2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemiskinan
Salah satu kondisi nyata kegagalan pembangunan terlihat pada situasi kemiskinan, yang sebagian besar dialami oleh individu/kelompok yang tidak memiliki akses terhadap pembangunan. Kerniskinan menurut Sumodiningrat
(2007) penyebabnya beragam, bersifat kompleks dan saling terkait, diantaranya: ( 1 ) rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik motivasi maupun penguasaan manajemen dan teknologi, (2) kelembagaan yang belum marnpu menjalankan dan mengawal pelaksanaan pembangunan, (3) prasarana dan sarana yang belum merata dan sesuai kebutuhan pembangunan, (4) minirnnya permodalan, dan ( 5 ) berbelitnya prosedur dan peraturan yang ada. Kondisi yang saling terkait ini,
dalam faktanya seringkali diperkuat oleh struktur yang tidak berpihak pada kepentingan kelompok marjinal. Akibatnya beragam kerja keras yang telah dilakukan untuk keluar dari situasi kemiskinan seolah tidak ada hasilnya, dan kelompok-kelompok marjinal ini seperti terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tidak ada habisnya. Robert Chambers, diacu dalam Soetrisno ( 1 997:1 8-19), menggambarkan situasi perangkap ketidakberuntungan (poverty trap) kaum miskin yang disebabkan oleh setidaknya lima hal, yaitu: ( 1 ) kemiskinan (poverty) itu sendiri yang ditandai dengan rendahnya daya beli dan pendapatan yang rendah pula, (2) kelemahan fisik (physical weakness),(3) kerentanan (vulnerability)terkait dengan kepemilikan cadangan/tabungan untuk mengantisipasi masa-masa rawan, (4) keterisolasian (isolation) terutarna terkait dengan kesempatan untuk mengakses informasi, dan (5) ketidakberdayaan (powerlessness) yang dapat terlihat dari rendahnya posisi tawar dan rendah diri secara psikologis. Dihubungkan dengan kondisi kemiskinan perempuan secara spesifik, Cahyono (2005:12- 1 3) menyatakan kondisi ini dapat ditelaah melalui dua perspektif yaitu ekonorni dan politik. Perspektif ekonomi mencermati aspek akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi. Beberapa persoalan mendasar aspek ekonomi ini terlihat pada ketiadaan pengakuan dan penghargaan atas aktivitas kerja perempuan, kesulitan dalam mengakses sumber daya ekonomi, penghasilan yang rendah, serta perempuan cenderung mengalokasikan sebagian besar
penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan makan clan kebutuhan dasar keluarga lainnya dibandingkan laki-laki. Sementara itu, perspektif politik memanclang penyebab situasi kemiskinan karena perempuan tidak tenvakili secara proporsional di antara kelompok miskin
clan tidak memiliki kekuasaan. Situasi kemiskinan secara politik ini menjelma dalarn bentuk kerentanan hidup (vulnerability), kesempatan dan suara (voicelessness and powerlessness). Situasi yang rentan ini juga didukung oleh pemerintahan yang bias gender (male-biasedgovernance system).
2.2 Feminisasi Kemiskinan
Rumusan keyakinan tentang penyebab kemiskinan berirnplikasi pada cara pandang terhadap kemiskinan itu sendii, bila dihubungkan dengan peran ideologi gender maka situasi ferninisasi kemiskinan dinilai sebagai bentuk riil kemiskinan struktural. Ideologi gender yang timpang cenderung menempatkan status kesejahteraan perempuan lebih rendah daripada kelompok laki-laki, misalnya
dalarn situasi kerniskinan. Diana Pearce pada tahun 1978 melalui bukunya "The feminization ofpoverty: Women, work, and welfare", menjelaskan:
"...The feminization of poverty
reflects the phenomenon that poverty and gender are correlated, and that gender is a key factor in the likelihood of pover ty...., For women, poverty is more likely occurrence than for men. There are at least two major reasons for this. The first has to do with the dzyerence in average earnings for women versus men. The second reason is that women are more likely to have children for whom they responsible, and this places an additional economic burden on them..." (Pearce, dalam Segal, 1998:84). (Feminisasi kemiskinan merefleksikan korelasi antara gender dan kemiskinan, dimana gender menjadi faktor kunci kemungkinan penyebab kemiskinan.. ., Bagi perempuan peluang untuk menjadi miskin lebih nyata dari laki-laki. Setidaknya ada dua alasan utama. Pertama, berkaitan dengan perbedaan penghasilan ratarata antara laki-laki dan perempuan. Alasan kedua adalah perempuan biasanya bertanggung jawab atas anak-anak, kondisi ini menempatkan beban ekonomi tambahan pada perempuan). Razavi (2000) mengungkapkan proses ferninisasi kemiskinan umumnya
ditandai dengan peningkatan jumlah kepala keluarga perempuan. "...The relationship between gender disadvantage and poverty appears to be quite straightforward, as in the tendency to equate women or female-headed household with the vulnerable or the poor...". (Hubungan antara ketidakadilan gender dan
kerniskinan secara langsung terlihat pada kecenderungan peningkatan nunah tangga dengan kepala keluarga perempuan, yang berada dalam kondisi rentan atau miskin). Beberapa literatur kepustakaan lainnya menunjukkan situasi peningkatan persentase jumlah kepala keluarga perempuan telah terjadi secara global dan terus meningkat sejak era 1980-an.
"...Ada banyak faktor yang menjadi variabel utama, yaitu migrasi, perceraian, pengabaian, pembatasan sosial, menjadi janda dalam jangka waktu yang lama, menjadi orang tua tunggal di usia muda, dan secara urnum disebabkan karena ketidakadilan gender' yang menimpa anak-anak dan perempuan yang mengakibatkan beban tanggung jawab mereka yang lebih berat.. ." (Wijaksana, 2005b). Berbicara tentang kerentanan perempuan untuk mengalami kemiskinan, Segal (1998) menyatakan:
"... Many argue that the transformation of the family has brought about increased poverty for women. The prevailing sentiment it that rising rates of divorce, separation, teenage pregnancies, and out-of marriage births have resulted in greater number of poor, femaleheaded household..." (Banyak bukti memperlihatkan bahwa perubahan bentuk dalam keluarga telah mengakibatkan peningkatan kemiskinan pada perempuan. Peristiwa perceraian, perpisahan, kehamilan usia remaja, dan kelahiran diluar pernikahan, beberapa diantaranya telah mengakibatkan sejumlah besar penyandang kemiskinan, yaitu keluarga dengan kepala keluarga perempuan) Laporan CIDA (1997) yang dimuat dalam pengantar redaksi Jurnal Analisis Sosial Akatiga (2003) memberikan bukti bila rumah tangga temasuk salah satu lokus diskriminasi terhadap perempuan. Faktanya, ketidakwkmm alokasi sumber daya rumah tangga menyebabkan laki-laki clan perempuan mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda, antara lain pada: (1) akses terhadap sumber produktif, seperti tanah, modal, hak kepemilikan, kredit, serta pendidikan dan pelatihan, (2) kontrol terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga; (3) pembagian keja yang tidak seimbang akibat adanya beban kerja reproduktif yang diemban perempuan; (4) perbedaan konsurnsi makanan, obat-obatan, pelayanan kesehatan dan pendidikan; dan (5) perbedaan tanggung jawab pengelolaan keuangan nunah Uraian di atas memperlihatkan kompleksitas persoalan kemiskinan perempuan, tidaklah sesederhana hanya sod ketidakmampuan ekonomi saja. Hal
ini seperti dinyatakan Tabhos et al. dalam Wahyuni (2007) bahwa feminisasi
kemiskinan adalah suatu realita yang hidup dan sifatnya lebih besar dari sekedar kekurangan pendapatan, tetapi adalah tidak adanya pilihan, ketidakmarnpuan meraih kesempatan-kesempatan atau mencapai tujuan, dan pada akhirnya kehilangan harapan. Berhadapan dengan kondisi ini, artinya program-program peningkatan pendapatan keluarga saja tidaklah cukup, tanpa dibarengi kegiatan yang rnampu membuka akses perempuan untuk membuat pilihan-pilihan otonom terhadap di pribadinya.
Peningkatan kemampuan perempuan memberikan kontribusi
pendapatan bagi keluarga, juga hams dibarengi oleh penguatan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya keluarga Situasi ini juga harus dibarengi oleh perubahan perspektif pada lingkungan eksternal keluarga miskin, khususnya penyelenggara programflregiatan, untuk lebih memberi peluang keterlibatan perempuan dalam mengakses progmdkegiatan pengentasan kemiskinan. Melalui sinergi ini, kapasitas kemampuan perempuan dalam pengentasan kemiskinan keluarga dan komunitasnya dapat dioptirnallcan.
[HI1
2.3 Coping Strategies Frank Ellis (1998) menyatakan "...conceptually, coping strategies refer to the process by which people construct a diverse portfolio of activities and social support in their struggle for survival and in order to improve their economic and social well-being ..." (secara konseptual, coping strategies menunjuk pada proses pengkonstmksian gagasdide dari beragam kegiatan dan dukungan sosial, dalam rangka bertahan dan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial dan ekonominya). Suharto (2005a) berdasarkan studi kasus komunitas Pedagang Kakilima di Bandung, mengklasifikasikan coping strategies yang dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi keluarga. "...Drawing on the strategy sequencing approach raised in the theoretical review, these responses were labeled Strategies for survival: 'strategies for stabilization' and 'strategies for augmentation', ..... These categories were then associated with three socio-economic classes of household on the basis of their daily household incomes, namely better-08 vulnerable, and poor families, to allow the data to highlight a spectrum of responses and generate a
simple model of coping strategies... " (Untuk menggambarkan rangkaian tahapan strategi respon ini disebut sebagai 'strategiesfor survival : 'strategies for stabilization' dun 'strategies for augmentation ', ...Kategori ini dihubungkan dengan tiga kelas sosial ekonomi rumah tangga berdasarkan pendapatan harian, yang biasa disebut dengan keluarga dengan pendapatan cukup (better-ofl, keluarga yang rentan (vulnerable) dan keluarga miskin boor families). Sebutan ini dipakai untuk menandai spektrum perbedaan respon dan menghasilkan model sederhana dari strategi bertahan hidup). Untuk melengkapi argumennya tersebut, Suharto (2005a) menggambarkan
permodelan coping strategies seperti pada gambar 1. A (Assets)
S1: Saving and w i a l investment S2: Business expansion
S1: Livdibood d i v e t s i f i d S2: Low&g
txpwdituns
v Low
Non acute
4
b Acute
Gambar 1 Model coping strategies keluarga pedagang kakilima (Suharto,2005a:258) Melalui analogi coping strategies keluarga miskin (studi kasus pedagang
kaki lima) di atas, terlihat bahwa setidaknya coping strategies dipengaruhi oleh dua ha1 mendasar yaitu kepemilikan aset dan tingkat stress (problems) yang dihadapi keluarga. Kepernilikan aset
keluarga yang dimaksud tidak hanya
terbatas pada besar penghasilan, tetapi juga meliputi aset dalam dimensi luas seperti aset produktif keluarga, aset relasi rumah tangga, dan aset modal sosial. Pilihan strategi antar keluarga menjadi bervariasi, tergantung pada berapa besar met keluarga dan permasalahan yang dihadapinya, misalnya pada keluarga yang tingkat kepemilikan aset rendah dan tingkat stress akibat tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang relatif lebih tinggi, maka strategi yang dilakukannya adalah
cenderung pada kategori strategi bertahan (strategiesfor survival), diantaranya melalui diversifikasi pemenuhan kebutuhan keluarga, mengurangi biaya belanja keluarga atau membatasi pengeluaran untuk beberapa kebutuhan yang dianggap tidak terlalu mendesak. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya coping
strategies yang dilakukan oleh individu atau rurnah tangga ini bersifat kompleks
dan dinamis, serta dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternalnya. Dari sejumlah literatur kepustakaan yang ada, dijumpai beberapa istilah yang dipakai untuk menggambarkan tentang seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dan digunakan seseorang untuk mengatasi persoalan kerniskinan. Beberapa padanan istilah tersebut diantamnya: coping strategies,
survival strategies, household strategies, coping mechanism dan livelihood diversiJication. Untuk penyeragaman penyebutan dan penulisan, maka seterusnya
dalam kajian ini secara konsisten akan digunakan istilah coping strategies. Menggunakan tinjauan strength perspective dalam Profesi Pekerjaan Sosial, maka coping strategies yang secara alamiah dilakukan perempuan untuk
mensiasati situasi kerniskinan yang dihadapinya merupakan bentuk daya tahan atau kekuatan yang dirnilikinyi Kekuatan ini harusnya menjadi titik masuk bagi perancangan sebuah program pemberdayaan masyarakat, seperti diungkapkan Zastrow (2004:209),
". ..The
strength perspective
is closely related to
empowerment. The strength perspective seeks to identifi, use, build and reinforce the strength that people have, ...It emphasizes people's abilities, interest, aspirations, resources, beliefs, and accomplishments...". (Perspektif kekuatan berkaitan erat dengan pemberdayaan. Perspektif ini berusaha mengidentifikasi, menggmakan, membangun dan memperkuat daya yang dimiliki orang-orang ..., menekankan pada kemampuau, minat, aspirasi, sumber daya, keyakinan, dan prestasi yang mungkin dicapai seseorang). Ideologi gender yang patriarkhis dan mewarnai struktur sosial kemasyarakatan telah menciptakan pembagian kerja seksual yang menempatkan perempuan sebagai pengelola rumah tangga, penanggung jawab terutama pada tiga ha1 utama meliputi pemenuhan kebutuhan makan, kesehatan keluarga, dan pendidikan anak. Menurut Saptari dan Holmer (1997), ada dua proses penting yang menggambarkan kaitan pembagian kerja seksual dan dampaknya terhadap perempuan yaitu domestikasi dan marginalisasi. Proses domestikasi atau
pengiburumahtanggaan (housewz~zation) berkenaan dengan tanggung jawab perempuan atas peran reproduktif atau kelangsungan rumah tangga dari generasi ke generasi, yang pelaksanaannya membatasi ruang gerak perempuan di arena domestik saja. Situasi ini secara berantai menyebabkan kerja-kerja perempuan seringkali tidak terlihat karena tidak menghasilkan upah dan hanya di lingkup m a h tangga, yang walaupun menghasilkan upah tetapi jumlahnya kecil. Proses marjinalisasi atau penggeseran perempuan dari pasaran kerja, juga merupakan bagian mata rantai situasi ini, yang dipengaruhi persepsi bahwa pekerjaan domestik adalah tugas utama perempuan dan perempuan hanyalah pencari nafkah tambahan. Kondisi inilah yang kemudian menjadi faktor penyebab mengapa coping strategis perempuan dalarn menghadapi situasi kemiskinan kelwganya tidak mendapatkan nilai dm pengakuan layak dari masyarakat, sebab dianggap sebagai hal biasa yang memang sudah semestinya dilakukan perempuan sebagai penanggung jawab pengelolaan rumah tangga. 2.4 Perempuan dalam Strategi Penanggulangan Kerniskinan Tak kurang banyaknya pendapat ahli dan ragam pendekatan telah dihasillcan dan ditujukan untuk mengintegrasikan perempuan dalam program-program pembangunan, khususnya pengentasan kerniskhan. Caroline Moser dalam Saptari
dan Holzner (1997) misalnya mengemukakan setidaknya ada lima pendekatan besar yang berupaya melibatkan perempuan dalam pembangunan, yaitu: (1) Werfare Approach (pendekatan kesejahteraan), (2) &uity Approach (pendekatan kesamaan), (3) Anti-Poverty approach (pendekatan anti kemiskinan), (4) Eficiency Approach (pendekatan efisiensi), clan (5) Empowerment approach (pendekatan pemberdayaan). Pada kenyataannya pendekatan 1-4 cenderung masih memfokuskan upaya penman
ketimpangan
pendapatan
laki-laki
dan perempuan, dengan
menitikberatkan peranan produktif perempuan melalui income generating pada usaha skala mikro untuk kemandirian ekonomi. Sasaran utamanya adalah perempuan pekerja miskin, melalui peningkatan sektor informal yang sejalan dengan strategi pemerataan perhunbuhan. Kritik kemudian muncul terhadap pendekatan-pendekatan ini karena gaga1 melihat perbedaan akses yang dialami oleh perempuan dan laki-laki. Situasi akhir implementasi pendekatan-pendekatan
ini secara ekonorni memang mendorong tejadi perubahan kondisi perempuan secara umum, namun secara politis perempuan tetap tersubordinatkan dalam pengambilan keputusan Menyikapi kenyataan ini Caroline Moser (1988) seperti diacu dalam Saptari
dan Holmer (1997:157-181) menyatakan hendaknya kemiskinan perempuan jangan sernata dilihat sebagai pencerminan keterbelakangan, tetapi juga sebagai pencerminan subordinasi. Oleh karena itu, Moser mengingatkan bahwa pendekatan pemberdayaan perempuan tidaklah sepantasnya membedakan an&a kepentingan praktis dan kepentingan strategis. Melengkapi pendapat ini Saptari dan H o h e r (1997) menghanrskan pemilihan strategi yang tepat clan memperhatikan keadaan lokal, agar pelaksanaan kegiatan penciptaan pendapatan menjadi efisien dan berguna bagi perempuan miskin, Berkaitan dengan "keadaan lokal" ini, hasil penelitian Tim AKATIGA (2001) memperlihatkan bahwa situasi krisis telah mendorong perempuan miskin sebagai kepala keluarga melakukan berbagai strategi untuk mengatasi kebutuhan hidupnya, yang rnarnpu memberikan kontribusi signifikan bagi ekonomi keluarga yang menyelamatkan keluarga dari krisis. Persoalannya, pengalaman perempuan mengatasi situasi kerniskinan dalam arus dominan patriarki tidak atau belum mendapatkan ruang pengakuan secara semestinya. Situasi kemiskinan clan nilai masyarakat tentang peran dan posisi perempuan telah menghambat potensi perempuan untuk terlibat dalam upaya pengentasan kemiskinan. Hal ini dibulctikan dengan rninimnya program yang marnpu menjangkau perempuan miskin.
Mary Wollstonecraft dalam Vindication of the rights of the women, yang diacu dalam Novirianti (2005) mengungkapkan semestinya posisi perempuan tidak saja sebagai obyek yang perlu disejahterakan, namun juga berperan besar
dalam melakukan perubahan, termasuk ikut mendorong menekan angka kemiskinan. Pendapat ini pada prinsipnya merupakan penegasan dan pengakuan terhadap beragam f a b empirik yang menunjukkan kemampuan dan kekuatan perempuan untuk bertahan dalam kemiskinan dan beragam situasi lain yang membatasinya.
Untuk pencapaian situasi ini, diperlukan sebuah proses pendidikan partisipatif yang berbasis pengalaman perempuan, dirnana pengalaman pribadi diungkapkan agar menjadi pengalaman bersama. Intinya adalah proses penyadaran perempuan sebagai bagian dari masyarakat untuk bisa memahami konteks permasalahannya dan membebaskan dirinya dari ketertindasan, atau sering disebut juga sebagai proses pendidikan kritis. Hal ini sejalan dengan tuntutan kaum feminis untuk memposisikan perempuan sebagai pembentuk pengetahuan. Abha Bhaiya dan Kalyani Menon Sen, seperti disarikan dalam makalah Utarni et al. (2002) menggambarkan ciri-ciri proses pendidikan kritis feminis,
diantaranya
ditandai
dengan
penggunaan
metodologi
feminis
yang
menitikberatkan pengalaman perernpuan sebagai alat untuk menunjukkan struktur-struktur patriarkhi yang lebih besar dalam sistem kemasyarakatan. Metodologi pendidikan ini bertujuan untuk melawan streotipe bahwa perempuan adalah korban yang pasif, serta membuka ruang yang lebih besar untuk membicarakan kekuatan dan keberanian perempuan dalam mendobrak dominasidominasi. Proses pendidikan dapat dikatakan pendidikan kritis feminis jika telah ada penerapannya atau aksi yang dilakdcamya, yang didasari pada kesadaran baru untuk menantang praktek-praktek dominasi patriarkhi. Merujuk pendapat James William Ife (1995:61-64) rnaka indikator keberdayaan perempuan dapat dideskripsikan sebagai situasi yang ditandai dengan: a. Kemampuan untuk menetapkan pilihan-pilihan personal dm kesempatan-kesempatan hidup. b. Kemampuan merumuskan kebutuhan sesuai aspirasi dan keinginan. c. Kemampuan mengekspresikan d m memberikan idelgagasan dalam forum secara bebas tanpa tekanan. d. Kemampuan untuk menjangkau, memanfaatkan dan mengontrol pranata kemasyarakatan, dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup rnisalnya lembaga pendidikan kesehatan dan pelayanan kesejahteraan sosial. e. Kemampuan memobilisasi surnber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan. f. Kemampuan dalam akses ekonomi, meliputi pemanfaatan dan pengelolaan mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang dan jasa
g. Kemampuan mengontrol atas penjaminan kelangsungan hak reproduksi. Deskripsi situasi keberdayaan perempuan di atas, pada prakteknya menegaskan kebutuhan strategis akan pentingnya pengakuan terhadap pengetahuan clan pengalaman perempuan, khususnya terkait dengan strategi mengatasi situasi kemiskinan. Berbicara tentang kernampuan perempuan dalam penanggulangan kemiskinan, Wahyuni (2007:30) dalam tulisannya mengenai perempuan petani dan penanggulangan kemiskinan m e n y a w . "...Jika peran gender disertakan dalam perumusan kebijakan dan perencanaan program pertanian, tentunya baik laki-laki maupun perempuan bisa aktif berkegiatan untuk menanggulangi kemiskinan. Apabila kerniskinan dapat dihilangkan dari tingkat rumah tangga maka secara keseluruhan kemiskinan juga akan menghilang dari wilayah itu. Artinya jika perempuan marnpu memenuhi kebutuhan kelwganya, maka keluarganya tidak akan miskii dan desanya juga akan terbebas dari kemiskinan...". Meski pendapat ini khusus dilatari oleh situasi kerniskinan perempuatl petani, tetapi pada kenyataannya merupakan cerminan situasi perempuan mayoritas. Artinya dalam konteks kemiskinan komunitas manapun, apapun bentuk upaya penanganan kemiskinan yang akan dilaksanakan, adalah penting untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk terlibat aktif seperti halnya kelompok laki-laki. Kecenderungannya, perempuanlah yang pertama mengetahui kalau persediaan makanan keluarga habis, dan ia pula yang pertama akan berusaha agar kebutuhan makan keluarga tetap tersedia. Berangkat dari fakta ini, maka sepantasnyalah memberikan prioritas khusus pelibatan perempuan dalam pengentasan kemiskinan. 2.6 Kerangka pemikiran
Kerangka pemikiran kajian tergambar pada alur berikut.
Proses pembangunan yang bias gender
Meningkatnya fakta kemiskinan perempuan, dalarn lingkup: - individu - rumah tangga - masyarakat
Coping Strategies perempuan untuk mengatasi situasi kemiskinan
Akses dan kontrol perempuan terhadap programProgram pengentasan kemiskinan
Strategi Pemberdayaan perempuan dalam pengentasan kerniskinan: a. Penghargaan dan pengakuan terhadap pengetahuan dan pengalaman perempuan selalu menjadi basis pertimbangan dan diintegrasikanke dalam progtam. b. Penyadaran kritis terhadap perempuan sebagai pelaku aktif proses perubahan ke arah kondisi yang diinginkan. c. Pemberdayaan komunitas dan kelembagaan lokal
Keterangan : menunjukkan aluritahapan pencapaian tujuan penelitian
+
Gambar 2 Kerangka Pernikiran Kajian Pengembangan Masyarakat Coping Strategies Perempuan Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Di Kelurahan Panorama)
Program Pemberdayaan perempuan dalam pengentasan kemiskinan, yang responsif gender.
Alur tersebut menggambarkan tahapan umum mencapai tujuan penelitian yaitu untuk mengkaji kondisi kemiskinan perempuan dalam komunitas kota, menganalisis coping strategies yang dikembangkan perempuan dalam situasi kemiskinan, menganalisis akses dan kontrol perempuan terhadap programprogram pengentasan kemiskinan. Selanjutnya mencoba mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman coping strategies perempuan ke dalam rancangan perencanaan program dm strategi pemberdayaan perempuan. Harapannya agar rancangan program menjadi lebih responsif gender, peka terhadap kebutuhan perempuan, serta berkelanjutan.