II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Dimensi Kemiskinan Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau
sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (kebutuhan standar hidup minimal) untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari kebutuhan yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Kemiskinan secara umum dibedakan atas kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif.
Kemiskinan
absolut
ditentukan
berdasarkan
pada
ketidakmampuan individu untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum untuk hidup layak seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Menurut Chambers (1996), kemiskinan di daerah pedesaan (rural poverty) adalah masalah ketidakberdayaan
(powerlessness),
keterisolasian
(isolution),
kerentanan
(vulverability) dan kelemahan fisik (phisical weakness), dimana satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi. Definisi tersebut mengacu pada standar kemampuan minimum tertentu, yang berarti bahwa penduduk yang tidak mampu melebihi kemampuan minimum tersebut dapat dianggap miskin. Ukuran kemiskinan absolut ini banyak digunakan oleh negara-negara sedang berkembang.
7
Sementara banyak negara maju menggunakan ukuran kemiskinan relatif untuk menggambarkan hubungan antara kelompok berpendapatan rendah dengan yang berpendapatan tinggi sesuai dengan standar hidup yang berlaku. Standar minimum yang digunakan biasanya diambil sebagai suatu persentase dari rata-rata atau nilai tengah pendapatan. Umumnya ditetapkan setengah dari rata-rata atau nilai tengah pendapatan rumahtangga. Penduduk yang berada di bawah kemiskinan relatif belum tentu masuk dalam kategori miskin secara absolut. Badan
Pusat
Statistik
(BPS)
mengartikan
kemiskinan
sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan dan non makanan; Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar serta
menambahkan adanya kebutuhan sosial
psikologis antara lain pengajaran agama; Sementara United Nation Development Program
(UNDP)
mendefinisikan
kemiskinan
sebagai
ketidakmampuan
memperluas pilihan-pilihan dalam hidup, antara lain memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu wilayah lazim digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan wilayah tersebut. Sehingga kemiskinan menjadi salah satu tujuan pembangunan dimana keberhasilan pembangunan acapkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan. 2.1.1
Pengukuran Kemiskinan Pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
adalah dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan maupun bukan makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup secara layak. Nilai standar minimum tersebut digunakan sebagai garis pembatas untuk memisahkan penduduk miskin dan tidak miskin. Uppal (1985) menyebutkan garis pembatas tersebut sebagai garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty treshold). Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis kemiskinan Non-Makanan, sehingga GK = GKM + GKNM. Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk masing-masing provinsi daerah perkotaan dan pedesaan.
8
Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada 3 indikator kemiskinana yang digunakan, yaitu: -
Head Count Index (HCI- P0) yaitu persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan (GK)
-
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index – P1) yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran
masing-
masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan -
Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index – P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978,
garis
kemiskinan (GK) sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makan setara dengan 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan bukan makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang dan jasa lainnya. Biaya untuk membayar kebutuhan makanan dan bukan makanan disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan disebut sebagai penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan atau penduduk miskin. Penggunaan pendekatan kebutuhan minimum mempunyai kelemahan yakni kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidak mampuan memenuhi kebutuhan dasar dan diukur hanya dari sisi pengeluaran perkapita. Kelemahan ini sangat melekat pada pengukuran kemiskinan absolut karena pada hakekatnya kemiskinan hanya dilihat dari sisi ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar atau standar tertentu, sementara kemiskinan sangat kompleks dan mempunyai banyak dimensi sosial dan kultural. Garis kemiskinan lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan Profesor Sajogyo, yang dalam studi selama bertahun-tahun menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas 9
garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi perkapita setahun yang sama dengan beras. Dengan kata lain, garis kemiskinan versi Sajogyo adalah nilai rupiah yang setara dengan 20 kg beras untuk daerah pedesaan dan 30 kg beras untuk perkotaan. Pendekatan Sajogyo ini memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan tingkat biaya riil (Kuncoro, 2002). 2.1.2. Penyebab Variasi Kemiskinan Kemiskinan menurut Nurkse merupakan deretan kekuatan-kekuatan yang melingkar dan berinteraksi satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara atau daerah miskin tetap berada dalam keadaan miskin. Jadi kemiskinan seperti lingkaran setan yang saling terkait sehingga menjadikan kemiskinan sebagai penyebab sekaligus akibat (Jhingan, 2004). Lingkaran kemiskinan bermula dari fakta bahwa produktivitas total di negara atau daerah miskin sangat rendah sebagai akibat dari kekurangan modal, pasar yang tidak sempurna, dan keterbelakangan perekonomian. Dari sisi permintaan
dapat
dijelaskan
bahwa
rendahnya
tingkat
pendapatan
riil
menyebabkan tingkat permintaan menjadi rendah, sehingga pada gilirannya tingkat investasi rendah pula. Tingkat investasi yang rendah menyebabkan modal kurang dan produktivitas rendah yang tercermin pada rendahnya pendapatan riil. P r o d u k t iv it a s Rendah
K e k u ra n g a n M odal
P e n d a p a ta n Rendah
In v e sta si Rendah
Tabungan Rendah
Sumber: Jhingan, 2004 Gambar 3. Lingkaran Kemiskinan Versi Nurkse Dari sisi penawaran, digambarkan bahwa tingkat pendapatan rendah yang mencerminkan rendahnya tabungan akan menyebabkan rendahnya investasi dan keterbatasan
modal.
Lingkaran
yang
lain
adalah
yang
menyangkut
keterbelakangan manusia dan sumber alam. Pengembangan sumber alam pada 10
suatu daerah tergantung pada kemampuan produktivitas manusianya. Jika penduduknya terbelakang dan buta huruf, kurang pengetahuan dan ketrampilan, maka sumber alam akan kurang guna atau salah guna. Sebaliknya keterbelakangan sumber alam akan menyebabkan keterbelakangan manusia. Berdasarkan kompleksitas dan keragaman dimensi-dimensi kemiskinan, penyebab kemiskinan tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor tetapi merupakan kombinasi dari banyak faktor. Hal ini tercermin dari beberapa pendapat tentang kemiskinan. Todaro
(2004)
menyebutkan
keragaman
struktural
negara-negara
berkembang adalah: (1) ukuran negara seperti luas geografis, jumlah penduduk, serta tingkat pendapatan, (2) latar belakang sejarah dan kolonial, (3) Persediaan sumber daya fisik/alam dan manusia, (4) komposisi etnik dan agama, (5) hubungan sektor pemerintah dan sektor swasta, (6) struktur industri, (7) ketergantungan kekuatan politik dan ekonomi luar negeri, (8) pembagian kekuasaan, kelembagaan, dan struktur politik dalam negeri. Sedangkan tinggirendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua faktor utama, yakni: (1) tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan (2) lebar sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan. Sementara Jhingan (2004) menyatakan ciri-ciri negara terbelakang adalah: (1) pelayanan pendidikan dan kesehatan sangat minim yang menyebabkan tingginya jumlah penduduk yang buta huruf dan rakyat hidup dalam kondisi yang nyaris tidak sehat, (2) duapertiga atau lebih penduduk tinggal di daerah pedesaan dan mata pencaharian utama adalah pertanian, (3) posisi demografi dan kecenderungannya disebabkan oleh luas, kepadatan, struktur usia dan laju pertumbuhan penduduk yang beragam, (4) keterbelakangan ekonomi, berupa efisiensi tenaga kerja yang rendah, berbagai faktor yang tidak mobil, terbatasnya spesialisasi dalam jenis pekerjaan dan dalam perdagangan, serta struktur nilai dan sosial yang memperkecil kemungkinan perubahan ekonomi, (5) kelangkaan alat modal, (6) keterbelakangan teknologi, (7) orientasi perdagangan luar negeri, terlihat pada ekspor barang-barang primer dan impor barang-barang konsumsi dan mesin.
11
Ajakaiye dan Adeyeye (2002) yang melakukan penelitian di negaranegara berkembang menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah (1) Kinerja pertumbuhan ekonomi yang rendah, (2) Kegagalan kebijakan dan goncangan makroekonomi, (3) Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah, (4) Migrasi, (5) Pengembangan sumberdaya manusia. Kuncoro (2002) mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi: (1) kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang, (2) kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia, (3) kemiskinan bermuara pada teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty).
Adanya keterbelakangan, ketidak
sempurnaan pasar dan kurangnya modal. 2.1.3. Kemiskinan Di Pedesaan Todaro (2004) mengatakan bahwa penduduk miskin adalah mereka yang pada umumnya bertempat tinggal di daerah pedesaan dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian. Data kemiskinan BPS menunjukan bahwa sekitar 77 persen penduduk miskin di daerah pedesaan bekerja di sektor pertanian. Oleh karena itu perlu dikaji potensi produksi pertanian dan faktor faktor yang mempengaruhi Tambunan (2004) menyatakan bahwa penyebab utama dari kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan atau ketertinggalan ekonomi di pedesaan. Pembangunan ekonomi pedesaan di Indonesia kurang berkembang dibandingkan dengan pembangunan ekonomi perkotaan. Ekonomi pedesaan didominasi oleh sektor pertanian, ketika lahan pertanian semakin banyak terkonversi untuk tujuan lain mendorong peningkatan migrasi desa ke kota. Untuk melihat pengaruh kebijakan harga beras terhadap kelompok miskin, perlu pemahaman terhadap karakteristik dari setiap kelompok masyarakat apakah net consumer atau producer, (Mellor, 1978). Rumah tangga yang merupakan net seller akan diuntungkan oleh kenaikan harga beras, sementara rumah tangga yang tergolong net consumer atau net buyer seperti rumah tangga perkotaan, buruh tani atau rumah tangga not farming akan dirugikan. Menurut Ikhsan (2001), selanjutnya
adalah
menurunnya
tingkat
kesejahteraan
dampak
keluarga
yang 12
berpendapatan rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka stabilitas harga beras, memang sangat dibutuhkan khususnya untuk memelihara tingkat kesejahteraan penduduk yang berpendapatan rendah. Dengan demikian perlu diingat adalah inelastisnya permintaan beras, dapat menyebabkan upaya-upaya pemerintah mendorong peningkatkan produksi beras, justru menurunkan pendapatan petani. Dalam upaya peningkatan produksi padi yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani sekaligus rakyat konsumen beras, maka skala produksi harus diperluas agar tercapai efisiensi karena membesarnya skala produksi (large scale of economies). Peningkatan perluasan perlu dilakukan secara konsisten dalam jangka panjang dan melakukan efisiensi produksi padi melalui proses belajar dan spesialisasi (learning process)
2.2 Beras dan Kesejahteraan Keterkaitan antara beras dan kesejahteraan, khususnya secara lebih spesifik keterkaitan antara beras dengan kemiskinan, dapat dipahami dengan melihat sisi permintaan dan penawaran beras. Fluktuasi harga dan kuantitas beras, dapat dilihat sebagai akibat fluktuasi di sisi permintaan dan atau penawaran beras.
2.2.1. Sisi Permintaan Beras Engel’s Law menyatakan bahwa proporsi anggaran rumahtangga yang dialokasikan untuk membeli pangan akan semakin kecil pada saat tingkat pendapatan meningkat. Bila perekonomian masih dalam tingkat pendapatan per kapita yang rendah, maka bagian terbesar dari produksi agregat akan dialokasikan untuk konsumsi rumah tangga, dan sebagian besar konsumsi rumah tangga akan dialokasikan untuk pangan. Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, bahwa 95% konsumsi pangan adalah konsumsi beras (BAPPENAS, 2007). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beras adalah komoditi penting dan strategis bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Beras merupakan kebutuhan pokok, yang dikonsumsi oleh banyak orang dan relatif sulit dicari substitusinya, maka secara teoritis elastisitas permintaan beras di Indonesia relatif kecil (tidak elastis). Kenaikan harga beras sebesar 1% akan menurunkan jumlah beras yang diminta kurang dari 1%. Akibatnya bila 13
harga beras naik, ceteris paribus total pengeluaran rumah tangga akan bertambah besar. Hal ini akan menjadi persoalan besar bagi rumah tangga yang berpendapatan rendah, karena porsi pengeluaran untuk beras terhadap total pengeluaran akan menjadi lebih besar. Sebaliknya ketika harga beras turun satu persen, maka jumlah yang diminta akan naik, tetapi lebih kecil dari satu persen, hal ini akan dapat menurunkan pendapatan petani padi.
2.2.2. Sisi Penawaran Beras Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi akibat fluktuasi di sisi permintaan dan atau penawaran. Kendala yang dihadapi usaha tani padi sehingga tidak tercapai produksi potensial atau terjadi gap antara produksi potensial dengan produksi aktual menurut Herdt dan Wickham (1978) antara lain: (1) ada tidaknya irigasi, (2) musim, (3) faktor-faktor ekonomi, (4) kerusakan karena serangan hama dan penyakit , dan (5) tidak adanya adopsi teknologi baru oleh petani. Secara berturutturut besarnya perbedaan produksi potensial dengan aktual dari lima kendala tersebut yaitu: pengaturan air 23 persen, (2) tidak mengadopsi teknologi baru 22 persen, (3) serangan hama penyakit 19 persen, dan (4) faktor ekonomi sebesar 17 persen. Dari kelima kendala diatas maka ada tidaknya irigasi merupakan kendala terbesar sehingga terjadi gap produksi potensial dan aktual. Keputusan petani menanam padi akan dipengaruhi oleh expected income (Price) dari gabah yang dihasilkan. Petani secara individu (mungkin) tidak peduli apakah
keputusan
mereka
menanam
atau
tidak
menanam
padi
akan
mempengaruhi ketahanan pangan jangka panjang atau tidak. Namun tidak demikian
bagi
pemerintah,
karena
pemerintah
berkepentingan
terhadap
berlangsungnya usaha tani padi untuk melaksanakan Undang-Undang Pangan.
2.3.
Pentingnya Kebijakan Pemerintah di Bidang Perberasan Penduduk miskin menghabiskan hampir seperempat (24 %) dari anggaran
mereka hanya untuk beras, sedangkan bagi masyarakat non miskin anggaran yang 14
dikeluarkan untuk beras hanyalah sebesar 9,4 %. Lebih dari tiga perempat masyarakat miskin merupakan konsumen netto dimana mereka mengkonsumsi lebih daripada yang mereka hasilkan, bahkan di daerah pedesaan lebih dari 70% masyarakat miskin merupakan konsumen netto. Dengan demikian kenaikan harga beras justru merugikan sebagian besar penduduk. Itulah sebabnya, ketika terjadi kenaikan harga beras pada tahun 2005, maka sebanyak 3,1 juta orang telah terdorong ke dalam kemiskinan. Menurut Harianto (2001), kedudukan beras dalam pangsa pengeluaran rumahtangga yang menonjol dapat ditunjukkan oleh nilai elastisitas silang antara beras dengan komoditas pangan lainnya. Harga beras mempunyai pengaruh yang besar bagi konsumsi komoditas pangan lainnya. Sebaliknya perubahan hargaharga komoditas non beras berpengaruh relatif kecil terhadap konsumsi beras. Perubahan harga komoditas pangan non beras tidak memiliki dampak yang besar terhadap perubahan konsumsi beras. Besarnya keterkaitan antara konsumsi beras dengan pendapatan diperkuat dengan data konsumsi Susenas – BPS tahun 1996 dan 1999 Pada tahun 1996 konsumsi beras di kota dan di desa masing-masing adalah 108,89 kg dan 120,97 kg per kapita. Setelah adanya krisis ekonomi, yang diperkirakan menyebabkan turunnya pendapatan rumah tangga, konsumsi beras di kota dan di desa pada tahun 1999 telah berkurang menjadi 96 kg dan 111,78 kg perkapita. Fenomena yang sama ditemukan jika konsumen dipilah dalam kategori pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Pada seluruh segmen konsumen tersebut terjadi penurunan konsumsi beras yang cukup berarti, dimana semakin tinggi pendapatan, semakin kecil penurunan konsumsinya. Penurunan konsumsi beras pada konsumen berpendapatan rendah, sedang, dan tinggi diantara 1996
dan 1999, masing-
masing adalah 14,96 kg, 6,19 kg dan 4,31 kg. (Ariani et al, 2000). Pengaruh perubahan pendapatan terhadap konsumsi beras memang berbeda di antara ketiga segmen pendapatan. Dapat diperkirakan pengaruh perubahan harga beras juga akan memiliki pola yang serupa. Kenaikan atau penurunan harga akan menyebabkan segmen konsumen yang berpendapatan rendah akan menurunkan atau menaikan konsumsi berasnya dengan magnitude yang relatif lebih besar daripada konsumen yang berpendapatan tinggi. 15
Harianto (2001) menyimpulkan bahwa pengaruh perubahan harga terhadap konsumsi beras terlihat memiliki pola yang sama dengan pengaruh perubahan pendapatan. Semakin besar tingkat pendapatan, semakin berkurang pengaruh perubahan harga maupun pendapatan terhadap konsumsi beras dan ada kemiripan antara besaran elastisitas pendapatan dengan elastisitas harga di setiap segmen konsumen ataupun gabungan konsumen angka elastisitas pendapatan dan elastisitas harga relatif tidak jauh berbeda. Fakta-fakta di atas menunjukkan pentingya intervensi pemerintah untuk menjaga stabilitas harga beras, khususnya melalui stabilisasi produksi dan atau pasokan beras. Karena itu diperlukan kebijakan beras yang sifatnya komprehensif dan kontekstual namun tetap berorientasi ke depan. Campur tangan pemerintah pada pemasaran beras di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1968/69 dengan ditentukannya harga dasar pembelian gabah (Darwanto, 2001). Untuk itu pemerintah memberikan jaminan atas tercapinya harga dasar tersebut dengan mengelola stok melalui pengadaan gabah di tingkat petani pada musim panen, yang pada umumnya harga gabah relatif sangat murah, dilakukan penyaluran pada saat tingkat harga terlalu tinggi. Saragih
(2001)
menyatakan
perubahan
strategik
domestik
dan
internasional sehingga pemerintah perlu campur tangan dalam perberasan nasional. Perubahan domestik tersebut antara lain: (1) krisis ekonomi telah membuat subsidi semakin terbatas, (2) karakteristik usaha tani padi Indonesia yang berlahan sempit, dikaitkan dengan sasaran pembangunan, (3) akibat krisis ekonomi berkepanjangan, jumlah penduduk miskin cukup besar yaitu sekitar 20 persen, dan (4) saat ini tengah berlangsung proses desentralisasi dan otonomi daerah. Perubahan lingkungan strategis telah dimulai sebelum krisis ekonomi yaitu ketika Indonesia turut mengambil bagian dalam kesepakatan perdagangan internasional di awal tahun 90-an. Krisis moneter tahun 1998, memberikan dampak terhadap ekonomi perberasan nasional antara lain(1) dicabutnya subsidi pupuk dan dibebaskannya tata niaga pupuk, (2) dibebaskannya impor beras oleh swasta, (3) dibebaskannya tarif impor yang kemudian ditetapkan tarif sebesar Rp.430 per kilogram, dan (4) dihapuskannya kredit program Kredit Usaha Tani (KUT) yang diubah menjadi 16
Kredit Kesehatan Pangan (KKP). Berbeda dengan KUT, KKP menggunakan sistem executing yang berarti bank pelaksana harus menanggung dana dan resiko kredit. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI tidak lagi menyalurkan kredit program termasuk KUT sehingga sejak saat itu bank pelaksana harus menanggung dana KUT.
2.4.Penelitian Terdahulu Pembangunan pertanian dan pedesaan sangat strategis karena kondusif untuk menciptakan struktur ekonomi yang sehat, pro pemerataan dan penanggulangan kemiskinan serta membuat ketahanan pangan (Hossain, et al, 2001) Menurut Ilham (2007), pangsa pengeluaran mempunyai hubungan yang erat dengan ukuran ketahanan pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan dan pendapatan regional. Makin rendah pangsa pengeluaran pangan rumahtangga maka makin tinggi dan beraneka ragam pangan yang dikonsumsi. Dinamika kesejateraan terkait dengan upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan termasuk adanya kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2005 dan kenaikan harga beras selama periode 2002 – 2005. Kebijakan tersebut merupakan dua guncangan ekonomi yang sangat menentukan inflasi di Indonesia. Menurut Harianto (2001), harga beras memiliki pengaruh yang besar bagi diversifikasi konsumsi pangan, dimana penurunan harga beras terutama akan menguntungkan konsumen berpendapatan rendah di perkotaan maupun di pedesaan, dan jika harga beras naik akan memberikan dampak buruk. Peningkatan pendapatan konsumen akan
disertai
dengan
peningkatan
harga
beras
yang
dibelinya,
yang
mengindikasikan pentingnya perbaikan kualitas ataupun atribut komodi beras yang dijual. Surono (2001), masalah utama yang dihadapi oleh petani adalah banyaknya kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada kepentingan petani. Memburuknya harga padi, terutama di saat musim panen raya, adalah akibat kebijakan makro pemerintah yang ’enggan’ melindungi kepentingan petani dalam negeri.
17
Impor beras merugikan produsen disisi lain menguntungkan konsumen beras. Menurut Harianto (2001) penurunan harga beras akan menguntungkan konsumen yang ada di pedesaan. Elastisistas harga di pedesaan dan di kota masing-masing adalah -0,707 dan – 0,504. Konsumen di pedesaan juga dadalah petani padi akan menghadapi dilemma. Turunnya harga akan menguntungkan jika konsumen adalah petani subsisten yang menjadi net buyer. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi fluktuatifnya sisi permintaan dan atau penawaran. Terjadinya ketidakstabilan beras juga dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu (i) ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik; dan (ii) ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif sulit diramalkan (Ellis, 1992). Variasi transmisi harga secara umum dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, adanya kekuatan monopsoni atau oligopsoni pada pedagang sehingga mereka memiliki kekuatan untuk mengendalikan harga beli dari petani atau harga di tingkat produsen. Kedua, rantai pemasaran yang semakin panjang yang memungkinkan terjadinya akumulasi bias transmisi harga yang semakin besar. Rantai pemasaran yang semakin panjang antara lain dapat disebabkan oleh jarak pemasaran yang semakin jauh antara daerah produsen dan daerah konsumen. Jarak pemasaran yang lebih jauh dapat terjadi karena produksi komoditas terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu sedangkan daerah konsumennya relatif tersebar dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Sifat pasar dan peranannya dalam penentuan harga adalah hal pokok dalam ekonomi. Letak geografis pasar, terutama bagi sektor pertanian sangat relevan karena produk-produk pertanian bersifat kamba (bulky) dan atau mudah rusak (perishable), serta area produsen dan konsumen terpisah jauh, sehingga biaya transportasi sangat menentukan. Batas-batas geografis adalah penting dalam mengukur permintaan dan penawaran, pembentukan harga dan struktur kompetisi. Menurut Ikhsan (2001), secara agregat, setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan mengakibatkan kenaikan penduduk miskin sebsar 1 persen 18
atau tambahan penduduk miskin sekitar 2 juta penduduk miskin di Indonesia. Disagregasi lebih lanjut memberikan beberapa temuan yang menarik. Kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan menyebabkan kenaikan indeks head count sebesat 1, 15 poin persentase di daerah kota dan sekitr 0,90 poin persentase di daerah pedesaan. Berbeda dengan besarnya penurunan pendapatan riil penduduk luar Jawa secara agregat lebih besar dibandingkan penduduk di Jawa, dampak kenaikan harga beras cenderung akan meningkatkan kemiskinan yang lebih besar di Jawa dibandingkan dengan di luar Jawa. Hal ini berlaku baik untuk pedesaan maupun perkotaan. Dasar kebijakan harga, antara lain diajukan oleh Mears dan Affif dalam Amang dan Sawit (1999) mengatakan bahwa kebijakan harga merupakan instrumen pokok dalam pengadaan pangan. Sasarannya, pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari kenikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim paceklik. Ketiga, mengendalikan inflasi melalui stabilisasi harga. Kebijakan harga memiliki dua sisi yang menunjang bidang produksi dan sisi lain dapat mendorong bidang distribusi dan konsumsi. Menurut Saifullah (2001), pengendalian stabilitas harga konsumen periode 1985-2001 cukup terjaga. Hal ini ditunjukkan dengan fluktuasi harga beras yang dapat dikendalikan dan jauh lebih rendah dari fluktuasi harga beras dunia. Selain itu, koefisien variasi – yang menunjukkan volatilitas– di pasar domestik sekitar 5,54 persen, sedangkan di pasar dunia sekitar 8,63 persen. Yudhoyono (2004) menyimpulkan bahwa angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi dan tingkat upah. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh positif bagi upaya-upaya pengurangan angka kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur secara nyata menurunkan angka kemiskinan di perkotaan dan untuk pedesaan, pengeluaran pemerintah untuk pertanian berpengaruh nyata. Nanga (2006) menyimpulkan bahwa ada indikasi kemiskinan di daerah pedesaan semakin memburuk setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan, sementara di daerah perkotaan menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Artinya kemiskinan di daerah perkotaan menunjukan kecenderungan semakin membaik 19
setelah kebijakan desentralisasi fiscal tersebut diterapkan. Salah satu dugaan mengapa dampak transfer fiscal terhadap kebijakan desentralisasi fiscal cenderung positif dibandingkan dengan daerah pedesaan adalah karena perbedaan dalam kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki kedua wilayah tersebut, Menurut Yudhoyono dan Harniati (2004), pembangunan ekonomi pedesaan yang berkelanjutan penting mendapat prioritas, karna lebih dari 60 persen penduduk tinggal di pedesaan dan sekitar 70 persen dari penduduk miskin berada di pedesaan.Untuk itu perlu menciptakan aktivitas ekonomi atau lapangan kerja yang berbasis sumberdaya yang dikuasai oleh masyarakat pedesaan, mendorong pengembangan agribisnis dan industri berbasis sumberdaya lokal; pembangunan infrastruktur, kapasitas lembaga-lembaga sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan.
20