk statherin, amylase, proline-rich peptidase (PRPs), komponen pertahanan host, dan produk bakteri seperti glukosiltransferase dan glukan yang berperan dalam perlekatan bakteri (Marsh and Martin, 2009). Mekanisme yang terjadi pada pembentukan pelikel yaitu elekrostatik, van der Waals, dan tekanan hidrofobik. Pelikel berfungsi sebagai lapisan pelindung, membasahi permukaan, dan mencegah pengeringan jaringan (Newman, 2002). 2) Kolonisasi awal pada permukaan gigi Bakteri gram positif membentuk kolonisasi awal pada permukaan pelikel gigi. Koloni bakteri pertama dibentuk oleh Streptococcus spp., bakteri lainnya yang membentuk koloni yaitu Actinomyces spp. Protein adhesin bakteri berinteraksi dengan reseptor
pada
pelikel
sehingga mampu
melekatkan bakteri.
Actinomyces viscosus memiliki protein adhesin pada permukaan sel bakteri yang akan berinteraksi dengan proline-rich proteins pada pelikel menghasilkan perlekatan bakteri dengan pelikel gigi (Newman, 2009). Mekanisme lainnya dalam perlekatan bakteri yaitu interaksi protein bakteri yang menyerupai lektin
11
dengan karbohidrat atau oligosakarida pada permukaan gigi (Marsh and Martin, 2009). 3) Kolonisasi sekunder dan pematangan plak Bakteri pada plak mampu melekatkan bakteri lainnya melalui interaksi antar sel proses ini disebut koagregasi. Contoh koagregasi terjadi antara Streptococcus dan Veilonella spp (Marsh and Martin, 2009). Bakteri gram negatif pembentuk kolonisasi sekunder yaitu Prevotella intermedia, Prevotella loeschii,
Capnocytophaga
spp.,
Fusobacterium
nucleatum,
dan
Porphyromonas gingivalis (Newman, 2002). Kolonisasi awal bakteri koagregasi dengan F. Nucleatum, kolonisasi bakteri lainnya seperti Eubacterium spp. tidak akan koagregasi dengan kolonisasi bakteri awal tetapi dengan F. Nucleatum. F. Nucleatum berperan sebagai jembatan koagregasi antara kolonisasi awal dan sekunder. Perlekatan dan multiplikasi bakteri pada plak memengaruhi pertumbuhan plak (Marsh and Martin, 2009). Proses pematangan plak terjadi bersamaan dengan pertambahan massa plak, pertumbuhan bakteri, kolonisasi bakteri, dan pertumbuhan kolonisasi lainnya. Bakteri pada plak yang telah matang semakin beragam. Terjadi perubahan lingkungan aerob dengan bakteri gram positif fakultatif menjadi lingkungan miskin oksigen yang didominasi bakteri gram negatif anaerob (Marsh and Martin, 2009; Newman, 2002).
12
2.1.3 Penyakit Akibat Plak Plak terbentuk secara alami pada permukaan gigi, jika tidak dibersihkan secara baik plak akan menetap dan massa plak akan terus bertambah. Massa plak bertambah sehingga sifat antimikroba dalam saliva tidak dapat melindungi enamel gigi. Plak yang tidak dibersihkan dapat menyebabkan karies atau penyakit periodontal seperti gingivitis dan periodontitis. (Marsh and Bradshaw, 1995). Bakteri Sterptococcus mutans pada plak menyebabkan karies pada permukaan enamel.
S. mutans menghasilkan enzim glukosiltransferase yang
dapat memecah karbohidrat menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa diubah menjadi dekstran yang lekat dan tidak larut air, mampu melekatkan S. mutans dan bakteri lain ke permukaan gigi. Fruktosa diubah menjadi levan yang cepat dimetabolisme menjadi asam laktat. Asam laktat menimbulkan penurunan pH sehingga terjadi demineralisasi hidroksiapatit email gigi (Marks, 2000). Gingivitis terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama gingivitis berkembang dalam empat hari pertama akumulasi plak. Reaksi inflamasi ditandai dengan meningkatnya cairan sulkus gusi dan migrasi polymorphonuclear leucocyte ke dalam sulkus gusi. Sekitar 5-10% infiltrasi sel inflamatori mencapai jaringan ikat gingiva. Tahap kedua terjadi setelah tujuh hari akumulasi plak. Lingkungan plak menjadi lingkungan miskin oksigen didominasi bakteri Actinomyces spp. dan Capnocytophaga spp. Infiltrasi ke dalam gingiva pada tahap ini didominasi oleh limfosit (75%) dan makrofag, serta beberapa sel plasma. Infiltrasi sel inflamatori 15% mencapai jaringan ikat gingiva disertai kerusakan kolagen. Gejala awal gingivitis seperti kemerahan, gusi berdarah, dan edema. Tahap ketiga terjadi
13
ditandai dengan pembentukan poket bersamaan dengan pertumbuhan bakteri subgingival seperti Porphyromonas gingivalis dan Prevotella intermedia (Bagg et al, 2002). Periodontitis ditandai dengan hilangnya perlekatan jaringan ikat dan jaringan pendukung gigi. Produk bakteri gram negatif anaerob pada plak subgingival dapat menimbulkan periodontitis. Lipopolisakarida, leukotoksin, IgA dan IgG protease, sitotoksin, dan enzim kolagenase merupakan produk bakteri yang dapat merusak jaringan pendukung gigi (Bagg et al, 2002).
2.1.4 Faktor Pertumbuhan Bakteri Rongga Mulut Pertumbuhan bakteri rongga mulut dipengaruhi beberapa hal antara lain makanan, saliva, dan faktor host. Makanan pertama kali dipecah oleh enzim saliva. Fermentasi karbohidrat seperti sukrosa, maltosa, laktosa, dan glukosa dapat meningkatkan pembentukan plak dan akumulasi produk bakteri seperti asam organik dan dekstran. Makanan yang tertinggal pada gigi dapat dimetabolisme bakteri, sehingga bakteri dapat tumbuh serta menghasilkan produk bakteri seperti asam laktat (Bagg et al, 2002). Saliva berperan mengatur pH rongga mulut. Perubahan laju alir saliva memengaruhi konsentrasi bikarbonat, urea, amonium, kalsium, dan ion fosfat yang berperan menjaga keseimbangan mineralisasi dan demineralisasi. Saliva mengandung faktor pertumbuhan seperti glikoprotein, protein, dan mineral yang dapat melekatkan bakteri dan dimetabolisme bakteri (Bagg et al¸2002).
14
Faktor lainnya dalam pertumbuhan bakteri rongga mulut antara lain penyakit sistemik, penggunaan antibiotik, dan kemoterapi. Tindakan kontrol plak dilakukan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri dengan membersihkan rongga mulut melalui penyikatan gigi, penggunaan obat kumur, dan penggunaan benang gigi (Bagg et al, 2002).
2.1.5 Tindakan Kontrol Plak Kontrol plak dapat mengurangi massa plak, mengurangi jumlah bakteri, pencegahan terhadap karies dan penyakit periodontal. Tindakan kontrol plak dapat dilakukan dengan cara mekanis dan kimiawi (Collins, 2008). Cara mekanis membersihkan plak gigi dilakukan menggunakan sikat gigi, benang
gigi,
dan
sikat
interdental.
Penyikatan
gigi
dilakukan
untuk
menghilangkan plak di permukaan gigi. Permukaan bukal, labial, oklusal, dan lingual disikat untuk menghilangkan plak di gigi. Sikat gigi tidak dapat mencapai permukaan interdental sehingga diperlukan alat bantu untuk membersihkan plak interdental. Benang gigi dan sikat interdental digunakan untuk membersihkan plak interdental. Plak subgingival yang lebih dalam dibersihkan dengan scaling (Collins, 2008; Newman, 2002). Bahan kimia digunakan untuk mengurangi jumlah bakteri pada biofilm, mengurangi jumlah bakteri patogen, dan menghambat adhesi bakteri pada permukaan gigi. Fluoride, chlohexidine, zinc citrate, dan triclosan digunakan sebagai obat kumur dan pasta gigi. Triclosan mengurangi plak dan gingivitis, serta mencegah penyakit periodontal. Chlorhexidine mencegah pembentukan plak
15
dan gingivitis (Collins, 2008). Tindakan kontrol plak sebaiknya disertai dengan mengurangi asupan gula (Marsh and Bradshaw, 1995).
2.2
Gula Tebu
2.2.1 Deskripsi Tanaman Tebu Tebu merupakan tanaman perdu dengan nama latin Saccharum officinarum. Tanaman tebu memiliki batang yang beruas-ruas, diameter batang 3-5 cm, dan tinggi batang 2-5 meter. Akar tanaman tebu termasuk akar serabut. Daun tebu berbentuk menyerupai busur panah (Chandra dkk, 2010). Berdasarkan taksonomi tanaman tebu diklasifikasikan sebagai berikut : (Chandra dkk, 2010) Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledone
Ordo
: Graminales
Famili
: Graminae
Genus
: Saccharum
Species
: Saccharum officanarum
2.2.2 Pengolahan Tebu Menjadi Gula Tanaman tebu diolah terlebih dahulu dipabrik sebelum menjadi gula pasir. Tebu diolah menjadi gula melalui proses pemerahan (gilingan), pemurnian, penguapan, pemisahan, dan penyelesaian (Kuswurj, 2011).
16
Batang tebu dipotong menjadi beberapa bagian kemudian digiling sehingga menghasilkan nira dan ampas. Nira diolah lebih lanjut menjadi gula, sedangkan ampas digunakan sebagai bahan bakar, bahan partikel furfural, xylitol, dan produk lainnya. Nira yang diperoleh mengandung kandungan gula yaitu sukrosa dan gula invert (glukosa dan fruktosa), serta kandungan bukan gula yaitu asam organik dan anorganik, zat warna, lilin, dan asam kieselgur (Kuswurj, 2011). Zat bukan gula dipisahkan melalui proses pemurnian. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fisis melalui penyaringan, dan kimiawi melalui pemanasan dan pemberian bahan pengendap. Akhir proses pemurnian terbentuknya nira jernih dan endapan (Kuswurj, 2011). Proses selanjutnya yaitu penguapan nira jernih. Langkah ini bertujuan meningkatkan konsentrasi nira jernih mendekati konsentrasi jenuh. Kandungan air pada nira akan berkurang pada proses penguapan (Kuswurj, 2011). Proses kristalisasi untuk mendapatkan kristal gula. Setelah kristal gula diperoleh dilakukan pemisahan. Proses pemisahan menghasilkan kristal gula dengan sedikit kandungan air (Kuswurj, 2011).
2.2.3 Pengaruh Sukrosa Terhadap Gigi Gula tebu digunakan dalam bentuk gula pasir. Hampir 99% pembentuk gula tebu berupa sukrosa. Sukrosa merupakan molekul disakarida terbentuk atas dua molekul yaitu glukosa dan fruktosa (Irawan, 2007). Konsumsi sukrosa yang tinggi menyebabkan tingginya kejadian karies (Pinkham, 1999).
17
Sukrosa
dipecah
oleh
enzim
ekstraseluler
(glukosiltransferse
dan
fruktosiltransferase) menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa dan fruktosa dipecah menjadi glukan dan fruktan. S. mutans menghasilkan tiga jenis GTf yaitu GTfB dan GTfC untuk menyintesis glukan larut dan tak larut, GTfD sebagai primer GTfB untuk meningkatkan sintesis ekstraseluler polisakarida (EPS). Glukan memfasilitasi perlekatan bakteri ke permukaan gigi, sehingga berperan dalam pembentukan plak (Ismail et al, 2006; Jeon et al, 2011). Fruktan berperan sebagai tempat melekatnya S. mutans serta sebagai cadangan makanan bakteri. Hasil metabolisme sukrosa oleh S. mutans berupa asam yang dapat menyebabkan demineralisasi enamel (Jeon et al, 2011). Penelitian Hasnor (2006) menemukan bahwa sukrosa berperan dalam perkembangan plak. Konsumsi tinggi sukrosa berpengaruh terhadap perubahan struktur dan komposisi matriks plak (Cury et al, 2001).
2.3
Gula Stevia
2.3.1 Deskripsi Stevia rebaudiana Stevia rebaudiana merupakan tanaman dari famili Asteraceae, berbentuk perdu dengan tinggi 60-90 cm, bercabang banyak, berdaun tebal, dan berbentuk lonjong memanjang, batang kecil ramping dan berbulu. Bunga stevia merupakan bunga sempurna (hermaphrodite) mahkota bunga berbentuk tabung. Tanaman stevia memiliki akar serabut yang terbagi menjadi dua bagian yaitu akar halus dan akar tebal. Stevia disebut juga caa-ehe, azuca-caa, kaa-he-e, dan ca-a-yupe (Rukmana, 2003; Markovic et al, 2007).
18
Tanaman stevia ditemukan di pegunungan Amambay, Paraguay. Daun stevia telah digunakan sebagai bahan pemanis sejak ratusan tahun yang lalu di Paraguay. Stevia dikembangkan di Jepang dan negara Asia seperti Malaysia, Filipina, Taiwan, dan RRC beberapa tahun kemudian. (Khalida, 2010; Midmore and Rank, 2002). Gula stevia merupakan gula bebas kalori. Stevia digunakan sebagai pemanis buatan pengganti sukrosa, aspartam, dan siklamat. Stevia 70–400 kali lebih manis dari sukrosa, tahan terhadap pemanasan hingga 198°C, dan tahan terhadap asam (Midmore and Rank, 2002). Gula stevia telah digunakan dalam pembuatan kue, biskuit, minuman, pasta gigi, dan obat kumur (Midmore and Rank, 2002).
Gambar 2.1 Tanaman Stevia (Madan et al, 2010)
19
2.3.2 Taksonomi Stevia rebaudiana Berdasarkan taksonomi tanaman stevia diklasifikasikan sebagai berikut (Rukmana, 2008) : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Subdivisi
: Angiospermae
Ordo
: Campanulatae
Famili
: Compositae
Genus
: Stevia
Spesies
: Stevia rebaudiana Bertoni M. sin Euparotium rebaudianum
2.3.3 Proses Pengolahan Gula Stevia Tanaman stevia digunakan sebagai bahan pemanis alami pengganti sukrosa, aspartam, dan siklamat. Daun stevia dikeringkan terlebih dahulu sebelum diolah. Daun stevia dapat dikeringkan dengan dua cara yaitu dijemur dan menggunakan mesin pengering. Lembaran daun yang tipis dijemur selama 9-10 jam untuk mengurangi kandungan air sekitar 80%. Waktu pengeringan yang lebih cepat menghasilkan kualitas daun kering yang lebih baik. Daun stevia akan rusak oleh oksidasi serta kehilangan satu per tiga kandungan steviosida jika dikeringkan terlalu lama (Midmore and Rank, 2002).
20
Daun stevia kering dapat digunakan sebagai bahan pemanis, tetapi menimbulkan warna hijau pada makanan atau minuman, meninggalkan endapan daun kering, serta berbau daun kering. Daun stevia kering diproses menjadi bentuk kristal untuk menghilangkan bau dan warna (Midmore and Rank, 2002). Proses pertama setelah pengeringan daun yaitu pelarutan daun dalam air mendidih. Perebusan dapat menghilangkan 93-98% steviosida, sehingga dilakukan pemurnian dan pemisahan glikosida. Resin adsorption dan pertukaran ion dilakukan pada proses tersebut. Filtrasi dilakukan hingga terjadi pengendapan, kemudian dilakukan kristalisasi dan pengeringan (Midmore and Rank, 2002).
2.3.4 Kandungan Gula Stevia Bahan aktif pada Stevia rebaudiana berupa glikosida diterpen. Senyawa lain pada S. rebaudiana antara lain flavonoid, tanin, monoterpene, sesquiterpene (Abou-Arab et al, 2010; Markovic et al, 2007). Senyawa lainnya yaitu protein, serat, karbohidrat, fosfor, besi, kalsium, zinc, vitamin C, vitamin A (Elkins, 1997). 1) Glikosida diterpern Glikosida merupakan senyawa organik yang tersusun atas senyawa gula (glikon) dan senyawa bukan gula (aglikon). Senyawa aglikon stevia berupa golongan diterpen yaitu steviol. Steviol merupakan senyawa yang terhidrolisis dari kaurenoic acid (Madan et al, 2010). Senyawa glikosida memberikan rasa manis pada stevia. Empat komponen utama glikosida antara lain dulcoside, steviosida, rebaudiosia A dan C. Steviosida 110-270 kali lebih manis dari sukrosa, rebaudiosida A 150-320
21
kali lebih manis, rebaudiosida C 40-60 kali lebih manis, dan dulcoside 30 kali lebih manis (Brandle et al, 1998).
Gambar 2.2 Struktur kimia komponen glikosida Stevia rebaudiana (Madan et al, 2010) 2) Senyawa terpenoid Terpenoid merupakan derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari senyawa terpen. Senyawa terpen berupa molekul isopren dengan rumus molekul (C5H8)n. Struktur kimia terpenoid merupakan penggabungan isoprena berupa kerangka karbon dua atau lebih satuan C5. Senyawa terpenoid pada stevia berupa diterpenoid, monoterpenoid, dan sesquiterpeneoid (Najib, 2009). Monoterpenoid merupakan senyawa yang dibangun oleh dua unit isopren terdiri dari 10 atom karbon. Senyawa monoterpenoid dimanfaatkan sebagai antiseptik, ekspektoran, dan penambah aroma makanan (Najib, 2009). Monoterpen yang terkandung dalam stevia antara lain linalool, tirpenen-4-ol, dan α-tirpeneol (Brandle et al, 1998). Diterpenoid merupakan senyawa yang tersusun oleh empat unit isopren terdiri atas 20 atom karbon. Diterpenoid memiliki bioaktifitas sebagai inhibitor tumor, anti karsinogen, dan senyawa
22
pemanis (Najib, 2009). Senyawa diterpenoid dalam stevia berupa jhanol, austroinullin, 6-O-acetylaustroinulin, dan 7-O-acetylaustroinulin (Brandle et al, 1998). Sesquiterpentoid merupakan senyawa yang tersusun oleh tiga unit isopren terdiri atas 15 atom karbon. Sesquiterpenoid memilki bioaktifitas sebagai antimikroba, antibiotik, dan pemanis (Najib, 2009). Senyawa sesquiterpenoid pada stervia antara lain β-caryophyllene, trans-β-farnesene, α-humulene, δ-cadinene, caryophyllene oxide, dan nerolidol (Brandle et al, 1998). 3) Senyawa fenol Fenol merupakan senyawa dengan gugus –OH yang berikatan dengan cincin aromatik. Fenol diklasifikasikan kedalam senyawa larut air dan senyawa tidak larut air. Senyawa yang tidak larut dalam air antara lain tanin dan lignin. Senyawa fenol larut air yaitu flavonoid, asam fenoleat, phenylpropanoid, dan quinone (Rispail, 2005). Flavonoid dan tanin merupakan senyawa fenol yang terkandung pada Stevia rebaudiana. Senyawa flavonoid dalam stevia antara lain apigenin, luteolin, kaempferol, quercetin, dan trimethoxyflavone (Brandle et al, 1998). Flavonoid bermanfaat sebagai anti-oksidan dan antibakteri. Apigenin efektif membunuh bakteri gram positif, sedangkan quercetin efektif membunuh bakeri gram negatif (Akroum et al, 2010). Flavonoid mampu merusak dinding sel bakteri termasuk sel S. mutans. Tanin membunuh bakteri dengan mengikat protein bakteri (proline rich protein), mengikat adhesin, dan merusak membran sel (Jeon et al, 2010; Prasad et al, 2012).
23
2.3.5 Manfaat Gula Stevia Kandungan kimia pada gula stevia memberikan kegunaan dan manfaat bagi tubuh, antara lain: 1) Bahan pemanis pengganti gula tebu Gula stevia 30-40 kali lebih manis dari gula tebu serta tidak mengandung kalori. Satu sendok teh gula stevia setara dengan satu cangkir gula tebu. Gula stevia digunakan sebagai pemanis makanan karena stabil terhadap temperatur tinggi dan pada pH 3-9. Gula stevia tidak menyebabkan karies gigi sehingga para peneliti menganjurkan penggunaan gula stevia (Goyal et al, 2010; Madan et al, 2009). 2) Stevia sebagai antiinflamasi Steviosida memiliki manfaat sebagai antiinflamasi. Steviosida dapat menekan lipopolisakarida (LPS) sehingga menghambat pengeluaran TNF-α dan IL-1β. Steviosida
efektif
meningkatkan
aktifitas
fagositik,
titer
antibodi
hemaglutinasi, dan reaksi hipersentivitas (Madan et al, 2009). 3) Stevia sebagai antioksidan Senyawa fenol pada stevia dapat melindungi tubuh dari radikal bebas, sehingga berperan sebagai antioksidan (Abou-Arab et al, 2010). 4) Stevia menurunkan gula darah dan tekanan darah. Steviosida dapat menurunkan tekanan darah dan kadar gula darah. Steviosida meningkatkan sekresi insulin melalui sel-β. Rebaudiosida A juga dapat menstimulasi sekresi insulin (Madan et al, 2010).
24
5) Stevia sebagai antibakteri Stevia mengandung flavonoid, tanin, dan terpenoid. Senyawa tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan merusak permeabilitas dinding sel, menghambat sintesis protein atau metabolisme asam nukleat, dan menghambat aktivitas enzim (Jeon et al, 2011). Berdasarkan penelitian Esmat A. Abou dan Ferial M. Abu Salem (2010) stevia dapat menghambat aktivitas bakteri L. monocytogenes, S. aureus, P. aeruginos, B. cereus, E. coli. Stevia dapat juga menghambat aktivitas bakteri S. mutans (Sichani et al, 2012). 6) Stevia menghambat pembentukan plak dan mencegah karies Bahan pemanis gula stevia tidak menyebabkan karies serta dapat menghambat pembentukan plak. Berdasarkan penelitian Das pada tahun 1992 steviosida dan rebaudiosida A tidak dapat difermentasikan bakteri rongga mulut sehingga tidak menyebabkan lubang pada gigi (Sichani et al, 2012). Penelitian Mohammadi et al (2012) menemukan adanya daya hambat bakteri ekstrak stevia terhadap S. mutans dengan zona hambat bakteri ekstrak aseton 28,7 mm, ekstrak etanol 27 mm, dan methanol 21,3 mm. Tanin dapat berikatan dengan protein bakteri sehingga menghambat sintesis protein, mengganggu permeabilitas sel, dan menghambat perlekatan S. mutans pada pelikel. Flavonoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. mutans dengan merusak dinding sel, selain itu kombinasi flavonoid dan terpenoid dapat merusak akumulasi cadangan energi bakeri berupa intracellular iodophilic polysaccharide (IPS) pada plak (Jeon et al, 2011).
25
Tabel 2.1 Perbedaan daya antimikroba S. rebaudiana terhadap S. mutans (M. Mohammadi et al, 2012) Konsentrasi (mg/ml) Ekstrak
100
50
25
12,5
6,25
Acetone
28.7±2.8 22.8±2.2 21.5±2.4 20.0±1.2 17.0±1.2
16.3±0.9
Ethanol
27.0±0.8 26.5±1.3 23.2±0.9 19.2±0.9 17.8±1.0
16.3±0.9
Methanol 21.3±2.2 17.5±0.5 13.8±0.9 12.5±0.6 10.3±0.5
2.4
3,13
-
Peran Karbohidrat dalam Pembentukan Plak Gigi Karbohidrat merupakan senyawa yang terbentuk dari molekul karbon,
hidrogen, dan oksigen. Karbohidrat terdiri atas dua jenis yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks. Disakarida merupakan kabohidrat sederhana yang banyak digunakan dalam kebutuhan sehari-hari. Disakarida tersusun atas dua molekul monosakarida, contoh disakarida yang banyak digunakan dalam kebutuhan sehari-hari adalah sukrosa (Irawan, 2007). Sukrosa, glukosa, dan fruktosa merupakan karbohidrat yang kariogenik. Sukrosa merupakan salah satu penyebab utama karies karena tingginya tingkat konsumsi sukrosa. Rata-rata konsumsi sukrosa di negara berkembang sebanyak 40-60 kg/orang/tahun (Bagg, 2006; Roberts and Wright, 2011). Sukrosa merupakan sukrosa yang paling kariogenik. Sukrosa dimetabolisme bakteri menjadi glukosa dan frukotosa. Enzim glukosiltransferase menyintesis glukosa menjadi glukan. Glukan berperan dalam perlekatan bakteri, pembentukan matriks plak, pengangkutan metabolit dan bufer saliva ke dalam plak, produksi
26
asam sebagai hasil metabolisme terhadap glukan. Fruktosiltransferase menyintesis fruktosa menjadi fruktan membentuk cadangan energi bagi bakteri lain (Marsh et al, 2009; Rajendran and Sivapathasundharam, 2009; Thomas and Glade, 2010). S. mutans memetabolisme karbohidrat menghasilkan asam sehingga menurunkan pH rongga mulut. Asam yang dihasilkan dapat menimbulkan demineralisasi enamel sehingga menimbulkan karies gigi. Produksi asam tersebut dapat memengaruhi sifat dan komposisi bakteri plak gigi. Bakteri yang melekat pada glukan mampu melekatkan bakteri lainnya sehingga terjadi peningkatan jumlah koloni bakteri disertai peningkatan massa plak. Akumulasi bakteri pada plak dapat menimbulkan karies dan penyakit periodontal. Frekuensi dan jumlah asupan karbohidrat dapat memengaruhi pembentukan plak (Bagg et al, 2002; Chandra et al, 2007; Cury et al, 2001; Rajendran and Sivapathasundharam, 2009; Walsh, 2006) Mengurangi asupan sukrosa dapat mengurangi jumlah plak dan mencegah penyakit yang diakibatkan plak. Mengganti gula sukrosa dengan gula yang tidak difermentasi dapat menurunkan plak gigi (Marsh, 2009; Walsh, 2009). Tindakan kontrol plak disertai mengganti gula yang tidak difermentasi lebih efektif menurunkan plak gigi (Marsh and Bradshaw, 1995).