TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai Asahan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai terjemahan dari watershed secara harafiah diartikan sebagai setiap permukaan miring yang mengalirkan air (Putro et al, 2003). Daerah Aliran Sungai adalah daerah yang dibatasi punggungpunggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak 1995). Loebis (1999) mengemukakan bahwa Daerah Aliran Sungai Asahan adalah suatu daerah yang dibatasi secara topografi di mana semua air yang berasal dari curah hujan akan mengalir ke sungai Asahan. Batasan Daerah Aliran ini dimulai dari Bendungan Pengatur Siruar sampai ke hilir berbatasan dengan laut Selat Malaka. Salah satu pemanfaatan air yang menjadi pusat perhatian adalah masalah hidrologi yang terjadi di sekitar Daerah Tangkapan Air Danau Toba dan Sungai Asahan. Kondisi dan karakteristik hidrologi ini sangat menentukan volume air yang tersedia di danau maupun di sungai-sungai yang berada di kawasan sungai tersebut. Erosi Istilah erosi digunakan dalam bidang geologi untuk menggambarkan proses pembentukan alur-alur atau parit-parit dan penghanyutan bahan-bahan padat oleh aliran air (Hardiyatmo, 2006). Proses pengikisan kulit bumi secara alamiah disebut erosi alam atau lebih dikenal juga sebagai erosi geologi. Penyebab erosi geologi ini semata-mata oleh proses alam, tanpa adanya campur tangan manusia. Dengan adanya aktivitas manusia, keseimbangan ini akan
Universitas Sumatera Utara
terganggu, karena pada umumnya aktivitas manusia akan mempercepat laju erosi (accelerated erosion) (Suripin, 2002). Erosi tanah adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Proses erosi ini dapat menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung tanah dan kualitas lingkungan hidup. Permukaan kulit bumi akan selalu mengalami proses erosi, di suatu tempat akan terjadi pengikisan sementara di tempat lainnya akan terjadi penimbunan, sehingga bentuknya akan selalu berubah sepanjang masa. Peristiwa ini terjadi secara alamiah dan berlangsung sangat lambat, sehingga akibat yang ditimbulkan baru muncul setelah berpuluh bahkan beratus tahun kemudian (Suripin, 2002). Erosi tanah mempengaruhi produktivitas lahan kering yang biasanya didominasi Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian hulu dan juga akan memberikan dampak negatif di Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian hilir (Asdak, 1995). Dan Hardiyatmo (2006) menekankan bahwa erosi tanah merupakan proses tercabutnya dan pemindahan partikel oleh hujan, angin atau es. Erosi berawal dari seretan dan benturan, atau gaya-gaya tarik yang bekerja pada partikel individu tanah di permukaan. Lahan-lahan pertanian yang terus-menerus ditanami (fallow), dan tanpa disertai cara pengelolaan tanaman, tanah dan air yang baik dan tepat, khususnya di daerah-daerah basah dengan curah hujan yang melebihi 1500 mm per tahun, akan mengalami penurunan produktivitas tanah. Penurunan produktivitas ini dapat disebabkan oleh menurunnya kesuburan tanah, dimana unsur hara yang terdapt
Universitas Sumatera Utara
pada lapisan tanah atas hilang bersamaan dengan terjadinya proses-proses erosi (Suripin, 2002). Proses Terjadinya Erosi Begitu air hujan mengenai kulit bumi, maka secara langsung hal ini akan menyebabkan hancurnya agregat tanah. Pada keadaan ini penghancuran dan daya urai dari air itu sendiri. Hancuran dari agregat tanah ini akan menyumbat pori-pori tanah, sehingga berakibat kurangnya infiltrasi. Sebagai akibat lebih lanjut, akan mengalir di permukaan tanah, yang disebut dengan limpasan permukaan tanah (run off). Air yang mengalir pada permukaan kulit bumi ini mempunyai energi untuk mengikis dan mengangkut partikel yang telah dihancurkan (Utomo, 1994). Proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan: pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation) (Asdak, 1995). Dan Suripin (2002) juga menyatakan bahwa proses erosi tanah yang disebabkan oleh air meliputi tiga tahap yang terjadi dalam keadaan normal di lapangan, yaitu tahap pertama pemecahan bongkah-bongkah atau agregat tanah ke dalam bentuk butir-butir kecil atau partikel tanah, tahap kedua pemindahan atau pengangkutan butir-butir yang kecil sampai sangat halus tersebut, dan tahap ketiga pengendapan partikel tersebut di tempat yang lebih rendah di dasar sungai. Bentuk-bentuk Erosi Menurut Suripin (2002), bahwa berdasarkan bentuknya erosi dapat dibedakan menjadi: 1. Erosi percikan (splash erosion) adalah terlepas dan terlemparnya partikelpartikel tanah akibat dari pukulan butiran air hujan secara langsung.
Universitas Sumatera Utara
2. Erosi aliran permukaan (overland flow erosion) Erosi aliran permukaan akan terjadi hanya dan jika intensitas dan/atau lamanya hujan melebihi kapasitas infiltrasi atau kapasitas simpan air tanah. 3. Erosi alur (rill erosion) Erosi alur terbentuk pada jarak tertentu ke arah bawah lereng sebagai akibat terkonsentrasinya aliran permukaan sehingga membentuk alur-alur kecil. 4. Erosi parit/selokan (gully erosion) Proses terjadinya erosi parit, atau yang lebih dikenal juga sebagai ravine, sama dengan erosi alur, sehingga pada mulanya parit ini dianggap sebagai perkembangan lanjut dari erosi alur. Proses pembentukan parit dimulai dengan pembentukan depresi (depression) pada lereng sebagai akibat adanya bagian lahan yang gundul atau tanaman penutupnya jarang akibat pembakaran atau perumputan. Air permukaan terkonsentrasi pada bagian ini sehingga depresi semakin besar dan beberapa depresi menyatu dan membentuk saluran baru 5. Erosi tebing ( stream bank erosion) Erosi tebing sungai adalah erosi yang terjadi akibat pengikisan tebing olah air yang mengalir dari bagian atas tebing atau terjangan arus air sungai yang kuat. Erosi tebing akan semakin hebat jika tumbuhan penutup tebing telah rusak atau pengolahan lahan terlalu dekat dengan tebing. 6. Erosi internal (internal or subsurface erosion) Erosi internal adalah proses terangkutnya partikel-partikel tanah ke bawah masuk ke celah-celah atau pori-pori akibat adanya aliran bawah permukaan.
Universitas Sumatera Utara
Akibat erosi ini tanah menjadi kedap air dan udara, sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi dan meningkatkan aliran permukaan atau erosi alur. 7. Tanah lonsor (land slide) Tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan massa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Berbeda dengan jenis erosi yang lain, pada tanah longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam jumlah yang besar.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Erosi Iklim dan geologi merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses erosi tanah. Disamping karakteristik tanah dan vegetasi, dimana keduanya bergantung pada dua faktor terdahulu dan saling mempengaruhi. Diluar faktor tersebut, kegiatan manusia di muka bumi juga memberi andil yang cukup besar pada perubahan laju erosi tanah (Suripin, 2002). Demikian juga dengan Hardiyatmo (2006), yang
menyatakan bahwa
perubahan iklim seperti siklus panas-dingin, basah-kering mengakibatkan pecahnya batuan menjadi partikel yang lebih kecil dan lemah ikatannya antar partikel. Secara umum, faktor-faktor penyebab terjadinya erosi tanah adalah: 1. Iklim 2. Kondisi tanah 3. Topografi 4. Tanaman penutup permukaan tanah 5. Pengaruh gangguan tanah oleh aktifitas manusia
Universitas Sumatera Utara
Prediksi Erosi Lahan Pengukuran dan peramalan erosi, karena proses kejadian dan faktor yang mempengaruhinya sangat kompleks, sulit untuk dilakukan dengan tepat. Walaupun demikian dengan beberapa asumsi dan penyederhanaan, pengukuran dan peramalan erosi dapat dilakukan dengan tingkat kepercayaan yang cukup layak (Utomo, 1994). Oleh karena besaran erosi yang berlangsung ditentukan oleh intensitas dan bentuk aktivitas pengelolaan lahan, maka prakiraan besarnya erosi yang terjadi akibat aktivitas pengelolaan lahan tersebut perlu dilakukan (Asdak, 1995). Tingkat bahaya erosi (TBE) dapat dihitung dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu luasan lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut. Dalam hal ini tingkat erosi dihitung dengan menghitung perkiraan rata-rata tanah hilang akibat erosi lapis dan alur yang dihitung dengan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) (Dephut, 1998).
Universal Soil Loss Equation (USLE) Dari beberapa metoda untuk memprakirakan besarnya erosi permukaan, metoda USLE yang dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978) adalah metoda yang paling umum digunakan untuk memprakirakan besarnya erosi. Istilah “universal” atau “umum” ini menunjukkan bahwa persamaan atau metoda tersebut dapat dimanfaatkan untuk memprakirakan besarnya erosi untuk berbagai macam kondisi tata guna lahan dan kondisi iklim yang berbeda (Asdak,1995). Persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation) digunakan untuk menentukan berat tanah hilang akibat erosi. Menurut Smith dan Wischmeier
Universitas Sumatera Utara
(1978) dalam Hardiyatmo (2006) besarnya tanah yang hilang dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu: 1. Panjang lereng 2. Kemiringan lereng 3. Penutup permukaan tanah 4. Pengelolaan tanah 5. Tipe tanah 6. Curah hujan USLE memungkinkan perencana memprediksi laju erosi rata-rata lahan tertentu pada suatu kemiringan dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam jenis tanah dan penerapan pengelolaan lahan (tindakan konversi lahan). USLE dirancang untuk memprediksi erosi jangka panjang dari erosi lembar (sheet erosion) dengan erosi alur dibawah kondisi tertentu (Suripin, 2002). Untuk menentukan berat tanah di permukaan tanah yang hilang saat hujan, dimana di permukaan tanah terdapat tumbuh-tumbuhan, maka dapat digunakan persamaan USLE (Hardiyatmo, 2006). Berdasarkan analisis statistik terhadap lebih dari 10.000 tahun data erosi dan aliran permukaan, parameter fisik dan pengelolaan dikelompokkan menjadi lima variabel utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat dinyatakan secara numeris (Suripin, 2002). Menurut Dephut (1998), rumus USLE dapat dinyatakan sebagai: A = R x K x LS x C x P
Universitas Sumatera Utara
Dimana: A = jumlah tanah hilang (ton/ha/tahun) R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (biasanya dinyatakan sebagai energi dampak curah hujan (MJ/hs) x intensitas maksimal selama 30 menit (mm/jam) K = indeks erodibilitas tanah (ton x ha xjam) dibagi oleh (ha x mega joule x mm) LS = indeks panjang dan kemiringan lereng C = indeks pengelolaan tanaman P = indeks upaya konservasi tanah Arsyad dalam Suripin (2002) menggambarkan model USLE seperti skema di bawah ini: BESARNYA EROSI YANG AKAN TERJADI
POTENSI EROSI LAHAN
HUJAN
ENERGI SIFAT TANAH KEKUATAN PERUSAK
Ea
=
R
PENGELOLAAN
PENGELOLAAN LAHAN
K
LS
PENGELOLAAN TANAMAN
P
C
Gambar 1. Skema Persamaan USLE (Suripin, 2002)
Universitas Sumatera Utara
Faktor Erosivitas Hujan (R) Faktor R menyatakan faktor fisik hujan yang dapat menyebabkan timbulnya proses erosi (disebut dengan erosivitas hujan). Erosivitas hujan tahunan yang dapat dihitung dari data curah hujan yang diperoleh dari pengukur hujan. Erosivitas hujan merupakan fungsi dari energi kinetik total hujan, dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit (Hardiyatmo, 2006).
Faktor Erodibilitas (K) Kemudahan tererosi dinyatakan dalam istilah erodibilitas (erodibility). Beberapa tanah seperti lanau/lumpur lebih mudah tererosi dari yang lain. Umumnya, bertambahnya kandungan organik dan fraksi ukuran lempung dari tanah, maka erodibilitas akan berkurang (Hardiyatmo, 2006). Erodibilitas tanah, atau faktor kepekaan erosi tanah, yang merupakan daya tahan tanah baik terhadap penglepasan dan pengangkutan, terutama tergantung pada sifat-sifat tanah, seperti tekstur, stabilitas agregat, kekuatan geser, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan kimiawi juga tergantung pada posisi topografi, kemiringan lereng dan gangguan oleh manusia (Suripin, 2002).
Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Faktor indeks topografi L dan S, masing-masing mewakili pengaruh panjang dan kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Panjang lereng mengacu pada aliran air permukaan, yaitu lokasi berlangsungnya erosi dan kemungkinan terjadinya deposisi sedimen (Asdak, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Faktor Tanaman Penutup (C) Faktor C menunjukkan keseluruhan pengaruh dari vegetasi, seresah, keadaan permukaan tanah, dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang hilang (erosi). Oleh karenanya, besarnya angka C tidak selalu sama dalam kurun waktu satu tahun (Asdak, 1995). Mendukung hal tersebut Suripin (2002) juga menyatakan bahwa faktor C menggambarkan nisbah antara besarnya erosi dari lahan yang bertanaman tertentu dan dengan manajemen (pengelolaan) tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanami dan diolah bersih. Faktor ini mengukur kombinasi pengaruh tanaman dan juga pengelolaanya (Suripin, 2002).
Faktor Konservasi dan Pengelolaan Tanah (P) Pengaruh aktivitas pengelolaan dan konservasi tanah (P) terhadap besarnya erosi dianggap berbeda dari pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas pengelolaan tanaman (C), oleh karenanya dalam rumus USLE faktor P tersebut dipisahkan dari faktor C (Asdak, 1995). Nilai faktor tindakan manusia dalam konservasi tanah (P) adalah nisbah antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu tindakan konsevasi tertentu terhadap besarnya erosi pada lahan tanpa tindakan konservasi. Termasuk dalam tindakan konservasi tanah adalah penanaman dalam strip, pengelolaan tanah menurut kontur, guludan dan teras (Suripin, 2002).
Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) adalah suatu sistem untuk mendayagunakan dan menghasilgunakan; pengolahan dan analisis data spasial (keruangan) serta data non spasial (tabular), dalam memperoleh berbagai informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan, baik yang
Universitas Sumatera Utara
berorientasi
ilmiah,
komersil,
pengelolaan
maupun
kebijaksanaan
(Yuliadji et al, 1994). Sistem Informasi Geografis (SIG) meliputi kegiatan-kegiatan yang pengelompokannya terstruktur dengan komputer dan prosedur kerjanya meliputi masukan, penyimpanan dan manipulasi, presentasi dan pemanggilan kembali data yang berdasarkan dan berkaitan secara spasial. Sistem Informasi Geografis menangani data spasial dalam koordinat x, y dan z dan atribut non spasial data tersebut (Howard, 1996). Lo (1996) juga menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografik paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan, subsisem analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi. Subsistem pemrosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah. ArcView merupakan salah satu perangkat lunak desktop Sistem Informasi Geografis dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI (Enviromental Systems Research Institute). Dengan ArcView pengguna dapat memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab query (baik basis data spasial maupun non-spasial), menganalisis data secara geografis dan sebagainya (Prahasta, 2002).
Sistem Informasi Geografi dalam Kehutanan Sistem Informasi Geografi terdiri dari perlengkapan dan pelayanan yang diperlukan dalam pengumpulan, mengorganisir, manipulasi, interpretasi dan penyajian informasi mengenai bumi ini. Pada saat ini pengaturan sumber daya
Universitas Sumatera Utara
alam pada umumnya menggunakan SIG dalam membantu penataan sumber daya alam di dalam suatu pengambilan keputusan. Aplikasi SIG dalam manajemen sumber daya alam menjadi sesuatu yang umum semenjak 10 tahun yang lalu. Alasan penyebarluasan penggunaan SIG ini berkaitan dengan efisiensi dari analisis SIG dan juga berkaitan dengan berlangsungnya kemajuan teknologi pada perangkat
keras (hardware) dan perangkat
lunak
(software) komputer
(Bettinger and Wing, 2004). Mubekti (1994), menyatakan bahwa secara mudah dapat dikatakan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu teknik overlay beberapa data dan informasi spasial dengan menggunakan formulasi matematis untuk menghasilkan suatu tema geografis yang baru. Sumber data dan informasi aktual untuk keperluan analisa GIS dapat diperoleh dari penginderaan jarak jauh. Melalui tehnik pengolahan data penginderaan jauh dapat menampilkan berbagai data dan informasi tentang keadaan dan fenomena permukaan bumi dalam waktu yang cepat serta dapat dikaitkan dengan suatu referensi geografis. Dengan semakin berkembangnya teknologi penginderaan jauh, baik software, hardware maupun resolusi data satelitnya, akan lebih memungkinkan pembaruan informasi lebih cepat dan akurat.
Sistem Informasi Geografis dalam Permodelan Laju Erosi Kemajuan teknologi komputer dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dewasa ini sedikit banyak telah mampu membantu memecahkan pemasalahan spasial yang dihadapi olah metode USLE. Interaksi antara USLE dan SIG mampu memprediksi laju erosi secara spasial dengan cepat dan segmentasi luasan (elemen) sesuai yang dikehendaki. Parameter USLE dihitung secara individual
Universitas Sumatera Utara
untuk tiap-tiap elemen, dan merupakan data masukan bagi SIG. dari tiap-tiap parameter USLE dapat digambarkan dalam peta tematik (thematic map) sehingga akan terbentuk lima peta tematik, yaitu peta erosivitas hujan- R, peta erodibilitas tanah- K, peta kemiringan dan panjang lereng- LS, peta manajemen tanaman- C dan peta kontrol erosi praktis- P. Peta laju erosi dapat diperoleh dengan menampakkan (overlay) kelima peta tematik dari parameter USLE tersebut (Suripin, 2002). Pada saat ini model hidrologi yang terdiri dari berbagai jenis parameter data spasial sangat sangat dibutuhkan, terutama untuk permodelan penyebaran dari polusi air dan untuk permodelan bahaya erosi oleh aliran permukaan. Dengan perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG), bukan hanya pengendalian dan pengambilan data dari karakteristik permukaan yang bisa lebih baik untuk digunakan, tetapi juga memberikan pendekan baru dalam permodelan arus dua dimensi dapat untuk dikerjakan (Gunawan, 1994). Secara taknis pembagian kawasan DAS menjadi blok-blok berlereng tunggal merupakan pekerjaan yang sangat sulit, apalagi jika itu dilakukan secara manual di atas peta topografi. Untuk mengatasi kesulitan ini, lazimnya, para pengguna model USLE di Indonesia membagi kawasan DAS menjadi blok-blok bertopografi relatif seragam menurut interval sudut lereng tertentu. Sebuah metoda untuk mengatasi masalah di atas adalah dengan menggunakan DTM (Digital Terrain Model)- model bentukan lahan – berbasis TIN (Triangulated Irregular Network). Dengan DTM berbasis TIN ini, dimungkinkan dibagi habisnya suatau kawasan DAS menjadi jaringan segitiga-segitiga tak beraturan baik ukuran maupun bentuknya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
penggunaan DTM berbasis TIN ini dapat mengatasi masalah penentuan topografi untuk penerapan model USLE (Kristijono, 1994). Dengan bantuan GIS, informasi topografis yang terdapat pada peta topografi seperti garis kontur (data spasial) dan ketinggian setiap garis kontur (data atribut) direkam dengan bantuan digitizer dan disimpan dan distrukturkan (ditangani) menjadi database spasial (spatial database). Selanjutnya, dari database spasial ini dapat dibuat suatu model bentukan lahan berdasarkan metoda TIN (Triangulated Irregular Network) berikut analisis kelerengan (slope) dan aspek (aspect) di setiap segitiga. Demikian pula data curah hujan, penutupan lahan, erodibilitas tanah dan lain-lain diolah menjadi informasi geografis (spasial dan atribut) serta diintegrasikan ke dalam setiap segitiga dalam model bentukan lahan berbasis TIN. Teknik pembuatan peta digital faktor USLE berikut data base spasialnya sangat bervariasi, tergantung pada data yang tersedia dan paket program GIS yang dipakai. Ditinjau dari konsepsi GIS, data mentah faktor USLE dapat berupa poligon (Gunawan, 1994).
Universitas Sumatera Utara