FITOPLANKTON LAUT: HUTAN YANG TAK TAMPAK
B
ila Anda sedang berenang di laut, mungkin Anda tak menyadari bahwa pada saat itu Anda sebenarnya tercebur di tengah hutan belantara yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan laut. Tetapi tumbuhan laut di sekitar Anda itu
semua berukuran renik, tak kasat mata dan disebut fitoplankton.
Paul Falkowski (2002),
seorang ahli kelautan dari Amerika, menyebut lingkungan laut itu pada hakekatnya merupakan hutan yang tak tampak atau invisible forest. Fitoplankton
adalah tumbuhan renik mikroskopis yang hidup mengambang atau
melayang di dalam laut dan selalu terbawa oleh arus. Tumbuhan renik ini terdapat di manamana di laut, mulai dari tepi pantai, di muara sungai sampai ke tengah samudra raya, dari perairan tropis yang hangat sampai ke perairan kutub yang dingin. Dalam dimensi vertikal, tumbuhan renik ini terdapat mulai dari permukaan laut sampai kedalaman dimana cahaya surya dapat menembus laut, yang bisa mencapai kedalaman sampai sekitar 100-150 meter. Jenisnya pun sangat beragam, bisa terdapat ratusan spesies per liter air laut sedangkan kepadatannya bisa mencapai ribuan hingga jutaan sel atau individu per liter.
Gambar 1. Beberapa contoh jenis fitoplankton laut (www.deviantart.com.) 1
Kalau di daratan tumbuhan yang paling dominan adalah tumbuhan yang dapat jelas terlihat wujudnya mulai yang seukuran rumput sampai yang seukuran pohon beringin raksasa, maka di laut tumbuhan yang dominan justru adalah fitoplankton yang mikroskopis itu. Di sepanjang
perairan
pantai
yang
dangkal memang bisa terdapat juga tumbuhan laut yang relatif berukuran besar seperti rumput laut (seaweed) dan
lamun
kontribusinya biomassa
(seagrass), dalam tumbuhan
namun
keseluruhan di
laut
diperkirakan hanya sekitar 5 % saja. Peran terpenting fitoplankton renik itu adalah pada kemampuannya melakukan fotosintesis, yaitu suatu proses penyadapan energi surya dalam pembentukan senyawa organik dari
Gambar 2. Pengambilan sampel plankton dengan jaring plankton (kiri) dan rosette sampler (kanan).(Foto: A. Nontji)
senyawa inorganik. Senyawa organik merupakan sumber energi yang diperlukan oleh semua jasad hidup untuk berbagai kegiatan fisiologinya termasuk untuk reproduksi. Karena itu pula fitoplankton merupakan tumpuan bagi hampir semua kehidupan di laut, baik secara langsung maupun tak langsung, lewat rantai pakan (food chain). Fitoplakton misalnya akan dimakan oleh zooplankton Selanjutnya
herbivor. zooplankton
akan
dimakan oleh ikan kecil (karnivor 1), yang pada gilirannya akan dimakan pula oleh ikan yang lebih besar (karnivor 2) dan seterusnya sampai
ke
karnivor
puncak
(Gambar 3). Kurang lebih 65% Gambar 3. Fitoplankton sebagai fondamen piramida pakan di laut
ikan pelagis (pelagic fish) di dunia yang mempunyai nilai ekonomi penting adalah pemakan plankton.
Kalau pun itu ikan buas seperti ikan tuna (karnivor puncak), tetapi makanannya adalah juga ikan kccil yang bila ditelusuri rantai pakannya, pangkalnya adalah pada fitoplankton juga.
2
Transfer biomassa atau energi dari fitoplankton sampai karnivor puncak di laut secara teoretis dapat digambarkan sebagai piramida pakan (Gambar 3). Dilihat dari segi ukurannya, fitoplankton yang paling umum adalah yang tergolong mikroplankton (20-200 µm; 1 µm = 0.001 mm), kemudian disusul oleh nanoplankton (2-20 µm), pikoplankton (0,2-2 µm) dan femtoplankton (< 0,2 µm). Karena ukurannya yang sangat halus itu maka pengambilan sampel fitoplankton bisa dilaksanakan dengan berbagai cara misalnya dengan menyaring air menggunakan jaring plankton dengan mata jaring yang halus, atau dengan filter khusus misalnya filter Millipore yang mempunyai ukuran pori yang spesifik dan sangat halus sekitar 0,45 µm atau lebih kecil.
Gambar 4. Sebaran kandungan klorofil fitoplankton di perairan Indonesia pada bulan Februari 2003 (musim barat) dan Agustus 2003 (musim timur) dari hasil pencitraan satelit MODIS, Karena setiap fitoplankton mengandung klorofil yang juga mutlak diperlukan untuk fotosintesis, maka kuantitas fitoplankton di suatu perairan kini lazim diindikasikan dengan konsentrasi kandungan klorofil di perairan tersebut, yang dapat ditetapkan lewat analisis kimia. Perkembangan teknologi inderaja (remote sensing) kini telah memungkinkan pula untuk 3
memetakan sebaran klorofil fitoplakton untuk wilayah perairan yang sangat luas secara sinoptik (bersamaan waktu). Berdasarkan informasi dari berbagai hasil penelitian dapat ditunjukkan bahwa kemampuan fitoplankton di laut untuk menghasilkan bahan organik terkait dengan ketersediaan hara dan dinamika oseanografi setempat. Perairan laut tempat hidup fitoplankton sangat dinamis, oleh karenanya kuantitas plankton di suatu perairan sangat ditentukan oleh kondisi oseanografi dan meteorologi. Gambar 4 misalnya menunjukkan sebaran klorofil fitoplankton di Indonesia dan sekitarnya pada musim barat (Februari) dan musim timur (Agustus) yang mengindikasikan
tingginya kandungan
klorofil fitoplankton di musim timur (Agustus). Hal ini disebabkan karena pada musim timur terjadi penaikan air (upwelling), baik di Laut Banda maupun di perairan di selatan Jawa, yang mengangkat perairan kaya hara dari lapisan dalam ke permukaan yang selanjutnya menyuburkan kehidupan fitoplankton. Sebaliknya pada musim barat (Februari), kandungan klorofil fitoplankton umumnya lebih rendah.
Gambar 5. Sebaran klorofil fitoplankton di permukaan laut di bagian barat Indonesia dan Samudra Hindia pada saat terjadinya El Nino ( November 1997) dan Non El Nino (November 1999). (Hendiarti, 2003) 4
Lebih lanjut dengan teknik inderaja dapat pula ditunjukkan bahwa anomali cuaca yang menimbulkan fenomena
El Nino dan La Nina sangat mempengaruhi sebaran klorofil
fitoplankton di laut. El Nino dan La Nina merupakan fenomena interaksi udara-laut (sea-air interaction) yang berdampak global yang menimbulkan dampak tidak saja pada lingkungan perairan tetapi juga pada daratan. Apabila El Nino terjadi maka sebagian besar daratan Indonesia mengalami masa kekeringan yang berkepanjangan, yang banyak mengakibatkan kegagalan panen yang sangat merugikan perekonomian. Tetapi pada saat itu upwelling atau penaikan air di selatan Jawa justru terjadi lebih kuat yang mengakibatkan meningkatnya kadar klorofil fitoplankton, hingga sumber daya ikan pun meningkat (Gambar 6). Sebaliknya pada saat La Nina, Indonesia mengalami hujan yang berlebihan yang mengakibatkan banjir di daratan dan berbagai bencana ikutannya. Sementara itu klorofil fitoplankton di selatan Jawa malah turun (Hendiarti, 2003).
Gambar 6. Global Biosphere Research oleh NASA (1997-2000) menunjukkan fitoplankton laut mempunyai kemampuan kurang lebih sama dengan kemampuan seluruh tumbuhan darat dalam mengikat CO2 dari atmosfer (NASA). Dari aspek lingkungan global peran fitoplakton pun tak kalah pentingnya. Luas total permukaan laut merupakan 71 % dari seluruh luas permukaan bumi. Seluruh dimensi laut dari permukaan sampai yang dapat ditembus sinar surya adalah tempat hunian fitoplankton. Dalam proses fotosintesis, fitoplankton menghasilkan oksigen, tetapi di samping itu juga mampu mengikat gas CO2 (karbon dioksida) dari atmosfer. Riset mutakhir menunjukkan bahwa
5
kemampuan fitoplankton laut untuk mengikat CO2 dari atmosfer, kurang lebih setara dengan kemampuan seluruh tumbuhan yang ada di daratan. Padahal CO2 merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang dapat membuat suhu atmosfer di bumi menjadi lebih panas. Oleh karena itu kemampuan besar fitoplankton untuk mengikat CO2 membuat fitoplankton dapat berfungsi penting sebagai pengendali iklim global. Tanpa keberadaan fitoplankton, atmosfer dan iklim di bumi ini akan menjadi lebih panas, tidak akan senyaman dan seindah seperti yang dapat dinikmati oleh banyak mahluk hidup di bumi sekarang ini. Kehidupan manusia modern sekarang ini, boleh dikatakan sangat bergantung pada penggunaan bahan bakar fossil, yang berupa minyak dan gas bumi. Pernahkah kita mempertanyakan fossil apa sebenarnya yang dimaksud? Jawabannya adalah fossil yang berasal dari kehidupan laut purba yang komponen utamanya adalah plankton. Proses geologi yang sangat panjang (ratusan juta tahun) membuat plankton mengendap, tertimbun tebal, jauh di bawah dasar laut, dan dengan suhu dan tekanan geostatik yang sangat tinggi, mengalami transformasi dan migrasi hingga akhirnya dapat membentuk jebakan minyak dan gas bumi yang dapat ditambang di zaman sekarang ini. Jadi apa yang kita bakar setiap hari dalam bentuk
Gambar 7. Proses terbentuknya minyak bumi dari plankton dalam proses geologi yang amat panjang. A. Matahari memasok energi untuk plankton dan biota laut lainnya. B. Plankton dan biota laut lainnya mati dan mengendap membentuk sedimen di dasar laut. C. Sedimen berlapis-lapis yang kaya akan bahan organik dan lumpur terus menumpuk dan dalam perjalanan waktu yang panjang menjadi fosil. D. Proses pematangan termal dan tekanan geostatik yang tinggi, disertai waktu geologis yang panjang (jutaan tahun) mengubah sedimen yang kaya akan bahan organik ini menjadi batuan yang kemudian mengalami deformasi, migrasi, terangkat, tertekuk, dan membentuk jebakan minyak yang kini dapat ditambang. (Blumle & Manz, 2004)
6
BBM (Bahan Bakar Minyak) asal usulnya tak lain adalah dari fossil plankton yang telah berproses jutaan tahun. Tidak heran bila dalam eksplorasi minyak dan gas bumi, fossil plankton merupakan petunjuk utama yang mengarahkan para explorer ke sasaran pencarian sumberdaya energi yang sangat penting itu. Kini, setelah manusia modern dengan aktivitas hariannya dan industrinya di seantero dunia tiap hari membakar bahan bakar fossil itu, dan buangannya berupa CO2 dihamburkan ke atmosfer bumi ini, maka kandungan CO2 di atmosfer bumi terus meningkat. Karena CO2 merupakan bagian dari Gas Rumah Kaca maka peningkatan kadarnya dapat membuat suhu atamosfer bumi juga akan semakin meningkat. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa sejak revolusi industri di awal abad lalu, kandungan CO2 di atmosfer bumi terus meningkat yang membuat suhu udara global juga meningkat dan selanjutnya dapat mengakibatkan naiknya muka laut, dan terjadinya pengasaman (acidification) air laut. Gejala perubahan global yang ditimbulkan cukup meresahkan masyarakat dunia karena akibat yang ditimbulkan dapat berdampak pada kelestarian lingkungan hidup global. Adakah yang dapat mengikat kembali CO2 itu untuk meredam pemanasan global? Jawabannya adalah tumbuhan yang dapat berfotosintesis, bukan saja tumbuhan di darat terutama hutan-hutan kita, tetapi tak kalah pentingnya juga adalah fitoplankton laut yang merupakan hutan laut yang tak tampak nyata itu. Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa fitoplankton di laut dapat mengikat CO2 kurang lebih setara dengan yang dapat diikat oleh seluruh tumbuhan di darat. Dari uraian singkat di atas, maka pada tempatnyalah bila kita memberikan apresiasi akan peran besar fitoplankton itu, yang ikut menjamin kelangsungan hidup di bumi ini. Tuhan memang telah menciptakan fitoplankton sebagai tumbuhan yang berukuran sangat renik, tak kasat mata, tetapi mempunyai fungsi yang sangat akbar.
PUSTAKA
Blumle, J. L. & L. Manz. 2004. The origin of oil. NDGS Newsletter 31 (1): 1-3. Falkowski, P. G. 2002. The ocean’s invisible forest. Marine phytoplankton play a critical role in regulating the earth's climate. Could they also be used to combat global warming? Scientific American, August 2002: 54-61. Hendiarti, N. 2003. Investigation of ocean color remote sensing in Indonesian waters using SeaWifs. Doctor Disertation. University of Rostock: 99 pp. Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Oseanografi: 248 hlm. 7
Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Penetahuan Indonesia. LIPI Press: 331 hlm.
-----
Anugerah Nontji 15/07/2017
8