TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Pendefinisian suatu kemiskinan bukanlah suatu hal yang mudah, karena diperlukan berbagai aspek yang dapat dijadikan sebagai indikator pengukurannya Berbeda dengan fenomena kemiskinan di negara-negara maju, kemiskinan di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara pada umumnya berkaitan dengan masalah kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada atau sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer, dan lain -lain (Griffin, 1980). Friedman (1981) mendefinisikan kemiskinan dari suatu basis kekuasaan sosial, yang meliputi: (a) modal yang produktif ata u asset, misalnya: tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lain-lain; (b) sumber-sumber keuangan, seperti: income dan kredit yang memadai; (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, seperti: partai politik, sindikat, koperasi, dan lain-lain ; (c) network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, dan lain -lain; (d) pengetahuan dan keterampilan yang memadai; (e) informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan orang. Dari definisi ini terlihat berbagai aspek yang dijadikan sebagai indikator pengukuran kemiskinan. Badan Koordinasi Pena nggulangan Kemiskinan (BKPK) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian SEMERU (2001) membuat batasan kemiskinan: a. ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan); b. tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi): c. tidak adanya jaminan masa depan karena tidak adanya investasi untuk pendidikan dan keluarga); d. kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun masal; e. rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam; f. tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat; g. tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; h. ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental; i. ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial, seperti anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil.
10
Definisi-definsi di atas jelas terlihat apa yang dimaksud dengan kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya saja menyangkut kepemilikan harta yang bersifat material, tetapi juga hal-hal yang bersifat non-material termasuk di dalamnya kepemilikan akses terhadap berbagai sumber. Secara umum, pendekatan yang biasa digunakan dalam mengukur kemiskinan adalah mengacu pada dua konsep yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut diukur dari kemampuan individu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupanya secara layak, yang pada intinya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu: pemenuhan makan, rumah dan pakaian. Kemiskinan seperti biasa dikenal dengan inability of individual to meet basic needs (Tjondronegoro, Seoyono, dan Har djono, 1993). Hal yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh Sen dalam Meier (1989), yang mengatakan bahwa kemiskinan adala h: the failure to have certain minimum capabilities.Dari dua konsep di atas dikategorika n miskin bilamana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak. BPS dan Departemen Sosial (2002) merumuskan kemiskinan dan fakir miskin dengan cara pendekatan menetapkan nilai standar kebutuhan minum yang harus dipenuhi seseorang dalam mempertahankan hidupnya yaitu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan makanan dan non makan. Standar kebutuhan minum ini dikenal dengan garis kemiskinan atau poverty line atau poverty treshold . Garis kemiskinan yang berkaitan dengan kebutuhan makanan
adalah
sejumlah rupiah yang harus dikeluarkan oleh seorang individu untuk dapat membayar kebutuhan
makan setara dengan 2.100 kalori per orang per hari.
Sedangkan kriteria kebutuhan non makan berkaitan dengan kemampuan invididu untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan kebutuhan barang-barang dan jasa lainnya. Bilamana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atas secara layak, maka dikategorikan sebagai miskin. Kemudian dalam penetapan rumah tangga miskin dalam rangka pemberian Bantuan Langsung Tunai Rumah Tangga Miskin (BLTRTM) kepada kelompok miskin, BPS (2005) menetapkan 14 kriteria kemiskinan, yaitu:
11
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal yang dimanfaatkan untuk aktivitas seharihari 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas terdiri dari tanah / bambu / kayu berkualitas rendah 3. Jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas terdiri dari tanah / bambu / kayu berkualitas rendah. 4. Fasilitas tempat buang air besar (jamban/kakus) digunakan secara bersama-sama atau penggunaan secara umum. 5. Sumber air minum adalah sumber atau mata air tidak terlindung/sungai/air hujan 6. Sumber penerangan utama bukan listrik 7. Jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari terdiri dari kayu / arang /minyak tanah 8. Jarang atau tidak pernah membeli daging/ayam/susu setiap minggunya. 9. Anggota rumah tangga biasanya hanya mampu menyediakan makan dua kali dalam sehari. 10. Tidak mampu membeli pakaian baru minimal satu stel setiap setahun. 11. Bila jatuh sakit tidak berobat karena tidak ada biaya untuk berobat 12. Pekerjaan utama anggota kepala keluarga sebagai buruh kasar atau tidak bekerja 13. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala keluarga adalah SD ke bawah 14. Ada tidaknya barang dalam keluarga yang dapat dijual dengan nilai Rp 500.000,-.
Selanjutnya dari kriteria di atas dikembangkan 3 kategori dalam mengelompokkan siapa penduduk miskin tersebut, yaitu: a. Penduduk dik atakan sangat miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 1900 kalori per orang perhari plus kebutuhan dasar non-makan, atau setara dengan Rp 120.000,- per bulan. b. Penduduk dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 1900 sampai 2100 kalori per orang perhari plus kebutuhan dasar non-makan, atau setara dengan Rp 150.000,per orang per bulan. c. Penduduk dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 2100 sampai 2300 kalori per orang perhari plus kebutuhan dasar non-makan, atau setara dengan Rp 175.000,- per orang per bulan. Didasarkan pada kriteria di atas, maka batas garis kemiskinan suatu keluarga dikatakan sangat miskin , miskin dan mendekati miskin adalah kemampuan memenuhi konsumsi perorang per hari plus kebutuhan sadar nonmakan plus kebutuhan dasar non-makan yang harus dipenuhi dikalikan dengan jumlah anggota keluarga dalam satu keluarga. Namun garis kemiskinan yang disetarakan dengan jumlah rupiah yang dibutuhkan akan bervariasi antar daerah tergantung para harga-harga kebutuhan dasar dari masing-masing daerah.
12
Bila dilihat kriteria di atas mungkin kasus-kasus di atas akan dapat dijumpai, tetapi apakah kasus -kasus tersebut sudah menggambarkan kriteria yang sesungguhnya, seperti kriteria nomor 2, 3, 7. Menurut hemat penulis kriteria ini sangat terkait dengan nilai budaya masyarakat. Untuk suatu daerah tertentu ada budaya masyarakat yang sebenarnya mampu membuat lantai dan dinding rumahnya dari semen, tetapi karena budaya masyarakat sangat terbiasa dengan rumah terbuat dari lantai dan berdinding kayu, sehingga rumahnya hanya berlantai dan berdinding kayu. Padahal
keluarga tersebut mampu secara ekonomi.
Demikian juga dengan kriteria makan hanya maksimal dua kali dalam sehari, ada budaya masyarakat yang hanya makan dua kali dalam sehari tetapi bukan karena mereka tidak mampu menyediakan makan lebih dari tiga kali, tetapi hanya karena budaya yang seperti itu. Bagaimana pun hal seperti ini perlu dipertimbangkan dalam proses penentuan keluarga miskin tersebut, sehingga tidak salah pilih. Departemen Sosial (2004) mencoba membedakan antara miskin dan fakir miskin berangkat dari persoalan-persoalan faktual yang dialami oleh kelompok miskin. Pendekatan makanan dan non makan dalam mengukur kemiskinan, sangat rentan terhadap perubahan kondisi kehidupan masyarakat miskin, di mana pendekatan ini lebih berorientasi pada harga pasar.
Melonjaknya jumlah
penduduk miskin pada tahun 1997 disebabkan terjadinya krisis ekonomi sehingga terjadi depresiasi rupiah terhadap dollar. Harga -harga kebutuhan pokok melonjak menjadikan jumlah penduduk miskin semakin bertambah secara statistik, karena pengukurannya lebih didasarkan pada perkembangan harga yang ada. Karena itu, untuk kepentingan operasionalisasi penaggulangan masalah kemiskinan, Ada beberapa indikator kemiskinan yang dijadikan acuan oleh Departemen Sosial yang terkait dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat miskin tersebut, yaitu: 1. Penghasilan rendah, atau berada dibawah garis kemiskinan yang dapat diukur
2. 3. 4. 5. 6.
dari tingkat pengeluaran per -orang per -bulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Ketergantungan pada bantuan pangan kemiskinan (zakat/ raskin/ santunan sosial) Keterbatasan kepemilikan pakaian yang cukup setiap anggota keluarga per tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun) Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya Tidak memiliki harta yang dapat dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis kemiskinan.
13
7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40
tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal. 8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf. 9. Tinggal di rumah yang tidak layak huni
(Depsos, 2004)
Kriteria di atas sangat multidimensional, artinya bahwa setiap orang dapat berbeda jenis dan kedalaman kemiskinannya. Bilamana 3 (tiga) kriteria sudah dipenuhi dari 9 kriteria yang diapaparkan sudah dapat dikategorikan sebagai miskin atau layak mendapatkan bantuan atau pelayanan dari Departemen Sosial. Pada sisi lain, bila kriteria ini dikembangkan dalam kaitannya dengan pengelompokkan masyarakat miskin, 4 hingga 6 kriteria dipenuhi dikategorikan sebagai non-fakir dan lebih dari 6 kriteria dipenuhi seseorang maka seseorang tersebut dikategorikan sebagai fakir miskin . Tetapi perlu dipahami, bahwa kriteria di atas bukalah keriteria yang berdisi sendiri tetapi kriteria yang terintegrasi dengan kriteria yang lainnya. Jadi, kedalaman tingkat kemiskinan seseorang harus dilihat dalam kaitannya dengan kriteria yang lainnya. Pemahaman suatu kriteria harus dilihat secara utuh, tetapi tidak hanya secara sepotong-sepotong. Rumah sering dijadikan sebagai indikator atau tolok ukur kemiskinan. Ukuran kelayakan sebuah rumah tempat tinggal pada kenyataan sangat banyak dipengaruhi oleh faktor budaya sehingga kualitas sebuah rumah tidak hanya ditentukan oleh kemampuan ekonomi tetapi nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut, namun demikian secara umum Departemen Sosial mencoba merumuskan indikator rumah yang dapat dikategorikan sebagai rumah tak layak huni dengan kriteria sebagai berikut: 1. Luas bangunan sempit atau hanya mendukung fungsi ruang yang terbatas
2. 3. 4. 5. 6. 7.
(memiliki bagian ruangan yang tidak membedakan fungsi untuk ruang tamu, ruang tidur, ruang makan, dan dapur) atau luas lantai per orang untuk keperluan sehari-hari kurang dari 4 m2. Lantai masih dari tanah/ bambu/ diplester secara sederhana Kesulitan memperoleh air bersih Tidak memiliki tempat mandi, cuci pakaian dan membuang air besar (MCK) di rumah sendiri yang memenuhi syarat kesehatan Tidak mempunyai sirkulasi udara yang dapat memungkinkan sinar matahari dan udara masuk rumah dengan baik. Dinding umumnya terbuat dari bambu/ papan/ bahan yang mudah rusak Sanitasi lingkungan di sekitar rumah yang tidak sehat (Depsos, 2004)
14
Kriteria di atas juga sangat multidimensional, artinya seseorang dapat tingga l di rumah yang tidak layak huni dengan indikator yang berbeda. Menurut ukur penerimaan bant uan dan pelayanan, bilamana seseorang sudah memenuhi 2 kriteria dari indikator yang disebutkan, maka yang bersangkutan layak mendapatkan bantuan dan pelayanan yang berkaitan dengan perbaikan perumahan dari pemerintah, dan bilamana dikategorikan memiliki lebih dari dua kriteria maka yang bersangkutan layak untuk diprioritaskan untuk menerima bantuan dan pelayanan perumahan. Terkait dengan ukuran-ukuran kemiskinan yang sudah dipaparkan di atas, pada Tabel 1 disajikan beberapa indikator garis kemiskinan. Dalam pengukuran kemiskinan, hampir semua pendekatan yang berporos pada pendekatan ekonomi neo-k lasik ortodox yang melakukan pengkajian kemiskinan masih berkiblat pada paradigma modernisasi yang didasarkan pada teori-teori pertumbuhan ekonomi, human capital and the production -centered model (Elson, 1997). Kemudian setelah ahli ekonomi menemukan pendapatan nasional (GNP) sebagai suatu indikator untuk mengukur kemakmuran ne gara pada tahun 1950-an, hampir semua ahli ilmu sosial menggunakan indikator ini sebagai suatu pendekatan untuk mengukur kemajuan suatu negara. Namun, dalam penerapannya, pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Karena indikator GNP dan pendapatan memiliki kelemahan dalam memotret kondisi kemajuan dan kemiskinan suatu kelompok masyarakat, maka sejak tahun 1970-an telah dikembangkan berbagai pendekatan alternatif, di antaranya adalah kombinasi garis kemiskinan dan distribusi pendapatan (Suharto, 2002). Kemudian pada tahun 1990-an, UNDP memperkenalkan pendekatan pembangunan manusia (human development) dalam mengukur kemajuan dan kemiskinan, seperti Human development Index (HDI) dan Human Proverty Index (HPI). Pendekatan yang digunakan UNDP relatif lebih komprihensif dan mencakup faktor-faktor ekonomi, sosial dan budaya kelompok miskin.
15
Tabel 1: Indikator Garis Kemiskinan Ahli
Ukuran
Esmara 1969/1970
Konsumsi beras per kapita Tingkat pengeluaran ekuivalen beras Sayogya per orang tahun (Kg) - Miskin - Miskin Sekali - Paling Miskin. Kebutuhan gizi minimum per orang per Ginneken 1971 hari: - Kalori - Protein (gram) Keb gizi minimum per org hari Anne Booth - Kalori - Protein (gram) Kebutuhan gizi minimum per orang per Gupta 1973 hari (US $) Kebutuhan gizi minimum per orang per Hasan 1975 hari (US $) - Konsumsi per kapita per hari BPS 1984 - Pengeluaran perkapita per hari Sayogya 1984 Pengeluaran per kapita per hari (Rp) Bank Dunia 1984 Pengeluaran per kapita per hari (Rp) Garis kemiskinan Pengeluaran per kapita per tahuan (R p) internasional - Nilai US $ 1970 a. Interim Report 1976 - US $ Paritas daya beli b. Ahlualia 1975 - Tingkat pendapatan perkapita per tahun (US $).
Kota
Desa
Desa/ Kota 125
-
-
480 360 270
320 240 180
-
-
2000 50
-
-
2000 50
-
-
2000
125
95
-
13.731 8.240 6.719
7.746 6.585 4.479
2100 -
-
-
75 200 50
Sumber: Suharto, 2002
Penyebab kemiskinan merupakan salah satu faktor penting dalam pembahasan kemiskinan tersebut. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melih at apa yang menjadi faktor penyebab kemiskinan. Menurut Tansey dan Ziegler (1991) kemiskinan terjadi karena tiga hal, yaitu: (a) human capital deficiencies, yang berarti rendahnya kualitas sumber daya manusia. Ini dapat kita lihat dari rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya kemampuan dan keterampilan dalam bidang pekerjaan. Dengan demikian mereka hanya mampu bekerja pada pekerjaan kasar dengan pendapat yang rendah; (b) insufficient demand for labour, yakni rendahnya atau terbatasnya permintaan akan tenaga kerja sehingga mengakibatkan terjadinya pengangguran. Dengan pengangguran orang tidak memiliki pendapatan, sehingga daya beli terbatas,
yang
16
mengakibatkan pemenuhan kebutuhan dasar menjadi terganggu; (c) diskriminasi (discrimination ), yaitu adanya perlakuan yang berbeda terhadap kelompok tertentu dalam pemilikan atau akses terhadap sumber-sumber, atau dapat juga dilihat karena adanya dominasi kelompok tertentu untuk menguasai sumbersumber yang ada, yang mengakibatkan kesempatan dan pendapatan menjadi terbatas
yang
kemudian
mengakibatkan
keterbatasan
dalam
pemenuhan
kebutuhan dasar hidup. Selain beberapa faktor penyebab kemiskinan yang sudah dipaparkan di atas, menurut beberapa ahli faktor penyebab kemiskinan dapat terjadi paling tidak karena tiga hal, yaitu: (a) faktor alamiah, yaitu bahwa kemiskinan itu terjadi karena sudah diwariskan atau diturunkan sejak dulu dari orang tua atau nenek mereka, sehingga tidak memberikan akses atau kesempatan untuk berkembang; (b) faktor struktural, yaitu kemiskinan te rjadi karena ada kebijakan pemerintah yang kurang atau tidak sesuai, seperti adanya penggusuran, distribusi bantuan yang kurang merata, adanya diskriminasi, terbatasnya akses; (c) faktor budaya, kemiskinan terjadi karena adanya budaya atau kebiasaan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat, seperti malas kerja, tidak mau bekerja keras, tidak berorientasi pendidikan, suka minum-minuman, tidak sabar, dan lain-lain. Badan Koordinasi Penaggulangan Kemiskinan (BKPK) dan Lembaga Penelitian SMERU (2001) mengemukakan beberapa faktor penyebab kemiskinan, yaitu; (a) keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar; (b) kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan; dan (c) tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat. Bila kita berangkat dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa kemiskinan terjadi karena faktor internal dan eksternal.
Kelompok Karakteristik Kelompok . Banyak teori-teori yang mengungkapkan proses terbentuknya
kelompok.
Menurut
Gibson
(1984)
ada
beberapa
alasan
terbentuknya kelompok, yaitu: (1) pemuasan kebutuhan (the satisfaction of need)
17
akan keamanan, sosial, penghargaan dan realisasi diri; (2) kedekatan dan daya tarik (proximity and attraction) karena persamaan persepsi, sikap, hasil karya dan motivasi; (3) tujuan ekonomi (group goal) yaitu seseorang berkeinginan menjadi anggota suatu kelompok karena tertarik pada tujuan kelompok; (4) alasan ekonomi (economic reason) artinya bahwa dengan kelompok akan diperoleh keuntungan yang lebih besar. Dari teori yang dikemukakan oleh Gipson di atas, sangat jelas bahwa proses terbentuknya kelompok dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor yang bersifat psikologi, faktor sosiologis dan hingga faktor yang bersifat ekonomi. Teori ini sangat relevan dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bermasyarakat dan teori Maslow terhadap kebutuhan manusia. Menurut Maslow bahwa salah satu kebutuhan manusia itu adalah kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain (kebutuhan sosial). Untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan seperti ini, manusia menyadari hanya dapat dicapai melalui kehidupan kelompok. Dengan demikian maka manusia membentuk kelompok yang didasarkan atas kesamaan latar belakang. Teori lain yang mengungkap terbentuknya kelompok dikemukakan oleh Heider (1956) yang menekankan pada keseimbangan (balance th eory). Teori ini menekankan bagaimana individu-individu sebagai bagian dari struktur sosial selalu berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain dalam rangka mencapai keseimbangan sosial dalam diri individu. Tentu untuk mendapatkan kondisi seperti ini manusia harus melakukan komunikasi dengan pihak lain. Dalam komunikasi tersebut akan terjadi pertukaran informasi yang saling membutuhkan dan akhirnya membentuk suatu kelompok. Selain itu, Heider juga mengatakan proses komunikasi yang terjadi akan membentuk daya tarik yang menimbulkan rasa suka dan tidak suka terhadap obyek yang dimaksud yang pada akhirnya akan membentuk kelompok tersebut. Pengertian Kelompok . Banyak pengertian yang diberikan terhadap apa yang dimaksud dengan kelompok. Untuk memberikan arah atau pemahaman yang lebih tegas terhadap apa yang dimaksud dengan kelompok perlu kiranya dipaparkan beberapa definsi tentang kelompok. Kelompok sering juga disebut dengan kelompok sosial. Kelompok bukanlah sekedar kumpulan orang-orang yang tidak
18
mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya, namun kelompok mempunyai ikatan yang cukup kuat di antara sesama anggotanya. Soekanto (1990) mempertanyakan apakah setiap himpunan manusia dapat dinamakan dengan kelompok. Terkait dengan itu, menurut Homans (1950) dan Bonner (1953) kelompok adalah sejumlah orang-orang yang saling melakukan interaksi. Dalam pengertian ini orang yang terhimpun dalam kelompok tersebut saling berinteraksi satu sama lain, jadi bukan hanya kumpulan orang semata-mata. Hal senada juga dikatakan oleh Iver dan Page (Mardikanto, 1992) yang mengatakan bahwa kelompok adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama sehingga terdapat hubungan timbal balik dan saling pengaruh mempengaruhi serta memiliki kesadaran untuk saling tolong menolong. Menurut Lewin (1951) dan Cartwright (1968) kelompok adalah kumpulan manusia, dua orang atau lebih yang menunjukkan saling ketergantungan dengan pola interaksi yang nyata. Kemudian Slamet (2001) memberikan pengertian yang lebih tegas terhadap kelompok yang mengatakan dua atau lebih orang yang berhimpun atas dasar adanya kesamaan, berinteraksi melalui pola / struktur tertentu guna mencapai tujuan bersama, dan dalam kurun waktu yang relatif panjang. Kesamaan-kesamaan tersebut harus menjadi landasan utama sehingga kelompok dapat berfungsi dengan baik. Hendropuspito (1989) mengatakan kelompok sebagai kelompok sosial adalah sejumlah orang yang saling berhubungan secara teratur. Dalam penjelasan lebih lanjut dikatakan bahwa kelompok sosial adalah suatu kumpulan yang nyata, teratur dan tetap dari orang-orang yang melaksanakan peranan yang saling berkaitan guna mencapai tujuan bersama. Dari pengertian yang dikemukakan di atas, kita dapat melihat bahwa dalam kelompok terdiri dari dua orang atau lebih, terjadi interaksi yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya berdasarakan pola struktur yang ada, dan adanya kesamaan-kesamaan yang menjadi landasan dalam berinteraksi. Kemudian Sherif (1964) melihat bahwa kelompok sebagai suatu unit sosial terdiri dari sejumlah individu, di mana satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang saling tergantung sesuai dengan peranan (role) dan kedudukannya (status) yang secara eksplisit maupun implisit mempunyai norma
19
yang mengatur segala tingkah laku anggota dari kelompok tersebut. Di mana kelompok dan norma yang ada mempunyai hubungan yang erat dengan kesamaan sikap, kesamaan perasaan dan kesamaan tujuan. Senada dengan ini Gerungan (1981) mengatakan bahwa kelompok merupakan kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih individu yang mengadakan interaksi sosial cukup intensif dan teratur, sehingga di antara individu terdapat pembagian tugas, struktur dan normanorma tertentu yang khas bagi kesatuan sosial tersebut. Dari pengertian-pengertian di atas sangat jelas apa yang dimaksud dengan kelompok. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kelompok adalah kumpulan dari individu-individu yang memiliki kesamaan dan saling berinteraksi satu sama lain dalam waktu yang relatif singkat melalui suatu pola peranan dan pembagian tugas yang sudah terstruktur dalam rangka mencapai tujuan bersama. Selanjutnya perlu dipaparkan perbedaan antara kelompok dengan komunitas karena kedua konsep ini mempunyai arti yang cukup penting dalam proses pemberdayaan tersebut. Apakah KUBE termasuk kelompok atau komunitas. Mana di antara elemen ini yang sesungguhnya layak diberdayaakan, apakah kelompok atau komunitas, atau kedua -duanya merupakan elemen yang patut diberdayakan. Menurut Lawang (2005) komunitas adalah bilamana suatu kelompok didefinisikan secara teritorial, seperti desa merupakan suatu kelompok fungsional untuk semua anggotanya, dan apabila hal itu memperlihatkan suatu dimensi yang sungguh -sungguh berpengaruh, maka dinamakan komunitas. Jadi perbedaan yang hakiki dari kedua konsep ini adalah bahwa komunitas menggunakan batas teritorial yang jelas dan warganya hidup dalam waktu yang cukup lama bahkan permanen, misalnya desa atau RT atau RW di mana anggotaanggotanya jelas dan hidup dalam waktu yang cukup lama disebut sebagai komunitas. Sedangkan kelompok tidak mengenal batas teritorial seperti halnya komunitas. Anggotanya dapat berasal dari wilayah mana saja dan hidup untuk jangka waktu yang terbatas. Bila tujuan sudah tercapai biasanya kelompok ini bubar. Pertanyaan sekarang apakah KUBE termasuk kelompok atau komunitas. Apakah kedua kelompok ini dapat diberdayaan. Didasarkan pada pengertian di atas, KUBE dapat diartikan sebagai komunitas dan sebagai kelompok. Sebagian besar KUBE dilihat sebagai kelompok. Sebagai komunitas, KUBE berasal dari
20
satu wilayah teritorial tertentu, mereka hidup untuk jangka waktu yang cukup lama. Sebagai kelompok, KUBE bukan berasal dari wilayah teritorial tertentu tetapi berasal dari berbagai wilayah/tempat. Kelompok yang terakhir ini, mereka berkumpul karena adanya kesamaan keahlian atau keterampilan yang dimiliki, seperti pengerajin kayu, pelukis, dan lain-lain. KUBE seperti ini pada umumnya banyak dijumpai di kota-kota. Kedua jenis kelompok ini dapat diberdayakan, hanya saja konsep teritorial menjadi arti yang penting dalam proses pemberdayaan tersebut. Kedua -duanya menekankan pendekatan community development dalam proses pemberdayaan yang dilakukan. Jenis-jenis Kelompok. Ada berbagai jenis dan tipe kelompok yang ada dalam masyarakat. Secara umum jenis dan tipe kelompok ini digolongkan, sebagai berikut (Slamet, 2001) : Pertama, berdasarkan pada struktur kelompok . Didasarkan pada struktur kelompok, kelompok dapat dibedakan atas kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal adalah kelompok yang mempunyai tujuan yang jelas, yang disepakati bersama dan dirumuskan secara tertulis. Mempunyai aturan atau norma yang tertutlis yang dapat dipedomani dan dijadikan acuan dalam bertindak oleh anggota kelompok. Keanggotaan bersifat resmi dan adanya pembagian tugas dan peranan yang jelas dari masing-masing anggota. Kelompok informal merupakan kebalikan dari kelompok formal. Kelompok informal kurang mempunyai tujuan yang jelas dan tidak dirumuskan oleh semua anggota kelompok secara bersama-sama apa lagi dirumuskan secara tertulis. Norma dan nilai serta peraturan-peraturan kelompok tidak tertuang secara jelas, tetapi pada umumnya semua anggota kelompok sudah mengetahuinya dan menyepakatinya secara bersama, pembagian tugas kurang jelas. Keanggotaan tidak bersifat resmi dan bersifat sukarela. Anggota kelompok dapat dengan sesuka hati masuk dan keluar dari keanggotaan kelompok. Kepemimpinan kelompok ini kurang resmi sehingga siapa yang lebih berpengaruh, anggota kelompok dapat menjadi pemimpin. Namun, kedua jenis kelompok ini berada pada dua kontinum yaitu kontinum pada kelompok formal dan informal. Secara skematis dapat digambarkan sebagi berikut:
21
Kelompok Formal
Struktur serba Formal Tidak Fleksibel
Kelompok Informal
Persahabatan Sangat Fleksibel
Gambar 1: Jenis kelompok Berdasarkan Struktur Kelompok
Kedua, berdasarkan fungsi kelompok . Didasarkan pada fungsi kelompok, kelompok dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok sosial dan kelompok tugas. Kelompok yang lebih menekankan pada aspek sosial adalah kelompok di mana anggota-anggotanya lebih menekankan pada kesenangan dan kepuasan anggota, seperti kelompok wisata atau kelompok turis. Kelompok ini tidak berupaya meraih suatu prestasi dalam pencapaian suatu karier, tetapi bagaimana suatu kegiatan dapat memuaskan anggota. Sedangkan kelompok yang didasarkan pada tugas adalah kelompok yang lebih berorientasi pada tugas-tugas yang harus diselesaika n. Segala sesuatu yang dilakukan harus berorientasi pada penyelesaian tugas-tugas kelompok. Tugas merupakan hal yang diutamakan, sehingga pembagian tugas merupakan hal yang penting di dalam kelompok ini. Pembedaan antara kelompok sosial dan kelompok tugas tidaklah terjadi pembedaan yang keras yang hanya dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok sosial dan kelompok tugas, tetapi berada pada dua kutup kontinum yang dapat bergeser sesuai dengan kondisi dari masing-masing kelompok. Secara skematis kedua kelompok dapat dikelompokkan seperti Gambar 2.
Kelompok Tugas
Ada tugas tertentu yg harus dikerjaklan
Kelompok Sosial
Untuk kesenangan para anggotanya
Gambar 2: Jenis kelompok Berdasarkan Fungsi Kelompok
22
Ketiga, berdasarkan pada pola interkasi dala m kelompok. Pembagian kelompok yang didasarkan pada pola interaksi kelompok dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) Interacting group merupakan kelompok kerjasama di mana pencapaian tujuannya menuntut kerjasama yang baik di antara anggotaanggotanya, misalnya Tim Sepakbola. (b) Co -acting group, merupakan kelompok bersama, di mana tujuan kelompok dapat dicapai bilamana masing-masing anggota melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai peran yang telah ditetapkan, namun semua pelaksanaan tugas diarahkan dalam rangka pencapaian tujuan kelompok, misalnya kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat, termasuk di dalamnya KUBE. (c) Counter-acting group , adalah kelompok di mana anggota kelompok memiliki tujuan yang berbeda atau berlawanan untuk mencapai tujuan bersama, misalnya Klub Olah Raga Tinju (Gambar 3). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamaluddin (2002) terhadap 5 kelompok di Kecamatan Morowali Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah di mana kelompok terbentuk oleh berbagai prakarsa pihak lain, hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang diprakarsai oleh faktor eksternal khususnya pihak
pemerintah
menunjukkan
perkembangan
yang
kurang
berhasil
dibandingkan dengan kelompok yang diprakarsai oleh masyarakat itu sendiri.
Interacting Group
Coacting Group
Counteracting Group
Gambar 3: Jenis kelompok Berdasarkan Pola Interaksi
23
Yang menarik juga dari hasil penelitian di atas adalah adanya pengaruh antara
latar
belakang
gagasan
pembentukan
dengan
keberhasilan
dan
keberlanjutan kelompok. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelompok yang digagasi oleh masyarakat lebih berkelanjutan dibandingkan dengan yang digagasi oleh pemerintah. Terlihat bahwa 2 kelompok yang di dalamnya pemerintah
sangat
berperan,
kesinambungannya
kurang
berkembangan
dibandingkan dengan yang dibentuk oleh masyarakat. Sedangkan lama kelompok berdiri kurang terlihat hubungan yang signifikan dengan keberhasilan dan kesinambungan kelompok. Demikian juga dengan jumlah kelompok, tidak terlihat hasil yang signifikan dengan keberhasilan kelompok. Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya kelompok sangat mempengaruhi terhadap pencapaian tujuan kelompok. Hasil penelitian Jamaluddin (2002)
juga menggambarkan bahwa
tersedianya modal yang dimiliki suatu kelompok tidak menjadi jaminan bahwa kelompok tersebut akan berkembang, sebagaimana yang dialami oleh kelompok IDT dan kelompok Program SAADP dalam penelitian tersebut. Kedua kelompok ini modalnya sebagian besar berasal dari bantuan pemerintah namun kurang berhasil. Dari segi pengembangan usaha, ketersediaan modal memang sangat banyak mempengaruhi berhasiltidaknya suatu usaha. Karena itu, aspek ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti dalam kasus KUBE ini. Selain ketersediaan modal, jenis usaha juga turut memberikan andil dalam keberhasilan kelompok, di mana biasanya jenis usaha yang berkaitan dengan kebutuhan seharihari pemasarannya lebih mudah dibandingkan dengan jenis usaha yang bukan kebutuhan sehari-hari.
Dinamika Kelompok . Konsep dinamika kelompok sering digunakan dalam makna yang berbeda. Bagi para ahli ilmu sosial konsep dinamika kelompok diartikan sebagai bidang studi yang mempelajari gerak atau kekuatan dalam kelompok yang menentukan perilaku kelompok atau anggotanya. Bagi para praktisi, konsep dinamika kelompok digunakan untuk menunjukkan pada kualitas suatu kelompok dalam mencapai tujuannya, jadi cenderung ditujukan untuk mengukur tingkat keefektifan kelompok dalam mencapai tujuannya (Slamet, 1981).
24
Jenkins dalam Mardikanto (1992) mengemukakan bahwa dinamika kelompok merupakan suatu kajian terhadap kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam maupun di lingkungan kelompok yang akan menentukan perilaku anggotaanggota kelompok dan perilaku kelompok yang bersangkutan untuk bertindak atau melaksanakan kegiatan-kegiatan demi tercapainya tujuan bersama yang merupakan tujuan kelompok tersebut. Senada dengan itu, Masri (1984) mengatakan bahwa dinamika kelompok sebagai bentuk dari kekuatan kelompok, tercakup di dalamnya apa dan bagaimana bentuk dari kekuatan kelompok, unsur apa yang mendukung terjadinya kekuatan kelompok, bagaimana kelompok membenahi diri, menyusun dan mengembangkan / memajukan kelompoknya, apa dan bagimana fungsi pimpinan dalam kelompok, pada situasi / dalam keadaan bagaimana seseorang itu dapat mengetahui ataupun menyaksikan adanya dinamika / kekuatan dalam kelompok itu. Dari pengertian dinamika kelompok yang dipaparkan di atas, berarti mempelajari dinamika kelompok berarti juga mempelajari kekuatan atau gerak yang terdapat di dalam kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan anggotanya dalam pencapaian tujuan. Kekuatan-kekuatan tersebut menurut Slamet (2001) bersumber dari 9 unsur, yang meliputi: (1) tujuan kelompok; (2) struktur kelompok; (3) fungsi tugas; (4) pembinaan dan pengembangan kelompok; (5) kesatuan kelompok; (6) suasana kelompok; (7) ketegangan kelompok; (8) efektivitas kelompok; dan (9) maksud terselubung. Menurut Cartwright (1968) bahwa tujuan kelompok merupakan hasil yang ingin dicapai oleh kelompok. Agar eksistensi kelompok dapat berkesinambungan maka tujuan kelompok harus berkesesuaian dengan tujuan individu-individu yang menjadi anggota kelompok. Bila hal ini tidak dapat disejajarkan akan sulit bagi kelompok untuk mempertahankan keberadaannya. Karena itu Slamet (2001) mengatakan bahwa tujuan kelompok bukan sekedar tujuan bersama akan tetapi harus mempunyai hubungan dengan tujuan individu sehingga akan menjadi sumber motivasi dan merupakan petunjuk bagi
anggota kelompok dalam
mencapai tujuan. Struktur
kelompok merupakan varia bel yang sangat mempengaruhi
efektivitas dan efisiensi kelompok dan interaksi yang terjadi dalam kelompok.
25
Menurut Gerungan (1981) bahwa struktur kelompok merupakan
susunan
hierarkhis mengenai hubungan-hubungan, berdasarkan peranan dan status antara masing-masing anggota kelompok dalam mencapai tujuan. Sedangkan menurut Cartwright (1968) struktur kelompok adalah bentuk hubungan antara individu di dalam kelompok, yang disesuaikan dengan posisi dan peranan masing-masing individu. Struktur kelompok dapat disusun secara formal dan informal. Pada kelompok struktur formal, pembagian tugas, norma-norma dan mekanisme kerja disusun dengan jelas dan tertulis sehingga semua anggota mengetahuinya. Pada kelompok dengan struktur informal hubungan-hubungan yang terjadi lebih bersifat bebas, pembagian tugas tidak tegas, penerapan norma dan sanksi kurang tegas, mekanisme kerja sesuai dengan kondisi kehidupan kelompok. Fungsi tugas adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh kelompok yang berorientasi pada pencapaian tujuan kelompok (Soediyanto, 1980). Maksud dari fungsi tugas adalah memfasilitasi dan mengkoordinasikan usaha -usaha kelompok yang menyangkut masalah-masalah bersama dan dalam rangka memecahkan masalah kelompok. Miles (1959) mengartikan pembinaan kelompok sebagai upaya untuk tetap memelihara dan mengembangkan kelompok, mengatur, memperkuat dan mengekalkan kehidupan kelompok. Pembinaan dan pengembangan kelompok ini diarahkan untuk tetap menjaga kelompok agar tetap hidup sesuai dengan perkembangan yang ada. Selain itu pembinaan dan pengembangan kelompok ini berorientasi pada upaya bertahan hidup (survival oriented ). Kekompakan kelompok dapat diartikan sebagai kesatuan kelompok yang dicirikan oleh keterikatan yang kuat dari semua atau di antara anggota kelompok dan juga menggambarkan kekuatan kelompok yang tidak saja tahan terhadap goncangan dari luar tetapi juga mampu meredam goncangan yang timbul dari dalam kelompok. Kekompakan kelompok diarahkan pada kesatuan dan persatuan kelompok yang dapat membentuk komitmen yang kuat dari semua anggota kelompok dan pada akhirnya akan menjadi kekuatan kelompok. Suasana kelompok pada dasarnya merupakan keadaan moral, sikap dan perasaan-perasaan yang terdapat di dalam kelompok. Suasana kelompok ini berkaitan dengan moral
26
kelompok seperti adanya sikap yang penuh semangat, sikap yang kurang bersemangat dan sikap yang apatis dari semua annggota kelompok. Ketegangan kelompok adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan tantangan pada kelompok. Ketegangan kelompok diperlukan unt uk menumbuhkan kedinamisan, tetapi ketegangan yang terlalu kuat juga dapat mematikan kedinamisan. Kelompok yang dinamis adalah kelompok yang memiliki aktivitas di mana didalamnya ketegangan berubah menjadi energi kelompok. Sumber ketegangan dapat berasal dari (1) tekanan internal (internal pressures), seperti konflik yang terjadi, sikap pimpinan yang otoriter, dan persaingan yang terjadi; (2) tekanan yang bersifat eksternal (external pressure), seperti tantangan yang ada, serangan yang muncul, sanksi yang diterapkan, penghargaan dan hukuman yang diberikan, keseragaman dan konformitas. Maksud tersembunyi adalah program atau tugas atau tujuan yang ingin dilaksanakan atau dicapai tetapi tidak diketahui oleh atau tidak disadari oleh anggota yang lainnya. Maksud tersebunyi ini berada di bawah dipermukaan. Biasanya suatu kelompok selalu memiliki maksud tersembunyi yang tidak diketahui oleh anggota kelompok. Bila suatu maksud tersembunyi sudah diketahui oleh anggota, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai maksud tersembunyi (hidden agenda). Maksud tersembunyi sama pentingnya dengan maksud dan tujuan yang dirumuskan secara terbuka. Maksud tersembunyi atau terselubung ini sangat penting artinya bagi kehidupan kelompok. Bila maksud terselubung ini seolaholah tidak ada atau sengaja mengabaikannya tidak akan menolong dalam pencapaian tujuan kelompok. Kelompok dapat bekerja untuk maksud-maksud terbuka dan maksud terselubung pada saat yang sama. Kedua tujuan ini dapat saling mendukung satu sama lain. Sumber dari maksud terselubung dapat berasal dari: (1) anggota kelompok; (2) pimpinan kelompok; dan (3) kelompok itu sendiri. Semua faktor yang baru saja di bahas adalah merupakan peubah (variabel) di dalam suatu kelompok yang “nilainya” dapat berbeda antara satu dan lain kelompok, dan dapat berubah dalam satu kelompok yang sama. Varia be l-variabel ini berada pada dua kontinum antara kondisi kelompok yang sangat jelek dan kondisi kelompok yang sangat baik.
27
Dalam rangka pembinaan kelompok, masing-masing peubah ini dapat dimanipulasi
agar
bisa
menjadi
bernilai
baik,
dengan
demikian
akan
meningkatkan dinamika kehidupan kelompok. Selanjutnya, kondisi suatu kelompok dapat dianalisis dengan “menggunakan nilai” dari masing-masing peubah. Peubah yang nilainya tidak baik dianggap menjadi sumber kurang dinamisnya kelompok. Karena itu, bila peubah tersebut diperbaiki keadannya, bisa mengarah pada meningkatnya efektivitas kelompok. Pembahasan kelompok juga tidak terlepas dari sistem sosial yang hidup dan berkembang dalam kelompok tersebut termasuk dalam kaitannya dengan sistem sosial yang ada di luar kelompok. O lsen dalam (Achlis, 1981) mengatakan bahwa sistem sosial merupakan model daripada organisasi sosial yang memiliki keseluruhan unit yang menonjol dalam bagian-bagian komponennya, sehingga membedakannya dengan lingkungannya oleh karena adanya ikatan yang jelas dan terbatas yang di dalamnya masing-masing bagian saling berinterelasi dalam polapola hubungan yang relatif stabil dalam kerangka tertib sosial. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem sosial merupakan suatu ikatan aktivitas-aktivitas terbatas yang saling berinterelasi dan yang bersamaan membentuk suatu kesatuan tunggal. Dari sini dapat kita simak bahwa kelompok sebagai sistem sosial menunjukkan adanya keterkaitan dan ketergantungan yang kuat di dalam suatu batas (boundary) tertentu yang membentuk unit sistem sosial tersebut. Dari pengertian sistem sosial di atas, kelompok sebagai sistem sosial lebih menekankan pada aspek sosiologis yaitu interaksi yang saling mempengaruhi terjadi di dalam kelompok. Dalam suatu sistem sosial, orang saling berinteraksi satu sama lain dan mempunyai pola perilaku yang relatif teratur dan sistematis. Suatu sistem sosial dapat diidentifikasi sebagai suatu sistem sosial yang besar dan sebagai sistem sosial yang kecil menurut bagian-bagiannya. Menurut Slamet (2001), ada 10 unsur -unsur pokok sistem sosial, yaitu: (a) tujuan (goal), (b) keyakinan (belief, (c) sentimen atau perasaan (sentimen t/feeling), (d) norma (norms), (e) sanksi (sanctions), (f) peranan kedudukan (status roles), (g) Kewenangan / kekuasaan (power / authority ), (h) jenjang sosial (social rank), (i) fasilitas (facility), (j) tekanan dan ketegangan (stress and strain ).
28
Secara teoritis, kelompok sebagai suatu sistem sosial harus memiliki kesepuluh unsur yang dikemukakan di atas, karena itu perlu diteliti apakah suatu kelompok memilik kesepuluh unsur tersebut. Perlu juga dipahami bahwa bobot nilai pengaruh masing-masing unsur sangat berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Selanjutnya, kesepuluh unsur yang dipaparkan di atas merupakan peubah yang mempunyai pengaruh pada interaksi anggota
dalam
suatu kelompok, juga akan berpengaruh pada perilaku individu dan perilaku kelompok.
Lingkungan Sosial Suatu kelompok tentulah tidak akan terlepas dari pengaruh aspek internal dan ekternal kelompok. Ada beberapa aspek internal dan ekternal yang dianggap berpengaruh dalam kelompok ini, seperti: kebutuhan dan harapan kelompok, motivasi anggota, tingkat pendidikan formal anggota yang ditama tkan, keterikatan dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, keterikatan kelompok dengan tokoh formal seperti dengan kepala desa atau lurah atau aparat pemerintah lainnya dan keterikatan dengan tokoh informal seperti pengusaha, tokoh agama dan tokoh-tokoh lainnya, akses terhadap lembaga keuangan, seperti bank atau BPR, dan peluang pasar. Tentu faktor-faktor ini mempunyai intensitas pengaruh yang berbeda -beda antara satu dengan yang lainnya. Motivasi merupakan unsur yang sangat banyak berpengaruh dalam proses internal dan eksternal KUBE.
Motivasi adalah sesuatu yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan / kegiatan di mana dorongan tersebut dapat berasal dari dalam individu yang bersangkutan atau bersumber dari luar diri individu. Hal ini sesuai dengan pengelompokan yang dilakukan oleh Winkel (1991) yang membagi motivasi menjadi dua bagian, yaitu motivasi yang bersifat intrinsik dan motivasi ekstrinsik . Motivasi intrinsik yaitu motivasi yang tumbuh jika seseorang telah menyadari adanya kebutuhan, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang ditimbulkan karena faktor lingkungan. Menurut Steer (1996) bahwa dari dua konsep dasar penting motivasi dan kepemimpinan maka motivasi merupakan jelajah yang luas dan kompleks, karena
29
dipengaruhi oleh variabel yang sangat banyak (multi) yang biasanya berada dalam lingkungan kerja. Adalah suatu hal yang tidak mudah untuk menentukan apakah yang menyebabkan motivasi seseorang yang sebenarnya, kenapa mereka berperilaku seperti itu. Penjelasan tentang motivasi ini sangat penting, karena motivasilah yang menentukan efektivitas suatu tindakan dan perilaku seseorang. Steer (1996) pada prinsipnya melihat motivasi ini dari tiga hal penting yang dianggap mendasar, yaitu pertama, apakah yang mendorong perilaku manusia (berenergi). Kedua, apakah arah atau saluran-saluran dari perilaku tersebut. Ketiga, bagaimanakah perilaku itu dapat dipelihara dan dilestarikan. Tiap komponen tersebut bila dipelajari dengan baik akan memberikan penjelasan penting dalam kontribusi terhadap kenapa suatu kelompok masyarakat mau melakukan suatu tindakan. Bila kita lihat dari sisi yang lebih komprihensif terhadap pengaruh faktor internal dan ekternal tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamaluddin (2002) terhadap 5 kelompok-kelompok masyarakat di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah menunjukkan masih kuatnya pengaruh internal dan ekternal terhadap perkembangan kelompok. Hasil penelitian di atas menunjukkan masih kuatnya faktor internal dan eksternal kelompok. Namun yang lebih menarik dari hasil penelitian ini adalah, bahwa faktor -faktor eksternal diluar komunitas lokal juga turut mempengaruhi dan terlihat hasilnya cukup signifikan. Dengan demikian, landasan teori ini menjadi perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang ter kait dengan faktor internal dan eksternak KUBE tersebut.
Kepemimpinan Hampir setiap rumusan kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda -beda antara satu dengan yang lainnya. Namun demikian terdapat cukup persamaan di antara beberapa definisi ya ng ditawarkan. Dalam buku Stogdill’s Handbook of Leadership, Bas s (1981) mengemukakan sebelas rumusan tentang kepemimpinan, yaitu:
30
(a) kepemimpinan sebagai titik pusat proses kelompok, (b) kepemim-pinan sebagai suatu kepribadian yang mempunyai pengaruh, (c) kepemimpinan sebagai seni mewujudkan kesepakatan, (d) kepemim-pinan sebagai penerapan pengaruh,(e) kepemimpinan sebagai tindakan atau perilaku, (f) kepemimpinan sebagai bentuk persuasi, (g) kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan, (h) kepemimpinan sebaga i sarana pencapaian tujuan, (i) kepemimpinan sebagai hasil yang timbul dari hasil interaksi, (j) kepemimpinan sebagai suatu peranan yang dibedakan, (k) kepemimpinan sebagai permulaan dari struktu r. Selanjutnya Gardner (1987) mengemukakan bahwa berdasarkan posisi yang istimewa dalam kelompok, pemimpin bertindak sebagai sarana bagi penentuan struktur kelompok, suasana kelompok, tujuan kelompok, ideologi kelompok, dan kegiatan-kegiatan kelompok. Dalam kaitan ini, Bass (1985) mendefinsikan pemimpin sebagai ora ng yang mempunyai sejumlah terbesar perangai kepribadian dan watak yang disyaratkan. Demikian juga Federman (1983) memandang kepemimpinan sebagai perpaduan perangai-perangai yang memungkinkan
seseorang
mampu
mendorong
orang-orang
lain
untuk
menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Sedangkan Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan dalam pengertian sebagai kepribadian yang beraksi atau terjadi dalam kondisi-kondisi kelompok. Selain itu, disebutkan juga kepemimpinan merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah orang dalam kontak mental di mana seseorang mendominasi orang lain. Dalam
perkembangan
selanjutnya,
Burns
mengatakan
bahwa
kepemimpinan merupakan penciptaan dan penyusunan pola -pola perilaku yang luar biasa sedemikian rupa sehingga orang lain memberikan tanggapan terhadap pola-pola yang ditampilkan. Para ahli personalitiy melihat bahwa kepemimpinan sebagai akibat dari pengaruh yang bersifat sepihak. Mereka mengakui bahwa pemimpin dapat memiliki sifat-sifat yang membedakannya dari pengikut, tetapi mereka tidak mengakui adanya corak timbal balik dari situasi kepemimpinan. Pengertian pengaruh merupakan generalisasi dan abstraksi dari definisi kepemimpinan. Terkait dengan itu, Drucker (1986) menyarankan bahwa kepemimpinan berarti usaha mempengaruhi agar perilaku orang berubah. Bass (1981) melihat bahwa kepemimpinan adalah usaha seseorang untuk merubah perilaku pihak lain. Stogdill (1972) mengatakan bahwa kepemimpinan sebagai
31
proses atau tindakan mempengaruhi kegiatan-kegiatan suatu kelompok yang terorganisir dalam usaha menetapkan tujuan dan pencapaian tujuan. Shartle (1961) mengajukan beberapa definisi atas dasar proses pengaruh. Pemimpin dilihatnya sebagai seorang yang melaksanakan tindakan pengaruh positif terhadap pihak lain atau yang melaksanakan tindakan-tindakan pengaruh yang lebih penting daripada anggota-anggota lainnya dari kelompok organisasi lainnya. Sedangkan Beebe (1989) merumuskan kepemimpinan sebagai pengaruh interpersonal, dilakukan di dalam suatu situasi dan diarahkan melalui proses komunikasi yang mengacu pada pencapaian tujuan yang dirumuskan. Sedangkan Federman lebih lanjut menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan aktivitas mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama ke arah pencapaian yang telah disepakati bersama. Sebagian para ahli mengatakan bahwa kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai tindakan dan perilaku. Dalam pengertian seperti itu Shartle lebih lanjut merumuskan kepemimpinan sebagai suatu usaha yang menghasilkan tindakan atau respon pada pihak lain sesuai dengan arah yang disepakati. Schein (1985) mengatakan bahwa kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai suatu perilaku individu, sementara pemimpin tersebut terlibat dalam pengarahan kegiatankegiatan kelompok. Sedangkan Fiedler (1972) mengusulkan definisi yang hampir sama yang mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan tindakan khusus, di mana pemimpin tersebut terlibat dengan cara-cara pengarahan dan koordinasi pekerjaan anggota kelompok.
Hal ini mencakup tindakan-tindakan seperti
penyusunan hubungan kerja, penilaian terhadap anggota kelompok dan pemberian perhatian tentang kesejahteraan dan perasaan-perasaan anggota. Beberapa teoritisi terdahulu terkesan menghilangkan pemaksaan dalam definisi kepemimpinan, sementara dalam saat yang sama mempertahankan pandangan bahwa kepemimpinan merupakan faktor penentu dalam hubungan dengan pengikut-pengikutnya. Karena itu dalam kondisi seperti ini diperlukan kepemimpinan persuasi. Karena itu, Posner (1986) mendefinsikan bahwa kepemimpinan merupakan pengeloaan
SDM melalui persuasi dan insipirasi,
kepemimpinan bukanlah suatu paksaan atau ancaman langsung yang bersifat terselubung. Kidder
(1981) mengatakan bahwa kepemimpinan menunjukkan
32
kemampuan mempengaruhi orang guna mencapai hasil melalui himbauan emosional, bukan melalui penggunaan paksanaan. Smith (1984) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah seni perlakuan terhadap manusia. Ini adalah seni mempengaruhi sejumlah orang dengan persuasi atau dengan contoh untuk mengikuti serangkaia n tindakan. Sedangkan Homans (1999) memandang kepemimpinan merupakan kegiatan mengajak orang untuk bekerja sama dalam pencapaian suatu tujuan bersama. French dkk (1960) merumuskan kepemimpinan merupakan kekuasaan interpersonal yang dipandang sebagai suatu hasil (result) dari maksimum kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin, dikurangi dengan maksimum penolakan anggota yang dapat bergerak pada arah yang berlawanan. Kelompok ini menyusun lima basis kuasa, yaitu: basis kuasa referen atau keteladanan pribadi, keahlian , ganjaran, paksaan dan kedudukan resmi. Namun bentuk hubungan kekuasaan seperti ini sangat kurang relevan bila diterapkan dalam kepemimpinan masyarakat yang tidak formal. Johnson (1970) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuasaan yang khusus yang diwarnai oleh persepsi anggota kelompok bahwa anggota kelompok yang lain mempunyai hak untuk memperoleh perilaku yang menuntun kegiatannya sebagai seorang anggota suatu kelompok tertentu. Tosi (1976) memberikan pengertian kepemimpinan dalam arti luas adalah suatu hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin di mana pemimpin lebih banyak mempengaruhi daripada dipengaruhi, karena pemimpin menghendaki anggotanya berbuat seperti apa yang dikehendaki. Berlakunya kekuasaan
tersirat dalam
definisi Maccoboy (1981) yang menyarankan bahwa kepemimpinan sebagai suatu bentuk hubungan di antara orang-orang di mana mengharuskan seseorang atau lebih bertindak sesuai dengan permintaan pihak lain. Banyak teoritisi telah memasukkan pencapaian tujuan ke dalam definisi mereka. Beberapa di antaranya telah mendefinsikan kepemimpinan dalam arti nilai instrumentalnya dalam pencapaian tujuan dan pemuasan kebutuhan kelompok. Menurut Branford (1984), seorang pemimpin ialah seorang yang memiliki program dan bergerak ke arah suatu tujuan bersama menurut aturan yang sudah disepakati bersama. Sence ( 1999) mendefinsikan kepemimpinan
33
sebagai proses pengaturan suatu situasi sedemikian rupa sehingga anggotaanggota kelompok dapat mencapai tujuan bersama dengan hasil maksimum dengan waktu dan kerja yang minimum. Robbin (1979) menyebutkan bahwa kepemimpina n sebagai kekuatan dinamik yang pokok yang mendorong, memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam pencapaian tujuan. Dalam suatu konsep kepemimpinan, bagi Rowan (1986) hubungan fungsional kepemimpinan ada, apabila kelompok mempersepsi pemimpin sebagai alat pengendali untuk memenuhi kebutuhannya. Beberapa ahli menganggap bahwa kepemimpinan bukan sebagai penyebab atau kontrol, melainkan sebagai suatu hasil dari tindakan interaksi kelompok. Burns mengatakan sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan merupakan suatu rangsangan sosial yang dapat mendorong orang untuk mengungkapkan tujuantujuan lamanya dengan penuh semangat atau tujuan baru dengan penuh harapan. Bagi Hammer (1982), kepemimpinan merupakan suatu proses pemberian rangsangan yang saling pengaruh-mempengaruhi di antara keberhasilan sesama anggota yang berbeda, pengendalian tenaga manusia guna pencapaian tujuan bersama. Merton (1969) memandang kepemimpinan sebagai suatu hubungan antar pribadi di mana pihak lain mengadakan penyesuaian-penyesuaian ka rena adanya berkeinginan untuk itu, bukan karena mereka harus dipaksa untuk itu.
Pemberdayaan Banyak metode yang dapat diterapkan dalam rangka pembangunan masyarakat. Salah satu di antaranya dengan metode pemberdayaan masyarakat (people -empowerment). Konsep “pemberdayaan” lahir dari kata bahasa Inggris yaitu “empower” yang artinya memberi kuasa / wewenang kepada. Konsep ini berkembang sejak tahun 1980-an dan digunakan oleh agen-agen pembangunan hingga sekarang ini. Sehingga pemberdayaan menjadi jargon yang sangat populer di kalangan para agen pembangunan masyarakat khususnya dalam penanganan kemiskinan. Pendefinisian pemberdayaan sangat tergantung pada konteksnya dan nilai budaya masyarakat setempat.
Tidak ada definisi yang baku tentang
pemberdayaan. World Bank (2002) mengatakan: “The term empowerment has
34
different meanings in different socio -culture and political contexts, and does not translate easily into all languages”. Karena itu konsep pemberdayaan ini sangat berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Menurut Ife (1999) pemberdayaan secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian “power” atau kekuasaan atau kekuatan atau daya kepada kelompok yang lemah sehingga mereka memiliki kekuatan untuk berbuat. Pranarka dan Vidhyandika (1996) mengemukakan proses pemberdayaan mengandung dua arti: Pertama, pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan , kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya . Proses ini biasanya dilengkapi dengan pemberian asset/material guna mendukung pembangunan kemandirian
melalui
organisasi.
Proses
pertama
disebutnya
sebagai
kecenderungan primer. Kedua, proses menstimuli, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Proses yang kedua ini sering disebut sebagai kecenderungan sekunder. Dalam pekembangannya , proses kedua ini
banyak
diwarnai
pemikiran
Freire
(1972:13)
dengan
konsepnya
conscientiousness (kemampuan individu untuk mengontrol lingkungannya) Sebagai dasar operasional dalam bekerja, Bank Dunia (2002) memberikan batasan pengertian tentang peberdayaan sebagai berikut: empowerment is the expansion of assets and capabilities of poor people to participate in, negotiate with, influence, control, and hold accountable institutions that affect their lives. Dari pengertian di atas, pemberdayaan lebih diarahkan pada pemberian aset dan kemampuan pada kelompok miskin sehingga mereka mampu berpartisipasi dan mengontrol akuntabilitas lembaga yang mempengaruhi kehidupan mereka. Ada dua hal penting dalam pengertian ini, yaitu pemberdayaan dalam proses pemberian aset dan aksesibilitas bagi kelompok miskin terhadap berbagai sumber yang mempengaruhi kehidupan mereka. Menurut Cornell University Empowerment Group dalam Saleebey (1992), mengartikan pemberdayaan sebagai berikut:
35
".... suatu proses yang disengaja dan berlangsung secara terus menerus yang dipusatkan di dalam kehidupan komunitas lokal, meliputi: saling menghormati, sikap refleksi kritis, adanya kepedulian dan partisipasi kelompok, yang melaluinya masyarakat yang merasa kurang memiliki secara bersama sumber-sumber yang berharga menjadi memperoleh akses yang lebih besar untuk mendapatkan dan mengontrol sumbersumber tersebut". Konsep di atas mencoba mendeskripsikan pemberdayaan sebagai suatu proses atau upaya yang sengaja dilaksanakan dan terus menerus atau berkelanjutan. Upaya itu sendiri dibatasi di dalam skala kehidupan komunitas lokal yang tercermin dalam sikap-sikap, nilai- nilai tertentu yang kondusif untuk terciptanya partisipasi, kemampuan, dan sumber-sumber yang ada dalam masyarakat lokal. Pemberdayaan pada akhirnya merupa kan upaya mendapatkan akses untuk memperoleh, mendayagunakan dan mengontrol sumber-sumber yang ada untuk kepentingan bersama. Sedangkan menurut Sharp (1995) pemberdayaan secara harafiah berarti memberikan daya atau kekuatan kepada seorang individu atau kelompok untuk suatu tujuan khusus. Selanjutnya ia menambahkan bahwa pemberdayaan bisa dilaksanakan dengan dua cara yakni secara konseptual dan empirik . Yang pertama adalah pemberdayaan melalui gaga san, pendidikan, atau yang lebih spesifik lagi melalui suatu proses seperti 'pendidikan kesadaran' (consciousness education) sebagaimana yang diterapkan, dikembangkan dan disebarluaskan oleh Freire pada tahun 1970-an (seorang pendidik dari Brasil). Di sini pemberdayaan menjadi
suatu
sarana
positif,
yang
memungkinkan
masyarakat
dapat
melakukannya, tanpa menunggu konsesi dari pihak luar. Sedangkan yang kedua sering dirangsang melalui
latihan-latihan yang bersifat partisipatif, dengan
demikian akan membuka pikiran orang-orang
desa tentang
bagaimana
mereka dapat memperbaiki kehidupan mereka dengan cara yang praktis (by doing), dan menolong orang yang kurang berdaya dalam lingkungannya. Cara ini lebih menyadarkan mereka terhadap permasalahan kemiskinan yang ada dalam komunitasnya dan membantu mereka memahami sistem yang telah ada yang telah membatasi dan menghimpit mereka. Kesadaran ini akan mendorong melakukan berbagai aksi untuk ke luar dari sistem kemiskinan.
mereka
36
Sedang menurut Kartasasmita (1996) bahwa pemberdayaan mempunyai dua arah, yaitu: (a) upaya melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, (b) meperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Dari pengertian ini, maka pemberdayaan itu pada intinya adalah pemberian kemampuan kepada masyarakat melalui berbagai stimuli sehingga lepas dari belenggu kemiskinan atau keterbelakangan. Blanchard, John dan Alan (1998) mengemukakan tiga kunci untuk keberhasilan pemberdayaan dalam perusahaan besar maupun perusahaan kecil, yaitu (a) memberikan informasi kepada setiap orang, (b) menciptakan otonomi melalui batas-batas, dan (c) menggantikan hierarhi lama dengan tim pengelola mandiri. Dalam pengertian ini terlihat bahwa dalam pemberdayaan adanya pemberian akses atau kebebasan melalui otomomi kepada setiap orang untuk berbuat. Selain itu, juga tercermin dalam pengertian pemberdayaan adanya pendekatan dan metode baru melalui penggantian hirarhi lama dengan tim atau metode yang baru. Menurut World Bank (2002) ada berbagai model pemberdayaan yang ditujukan pada kelompok miskin, namun pada intinya pemberdayaan menekankan pada empat elemen penting, yaitu: (a) access to information, (b) inclusion and participation, (c) accountability, and (d) local organizational capacity. Access to information, agar pemberdayaan kelompok miskin berjalan dengan baik maka informasi dari pemerintah kepada kelompok miskin dan dari kelompok miskin kepada
pemerintah
harus
berjalan
dengan
lanc ar,
bila
mungkin
akan
terlembagakan (institutionalized). Dengan proses informasi seperti ini akan tercipta pemberdayaan yang sinergis, karena program-program pemerintah akan menjadi kebutuhan masyarakat. Inclusion and participation, berarti perlunya keterlibatan kelompok miskin dalam proses pemberdayaan termasuk dalam proses perenca naan. Ada berbagai bentuk partisispasi yang dapat dilakukan, yaitu: direct, representation, political by elected represen tation, information based, based on competitive
market
mechanisms.
Accountability,
artinya
bahwa
dalam
pemberdayaan, pejabat pemerintah harus dapat mempertanggung jawabkan segala kebijakan, tindakan, program dan dana yang digunakan secara akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan). Bila tidak demikian, maka upaya pemberdayaan yang
37
dilakukan tidak akan berhasil maksimal. Local organizational capacity berarti bahwa
dalam
proses
pemberdayaan
perlunya
mengembangkan
dan
mengorganisasikan kemampuan masyarakat setempat. Proses seperti ini akan memandirikan masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Sebagaimana yang sudah dikemukakan oleh Homan (1999) pada pembahasan kerangka teoritik beberapa elemen comunity development yang perlu dikembangkan dalam proses pemberdayaan masyarakat tersebut. Di mana pada intinya bahwa proses pemberdayaan menuntut semua elemen-elemen masyarakat harus diberdayakan dan dikembangkan, di mana pengembangannya harus didasarkan pada kemampuan dan ketersediaan sumber-sumber masyarakat setempat, bukan didasarkan pada ukuran-ukuran eksternal, sebagaimana yang terjadi selama ini. Bilamana sumber-sumber dimaksud tidak tersedia dalam masyarakat, adalah menjadi penting untuk mendatangkan sumber tersebut dari luar masyarakat sehingga pengembangan masyarakat menjadi lebih oiptimal. Bila disimak semua konsep pemberbedayaan yang sudah dipaparkan sebelumnya dan didasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada menurut penelitian bahwa pemberdayaan adalah suatu upaya memberikan kekuatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk dapat berfungsi secara sosial dalam kehidupan kelompoknya yang berarti mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sehari-hari, mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya dan mampu menampilkan peranannya dengan baik dalam masyarakat. Konsep keberfungsian sosial di sini mempunyai makna bahwa upaya pengembangan seseorang atau sekelompok tersebut disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan atau situasi yang terjadi. Indikator pengukuran keberhasilan yang digunakan bukan indikator yang kaku tetapi indikator yang sesuai dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Karena itu upaya pemberdayaan yang dilakukan harus dapat menagantisipasi perubahan kondisi dan lingkungan yang ada. Dalam kaitan konsep seperti di atas, upaya pemberdayaan yang dilakukan melalui kelompok, maka semua potensi dan sumber yang ada dalam kelompok perlu dioptimalkan dalam proses pemberdayaan tersebut. Anggota yang
38
terhimpun dalam kelompok mampunyai hetorogenitas yang tinggi baik. Anggota yang mempunyai pengalaman dan wawasan yang lebih luas harus berbagi pengalaman dengan yang lainnya, yang mempunyai keterampilan harus mengajri yang lainnya, yang mempunya pendidikan yang lebih tinggi harus mendidik anggota yang lainnya, yang mempunyai komitmen harus mengajak dan memotivasi yang lainnya, yang mempunyai modal lebih sharing dengan yang lainnya, yang mempunyai pendapat dan pandangan yang berbeda -beda akan memperkaya alternatif keputusan yang akan diambil. Melalui konsep seperti ini diharapakan keberfungsian anggota kelompok akan menjadi lebih optimal. Bilamana akses seperti di atas tidak dapat terpenuhi, diperlukan peranan seorang pendamping yang dapat menghubungkan anggota KUBE dengan pihak eksternal. Pengembangan aspek ekonomi dalam proses pembe rdayaan KUBE, pemberdayaan yang dilakukan perlu diarahkan pada pengembangan ekonomi yang berorientasi pada konsep usaha bisnis, di mana dalam setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan ada keuntungan yang diperoleh, kemudian dari setiap keuntungan yang diperoleh ada upaya anggota untuk menabung atau menyisihkan sebagian dari pendapatan yang diperoleh untuk ditabung). Pengembangan aspek ekonomi tidak hanya dilihat semata -mata dari aktivitas usaha ekonomi sudah berjalan atau tidak, tetapi lebih dari itu. Paling tidak dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: (a) apakah semua anggota KUBE sudah bekerja atau hanya sekelompok saja atau bahkan sudah dapat mempekerjakan orang lain di luar KUBE, (b) apakah ada keuntungan yang diperoleh usaha ekonomi yang dikembangkan, (c) apakah mereka sudah dapat menabung secara ekonomi atau mereka secara ekonomi sudah dapat menabung (karena pendapatan sudah cukup) tetapi tidak mau untuk menambung. Tiga komponen ini menjadi indikator keberhasilan pengembangan aspek ekonomi KUBE tersebut dan merupakan aspek yang penting mendapat perhatian dalam proses pembedayaan KUBE, karena tanpa perkembangan aspek ekonomi yang baik, pengembangan aspek sosial tidak akan berjalan dengan baik. Selanjutnya, perkembangan aspek ekonomi yang baik perlu diwarnai dengan pengembangan aspek sosial yang dapat mempercepat pemulihan keberfunsian sosial anggota KUBE tersebut. Pendapatan atau keuntungan yang
39
diperoleh diharapakan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup aggota keluarga, seperti kebutuhan makan, sehari-hari, rumah, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul, seperti anak putus sekolah, biaya pendidikan anak, kesehatan keluarga, perbaikan rumah, pembelian sarana hiburan dalam keluarga, dan lain -lain. Dapat diwujudkan dalam pengembangan peranan keluarga, seperti berpakaian layak, membantu keluarga atau tetangga yang lain pada saat kesulitan, dan lain-lain. Selain itu, KUBE perlu dilandasi oleh semangat pengembangan intelektual, spritual dan emosional yang baik. Dengan konsep seperti ini pada akhirnya akan mewujudkan jati diri anggota KUBE tersebut. Inilah inti dari proses pemberdayaan dalam KUBE tersebut.
Keberhasilan Kelompok Keberhasilan kelompok merupakan unsur penting untuk dikaji di dalam pengembangan kelompok. P emahaman akan keberhasilan kelompok secara objektif , akan menjadikan intervensi yang dilakukan lebih tepat dan akurat sesuai dengan keberhasilan kelompok tersebut. Paling tidak ada 2 aspek penting dalam keberhasilan kelompok tersebut , yaitu aspek yang bekaitan dengan sosial yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha-usaha kesejahteraan anggota kelompok yang dilakukan, seperti: keperdulian kelompok, kesetiakawanan kelompok, gotong royong, kerjasama kelompok, dukungan kelompok, dan lainlain; aspek yang berkaitan dengan ekonomi yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha ekonomis produkif yang dikembangkan kelompok. Dalam proses pemberdayaan kelompok masing-masing orang memberikan tekanan yang berbeda -beda dalam mengukur keberhasilan kelompok tersebut. Ada orang yang melihat bahwa aspek sosial merupakan unsur terpenting dalam suatu kelompok karena, sosial merupakan ciri dari suatu kelompok. Artinya kelompok dibentuk dalam rangka meningkatkan kerjasama dan tolong menolong di antara sesama anggota serta dalam rangka mengatasi masalah-masalah yang dihadapi anggota. Bilamana persoalan atau masalah anggota sudah teratasi dengan baik, ini akan menjadi motivasi bagi pengembangan kelompok. Karena itu, bila
40
kelompok ingin berhasil maka pembenahan aspek sosial menjadi hal yang terpenting. Orang-orang yang berlatar belakang ekonomi melihat bahwa aspek ekonomi merupakan unsur yang terpenting dalam kelompok. Tanpa kegiatan ekonomi kelompok akan hilang dan selanjutnya akan mati. Bilamana kegiatan ekonomi suatu kelompok berjalan dengan baik atau produktif, biasanya kelompok itu akan langgeng dan mampu bertahan untuk memenuhi kebutuhan kelompok. Karena itu, bilamana ingin mengukur kelompok maka yang menjadi aspek utamanya adalah ekonomi. Memberikan tekanan pada salah satu aspek yang dipaparkan di atas, tidaklah hal yang salah. Masing-maing orang melihat sesuai pengetahuan, pengalaman dan latar belakang masing-masing. Tetapi memberikan tekanan yang terlalu berat pada satu aspek saja juga kurang mencerminkan tingkat keberhasilan kelompok, karena pada prinsipnya keberhasilan suatu kelompok digambarkan paling tidak oleh dua aspek tersebut. Dalam mengukur keberhasilan KUBE sering orang hanya menggunakan aspek ekonomi saja, seperti: pertambahan sapi dari 5 menjadi 10 ekor, kambing dari 20 menjadi 50 ekor, modal dari Rp 5 juta menjadi 10 juta. Tetapi jarang sekali orang melihat bagaimana tingkat penyelesaian pendidikan seseorang dengan hadirnya dia sebagai anggota KUBE apakah ada peningkatan pendidikan anak atau tidak, bagaimana keperdulian dan rasa tanggung jawab yang ditunjukkan oleh anggota, demikian juga peningkatan dalam kesehatan, perumahan, dan lain-lain. Pengukuran yang didasarkan hanya pada kedua aspek di atas kurang dapat mencerminkan keberhasilan kelompok yang sesungguhnya, tetapi perlu melihat bagaimana keberlanjutan (sutanable) dari kelompok tersebut, baik dari lamanya berdisi, maupun eksistensinya di masa-masa mendatang. Biasanya, suatu kelompok bila sudah menunjukkan keberhasilan dalam aspek sosial dan ekonomi akan diikuti dengan eksistensi keberlanjutan. Karena itu eksistensi keberlanjutan usaha merupakan aspek yang penting dalam dalam penelitian ini untuk dipaparkan. Konsep berkelanjutan (sustainable) pada awalnya merupakan konsep yang banyak digunakan untuk menjelaskan berbagai usaha-usaha yang dilakukan mempertahankan keberlangsungan atau keberlanjutan suatu pembangunan yang
41
akan dilakukan di masa yang akan datang. Dalam penerapannya, konsep ini kurang memperhatikan keseimbangan dan keharmonisan berbagai aspek-aspek yang ada di dalamnya, seperti keseimbangan antara lingkungan, SDA, dan kehidupan sosial masyarakat. Mereka lebih mengutamakan keberhasilan pembangunan daripada keseimbangan dan keharmonisan berbagai aspek yang menjadi pendukungnya. Berbagai usaha dilakukan untuk dapat mempertahankan (maintanance) keberlangsungan dan berlanjutan hasil pembangunan atau kegiatan yang sudah dicapai, namun kurang mengindahkan keseimbangan kehidupan berbagai hal yang menjadi a spek pembangunan tersebut. Sekarang ini, penerapan konsep keberlanjutan (susta inable) lebih menitikberatkan pada perlunya keseimbangan antara berbagai aspek yang ada dalam pembangunan tersebut, yaitu aspek lingkungan, ekonomi dan kehidupan masyarakat itu sendiri. Pemafaatan lingkungan perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan kehidupan masyarakat dan aspek-aspek lainnya. Perbaikan ekonomi perlu mempertimbangkan aspek lingkungan dan aspek kehidupan masyarakat serta aspek-aspek lainnya dan seterusnya. Keseimbangan yang harmonis di antara berbagai aspek yang ada dalam pembangunan, maka kelak generasi selanjutnya akan
dapat
meneruskan
keberhasilan
dan
kegemilangan
keberlanjutan
pembangunan tersebut. For society to continue developing in the way it has done in the past, we need to pay more attention to our environment. How this is best achieved is often a matter of opinion rather than fact, dependent upon different perspectives of the environment and views of nature. Recently, a concept has emerged that has attempted to bring together the best aspects of these different viewpoints, and to harmonize the development of mankind with the protection of nature. This is the concept of "Sustainable Development" (Atmosphere, Climate & Environment Information Programme, 2004).
Konsep keberlanjutan harus berbicara untuk jangka waktu yang lama (long term) bukan untuk jangka waktu yang singkat. Hasil yang sudah dicapai saat ini harus dapat dinikmati dan diteruskan oleh generasi berikutnya. Selain itu, keberlanjutan perlu menerapkan pendekatan yang terintegrasi (integrated development) di antara unsur-unsur pembangunan yang ada. Keberlanjutan tidak akan terwujud dengan hanya mengedepankan satu aspek tertentu, tetapi perlu ada perpaduan di antara semuanya. Dengan demikian masing-masing unsur yang ada
42
akan saling mendukung satu sama lain. Kebe rlanjutan juga menekankan perlunya penerapan teknologi praktis (practice technology) untuk memafaatkan seoptimal mungkin sumber-sumber yang ada guna meningkatkan kesejahteraan anggota masyarakat. Keberlanjutan bukan berarti membiarkan unsur-unsur yang ada menjadi statis, tetap ada tapi kurang berkembang. Keberlanjutan berarti menjadikan unsur-unsur atau komponen yang ada menjadi dinamis dan dapat mengadaptasikan diri dengan perkembangan dan tuntutan perubahan lingkungan yang ada. Sumber-sumber yang ada harus diolah seoptimal mungkin untuk kepentingan anggota masyarakat ta npa merusak kehidupan yang sesungguhnya. Menurut Kelompok ini (atmosphere, climate & environment information programme) bahwa securing economic development, social equity and justice, and
environmental protection is the goal of sustainable development. Securing di sini menekankan perlu adanya keterjaminan di dalam hal pembangunan ekonomi, keadilan dan perlindungan terhadap lingkungan yang ada sehingga tetap lestari hingga ke generasi berikut. Sedangkan tujuan lainnya adalah terciptanya keseimbangan yang harmonis di antara unsur -unsur pembangunan yang ada. Sedangkan di dalam konsepsi pertanian tentang keberlanjutan, Reijntjes et al (1992) mengatakan sustainability pada dasarnya mengacu pada the capacity to remain productive while maintaining the resource base. Artinya bagaimana kita harus dapat mengelola sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhankebutuhan manusia (human need) dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian sumber daya yang ada. Hal ini sebenarnya merupakan unsur hakiki dari pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian yang berkelanjutan harus berorientasi komersial dan petani mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, serta dalam mengelola sumberdaya dilakukan secara optimal dan diterapkan dengan berwawasan kelestarian lingkungan serta mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya (Sumardjo, 1999). Lebih lanjut Sumardjo mengatakan bahwa agar tercipta suatu pertanian yang berkelanjutan maka usaha -usaha produksi pertanian yang dilakukan harus dapat mendukung industri yang kuat, sehingga tercipta suatu struktur ekonomi yang seimbang. Tentu analog ini sangat relevan dengan konsepsi pemberdayaan
43
dalam KUBE. Usaha ekonomis produktif yang dikembangkan dalam KUBE harus mampu mendukung industri- industri yang ada di daerah tersebut. Agar posisi seperti ini dapat diwujudkan, maka Bunasor (1990) mengidentifikasi ciri-ciri usaha yang berkelanjutan, me liputi: (a) usaha yang dikembangkan harus mampu memanfaatkan semua sumber daya secara optimal; (b) mampu mengatasi berbagai hambatan fisik yang bersifat alamiah maupun ekonomi; (c) mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksinya terhadap peruba han yang terjadi baik perubahan permintaan pasar, maupun perubahan teknologi; (d) ikut serta aktif di dalam kontek pembangunan nasional (penyediaan lapangan kerja, pelestarian lingkunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat. Unsur lain di dalam keberlanjut an, adalah perlu adanya kemandirian. Hube is (1992) mengatakan bahwa kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dir inya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Dalam pengertian ini, kemandirian diartikan bagaimana seseorang individu atau secara kelompok bisa memanfatkan potensi yang dimiliki kelompok secara bebas tanpa harus tergantung pada atau dipengaruhi oleh kelompok atau pihak lain. Slamet (1995) berpendapat bahwa untuk menumbuhkan dan membina kemandirian petani, petani perlu di arahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya berupaya untuk bekerja sama untuk mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Kemandirian tidak berarti anti terha dap kerja sama atau menolak saling keterkaitan dan saling ketergantungan. Kemandirian justru menekankan perlunya kerjasama yang disertai tumbuh dan berkembangnya (a) aspirasi, (b) kreativitas, (c) keberanian menghadapi resiko, (d) prakarsa seseorang bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan (collective self -reliance). Di beberapa literatur yang ada kemandirian diartikan sebagai ketangguhan. Menurut Sukardi (1993) manusia yang tangguh sebagai subjek pembangunan dalam era globalisasi, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) etos kerja tinggi, (b) prestatif, (c) peka dan cepat tanggap terhadap perubahan, (d) inovatif, (d) religius, (e) bermoral, (f) mandiri, dan (g) mampu mengendalikan diri. Hadiwigeno (1985) memberikan ciri-ciri petani yang berus aha tani, yakni: (a) mempunyai
44
pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan ide-ide baru, (b) memperoleh tingkat pendapatan yang layak, (c) berani menghadapi berbagai resiko, (d) mampu menarik manfaat dari asas skala ekonomi, dan (e) memiliki kekuatan unt uk mandiri dalam berusaha tani. Sedangkan menurut Abas (1995) menunjukkan ciri-ciri petani yang mempunyai
ketangguhan
berusaha
sebagai
berikut,
(a)
mampu
untuk
memanfaatkan sumber daya secara optimal dan efisien, (b) mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan, (c) mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur pr oduksinya terhadap perubahan musim, perminataan pasar, maupun perkembamgan teknologi, (d) berperan aktif dalam peningkatan produksi, serta (e) mampu menciptakan pasar yang menguntungkan produksinya. Dengan menggunakan konsep yang berbeda, Wirosardjono (1992) mengartikan upaya seseorang yang didasarkan pada kepercayaan kemampuan diri dan pada sumber daya yang dimiliki sebagai semangat keswadayaan. Dikemukanakan bahwa faktor-faktor yang membentuk kemampuan swadaya adalah (a) keuletan, (b) kerja keras, dan (c) jiwa kewirausahaan. Pandangan ini diperkuat oleh Rasyid dan Adjid (1992) yang lebih menekankan kemandirian pada kepercayaan diri dalam pengambilan keputusan secara bebas dan bijaksana. Didasarkan pada uraian-uraian tentang konsep keberla njutan yang sudah dipaparkan di atas,
konsep ini menekankan perlu adanya keseimbangan dan
keharmonis di antara berbagai unsur yang ada dalam pembangunan, tidak hanya mengedepankan atau mengutamakan hanya satu faktor saja, tetapi masing-masing mempunyai fungsi yang saling mendukung di antara unsur atau komponen yang ada, terintegrasi di antara berbagai unsur yang ada, berbicara untuk masa depan tidak untuk masa sekarang, adanya pembaharuan-pemba haruan di dalam metode dan pendekatan yang diterapkan (technology), pemanfaatan sumber seoptimal mungkin dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan yang ada, kegiatan yang dilakukan bersifat dinamis bukan statis, dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial anggota masyarakat.
45
Penyuluhan dan Pemberdayaan Apakah penyuluhan sama dengan pemberdayaan atau penyuluhan lebih luas dari pemberdayaan atau sebaliknya pemberdayaan lebih luas dari penyuluhan? Pertanyaan lain yang sering dilontarkan adalah bagaimana kaitan antara pemberdayaan dengan penyuluhan. Mungkin pertanyaan yang terakhir ini menjadi fokus pembahasan dalam bagian ini. Berangkat dari pendapat Ensmiger dalam Dahana dan Bhatnagar ( 1980) mengemukakan beberapa filosofi penyuluhan, yaitu: 1. It is an educational process. Extension is changing the attitudes, knowledge, and skills of the people. 2. Extension is working with men and women, young people, boys and girls to answer their needs and their wants. Extension is teaching people what to want and ways to satisfy their wants. 3. Extension is “helping people to help the themselves”. 4. Extension is “learning by doing” and “seeing is believing”. 5. Extension is development of individuals, their leaders, their society and their world as a whole. 6. Extension is working together to expand the welfare and happiness of people. 7. Extension is working in harmony with the culture of people. 8. Estension is a living relationship, respect and trust for each other. 9. Extension is a two-way channel, and 10. Extension is continuous, educational process.
Dari konsep di atas dapat dikatakan bahwa penyuluhan adalah suatu proses pendidikan dalam rangka mengubah sikap, pengetahuan dan keterampilan seseorang. Proses pendidikan ini berlangsung melalui pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Asngari dalam Yustina dan Sudrajat (2003) Penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan / dikehendaki yakni orang makin modern. Ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri. Dari kedua pendapat ini semakin jelas bahwa penyuluhan sosial merupakan proses pendidikan dalam rangka pengubahan perilaku. Pengubahan perilaku dan penge mbangan potensi diarahkan untuk menjadi orang yang modern atau orang yang berpikiran maju. Selain penyuluhan merupakan proses pendidikan, penyuluhan juga bertujuan untuk membantu kelompok sasaran sehingga mampu mandiri (helping people to help themselves). Dalam proses membantu kelompok sasaran,
46
penyuluhan dilakukan melalui
proses “learning by doing” and “seeing is
believing”, yaitu langsung mempraktekkan sendiri dan melihat kenyataan yang terjadi sehingga dengan demikian akan tumbuh kepercayaan dalam diri kelompok sasaran. Hal yang senada juga dikatakan oleh Mardikanto (1992) yang mengatakan bahwa falsafah penyuluhan adalah bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia . Nampak dari beberapa pengertian di atas, bahwa pemberdayaan itu adalah suatu proses untuk mengubah perilaku, pengetahuan dan keterampilan kelompok sasaran sehingga mampu berdiri sendiri. Sedangkan menurut Soedijanto (2003) dalam Yustina dan Sudrajat (2003), bahwa pemberdayaan adalah: Mu tu SDM petani akan dapat mendukung pembangunan pertanian kini dan masa yang mendatang manakala penyuluhan pertanian merupakan proses pemberdayaan bukan proses transfer teknolgi. Menyuluh bukannya “mengubah cara bertani” melainkan “mengubah petani” yang dilaksanakan melalui 6 dimensi belajar (learning) yaitu: (a) learning to know, (b) learning to do, (c) learning to live together, (d) learning to be, (e) learning society, (f) learning organization. Dari konsep yang sudah dipaparkan di atas sangat tegas sekali apa yang dimaksud dengan penyuluhan, penyuluhan bukan mengajari petani bercocok tanam tetapi merubah perilaku para petani. Dalam konsep ini tercermin adanya upaya peningkatkan kualitas SDM sehingga memiliki kemampuan dalam mengolah sumber-sumber yang ada di lingkungannya. Me nciptakan manusia untuk mandiri tanpa harus tergantung pada pihak lain. Dengan adanya kemampuan seperti itu diharapkan produktivitas kelompok sasaran akan meningkat dan pada akhirnya ketergantungan pada pihak lain akan hilang. Menurut Pranarka dan Vidhyandika (1996) pemberdayaan - sebagaimana yang sudah disinggung pada kerangka teoritik sebelumnya- mengandung dua arti: pertama (primer), pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya dan biasanya dilengkapi dengan upaya pemberian aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka. Kedua (sekunder), proses menstimuli , mendorong atau memotivasi
47
individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dari konsep pemberdayaan yang dipaparkan di atas, terlihat bahwa pemberdayaan pada intinya adalah pemberian kekuatan, kemampuan dan kekuasaan yang memungkinkan orang tersebut mampu menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Pemberian kekuatan dan kemampuan ini dapat dilakukan melalui bantuan material dan non material. Ife (1995) memberikan arti bahwa tujuan pemberdayaan adalah to increase the power of the disadvantaged . Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep ini mengandung dua arti penting yaitu power and disadvantaged . Artinya bahwa pemberdayaan itu bertujuan untuk meningkatkan power atau kemampuan atau kekuatan orang yang kurang mampu sehingga menjadi mampu dalam menentukan pilihan-pilihannya. Mampu yang dimaksud dalam konsep ini adalah kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan untuk melakukan. Lebih spesfik Kartasasmita (1996) mengatakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua arah, yaitu: (a) upaya melepaska n belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, (b) memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Selama label kemiskinan dan keterbelakangan masih melekat, maka posisi tawar akan sulit diwujudkan, karena itu kedua unsur menjadi penting. Berdasarkan ulasan terhadap berbagai konsep yang sudah dipaparkan, dibawah ini akan disajikan bagaimana hubungan antara penyuluhan dan pemberdayaan. Bila kita berangkat dari konsep yang dikemukakan oleh Dahana dan Bhatnagar, atau Asngari, atau Mardikanto atau Soedijanto pada intinya bahwa penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk pengubahan sikap, pengetahun dan keterampilan kelompok sasaran. Proses pengubahan ini dilakukan secara sistematis melalui pendidikan formal. Karena itu, Soedijanto mengatakan bahwa penyuluhan bukan bertujuan untuk mengubah cara bertani tetapi yang menjadi sasaran utama penyuluhan adalah mengubah sikap, pengetahuan dan keterampilan petani sehingga para petani dari yang tadinya pengolahan pertanian secara tradisional sekara ng menjadi modern. Perubahan ini terjadi karena sudah terjadinya proses perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam diri kelompok sasaran. Jadi, yang menjadi inti atau fokus dalam konsep penyuluhan
48
ini adalah adanya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan kelompok sasaran. Bila dicermati bahwa konsep pemberdayaan yang dikemukakan Pranarka dan Vidhyandika, Ife atau Kartasasmita pada intinya adalah menyangkut pemberian power kepada kelompok sasaran yang dilakukan melalui dua hal, pertama : pemberdayaan yang dilakukan melalui pengubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan kelompok sasaran, dan kedua : pemberdayaan guna mendukung dan mempercepat pengubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan
kelompok
sasaran tersebut, pemberdayaan tersebut disertai dengan pemberian berbagai fasilitas lainnya, seperti: bantuan modal pengembangan usaha, penyediaan kredit, penyediaan sumber daya yang dapat dimanfaatkan, penyediaan aksesibilitas dalam berbagai hal, pelayanan pendampingan, pengembangan pemasaran, pengembangan jaringan, dan lain-lain. Dari uraian di atas terlihat bahwa proses pemberdayaan diikuti dengan pemberian berbagai fasilitas yang memungkinkan kelompok sasaran tersebut dapat lebih cepat berkembang.