TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan di Perkotaan Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional, tidak hanya sekedar rendahnya tingkat pendapatan. Menurut World Bank (2000), kemiskinan mencakup empat dimensi yaitu : (1) kurangnya kesempatan (lack of opportunity), yang terkait dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi -biasanya dipengaruhi oleh tingkat dan distribusi modal manusia serta aset sosial dan fisik, seperti kesempatan dalam penguasaan dan pemanfaatan lahan serta kesempatan di dalam pasar-, dan biasanya bersifat relatif terhadap garis kemiskinan suatu negara (2) rendahnya kemampuan (low capabilities), yang menunjuk pada kecilnya atau stagnannya perkembangan indikator kesejahteraan dan pendidikan pada kelompok-kelompok sosial ekonomi tertentu (3) rendahnya tingkat ketahanan (low level of security), yang mencakup permasalahan rendahnya pendapatan dan besarnya resiko ketidaktahanan yang muncul baik di level nasional, lokal, rumah tangga, maupun individu (4) pemberdayaan
(empowerment),
yang
menunjuk
pada
kemampuan
masyarakat miskin dalam berpartisipasi, bernegosiasi, berperan dalam perubahan, dan terlibat dalam institusi sosial yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraannya.
Dalam penetapan angka kemiskinan di Indonesia, pro dan kontra senantiasa muncul dalam setiap indikator yang digunakan. Selama ini, pengukuran kemiskinan di Indonesia dilakukan dengan tiga model pengukuran yang masingmasing model mempunyai cara pandang dan lingkup pengertian yang berbeda. Pertama adalah model pengukuran konsumsi kebutuhan dasar BPS yang mana kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pengukuran kemiskinan dengan mendasarkan pada pengukuran tingkat konsumsi ini biasanya digunakan untuk perencanaan yang
10
lebih makro, termasuk penghitungan dana perimbangan pusat-daerah (Cahyat 2004). Indikator yang kedua yaitu kemiskinan diukur dengan menggunakan model kesejahteraan keluarga yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh BKKBN. Kemiskinan menurut indikator kesejahteraan keluarga ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial psikologis. Data hasil pengukuran dengan menggunakan indikator kesejahteraan keluarga ini biasanya digunakan sebagai data dasar untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Keluarga miskin menurut BKKBN adalah keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari enam indikator penentu kemiskinan alasan ekonomi. Keenam indikator tersebut, yaitu : (1) pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih; (2) anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian; (3) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah; (4) paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor; (5) setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru; (6) luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi untuk tiap penghuni. Mengacu pada berbagai tingkat kebutuhannya, baik yang menyangkut kebutuhan dasar, sosial psikologis, maupun kebutuhan pengembangannya maka tahapan keluarga menurut BKKBN dibagi dalam lima tahapan, yaitu : (1) keluarga Pra-Sejahtera; (2) keluarga Sejahtera I; (3) keluarga Sejahtera II; (4) keluarga Sejahtera III; dan (5) keluarga Sejahtera III Plus (Cahyat 2004, www.bkkbn.go.id). Model ketiga adalah pengukuran kemiskinan dengan Indeks Pembangunan Manusia UNDP (Human Development Index), yang mana kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memperluas pilihan-pilihan hidup. Data hasil pengukuran Indeks Pembangunan Manusia UNDP (Human Development Index) digunakan untuk menaksir transisi ekonomi dan demokrasi yang terjadi di Indonesia yang dikumpulkan setiap tiga tahun sekali (Cahyat 2004).
11
Pada awal tahun 2005, pemerintah mengeluarkan kebijakan pencabutan subsidi BBM. Sebagai gantinya, pemerintah menyelenggarakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Program BLT tersebut ditujukan untuk memberikan bantuan uang tunai sebesar Rp 100 000.00 setiap bulannya bagi rumah tangga miskin. BPS telah merumuskan empat belas kriteria rumah tangga miskin sebagai kriteria rumah tangga penerima BLT (Tabel 1). Suatu rumah tangga layak memperoleh BLT apabila rumah tangga tersebut memenuhi sembilan atau lebih dari empat belas kriteria rumah tangga miskin tersebut. Sementara itu, rumah tangga yang tidak layak memperoleh BLT adalah : (a) rumah tangga yang tidak memenuhi sembilan atau lebih kriteria rumah tangga miskin; (b) PNS/TNI/Polri/Pensiunan PNS/TNI/Polri; (c) pengungsi yang diurus oleh pemerintah; dan (d) penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap. Tabel 1.
Kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
No 1. 2. 3.
Variabel Luas lantai bangunan tempat tinggal Jenis lantai bangunan tempat tinggal Jenis dinding tempat tinggal
4. 5. 6. 7.
Fasilitas tempat buang air besar Sumber penerangan rumah tangga Sumber air minum Bahan bakar untuk memasak seharihari Konsumsi daging/susu/ayam per minggu Pembelian pakaian baru untuk setiap anggota rumah tangga dalam setahun Makan dalam sehari untuk setiap anggota rumah tangga Kemampuan untuk membayar berobat ke Puskesmas/Poliklinik Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga
8. 9. 10. 11. 12.
13. 14.
Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga Pemilikan asset/tabungan
Sumber : BPS (Bogor), 2006
Kriteria Rumah Tangga Miskin Kurang dari 8 m2 per orang Tanah/ bambu/kayu murahan Bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester Tidak punya/bersama-sama dengan rumah tangga lain Bukan listrik Sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan Kayu bakar/arang/minyak tanah Tidak pernah mengkonsumsi/hanya satu kali dalam seminggu Tidak pernah membeli/hanya membeli satu stel dalam setahun Hanya satu kali makan/ dua kali makan dalam sehari Tidak mampu membayar untuk berobat Petani dengan luas lahan 0.5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600 000.00 per bulan Tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500 000.00 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya
12
Beberapa penelitian di Afrika menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan bukan lagi sebuah masalah yang hanya timbul di daerah pedesaan saja namun juga menjadi permasalahan di daerah perkotaan (urban poverty). Pada akhir abad ke-20 dilaporkan bahwa tingkat urbanisasi yang cepat di daerah SubSahara, Afrika telah menyebabkan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan semakin parah sehingga menyebabkan ketidaktahanan rumah tangga, pangan, dan gizi. Pertambahan penduduk yang pesat dan juga tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di daerah perkotaan menyebabkan permasalahan kemiskinan di daerah perkotaan menjadi lebih kompleks daripada pedesaan (Maxwell et al. 2002). Perubahan harga barang-barang pokok, khususnya pangan, yang relatif tinggi mempengaruhi kemampuan rumah tangga untuk dapat mengkonsumsi barang dan jasa lainnya. Selain itu, terbatasnya kesempatan kerja dan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat mempengaruhi tingkat pendapatan dan juga status pekerjaan masyarakat di perkotaan. Begitu juga kehidupan sosial di perkotaan yang menuntut adanya pengeluaran-pengeluaran sosial untuk kehidupan bermasyarakat berdampak juga terhadap alokasi pengeluaran rumah tangga di perkotaan (Moser 1996). Kondisi-kondisi tersebut telah menimbulkan adanya peningkatan kesenjangan sosial dan juga peningkatan jumlah kelompok rawan (miskin) di daerah perkotaan.
Modal Sosial Definisi dan Ukuran Salah satu isu menarik yang banyak dikaji saat ini adalah modal sosial. Perdebatan secara akademik mengenai konsep modal sosial sebenarnya sudah dimulai pada awal 1980-an ketika seorang sosiolog Perancis bernama Pierre Bourdieu menelaah modal sosial pada masyarakat Eropa. Meskipun begitu, modal sosial mulai dikenal khalayak luas semenjak dipublikasikannya tulisan sosiolog asal Amerika bernama James Coleman yang berjudul Social Capital in The Creation of Human Capital pada tahun 1988. Perdebatan mengenai modal sosial mulai menghangat setelah Robert Putnam pada tahun 1993 mempublikasikan bukunya yang berjudul Making Democracy Work : Civic Traditions in Modern Italy yang melihat mata rantai perbedaan performance dari 20 pemerintah regional
13
di Italia dalam perluasan kelembagaan-kelembagaan yang ada dalam masyarakat (Narayan 1998). Layaknya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, konsep modal sosial pun terus berkembang. Bourdieu mendifinisikan modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik, yang mana setiap anggota dalam kelembagaan tersebut memperoleh keuntungan dari modal yang dimiliki secara kolektif (Syahra et al. 2000, Winter 2000, http://www.viet-studies.org/Bourdieu_capital.htm). Bourdieu juga menyebutkan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh adanya jaringan-jaringan ini, pada kondisi tertentu dapat diubah menjadi modal ekonomi dan biasanya secara kelembagaan terlihat pada kelompok komunitas yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam suatu masyarakat. Bourdieu menekankan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh jaringan hubungan, tidak begitu saja ada secara alami (natural given) atau begitu saja ada dalam suatu masyarakat (social given). Modal sosial merupakan hasil dari investasi strategi-strategi baik dari tindakan individu maupun kolektif dalam waktu sesaat ataupun berkelanjutan yang bertujuan untuk menstabilkan atau menghasilkan hubungan-hubungan sosial yang secara langsung berguna, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Winter 2000). Sementara itu, James Coleman mendefinisikan modal sosial dari sudut pandang fungsi modal sosial itu sendiri, yang mana bukan ditekankan pada hubungan-hubungan sosial (social relations) seperti definisi Bourdieu namun ditekankan pada struktur sosial (social structure). Coleman menyebutkan bahwa fungsi yang dapat diidentifikasi dari modal sosial adalah nilai dari aspek-aspek struktur sosial untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dari anggota-anggotanya. Aspek-aspek struktur sosial yang dimaksud dalam definisi tersebut menunjuk pada sekumpulan kewajiban dan harapan, jaringan informasi, norma-norma dan sanksi-sanksi yang efektif yang dapat memaksa atau menyemangati seseorang untuk bertingkah laku agar tetap eksis dalam menjaga hubungannya dengan orang lain. Jika Bourdieu tertarik pada pengembangan konsep modal sosial sebagai sumberdaya bagi modal ekonomi seseorang (economic capital), Coleman lebih tertarik untuk mengembangkan bagaimana
14
modal sosial dalam jaringan keluarga dan komunitas sebagai sumberdaya bagi modal manusia (human capital) (Winter 2000). Bila Bourdie dan Coleman mendefinisikan modal sosial dari ranah individu, keluarga, dan komunitas, Robert Putnam mendefinisikan modal sosial dari ranah regional dan nasional yang mana modal sosial dinilai sebagi pendorong dalam kelembagaan demokrasi dan pengembangan ekonomi. Menurut Putnam, rencana dan aksi penguatan ekonomi pasar dan kelembagaan demokratis di negara-negara berkembang hampir semuanya terpusat pada defisiensi modal manusia dan modal finansial, sehingga pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah pembangunan di negara-negara berkembang lebih terfokus pada pemberian pinjaman dan pemberian pelatihan-pelatihan (technical assistance). Namun tidak banyak dibahas tentang defisiensi modal sosial yang terjadi, sehingga pendekatan yang ada tidak pernah membahas tentang bagaimana usaha-usaha untuk mendorong pembentukan modal sosial. Landasan pemikiran tersebut lah yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menjanjikan ketika teori-teori modernisasi dan kapitalisasi tidak mampu menghubungkan antara teori dengan aplikasinya. Menurut kelompok pengkritik modernisasi dan kapitalisasi, modal sosial merupakan sesuatu yang menarik dan menjanjikan karena menawarkan strategi-strategi potensial dalam rencana dan aksi penguatan ekonomi dan kelembagaan demokratis. Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai kepercayaan (trust), norma (norms), dan jaringan (networks) yang memfasilitasi adanya kerjasama untuk mencapai keuntungan bersama (Woolcock 1998). Konsep modal sosial yang dikembangkan oleh Putnam pada ranah regional dan nasional ini memunculkan banyak kritikan. Apalagi penelitian yang dilakukan Putnam dilakukan di Italia yang identik dengan kekuatan “mafia”. Modal sosial bagi komunitas “mafia” mungkin akan memberi keuntungan bagi keluarga “mafia”, namun bagi orang di luar komunitas “mafia” modal sosial justru akan merugikan. Kerugian yang disebabkan oleh modal sosial tersebut yang oleh Putzel disebut sebagai dark side of sosial capital –sisi gelap modal sosial- (Winter 2000). Selain ketiga teori mendasar mengenai modal sosial dari Bourdie, Coleman, dan Putnam, konsep modal sosial terus menerus dikaji sebagai sebuah
15
konsep ilmu pengetahuan. Narayan (1998), dalam analisanya tentang keterkaitan antara modal sosial dengan kemiskinan dalam pembangunan ekonomi, menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai dua aspek penting yaitu ikatan sosial yang saling terkait (cross-cutting ties) dan interaksi antara institusi formal dan informal. Ikatan sosial yang saling terkait (cross-cutting ties) yang terbangun antar kelompok sosial tersebut membuka peluang-peluang ekonomi yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan. Sementara itu, masih terkait antara peranan modal sosial dengan pembangunan
ekonomi,
Fedderke
et
al.
(1999)
menyebutkan
bahwa
mendefinisikan modal sosial memerlukan pertimbangan pada level analisis apa konsep tersebut digunakan. Semua bentuk modal sosial tidak sama, dan pada kondisi tertentu beberapa bentuk modal sosial lebih cocok digunakan untuk tujuan pengembangan ekonomi daripada untuk tujuan lainnya. Fedderke et al. (1999) menekankan peranan modal sosial yang bermanfaat dalam pengembangan ekonomi adalah berbentuk pertukaran informasi yang dapat mengurangi biaya transaksi (transactions costs). Dalam menelaah peranan modal sosial dalam pengembangan ekonomi, tidak cukup hanya sekedar kuantitas informasi yang dapat dimanfaatkan namun juga harus melihat kualitas informasi yang dipertukarkan sehingga bermanfaat dalam pengurangan biaya transaksi dalam pertukaran ekonomi yang terjadi. Kualitas informasi yang dimaksud mencakup dua komponen utama yaitu rasionalisasi (rationalization) dan transparansi (transparency). World Bank pun telah banyak menghasilkan hasil-hasil penelitian tentang modal sosial. Menurut World Bank, modal sosial mencakup kelembagaankelembagaan, hubungan, perilaku, dan nilai yang membangun interaksi antar manusia dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Modal sosial bukan hanya sekedar sekumpulan norma dan nilai yang membangun sebuah masyarakat tapi juga merupakan perekat yang menyatukan masyarakat (Productivity Commission 2003). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa berdasarkan konsep modal sosial Putnam maka modal sosial mempunyai tiga pilar utama, yaitu :
16
1. Kepercayaan (trust) Dalam membangun ikatan sosialnya, modal sosial dilandasi oleh “trust” (kepercayaan) sehingga modal sosial akan menjadi infrastruktur komunitas yang dibentuk secara sengaja (Fukuyama 2001). Fedderke et al. (1999) menjelaskan bahwa modal sosial mencakup kepercayaan sosial yang memfasilitasi adanya koordinasi dan komunikasi. Koordinasi dan komunikasi yang terjalin ini akan mempengaruhi terhadap tindakan kolektif yang dilakukan dalam rangka mencapai keuntungan kolektif juga. Menurutnya, “trust”
dapat
mengurangi
adanya
insentif
dalam
memanfaatkan
kesempatan/peluang ekonomi yang ada. Trust atau kepercayaan bagi sebagian analis sosial disebut sebagai bagian tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan yang menjadi ‘ruh” dari modal sosial. Kepercayaan adalah sesuatu yang terbangun dari hubungan-hubungan
sosial
dimana
terdapat
peraturan
yang
dapat
dirundingkan dalam arti terdapat “ruang terbuka” dari peraturan-peraturan tersebut untuk mencapai harapan-harapan yang ingin dicapainya (Seligman 2000 dalam Dharmawan 2002a, 2002b). Secara sederhana, trust adalah tingkat kepercayaan yang dimiliki masyarakat yang mana orang lain akan bertindak seperti apa yang mereka katakan atau mereka harapkan (Productivity Commission 2003). Mollering dalam Dharmawan (2002a, 2002b) menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai enam fungsi penting yaitu : (1) kepercayaan dalam arti confidence yang merupakan ranah psikologis individual sebagai sikap yang akan mendorong seseorang dalam mengambil keputusan setelah menimbang resiko yang akan diterima.; (2) kerja sama yang menempatkan trust sebagai dasar hubungan antar individu tanpa rasa saling curiga; (3) penyederhanaan pekerjaan yang memfungsikan trust sebagai sumber untuk membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaankelembagaan sosial; (4) ketertiban dimana trust sebagai inducing behaviour setiap individu untuk menciptakan kedamaian dan meredam kekacauan sosial; (5) pemelihara kohesivitas sosial yang membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam komunitas menjadi kesatuan; (6) trust
17
sebagai modal sosial yang menjamin struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien. 2. Jaringan sosial (networks) Productivity Commission (2003), menyebutkan bahwa jaringan sosial merujuk pada kesalinghubungan di dalam kelompok yang biasanya mempunyai atribut tertentu sebagai ciri kebersamaan. Coleman sebagai salah seorang penggagas konsep modal sosial, melihat bahwa jaringan (networks) dalam modal sosial merupakan konsekuensi yang telah ada ketika kepercayaan diterapkan secara meluas dan di dalamnya terdapat hubungan timbal balik yang terjalin dalam masyarakat dengan adanya harapan-harapan dalam masyarakat (Brown 1999). Menurut Stone dan Hughes (2002), modal sosial mempunyai dua ukuran utama yaitu : (1) jaringan sosial (networks) dan (2) karakteristik jaringan sosial (networks characteristics). Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran yaitu: (a) ikatan informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat
personal
seperti
pada
ikatan
pada
keluarga,
pertemanan,
pertetanggaan; (b) ikatan yang sifatnya lebih umum seperti ikatan pada masyarakat setempat, masyarakat umum, masyarakat dalam kesatuan kewarganegaraan. Ikatan ini dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya umum; dan (c) ikatan kelembagaan yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan yang ada, misalnya pada ikatan dalam sistem kelembagaan dan hubungan kekuasaan
Sementara
itu,
karakteristik
jaringan
sosial
(network
characteristics) dapat dilihat dari tiga karakteristik yaitu : bentuk dan luas (size and extensiveness), kerapatan dan ketertutupan (density and closure), dan keragaman (diversity). Karakteristik bentuk dan luas misalnya mengenai jumlah hubungan informal yang terdapat dalam sebuah interaksi sosial, jumlah tetangga mengetahui pribadi seseorang dalam sebuah sistem sosial, dan jumlah kontak kerja. Kerapatan dan ketertutupan sebuah jaringan sosial dapat dilihat misalnya dengan seberapa besar sesama anggota keluarga saling mengetahui teman-teman dekatnya, diantara teman saling mengetahui satu
18
sama lainnya, masyarakat setempat saling mengetahui satu sama lainnya. Keragaman, jaringan sosial dikarakteristikkan misalnya dari keragaman etnik teman, dari perbedaan pendidikan dalam sebuah group atau dari pencampuran budaya dalam wilayah setempat. 3. Norma Sosial Norma-norma yang membentuk modal sosial dapat bervariasi dari hubungan timbal balik antara dua teman sampai pada hubungan kompleks dan kemudian terelaborasi menjadi doktrin. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerja sama dalam sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. Nilai-nilai sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain (Fukuyama 2001). Productivity Commission (2003) mendefinisikan norma sosial dalam kerangka modal sosial sebagai sekumpulan aturan informal seperti nilai-nilai toleransi dan kejujuran secara timbal balik dari pihak-pihak yang berinteraksi. Norma sebagai elemen penting dalam pembentukan modal sosial juga diutarakan oleh Fedderke et al. (1999) yang menyatakan bahwa sebuah asosiasi sosial (organisasi sosial) di dalamnya mengandung norma-norma berupa aturan-aturan informal dan nilai-nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi di antara anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerja sama dalam memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama.
Definisi-definisi modal sosial yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa modal sosial merupakan sumberdaya untuk aksi kolektif. Sumberdaya berupa social capital tersebut termasuk di dalamnya norma-norma dan sanksisanksi yang muncul dari kepercayaan dan hubungan timbal balik yang beroperasi di dalam sebuah jaringan sosial (Winter 2000). Warren et al. (2001) juga
19
menyebutkan bahwa modal sosial merupakan aset kolektif yang terlihat dalam komunitas daripada sebagai sebuah properti individu anggota komunitas. Oleh karenanya, peranan modal sosial sebagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk mencapai keuntungan kolektif hanya bisa berjalan baik bila muncul sebagai sebuah aksi kolektif dalam sebuah jaringan sosial yang dibangun dengan kepercayaan dan hubungan timbal balik yang mengandung norma dan sanksi yang mengikat.
Modal Sosial sebagai Aset dalam Mengatasi Kerawanan Pangan Dalam mengatasi kemiskinan, komunitas dapat menjadi aset penting untuk mengurangi kerawanan yang diakibatkan oleh kemiskinan. Aset pada tingkat komunitas ini tergantung pada keberadaan simpanan modal sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama guna mencapai keuntungan kolektif. Sebuah penelitian di Filipina tentang respon rumah tangga terhadap kemiskinan dan kerawanan, dilaporkan bahwa terdapat tiga isu penting dalam menganalisis keberadaan simpanan modal sosial pada tingkat rumah tangga dan komunitas daerah perkotaan, yaitu : (1) kekuatan jaringan sosial yang bersifat timbal balik antar rumah tangga di dalam komunitas; (2) kekuatan hubungan (linkages) antara rumah tangga di desa dan kota sebagai komponen penting dalam jaringan sosialnya; dan (3) peningkatan ketidakefektifan kekerasan dan perusakan hubungan timbal balik dalam level komunitas (Moser dan Mcllwaine 1997). Modal sosial menjadi penting dalam mengatasi kemiskinan dan mengurangi kerawanan yang diakibatkan oleh kemiskinan tersebut. Meskipun begitu, perlu dipahami bahwa rumah tangga dan kelompok sosial yang berbeda di dalam
komunitas
mempunyai
beragam
simpanan
modal
sosial
untuk
dimanfaatkan. Modal sosial akan meningkat dalam suatu komunitas miskin bila rumah tangga dalam komunitas tersebut yakin bahwa simpanan modal sosial yang ada di antara mereka apabila dimanfaatkan akan mendatangkan keuntungan bagi rumah tangganya dalam mengatasi kemiskinan. Namun, bila dalam sebuah komunitas terjadi tingkat kekerasan tinggi sehingga anggota komunitas merasa tidak aman, maka kepercayaan di dalam komunitas pun akan menghilang dan bergeser dengan tingkat kerawanan yang lebih besar dan kemungkinan simpanan
20
modal sosial pun akan menurun (Moser dan Mcllwaine 1997). Oleh karenanya, berkurangnya simpanan modal sosial dalam komunitas akibat hilangnya rasa kepercayaan dan kerja sama antar anggota komunitas maupun antara komunitas dengan lingkungannya (pemerintah, masyarakat lebih luas) dalam krisis ekonomi yang terjadi, dapat merusak sistem berbasis komunitas untuk memanfaatkan dan memelihara infrastruktur sosial dan fisik (Moser 1996). Di Indonesia, tradisi-tradisi yang bersifat lokalitas seperti gotong royong merupakan sebuah potensi modal sosial yang dapat dijadikan sebagai aset menguntungkan dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi akibat kemiskinan, termasuk kerawanan pangan. Salah satu contohnya adalah tradisi rereongan sarupi yang terdapat di Propinsi Jawa Barat (Hikmat 2001). Dalam tradisi ini, falsafah yang mendasari adalah silih asih, silih asuh, dan silih asah. Bentukbentuk aktivitas sosial sebagai manifestasi nilai-nilai tersebut berupa kerja sama dan gotong royong dalam pembangunan sosial, musyawarah dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan dalam forum rapat maupun pengajian, saling menolong antar tetangga, dan saling mengingatkan apabila ada tetangga yang berbuat hal-hal yang merugikan masyarakat. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sebuah modal sosial yang apabila dikembangkan mampu menjadi aset komunitas yang penting untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan yang dialami rumah tangga anggotanya. Falsafah nilai budaya tersebut tentu saja bukan hanya milik masyarakat Jawa Barat saja, namun pada dasarnya berlaku univesal bagi masyarakat Indonesia secara umum. Contoh lain aset modal sosial yang dapat berperan dalam mengatasi kerawanan pangan adalah tradisi ”beas parelek” yang telah dikenal masyarakat khususnya di Jawa Barat sejak 1940-an (Hikmat 2001). Tradisi ”beas parelek” ini melibatkan aktivitas berupa pengumpulan beras sekitar satu sendok (satu ”canting”) setiap bulan, dan biasanya sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Hasil pengumpulan tersebut akan digunakan untuk menghadapi musim paceklik, menolong anggota masyarakat lainnya termasuk fakir miskin, mengatasi kelaparan, dan permasalahan sosial lainnya yang membutuhkan dana dan sarana yang siap pakai. Tradisi ini tentu saja sarat dengan nilai-nilai kepercayaan (trust),
21
norma sosial, dan bahkan juga jaringan sosial yang dapat dimanfaatkan dalam menghadapi kerawanan pangan akibat kemiskinan. Sebuah penelitian yang menunjukkan manfaat ekonomis dari modal sosial pada pedagang angkringan di kota Yogyakarta (Brata 2004), juga menunjukkan bahwa modal sosial dapat menjadi aset dalam mengatasi kemiskinan sehingga rumah tangga tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, khususnya kebutuhan pangan. Manfaat ekonomis modal sosial terlihat dari hubungan sosial kekerabatan, yang mana pengalaman teman ataupun kerabat dekat yang telah menjadi pedagang angkringan tentang peluang usaha warung angkring merupakan salah satu faktor pendorong beberapa orang lebih memilih beralih profesi menjadi pedagang angkringan. Sebagai contoh simpanan modal sosial (stock of social capital), tradisi rereongan sarupi, beas parelek, maupun modal sosial dalam jaringan pedagang angkringan di Kota Yogyakarta, bersifat potensial. Artinya, apabila nilai-nilai kepercayaan (trust), norma sosial, dan jaringan sosial yang ada di dalam masyarakat mampu dimanfaatkan secara optimal maka simpanan modal sosial ini akan menguntungkan bagi kehidupan masyarakat, termasuk dalam memperbaiki kondisi ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan dan lebih lanjut menjadi potensi dalam mengatasi kerawanan pangan yang muncul sebagai dampak dari kemiskinan.
Ketahanan Pangan Negara atau wilayah mempunyai ketahanan pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduknya, dan masing-masing rumah tangga mampu memperoleh pangan sesuai kebutuhannya. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem ketersediaan dan distribusi pangan serta subsistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan subsistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. (Suryana 2004a). Webb, Coates, dan Houser (2002) menyebutkan bahwa konsep
22
ketahanan pangan yang dibangun dari tiga elemen utama tersebut (ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan/konsumsi pangan) saling terkait dan mempunyai indikator yang berbeda dalam setiap elemennya (Lampiran 2). Isu tentang situasi pangan senantiasa mengalami perkembangan. Pada dekade 1970-an, fokus utama tentang situasi pangan adalah dunia dihadapkan pada periode terbatasnya ketersediaan pangan dan masalah kelaparan massal. Para delegasi dalam World Food Conference di Roma pada tahun 1974 meyakini bahwa negara-negara produsen pangan penting di dunia tidak akan dapat memenuhi permintaan pangan dunia, sehingga produksi pangan dunia harus ditingkatkan. Selanjutnya, dalam konferensi tersebut dirumuskan tentang ketahanan pangan, yaitu sebagai kemampuan suatu negara dan wilayah-wilayah di dalamnya untuk memenuhi target konsumsi pangan dari tahun ke tahun. Dampaknya, ketahanan pangan pada dekade 1970-an lebih berorientasi pada suplai pangan sehingga erat kaitannya dengan harga pangan dan ketersediaan secara fisik daripada isu tentang permintaan dan konsumsi masyarakat miskin atau kecukupan gizi kelompok-kelompok rawan (Falcon et al. 1987, Valdes 1997). Pada akhir dekade 1970-an, surplus pangan secara besar-besaran terjadi dan harga komoditas padi-padian mencapai harga terendah dalam 30 tahun. Surplus produksi pangan pada dekade tersebut memang telah membantu negaranegara atau wilayah-wilayah yang mempunyai permasalahan pangan akut, namun kondisi tersebut tidak mampu mengatasi permasalahan situasi pangan dunia. Sekitar 400 juta hingga 800 juta penduduk, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin masih hidup tanpa pangan yang cukup. Oleh karenanya pada awal 1980-an, konsep ketahanan pangan mengalami perluasan makna. Ketahanan pangan bukan hanya ditinjau dari aspek suplai (ketersediaan) saja namun juga dari aspek demand, dalam hal ini konsumsi pangan. Aspek suplai (ketersediaan) pangan mencakup kestabilan stok pangan, impor, dan bahkan pemanfaatan pangan di masa depan, termasuk juga peningkatan produksi domestik. Sementara itu, aspek konsumsi pangan menunjuk pada pencapaian peningkatan pendapatan ekonomi bagi penduduk miskin. Oleh karenanya, salah satu kebijakan yang ditawarkan pada dekade 1980-an adalah kebijakan harga pangan, yang diyakini mampu menghubungkan antara
23
ketersediaan pangan dan tujuan konsumsi pangan di suatu wilayah (Falcon et al. 1987). Karakter multidimensional dari ketahanan pangan menyebabkan konsep ketahanan pangan terus mengalami perkembangan. Hasil World Food Summit pada tahun 1996 di Roma menghasilkan rumusan tentang ketahanan pangan, yaitu kondisi dimana semua orang, setiap saat, mempunyai akses fisik dan ekonomi untuk memperoleh pangan yang cukup, aman, dan bergizi guna memenuhi kebutuhan pangan dan preferensinya untuk kehidupan aktif dan sehat. Ketahanan pangan mencakup level individu, rumah tangga, nasional, regional, maupun global sehingga setiap negara harus dapat merumuskan strategi untuk mencapai ketahanan pangan individu dan pada waktu yang sama mampu mengorganisasi solusi secara kolektif untuk mengatasi isu ketahanan pangan global (FAO 1997). Di Indonesia sendiri rumusan ketahanan pangan dituangkan dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan dalam UU tersebut mempunyai pengertian sebagai berikut : 1. Pangan bukan berarti hanya beras atau komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, dll), namun juga mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan, baik produk primer maupun turunannya. Dengan demikian, proses produksi pangan tidak hanya dihasilkan oleh kegiatan subsektor pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan tetapi juga hasil industri pengolahan pangan. 2. Penyediaan pangan yang cukup diartikan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan setiap individu untuk memenuhi asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral), yang bermanfaat bagi pertumbuhan, kesehatan, dan daya tahan jasmani maupun rohani. Dengan demikian ketahanan pangan tidak hanya berupa pemenuhan konsumsi pangan saja tetapi haris memperhatikan juga kualitas dan keseimbangan konsumsi gizi (Suryana 2004b).
24
Ketahanan Pangan dan Kemiskinan. Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia tahun 1996 menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan penyebab utama kerawanan pangan, dan kemajuan yang berkesinambungan dalam mengurangi kemiskinan merupakan titik kritis dalam meningkatkan akses pangan. Kemiskinan telah menyebabkan ketidakmampuan memproduksi pangan maupun membeli cukup pangan karena penduduk miskin mempunyai keterbatasan dalam mengakses faktor produksi seperti lahan, air, input pertanian, teknologi maupun kredit pertanian. Selain itu disebutkan bahwa kemiskinan, kelaparan dan kekurangan gizi adalah penyebab mendasar terjadinya urbanisasi di negara-negara berkembang (FAO 1997). Keterkaitan antara ketahanan pangan dan kemiskinan menyangkut aspek yang kompleks. Adelman (1999) menyebutkan kebijakan ketahanan pangan yang berorientasi pada suplai pangan akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan permintaan terhadap pangan pada penduduk miskin. Apabila
penduduk
miskin
merupakan
penjual/produsen
pangan,
maka
suplai/produksi pangan yang tinggi justru akan mengurangi tingkat pendapatan karena suplai/produksi pangan yang tinggi akan menurunkan harga pangan. Sebaliknya, jika penduduk miskin merupakan pihak pembeli pangan maka suplai/produksi pangan yang rendah akan mengurangi pendapatan riil karena suplai/produksi pangan yang tinggi akan menurunkan harga pangan. Oleh karenanya, sebagian besar negara harus menerapkan kebijakan harga pangan ganda, yaitu produsen pangan di pedesaan diberlakukan harga jual yang lebih tinggi daripada harga pasar dan konsumen miskin di perkotaan diberlakukan harga beli di bawah keseimbangan harga pasar. Jutaan penduduk miskin menderita kerawanan
pangan
yang
disebabkan
oleh
rendahnya
kekuatan
untuk
membeli/mengakses pangan. Kerawanan pangan dapat berupa kerawanan pangan kronis maupun kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan kronis menunjuk pada kondisi ketidakcukupan pangan secara terus menerus karena kurangnya sumberdaya untuk menghasilkan atau memenuhi pangan. Sementara itu, kerawanan pangan sementara menunjuk pada penurunan sementara akses rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup. Kedua kondisi kerawanan pangan tersebut merupakan hasil dari ketidakstabilan produksi dan harga pangan
25
maupun tidak mencukupinya pendapatan rumah tangga. Akibatnya akan menyebabkan terjadinya kelaparan dan atau kurang gizi (Shlomo 1987).
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Dalam UU No. 7 tahun 1996 telah dinyatakan bahwa rumah tangga merupakan level terpenting dalam konsep ketahanan pangan. Ketahanan pangan dinilai dari suatu kondisi apabila rumah tangga telah tercukupi pangannya secara kuantitas dan kualitas. Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan sehari-hari, serta harus dapat diterima oleh budaya setempat (International Congres of Nutrition 1992 dan Sidang Committee on World Food Security 1995 dalam Wahidah 2004). Berbagai agen pembangunan mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga sebagai suatu kondisi kecukupan akses untuk memperoleh pangan sepanjang waktu dari tahun ke tahun. Faktor yang cukup menentukan dalam terwujudnya ketahanan pangan tingkat rumah tangga bukan hanya dari ketersediaan pangan yang cukup, namun lebih ditentukan oleh kemampuan daya beli rumah tangga untuk dapat mengakses pangan. Penelitian Saliem et al. 2001 dalam Rachman 2004 melaporkan bahwa tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga. Penelitian tersebut dilakukan di empat provinsi, yaitu di Lampung, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara yang merupakan wilayah dengan status tahan pangan terjamin. Namun pada tingkat rumah tangga, di keempat wilayah tersebut masih terdapat prevalensi rumah tangga rawan pangan berkisar 22-30%. Hal tersebut dikarenakan rumah tangga mempunyai keterbatasan dalam aspek distribusi dan daya beli dalam mengakses pangan yang tersedia di tingkat wilayah. Dalam mengukur ketahanan pangan rumah tangga tidak ada indikator tunggal sebagai ukuran terbaik. Salah satu indikator yang sering digunakan dalam berbagai penelitian ketahanan pangan rumah tangga adalah kecukupan kalori. Ukuran kecukupan kalori ini menunjukkan kecukupan pangan secara kuantitas namun tidak dapat menggambarkan kualitas konsumsi pangan ataupun akses rumah tangga pangan secara berkelanjutan (Maxwell et al. 2000).
26
Pengasuhan Anak Berdasarkan kerangka pemikiran UNESCO, seperti yang disajikan pada Lampiran 1, determinan tidak langsung yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah ketahanan pangan rumah tangga, praktek pengasuhan, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Hal tersebut membuktikan bahwa kondisi lingkungan anak, mulai dari keluarga sampai kepada lingkungan yang lebih luas memiliki peran terhadap pengoptimalan pertumbuhan dan perkembangan anak. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada institusi keluarga, termasuk di dalamnya interkasi antar anggota keluarga. Hal tersebut selanjutnya akan berdampak terhadap pengalaman dan perkembangan anak (Berns 1997). ICN (International Conference on Nutrition) menyebutkan bahwa pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga/rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu, dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engle et al. 1997). Sunarti (2004) menyebutkan bahwa tujuan pengasuhan diantaranya berkaitan dengan pengembangan konsep diri anak, mengajarkan disiplin, serta mengajarkan keterampilan perkembangan. Pengasuhan yang diimplemantasikan melalui interaksi antara orang tua dan anak dapat menghasilkan pengembangan konsep diri anak. Interaksi yang dibangun anak dengan orang-orang di sekitarnya membuat anak mulai mengidentifikasi dirinya, menemukan dan mencari persamaan dan perbedaan antara dirinya dengan orang lain. Mengajarkan anak melalui pengasuhan yang membangun kepercayaan anak terhadap perlunya aturan dan penilaian bahwa suatu aturan itu baik sehingga perlu dijalankan, mengajarkan anak untuk menyadari pentingnya disiplin dan belajar untuk berperilaku disiplin. Selain itu, pengasuhan mengajarkan anak berbagai keterampilan hidup baik keterampilan kognitif, sosial, maupun emosional yang memungkinkan anak berkembang secara optimal. Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktivitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak
27
menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktivitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi, dan pengasuhan sosial. Pengasuhan fisik mencakup semua aktivitas yang bertujuan agar anak dapat bertahan hidup dengan baik dengan menyediakan kebutuhan dasarnya seperti makan, kehangatan, kebersihan, ketenangan waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa metabolisme dalam tubuhnya. Pola asuh makan merupakan salah satu faktor penting dalam pengasuhan fisik seorang anak (Hoghughi 2004). Pola asuh makan merupakan praktek-praktek yang diterapkan ibu (pengasuh) kepada anak dengan cara dan situasi makan. Engle et al. (1997) menyebutkan bahwa dalam pola asuh makan perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain : (1) karakteristik anak yang terkait dengan kemampuan psikomotorik (termasuk makan
dengan
tangan,
kemampuan
menggunakan
sendok,
kemampuan
mengunyah); (2) kepekaan akan situasi, termasuk mengetahui kapan waktu makan anak, apakah anak memerlukan kudapan/camilan, bagaimana nafsu makan anak, serta membangun interaksi yang positif ketika waktu makan; dan (3) menciptakan situasi yang nyaman ketika waktu makan, termasuk pengorganisasian waktu makan, mendampingi ketika anak makan, memonitor dengan siapa anak makan, serta berusaha menghilangkan hal-hal yang mengganggu anak ketika makan. Selain pola asuh makan, pola asuh kesehatan juga merupakan pengasuhan fisik yang penting bagi seorang anak. Pola asuh kesehatan terkait dengan keterampilan dan kemampuan dalam bidang kesehatan yang meliputi praktek kesehatan di rumah, kemampuan mendapat akses kesehatan (media kesehatan dan promosi kesehatan), mendapatkan pelayanan kesehatan (imunisasi, menimbang berat badan, konseling, dan pengobatan), serta pengetahuan orang tua (pengasuh) terhadap berbagai tanda-tanda penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak seperti ISPA dan diare, serta tanda-tanda lain yang memerlukan pengobatan dan konseling (LIPI 2000 dalam Widiyawati 2004). Selain pengasuhan fisik, pengasuhan anak juga mencakup adanya pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial. Pengasuhan emosi mencakup pendampingan
ketika
anak
mengalami
kejadian-kejadian
yang
tidak
menyenangkan seperti merasa terasing dari teman-temannya, takut, atau
28
mengalami trauma. Pengasuhan emosi ini mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai seorang individu, mengetahui rasa dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan dan mengetahui resikonya. Pengasuhan emosi ini bertujuan agar anak mempunyai kemampuan yang stabil dan konsisten dalam berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan rasa aman, serta menciptakan rasa optimistik atas hal-hal baru yang akan ditemui oleh anak. Sementara itu pengasuhan sosial bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa selanjutnya. Pengasuhan sosial ini menjadi sangat penting karena hubungan sosial yang dibangun dalam pengasuhan akan membentuk sudut pandang terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Pengasuhan sosial yang baik berfokus pada memberikan bantuan kepada anak untuk dapat terintegrasi dengan baik di lingkungan rumah maupun sekolahnya dan membantu mengajarkan anak akan tanggung jawab sosial yang harus diembannya (Hoghughi 2004).
Status Gizi Balita Status gizi, khususnya pada balita, merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi status gizi masyarakat. Berdasarkan kerangka pemikiran UNICEF, konsumsi pangan yang rendah dan penyakit infeksi merupakan penyebab langsung (immediate determinants) terjadinya kegagalan pertumbuhan pada anak, yang salah satunya dapat dilihat dari rendahnya status gizi anak (Lampiran 1). Status gizi (nutritional status/nutriture) menunjuk pada kondisi tubuh yang dihasilkan dari proses makan, pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, dan efek metabolisme pada sel-sel tubuh (McLaren 1981 dalam Jelliffe et al. 1989). Pembahasan mengenai status gizi tidak terlepas dari permasalahan gizi yang sering dikenal dengan istilah malnutrisi (malnutrition). Malnutrisi didefinisikan sebagai keadaan patologis sebagai akibat dari kekurangan ketersediaan gizi-gizi penting pada level seluler dalam jangka waktu yang lama, yang termanifestasikan dalam ketidaknormalan baik secara fisik, fisiologi, maupun biokimia (Mata 1978 dalam Jelliffe et al. 1989). Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (Jelliffe et al. 1989). Penilaian status gizi secara langsung dapat
29
dilakukan melalui metode : (a) antropometri, (b) biokimia, (c) klinis, dan (d) biofisik. Sementara itu, penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan melalui : (a) survei konsumsi, (b) statistik vital, dan (c) faktor ekologi. Salah satu metode yang sering digunakan dalam penilaian status gizi balita adalah dengan metode antropometri. Penilaian status gizi secara antropometri menunjuk pada pengukuran variasi dimensi, proporsi, dan berbagai aspek dari komposisi tubuh manusia pada umur dan level gizi yang berbeda. Metode ini dinilai sangat bermanfaat untuk menilai status gizi pada anak-anak dikarenakan pertumbuhan yang cepat pada anak-anak dan kasus Kurang Energi dan Protein (KEP) biasanya terjadi pada kelompok anak-anak. Indeks antropometri yang biasa digunakan pada penilaian status gizi pada anak adalah : (a) indeks berat badan menurut umur (BB/U), (b) indeks berat badan menurut panjang/tinggi badan (BB/TB), (c) indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), (d) indeks gabungan (BB/U, BB/TB, dan TB/U), (e) indeks lingkar lengan atas (LILA), (f) indeks lingkar kepala menurut umur (LK/U), dan (g) tebal lipatan lemak di bawah kulit (TLBK) (Jelliffe et al. 1989, Riyadi 2003). Penilaian status gizi balita dengan menggunakan indeks gabungan merupakan indikator yang baik dan dapat memberikan gambaran yang obyektif tentang perubahan status gizi khususnya dalam menilai status gizi bayi (umur kurang dari satu tahun), anak yang berumur satu sampai dua tahun, anak prasekolah yang berumur 2 sampai 6 tahun, dan anak sekolah dasar yang berumur 6 sampai sepuluh tahun. Indeks ini menggabungkan indikator penilaian BB/U, BB/TB, dan TB/U. Data yang diperoleh dari pengukuran ketiga indeks tersebut dan perhitungan z-score dengan menggunakan referensi NCHS/WHO kemudian dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu : (1) normal, bila z-score antara -2 SD/standar deviasi sampai +2 SD; (2) tinggi (di atas normal), bila z-score > +2 SD; dan (3) rendah (di bawah normal), bila z-score < -2 SD (Riyadi 2003).