sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXI, Nomor 3, 2006 : 33 - 44
ISSN 0216-1877
BEBERAPA METODE PENGUKURAN KLOROFIL FITOPLANKTON DI LAUT Oleh Sumijo Hadi Riyono1) ABSTRACT SOME MEASUREMENT METHODS OF PHYTOPLANKTON CHLOROPHYLL IN THE SEA. Its important is done measurement of phytoplankton chlorophyll because phytoplankton chlorophyll can be made as indicator total quantity or standing stock of phytoplankton. Phytoplankton quantity is how much of phytoplankton at the time and certain water volume in the waters. There others, phytoplankton chlorophyll can be use as measurement of primary productivity in the waters. The measurement of phytoplankton chlorophyll can be done by various methods among other like is colorimetric, spectrophotometric, fluorometric and chromatography paper. Information about of measurement methods is important because by the measurement knowledge method of phytoplankton chlorophyll the researcher and analyst earn the match of method with its requirement. Various excess and insuffiency from each the method is presented by detail.
PENDAHULUAN
ICHIMURA dalam RIYONO, 1989). Dengan demikian kandungan klorofil fitoplankton dapat dijadikan petunjuk akan kesuburan suatu perairan. FUSILER (dalam DEPKES, 1987) mengemukakan bahwa rasio perbandingan antara klorofil fitoplankton dengan biomassa dapat dijadikan petunjuk kualitas (pencemaran) suatu perairan. Untuk menentukan kandungan klorofil fitoplankton di suatu perairan pada saat tertentu, telah dikembangkan berbagai metode dari yang paling sederhana sampai yang cukup kompleks. Metode tersebut antara lain adalah kolorimetri, spektrofotometri, fluorometri dan chromatography-paper (kertas kromatografi).
Kemampuan potensial suatu perairan untuk menghasilkan sumberdaya alam hayati ditentukan oleh kandungan produktivitas primernya. Produktivitas primer adalah banyaknya zat organik yang dihasilkan dari zat anorganik melalui proses fotosintesis dalam satuan waktu dan volume air tertentu. Pengetahuan mengenai kandungan klorofil fitoplankton di suatu perairan apabila dilengkapi dengan data cahaya dapat digunakan untuk menghitung produktivitas primernya (RYTHER & YENTSCH; SAIJO &
1)
Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.
33
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Metode kolorimetri, sudah banyak ditinggalkan sedangkan metode chromatography-paper belum banyak digunakan dalam kegiatan yang bersifat rutin, antara lain dalam survei-survei oseanografi (NONTJI, 1973). Tulisan ini akan membicarakan berbagai metode pengukuran kandungan klorofil fitoplankton di laut serta kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode tersebut. Tujuan penulisan ini agar para pembaca memahami cara pengukuran kandungan klorofil fitoplankton sehingga dapat memilih metode yang tepat, akurat dan sesuai dengan tingkat kebutuhannya.
µg/L (STRICKLAND & PARSONS, 1968; JEFFREY & HUMPHREY, 1975). Metode spektrofotometri memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode kolorimetri karena pengukuran sudah menggunakan alat (spektrofotometer). Hasil pengukuran lebih akurat, dapat menentukan jenis-jenis klorofil (klorofil-a, -b, -c1 dan -c2) dan telah memiliki satuan absolut. Kelemahan dari metode spektrofotometri karena sensitifitas alat (spektrofotometer) rendah sehingga dalam proses penyaringan memerlukan volume air yang besar. Selain hal tersebut, metode spektrofotometri tidak dapat membedakan antara klorofil dengan hasil dekomposisinya sehingga hasil pengukuran lebih tinggi dari nilai yang sebenarnya. JEFFREY & ALLEN (1967) memperkenalkan metode kertas kromatografi. Metode ini dapat menentukan jenis-jenis pigmen pada fitoplankton secara lebih teliti, tetapi metode ini tidak dimaksudkan untuk pengukuran rutin di laut karena metode ini memerlukan tempat yang stabil. Metode kertas kromatografi dimaksudkan untuk mempelajari pigmen-pigmen fitoplankton dalam keadaan khusus, misalnya penelitian fisiologis blooming fitoplankton yang dilakukan in situ. Seiring dengan perkembangan berbagai metode tersebut, YENTSCH & MENZEL (1963) dan HOL-HANSEN et al., (1965) memperkenalkan metode fluorometri. Metode ini banyak memiliki kelebihan dibandingkan metode-metode lainnya, yaitu proses penyaringan berlangsung lebih cepat hanya memerlukan contoh air sebanyak 0,1–0,5 liter. Metode fluorometri memiliki kepekaan yang tinggi dan dapat membedakan antara klorofil dengan dekomposisinya. Untuk kepekaan yang sama pengukuran klorofil fitoplankton dengan metode fluorometri memerlukan jumlah volume contoh air yang disaring lebih sedikit daripada metode spektrofotometri. Besarnya jumlah contoh air yang disaring sangat bervariasi untuk setiap
MACAM–MACAM METODE PENGUKURAN KLOROFIL FITOPLANKTON Pengukuran klorofil fitoplankton di laut pertama kali diperkenalkan oleh HARVEY (1934) dengan menggunakan metode kolorimetri. Metode ini sederhana dan tidak memerlukan biaya mahal, namun memiliki kelemahan karena pengukuran untuk menentukan kesamaan warna antara larutan ekstrak klorofil dengan larutan standar dilakukan secara visual. Pengukuran dengan metode ini kurang akurat karena hasilnya sangat ditentukan oleh subyektivitas si pengamat dan nilai yang dihasilkan belum memiliki satuan absolut. KREY (1958) melakukan modifikasi untuk mendapatkan hasil pengukuran yang lebih akurat dengan alat yang disebut Pulfrich photometer dan Electrical colorimeter. Walau demikian nilai yang dihasilkan masih menggunakan satuan HPPU (Harvey Plant Pigment Unit) belum memiliki satuan absolut. Dalam perkembangan selanjutnya RICHARDS & THOMPSON (1952) menemukan metode spektrofotometric. Metode ini pertama kali diperkenalkan masih menggunakan satuan µSPU (mikro Specified Pigment Unit), metode ini kemudian mengalami modifikasi dengan ditemukannya satuan absolut yaitu mg/m3 atau
34
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
jenis perairan. Pada perairan oseanik (laut lepas) maupun perairan neritik (dekat pantai), proses penyaringan contoh air berkisar antara 0,1 – 0,5 liter untuk pengukuran dengan metode fluorometri. Sedangkan pengukuran dengan metode spektrofotometri memerlukan jumlah contoh air berkisar 1 – 2 liter untuk perairan neritik dan 5 – 10 liter untuk perairan oseanik. Perairan oseanik pada umumnya kandungan fitoplankton relatif lebih rendah daripada perairan neritik (pantai), hal ini terkait dengan ketersedian nutrien di perairan oseanik relatif lebih rendah daripada perairan pantai. Rendahnya kandungan fitoplankton pada perairan oseanik tersebut berakibat pada proses penyaringan contoh air berlangsung lambat karena memerlukan jumlah volume contoh air yang besar. Pada perairan pantai fitoplankton dapat tumbuh dan berkembang dengan pesat karena adanya suplai nutrien secara langsung melalui aliran sungai (run-off) yang bermuara di sekitar perairan tersebut. Tingginya kandungan fitoplankton di perairan pantai berakibat pada proses penyaringan untuk pengukuran kandungan klorofil fitoplankton berlangsung lebih cepat karena hanya memerlukan jumlah volume contoh air relatif lebih sedikit daripada perairan oseanik. Berdasar pengalaman, penulis sering membandingkan data hasil pengukuran dengan metode spektrofotometri dengan fluorometri. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa data yang dihasilkan dengan metode fluorometri 1,5–5,0 kali lebih besar dibandingkan pengukuran dengan metode spektrofotometri. Selain hal tersebut, pengukuran dengan metode spektrofotometri sering tidak terdeteksi namun setelah dilakukan pengukuran dengan metode fluorometri masih mendapatkan hasil (terdeteksi). Hal tersebut diperkuat oleh pendapat LOFTUS & CARPENTER (1971) dan RICHARD (2000), bahwa tehnik pengukuran dengan metode fluorometri memiliki sensitifitas lebih tinggi dibandingkan dengan spektrofotometri. PARSONS et al., (1984) berpendapat bahwa pengukuran dengan
metode fluorometri pada umumnya memiliki sensitivitas 5 – 10 kali daripada metode spektrofotometri. Sejalan dengan ini beberapa penulis (HOLM-HANSEN et al., 1965 dan YENTSCH & MENZEL, 1963) menyatakan tehnik pengukuran dengan metode fluorometri memiliki sensitifitas 10 kali lebih tinggi daripada tehnik pengukuran dengan metode spektrofotometri. Berdasarkan pengalaman dalam melakukan pengukuran tersebut dan berbagai literatur maka Laboratorium Produktivitas – Pusat Penelitian Oseanografi dari tahun 1986 sampai saat ini menggunakan metode fluorometri. Berikut akan disampaikan prosedur serta ulasan dari berbagai metode (metode kolorimetri, spektrofotometri, flurometri dan kertas kromatografi) secara rinci. 1. Metode Kolorimetri Di Indonesia sampai saat ini metode kolorimetri untuk pengukuran kadar klorofil masih banyak digunakan. Hal ini disebabkan metode tersebut cukup sederhana, tidak memerlukan peralatan yang mahal dan hanya didasarkan pada perbandingan warna-warna (HARVEY, 1934). Prosedur untuk melakukan pengukuran klorofil dengan metode kolorimetri adalah dengan cara mengisi sejumlah tabung gelas (berdiameter sama) dengan larutan standar yang memiliki kadar yang berbeda. Kadar larutan standar tersebut semakin bertingkat sehingga terdapat sederet warna yang semakin pekat dan sekaligus menunjukkan satuan HPPU-nya. Satu HPPU (Harvey Plant Pigment Unit) dari larutan standar mempunyai warna kehijau-hijauan, yang dihasilkan dari campuran 430 µg nickel-sulphate-hexa hydrate ditambah 25 µg potassium dichromate dalam larutan yang agak asam. Warna larutan dalam tabung-tabung tersebut dibandingkan dengan warna dari ekstrak klorofil dalam aceton 90 % yang juga berada dalam tabung-tabung serupa (Gambar 1). Warna yang paling cocok dengan salah satu tabung standar menunjukkan nilai HPPU-nya.
35
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
a. Panjang gelombang (ë) dan half-value band-width (lebar spektrum pada setengah dari intensitas penyinaran maksimum). Makin sempit band-width nya akan semakin teliti, sedangkan spektrofotometer yang baik dapat bekerja dengan band-width sebesar 3 – 4 nm. b. Kadar zat terlarut yang diperiksa. Kadar yang sangat rendah memiliki akurasi yang rendah, demikian pula sebaliknya. c. Koefisien penyerapan pada panjang gelombang yang digunakan. d. Panjang lintas cahaya dalam cuvette (pathlength). Path-length yang panjang dapat mengukur dengan lebih teliti.
Gambar 1. Pengukuran kandungan klorofil berdasarkan perbandingan warna (colorimetri) dengan larutan standar. Kesulitan dalam metode ini adalah untuk membedakan warna secara cermat, karena perbedaan warna hanya berdasarkan pengamatan secara visual dengan penglihatan, sehingga ada faktor subjektif si pengamat adalah yang menentukan. Untuk mengatasi kesulitan dalam membandingkan warna, kemudian digunakan Pulfrich photometer dan Electrical colorimeter dengan beberapa modifikasi (KREY, 1958). 2. Metode Spektrofotometri Metode spektrofotometri dalam pengukuran klorofil fitoplankton adalah yang paling populer digunakan (Gambar 2). Dalam metode ini panjang gelombang yang digunakan dapat diatur menurut keperluan dan penyerapannyapun dapat diukur. Larutan yang diperiksa dimasukkan dalam cuvette atau absorption cell dan diletakkan dalam lintasan cahaya di dalam spektrofotometer. Penyerapan (log I0 – log I) pada gelombang tertentu dapat ditentukan secara elektrik. Prinsip yang digunakan dalam metode ini didasarkan pada hukum Lambert dan Beer, yaitu penyerapan pada gelombang cahaya tertentu merupakan fungsi dari kadar zat yang terlarut, koefisien penyerapan dan panjang lintas cahaya (path length) dalam cuvette. Ketelitian dalam metode spektrofotometri ini ditentukan oleh beberapa faktor yakni :
Gambar 2. Spektrofotometer alat pengukuran klorofil fitoplankton Penentuan kadar klorofil pada fitoplankton laut dengan metode spektrofotometri didasarkan pada metode yang digunakan oleh RICHARDS & THOMPSON (1952). Berbagai modifikasi tentang prosedur dan rumus penghitungan kemudian dikembangkan di berbagai negara disesuaikan dengan kondisi setempat, perkembangan terakhir misalnya modifikasi yang diajukan oleh DAVIS (1957), KREY (1958), TALLING & DRAVER (1961), UNESCO (1966), STRICKLAND & PARSONS (1968) dan JEFFREY & HUMPHREY (1975).
36
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Prinsip metode spektrofotometri
b. Penyaringan
Prinsip metode untuk pengukuran klorofil secara spektrofotometri didasarkan pada penyerapan maksimum oleh ekstrak klorofil dalam aceton di daerah spektrum merah (panjang gelombang 630 – 665 nm). Penyerapan maksimum untuk klorofil-a, -b dan -c terjadi pada tiga panjang gelombang, yaitu 665, 645 dan 630 nm (trichromatic). Beberapa tahapan yang perlu mendapat perhatian adalah dari saat proses pengambilan contoh air, penyaringan, penyimpanan sampel, ekstraksi sampai dengan pengukuran agar dihindarkan dari cahaya secara langsung. Cahaya yang intensitasnya terlalu kuat akan merusak klorofil dalam reaksi yang disebut photo oxidation (NONTJI, 1973). Modifikasi dari beberapa metode tersebut diringkaskan sebagai berikut.
Contoh air yang telah diambil, sebelum dapat dilakukan penyaringan dapat disimpan dalam almari es. Cara ini contoh air untuk penentuan klorofil dapat bertahan selama 1 hari sampai proses penyaringan dapat dilakukan (HERVE & HEINONEN 1982), sedangkan menurut WEBER et al., (dalam CARLSON & SIMPSON, 1996) contoh air tersebut dapat bertahan sampai 18 hari tanpa mengalami perubahan yang signifikan. Namun contoh air yang disimpan dalam suhu ruang (20 oC) akan berkurang 50 % dalam waktu 5 hari. Walau demikian disarankan agar segera disaring karena perubahan suhu dapat berpengaruh secara langsung terhadap contoh air, yakni mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Berbagai sistem penyaringan dapat digunakan, salah satu alat saring yang efisien adalah seperti tampak pada Gambar 4. Jenis saringan (filter) yang digunakan bermacammacam. Millpore Filter jenis HAWP (ukuran pori 0,45 µm) mempunyai daya saring yang baik, bahannya terbuat dari cellulose-ester dan mudah larut dalam aceton. Filter jenis tersebut memiliki pori-pori yang sangat halus sehingga proses penyaringan berlangsung lambat. Glassfibre adalah filter jenis lain yang mempunyai daya saring lebih kasar karena tidak mempunyai ukuran pori tertentu, tetapi penyaringan dapat berlangsung lebih cepat sehingga volume air yang disaring cukup besar. Berbagai saringan jenis lain dapat pula digunakan sesuai dengan sasaran fitoplankton yang akan disaring. Untuk memperlancar penyaringan maka di bagian bawah saringan diberikan tekanan vacuum dengan menggunakan pompa hisap yang tekanan hisapnya tidak lebih dari 30 cm Hg.
a. Pengambilan Contoh (Sample) Pengambilan contoh fitoplankton dapat dilakukan dari lapisan permukaan laut maupun lapisan di bawahnya dengan berbagai alat, diantaranya adalah Van Dorn (Gambar 3). Volume yang diambil umumnya berkisar 5–10 liter. Pada perairan neritik (dekat pantai), volume air yang diperlukan relatif lebih sedikit daripada perairan oseanik karena pada umumnya perairan neritik relatif keruh sehingga kertas saring yang digunakan akan cepat tersumbat.
Gambar 3. Van Dorn (water sampler) alat pengambilan contoh air
37
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
pengukuran menggambarkan nilai yang sebenarnya. e. Ekstraksi
Magnesium carbonate (MgCO 3 ) ditambahkan pada sampel selama penyaringan berlangsung, dapat berupa tepung maupun suspensi. Penambahan ini tidak bersifat kuantitatif dan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pengasaman yang dapat memecahkan klorofil dengan membentuk phaeophytin. Menurut HUMPHREY & WOOTTON (1966), penambahan MgCO3 dapat pula memperlancar penyaringan, oleh karena itu disarankan agar penambahan MgCO 3 sebaiknya dilakukan pada permulaan penyaringan.
Contoh (sample) diekstrak dalam pelarut aceton 90 %. Sampel yang telah diekstrak sebelum dapat dilakukan pengukuran dapat disimpan dalam almari es pada suhu (< 4 oC). selama ± 20 – 50 jam (STRICKLAND & PARSONS, 1968), tetapi RICHARD (2000) berpendapat bahwa sampel yang telah diekstrak dapat disimpan antara 2 – 24 jam. Bila filter yang digunakan terbuat dari membram selulosa maka filter tersebut segera larut dalam aceton, sedang filter yang terbuat dari glass-fibre tidak dapat larut maka perlu dihancurkan dengan cara menggerus (ground). Penggerusan dengan tissue-grinder hanya membutuhkan waktu 5 – 10 menit dan memberikan hasil yang baik karena dapat memecah sel-sel hingga mempercepat proses ekstraksi (KERR & SUBBA-RAO, 1966). Akibat yang serupa dapat pula dicapai dengan memberikan perlakukan ultrasonic (misalnya dengan 10 MHz atau 1000 kc) terhadap sampel yang diekstrak (SCIENCE COUNCIL OF JAPAN dalam NONTJI, 1973).
d. Penyimpanan contoh
f. Pengukuran penyerapan
Filter hasil penyaringan yang telah mengandung fitoplankton (sampel) agar disimpan dalam tempat gelap dan segera dikeringkan dengan silica-gel dalam desikator aluminium pada suhu rendah (-20oC). Cara ini sampel untuk penentuan klorofil dapat bertahan sampai 30 hari sampai proses ekstraksi dapat dilakukan (PARSONS et al., 1984). Sejalan dengan hal tersebut RICHARD (2000) melaporkan bahwa sampel yang disimpan dalam freezer (-20oC) dapat diawetkan sampai kurang lebih 3 ½ minggu tanpa mengalami perubahan yang nyata, namun lebih baik langsung mengekstraknya. Pengawetan sampel pada suhu rendah tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar sampel dalam kondisi segar (fresh) dan mencegah aktivitas fitoplankton yang terdapat dalam sampel tersebut sehingga hasil
Larutan yang telah diekstrak, dicentrifuge dengan putaran 4000 rpm selama kurang lebih 30-45 menit, kemudian diukur penyerapannya dengan menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu. RICHARDS & THOMPSON (1952) menggunakan panjang gelombang 750, 665, 645 dan 630 nm. Panjang gelombang 750 nm adalah untuk koreksi terhadap kekeruhan (turbiditas) karena pada panjang gelombang tersebut tidak ada penyerapan yang disebabkan oleh klorofil. Panjang gelombang 665, 645 dan 630 nm masingmasing adalah panjang gelombang dimana terjadi penyerapan maksimum dari klorofil-a, -b dan -c dalam aceton 90 %. Gambar 5, menunjukkan penyerapan maksimum dari klorofil-a, -b dan -c dalam larutan ether (BOGORAD, 1962).
Gambar 4. Alat saring c. Penambahan magnesium carbonate (MgCO3 )
38
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 5. Spektrum maksimum penyerapan klorofil-a, -b dan –c dalam larutan ether (BOGORAD, 1962). dimana Va = volume ekstrak, ml Vs = volume sampel air laut yang disaring, liter d = lebar kuvet, path length (cm)
g. Penghitungan Penyerapan pada panjang gelombang 665, 645 dan 630 nm dikurangi dengan penyerapan pada panjang gelombang 750 untuk koreksi terhadap kekeruhan. Kadar klorofil yang telah diekstrak dapat dihitung dengan rumus tertentu, misalnya rumus RICHARDS & THOMPSON (1952) : Chl.-a = 15,6 E665 – 2,0 E645 – 0,8 E630 µg/ml
Untuk mempercepat penghitungan maka DUXBURY & YENTSCH (1956) dan STRICKLAND & PARSONS (1968) membuat nomograph untuk masing-masing rumus RICHARDS & THOMSON dan STRICKLAND & PARSONS.
Chl.-b = 25,4 E645 – 4,4 E665 – 10,3 E630 µg/ml
h. Berbagai penggunaan rumus
Chl.-c = 109 E630 – 12,5 E665 – 28,7 E645 µSPU/ml
Penentuan klorofil dengan metode spektrofotometri didasarkan pada penyerapan maksimum dari tiga panjang gelombang (trichromatic). Masing–masing merupakan penyerapan maksimum untuk klorofil-a, -b dan -c di daerah spektrum merah. Adanya overlapping penyerapan antara ketiga jenis klorofil tersebut maka untuk melakukan penghitungan dari masing-masing klorofil dibuatlah rumus-rumus dimana faktor overlapping tersebut dikoreksi. Dalam perkembangannya kemudian muncul beberapa versi rumus penghitungan klorofil-a, -b dan –c seperti tercantum dalam Tabel 1, 2 dan 3.
E, adalah penyerapan pada panjang gelombang yang bersangkutan (misalnya E665 = penyerapan pada gelombang 665 nm). Berdasarkan rumus tersebut klorofil-c dinyatakan dalam satuan µSPU (mikro Specified Pigment Unit). Untuk menghitung kadar klorofil pada sampel air laut (dalam satuan µg/l atau mg/m3) maka nilai di atas dikalikan dengan faktor (k) : Va k = __________ Vs x d
39
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pada fitoplankton laut, klorofil -a dijumpai dalam jumlah terbesar (dominan) dibandingkan dengan klorofil-b dan –c, sehingga beberapa peneliti membuat rumus untuk klorofil -a yang didasarkan pada penyerapan pada satu gelombang saja (monochromatic). Klorofil-c pada rumus yang diajukan oleh RICHARDS & THOMPSON (1952) masih menggunakan satuan arbitrary (SPU) tetapi rumus-rumus seperti UNESCO (1966) dan STRICKLAND & PARSONS (1968) telah menggunakan satuan absolut, misalnya mg/m3. i. Perbedaan klorofil dekomposisinya
dari
karena klorofil dan hasil dekomposisinya masih sulit dibedakan, keduanya menyerap cahaya pada spektrum merah. Apabila hasil-hasil dekomposisi klorofil yang oleh YENTSCH & MENZEL (1963) disebut sebagai phaeophytin group, merupakan komponen yang besar maka dengan sendirinya hasil pengukuran klorofil akan lebih tinggi dari yang sebenarnya. Klorofil -a mudah berubah menjadi phaeophytin dengan menambahkan asam lemah, misalnya dengan HCl 1 N, akibatnya sampel klorofil tersebut penyerapannya akan berkurang, sedangkan phaeophytin tidak mengalami pengurangan penyerapan. Berkurangnya penyerapan ini disebabkan lepasnya ikatan klorofil dengan atom Mg, sedangkan atom Mg bereaksi dengan HCl menjadi MgCl2.
hasil
Salah satu kelemahan dalam pengukuran klorofil dengan metode spektrofotometri adalah
Tabel 1. Berbagai rumus untuk menghitung klorofil-a dengan pelarut aceton 90%.
Rumus
Sumber
Klor-a = 15,6E665 –2E645 –0,8E630
RICHARDS & TOMPSON (1952)
Klor -a = 14,9E665
DAVIS (1957)
Klor -a = 14,3E665
ODUM et al. (1958)
Klor -a = 15,6E665 –1,8E645 –1,3E630
HUMPHREY (1961)
Klor -a = 11,9E665
TALLING & DRAVER (1961)
Klor -a = 13,4E663 –0,3E630
KERR & SUBBA-RAO (1966)
Klor -a = 11,64E6653–2,16E645 –0,1E630
UNESCO (1966)
Klor -a = 11,6E665 –1,31E645 –0,14E630
STRICKLAND & PARSONS (1968)
Tabel 2. Berbagai rumus untuk menghitung klorofil-b dengan pelarut aceton 90%.
Rumus
Sumber
Klor -b = 25,4E645 –4,4E665 –10,3E630
RICHARDS & TOMPSON (1952)
Klor -b = 20,97E645 –3,94E663 –3,66E630
UNESCO (1966)
Klor -b = 20,7E645 –4,34E665 –4,42E630
STRICKLAND & PARSONS (1968)
40
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 3. Berbagai rumus untuk menghitung klorofil-c dengan pelarut aceton 90%. Rumus
Sumber
Klor -c = 109E630 –12,5E665 –28,7E645
RICHARDS & TOMPSON (1952)
Klor -c = 55E630 –4,64E665 –16,3E645
UNESCO (1966)
Klor -c = 55,22E630 –14,81E645 –28,7E663
STRICKLAND & PARSONS (1968)
dapat pula dibedakan klorofil dengan phaeophytin.
Sifat klorofil-a yang mudah berubah menjadi phaeophytin dan penyerapannya mengalami pengurangan dengan penambahan asam tersebut adalah prinsip yang digunakan untuk menentukan klorofil dalam sampel fitoplankton yang mengandung phaeophytin. LORENZEN (1967) mengajukan rumus seperti berikut : 26,7 (665b – 665a) x Ve Klorofil-a (mg/m3) = _________________________________ Vs x d dimana; 665b = penyerapan pada panjang gelombang 665 nm sebelum penambahan asam 665a = penyerapan pada panjang gelombang 665 nm setelah penambahan asam Ve = volume aceton yang digunakan dalam ekstraksi, ml Vs = volume air yang disaring, liter d = lebar kuvet, path-length (cm).
Gambar 6. Fluorometer alat pengukuran klorofil fitoplankton Prosedur pengambilan sampel, penyaringan, ekstraksi dan centrifuge adalah sama seperti pada metode spektrofotometri. Perbedaanya hanya pada volume sampel yang diperlukan jauh lebih sedikit dan dengan perlakuan yang singkat. Prinsip kerja dari fluorometer adalah penyinaran untuk cahaya excitation dengan filter cahaya biru-ungu (Corning CS. 5-60) kemudian diteruskan oleh sampel (emisision) melalui filter cahaya merah (Corning CS. 2-64). Apabila phaeophytin tidak terdapat dalam sampel maka klorofil-a dapat ditentukan dengan rumus HOLM-HANSEN et al., (1965) :
3. Metode Fluorometri Sifat fluorescence pada klorofil dapat dijadikan dasar bagi pengukuran klorofil fitoplankton. YENTSCH & MENZEL (1963) telah mengajukan metode pengukuran klorofila dengan menggunakan fluorometer Turner (Gambar 6) yang kemudian diteliti pula oleh HOLM-HANSEN et al., (1965). Metode ini mempunyai beberapa kelebihan, dengan kepekaan yang sama sampel yang diperlukan jauh lebih sedikit, lagi pula prosedurnya dapat dikerjakan lebih cepat. Berdasarkan metode ini
Klorofil-a (mg/m3) = Fd x R R, adalah bacaan fluorometer dan Fd adalah faktor yang bergantung pada perbesaran lintasan cahaya.
41
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Apabila pada sampel fitoplankton terdapat phaeophytin maka klorofil-a dapat dibedakan dari phaeophytin dengan cara menambahkan larutan asam HCl 1 N dengan menggunakan pipet tetes sebanyak 1-2 tetes, kemudian diperiksa dengan fluorometer sebelum dan sesudah penambahan asam tersebut. HOLM-HANSEN et al., (1965) menggunakan rumus sebagai berikut:
4. Metode Kertas Kromatografi Penentuan pigmen-pigmen fitoplankton dapat ditentukan secara lebih teliti dengan metode kertas kromatografi, tetapi metode ini tidak banyak digunakan dalam pengukuranpengukuran rutin di laut. Salah satu kesulitan pokok kerja di lapangan (di atas kapal) adalah kestabilan tidak dapat dipertahankan, karena metode ini diperlukan solven-front horizontal yang seragam. JEFFREY & ALLEN (1967) membuat suatu modifikasi untuk diterapkan dalam pekerjaan di laut, namun tidak dimaksudkan sebagai metode yang dapat digunakan secara luas dalam survei-survei rutin oseanografi. Metode ini dimaksudkan untuk mempelajari pigmen-pigmen fitoplankton dalam keadaan khusus saja, misalnya penelitian fisiologis blooming fitoplankton yang dilakukan in situ dan sebagainya.
τ
Klorofil-a (mg/m3) = Fd ––— (Rb - Ra) τ -1
dimana; F d = faktor yang bergantung pada perbesaran lintasan cahaya Rb = bacaan fluorometer sebelum penambahan asam Ra = bacaan fluorometer setelah penambahan asam τ = ratio Rb/Ra dari larutan standar (klorofila murni)
DAFTAR PUSTAKA
Penambahan asam yang terlalu banyak menyebabkan degradasi phaeophytin menjadi phaeophorbide (HALLEGRAEFF, 1976) sehingga kadar klorofil menjadi lebih rendah dari yang seharusnya. Klorofil -a mudah berubah menjadi phaeophytin dengan menambahkan asam lemah atau encer (HCl 1 N) karena lepasnya ikatan dengan atom Mg, sehingga klorofil tersebut akan berkurang penyerapannya, sedangkan phaeophytin tidak mengalami pengurangan penyerapan. Namun bilamana phaeophytin berubah menjadi phaeophorbide karena penambahan asam yang terlalu banyak maka penyerapannya akan berkurang. Berkurangnya penyerapan akibat terbentuknya phaeophorbide ini bersamaan waktunya dengan berkurangnya penyerapan pada klorofil saat pengasaman sehingga sangat sulit dibedakan besarnya pengurangan penyerapan antara klorofil maupun phaeophorbide.
BOGORAD, D.L. 1962. Chlorophyll. In: Physiology and Biochemistry of Algae. (R. LEWIN ed.). Academic Press, New York: 3-23. CARLSON, R.E. and J. SIMPSON 1996. Chlorophyll Analysis. North American Lake Management Society: 96 pp. DAVIS, F.S. 1957. A method for determination of chlorophyll in seawater. CSIRO – Austr. Div. Fish. and Oceanogr. Rep. 7 :1-8. DEPKES 1987. Kualitas air sungai yang digunakan sebagai sumber air minum di DKI. Depkes, Jakarta: 31 hal. DUXBURY, A.C. and C.S. YENTSCH 1956. Plankton pigment monographs. J. Mar. Res. 15 : 92-101. HALLEGRAEFF, G.M. 1976. Pigment diversity in freshwater phytoplankton I. A
42
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
comparison of spectrophotometric and paper chromatographic methods. Int. Revue ges. Hydrobiol. 61 : 149-168.
of photosinthetic pigments in seawater. Unesco Monographs on Oceanographic Methodology 1: 66-69.
HERVE, S. and P. HEINONEN 1982. Some factors effectin the determination of chlorophyll-a in algal samples. Ann. Bot. Pennici 19 : 211-217.
KREY, J. 1958. Chemical method of estimating standing crop of phytoplankton. Rapp. et Proc. Verb. 144 : 20–27. LOFTUS, M.E. and J.H. CARPENTER 1971. A fluorometric method for determining chlorophylls a, b, and c. J. Mar. Res. 29: 319-338.
HARVEY, H.W. 1934. Measurement of phytoplankton population. Ass. UK. Journ. Mar. Biol. 19 : 761–763. HOLM-HANSEN, O.; C.J. LORENZEN; R.W. HOLMES and J.D.H. STRICKLAND 1965. Fluorometric determination of chlorophyll. Journ. du Conseil 30 : 3– 15.
LORENZEN, C.J. 1967. Determination of chlorophyll and phaeopigments. Spectrophotometric equations. Limnol. and Oceanogr. 12 : 343–346. NONTJI, A. 1973. Kandungan klorofil pada fitoplankton laut. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta : 50 hal.
HUMPHREY, G.F. 1961. Phytoplankton pigments in the Pacific Ocean. Proc. Conf. Primary Productivity Measurement, Marine and Freshwater. US. Atomic Energy Commission, Div. Tech. Inform. 7633 : 121–141.
ODUM, H.T.; W. Mc CONNELL and W. ABBOT 1958. The chlorophyll-a of communities. Pub. Inst. Univ. Texas. Mar. Sci. 5 : 65– 96.
HUMPHREY, G.F. and M. WOTTON 1966. Comparison of techniques used in the determination of photosinthetic pigment in seawater. Unesco monographs on Oceanographic Metodology 1 : 37–83.
PARSONS, T.R.; Y. MAITA and C.M. LAILLI 1984. A Manual of Chemical and Biological Methods for Seawater Analysis. Pergamon Press : 101-109. RICHARD, F.L. 2000. Phytoplankton chlorophyll. Fluorometric Analysis Base on USEPA Method 445.0. Greenwood University, SC.: 1-2.
JEFFREY, S.W. and M.B. ALLEN 1967. A paper chromatographic method for the separation of phytoplankton pigment at the sea. Limnol. and Oceanogr. 12 : 533– 537.
RICHARDS, F.A. and T.G. THOMPSON 1952. The estimation and characterization of plankton populations by pigment analysis II. A spectrophotometric method for estimation of plankton pigments. Journ. Mar. Res. 11 : 156-172.
JEFFREY, S.W. and G.F. HUMPHREY 1975. New spectrophotometric equations for determining chlorophylls a, b, c1 and c2 in higher plants, algae and natural phytoplankton. Biochem. Physiol. Pflance. 167 : 191–194.
RIYONO, S.H. 1989. Kesuburan perairan di Pantai Kartini, Jepara dan sekitarnya ditinjau dari kandungan klorofil fitoplankton. Dalam: “Penelitian Oseanologi Perairan Indonesia Buku I”.
KERR, J.D. and D.V. SUBBA-RAO 1966. Extraction of chlorophyll-a from Nitschia closterium by grinding. Determination
43
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Biologi, Geologi, Lingkungan dan Oseanografi. (D.P. PRASENO, W. ATMADJA, O.H. ARINARDI, RUYITNO dan I. SUPANGAT eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi–LIPI, Jakarta : 81– 88.
Conf. Primary Productivity Measurement, Marine and Freshwater. US. Atomic Energy Commission, Div. Tech. Inform. 7633 : 142–146. UNESCO 1966. Determination of photosyntethic pigments in seawater. Unesco Monographs on Oceanographic Methodology 1 : 69 pp.
STRICKLAND, J.D.H. dan T.R. PARSONS 1968. A practical handbook of seawater analysis. Board Canada. Bull. Fish. Res. 167 : 311 pp.
YENTSCH, C.S. and D.W. MENZEL 1963. A method for determinations of phytoplankton chlorophyll and phaeophytin by fluorescence. Deep. Sea. Res. 10 : 221–231.
TALLING, D.F. and D. DRAVER 1961. Some problems in the estimation of chlorophyll-a in phytoplankton. Proc.
44
Oseana, Volume XXXI No. 3, 2006