3
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Aliran Permukaan Aliran permukaan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir
diatas permukaan tanah menuju sungai, danau, dan lautan (Asdak, 1995). Menurut Arsyad (2010), aliran permukaan adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran permukaan terjadi apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, dalam hal ini tanah telah jenuh air. Sifat aliran permukaan seperti jumlah atau volume, laju atau kecepatan, dan gejolak aliran permukaan menentukan kemampuannya dalam menimbulkan erosi. Besaran aliran permukaan dinyatakan dalam satuan mm (Haridjaja dkk, 1991). Pengendalian aliran permukaan (overland flow) dilakukan dengan mengurangi kekuatan alirannya sehingga tidak menyebabkan kerusakan tanah. Peningkatan peresapan air sebaiknya dilakukan secara in situ sehingga tidak terjadi akumulasi aliran permukaan pada lereng bawah (daerah yang lebih rendah). Selain itu, perlu pengaturan penggunaan lahan dan penataan ruang kawasan: 1. Zona konservasi sepanjang jalur aliran sungai. 2. Zona konservasi di areal sumber mata air. 3. Zona konservasi lahan berlereng curam. 4. Pengaturan
penggunaan
lahan
(penatagunaan
lahan)
dengan
mengoptimalkan penggunaan lahan dan mempertahankan penggunaan lahan hutan pada kawasan yang diperlukan. Koefisien aliran permukaan menunjukkan pengaruh penggunaan lahan, tanah, lereng, dan potensial aliran permukaan. Penggunaan lahan di wilayah urban yang menyebabkan pemadatan tanah dan pembuatan lapisan kedap di permukaan tanah akan menghasilkan koefisiensi aliran permukaan yang lebih besar. Nilai C sangat tergantung pada intensitas hujan. Jika intensitas hujan rendah, maka koefisien aliran permukaannya rendah. Sebaliknya, jika intensitas hujan tinggi, maka koefisien aliran permukaannya tinggi. Selain itu, nilai C sangat dipengaruhi laju infiltrasi dan penutupan lahan.
4
2.2.
Kualitas Air Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur atau diuji berdasarkan
parameter dan metode tertentu. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiah (Anonim, 2001). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan yang dapat diamati secara visual. Beberapa yang termasuk dalam parameter fisik adalah kekeruhan, kandungan partikel atau padatan, warna, rasa, bau, suhu, dan sebagainya. Kualitas air permukaan dapat berubah sesuai interaksinya dengan kondisi lingkungan dan kegiatan di sekitarnya. Beberapa penyebab perubahan kualitas air permukaan adalah: 1. Masuknya materi Masukan materi polutan ke dalam air permukaan selalu menyebabkan perubahan kualitas air. Walau demikian, masukan polutan tersebut tidak selalu dapat dikatakan menyebabkan pencemaran air. Pencemaran air baru terjadi jika masukan polutan menyebabkan mutu air turun sampai ke tingkat yang menyebabkan fungsinya terhambat. Misalnya, sampai ke tingkat dimana perkembangbiakan flora dan fauna air terganggu, atau pemanfaatannya sebagai sumber air bersih terhalangi. Untuk mempermudah penilaian tercemar atau tidaknya air permukaan, maka dapat membandingkan kualitas air dengan Baku Mutu Kualitas Air (BMKA). Jika konsentrasi dari suatu polutan sudah melampaui nilai baku mutu, maka air tersebut sudah tercemar. Sumber-sumber pencemaran lain seperti jalan raya disebabkan oleh lalu lintas dan drainase jalan raya. Kendaraan menghasilkan Pb yang berdampak buruk bagi lingkungan jika kadarnya melebihi ambang batas. Menurut Lind and Karro (1995), konsentrasi Zn, Pb, dan Cu pada tanah dari daerah perkotaan yang memiliki kondisi jalan yang ramai sebesar 2-8 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah pedesaan yang alami. Begitu juga, konsentrasi logam pada daerah infiltrasi air permukaan rata-rata 200% lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan alami.
5
2. Asupan panas Biasanya disebabkan oleh buangan air limbah dari sumber‐sumber pertukaran panas. Asupan panas akan meningkatkan suhu air. Walau demikian, peningkatan suhu air belum tentu akan menimbulkan gangguan berarti bagi kehidupan air atau pemanfaatan air. 3. Pengambilan air Biasanya untuk kepentingan pengolahan air bersih, baik bagi kepentingan umum maupun untuk kepentingan aktivitas industri. Pengambilan air akan mengakibatkan jumlah air berkurang sehingga kemampuan pengenceran dari suatu badan air akan berkurang. Akibatnya, polutan akan terakumulasi dalam air yang lebih sedikit. 4. Perubahan pola aliran Misalnya akibat pembuatan bendungan, penambahan alat dan bangunan air, pembangunan kanal, dan sebagainya. Aliran air yang berubah sudah tentu akan menimbulkan akumulasi atau penggelontoran pencemar yang dikandungnya. 5. Perubahan morfologi badan air Misalnya akibat normalisasi tepi sungai, pengerukan dan, pengerasan dasar sungai, dan sebagainya. Berubahnya morfologi badan air akan menimbulkan penyesuaian aliran air yang kemudian akan menimbulkan akumulasi atau penggelontoran pencemar yang dikandungnya. 6. Interaksi kehidupan flora dan fauna Misalnya akibat pembusukan ganggang dalam jumlah yang sangat besar. Tidak semua perubahan kualitas air berakibat penurunan kualitas air. Sebagian malah dapat memperbaiki kualitas air. 2.3.
Polusi Udara Polusi udara telah berlangsung lama sejak ditemukannya mesin penggerak
yang menggunakan bahan bakar, seperti kayu dan batubara pada abad ke-19 dan disusul dengan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Menurut Wardhana (1999), dari beberapa macam komponen pencemar udara, komponen-komponen yang paling banyak berpengaruh antara lain: Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Oksida (NOx), Belerang Oksida (SOx), Hidro Karbon (HC), Timbal (Pb) dan
6
partikel debu. Komponen pencemar udara tersebut dapat mencemari udara secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dampak yang terjadi pada beberapa polutan yang mencemari udara diantaranya adalah efek rumah kaca, penipisan lapisan ozon, dan hujan asam (acid rain). Menurut Manahan (1994), penyebab utama hujan asam adalah terbentuknya gas SO2 dan NO2 oleh ulah manusia dari bahan bakar batubara dan minyak. Apabila gas-gas tersebut bereaksi dengan uap air maka muncul polutan NH4 dan H2SO4 yang turun bersama hujan menyebabkan pH air menurun. Selain itu, endapannya akan tertahan oleh tanah dan dilarutkan oleh hujan sehingga menyebabkan pH tanah menurun. Adapun reaksi oksidasi di udara, dapat dirumuskan sebagai berikut: SO2 + ½ O2 + H2O
(H2 + SO2)aq
NO2 + ½ O2 + H2O
(H2 + NO3)aq
HNO3 sangat asam dan larut dengan baik sekali. Selain itu, senyawa ini merupakan asam keras dan reaktif terhadap benda-benda lain yang menyebabkan korosif. Oleh sebab itu, presipitasinya akan merusak tanaman terutama daun (Manahan, 1994). Timbal merupakan logam berwarna kelabu keperakan yang berasal dari asap kendaraan berbahan bakar bensin. Polutan ini ditemui pada motor, mobil, truk, dan bus. Timbal ditambahkan sebagai bahan aditif pada bensin dalam bentuk timbal organik. Pada pembakaran bensin, timbal organik ini berubah bentuk menjadi timbal anorganik. Timbal yang dikeluarkan sebagai gas buang kendaraan bermotor merupakan partikel-partikel berukuran 0,01 µm. Partikel-partikel timbal ini akan bergabung satu sama lain membentuk ukuran yang lebih besar dan keluar sebagai gas buang atau mengendap pada knalpot (Satriyo, 2008). 2.4.
Sifat Fisik Tanah
2.4.1. Infiltrasi Infltrasi dari segi hidrologi sangat penting, karena menandakan ada peralihan air dari permukaan tanah bergerak cepat ke dalam tanah. Apabila permukaan tanah tidak kedap air, maka air dapat bergerak ke dalam tanah dengan gaya gerak gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Laju
7
maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah disebut kapasitas infiltrasi (Seyhan, 1990). Laju infitrasi ditentukan oleh besarnya kapasitas infiltrasi, intensitas hujan, dan laju penyediaan air. Selama intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan intensitas hujan. Jika hujan melampaui kapasitas infiltrasi, maka terjadi aliran permukaan. Nilai laju infiltrasi (f) dapat kurang atau sama dengan kapasitas infiltrasi (fp). Jika intensitas hujan kurang dari kapasitas infiltrasi maka laju infiltrasi akan kurang dari kapasitas infiltrasi. Jika intensitas hujan lebih dari kapasitas infiltrasi maka laju infiltrasi sama dengan kapasitas infiltrasi. Satuan laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan panjang persatuan waktu (cm/jam). Faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi antara lain jenis tanah, kelembaban awal, kegiatan biologi, unsur-unsur organik, dan vegetasi (Soesanto, 2008., Arsyad, 2010., Asdak, 1995). 2.4.2. Permeabilitas Jika air hujan mencapai permukaan tanah, maka seluruh atau sebagiannya akan diabsorbsi ke dalam tanah. Bagian yang tidak diabsorbsi akan menjadi limpasan permukaan (surface runoff). Proses absorbsi limpasan permukaan dari permukaan tanah ke dalam tanah sangat berbeda-beda tergantung pada kondisi tanah. Permeabilitas tanah ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah. Perbedaan tekstur dan struktur menentukan kapasitas menahan kelembaban tanah (Suyono dan Takeda, 2006). 2.4.3. Bobot isi Bobot isi merupakan salah satu sifat fisik tanah yang paling sering ditentukan, karena keterkaitannya dengan penetrasi akar, drainase, dan aerasi tanah, serta sifat fisik tanah lainnya. Bobot isi mempunyai variabilitas spasial (ruang) dan temporal (waktu). Tanah dengan bahan organik yang tinggi mempunyai bobot isi relatif rendah. Tanah dengan ruang pori total tinggi, seperti tanah liat, cenderung mempunyai bobot isi lebih rendah. Sebaliknya tanah dengan tekstur kasar, walaupun ukuran porinya lebih besar, namun total ruang porinya lebih kecil, mempunyai bobot isi yang lebih tinggi. Tanah dengan komposisi
8
mineral yang bobot jenis patikelnya tinggi di dalam tanah, menyebabkan bobot isi tanah menjadi lebih tinggi (Kurnia dkk, 2006). Nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pengolahan tanah, bahan organik, tekstur, struktur, pemadatan oleh alat-alat pertanian, dan kandungan air tanah. Menurut Hardjowigeno (2003), bobot isi digunakan untuk menghitung kebutuhan pupuk dan air per hektar. Pada umumnya bobot isi berkisar antara 1,1-1,6 gram/cm3, namun ada beberapa jenis tanah yang mempunyai bobot isi kurang dari 0,90 gram/cm3. 2.4.4. Distribusi Ukuran Pori Menurut Oades (1986), struktur tanah merupakan susunan dari partikelpartikel dan pori-pori di dalam tanah. Susunan tersebut akan stabil ketika struktur tanah tahan terhadap proses pembasahan dan pengeringan, akibat pukulan air hujan, penanaman dan pertumbuhan akar tanaman. Diameter pori tanah berkisar antara 10-9-10-1 m. Klasifikasi pori tanah disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi pori tanah berdasarkan ukuran dan fungsinya (Oades, 1986) No
Ukuran Pori (µm)
Fungsi
1
< 0,2
Air sisa, teradsorpsi
2
0,2-25
Air yang tersedia bagi tanaman
3
25-100
Pergerakan kapiler, aerasi
4
> 100
Aerasi, drainase cepat bagi pertumbuhan akar
Menurut Hakim dkk (1986), air tersedia sebagian besar merupakan air kapiler, yang ditahan tanah pada kelembaban antara kapasitas lapang dan koefisien layu permanen. Hal ini tergantung pada jenis tumbuhan dan bagian dari profil tanah yang dijangkau oleh akar. Untuk pertumbuhan optimum, air harus ditambahkan bila 50% - 85% air tersedia telah habis dipakai. Air kapiler menempati ruang pori mikro dan dinding pori makro yang ditahan tanah pada tegangan berkisar antara 1/3-31 atm, yaitu pada kelembaban tanah antara kapasitas lapang dan koefisien higroskopik. Pergerakan kapiler tergolong lambat sejalan dengan tebal lapisan air. Air kapiler berfungsi sebagai larutan tanah dan sebagian tersedia bagi tanaman.
9
2.5.
Teknik Bioretensi Teknik bioretensi dibangun pada ruang terbuka hijau dan dirancang
berdasarkan jenis tanahnya, kondisi lokasi, dan tata ruang rencana wilayah pengembangan. Penggunaan teknik bioretensi sebagai ruang terbuka hijau di daerah real estate dapat meningkatkan nilai estetika daerah yang dikembangkan (Cofman, 2000., Winogradoff, 2001., dalam Darsono, 2007). Teknik bioretensi mengintegrasikan fungsi pengurangan polusi dan tampungan aliran permukaan akibat dari penyaringan atau pembersihan sampah dan sedimentasi. Pemberian kompos dan pemeliharaaan serta penggantian tanaman merupakan usaha pemeliharaan dan pengoperasian sistem bioretensi yang perlu dilaksanakan. Untuk memelihara tanaman di sistem bioretensi, sebaiknya tidak perlu menggunakan pupuk buatan. Tumbuhan yang ditanam pada sistem bioretensi sebaiknya menggunakan tanaman asli daerah, agar mudah tumbuh karena cocok dengan kondisi iklim daerahnya. Agar pengelolaan air hujan dengan teknik bioretensi dapat dioptimalkan, maka proses yang terjadi perlu dipahami. Beberapa proses utama pada bioretensi untuk air hujan lokal (Winogradoff, 2001 dalam Darsono, 2007). adalah:
Intersepsi: merupakan proses tertangkapnya air hujan oleh daun tanaman serta lapisan penutup (mulsa), sehingga memperlambat atau mengurangi terjadinya aliran permukaan.
Infiltrasi: merupakan proses utama yang ada di sistem bioretensi, baik yang mempunyai saluran underdrain maupun yang tidak.
Pengendapan: terjadi akibat aliran lambat yang ada di sistem bioretensi, akibatnya partikel yang ada di air akan tertinggal di permukaan sistem bioretensi.
Absorpsi: merupakan proses penahanan air di ruang antara partikel tanah yang kemudian akan diserap oleh akar tanaman. Absorpsi yang terjadi adalah proses penyerapan kandungan bahan kimia seperti logam berat dan nitrat yang terlarut di air oleh humus dan tanah.
Evapotranspirasi: dapat terjadi di sistem bioretensi, sebagian air limpasan yang tergenang akan berubah menjadi uap air.
10
Aplikasi teknik bioretensi di daerah jalan raya berfungsi untuk menyerap polutan air hujan yang berasal dari partikel sedimen, bahan kimia, dan oli yang menetes di permukaan jalan. Prosesnya dimulai dari hujan yang turun akan mencuci jalan sehingga aliran permukaannya akan membawa partikel sedimen, bahan kimia, dan oli yang menetes di permukaan jalan, dan mengalir masuk ke dalam sistem bioretensi. Aliran permukaan akan menjalani proses pemurnian di dalam sistem bioretensi. Jika hujan masih turun, sampai kapasitas tampungan sistem bioretensi sudah terlampaui, air akan mengalir langsung ke sistem saluran drainase. Hujan awal sudah mencuci permukaan jalan sehingga kualitas air limpasan permukaan dari hujan berikutnya diharapkan sudah baik dan dapat mengalir langsung ke badan air. Pengurangan polutan dari air limpasan permukaan yang berupa sedimen, metal dan kandungan lain merupakan efek sedimentasi, proses penyaringan dari media yang digunakan serta proses mikrobiologi dari material organik (Cofman, 2000., Winogradoff, 2001., dalam Darsono, 2007).
Gambar 1. Aplikasi teknik bioretensi di daerah jalan raya Saluran rumput dapat dimanfaatkan sebagai saluran pembawa air hujan pada berbagai lokasi dan kondisi, bersifat fleksibel dan harganya relatif murah. Umumnya saluran terbuka rumput sangat cocok sebagai saluran drainase daerah tangkapan air yang kecil dengan kemiringan yang landai. Penggunaan saluran ini biasanya sebagai saluran sepanjang jalan lingkungan dan Highway, berfungsi untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan, tempat infiltrasi, dan penyaring (filter). Selain itu, pengendapan sedimen merupakan mekanisme utama dari upaya
11
pengurangan polutan. Saluran rumput kerjanya sangat efektif, jika kedalaman aliran minimum dan waktu tinggalnya maksimum. Stabilitas saluran rumput dan kemampuan pengurangan polutan sangat dipengaruhi oleh erodibilitas tanahnya, kemiringan saluran dan kerapatan tanaman. Berdasarkan hasil percobaan Davis et al (1998), baik di laboratorium maupun lapangan mempunyai hasil yang serupa untuk setiap polutan. Tabel 2 menunjukkan bahwa penambahan atau pengurangan konsentrasi masukan polutan memberikan pengaruh yang kecil terhadap polutan yang dikeluarkan. Tabel 2. Estimasi teknik bioretensi dan analisis laboratorium, Davis et al (1998) No
Polutan
Rata-rata kehilangan
1
Fosfor Total
70-83%
2
Metal (Cu, Zn, Pb)
93-98%
3
Nitrogen Total Kjeldahl
68-80%
4
Total tanah tersuspensi
90%
5
Organik
90%
6
Bakteri
90%
2.5.1. Keuntungan teknik bioretensi Menurut Davis et al (1998), teknik bioretensi mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah:
Sistem bioretensi menyediakan tempat perlakuan bagi air permukaan dengan cara menyimpan air permukaan tersebut di BMP (Bioretention Management Practice) selama 4 hari sehingga dapat meningkatkan kualitas air di bagian hilir.
Vegetasi memberikan efek sejuk, pemecah angin, menyerap kebisingan, dan meningkatkan lanskap daerah yang bersangkutan.
2.5.2. Keterbatasan teknik bioretensi Menurut Davis et al (1998), teknik bioretensi mempunyai beberapa keterbatasan, diantaranya adalah:
BMP (Bioretention Management Practice) tidak dianjurkan untuk daerahdaerah dengan lereng >20% atau daerah dengan adanya penebangan pohon
12
karena akan terjadi penyumbatan, terutama jika BMP menerima limpasan dengan muatan sedimen yang tinggi.
BMP (Bioretention Management Practice) tidak sesuai pada lokasi dengan kedalaman air tanah ≤ 183 cm dari permukaan tanah dan lapisan tanah yang tidak stabil.
Desain BMP (Bioretention Management Practice) memiliki potensi untuk menciptakan habitat yang dapat menarik nyamuk atau vektor lainnya karena kelembaban yang tinggi pada daerah bervegetasi dan genangan air.
Dalam cuaca dingin dapat membekukan tanah sehingga mengurangi infiltrasi limpasan permukaan ke dalam tanah.
2.6.
Akasia (Acacia mangium Willd.) Akasia (Acacia mangium Willd.) termasuk pohon berbuah polongan
(leguminosae) yang cepat tumbuh. Tanaman ini sangat sensitif terhadap kondisi tanah baik pada tanah tererosi atau tanah miskin mineral dan tanah Entisol. Selain itu, akasia dapat tumbuh pada lahan bekas kebakaran pada tanah Ultisol dari batuan vulkanis. Tanaman ini mampu tumbuh pada tanah-tanah dengan pH rendah, bahkan spesies ini toleran terhadap pH tanah < 4,0. Hal ini merupakan keistimewaan yang membedakannnya dengan Leguminosae yang lainnya (Herawatiningsih, 2001). Dalam sistem klasifikasi, akasia mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio
: Spermathophyta (menghasilkan biji)
Divisio
: Magnoliophyta (berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)\
Subkelas
: Rosidae
Ordo
: Fabales
Familia
: Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus
: Acacia
Species
: Acacia mangium Willd.
13
Menurut Wargasasmita (1991), tumbuhan dapat mengakumulasi Pb pada daun dan kulit batangnya (Tabel 3). Terbukti dari hasil penelitian itu bahwa kandungan Pb pada tumbuhan sejenis di lokasi yang jauh dari pinggir jalan. Tabel 3. Rata-rata konsentrasi Pb (µg/g) pada kulit batang dan daun dari 10 jenis tumbuhan tepi jalan di Jakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Tumbuhan Akasia Angsana Asam Jawa Asam Landi Bungur Cemara Flamboyan Glodogan Mahoni Kiara Payung
Daun 1 76,1 321,7 28,8 94,2 99,0 221,6 56,2 72,2 249,1 77,9
Rata-Rata Konsentrasi Pb (µg/g) Batang 1 Daun 2 Batang 2 382,4 3,0 10,2 843,5 1,1 0,2 27,4 16,2 7,0 121,6 8,6 2,2 521,4 7,6 5,4 694,2 347,7 10,6 5,4 526,4 213,7 87,7 -
Sumber: Modifikasi dari Wargasasmita (1991) 2.7.
Jati (Tectona grandis Linn. f) Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad
ke-9 telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan gangguan rayap serta jamur dan awet (mampu bertahan hingga 500 tahun). Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Sub-kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Verbenales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Tectona
Spesies
: Tectona grandis Linn. f.
Secara morfologi, tanaman jati memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30-45 m. Dengan pemangkasan, batang yang bebas cabang dapat mencapai antara
14
15-20 m dan diameter batang mencapai 220 cm. Kulit kayu berwarna kecoklatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan bercabang sekitar 4 buah. Daun berbentuk opposite (bentuk jantung membulat dengan ujung meruncing), berukuran panjang 20-50 cm berwarna hijau kecoklatan, sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan (Sumarna, 2003).